Anda di halaman 1dari 117

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA


PEMERASAN DENGAN ANCAMAN PEMERKOSAAN
TERHADAP PENDAKI DI GUNUNG MARAPI
(Studi Kasus Putusan NOMOR XX/Pid.B/2021/PN Pdp)

OLEH

SUSI

B011181060

SKRIPSI

Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada

Departemen Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

Pembimbing Utama : Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.

Pembimbing Pendamping : Dr. Syarif Saddam Rivanie, S.H., M.H.

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki keindahan alam

yang megah dan merupakan salah satu paru-paru dunia dengan

hamparan hutan yang besar. Selain memiliki hutan terbesar di

dunia, Indonesia juga memiliki gunung yang ketinggian dan jalurnya

sangat menantang bagi para pendaki untuk menginjakkan kaki di

puncaknya. Pendaki dengan segala pengetahuannya telah dibina

dan dibentuk karakternya untuk mematuhi kode etik dan etika moral

yang berlaku, terutama dalam hal asusila dan perusakan alam.

Untuk melakukan perjalanan pendakian, para pendaki telah

disumpah dengan kode etiknya agar tidak membuat pelanggran.

Namun demikian, tidak jarang pula ditemui kasus-kasus

pendaki yang merusak alam bahkan melakukan tindak asusila.

Selain tindak pelanggaran subjektif pendaki, juga sering ditemui

oknum atau sekelompok orang yang melakukan tindakan melawan

hukum terhadap pendaki seperti penipuan tiket masuk, penipuan

guide, pencurian barang pendaki yang dititipkan pemerasan bahkan

ancaman dan/atau kekerasan.

Kasus tindakan asusila oleh pendaki dijadikan senjata oleh

pelaku tindak pidana untuk memanfaatkan situasi dalam

menjalankan maksud jahatnya. Karena sering terjadinya tindakan

2
asusila tersebut, pelaku tindak pidana dengan mudahnya

melakukan perampasan terhadap para pendaki dengan tuduhan

bahwa para pendaki melakukan tindak asusila. Pelaku mengancam

para pendaki yang dituduh berbuat asusila untuk dilaporkan ke

pihak petugas patroli pendakian agar para pendaki tersebut

memberikan barang atau uang yang pelaku inginkan, bahkan

dengan ancaman kekerasan dengan benda tajam dan ancaman

pemerkosaan. Akan tetapi perbuatan melawan hukum tersebut

terkadang mendapat hukuman yang kurang selaras dengan

perbuatan dikarenakan hal yang meringankan, regulasi tentang

pemerasan di Indonesia belum cukup untuk menjerat para pelaku

tindak pidana, atau putusan hakim tidak sebanding terhadap fakta

dan pertimbangan hukum yang ada dalam persidangan.

Menurut Topo Santoso bahwa desakan kebutuhan pada era

globalisasi ini dapat menyebabkan peningkatan kejahatan yang

tinggi seiring dengan berkembangnya ekonomi dan industri.

Kemudian Aristoteles juga menyatakan bahwa kejahatan dan

pemberontakan ditimbulkan oleh kemiskinan, tidak jarang kejahatan

yang terjadi bukan untuk memperoleh apa yang menjadi keperluan

hidup namun juga untuk kemewahan. 1 Termasuk untuk pelaku

pemerasan dengan dorongan atau faktor kemiskinan dan bahkan

1
Topo Santoso dan Eva Achjhani Zulfa, 2003, Kriminologi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 1.

3
hanya untuk gaya hidup mewah sehingga merampas milik orang

lain.

Kejahatan perampasan milik orang lain diatur dalam Bab

XXIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

KUHP) terdiri atas 2 (dua) bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana

pemerasan dan tindak pidana pengancaman. Meskipun keduanya

memiliki karakter yang sama namun kedua tindak pidana tersebut

tetap memiliki perbedaan bahkan diatur dalam pasal yang berbeda.

Akan tetapi, kedua bentuk tindak pidana tersebut dapat menjadi

perbarengan perbuatan pidana.

Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP, tindak pidana

pemerasan dirumuskan sebagai berikut :

a. Barang siapa dengan maksud untuk menguntukan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan

suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik

orang lain, atau supaya memberikan hutan maupun menghapus

piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara

paling lama Sembilan bulan.

b. Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku

dalam tindak pidana ini.2

2
Moeljatno, 2011, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 131.

4
Pendaki gunung merupakan subjek hukum yang berjiwa

petualangan dan mencintai alam dan seluruh isinya. Mendaki

gunung merupakan sebuah kegiatan fantastis yang menantang

maut dengan berbagai tujuan, seperti melakukan ekspedisi, hanya

ingin menikmati alam, dan ada pula untuk pendidikan. Para pendaki

gunung melakukan aktivitas di gunung berlandaskan kode etik

pecinta alam yang sebagian atau seluruh isinya berkaitan erat

dengan peraturan dan undang-undang. Adapun bentuk

pelanggaran yang dilakukan yaitu dengan cara memetik bunga

Edelweis yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Daya Hayati dan Ekosistemnya yang selanjutnya disebut Undang-

Undang Konservasi Sumber Daya alam. Bentuk lain seperti

Vandalisme di gunung yang dapat dijerat Pasal 105 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Meskipun aktivitas pendakian belum memiliki undang-

undang tersendiri, namun kegiatan tersebut memiliki peraturan dan

Standar Operasional Prosedur (SOP), setiap pelanggaran yang

dilakukan oleh pendaki dapat dipidanakan menggunakan pasal-

pasal yang merujuk pada pelanggaran tersebut. Namun dengan

adanya berbagai aturan, tidak tertutup kemungkinan akan tetap

terjadi pelanggaran-pelanggaran di seputar pendakian. Saat

pendaki sudah tertib aturan, bisa saja yang melakukan pelanggaran

5
adalah Ranger, atau oknum yang berpura-pura menjadi Petugas

patroli yang menjadikan pendaki sebagai sasarannya.

Adapun permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini adalah

perbuatan melawan hukum yang terjadi di jalur pendakian Gunung

Marapi pada Putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp atas nama

terdakwa Anton Junned, Rahmat, dan Aulia Hidayat yang dengan

sengaja melakukan tindak pidana pemerasan uang berjumlah Rp.

8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dengan ancaman pemerkosaan

terhadap pendaki yang dilakukan di BKSDA pendakian Gunung

Marapi Nagari Koto Baru Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah

Datar.3

Kejahatan tersebut dilakukan berawal dari sebuah tuduhan

bahwa pendaki (korban perempuan) telah berbuat asusila dalam

tenda dan diancam akan dilaporkan ke petugas pendakian dan

semua orang. Kemudian agar hal itu tidak terjadi para Terdakwa

memeras dengan meminta uang damai, jika tidak diberikan para

Terdakwa kembali mengancam dengan dua hal yaitu ancaman

kekerasan dan ancaman pemerkosaan (disetubuhi) secara ramai-

ramai, kedua ancaman ini menjadi cara yang dilakukan untuk

pemerasan. Awal kejadian saat Terdakwa I Anton Junned melihat

keramaian pendaki di BKSDA Pendakian Gunung Marapi dan

langsung mengajak Terdakwa II Rahmat dan Terdakwa III Aulia

3
Anton Junned. Rahmat. Dan Aulia Hidayat, NomorXX/Pid.B/2021/PN Pdp, Mahkamah
Agung, 20 Mei 2021.

6
Hidayat untuk melakukan aksi jahatnya dengan alasan patroli para

pendaki. Kejahatan dimulai dengan menuduh 4 (empat) orang

pendaki di dalam satu tenda melakukan perbuatan asusila,

kemudian meminta uang damai dengan nominal cukup besar

sejumlah Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) agar tuduhan

perbuatan (pendaki/korban) tidak dilaporkan ke petugas, apabila

tidak memberikan uang maka pendaki perempuan diancam akan

diperkosa secara bersama-sama oleh ketiga terdakwa.

Pada saat tersebut para pendaki (korban) tidak memiliki

uang dengan nominal tersebut sehingga setelah ancaman diulang-

ulang oleh para Terdakwa akhirnya menyerahkan uang sebesar

Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per-orang

sehingga total dari 4 (empat) korban menjadi Rp. 6.000.000,00

(enam juta rupiah), juga 4 (empat) unit handphone diserahkan

kepada terdakwa sebagai jaminan sampai sebelum menyerahkan

uang yang diminta para terdakwa. Perbuatan para terdakwa dijerat

Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang masing-

masing berbunyi :

Pasal 368 ayat (1) KUHP :

(1) “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri


sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya
orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau
sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri kepunyaan
orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau
menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun.”

7
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP :

(1) “Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :

1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau


turut melakukan perbuatan itu.”

Dengan adanya undang-undang yang mengatur perbuatan

pemerasan diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus-kasus

terkait hal tersebut dan mengurangi risiko yang membahayakan

keselamatan manusia. Terutama di saat maraknya pendakian di

Indonesia saat ini menjadikan kesempatan bagi seseorang atau

oknum melakukan kejahatan pemerasan dengan ancaman, juga

dalam pendakian telah ada kode etik dan patroli sehingga para

pendaki tidak memikirkan kejadian buruk terhadap mereka. Hal

tersebut merupakan salah satu dari faktor bagi pelaku untuk

memanfaatkan keadaan yang dapat mendorongnya melakukan

selain daripada faktor ekonomi, kebutuhan hidup, atau

ketidakpuasan dengan pendapatan perkejaan sehari-hari.

Dengan keberadaan suatu kejahatan pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan yang masing-masing merupakan kejahatan

atau tindak pidana tersendiri, antara lain tindak pidana pemerasan,

pengancaman dan pemerkosaan. Maka dari itu ada penegakan dan

penerapan hukum yang mencakup peraturan hukum pidana

sebagai hukum publik, juga ada aturan yang terkait dengan

kualifikasi perbuatan ataupun mengenari penerapan – penerapan

kaidah hukum yang berlaku dalam perbuatan tersebut. Oleh karena

8
itu penulis tertarik untuk membahas topik tersebut menjadi sebuah

penelitian normative dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Tindak Pidana Pemerasan dengan Ancaman Pemerkosaan

Terhadap Pendaki di Gunung Marapi (Studi Kasus Putusan Nomor

XX/Pid.B/2021/PN Pdp)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis

merumuskan dua hal yang diharapkan mampu menjadi batasan

ruang lingkup pembahasan, adapun yang menjadi rumusan

masalah antara lain :

1. Bagaimanakah kualifikasi tindak pidana pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan dalam perspektif hukum pidana?

2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap tindak

pidana pemerasan dengan ancaman pemerkosaan berdasarkan

pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN

Pdp?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah unutk menyelesaikan atau

mendapatkan jalan keluar dari masalah yang akan diteliti,

berdasarkan permasalahan di atas tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah :

9
1. Untuk menganalisis kualifikasi tindak pidana pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan dalam perspektif hukum pidana.

2. Untuk menganalisis penerapan hukum pidana terhadap tindak

pidana pemerasan dengan ancaman pemerkosaan berdasarkan

pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN

Pdp.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis harapkan dapat memberikan

manfaat tidak hanya untuk penulis, tetapi juga bermanfaat untuk

pembaca. Kegunaan penulisan dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan

manfaat kepada pihak akademis sebagai bahan pengkajian yang

memberikan pemahaman secara mendalam, serta menjadi

wawasan yang dapat digunakan untuk menunjang

perkembangan ilmu pengetahuan. Memberikan kontribusi

kepada peneliti lain yang akan melakukan penelitian hukum

pidana terkait dengan tindak pidana pemerasan yang terjadi di

pendakian, serta memberikan sumbangan gagasan dan

argumentasi terhadap perkembangan hukum di Indonesia

khususnya hukum pidana.

10
2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan wacana yang luas bagi masyarakat

pada umumnya terkait tindak pidana pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan, serta pada khususnya dapat

memberikan masukan bagi ranger dan dan pihak-pihak lain yang

terkait dengan penanganan pelanggaran yang terjadi di kawasan

pegunungan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan proses pencarian informasi

yang penulis lakukan terkait dengan penelitian yang berjudul

“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan

Ancaman Pemerkosaan Terhadap Pendaki di Gunung Marapi”

adalah asli dan dilakukan oleh peneliti sendiri berdasarkan buku,

peraturan perundang-undangan yang berlaku, jurnal, serta fakta-

fakta sosial yang ada.

Pada penelitian dengan tema Pemerasan ini memuat topik

yang memiliki kemiripan dengan beberapa tulisan hasil penelitian

sebelumnya namun secara substansi memiliki perbedaan,

beberapa penelitian yang memiliki kemiripan yang akan dijadikan

perbandingan dengan tulisan ini, antara lain:

1. Fajar Hardiman, Skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak

Pidana Pemerasan dengn Ancaman Kekerasan (studi Kasus

11
Putusan No. 43/Pid.B/2015/PN Mrs)”. Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, tahun 2017. Rumusan masalah yang

dikaji antara lain :

a. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap

tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan

dalam putusan No. 43/Pid.B/2015/PN Mrs?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam

memutuskan perkara tindak pidana pemerasan dengan

ancaman kekerasan dalam putusan No.43/Pid.B/2015/PN

Mrs?

Penelitian yang dilakukan oleh Fajar Hardiman berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pada penelitian

Fajar Hardiman yang mengkaji penerapan hukum materil dan

pertimbangan hukum hakim mengenai pemerasan dengan

ancaman kekerasan, sedangkan penulis Skripsi ini lebih

merujuk pada kualifikasi tindak pidana pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan. Perbedaan kedua adalah penulis

skripsi ini membahas mengenai penerapan hukum pidana

terhadap tindak pidana pemerasan berdasarkan pertimbangan

hakim, pembahasan ini lebih luas dibandingkan dengan tulisan

Fajar Hardiman. Perbedaan spesifik selanjutnya terletak pada

jenis ancaman yang membarengi pemerasan serta lokasi

penelitian dan kejadian perkara, dapat disimpulkan bahwa

12
terdapat perbedaan antara kedua penelitian tersebut sehingga

keaslian penelitian ini dapat terbukti.

2. Nuraedah, Skripsi, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana

Pemerasan dengan Pengancaman (Studi Kasus Putuan Nomor

39/Pid.B/2017/PN Tka)”. Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, tahun 2018.

Rumusan masalah yang dikaji yaitu :

a. Bagaimakah penerapan hukum pidaa materiil terhadap

tindak pidana pemerasan dengan pengancaman (Studi

kasus putusan Nomor 39/Pid.B/2017/PN Tka)?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana pemerasan

dengan pengancaman?

Dari penelitian yang dilakukan oleh Nuredah hanya

berfokus pada Pengancaman, penerapan pidana materil dan

regulasi mengenai pengancaman sedangkan penulis skripsi ini

akan menjelaskan masih-masing tindak pidana yaitu

pemerasan, pengancaman, dan pemerkosaan. Menjelaskan

bagaimana kualifikasi ketiganya saling berhubungan dan

bagaimana penerapan hukumnya. Perbedaan yang signifikan

terletak pada rumusan masalah antara kedua penelitian

tersebut, kemudian dari pada itu dapat diketahui bahwa tindak

13
pidana yang diteliti pada dasarnya sama akan tetapi objek

tinjauan yuridis dan metodologi penelitian yang berbeda.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian

hukum yang dilakukan dari perspektif internal 4 untuk

menemukan kebenaran berdasarkan nalar keilmuan dengan

objek penelitiannya adalah norma hukum.

Penelitian Normatif (Legal research) sebagian besar atau

bahkan semua hanya studi dokumen atau penelitian hukum

doktrinal, dengan menggunakan bahan-bahan hukum dan

aturan-aturan tertulis.5 Penelitian hukum jenis ini mengkaji

konsep-konsep hukum yang kemudian dijadikan landasan

dalam masyarakat yang menjadi tuan yang dipatuhi dalam

berperilaku.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan undang-undang (statue approach) dan

pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-

undangan dilakukan dengan penilikan aturan-aturan tertulis

4
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Kencana, Jakarta, hlm.12.
5
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram, hlm.
45.

14
yang terkait dengan masalah hukum yang sedang ditangani.

Fokus perhatian pada pendekatan ini yaitu pemahaman peneliti

terhadap teori hierarki atau struktur norma dalam perundang-

undangan dan asas-asas peraturan perundang-undangan atau

keberadaan norma hukum, apakah berada dalam peraturan

perundang-undangan yang lama atau pertauran perundang-

undangan yang baru, atau berada pada peraturan perundang-

undangan umum atau khusus.6

Sedangkan Pendekatan Kasus (case approach)7 yaitu

dengan melakukan penilikan terhadap kasus-kasus yang

menjadi permasalahan yang akan diselesaikan dan telah

menjadi putusan pengadilan yang inkrah, bertujuan untuk

mengetahui penerapan kaidah dalam hukum yang berlaku.

Kasus terkait yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah

kasus tindak pidana pemerasan dengan ancaman

pemerkosaan terhadap pendaki di gunung Marapi yang termuat

dalam putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, merupakan data utama yang terkait

dengan penyelesaian masalah yang memuat pembahasan


6
Bachtiar, 2018, Metode Penelitian Hukum, UNPAM Press, Tanggerang Selatan, hlm.
82-83.
7
Muhaimin, Op. cit, hlm. 58.

15
yuridis dan teoritis yang memuat ketentuan-ketentuan

hukum sebagai bahan otoritas yang berasal dari peraturan

perundang-undangan, studi kepustakaan ataupun sumber

lainnya yang memiliki sangkut paut dengan penelitian. Pada

penelitian ini penulis menggunakan dasar hukum sebagai

berikut :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Putusan Pengadilan Negeri Padang Panjang Nomor

XX/Pid.B/2021/PN Pdp.

b. Bahan Hukum sekunder, merupakan bahan hukum berupa

penjelasan atau bahan yang memperkuat bahan hukum

primer. Diantaranya berupa buku-buku ilmu hukum, jurnal

tentang hukum, majalah, laporan hukum, dan media cetak

atau elektronik, atau literature-literatur lainnya yang ada

kaitannya dengan penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

16
Metode pengumpulan bahan hukum yaitu studi dokumen

mengumpulkan data hukum, melakukan penelusuran dan

menelaah bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian

berupa kepustakaan hukum, jurnal tentang hukum, artikel-artikel

hukum, dan lieratur pendukung lainnya yang berkaitan dengan

tindak pidana pemerasan, pengancaman, dan pemerkosaan.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode yang bersifat kualitatif, ialah dengan

menginterpretasi atau menafsirkan bahan-bahan hukum yang

telah selesai diolah. Setelah bahan hukum primer dan sekunder

terkumpul dengan baik dan telah diolah menggunakan metode

kualitatif, kemudian dikemukakan menggunakan analisis yang

bersifat preskriptif dengan memberikan argumentasi hukum

terhadap hasil penelitian yang didapatkan. Argumentasi tersebut

bertujuan untuk memberikan penilaian terkait kebenaran

menurut hukum dan kesesuaiannya dengan fakta, asas dan

prinsip hukum berdasarkan pada pendekatan yang digunakan.

BAB II

17
TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS KUALIFIKASI TINDAK PIDANA
PEMERASAN DENGAN ANCAMAN PEMERKOSAAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan larangan dalam hukum pidana

yang bersifat khusus.8 Tidak ditemukan definisi mutlak

mengenai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan,

dipahami secara bersama bahwa pengertian tindak pidana

merupakan invensi teori dari para ahli, pengertian tindak pidana

yang paling lazim adalah kesalahan. Tindak pidana merupakan

syarat pertama dalam penjatuhan pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu

“strafbaar feit”. Perkataan “feit” yang berarti “sebagian dari

suatu kenyataan” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat

dihukum” sehingga secara literal “strafbaar feit” dapat diartikan

sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, hal

yang dapat dihukum bukanlah barang, perbuatan, kenyataan,

maupun tindakan melaikan manusia sebagai pihak pribadi.

Selain “starbaar feit” dalam bahasa Belanda juga dikenal

dengan “delict” atau “delictum” (bahasa latin), dalam bahasa

Indonesia dikenal dengan “delik”, selain itu dalam undang-

undang atau buku dikenal dengan peristiwa pidana. Perbuatan


8
Suyanto, 2018, Pengantar Hukum Pidana, Deepublish, Yogyakarta, hlm. 1.

18
pidana, perbuatan boleh dihukum, perbuatan yang dapat

dihukum dan pelanggaran pidana.9

Tindak (perbuatan) pidana adalah “perbuatan yang dilarang

undang-undang dan diancam dengan hukuman bagi yang

melanggarnya”.10 Dalam lingkup tindak pidana terdapat tindak

pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum

merupakan perbuatan pidana yang regulasinya tercantum

dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang terdiri dari

tindak pidana umum itu sendiri, kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan diatur dalam buku Kedua KUHP dan pelanggaran

diatur dalam buku Ketiga KUHP. Sedangkan tindak pidana

khusus adalah suatu perbuatan pidana yang regulasinya tidak

tercantum dalam KUHP, melainkan memiliki regulasi diluar

KUHP. Hal ini yaitu menurut undang-undang yang bersifat

khusus baik dari tindak pidananya maupun cara penyelesaian

dan sanksi pidananya.11

Berangkat dari pandangan Clark, Marshall, dan Lazell

bahwa semua perbuatan yang termasuk tindak pidana itu

dilarang demi menegakkan perlindungan masyarakat, serta

diancam sanksi oleh Negara berdasarkan proses hukum. 12 Hal


9
Andi sofyan dan Nur Azisa, 2016, Buku Ajar Hukum Pidana, Pusaka Pena Perss,
Makassar, hlm.96.
10
Muhammad Ainul Syamsu, 2016, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Edisi Pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 16.
11
Ruslan Renggong, 2016, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
Pranadamedia Group, Jakarta, hlm. 26-32.
12
Muhammad Ainul Syamsu, Loc. It.

19
tersebut berarti bahwa tindak pidana harus memenuhi

setidaknya tiga hal yaitu larangan perbuatan; perbuatan

diancam sanksi pidana; pelaksana ancaman oleh Negara

melalui pengadilan.

Pengertian tindak pidana cenderung mencakup “perbuatan”

dan tidak mencakup kesalahan dan pertanggungjawaban

pelaku.13 Hal ini berarti bahwa tindak pidana jika tidak terpenuhi

salah satu hal tadi maka tidak memungkinkan terjadinya tindak

pidana.

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun

1997/1998 menjelaskan bahwa tindak pidana merupakan

perbuatan baik itu melakukan atau tidak melakukan dan

dinyatakan sebagai suatu perbuatan dilarang dan diancam

pidana oleh undang-undang. Tindak pidana adalah perbuatan

yang melawan hukum baik secara formal maupun secara

materil.14 Dari penjelasan tersebut terdapat dua unsur yaitu

unsure formil yang merujuk pada perbuatan yang melanggar

peraturan dan unsur materil yaitu orang yang melakukan

perbuatan.

Dari uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa

tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bersifat

melawan hukum berupa kejahatan atau perbuatan yang tidak


13
Ibid. hlm. 17.
14
Edi Setiadi dan Dian Andriasari, 2013, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia,
Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 62.

20
sesuai dengan peraturan dan keharusan hukum yang kemudian

diancam dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan-

ketentuan dalam aturan. Tindak pidana adalah istilah yang

digunakan untuk mengklasifikasi ketika terjadi suatu peristiwa

yang melanggar hukum pidana.

2. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Dalam mengulas hukum pidana, terdapat berbagai

macam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan manusia,

baik yang bersifat disengaja maupun tidak disengaja. Dalam

hukum pidana terdapat kualifikasi mengenai tindak pidana, baik

yang dikemukakan menurut KUHP maupun dari doktrin.

Pembagian jenis-jenis tindak pidana menurut KUHP yaitu: 15

a. Kejahatan;

b. Pelanggaran.

Pada dasarnya kejahatan merupakan suatu bentuk

perbuatan yang melanggar hukum, peraturan perundang-

undangan dan norma sosial dalam kehidupan masyarakat.

Semua perbuatan yang tercantum dalam buku kedua KUHP

adalah kejahatan dan kejahatan adalah semua perbuatan yang

dipertegas sebagai “kejahatan” dalam undang-undang diluar

KUHP. Sedangkan pelanggaran adalah suatu perbuatan yang

15
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015, Hukum Pidana, Setara Perss, Malang, hlm.
72.

21
sifat hukumnya bisa diketahui jika ada undang-undang yang

menyebutnya suatu delik atau dikenal dengan wetsdelicten.16

Tindak pidana ditinjau dari jenis-jenisnya : 17

1. Delik formal dan delik materil;

2. Delik commisionis dan delik ommisionis;

3. Delik dolus dan delik culpa;

4. Delik tunggal dn delik berganda;

5. Delik yang berlangsung terus (seperti merampas

kemerdekaan seseorang yang terus berlangsung) dan delik

yang tidak berlangsung terus (delik yang selesai dalam

waktu tertentu);

6. Delik aduan dan delik bukan aduan (biasa);

7. Delik sederhana dan delik dengan pemberatannya.

Jenis delik yang pertama adalah tindak pidana formil dan

tindak pidana materil. Tindak pidana formil mengacu pada

perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dianggap telah

dilakukan tanpa mempermasalahkan akibatnya misalnya

penghasutan dan pencurian. Sedangkan tindak pidana materiil

ditekankan pada akibat, misalnya pembunuhan dan penipuan. 18

16
Jacob Hattu, “Pertanggungjawaban Pidana Pengambilan Jenazah Covid-19 Secara
Paksa Berdasarkan Aturan Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus”, Jurnal
Belo, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Vol 6 Nomor 1 Agustus 2020- januari 2021,
hlm. 18-19.
17
Lukman Hakim, 2020, Asas-Asas hukum Pidana Buku Ajar Bagi Mahasiswa, Edisi
Pertama, Deepublish, Yohyakarta, hlm. 11-13.
18
Mahrus Ali, 2011, Dasar Hukum Pidana, Edisi Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
102.

22
Delik komisi (commisionis) dan delik omisi (ommisionis).

Delik komisi merupakan pelanggaran atau berbuat sesuatu

yang dilarang undang-undang seperti pembunuhan sedangkan

delik omisi yaitu pelanggaran terhadap perintah misalnya tidak

datang sebagai saksi di pengadilan. Selanjutnya perbuatan

pidana dibedakan atas kesengajaan (delik dolus) yaitu delik

yang dengan sengaja dilakukan seperti pembunuhan {Pasal

339 KUHP) dan penganiayaan Pasal 351 KUHP, delik kealpaan

(delik culpa) yaitu delik yang terjadi karena kesalahan atau

kealpaan seperti akibat kealpaan menyebabkan matinya

seseorang.19

Delik tunggal adalah jenis delik yang dilakukan dengan

perbuatan yang cukup satu kali untuk dikenakan pidana seperti

Pasal 480 KUHP tentang Penadahan. Delik berganda

merupakan delik yang beberapa kali dilakukan untuk dikenakan

hukamn seperti dalam Pasal 296 KUHP yaitu tentang

memudahkan perbuatan cabul yang menjadi kebiasaan. 20

Selanjutnya jenis delik aduan dan delik biasa. Delik aduan

adalah delik yang diproses jika dilaporkan atau diadukan oleh

orang yang menjadi korban atau dirugikan seperti perzinahan

Pasal 248 KUHP dan pencurian dalam keluarga Pasal 367

KUHP. Delik bukan aduan atau delik biasa adalah delik yang

19
Ibid.
20
Lukman Hakim, Loc. it.

23
tidak perlu adanya aduan untuk dituntut seperti pembunuhan

dan pemerasan.

Delik sederhana dan delik dengan pemberatannya. Delik

sederhana merupakan delik dasar atau pokok sesuai dengan

unsur-unsur yang ditentukan seperti pembunuhan atau

pencurian. Sedangkan delik dengan pemberatannya yaitu delik

yang mempunyai unsur-unsur lain sehingga lebih berat

ancaman pidananya seperti pemerasan dengan mengakibatkan

kematian.

Selain jenis-jenis delik di atas, dalam buku ajar yang

ditulis oleh Andi Sofyan dan Nur Azisa terdapat tambahan jenis

delik yaitu :

1. Delik Politik dan Delik Umum. Delik politik adalah delik

terhadap keamanan Negara dan kepala Negara dengan

tujuan politik untuk mengubah tertib hukum sesuai dengan

kehendak pelaku yang ketentuannya diatur dalam Buku II

Bab I sampai dengan Bab V, Pasal 104 sampai dengan

Pasal 181 KUHP. Delik umum juga sama ditujukan untuk

keamanan Negara dan kepala Negara namun hal ini bersifat

umum seperti penggelapan.

2. Delik Umum dan Delik Khusus. Delik Khusus merupakan

perbuatan yang dilakukan oleh orang tertentu karena

kualitasnya seperti korupsi oleh pegawai negeri. Dengan

24
yang dimaksud dengan delik umum adalah delik yang dapat

dilakukan oleh semua orang seperti pembunuhan. 21

3. Unsur – Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan tidak dapat dijatuhkan pidana apabila

perbuatan tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana atau

delik. Unsur merupakan syarat atau ciri-ciri dari perbuatan

sehingga memperjelas dan menjadi batasan dari perbuatan

yang tidak dlarang. Untuk mengetahui adanya tindak pidana

maka perbuatan yang dilarang beserta sanksinya dirumuskan

dalam peraturan perundang-undangan.22 Terdapat dua sudut

pandang unsur- unsur tindak pidana yaitu sudut pandang

undang-undang dan sudut pandang teoritis. 23

Unsur- unsur tindak pidana menurut Simons adalah : 24

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif berbuat atau

tidak berbuat , atau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan kesalahan;

5. Oleh orang yang bertanggungjawab.

21
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Op. cit., hlm. 108.
22
Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, 2016, Hukum Pidana, Mitra Wacana
Media, Jakarta, hlm. 10.
23
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana II, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 78.
24
Suyanto, Op. cit., hlm. 75.

25
Simons juga mengemukakan unsur-unsur tindak pidana

yaitu unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana : 25

1. Unsur Objektif :

a. Perbuatan orang;

b. Akibat dari perbuatan;

c. Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan

misalnya dalam Pasal 281 KUHP.

2. Unsur Subjektif :

a. Orang yang mampu bertanggungjawab;

b. Adanya kesalahan.

Menurut Lamintang dalam buku Hukum Pidana yang ditulis

oleh andi Sofyan dan Nur Azisa bahwa unsur objektif

merupakan unsur yang berhubungan dengan keadaan pelaku,

unsur objektif ini meliputi :26

1. Perbuatan manusia (positif/negative) yang menyebabkan

terjadinya suatu pelanggaran pidana. Perbuatan positif

misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), pembunuhan (Pasal

338 KUHP), sedangkan perbuatan negative contohnya tidak

melaporkan kepada pihak yang berwajib atas telah

terjadinya kejahatan.

2. Akibat perbuatan manusia, merupakan akibat yang terjadi

seketika bersamaan dengan perbuatan, seperti pencurian.

25
Ibid.
26
Andi Sofyan da Nur Azisa, Op. cit., 100-102.

26
Akibat yang terdiri dari merusak atau merugikan dan

membahayakan kepentingan hukum itu perlu ada untuk

mendapatkan hukuman. Namun ada pula yang akibat terjadi

selang beberapa saat setelah perbuatan seperti

pembunuhan dengan menembak atau member racun

biasanya kibat (meninggal) berbeda waktu dan tempat.

3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadan yang biasanya

terdapat pada waktu perbuatan seperti “barang yang diabil

adalah milik orang lain” adalah keadaan saat mengambil,

dan ada pula keadaan yang terjadi setelah perbuatan

seperti ‘orang itu bunuh diri’ adalah keadaan yang terjadi

setelah adanya penghasutan bunuh diri.

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan. Melawan

hukum berarti tidak selaras dan menentang dengan

peraturan perundang-undangan. Sifat yang dapat dipidana

artinya perbuatan tersebut dapat diancam atau dipidana

oleh suatu keadaan normal tertentu.

Unsur-unsur tindak pidana tidak sempit dari satu pandangan

saja, menurut rumusan tindak pidana pendapat dari Moeljatno

bahwa yang dimaksud unsure tindak pidana adalah perbuatan

yang dilarang oleh hukum dan diancam pidana. Kemudian

menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana yaitu :27

27
Adami Chazawi, 2014, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet. 8, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 81.

27
a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum;

c. Kesalahan;

d. Dipertanggungjawabkan.

Unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pada rumusan-

rumusan tindak pidana dalam KUHP yaitu : 28

a. Tingkah laku;

b. Melawan hukum;

c. Kesalahan;

d. Akibat konstitutif;

e. Keadaan yang menyertai;

f. Syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

g. Syarat tambahan untuk memperberat atau meringankan

pidana;

h. Objek dan subjek hukum pidana;

B. Tindak Pidana Pemerasan

1. Pengertian tindak Pidana Pemerasan

Pemerasan merupakan suatu tindakan menguntungkan dan

merugikan. dapat membuat kerugian pada seseorang atau

pihak korban dan menguntungkan bagi yang melakukan

pemerasan. Bahasa hukum “pemerasan” menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, berasal dari kata “peras” yaitu perihal

(perbuatan) memeras; menekan; meminta uang dengan


28
Ibid. hlm. 82.

28
ancaman; mengambil keuntungan banyak-banyak dari orang

lain.29

Asal kata “peras” yang merupakan kata kerja ditambahkan

awal “me-“ menjadi “memeras” memiliki arti memijit (menekan).

Hal ini membuat batasan bahwa Pemerasan merupakan

memberikan tekanan pada orang lain untuk mengambil

keuntungan. Pemerasan merupakan salah satu bentuk

kejahatan yang sangat mudah terjadi tanpa mengenal waktu

dan tempat. Pemerasan adalah perbuatan yang dilakukan

dengan menggretak atau menakuti untuk diperas dan

menyerahkan seseuatu yang diminta oleh pelaku.

Pemerasan merupakan suatu tindak pidana disertai

ancaman untuk tujuan menguntungkan diri sendiri ataupun

orang lain. Dasar hukum tentang pemerasan diatur dalam

ketentuan Pasal 368 KUHP yang berbunyi :

(1) “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan


diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak,
memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang
sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang
itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum
karena memeras, dengan hukuman penjara selama-
lamanya Sembilan tahun.”
(2) “ketentuan dalam ayat kedua, ketiga, dan keempat dari
Pasal 365 berlaku bagi kejahatan itu”. 30

29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, “Pemerasan”, Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm. 1157.
30
R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm.256.

29
Bersadarkan ketentuan Pasal 368 tersebut, kejahatan ini

digolongkan sebagai ‘pemerasan dengan kekerasan’


31
(afpersing) yang memuat perlakuan sebagai berikut :

1. Memaksa orang lain;

2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hak;

3. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau

sebagian termasuk milik orang lain, atau membuat utang,

atau menghapuskan piutang;

4. Memaksa orang lain dengankekerasan atau ancaman

kekerasan.

Mendalami unsure utama dari tindak pidana tersebut, suatu

perbuatan dapat dikatakan pemerasan ditentukan oleh

kehendak pelaku dengan memaksa, menakuti, kekerasan atau

ancaman sehingga korban melakukan sesuatu karena adanya

pemaksaan dari pelaku.

Memaksa yang dimaksud pada unsur diatas adalah

melakukan tekanan kepada orang lain sehingga orang (korban)

hilang kehendak sehingga menyerahkan barangnya sendiri.

Batasan perbuatan memaksa dengan kekerasan dapat dilihat

pada Pasal 89 KUHP yang berbunyi :

“yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang

jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah)”


31
Ibid.

30
Kekerasan dalam hal ini yaitu menggunakan fisik seperti

memukul tangan, dan sebagainya. Unsur tersebut menjadi

syarat dengan adanya kekerasan pemilik barang akan

menyerangkan barang miliknya. Tujuan kekerasan dalam

konteks ini adalah untuk menguntungkan diri sendiri pelaku atau

orang lain.

Suatu perbuatan dapat mudah diklaim sebagai tindak pidana

pemerasan apabila seseorang melakukan sesuatu untuk

mendapatkan milik orang lain yang mengandung unsur

pemaksaan atau kekerasan meskipun tidak disertai dengan

perpindahnya barang milik orang lain kepada pelaku

pemerasan. Pengaturan tindak pidana pemerasan dalam Pasal

368 KUHP merupakan lex generalis.

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana Pemerasan

Berdasarkan rumusan dalam KUHP, tindak pidana

pemerasan memiliki bentuk khusus selain dari bentuk pokonya.

1. Pemerasan dalam Bentuk Pokok

Pengertian pemerasan berdasarkan rumusan ayat (1)

Pasal 368 KUHP memuat unsur-unsur :32


32
Mohammad Kenny Alweni, “Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal 368
KUHP”, Jurnal Lex Crimen, Universitas Sam Ratulangi, Vol. VIII Nomor 3, Maret 2019,
hlm. 48.

31
a. Unsur Objektif :

2) Perbuatan memaksa;

3) Yang dipaksa: seseorang;

4) Upaya memaksa dengan:

(a) Kekerasan, atau

(b) Ancaman kekerasan;

5) Tujuan, sekaligus merupakan akibat dari perbuatan

memaksa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan;

(a) Orang menyerahkan benda;

(b) Orang memberi hutang;

(c) Orang menghapus piutang.

b. Unsur Subjektif :

1) Dengan maksud untuk menguntungkan:

(a) Diri sendiri; atau

(b) Orang lain.

2) Dengan melawan hukum.

2. Bentuk Pemerasan yang Diperberat

Dalam tindak pidana pemerasan Pasal 368 KUHP

ayat (2) menyatakan bahwa “ketentuan ayat kedua, ketida

dan keempat dari Pasal 365 berlaku untuk kejahatan ini”.

32
Dalam artian bahwa tindak pidana pemerasan memiliki

bentuk khusus yang dapat diperberat sama halnya dengan

pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 ayat (2)) yang

disebutkan antara lain : 33

a. Pemerasan yang diancam pidana penjara maksimal 12

tahun, apabila dipenuhi unsur subjektif dan objektif.

b. Waktu dilakukan kejahatan pada malam hari di tempat

kediaman atau [ekarangan tertutup di kediaman atau

jalan umum.

c. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

bersekutu.

d. Dilakukan dengan merusak atau memanjat atau

dengan memakai kunci palsu, perintah palsu, atau

[akaian jabatan palsu.

e. Mengakibatkan luka-luka berat.

f. Mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, ancaman

pidana penjara maksimal 15 tahun.

g. Diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.

Unsur “memaksa” berarti melakukan tekanan kepada orang

lain dengan cara memaksa pelaku kejahatan menginginkan

korban untuk menyerahkan apa yang pelaku minta, baik itu

33
Ibid., hlm. 50.

33
barang, uang, membayar hutang ataupun menghapuskan

piutang. Memaksa dalam hal ini berarti melakukan tekanan

sehingga orang lain merasa takut dan kehilangan kehendak

kemudian melakukan kehendak yang ditekankan pelaku yaitu

menyerahkan barang miliknya.

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti

keras; paksaan. Upaya memaksa dilakukan dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan. Perihal yang keras, perbuatan

seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan cedera

atau matinya orang lain.34 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang dimaksud dengan Kekerasan dalam membuat

orang lain pingsan atau tidak berdaya lagi. Pingsan dalam hal

ini berarti tidak sadar akan dirinya, orang yang pingsan tidak

dapat mengetahui apa yang terjadi atau telah terjadi dengan

dirinya. Sedangkan yang dimaksud tidak berdaya adalah tidak

mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan, orang yang

sedang tidak berdaya masih dapat mengetahui apa yang

sedang terjadi pada dirinya namun tidak dapat untuk melawan. 35

Pengertian kekerasan menurut Sue Titus Reid ialah bahwa

tindak kekerasan merupakan suatu bentuk aksi atau perbuatan

yang disengaja yang merupakan kelalaian, dan merupakan

penggaran atas hukum kriminal. Yang dilakukan tanpa

34
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. cit., hlm. 744-745.
35
Penjelasan Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

34
pembelaan atau dasar kebenaran dapat di sanksi oleh Negara

sebagai suatu tindak pidana berat atau pelanggaran hukum

yang ringan.36

Selain sebagai unsur dalam pemerasan, kekerasan dan

pemerasan juga saling berkaitan satu sama lain. Kekerasan

yang ikut serta dalam pemerasan adalah melakukan tekanan

kepada orang lain baik itu verbal maupun fisik. Meskipun akibat

dari kekerasan yang membarengi pemerasan lebih fatal namun

bisa saja kekerasan hanya sebagai unsur, yang menjadi tindak

pidana adalah pemerasan. Kekerasan juga dapat menjadi

alasan diperberatnya suatu pemerasan, seperti apabila

pemerasan tersebut dilakukan dengan kekerasan yang

menyebabkan luka atau kematian.

Selain dari kekerasan yang ditimbulkan dari pemerasan,

kekerasan juga sering kali menimbulkan pemerasan, misalnya

tindak pidana kekerasan (misal : kekerasan dalam rumah

tangga atau kekerasan seksual) yang berujung pada

pemerasan dengan ancaman. Contoh dalam hal ini adalah

korban kekerasan seksual selanjutnya diancam akan

disebarkan foto aibnya bahkan diperas secara terus-menerus

agar tidak melaporkan ke pihak berwajib.

Dapat disimpulkan bahwa meskipun berbarengan, terdapat

perbedaan kekerasan dengan pemerasan dapat dilihat dari cara


36
Topo santoso dan Eva Achjani zulfa, Op. cit., hlm. 21.

35
pelaku melakukan kejahatan, tindak pidana pemerasan

dilakukan dengan pemaksaan agar seseorang menyerahkan

miliknya sedangkan kekerasan dilakukan tanpa pemaksaan,

kekerasan yang terjadi dalam pemerasan adalah membuat

orang lain pingsan atau tidak berdaya. Terdapat dua hal yang

dapat diakibatkan oleh kekerasan, pertama apabila pemilik

barang yang terkena kekerasan menyerah lalu memberikan

barangnya pada pelaku kekerasan maka itu termasuk

pemerasan. Kedua, apabila pemilik barang melakukan

kekerasan dalam perlawanannya dan tidak menyerah maka ini

termasuk pencurian dengan kekerasan. 37

Unsur “memberi hutang” dalam rumusan ini berarti pelaku

memaksa korban untuk melakukan perjanjian sehingga korban

harus membayar sejumlah uang, bukan untuk pelaku diberi

(dibantu) pinjaman dari korban tetapi mewajibkan korban

membayar sesuai kehendak pelaku. Kemudian unsur

“menghapus piutang” dalam hal ini memiliki arti yang luas, tidak

semata-mata hanya perihal menghapuskan perjanjian dengan

pemeras dengan korban atau menghapuskan pembayaran

pemeras (atau orang lain yang berhutang) dengan yang

memberikan piutang, namun dapat juga berarti bahwa

menghapuskan perjanjian yang telah ada sebelumnya antara

pemeras dengan korban, sehinggan hapusnya kewajiban


37
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 254-255.

36
hukum untuk membayar kepada pihak korban (pelaku memiliki

hutang pada korban dan melakukan pemerasan agar korban

menghapus piutang).

Dalam unsur subjektif, “dengan maksud” berarti dengan niat.

Memiliki niat untuk melakukan pemerasan. “menguntungkan diri

sendiri atau orang lain” berarti menambah kekayaan atau hal

yang menguntungkan dalam dirinya ataupun orang lain dari

hasil pemerasannya, hal menguntungkan tidak harus terjadi dan

mendapatkan keuntungannya, cukup apabila bisa dibuktikan

dan dalam diri pelaku telah ada niat atau unsur “dengan

maksud”. Kemudian unsur secara melawan hukum

sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa melakukan

suatu perbuatan yang menentang tau tidak sejalan dengan

hukum atau perbuatan melawan hak.

3. Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Pemerasan

Tindak pidana pemerasan yang diatur dalam Bab XXIII

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan tindak pidana

yang terdiri atas dua kejahatan yaitu tindak pidana pemerasan

(afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging).

Persamaan sifat dari kedua tindak pidana yaitu untuk memeras

orang lain, oleh karena persamaan sifat ini keduanya sering

37
disamakan dengan sebutan “pemerasan” bahkan diatur dalam

bab yang sama pula.

Secara garis besar bahwa bentuk pemerasan ada 2 (dua)

yaitu :

1. Pemerasan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

(Pasal 368 ayat (1) KUHP); dan

2. Pemerasan dengan menista atau ancaman menista

(Pasal 369 ayat (1) KUHP).

Selain hal itu, kedua tindak pidana tersebut juga disebut

dengan nama sendiri yaitu “pemerasan” untuk tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 368 KUHP dan “pengancaman” unutuk

tindak pidana dalam Pasal 369 KUHP yang berbunyi :

(1) “Barang siapa dengan maksud hendak


menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak, memaksa orang dengan ancaman akan
menistadengan lisan atau menista dengan tulisan, atau
dengan ancaman akan membuk rahasia, supaya orang
itu memberikan barang, yang sama sekali atau
sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau
orang lain, atau supaya orang itu membuat utang, atau
menghapuskan piutang, dihukum karena mengancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun.”
(2) Kejahatan ini hanya dituntut atas pengaduan orang
yang dikenakan kejahatan itu.”38

Ketentuan tindak pidana pemerasan yang diatur dalam

Pasal 368 KUHP merupakan delik biasa, sedangkan

38
R. soesilo, Op. cit., hlm. 257.

38
pemerasan dengan menista atau tindak pidana pengancaman

dalam Pasal 369 adalah delik aduan. 39

Ketentuan tindak pidana pemerasan yang diatur dalam

Pasal 368 KUHP merupakan delik biasa, sedangkan tindak

pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUHP adalah delik

aduan. Persamaan dan perbedaan tindak pidana pemerasan

dengan tindak pidana pengancaman menurut Mukhlis, Tarmizi,

dan Ainal Hadi dalam buku Hukum Pidana (2009:238), yaitu :

1. Persamaan

a) Perbuatan materiilnya masing-masing berupa memaksa;

b) Perbuatan memaksa ditujukan pada: orang tertentu;

c) Tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan;

memaksa: agar orang menyerahkan benda, memberi

hutang dan atau menghapuskan piutang;

d) Unsur kesalahan masing-masing berupa maksud yang

ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hukum.

2. Perbedaan40

a) Cara-cara digunakan dalam melaksanakan perbuatan

materiilnya, yaitu :

39
Sylverio Chris Talinusa, “Tindak Pidana Pemerasan dan/atau Pengancaman Melalui
sarana Internet Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008:, Jurnal Lex Crimen,
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulagi, Vol. IV Nomor 6, agustus 2015, hlm. 166.
40
Lutfi Chakim, 2017, ”Afpersing dan Afdreiging,
http://www.lutfichakim.com/2017/07/afpersing-danafdreging.html?m=1 Diakses pada
tanggal 28 Februari 2022 pukul 01.49 WITA.

39
(1) Pada pemerasan, menggunakan kekerasan atau

ancaman kekerasan

(2) Pada pengancaman, menggunakan ancaman

pencemaran dan akan membuka rahasia.

b) Pemerasan adalah tindak pidana biasa sedangkan

pengancaman merupakan tindak pidana absolute;

c) Ancaman pidananya.

Tindak pidana pemerasan dan tindak pidana pengancaman

dapat digolongkan perbarengan perbuatan pidana dan bertalian

dengan pemberian sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 65-

71 KUHP yang ketentuannya apabila seseorang melakukan

beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan tersebut berdiri

sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak harus sejenis dan

tidak harus saling berhubungan).41

Menurut Adami Chazawi, bahwa tindak pidana pemerasan

dan pengancaman diatu dalam bab yang sama dalam KUHP

karena kedua perbuatan ini memiliki sifat yang sama yang

terlihat jelas pada perbuatan materil dan juga unsur yang sama

yaitu memaksa.42 Unsur-unsur tindak pidana pemerasan dengan

menista antara lain :43


41
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Op. cit., hlm. 130.
42
Adami Chazawi, 2003, Kejahatan terhadap Harta Benda, Bayu Media, Malang, hlm. 48-
49.
43
Siti Astari Putri Hatta, 2018, “Tinjauan Yuridis Dasar Keputusan Hakim Terhadap tindak
Pidana Pemerasan dengan Ancaman Kekerasan (Studi Putusan Hakim No.
89/Pid.B/2017/PN Sgm)”, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, Makassar, hlm. 32-33.

40
a. Unsur Objektif :

1) Perbuatan memaksa;

2) Yang dipaksa; orang

3) Memaksa dengan cara :

(a) Pencemaran nama baik (tertulis atau tidak tertulis)

(b) Akan memnuka rahasia.

4) Tujuan :

(a) Sasaran akan memberikan suatu barang yang

sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan sasaran.

(b) Sasaran memberikan hutang

(c) Sasaran menghapuskan piutang.

b. Unsur Subjektif :

1) Dengan

a. Unsur Subjektif :

1) Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

2) Melawan hukum.

Persamaan Pemerasan dengan Pengancaman :44

1. Perbuatan materil adalah memaksa;

2. Perbuatan memaksa dilakukan pada orang tertentu;

3. Tujuan/akibat dari memaksa agar orang lain memberikan

barang, memberikan hutang atau menghapuskan piutang;

44
Fajar Hardiman, 2017, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan
Ancaman Kekerasan (Studi Kasus Putusan No. 43/Pid.B/2015/PN Mrs)”, Skripsi,
Fakultas Hukum Universtias Hasanuddin, Makassar, hlm. 35-36.

41
4. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara

melawan hukum.

Perbedaan Pemerasan dengan Pengancaman :

1. Cara yang digunakan :

a) Pada pemerasan, dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan.

b) Pada pengancaman, dilakukan dengan ancaman

pencemaran nama baik atau ancaman membuka rahasia.

2. Tindak pidana pemerasan dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan merupakan delik biasa, sedangkan pemerasan

dengan menista adalah delik aduan.

3. Ancaman pidana pada tindak pidana pemerasan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 368 KUHP)

maksimal Sembilan tahun dan dapat diperberat sedangkan

tindak pidana pemerasan dengan menista atau

pengancaman (Pasal 369 KUHP) maksimal empat tahun

dan tidak dapat diperberat.

Ancaman kekerasan yang dimaksud adalah memberi

peringatan atau pertanda akan dilakukannya suatu hal yang

membahayakan dengan menggunakan jasmani. Sedangkan

maksud Kekerasan membuat seseorang cedera (bahkan

menyebabkan kematian) termasuk memukul dengan tangan

dan sebagainya. Secara substansi yang merupakan tindak

42
pidana disini adalah pemerasannya bukan pengancamannya.

Hal ini dikarenakan pemerasan dilakukan dengan cara

mengancam (pengancaman) berupa kekerasan. Pengancaman

hanyalah cara untuk melakukan pemerasannya yang biasa

diikuti dengan kekerasan.

Dari berbagai literatur dan rumusan pemerasan penulis

menyimpulkan bahwa pemerasan atau pengancaman ditujukan

untuk kepentingan atau keuntungan diri sendiri atau orang lain

yang pertanggungjawabannya diperuntukkan kepada pelaku

seorang perseorangan atau secara bersama jika dilakukan oleh

dua orang atau lebih.

C. Tinjauan Umum Terhadap Pendaki Gunung dan Peraturannya

Pendakian merupakan suatu olahraga ekstrem fanatik

dipenuhi petualangan yang membutuhkan keterampilan, kekuatan,

kecerdasan yang tinggi. Bahaya dan tantangan yang menjadi daya

tarik adalah penguji untuk menyatu dengan alam.

Pendakian merupakan suatu aktivitas yang dilakukan di alam

bebas dengan perjalanan bukit demi bukit menaiki pengunungan.

Segala aspek pada pegunungan adalah hal yang asing bagi organ

tubuh kita apalagi mereka yang tidak terbiasa beraktivitas di alam

lepas atau mereka yang hidup di perkotaan harus memerlukan

43
kesiapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di hutan atau

gunung.45

Akhir-akhir ini aktivitas mendaki gunung bukan lagi merupakan

sesuatu yang langka, tidak lagi dilakukan oleh oraang-orang

tertentu (Pecinta Alam) namun telah dilakukan oleh orang-orang

kalangan umum. Oleh karena itu kita tidak bisa beranggapan

bahwa segala hal yang berkaitan dengan aktivitas ini menjadi

bidang keterampilan, dalam mendaki banyak hal yang harus kita

ketahui seperti aturan-sturan pendakian, persiapan dan

perlengkapan dan lainnya.46

Para pendaki gunung melakukan aktivitas di gunung dengan

mematuhi aturan, baik itu aturan secara umum maupun aturan

khusus di daerah pendakian tertentu dan berlandaskan kode etik

pecinta alam yang berkaitan erat dengan peraturan dan undang-

undang, seperti pelanggaran yang dilakukan dengan memetik

bunga Edelweis yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Konservasi Sumber Daya, Vandalisme di gunung

dapat dijerat Pasal 105 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya.

Beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pendaki gunung : 47


45
Rifqi Abdurrahman, 2015, Profil VO2Max dan Profil Mental Toughness Pendaki Pamor
14 Peaks expedition IV, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, hlm. 6.
46
Erone, 2010, Materi Pengetahuan Pecinta Alam (PAPAS), Lembaga Pecinta Alam
Pasundan, Bandung, hlm. 2. https://vibdoc.com/materi-pengetahuan-pecinta-alam-
papas-5f0c36d78bd89.html. Diakses pada tanggal 3 Maret 2022 pukul 00.48 WITA.
47
Kompas.com, 11 Aturan yang Mesti Kamu Patuhi Kalau Ingin Mendaki Gunung
Sindoro, https://travel.kompas.com/read/2019/07/10/220000727/11-aturan-yang-mesti-
kamu-patuhi-kalau-ingin-mendaki-gunung-sindoro?page=all diakses pada tanggal 3

44
1. Sopan, baik dalam tingkah laku, perbuatan dan ucapan;

2. Wajib lapor di petugas administrasi dan basecamp sebelum

dan sesudah pendakian;

3. Wajib lapor barang bawaan;

4. Dilarang berbuat mesum, asusila;

5. Dilarang membawa senjata tajam, senapan, obat-obatan

terlarang;

6. Dilarang membuang sampah sembarangan.

Selain itu, adapun beberapa yang menjadi aturan paling umum

dan menjadi motto dan etika pendakian, yaitu :48

1. Dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar

2. Dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu

3. Dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak.

Orang-orang yang menekuni orang ini dapat mengetahui

bahwa orang awan pun dapat melaksananan dan menikmati

aktivitas tersebut dengan pengawasan. Aturan-aturan yang

diabaikan lebih banyak efek negative daripada makna ektivitas ini.

Kode etik pecinta alam yang di dalamnya menuntut kesadaran

pendaki sangatlah penting untuk saling menghargai sesame

manusia, menghargai alam dan Tuhan. Aturan dalam kode etik

Maret 2022 pukul 01.02 WITA.


48
Materi Pendidikan Dasar Pecinta Alam KPA MARIO Soppeng, tanggal 26-27 November
2016 di Hutan Pendidikan KPA MARIO Air Terjun Bemputu – Puncak Batu Makkadae,
Desa Bulue Kecamatan Marioriawa Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

45
apabila dilaksanakan maka akan terjamin untuk menjauhkan

pendaki dari pelanggaran.

Prinsip Pecinta Alam :

1. Menghargai dan bertanggungjawab kepada alam.

2. Pemahaman kondisi secara fisik dan kontrol diri dalam menjaga,

memelihara, mempertahan dan memperbaiki alam sesuai

kebutuhan.

3. Pemahaman lingkungan dalam memanfaatkan dan memetik

makna dan nilai yang dibutuhkan dan tidak meninggalkan jejak

negatif.

4. Kemampuan dan pemahaman kemanusiawian. Menyadari dan

mengamalkan sepenuhnya kerja sama antara sesame

komponen alam yang saling menguntungkan.49

Dalam kode etik terdapat kalimat “menghormati tata

kehidupan yang berlaku pada masyarakat” sekita gunung. Harapan

masyarakat cukup sederhana, dengan menghormati gunung

sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat setempat, jangan

mengotori gunung dengan sampah. Sampah makanan dan

minuman, sampah visual, sampah suara dan berbuat asusila. 50

Namun tidak sedikit ditemukan pasangan pendaki yang berbuat

asusila di saat aktivitas pendakian, meskipun aturan setempat


49
Pariwisata Pecinta Alam, Apa Saja Prinsip Dasar dan Petualangan Pecinta Alam,
https://www.dictio.id/t/apa-saja-prinsip-dasar-dan-petualangan-pecinta-alam/17484,
Diakses pada tanggal 8 Maret 2022 pukul 20.12 WITA.
50
Mongabay, Ingat Mendaki Gunung Itu Ada Etika,
https://www.mongabay.co.id/2021/07/11/ingat-mendaki-gunung-itu-ada-etika/ Diakses
pada tanggal 3 Maret 2022 pukul 01.29 WITA.

46
sudah dipertegas dan perbuatan asusila benar sudah jarang

ditemukan namun hal tersebut dapat menjadikan alasan

dilakukannya kejahatan terhadap pendaki gunung.

Ketidak amanan dimungkinkan terjadi pada pendaki dengan

adanya orang yang bertugas menjaga keamanan pendakian atau

disebut dengan Ranger malah justru menjadi pelaku kejahatan

terhadap pendaki gunung. Dalam hal ini perbauatn kejahatan dapat

dilaporkan oleh korban dan apabila pendaki gunung melakukan

aktivitas di Taman Nasionan Gunung maka akan termasuk dalam

wisatawan. Dalam hal ini pendaki sebagai wisatawan akan

mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Perlindungan

keamanan ini berarti setiap wisatawan berhak atas rasa aman

ketika sedang menikmati keadaan dan hal tersebut menjadi

kewajiban pelaku usaha atau petugas untuk memberikan rasa

aman tersebut sehingga wisatawan atau pendaki dapat terhindar

dari musibah yang tidak diharapkan oleh pihak manapun.

D. Tindak Pidana Kesusilaan

Tindak pidana kesusilaan diatur dalam KUHP pada buku

Kedua Bab XIV dan Buku Ketiga VI. Kata “kesusilaan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia berarti “perihal asusila”, “susila” dalam

kamus memiliki arti budi bahasa yang baik, sopan santun dan

beradab. Kata kesusilaan berarti perihal susila yang berarti bahwa

perbuatan itu berkaitan dengan kesopanan, sopan dan santun,

47
beradan, dan adat istiadat serta tata tertib yang baik. Sehingga

menimbulkan pemikiran dalam masyarakat bahwa kesusilaan

adalah perbuatan yang benar dan salah, yang berkaitan dengan

perihal seksual.51

Secara umum. Tindak pidana kesusilaan memiliki arti bahwa

tindak pidana tersebut berkaitan dengan kesusilaan atau etika. Hal

ini menunjukkan bahwa batasan mengenai kesusilaan tidak begitu

sederhana, batasan kesusilaan sesuai dengan keadaan dan nilai

yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. 52 Hal tersebut

dibenarkan oleh R. Soesilo bahwa perbuatan kesusilaan terkadang

sangat bergantung dengan pendapat umum pada waktu dan

tempat perbuatan itu berlangsung. 53

Dalam delik kesusilaan sangat rumit untuk merumuskan

perbuatan- perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam delik ini,

pada kenyataannya bahwa kejahatan terhadap kesusilaan tidak

hanya tentang seksual saja, nilai-nilai kesusilaan tidak hanya

terdapat dalam diri pribadi melainkan juga dalam lingkungan rumah

tangga dan kehidupan dalam bermasyarakat. 54 Kejahatan terhadap

kesusilaan menurut KUHP dikenal dengan istilah misdrijven tegen

de zeden yang secara khusus diatur dalam Buku II Bab XIV yang
51
Mudzakkir, “Analisis Atas Mekanisme Penanganan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Kesusilaan”, Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah, Kementerian Hukum dan HAM RI,
Yogyakarta, hlm.12.
52
Firgie Lumingkewas, “Tindak Pidana Kesusilaan dalam KUHP dan RUU KUHP serta
Persoalan Keberpihakan Terhadap Perempuan”, Jurnal Lex Crimen, Universitas Sam
Ratulangi, Vol. V Nomor 1, januari 2019, hlm. 22.
53
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 205.
54
Mudzakkir, Loc. it.

48
terdiri atas 20 ketentuan pidana. Bentuk-bentuk kejahatan terhadap

kesusilaan diantaranya :55

1. Menampilkan materi asusila di depan umum

a) Tindakan melanggar kesusilaan secara terbuka (Pasal


281 ke-1 KUHP);
b) Tindakan menyebarluaskan materi asusila (pasal 282
KUHP);
c) Tindakan mempermudah akses materi asusila (Pasal
283 KUHP).
2. Tindakan pergundikan (overspel);

3. Tindakan pencabulan;

4. Tindakan perkosaan;

5. Tindakan asusila terkait pengguguran kandungan atau

pencegahan kehamilan;

6. Tindakan melanggar kesopanan.

Menurut KUHP, secara yuridis delik kesusilaan terdiri dari 2

(dua) kelompok yaitu Kejahatan Kesusilaan yang diatur dalam Bab

XIV Buku II Pasal 281-303 KUHP dan Pelanggaran Kesusilaan

yang diatur dalam Bab V Buku III Pasal 532-547 KUHP.

Yang termasuk daam Kejahatan Kesusilaan dalam KUHP antara

lain :56

1. Melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 281);

55
Hwian Christinto, 2017, “Kejahatan Kesusilaan – Penafsiran Ekstensif dan Studi
Kasus”, Edisi Pertama, Suluh Media, Yogyakarta, hlm. 43-65.
56
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 204-223.

49
2. Meyakinkan, mempertunjukkan, membuat, menawarkan dan

sebagainya tulisan, gambar, benda yang melanggar

kesusilaan (Pasal 282-283);

3. Melakukan zina, perkosaan dan hal lain yang berhubungan

dengan melakukan atau menghubungkan atau memudahkan

perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);

4. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal

297);

5. Mengenai pengobatan untuk menggugurkan kandungan

(Pasal 299);

6. Mengenai minuman memabukkan (Pasal 300);

7. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan lainnya (Pasal

301);

8. Penganiayaan hewan (Pasal 302);

9. Perjudian (Pasal 303);

Adapun yang termasuk dalam Pelanggaran Kesusilaan dalam

KUHP antara lain :57

1. Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang

bersifat porno (Pasal 532-533);

2. Mengenai dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 535-

539);

57
Ibid. hlm. 341-349.

50
3. Perlakuan tindak susila terhadap hewan (Pasal 540, Pasal

541, dan Pasal 544);

4. Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);

5. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda-benda

berkekuatan gaib atau member pelajaran ilmu kesaktian

(Pasal 546);

6. Memakai jimat sebagai saksi di persidangan (Pasal 547).

Unsur-unsur dalam Pasal 281 KUHP disebutkan bahwa

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun

delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah :

a) Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar

kesusilaan

b) Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada

pada tempat itu bertentangan dengan hendaknya melanggar

kesusilaan.

Jadi yang termasuk unsur dalam delik ini adalah :

- Barang siapa;

- Dengan sengaja;

- Melanggar kesusilaan;

- Di muka umum.

Unsur ‘barang siapa’ meliputi seorang pria atau seorang

wanita yang belum ataupun telah dalam ikatan pernikahan. Unsur

51
‘dengan sengaja’ berarti melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan kesusilaan yang didasari oleh niat.58

1. Tindak Pidana Pemerkosaan

Pemerkosaan merupakan perbuatan criminal yang bersifat

memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual

biasanya dengan kekerasan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang berarti

bahwa menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan

kekerasan, menggagahi atau melanggar dengan kekerasan.

Sedangkan pemerkosaan adalah proses, cara, perbuatan

memerkosa.59

Perkosaan adalah penetrasi alat kelamin dengan paksaan

yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu :60

a) Common Law Rape yaitu perkosaan terhadap wanita yang

cukup umur.

b) Statutory Rape yaitu perkosaan terhadap wanita di bawah

umur; memiliki unsur phedofilia.

c) True Rape yaitu perkosaan yang berulang kali untuk

menyalurkan nafsu seksual dengan agrefitas.

Pengertian perkosaan dari pendapat beberapa ahli yaitu : 61

58
Mudzakkir, Op. cit., hlm. 19-22.
59
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. cit., hlm. 1164.
60
Muhammad Ansori Lubis dan Lestari Victoria Sinaga, “Tindak Pidana Eksploitasi
Seksual (Perkosaan) Oleh Orang Tua Tiri Terhadap Anak d Bawah Umur (Studi Putusan
PN Medan No. 1599/Pid.B/2007/PN Mdn)”, Jurnsl Rectum, Universitas Darma Agung, Vol
2 Nomor 2, Juli 2020, hlm. 93.

52
a) Menurut Prodjodikoro bahwa perkosaan terjadi jika seorang

laki-laki memaksa perempuan bukan isterinya untuk

bersetubuh dengannya, sehingga seemikian rupa ia tidak

melawan dan dengan terpaksa melakukan persetubuhan.

b) Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bahwa pemerkosaan

merupakan usaha melampiaskan nafsu seksual seorang

laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara

melanggar aturan hukum.

c) Menurut R. sugandi, pemerkosaan merupakan keadaan

dimana seorang pria memaksa seorang wanita bukan

isterinya untuk melakukan persetubuhan dengan ancaman

kekerasan, dimana kemaluan pria telah masuk ke dalam

lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian

mengeluarkan air mani.

Sedangkan menurut KUHP, perkosaan diatur dalam Pasal

285 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa


wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengannya,
dihukum, karena memerkosa, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun”.62

Dalam pasal tersebut mensyaratkan harus ada

persetubuhan dengan yang bukan merupakan isterinya disertai

61
Muchlisin Riadi, Pengertian, Jenis dan Tindak Pidana Perkosaan,
https://www.kajianpustaka.com/2017/10/pengertian-jenis-tindak-pidana-perkosaan.html,
Diakses pada tanggal 3 Maret 2022 pukul 02.40 WITA.
62
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 210.

53
dengan ancaman kekerasan yang ditandai dengan penetrasi

penis ke lubang vagina dalam hubungan seksual baik dengan

ancaman atau kekerasan fisik terhadap korban.

Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis dapat

menyimpulkan bahwa perkosaan adalah suatu penetrasi, walau

sedikit, dengan telah masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam

dalam kelamin perempuan atau hubungan badan yang dilarang,

yang dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita yang bukan

merupakan isterinya tanpa persetujuan, persetubuhan tidak sah

yang dilakukan dengan ancaman kekerasan fisik.

2. Pengaturan tentang Tindak Pidana Pemerkosaan

Kejahatan perkosaan Dalam KUHP diatur dalam Pasal

285 sampai dengan pasal 288, ketiga pasal tersebut diatur

dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan,

meskipun pasal lainnya menggunakan pendekatan bersetubuh,

hanya Pasal 285 yang menggunakan kata Perkosaan. Ketiga

pasal tersebut mengandung unsur yang sama yaitu

persetubuhan di luar ikatan perkawinan.

Bunyi ketiga pasal tersebut antara lain : 63

1. Pasal 285 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan

yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum,

63
Ibid., hlm. 210-211.

54
karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-

lamanya dua belas tahun”.

2. Pasal 286 KUHP berbunyi : “Barang siapa bersetubuh

dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang

diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak

berdaya, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan

tahun”.

3. Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi : “Barang siapa

bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya,

sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa

umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak

nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu balum

masuk masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-

lamanya Sembilan tahun’. Ayat (2) berbunyi :”Penuntutan

hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau

umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika

ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.”

Perbandingan substansi dalam Pasal 285, 286, dan 287 KUHP yaitu :

Pasal 285 KUHP :  Unsur-unsur : pelaku perkosaan,


kekerasan atau ancaman kekerasan,
paksaan, perempuan yang bukan isteri,
persetubuhan di liar pernikahan.
 Objek : wanita tanpa batas umur
dengan paksaan.
 Pemidanaan : hukuman penjara

55
maksimal dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP :  Unsur-unsur : pelaku perkosaan,
perempuan bukan isteri yang pingsan
atau tidak berdaya, persetubuhan.
 Objek : wanita dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya.
 Pemidanaan : hukuman penjara
maksimal Sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP :  Unsur-unsur : pelaku perkosaan,
persetubuhan, perempuan yang bukan
isteri di bawah umur.
 Objek : perempuan berumur 15 tahun,
belum masa kawin, atau tidak jelas
umurnya.
 Pemidanaan : hukuman penjara
maksimal Sembilan tahun.

a. Unsur – Unsur dalam Pasal 285 KUHP

1) Unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan”

Kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP

menurut Adami Chazawi adalah “suatu cara atau upaya

berbuat yang ditujukan pada orang lain untuk

mewujudkannya dengan menggunakan kekuatan badan

yang besar, dimana mengakibatkan orang lain menjadi

tidak berdaya secara fisik”. Kemudian ancaman kekerasan

adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan kepada

orang yang pada dasarnya merupakan perbuatan fisik

berupa perbuatan persiapan kekerasan, yang akan dan

memungkinan segera dilakukan kekerasan apabila

ancaman tersebut gagal.

56
2) Unsur “memaksa”

Memaksa yaitu perbuatan yang dilakukan terhadap

orang lain dengan menekankan hal yang bertentangan

dengan kehendak orang lain itu agar menerima kehendak

pelaku.

3) Unsur “seorang wanita”

Secara tegas dalam pasal tersebut bahwa objek atau

korban dirumuskan harus seorang wanita. Seorang

yangberjenis kelamin wanita (ciri-ciri fisik : memiliki

payudara, memiliki vagina, dapat hamil, dapat

menstruasi, dan lainnya) yang bukan istri atau tidak

terikat perkawinan.

4) Unsur “bersetubuh”

S.R. Sianturi berpendapat bahwa bersetubuh dalam

Pasal 285 ini adalah memasukkan kemaluan pria ke

dalam kemaluan wanita sedemikian rupa sehingga dapat

mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan pria hanya

sekedar menempel di atas kemaluan wanita itu tidak

dapat diklaim sebagai persetubuhan, melainkan

57
pencabulan dalam arti sempit (Pasal 289 KUHP). Secara

medis bersetubuh adalah melakukan hubungan kelamin

(tidak disyaratkan ejakulasi) cukup jika telah

memasukkan penis ke dalam vagina seorang wanita.

5) Unsur “di luar pernikahan”

Unsure ini berarti bahwa pelaku dengan korban tindak

pidana tidak terkait dalam suatu pernikahan yang sah,

dengan kata lain bahwa korban bukan isteri pelaku

sehingga apabila suami memperkosa isterinya tidak

termasuk dalam unsur ini.64

Sanksi pidana merupakan ancaman yang dibuat untuk

menangani pelanggaran-pelanggaran manusia yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya kejahatan di kemudian hari yang

berdasar atau berpedoman dari peraturan perundang-

undangan. Pemidanaan tindak pidana pemerkosaan dapat

dilihat dalam Pasal 285 KUHP dan kekerasan seksual juga

dapat diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

Pasal 46 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah

Tangga yaitu setiap orang dapat dipidana penjara selama 12

tahun atau denda sebanyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh

64
Anugrah Rizki Akbari, Adery Ardhan Saputro, dan Bela Annisa, Reformasi Pengaturan
Tindak Pidana Pemerkosaan, Edisi Pertama, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Australia Indonesia
Partnership for Justice, Jawa Barat, hlm. 28-52.

58
enam juta rupiah) jika terbukti melakukan perbuatan

sebagaimana dalam Pasal 8 huruf a undang-undang ini. 65

Dalam Pasal 285 KUHP secara tegas bahwa pelaku akan

dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun yang jika

dilihat dari sisi beratnya, hukuman ini sudah termasuk dalam

kategori sangat berat, akan tetapi kenyataannya kasus

pemerkosaan, pelecehan atau kekerasan seksual masih tetap

banayk ditemukan seakan-akan tidak ada hukuman yang

membuat jera.

E. Analisis Kualifikasi Tindak Pidana Pemerasan dengan

Ancaman Pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana

Dalam putusan perkara nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp atas

nama terdakwa Anton Junned alias Anton, Rahmat bin Suhendri

alias Amaik, dan Aulia Hidayat bin Amal Hidayat alias Dayat, yang

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “pemerasan” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal

368 ayat (1) KUHP.

Setelah membaca dan menelaah literatur perundang-

undangan yang berkaitan dengan hasil pengumpulan data yang

relevan dengan penelitian penulis pada rumusan masalah

pertama ini, maka penulis akan menganalisis dan

65
Teo Dentha Maha Pratama, Anak agung Sagung Laksmi dewi, dan Ni Made Sukaryati
Karma, “Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Perspektif Perlindungan Hukum
Perempuan”, Jurnal Interpretasi Hukum, fakultas Hukum Universitas Warmadewa,
Denpasar-Bali, hlm. 193-194.

59
mengkualifikasikan perbuatan tindak pidana pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan dalam pandangan hukum pidana yang

pada Putusan tersebut dijeratkan Pasal 368 ayat (1) Jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam KUHP Bab I menjelaskan bahwa hukum pidana

merupakan payung hukum dalam melindungi kepentingan-

kepentingan dan menjelaskan mengenai ketentuan dan aturan-

aturan pidana. Pada perkara dalam putusan Nomor

XX/Pid.B/2021/PN Pdp, terbukti bahwa perbuatan tersebut

merupakan tindak pidana pemerasan sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 368 KUHP, namun dalam perbuatan tersebut terdapat

dua cara yang dilakukan untuk memeras yaitu dengan ancaman

kekerasan dan ancaman pemerkosaan.

Berdasarkan hasil analisis, menurut penulis Penuntut Umum

kurang tepat da;lam mendakwakan para Terdakwa dengan

dakwaan tunggal atas tindak pidana Pemerasan yang dilakukan,

hal ini dikarenakan berdasarkan kasus posisi yang telah penulis

uraian bahwa para Terdakwa telah terbukti melakukan tindak

pidana Pemerasan dengn ancaman kekerasan dan ancxaman

pemerkosaan yang dapat didasarkan pada 2 (dua) Pasal yaitu

Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP.

Pemerasan yang dilakukan dengan ancaman kekerasan

dengan memukul-mukulkan golok atau parang ke tanah depan

60
tenda dan mengancam dapat membuat kaki para korban putus

dengan golok tersebut secara jelas memenuhi unsur “kekerasan

atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, jadi

tindakan ancaman dengan golok atau dengan kata lain pemerasan

yang dilakukan dengan ancaman kekerasan tersebut dikualifikasi

ke dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Menurut penulis, kekeliruan dalam mendakwakan dakwaan

yaitu tidak memperhatikan tindakan ancaman pemerkosaan yang

menjadi fakta hukum dan diterangkan oleh para saksi. Penulis

memiliki fokus kajian pada ancaman pemerkosaan terhadap korban

pemerasan. Dalam perkara tersebut para Terdakwa tidak hanya

melakukan ancaman kekerasan dengan golok (parang), namun

juga secara lisan mereka mengancam akan memaksa untuk

berhubungan badan atau memerkosa korban (perempuan) secara

bergiliran (ramai-ramai), ditelanjangi, digelandang (diarak)

sepanjang jalan jika tidak memberikan uang damai (hasil

pemerasan) kepada para Terdakwa dengan nominal yang cukup

besar.

Ancaman pemerkosaan tersebut penulis kualifikasikan ke

dalam Pasal 369 ayat (1) KUHP yaitu Pasal pemerasan dengan

Menista. Hal ini (ancaman pemerkosaan) tidak dapat

dikualifikasikan ke dalam “kekerasan atau ancaman kekerasan” yng

dimaksud dalam Pasal 89 KUHP sebagaimana kekerasan yang

61
termuat dalam rumusan pasal pemerasan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan (Pasal 368 KUHP), karena batasan

“kekerasan” dalam konsep ini adalah membuat orang pingsan, atau

tidak berdaya lagi (lemah). Sedangkan ancaman pemerkosaan

yang dilakukan para Terdakwa bukanlah membuat korban lemah

atau tidak berdaya atau membuat pingsan, namun mengancam

korban dengan perkataan saja. Sehingga tindak pidana tersebut

tindak hanya terkualifikasi dalam Pasal 368 KUHP saja karena

ancaman pemerkosaan juga terbukti dan hal tersebut juga

termasuk delik yang menjadi cara memeras atau bahkan dapat

menjadi delik tersendiri.

Pemerasan yang dilakukan dengan ancaman pemerkosaan

penulis kategorikan sebagai penistaan berdasarkan kronologi

perkara yang telah penulis uraikan sebelumnya. Pemerasan

dengan menista diatur dalam PAsal 369 KUHP yang berbunyi :

(1) “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri


sendir atau orang lain dengan melawan hak, memaksa
seseorang dengan ancaman akan menista dengan lisan atau
menista dengan tulisan, atau dengan ancaman akan membuka
rahasia, supaya orang itu memberikan sesuatu barang, yang
sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu
sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu
membuat hutang atau menghapuskan piutang, dihukum
karena mengancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun”.
(2) Kejahatan ini hanya dituntut atas pengaduan orang yang
dikenakan kejahatan itu”.

62
Diketahui bahwa kejahatan pemerasan terdapat 2 (dua)

macam yaitu Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP, perbedaannya

terletak pada alat atau cara untuk memaksa, ialah dalam Pasal 368

KUHP digunakan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pemerasan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan) sedangkan dalam

Pasal 369 KUHP digunakan akan menista atau menista dengan

surat atau akan membuka rahasia sehingga kejahatan ini disebut

dengan Pemerasan dengan menista.

Berkaitan dengan Pasal 369 ayat (1) tersebut, terdapat unsur-

unsur menista, menista dengan tulisan dan ancaman akan

membuka rahasia. Menista atau ancaman menista, menista

dengan tulisan secara definitif diatur lebih jelas dalam Pasal 310

KUHP (Pasal Penghinaan) karena menista merupakan salah satu

jenis dari pada penghinaan. Sebagaimana pada ayat (1) mengatur

mengenai menista dengan lisan yang berbunyi :

“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik


seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu
perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya
tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman
penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“.

Pasal 310 ayat (1) KUHP tersebut memberikan penjelasan

mengenai menista atau ancaman menista (smaad) yaitu

menyerang kehormatan atau nama baik dan harga diri seseorang

dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud agar tuduhan

63
tersebut diketahui oleh umum. Berikut urian singkat unsur- unsur

dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP untuk membuktikan unsur

‘menista’ dalam rumusan Pasal 369 ayat (1) KUHP berdasarkan

kronologi kejadian dan fakta-fakta hukum:

a. Barangsiapa

Unsur barangsiapa merupakan unsur pelaku atau

subjek dari delik atau tindak pidana, dalam hal barangsiapa

berarti bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku dalam delik

tersebut. Dalam perkara ini, subjek atau pelaku adalah

Terdakwa I Anton Junned, Terdakwa II Rahmat,

danTerdakwa III Aulia Hidayat.

b. Dengan sengaja

Unsur dengan sengaja adalah unsur kesalahan yang

berupa tindakan yang diketahui akibatnya, dikehendaki dan

disadari dan menjadi niat oleh pelaku mengenai perbuatan

tersebut yang tidak selaras dengan hukum dan hak orang

lain. Dalam hal ini subjek atau pelaku dengan sadar atau

mengetahui bahwa yang diperbuatnya adalah kesalahan

untuk menyerang kehormatan orang lain dengan

menuduhnya melakukan suatu perbuatan.

c. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain

64
Unsur menyerah kehormatan atau nama baik orang lain

bukan perbuatan fisik melainkan perasaan akan kehormatan

dan harga diri korban. Dalam hal ini, perkara

XX/Pid.B/2021/PN Pdp penyerangan kehormatan terhadap

korban dengan diancam akan dipaksa berhubungan badan

atau diperkosa bergiliran secara ramai-ramai, ditelanjangi,

digelandang atau diarak sepanjang jalan.

d. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu

Menuduh dalam konteks ini berarti menuduh

melakukan hal yang bernilai negatif atau hal yang

menyebabkan tertekannya kehormatan seseorang, tuduhan

berupa perbuatan tertentu bukan hal-hal lain seperti

melontarkan kata kasar atau tidak sopan kepada seseorang.

Tuduhan melakukan suatu perbuatan sebagaimana dalam

perkara XX/Pid.B/2021/PN Pdp bahwa pelaku atau para

Terdakwa melakukan kejahatan bermula dari menuduh para

korban (Pendaki) melakukan perbuatan asusila.

e. Dengan maksud yang nyata supaya tuduhan diketahui oleh

umum

Unsur dengan maksud berarti dengan niat atau dengan

tujuan, bahwa tuduhan tersebut disiarkan untuk diketahui

oleh umum. Para Terdakwa bermaksud akan melaporkan di

65
pos pendakian atau ke petugas patrol perbuatan asusila

tersebut jika para korban tidak memberikan uang damai.

Unsur-unsur dalam Pasal 310 KUHP terpenuhi sehingga

ancaman pemerkosaan tersebut merupakan perbuatan menista.

kemudian untuk memperjelas apakah kejahatan ini merupakan

kejahatan Pasal 369 ayat (1) KUHP makan akan diuraikan dengan

singkat pula unsur-unsur dalam Pasal 369 ayat (1) KUHP tersebut,

unsur-unsur yang dimaksud antara lain (a) barangsiapa; (b) dengan

maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum; (c) dengan menista atau ancaman menista, atau

menista dengan tulisan, atau akan membuka rahasia; dan (d)

memaksa seseorang memberikan barang yang sebagian atau

seluruhnya adalah kepunyaan orang itu atau orang lain supaya

membuat hutang atau menghapuskan piutang.

Oleh karena unsur “barang siapa” dan unsur “dengan

ancaman akan menista atau menista dengan tulisan atau akan

membuka rahasia” telah terpenuhi pada uraian Pasal 310 ayat (1)

KUHP sebelumnya, maka sisa unsur dalam Pasal 369 ayat (1)

KUHP yang penting diuraikan antara lain :

a. Unsur “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum”

Dalam hal ini para Terdakwa dengan tujuan untuk

mendapatkan manfaat, kegunaan atau keuntungansebagai

66
hasil atau akibat dari perbuatan yang dilakukan untuk dirinya

sendiri atau orang lain, dengan perbuatan yang melawan hak

atau melawan hukum yang berarti perbuatan yang dilarang

oleh undang-undang. Para pelaku mengharapkan

keuntungan sebagai akibat dari pemerasannya dengan

kisaran Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) namun karena

para korban tidak memiliki uang dengan jumlah yang

banyak, akibat perbuatannya hanya menghasilkan Rp.

1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dengan 4

(empat) unit handphone.

b. Unsur “memaksa seseorang memberikan sesuatu barang

yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang itu atau

orang lain, atau supaya membuat hutang atau

menghapuskan piutang”

Unsur ini bersifat alternatif, apabila salah satu unsure

terpenuhi maka tidak harus membuktikan unsure yang

lainnya. Memberikan barang sesuatu tidak harus diberikan

atau diserahkan kepada para Terdakwa dan apabila sesuatu

barang tersebut diberikan, orang yang menyerahkannya

tidak harus dari yang terperas, bisa saja diserahkan oleh

orang lain.

Membuat hutang dalam perkara ini bahwa terperas

dengan petindak melakukan perjanjian agar yang terperas

67
memberikan sejumlah uang yang diminta, dengan perjanjian

bahwa para terperas akan kembali ke rumah untuk

mengambil uang dan memberikan kepada petindak berarti

pelaku telah membuat korban tersebut berhutang.

Kemudian, unsur selanjutnya dari rumusan Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP yaitu “orang yang melakukan, yang menyuruh

melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”, unsur

tersebut merupakan unsur alternatif. Berdasarkan dari fakta yang

terungkap dan keterangan para Terdakwa yang saling berkaitan

satu sama lain bahwa pada 28 Desember 2020, Terdakwa I Anton

Junned, mengajak Terdakwa II Rahmat dan Terdakwa III Aulia

Hidayat untuk melakuakan pemerasan dengan sasaran pada

Pendaki yang ramai di BKSDA pendakian gunung Marapi, sehingga

terbukti mereka melakukan perbuatan “turut melakukan perbuatan”.

Oleh karena tindak pemerasan tersebut dilakukan oleh 2 (dua)

orang atau lebih secara bersama-sama, maka penulis juga tertarik

unutk menguraikan unsure yang dapat memberatkan tindak pidana

yang diatu dalam Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-2

KUHP yaitu unsur :

“dilakukan bersama-sama oleh 2 (dua) orang atau lebih”

Berdasarkan fakta yang terungkap bahwa pada hari

Selasa Tanggal 29 Desember 2020 sekira pukul 04.30 WIB,

bertempat di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)

68
Pendakian Gunung Marapi Nagari Koto Baru, Kecamatan X

Koto, Kabupaten Tanah Datar. Terdakwa I bertugas

melakukan patroli terhadap para Pendaki Gunung Marapi

yang mana Pos BKSDA tempat tugas Terdakwa I belum

mempunyai izin resmi dari Pemerintah ataupun Kepolisian,

kemudian Terdakwa I mengajak Terdakwa II dan

Terdakwa III untuk berpatroli yang mana pada saat itu

Terdakwa II membawa golok yang ditaruh di dalam tas

loreng;

Bahwa kemudian sekitar pukul 04.30 WIB, saat para

Korban sedang berada di dalam tenda (kemah) di lokasi

BKSDA Gunung Merapi Koto Baru, tiba-tiba datang para

Terdakwa, saat itu Terdakwa II tiba-tiba membuka tenda dan

menanyakan alasan di dalam tenda serta langsung meminta

kepada (Alm.) Saudara Riski dan Saksi I untuk keluar tenda

kemudian Saksi I keluar bersama (Alm.) Saudara Riski,

sedangkan Saksi II dan Saksi III tetap di dalam tenda

(kemah);

Bersadarkan uraian tersebut bahwa atas pertimbangan itu,

unsur “dilakukan secara bersama-sama oleh 2 (dua) orang atau

lebih” menurut penulis telah terpenuhi.

Bersadarkan penjelasan di atas bahwa Pemerasan yang

dilakukan oleh para Terdakwa berangkat dari sebuah perbuatan

69
menyerang kehormatan orang lain dengan tuduhan telah berbuat

asusila yang kemudian menakuti-nakuti akan disebarkan atau

dilakukan dengan bentuk menista agar dapat memperoleh hasil dari

kejahatan memeras, apabila nantinya tidak memberikan sejumlah

uang maka korban akan diperkosa ramai-ramai oleh para

Terdakwa. Sehingga perbuatan Pemerasan dengan Ancaman

Pemerkosaan tersebut dikualifikasi oleh penulis ke dalam Pasal

369 ayat (1) KUHP yaitu kejahatan Pemerasan dengan Menista.

Oleh karena dalam kejahatan tersebut terdapat 2 (dua) model

ancaman yang digunakan untuk memeras dan ancaman kedua

adalah ancaman kekerasan dengan memukul-mukulkan golok

sambil mengatakan golok ini bisa mematahkan kaki kalian. Kedua

ancaman yang dilakukan untuk memeras tersebut diatur dalam

pasal yang berbeda, maka menurut penulis dakwaan yang tepat

untuk didakwakan kepada para Terdakwa adalah Dakwaan

Subsidair, yaitu :

PRIMAIR : melanggar ketentuan Pasal 368 ayat (2 jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

SUBSIDAIR : melanggar ketentuan Pasal 369 ayat (1) jo

Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sehingga menurut analisis penulis, bahwa tindak pidana

dalam Putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp dikualifikasi sebagai

70
bentuk Pemerasan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

(Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) dan

Pemerasan dengan menista (Pasal 369 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP).

Dalam pelaksanaannya, pemerasan tersebut dapat pula

diperberat karena memenuhi unsur pemerasan dengan pemberatan

(Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP). Akan tetapi

berdasarkan fokus kajian penulis yaitu “Pemerasan dengan

ancaman pemerkosaan” termasuk dalam perbuatan Pemerasan

dengan menista (369 ayat (1) KUHP).

Dalam pembahasan delik, tindakan pemerasan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan termasuk dalam delik biasa

atau perbuatan tersebut dapat diproses tanpa ada aduan atau

persetujuan dari pihak yang dirugikan.

Sedangkan tindakan Pemerasan dengan ancaman

pemerkosaan ini termasuk dalam delik aduan yang hanya akan

diproses oleh pihak berwajib jika terdapat pengaduan atau laporan

dari pihak yang dirugikan atau dikenakan kejahatan itu. Tindakan ini

termasuk pula delik aduan relatif, yaitu jika tindakan dilakukan

dalam lingkup keluarga atau rumah tangga sebagaimana dalam

Pasal 367 KUHP, pelaku tidak dihukum atau hanya dituntut apabila

terdapat pengaduan dari pihak yang terkena kejahatan.

71
72
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PENERAPAN HUKUM PIDANA


TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN ANCAMAN
PEMERKOSAAN BERDASARKAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
PUTUSAN NOMOR XX/Pid.B/2021/PN Pdp

A. Tinjauan Umum Tentang Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pengertian pemidanaan menurut pandangan Sudarto

pemidanaan adalah persamaan dari penghukuman, yang

berasal dari kata hukum yang berarti memutuskan hukuman

atau menetapkan tentang hukumnya. Oleh karena menetapkan

hukum bukan bidang hukum pidana saja ada juga perdata,

maka diartikan lebih sempit menjadi penghukuman dalam

perkara pidana sehingga disebut pemidanaan atau penjatuhan

pidana.66 Pemidanaan dapat diartikan sebagai penetapan sanksi

dalam hukum pidana. Kata “pidana” itu sendiri berarti hukum

pada umumnya dan “pemidanaan adalah “penghukuman”.

Pemidanaan merupakan bagian dari hukum pidana yang

tidak mempunyai prinsip dan sangat sewenang-wenang,

menurut Ahli Kriminologi Amerika Serikat, N. Moris dan G.

Hawkins. Bersadarkan penelitiannya, pemidanaan tidak

mempunyai pedoman yang jelas sehingga hakim pidana akan

sulit melaksanakan tugas dengan baik yang dapat menimbulkan


66
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Op. cit., hlm.84.

73
praktik pemidanaan berkesan sewenang-wenang. Oleh karena

itu aparat penegak hukum harus menyelidiki apakah pelaku

sudah melawan hukum atau tidak, sudah bersalah atau tidak,

untuk menghindari kesewenangan.67

2. Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan dalam fungsi hukum pidana adalah

untuk mencapai tujuan akhir yaitu perlindungan masyarakat dan

mengaktualkan kesejahteraan. Ditempatkan sebagai salah satu

penanggulangan kejahatan dalam hukup pidana unutk

mengatasi masalah kejahatan dalam bidang hukum dan bidang

sosial untuk kesejahteraan masyarakat.68

Keberadaan pemidanaan dalam hukum pidana bertujuan

untuk menakut-nakuti seseorang atau seluruh orang agar tindak

melakukan kejahatan dan untuk menyadarkan seseorang yang

telah melakukan kejahatan untuk tidak mengulanginya dengan

mendidik atau menjadikan orang-orang lebih baik sehingga

dapat kembali ke dalam kesejahteraan masyarakat.

Teori Tujuan Pemidanaan69

67
Tina Asmarawati, 2014, Pidana dan Pemidanaan dalam sistem Hukum di Indonesia
(Hukum Penitensier), Edisi Pertama, Deepublish, Yogyakarta, hlm. 131-132.
68
Noveria Devy Irmawati dan Barda Nawawi Arief, “Urgensi Tujuan dan Pedoman
Pemidanaan dalam rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana”, Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 3 Nomor
2 Tahun 2021, hlm. 222.
69
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Op. cit., hlm. 84-87.

74
1. Teori Retribusi, dalam teori ini pemidanaan dipandang

sebagai akibat yang mutlak sebagai suatu pembalasan

kepada pelaku kejahatan, pemidaan adalah pemberian

penderitaan dan apabila pelaku tidak merasakan

penderitaan berarti hal ini gagal.

2. Teori Deterrence, dalam teori ini pemidanaan dipandang

memiliki tujuan lain daripda tujuan dalam teori retribusi,

tujuan tersebut adalah tujuan yang lebih bermanfaat lagi

yaitu diberikan sanksi bukan karena melakukan kesalahan

tapi untuk tidak melakukan kejahatan.

3. Teori Rehabilitasi, selain tujuan untuk memberikan

penderitaan pada teori sebelumnya, tujuan yang terdapat

dalam teori ini yaitu untuk memperbaiki dan memperbarui

pelaku.

4. Teori Incapacitation, teori ini memberikan perlindungan

terhadap masyarakat pada umumnya dari perbuatan yang

berbahaya dan meresahkan seperti terorisme dan

perkosaan secara berulang-ulang. Pidana mati termasuk

dalam teori ini.

5. Teori Resosialisasi, teori ini bertujuan memberikan sosialisai

atau akomodasi dalam memenuhi kebutuhan sosial pelaku

kejahatan, biasanya diberikan pada masa akhir hukuman

sebelum masa kebebasan.

75
6. Teori Reparasi, Restitusi dan Kompensasi. Reparasi adalah

melakukan ganti rugi dari akibat perbuatan kejahatan,

Restitusi adalah mengembalikan atau memperbaiki hal yang

berkaitan dengan status atau kepemilikan, sedngkan

Kompensasi adalah pembayaran atas kerusakan atau

perintah melakukan tindakan lain oleh pengadilan kepada

pelaku kerusakan.

7. Teori integratif, dalam teori ini pemidanaan dipandang

sebagai hal yang memiliki pengaruh berupa penjeraan,

pencegahan, atau perbaikan hal yang rusak dalam

kehidupan masyarakat.

3. Jenis – Jenis Pidana dan Prinsip Penjatuhan Pidana

KUHP sebagai sumber utama hukum pidana telah

merumuskan jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 yang terbagi

menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :70

Pidana Pokok :

(a) Pidana mati;

(b) Pidana penjara

(c) Pidana kurungan

(d) Pidana denda;

(e) Pidana tutupan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 1946).
70
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 34. Dan Kristian, “Jenis-Jenis Sanksi Pidana yang Dapat
Diterapkan Terhadap Korporasi”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Universitas Khatolik
Parahyangan Bandung, Nomor 2 tahun ke-43 April-Juni, hlm. 276.

76
Pidana Tambahan:

(a) Pencabutan hak-hak tertentu;

(b) Perampasan barang-barang tertentu;

(c) Pengumuman keputusan hakim.

Berdasarkan sistem KUHP, pidana pokok hanya dapat

dijatuhkan satu jenis, meskipun suatu tindak pidana diancam

dengan beberapa jenis sanksi pidana pokok maka Hakim harus

memilih salah satu pidana pokok tersebut untuk dijatuhkan.

Berikut uraian jenis pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP :

1. Pidana Pokok

a) Pidana Mati

Pidana mati merupakan pidana terberat dan menjadi

sorotan pro kontra dari berbagai kalangan. Menurut

sebagian kalangan sarana paling ampuh dalam

penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan adalah

pidana mati, namun sebagian dari mereka pula

beranggapan bahwa pidana mati bertentangan dengan

perikemanusiaan dan merupakan hukuman paling

kejam.

b) Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana

hilang kemerdekaan. Pidana penjara terdiri atas 2 (dua)

77
macam yaitu penjara sementara dan seumur hidup.

Pidana penjara tidak hanya bertujuan sebagai

pembalasan pemberian penderitaan Terpidana atas

perbuatan namun juga untuk memberikan pembinaan

dan pembimbingan kepada Terpidana agar tidak

mengulangi lagi kejahatan yang telah diperbuatnya dan

kembali menjadi orang yang berguna dalam

masyarakat.71

c) Pidana Kurungan

Pidana kurungan merupakan pidana perampasan

kemerdekaan yang sama halnya dengan pidana

penjara,72

a) Pidana Kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan

juga merupakan pidana perampasan kemerdekaan,

perbedaan terletak pada sifat pidana kurungan lebih

ringan jika dilihat dari pelaksanaannya, perbedaan

lainnya bahwa terpidana penjara dimana saja dapat

ditempatkan sedangkan pidana kurungan tidak dapat

sembarang ditempatkan tanpa persetujuan di luar dari

tempat kediamannya (Pasal 21 KUHP). Pekerjaan

terpidana kurungan lebih ringan dibandingkan dengan


71
Zuleha, 2017, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Cetaka Pertama, Deepublish,
Yogyakarta, hlm, 95.
72
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Op. cit., hlm. 89-90.

78
terpidana penjara hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (2)

KUHP. Terpidana kurungan boleh memperbaiki

hidupnya dengan biaya sendiri.73

Berikut uraian penjelas persamaan dan perbedaan

pidana penjara dengan pidana kurungan : 74

Persamaan :

(1) Pidana hilang kemerdekaan bergerak

(2) Maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang

karna alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi

maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun

yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan.

Minimum umum pidana penjara maupun kurungan

sama 1 hari. Sedangkan maksimum khusus

disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana

tertentu secara sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi

semua tindak pidana, bergantung pada pertimbangan

berat ringannya tindak pidana.

(3) Diwajibkan untuk menjalankan (bekerja) pekerjaan

tertentu, walaupun untuk narapidana kurungan lebih

ringan dibanding narapidan penjara.

(4) Sama dalam tempat menjalani pidana penjara pidana

kurungan, tapi harus dipisah (pasal 28 KUHP).

73
Suyanto, Op. cit., hlm. 87.
74
Zuleha, Op. cit, hlm. 96.

79
(5) Mulai berlaku pada hari putusan Hakim

dijalankan/dieksekusi, saat terpidana dimasukkan ke

dalam lembaga pemasyarakatan.

Perbedaan :

(1) Pidana kurungan dijatuhkan pada kejahatan culpa,

pidana penjara dijatuhkan pada kejahatan dolus

dan culpa.

(2) Ada dua macam Pidana kurungan yaitu kurungan

principal dan subsidair.

(3) Pidana bersyarat tidak terdapat dalam pidana

kurungan.

(4) Perbedaan berat ringannya pemidanaan, dan berat

ringannya pekerjaan untuk terpidana.

(5) Terpidana kurungan mempunyai hak memperbaiki

keadaannya.

b) Pidana denda adalah ancaman alternatif dengan pidana

penjara atau alternative pidana kurungan dan

perumusannya secara tunggal.75

c) Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946,

Hukuman tutupan adalah hukuman pokok baru yang

menggantikan hukuman penjara dalam hal mengadili

orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan

hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang


75
Ibid.

80
patut dihormati. Namun aturan tersebut tidak berlaku

apabila cara atau akibat dari perbuatan itu menyebabkan

Hakim berpendapat bahwa hukuman penjara lebih

ditepat dijatuhkan.76

d) Pidana Tambahan

Pidana tambahan yaitu penambah hukuman, dijatuhkannya

suatu pidana tambahan harus bersama-sama dengan

dijatuhkannya pidana pokok. Jenis pidana tambahan antara

lain :

a) Pencabutan hak-hak tertentu

Dalam pidana ini tidak semua hak terpidana dihapus,

pencabuatn hak ini tidak meliputi hak hisup, hak perdata

dan hak ketatanegaraan. Pencabutan hak tidak bersifat

otomatis, dan tidak berlaku seumur hidup, harus

berdasar dari putusan hakim dan undang-undang. Hak-

hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUHP, antara

lain :77 yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUHP,

yaitu:

(1) Hak memegang jabatan tertentu;

(2) Hak memasuki kekuasaan bersenjata;

(3) Hak memilih dan dipilih pada pemilihan berdasarkan

pemilihan umum;

76
R. Soesilo, Op. cit., hlm. 35.
77
Ibid, hlm.55.

81
(4) Hak menjadi pengurus atau penasihat menurut

hukum, wali pengawas, pengampu pengawas atas

orang yang bukan anaknya sendiri;

(5) Hak untuk menjalankan kekuasaan bapak, wali atau

pengampuan atas anak sendiri;

(6) Hak menjalankan pekerjaan tertentu.

b) Perampasan barang – barang tertentu

Pidana ini adalah pidana terhadap kekayaan, menurut

pasal 39 KUHP terdapat dua macam barang yang dapat

dirampas, yaitu barang yang didapat karena kejahatan

dan barang yang dengan sengaja digunakan dalam

melakukan kejahatan. Barang yang dirampas diserahkan

ke pemerintah, di stor ke kas Negara atau dirusal dan

dimusnahkan.

c) Pengumuman putusan hakim

Pidana tambahan pengumuman putusan hakim

dijatuhkan pada hal-hal yang tertentu saja oleh undang-

undang. Dalam pelaksanaannya jarang ditemukan hakim

menjatuhkan pidana ini. Saat hakin memerintahkan

bahwa putusan akan diumumkan menurut undang-

undang maka ditetapkanlah cara melaksanakan perintah

atas biaya terpidana. Jika terpidana tidak membayar

biaya perkara pidana tambahan ini maka akan diganti

82
dengan pidana penjara atau pidana kurungan pangganti

pidana denda.78

Prinsip Penjatuhan Pidana terhadap tindak pidana umum

yaitu :79

a) Tidak boleh dijatuhkan pidana pokok secara kumulatif

b) Pidana pokok bersifat imperative (keharusan)

sedangkan pidana tambahan bersifat fakultatif (pilihan)

c) Pidana pokok dapat dijatuhkan tanpa pidana tambahan

d) Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan tanpa pidana

pokok, pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan

bersama dengan pidana pokok.

B. Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Jalannya suatu proses peradilan akan diakhiri dengan suatu

putusan hakim.80 Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

yang secara khusus putusan terbagi dua yaitu Penetapan dan

Putusan Pengadilan. Pengertian Putusan Peradilan diatur

dalam Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum acara

Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP :

78
Alexandra E.J. Timbuleng, “Tindak Pidana di Bidang Perizinan Menurut Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cagar Budaya”, Jurnal Lex Crimen, Fakultas
Hukum Universitas Sam ratulangi, Vol. IX Nomor 2, April – Juni 2020, hlm.33.
79
Andi Sofya dan Nur Azisa, Op. cit., hlm. 91.
80
Suyanto, 2018, Hukum Acara Pidana, Edisi Pertama, Zifatama Jawara, Sidoarjo –
Jawa Timur, hlm. 132.

83
“Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”81

Putusan adalah titik akhir atau puncak dari seluruh

rangkaian proses hukum acara. Putusan merupakan hal yang

penting bagi para pencari keadilan untuk memperoleh kepastian

hukum mengenai status atas dirinya dan bagi Hakim merupakan

tahta cerminan keadilan dan kebenaran.

Setiap putusan hakim diharapkan harus memuat ketiga nilai

hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan

secara proporsional. Namun dalam pelaksanaannya ketiga nilai

tersebut diantaranya sering terjadi pertentangan sehingga

mengakibatkan suatu putusan terkadang tidak memuat ketiga

unsur secara bersamaan.82 Dalam mewujudkan ketiganya maka

putusan hakim merupakan wujud harapan pencari keadilan

melalui mekanisme yang panjang dalam melaksanakan dan

menegakkan hukum. Putusan Hakim merupakan suatu

pernyataan hakim berdasarkan kewenangannya sebagai

pejabat Negara yang diucapkan dalam sidang terbuka umum

untuk mengakiri perkara kedua pihak.83

81
Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana)
82
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2013, Perbedaan Pendapat dalam Putusan
Pengadilan, Medpress, Yogyakarta, hlm. 26.
83
Margono, 2019, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum dalam Putusan
Hakim, sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm.118.

84
2. Jenis – Jenis Putusan Hakim

Dalam sistem hukum acara pidana dikenal dua jenis putusan

pada pokoknya yaitu : (1) Putusan pengadilan yang bukan

merupakan putusan akhir, dan (2) Putusan akhir. Putusan akhir

terdiri dari :84

a. Pemidanaan, adalah putusan yang dikeluarkan sesuai hasil

pemeriksaan di persidangan, terdakwa terbukti bersalah

secara sah maka dijatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1)

KUHAP.

b. Putusan Bebas (Vrijspraak), terdakta tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah berdasarkan pemeriksaan

maka pengadilan membebaskan dari segala dakwaan.

c. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van

Alle Recht Vervolging), Pasal 191 ayat (2). Perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti namun bukan tindak

pidana, diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

C. Pertimbangan Hukum hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Pertimbangan hakim adalah suatu hal yang mempertimbangkan

sanksi yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang disusun

berdasarkan fakta-fakta keadaan dan pembuktian dari pemeriksaan

84
Irawan Harahap, “Jenis Putusan Pengadilan Perkara Pidana”, https://yuridis.id/jenis-
putusan-pengadilan-perkara-pidana/, dan Rendra Topan, “3 (Tiga) Jenis Putusan akhir
atas Perkara Tindak Pidana dalam Persidangan, https://rendratopan.com/2018/12/3-tiga-
jenis-putusan-akhir-atas-perkara-tindak-pidana-dalam -persidangan/, Diakses pada
tanggal 6 Maret 2022 pukul 23.32 WITA.

85
yang menjadi dasar putusan. Pertimbangan terdiri atas

pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis.

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis mendominasi pada pemikiran hakim

dalam memutus perkara. Pertimbangan yuridis merupakan

pertimbangan hakim yang mengacu pada faktor-faktor yang

terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang telah

ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan.

Dasar pertimbangan ini adalah ketentuan dalam hukum pidana

yang digunakan sebagai pemandu dalam menimbang dan

memutus perkara.85

Ketentuan Pasal 197 KUHAP bahwa Pertimbangan

hukum dapat memberatkan dan meringankan terdakwa maka

suatu putusan harus disertakan pertimbangan yang

memberatkan dan meringankan terdakwa, agar dapat

mempengaruhi putusan tersebut. Tidak adanya formulasi terkait

aturan pemidanaan pada kebanyakan undang-undang khusus

di luar KUHP dapat mencantumkan pidana minimum khusus

dalam rumusan deliknya yang akan berpotensi menimbulkan

masalah yuridis pada penerapannya. Dalam hal ini ketika hakim

85
Marcella, “Analisis Terhadap Putusan hakim Berupa Pemidanann terhadap Perkara
Tindak Pidana anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Lex Crimen, Vol. VI Nomor 1, Januari-Februari 2017, hlm.
26.

86
yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan, dihadapkan

pada fakta banyaknya faktor-faktor yang memengaruhi pidana. 86

Peranan Hakim dalam pengambilan keputusan sebagai

hal yang pasti tidak dilakukan begitu saja, kewenangan Hakim

untuk memutuskan suatu perkara tidak boleh sewenang-

wenang. Ketentuan mengenai keputusan Hakim diatur dalam

Pasal 197 ayat (1) KUHAP yangberbunyi :

“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta


dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh
dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan-penentuan kesalahan terdakwa”.

Demikian juga dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP bahwa

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang

disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa.

86
Rani Juwita, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam Pemidanaan
Tindak Pidana Narkotika yang Diputus Minimum Khusus dengan Paradigma Positivisme
Hukum”. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Fakultas Hukum, Universitas Riau, hlm.11.

87
Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis antara lain

dakwaan penuntut umum, tuntutan pidana, keterangan saksi,

keterangan terdakwa, barang bukti, dan pasal-pasal yang

terdapat dalam undang-undang yang terkait. 87

2. Pertimbangan Non Yuridis

Hakim dalam menjatuhkan putusan sangat membutuhkan

aspek lain dari pertimbangan yuridis yaitu pertimbangan non

hukum. Pertimbangan yuridis tidak begitu cukup tanpa

dilengkapi pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis,

atau filosofis dapat mengetahui latar belakang terjadinya

kejahatan.

Pertimbangan sosiologis adalah Hakim dalam menentukan

dan menjatuhkan hukuman berdasar pada latar belakang sosial

terdakwa serta memperhatikan juga bahwa apakah hukuman

yang akan dijatuhkan nantinya akan bermanfaat bagi terdakwa

dan masyaraka.88

Secara filosofis, hakim mempertimbangkan bahwa hukuman

yang diberikan adalah upaya untuk memperbiki diri terdakwa

dalam proses pemidanaan, hal ini bernilai filosofis karena

pembinaan pelaku kejahatan sehinggan pelaku memperbaiki diri

87
Marcella, Op. cit., hlm. 26-27.
88
Bella Verawaty arnas, Remon Supusepa, dan Margie Gladies Sopacua, “Pertimbangan
Hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor 306/Pid.B/2020/PN
Ambon Terhadap Perampasan Jenazah Covid-19 dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan”,
TATOHI Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Vol. 1 Nomor 7,
September 2021, hlm. 661.

88
dan tidak kembali melakukan kejahtan, 89 juga dalam perbedaan

pendapat merupakan wujud prinsip kebebasan hakim secara

individual dan melalui hal tersebut hakim bebas

mempertimbangkan sikapnya dalam memutus perkara yang

ditunjang oleh hati nurani dalam persidangan perkara pidana. 90

D. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemerasan


dengan Ancaman Pemerkosaan Berdasarkan Pertimbangan
Hakim dalam Putusan Nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp

1. Identitas Terdakwa

Pengadilan Negeri Padang Panjang mengadili suatu

perkara tindak pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam

tingkat pertama menjatuhkan putusan atas nama Terdakwa :

Terdakwa I :

Atas nama Anton Junned alias Anton yang berusia 38

tahun jenis kelamin laki-laki, lahir di Prabumulih pada

tanggal 5 Maret 1983 yang bertempat tinggal di Jorong

Giriang-Giriang Nagario Sungai Pua, Kecamatan Sungai

Pua, Kabupaten Agam. Beragama Islam dan

berkebangsaan Indonesia berprofesi sebagai Karyawan

Swasta.

89
Rani Juwita, Loc. It.
90
Bella Verawaty arnas, Loc. It.

89
Terdakwa II :

Atas nama Rahmat bin Suhendri alias Amaik yang berusia

24 tahun jenis kelamin laki-laki, lahir di padang Panjang

pada tanggal 12 Mei 1997 yang bertempat tinggal di Jorong

Koto Nan Gadang Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto,

Kabupaten Tanah Datar. Beragama Islam dan

berkebangsaan Indonesia bekerja sebagai Petani.

Terdakwa III :

Atas nama Aulia Hidayat bin Amal Hidayat alias Dayat yang

berusia 19 tahun jenis kelamin laki-laki, lahir di Batusangkar

pada tanggal 16 Mei 2002 yang bertempat tinggal di Jalan

Abdul Hamid RT 011, kelurahan Pasar Usang, kecamatan

Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang. Beragama

Islam dan berkebangsaan Indonesia berprofesi sebagai

Pelajar/Mahasiswa.

2. Posisi Kasus

Kasus ini berada di wilayah Kabupaten Tanah Datar

tepatnya di BKSDA pendakian Gunung Marapi pada hari Senin

tanggal 28 Desember 2020 sekira pukul 23.00 WIB beralamat di

Nagari Koto Baru Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar,

Sumatera Barat.

Kejadian pemerasan terhadap pendaki ini berawal ketika

Anton (Terdakwa I) melihat keramaian dan yang berpasang-

90
pasangan banyak di BKSDA pendakian Gunung Marapi,

kemudian Anton (Terdakwa I) mengajak Amaik (Terdakwa II)

dan Dayat (Terdakwa III) bertemu di Pos Gunung Marapi.

Tanggal 29 Desember 2020 sekira pukul 01.30 WIB bertemu di

Pos Registrasi untuk membuat rencana dan sararan bahwa

mereka akan patrol setiap tenda yang ada berpasangan dengan

melakukan penangkapan dan menuduhnya melakukan

perbuatan asusila. Sekitar pukul 04.30 WIB para Terdakwa

melakukan aksi pada sebuah tenda yang dihuni oleh Saudara

(Alm.) Riski Sandrio Pratama panggilan Risky, Saksi I, Saksi II,

dan Saksi III.

Para Terdakwa melakukan pemerasan atas tuduhan

perbuatan asusila dengan uang damai sejumlah Rp.

8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk denda di Pos atau

sebesar Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah) saja untuk perkepala

jika dibayar langsung saat itu dengan cara mengancam,

memukul-mukulkan golok atau parang ke tenda dan ancaman

pemerkosaan (untuk korban perempuan), bahwa diancam akan

dibawa ke pos lalu diperkosa secara bergiliran, ditelanjangi dan

digelandang (diarak) sepanjang jalan. Selanjutnya para

terdakwa menurunkan jumlah uang yang diminta yaitu sejumlah

Rp. 1.500.00,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per orang

namun para Saksi Korban tidak memiliki uang sehingga mereka

91
menyerahkan masing-masing handphone sebagai jaminan agar

para korban pergi mencari uang yang diminta oleh para

Terdakwa. Setelah para Saksi Korban pergi namun Saksi II dan

Saksi III dicegat serta satu unit sepeda motor ditinggal di

Terdakwa II sebagai jaminan agar Saksi Korban yang pergi

mencari uang dapat kembali menebusnya.

3. Dakwaan

Surat dakwaan menjadi dasar dalam menentukan batas-

batas pemeriksaan dalam persidangan dalam hal ini diketahui

bahwaTerdakwa I Anton Junned alias Anton bersama-sama

Terdakwa II Rahmat bin Suhendri alias Amaik dan Terdakwa III

Aulia Hidayat bin Amal Hidayat alias Dayat pada tanggal 29

Desember 2020 sekira pukul 04.30 atau setidak-tidaknya pada

waktu lain pada bulan Desember 2020, bertempat di BKSDA

pendakian Gunung Marapi Nagari Koto Baru Kecamatan X Koto

Kabupaten Tanah Datar atau setidak-tidaknya tempat lain

dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Panjang,

bahwa telah melakukan pemesaran sejumlah uang terhadap

pendaki dengan tuduhan perbuatan asusila yang diancam

dengan golok dan ancaman pemerkosaan.

Dari perbuatan para Terdakwa tersebut, Jaksa Penuntut

umum mendakwakan dakwaan tunggal, yaitu “dengan maksud

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

92
melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang

seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain atau

supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang

diancam karena pemerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal

368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

4. Keterangan Terdakwa di Persidangan

Pada tahap pemeriksaan dalam persidangan para

Terdakwa diminta keterangan berdasarkan perbuatan yang

telah dilakukannya.

Terdakwa I menerangkan bahwa :

- Terdakwa I mengerti dan tidak mengajukan eksepsi atau

keberatan atas dakwaan Penuntut Umum;

- Terdakwa I belum memiliki izin resmi dari Pemerintah

ataupun Kepolisian untuk bertugas melakukan patrol

terhadap para Pendaki Gunung Marapi di Pos BKSDA;

- Terdakwa I mengajak Terdakwa II dan Terdakwa III dan

membawa golok agar semua perbuatannya lancer untuk

mengambil atau menerima uang maupun barang-barang

yang berharga milik para Pendaki;

- Para Terdakwa telah merencanakan aksinya terlebih dahulu

secara bersama di Pos Registrasi kemudian mencari target

93
atau sasaran, setelah bergerak kea rah lereng gunung para

Terdakwa langsung melihat tenda tersebut;

- Kemudian sekitar pukul 04.30 WIB para Terdakwa

mendatangi tenda yang ditempati oleh (Alm.) Riski , Saksi I,

Saksi II dan Saksi III, saat itu Terdakwa II membawa golok

(parang) dengan tas tentengan, tidak berapa lama kemudian

para Terdakwa mengatakan kepada (Alm.) Saudara Riski,

Saksi I, Saksi II dan Saksi III yang berada di tenda bahwa

mereka telah melakukan perbuatan asusila, dan disaat yang

bersamaan Terdakwa II sambil mengambil golok (parang)

yang Terdakwa keluarkan dari tas warna loreng;

- Kemudian Terdakwa mengatakan kepada (Alm.) Saudara

Riski, Saksi Diki, Saksi Niken dan Saksi Nurul bahwa golok

(parang) yang Terdakwa bawa ini bisa untuk memutuskan

kaki kalian semuanya, sambil Terdakwa II memukul-

mukulkan golok (parang) tersebut ke tanah di dalam tenda

tersebut;

- Kemudian para Terdakwa mengatakan para Saksi Korban

sudah melakukan perbuatan asusila, maka para Terdakwa

meminta untuk menyediakan uang damai dan uang jaminan,

apabila tidak maka akan dibawa ke pos untuk diajak

berhubungan badan secara bersama-sama, atau membayar

sanksi denda nagari uang sejumlah Rp8.000.000,00

94
(delapan juta rupiah) di Pos Gunung Merapi, tetapi kalau

diselesaikan bersama dengan Terdakwa cukup dengan uang

sejumlah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per orang itu

ucapan dari Terdakwa I, dan kemudian Terdakwa I

mendengar ucapan dari Terdakwa II meminta kepada

mereka uang sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus

ribu rupiah);

- Kemudian dikarenakan uang mereka tidak ada dan mereka

ketakutan, kemudian mereka memberikan 4 (empat) buah

handphone kepada Terdakwa, kemudian 2 (dua) buah

handphone tersebut dipegang oleh Terdakwa II dan 2 (dua)

handphone lainnya dipegang oleh Terdakwa III, kemudian

Terdakwa menyuruh mereka mencari uang ke bawah;

- Kemudian Terdakwa pulang ke rumah hingga tiba di rumah

telah ada Terdakwa II bersama dengan Saksi II dan Saksi III

di rumah Terdakwa yang berada di Batu Palano, Kecamatan

Sungai Pua, Kabupaten Agam beserta sepeda motor milik

(Alm.) Riski;

- Tujuan para Terdakwa untuk untuk mengambil handphone

keempat Saksi, menahan sepeda motor milik (Alm.) Riski

maupun memaksa Saksi II dan Saksi III untuk ikut ke rumah

Terdakwa supaya (Alm.) Riski dan Saksi I kembali untuk

95
menyerahkan uang sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima

ratus ribu rupiah) per orang;

- Pada saat Saksi II dan Saksi III berada di rumah Terdakwa,

Terdakwa sempat mengajak untuk menggunakan Narkotika

namun Saksi II dan Saksi III tidak mau dan takut;

- 4 (empat) buah handphone yang diminta oleh para Terdakwa

untuk dijadikan sebagai jaminan antara lain yaitu merek Vivo

Y17 warna biru, merek Samsung Galaxy A20 warna hitam,

merek iPhone 6 warna putih, merek Vivo Y91 c warna hitam

kombinasi biru;

- Pada awalnya Terdakwa hendak memanggil orang tua (Alm.)

Riski, Saksi I, Saksi II dan Saksi III, tetapi mereka memohon

agar orang tua mereka jangan dipanggil sehingga akhirnya

para Terdakwa meminta uang untuk menutup masalah ini;

- Di antara para Terdakwa dengan (Alm.) Riski, Saksi I, Saksi

II dan Saksi III telah terjadi perdamaian.

Terdakwa II memberikan keterangan yang sama dengan

Terdakwa I hanya saja terdapat beberapa poin keterangan

tambahan dari Terdakwa II bahwa :

- Sekitar pukul 07.00 WIB di Pasar Koto Baru Terdakwa

memberhentikan keempat Saksi Korban dan memaksa

membawa sepeda motor korban ke rumah Terdakwa I dan

Terdakwa I mengajak Saksi II dan Saksi III untuk memakai

96
narkoba jenis sabu namun Saksi Nurul dan Saksi Niken tidak

mau;

- Tidak ada tugas patroli pada hari itu, Terdakwa hanya diajak

oleh Terdakwa I;

- Golok yang Terdakwa bawa, tidak Terdakwa keluarkan dari

dalam tas, Terdakwa mengeluarkan golok untuk memotong

kayu yang berada di luar tenda.

Terdakwa III memberikan keterangan yang sama dengan

Terdakwa I tapi juga memiliki beberapa poin keterangan

tambahan bahwa :

- Terdakwa III melihat Saksi II menangis lalu mengatakan

bahwa dia masih perawan dan tidak mau diajak

berhubungan badan, kemudian para Korban masuk ke

dalam tenda untuk membicarakan jalan keluarnya.

5. Tuntutan Penuntut Umum

Tuntutan pidana sesuai dengan uraian kronologis dan

dakwaan Penuntut Umum yang ditujukan kepada ketiga

Terdakwa Anton Junned, Rahmat, dan aulia Hidayat agar

Hakim Pengadilan Negeri Padang Panjang yang memeriksa

dan mengadili perkara ini yang pada pokoknya :

MENUNTUT :

1. Menyatakan Terdakwa I Anton Juned panggilan Anton,

Terdakwa II Rahmat bin Suhendri panggilan Amaik dan

97
Terdakwa III Aulia Hidayat bin Amal Hidayat panggilan Dayat

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana ”pemerasan” sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 368 ayat (1) jo Pasal 55 ayai (1) ke-1

KUHP sebagaimana dalam dakwaan tunggal kami;

2. Menjatuhkan pidana kepada para Terdakwa oleh karena itu

dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu)

tahun;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah

dijalani para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana

yang dijatuhkan tersebut;

4. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) unit handphone merek VIVO Y17 warna biru;

- 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna putih

tanpa Nomor Polisi dengan Nomor Rangka

MH1JF5137CK585445 dan nomor mesin JF51E3576434

tahun pembuatan 2012 atas nama Febrianto;

Dikembalikan pada orang tua dari korban Riski Sandrio

Pratama;

- 1 (satu) unit handphone merek Samsung Galaxy A20

hitam;

Dikembalikan pada Saksi I;

- 1 (satu) unit handphone merek iPhone 6 warna putih;

98
Dikembalikan pada Saksi II;

- 1 (satu unit handphone merek VIVO Y91C warna hitam

kombinasi biru;

Dikembalikan pada Saksi III;

- 1 (satu) buah golok terbuat dari besi yang bertangkai

kayu berbentuk kepala harimau;

- 1 (satu) buah tas sandang kecil berwarna loreng;

Dirampas untuk dimusnahkan;

5. Menghukum para Terdakwa untuk membayar biaya perkara

masing-masing sejumlah Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);

6. Pertimbangan Hakim

Hakim mengambil keputusan berdasarkan fakta dan alat

bukti yang ada dalam persidangan dan diterangkan

pertimbangan hakim merupakan hal dan dasar bagi hakim

dalam mengambil keputusan :

Menimbang, bahwa Terdakwa I Anton Junned panggilan

Anton, Terdakwa II Rahmat bin Suhendri panggilan Amaik dan

Terdakwa III Aulia bin Amal Hidayat panggilan Dayat,

berdasarkan keterangan para Terdakwa maupun keterangan

para Saksi bahwa identitas para Terdakwa tersebut tidak

99
disangkal sehingga tidak terjadi kesalahan subjek hukum yang

diajukan ke dalam persidangan;

Menimbang, bahwa tindakan para Terdakwa yang

mengaku sebagai petugas patroli untuk melakukan razia

kepada pendaki yang sedang bermalam di tenda dan meminta

pembayaran sejumlah uang serta meminta jaminan berupa 4

(empat) unit handphone beserta sepeda motor merek Honda

Beat kepada Saksi I, (Alm,) Riski, Saksi II dan Saksi III, dengan

terlebih dahulu mengatakan bahwa para Korban telah

melakukan perbuatan asusila dan menakut-nakuti apabila

nantinya diselesaikan di pos maka Saksi II dan Saksi III akan

diperkosa ramai-ramai dan Terdakwa II pada saat yang

bersamaan juga memukul-mukulkan golok yang dibawanya ke

arah tanah sambil mengatakan apabila golok ini mengenai kaki

akan membuat kaki putus, merupakan tindakan dengan maksud

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang

sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang itu supaya

membuat hutang maupun menghapuskan piutang;

Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam Pasal

368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal

55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah

100
terpenuhi, maka para Terdakwa haruslah dinyatakan secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagai didakwakan

dalam Dakwaan Tunggal;

Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa mampu

bertanggung jawab, dan perbuatan para Terdakwa tersebut

telah memenuhi unsur dari dakwaan, maka para Terdakwa

harus dinyatakan bersalah atas perbuatannya dan dijatuhi

pidana;

Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan putusan yang

berkeadilan, berkepastian hukum dan berkemanfaatan hukum,

Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan

yang memberatkan pada diri Terdakwa yaitu ;

Keadaan yang memberatkan :

- Bahwa perbuatan para Terdakwa meresahkan

masyarakat;

Keadaan yang meringankan :

- Bahwa antara para Terdakwa dengan para Korban telah

terjadi perdamaian;

- Bahwa para Terdakwa bekum pernah dihukum;

- Bahwa para Terdakwa menyesali perbuatannya dan

berjanji tidak akan mengulanginya.

7. Amar Putusan

101
Putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Padang Panjang

atas dasar dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut umum, dalam

perkara Nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp tanggal 20 Mei 2021,

telah menjatuhkan putusan sebagai berikut :

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa I ANTON JUNNED panggilan

ANTON, Terdakwa II RAHMAT bin SUHENDRI panggilan

AMAIK dan Terdakwa III AULIA HIDAYAT bin AMAL

HIDAYAT panggilan DAYAT tersebut di atas, terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Pemerasan” sebagaimana dalam dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan pidana kepada para Terdakwa oleh karena itu

dengan pidana penjara masing-masing selama 9 (Sembilan)

bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah

dijalani para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana

yang dijatuhkan tersebut;

4. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) unit handphone merek VIVO Y17 warna biru;

- 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna putih

tanpa Nomor Polisi dengan Nomor Rangka

MH1JF5137CK585445 dan nomor mesin JF51E3576434

tahun pembuatan 2012 atas nama Febrianto;

102
Dikembalikan kepada (Alm.) Riski Sandrio Pratama melaui

Saksi Santi Arnida;

- 1 (satu) unit handphone merek Samsung Galaxy A20

hitam;

Dikembalikan pada Saksi I;

- 1 (satu) unit handphone merek iPhone 6 warna putih;

Dikembalikan pada Saksi II;

- 1 (satu unit handphone merek VIVO Y91C warna hitam

kombinasi biru;

Dikembalikan pada Saksi III;

- 1 (satu) buah golok terbuat dari besi yang bertangkai

kayu berbentuk kepala harimau;

- 1 (satu) buah tas sandang kecil berwarna loreng;

Dirampas untuk dimusnahkan;

6. Membebankan kepada para Terdakwamembayar biaya

perkara masing-masing sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu

rupiah).

E. Analisis Penulis

Kasus yang penulis uraikan di atas merupakan kasus

pemerasan yang dilakukan oleh ANTON JUNNED, RAHMAT, dan

AULIA HIDAYAT terhadap Pendaki gunung di BKSDA pendakian

103
Gunung Marapi, Nagari Koto Baru Kecamatan X Koto Kabupaten

Tanah Datar. Akibat perbuatan tersebut, para Korban merasa takut

akan keselamatannya dan melaporkan kejadian tersebut ke

Kepolisian sektor X Koto.

Berdasarkan proses penjatuhan pidana atau penyelesaian

perkara, dapat disimpulkan bahwa dakwaan Penuntut Umum,

tuntutan Penuntut Umum, dan pertimbangan Hakim pengadilan

dalam amar putusannya telah memenuhi unsur dan syarat

dapatnya dipidana terdakwa. Hal ini berdasarkan pada

pemeriksaan persidangan dimana alat bukti yang diajukan oleh

Penuntut Umum termasuk di dalamnya keterangan saksi-saksi dan

keterangan terdakwa, mengakui secara jujur yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,

Hakim Pengadilan Negeri Padang Panjang menyatakan dalam

amar putusannya bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemerasan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) jo Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara

selama 9 (Sembilan) bulan.

Setelah membaca serta menganalisa Putusan Nomoe

XX/Pid.B/2021/PN Pdp, bahwa meskipun dari segi acara pidana

yang berpijak pada dakwaan Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat

(1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah tepat dalam

104
penerapannya. Namun, penulis menyatakan bahwa Jaksa maupun

Majelis Hakim yang menangani perkara tindak pidana pemerasan

dalam puusan tersebut belum tepat dalam melakukan penerapan

hukum, dalam hal Jaksa menuntut terdakwa hanya menggunakan

Pasal 368 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP meskipun

memang benar bahwa yang merupakan delik adalah

“pemerasan”nya namun cara untuk memeras pun harus

diperhatikan karena pemerasan tidak hanya dengan cara

kekerasan atau ancaman kekerasan. Sesuai dengan posisi kasus

dan fakta-fakta yang terungkap di Pengadilan bahwa benar para

Terdakwa telah melakukan pemerasan dengan ancaman

kekerasan yang dapat diperberat karena dilakukan oleh 2 (dua)

orang atau lebih secara bersama-sama sesuai barang bukti yaitu

menggunakan sebuah golok atau parang, dan ancaman

pemerkosaan (menista / ancaman menista). Para Terdakwa

mengakui kesalahannya telah melakukan 2 (dua) macam ancaman

dan menurut penulis perbuatan para Terdakwa memenuhi unsur-

unsur tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan (Pasal

368 ayat (1) KUHP) yang dapat diperberat (Pasal 368 ayat (2) Jo

Pasal 55 ayat (2) ke-2 KUHP) dan pemerasan dengan menista

(Pasal 369 ayat (1) KUHP).

Alasan penulis menyatakan bahwa pemerasan dengan

ancaman kekerasan tersebut dapat diperberat adalah bahwa pasa

105
ayat ke-2 Pasal 368 KUHP menjelaskan bahwa ketentuan ayat

kedua, ketiga dan keempat Pasal 365 berlaku dalam

pasal/kejahatan pemerasan ini. Dalam hal ini berarti bahwa

pemerasan yang diperberat berlaku sama hal nya dengan

pencurian dengan pemberatan, sebagaimana uraian berikut :

1. Pemerasan saat malam hari

Apabila pemerasan dilakukan di malam hari pada sebuah

rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau di

jalan umum, atau di dalam kereta api atau trem yang sedang

berjalan. Diancam hukuman penjara selama-lamanya dua

belas tahun. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 368 ayat (2)

Jo Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP.

2. Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama

Apabila pemerasan dilakukan oleh dua orang atau lebih

secara bersekutu juga diancam penjara paling lama dua belas

tahun sebagai ketentuan dari Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365

ayat (2) ke-2 KUHP.

3. Pemerasan dengan merusak atau menggunakan atribut palsu

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun apabila pemerasan dilakukan dengan masuk ke suatu

tempat dan melakukan dengan merusak atau memanjat, atau

dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau

106
pakaian jabatan palsu, hal tersebut sesuai rumusan Pasal 368

ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP).

4. Pemerasan mengakibatkan luka berat

Masih dengan ketentuan ayat kedua pasal 365 dalam

rumusan pasal 368 bahwa diancam dua belas tahun penjara

jika pemerasan dilakukan hingga menyebabkan orang lain

luka-luka berat, Pasal 368 ayat (2) Jo pasal 365 ayat (2) ke-4

KUHP.

5. Pemerasan yang mengakibatkan kematian

Perbuatan ini diatur dalam ayat ketiga Pasal 365 KUHP

yang berlaku dalam Pasal 368 KUHP yaitu Pemerasan yang

dilakukan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang

diancam pernjara selama-lamanya lima belas tahun, hal ini

sesuai ketentuan Pasal 358 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (3)

KUHP.

Dalam perkara XX/Pid.B/2021/PN Pdp ini tindak pidana

dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersekutu hal

tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365

ayat (2) ke-2 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sehingga

penulis menyatakan bahwa perbuatan tersebut dapat diperberat.

Selain itu berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa Penuntut

Umum kurang tepat dalam mendakwakan terdakwa dengan

dakwaan tunggal atas tindak pidana pemerasan yang dilakukan

107
Terdakwa, penulis merasa bahwa penerapan hukum atas perkara

ini dibuat lebih enteng dari yang seharusnya ditegakkan, boleh jadi

hal tersebut dikarenakan dampak dari perkara ini tidak begitu

nampak atau nyata merugikan bagi masyarakat dalam lingkaran

luas. Menurut penulis seharusnya dakwaan yang didakwakan

sesuai dengan hasil analisis kualifikasi tindak pidana ini pada bab

sebelumnya yaitu dakwaan subsidair, karena melanggar ketentuan

Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (pemerasan

dengan ancaman kekerasan) dan melanggar ketentuan Pasal 369

ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (pemerasan dengan

menista).

Menurut pendapat penulis, apabila seandainya tetap

menggunakan dakwaan tunggal maka dalam perkara ini lebih tepat

dikenakan Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang delik Pemerasan

dengan menista dengan unsur yang telah penulis uraikan pada bab

sebelumnya dan terpenuhi, hal ini dikarenakan “ancaman

kekerasan menggunakan golok” pada perkara tersebut tidak diakui

oleh salah satu Terdakwa yang mengatakan bahwa golok tersebut

hanya untuk memotong kayu yang berada di luar tenda bukan

untuk mengancam kekerasan pada Korban. Sedangkan ancaman

pemerkosaan diakui oleh keempat Terdakwa sehingga penulis

berpendapat bahwa perkara ini lebih tepat dijerat Pasal pemerasan

108
dengan menista (Pasal 369 KUHP). Unsur yang terpenuhi pada

uraian tersebut pada bab sebelumnya adalah :

1. Barang siapa;

2. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum;

3. dengan menista atau ancaman menista, atau menista

dengan tulisan, atau dengan ancaman akan membuka

rahasia; dan;

4. memaksa seseorang memberikan barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang

lain supaya membuat hutang ataupun menghapuskan

piutang.

Begitu pula mengenai pemidanaannya penulis menyatakan

bahwa penjatuhan pidana 9 (sembilan) bulan penjara oleh Majelis

Hakim terbilang ringan dikarenakan semua unsur terpenuhi bahkan

memenuhi unsur yang dapat diperberat, yaitu terpenuhinya unsur

Pasal 368 ayat (1) Jo pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, jadi menurut

penulis hukuman seharusnya lebih tinggi lagi, atau minimal sesuai

dengan tuntutan meskipun telah terjadi perdamaian. Akan tetapi

Hakim dalam menjatuhkan putusan memiliki pertimbangan-

pertimbangan, termasuk hal yang meringankan. Namun tidak

tertutup kemungkinan hukuman penjara tersebut tidak membuat

efek jera bagi pelaku dan tidak menjadi peringatan bagi orang lain

109
untuk tidak melakukan kejahatan yang sama, dikarenakan

kejahatan dalam pendakian semacam itu sangat mudah terjadi

karena tidak sedikit orang memiliki niat jahat dan pendaki juga

mudah tertipu dan percaya demi mematuhi aturan pendakian di

sebuah pegunungan.

Pada dasarnya hakim mempunyai kebebasan dalam

menjatuhkan putusan bagi Terdakwa berdasarkan dari tuntutan

Jaksa, tetapi walaupun demikian Hakim harus benar-benar

mempertimbangkan seluruh aspek bahwa dalam pemidanaan itu

harus memiliki kesan pada psikologi orang yang mengalami suatu

permasalahan.

Terlepas dari hal tersebut, selanjutnya penulis tetap

menganalisis mengenai pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan

putusan atas tindak pidana pemerasan sesuai dengan putusan

yang ada dan diluar dari pendapat dan pernyataan pribadi penulis,

hal ini untuk menganalisis penerapan hukum pidana sesuai dengan

dakwaan dalam putusan yang ada, bukan untuk dakwaan yang

seharusnya menurut penulis.

Bahwa dalam putusan nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp atas

nama Terdakwa ANTON JUNNED, RAHMAT, dan AULIA HIDAYAT

ditemukan pernyataan Hakim bahwa Tersangka terbukti bersalah

melakukan tindak pidana “pemerasan” sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bahwa

110
pernyataan yang terkemuka dalam pertimbangan hukum Hakim

yaitu :

1. Pertimbangan Yuridis

Dalam perkara ini telah diajukan oleh jaksa Penuntut

Umum adanya beberapa alat bukti yaitu : keterangan saksi,

keterangan terdakwa, dan bukti petunjuk sebagaimana alat bukti

yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP.

Bukti petunjuk yaitu penyesuaian antara keterangan saksi

dengan keterangan terdakwa dipersidangan serta barang bukti

yang menunjukkan Terdakwa telah melakukan tindak pidana

sebagaimana di tentukan dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP.

Pertimbangan yuridis yang digunakan oleh hakim dalam

menjatuhkan putusan berdasarkan pada dakwaan penuntut

umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa serta ketentuan-

ketentuan Pasal perundang-undangan yang berkaitan dengan

perkara, sebagai berikut :

- Dakwaan Penuntut Umum mendakwakan terdakwa dengan

dakwaan tunggal, yaitu Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP tentang Pemerasan. Berdasarkan

pertimbangan hakim, segala unsur dari tindak pidana

pemerasan telah terpenuhi dan terbukti, antara lain sebagai

berikut:

(1) Barang siapa;

111
(2) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau

sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain

atau supaya membuat hutang maupun menghapus

piutang;

(3) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan

dan yang turut serta melakukan perbuatan.

- Keterangan saksi yang dipertimbangkan adalah saksi yang

dihadirkan oleh Penuntut Umum yaitu Saksi IV, Saksi

Afriando Fikri, Saksi Santi Arnida, Saksi I, Saksi II, dan

Saksi III. Para Saksi tersebut membenarkan mengenai

barang bukti. Keterangan saksi tersebut merupakan hal

yang memberatkan karena Terdakwa tidak mendatangkan

saksi.

- Keterangan Terdakwa, saat dimintai keterangan para

Terdakwa memberikan keterangan dengan membenarkan

semuanya meskipun saat keterangan Saksi, Terdakwa I

sempat keberatan dan menyatakan tidak pernah memaksa

untuk berhubungan badan dan tidak mengajak Saksi

korban memakai Narkotika jenis Sabu. Namun saat dimintai

keterangan, Terdakwa I membenarkan semuanya.

112
- Pasal-Pasal peraturan Perundang-Undangan terkait yang

digunakan dalam penyelesaian perkara ini adalah Pasal

368 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2. Pertimbangan Non-Yuridis

Pertimbangan non-yuridis didasarkan pada keadaan diluar

aturan perundang-undangan, keadaan yang melekat pada diri

dan masalah pembuat tindak pidana.

a. Keadaan yang memberatkan

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam

persidangan, bahwa hal yang memberatkan adalah

perbuatan para Terdakwa meresahkan masyarakat.

b. Keadaan yang meringankan

(1) Antara para Terdakwa dengan para Korban telah

terjadi perdamaian;

(2) Para Terdakwa belum pernah dihukum;

(3) Para Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji

tidak akan mengulanginya.

Berdasarkan hasil analisis diatas, penulis beranggapan bahwa

pelaksanaan atau proses penerapan sudah tepat namun yang

belum tepat adalah dakwaan dan tuntutan pidana. Penuntut umum

seharusnya mempertimbangkan pula perbuatan “ancaman

pemerkosaan” dan alasan pemberat ancaman pidana agar

113
kualifikasi, tuntutan dan penerapan hukum pidana terhadap tindak

pidana tersebut lebih tepat.

Mengenai pidananya menurut penulis bahwa meskipun pidana

penjara berorientasi menimbulkan efek jera namun tidak tertutup

kemungkinan Terdakwa kembali mengulangi perbuatannya

sehingga perlu adanya sanksi tambahan berupa sanksi sosial atau

sanksi di gunung seperti blacklist pendakian.

Penulis tetap berharap sesuai dengan tujuan penjatuhan

hukuman yaitu memberikan efek jera dan dampak edukasi bagi

Terdakwa untuk tidak mengulangi perbuatan dan dapat menjadi

lebih baik dalam masyarakat juga agar menjadi hal yang ditakuti

orang lain sehingga tidak melakukan kejahatan. Hal ini karena

pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana harus

sesuai dengan kondisi para pelaku dan adil sehingga menjadi

peringatan terbaik untuk terpidana, korban dan juga masyarakat.

114
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis dari penelitian yang telah penulis

paparkan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Tindak pidana pemerasan dengan ancaman pemerkosaan

yang berangkat dari perbuatan menyerang kehormatan dan

harga diri seseorang dengan tuduhan untuk menakut-nakuti

atau lebih tepatnya disebut penistaan, dikualifikasikan ke

dalam Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan

menista. Sedangkan tindak pidana pemerasan yang dilakukan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat

dikualifikasikan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP. Sehingga

dalam perkara tersebut terdapat perbuatan yang dilakukan

oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama telah

melanggar (2) dua ketentuan, yaitu ketentuan Pasal 368 ayat

(1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan ketentuan Pasal 369 ayat (1)

Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2. Hasil putusan nomor XX/Pid.B/2021/PN Pdp menunjukkan

bahwa putusan Hakim di bawah hukuman maksimal Pasal 368

KUHP dan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Meskipun lebih rendah namun hukuman ini adalah hasil

115
pertimbangan-pertimbangan Hakim yang berdasarkan

pelaksanaan penerapan hukum pidana sudah tepat, tapi hal

yang membuatnya belum tepat adalah dakwaan Jaksa

Penuntut Umum yang seharusnya memberikan dakwaan

subsidair karena perkara ini termasuk pemerasan dengan

ancaman kekerasan (Pasal 368 ayat (1) KUHP) dan

Pemerasan dengan menista (Pasal 369 ayat (1) KUHP),

dengan demikian hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang

tepat apabila dakwaan tepat.

B. Saran

Melaui skripsi ini, penulis menyampaikan beberapa harapan

sebagai saran yang terkait dengan penelitian berdasarkan hasil

analisis penulis, harapan tersebut antara lain :

1. Diharapkan dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dan Hakim

harus mengetahui bahwa tindak pidana pemerasan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP

tidak hanya semata-mata dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, harus diperhatikan lagi hal-hal yang

boleh jadi merupakan cara melakukan pemerasan dan dapat

didakwakan dengan Pasal lain selain Pemerasan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan. Juga harusnya

dibuktikan secara nyata adanya penyerahan barang sebagian

atau seluruhnya milik orang lain yang bertentangan dengan

116
kehendaknya sendiri, dikarenakan adanya ancaman

kekerasan dan penistaan atau ancaman yang bersifat

menyerang kehormatan.

2. Diharapkan Majelis Hakim dalam mengambil keputusan harus

lebih mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan, unsur-unsur delik, dan pertimbangan berat atau

ringannya pidana dengan mengacu pada keadaan dan cara

para Terdakwa maupun kerugian korban, sehingga mendorong

kayakinan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidananya. Selain

sanksi pidana, diharapkan juga kepada pemerintah dan

masyarakat yang berperan aktif sebagai petugas pendakian

untuk memberikan sanksi sosial berupa mamasukkan nama

para Terdakwa ke dalam daftar hitam (blacklist) di seluruh

pendakian gunung sehingga menciptakan suasana yang

kondusif dan harusnya aktivitas di pengunungan lebih

diperketat aturannya.

117

Anda mungkin juga menyukai