Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PIDANA, BEBAS DAN

LEPAS BERHUBUNGAN DENGAN TEORI


VIKTIMOLOGI

Disusun Oleh :

DESY TASYA SABILLA

02011381924305

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

2022
A. Teori-Teori Viktimologi
Teori modern tentang viktimologi mencoba menjelaskan mengapa beberapa
orang lebih mungkin menjadi korban kenjahatan dibandingkan yang lain. Dalam
hal ini teori modern dalam viktimologi kemudian terbagi menjadi tiga area yaitu,
victim precipitation theory (teori presipitasi korban), lifestyle theory, routine
activity theory dan devian place theory

1. Putusan Pidana
PUTUSAN
Nomor 1888/Pid.B/2020/PN.PLG

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG


MAHA ESA
Pengadilan Negeri Palembang yang mengadili perkara pidana dengan
cara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara terdakwa
1. Nama Lengkap : M. Edison Alias Soni Bin Kramo Jakni
2. Tempat Lahir : Palembang
3. Umur/ Tanggal Lahir : 33 Tahun/26 Juni 1987
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jln. Kadir TKR Lorong Sailun No.1212
Rt.30 Rw.06 Kelurahan 36 Ilir
Kecamatan Gandus Kota Palembang
7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Karyawan Swasta

Terdakwa Doni Alfarizi Bin Indra Supri ditahan dalam tahanan


RUTAN oleh:

1. Penyidik sejak tanggal 29 September 2020 sampai dengan


tanggal 18 Oktober 2020
2. Perpanjangan Oleh Penuntut Umum Sejak tanggal 19 Oktober
2020 sampai dengan tanggal 27 November 2020
3. Penuntut Umum sejak tanggal 25 November 2020 sampai
dengan tanggal 14 Desember 2020
4. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 7 Desember 2020
sampai dengan tanggal 5 Januari 2020

Terdakwa menerangkan disamping oleh Penasihat Hukum dalam


persidangan perkara ini yaitu Hairul Aman, S.H dan Ulul Azmi, S.H,
Pengacara Pos Bantuan Hukuman berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
12 Desember 2020, tersebut setelah diteliti oleh Hakim Ketua lalu
diperlihatkan kepada Penuntut Umum selanjutnya dilampirkan dalam berkas
perkara: Pengadilan Negeri tersebut; setelah membaca:

1. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Palembang Nomor


1888/Pid.B/2020/PN.PLG tanggal 7 Desember 2020 tentang
penunjukan Majelis Hakim
2. Penetapan Majelis Hakim Nomor 1888/Pid.B/2020/PN.PLG tanggal
8 Desember 2020 tentang penetapan hari sidang
3. Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan:

DAKWAAN

Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh


penuntut umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa M.Edison Alias Soni Bin Kramo Jakni (Alm)


telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Dengan sengaja melakukan penganiayaan berat” sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam pasal 354 Ayat 1 KUHP.
2. Menjatuhkan Pidana penjara terhadap terdakwa M.Edison Alias Soni
Bin Kramo Jakni (Alm) dengan pidana penjara selama 8 (delapan)
tahun Penjara, dikurangi selama masa penangkapan dan penahanan
dengan perintah terdakwa teta ditahan
3. Menyatakan barang bukti berupa: N I H I L:
4. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah)

KRONOLOGI KASUS

Bahwa TERDAKWA M.Edison Alias Soni Bin Kramo Jakni (Alm), pada
hari rabu tanggal 18 September 2019 sekira pukul 23.30 WIB atau setidaknya
pada suatu waktu dalam bulan September tahun 2019 bertempatan di lorong sailun
ujung kelurahan 36 ilir kecamatan gandus kota Palembang atau setidaknya pada
suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum pengadilan Negeri
Palembang, bermula pada waktu dan tempat sebagaimana berawal saat saksi
fahmi ditoto bin yahya effendi bersama dengan sdr teri pergi dengan mengendarai
sepeda motor secara berboncengan dengam maksud mencari tahu dengan siapa
kakak saksi fahmi ditoto berkelahi. Kemudian saat melintas di lorong sailun ujung
kelurahan 36 ilir kecamatan gandus kota Palembang lalu saksi fahmi ditoto
bertemu dengan terdakwa yang saat itu sedang berdiri seorang diri kemudian saat
saksi fahmi ditoto bertanya kepada terdakwa perihal dengan siapa kakak saksi
fahmi ditoto berkelahi. Kemudian terdakwa langsung membacok muka saksi
fahmi ditoto yang saat itu sedang duduk didiatas sepeda motor dalam posisi
dibonceng oleh sdr Teri dengan menggunakan 1 (satu) bilah senjata jenis golok
sebanyak 1 (satu) kali sehingga mengakibatkan saksi fahmi ditoto mengalami luka
sebagimana hasil dari Visum Et Repertum Nomor: HK.04.01/XVII.1.20/2019
pada tanggal 02 Oktober 2019 yang ditandatangani oleh dr.Abda Arif,SpBP RE di
Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang dengan kesimpulan terdapat luka
sayat/iris dari mata kanan melewati hidung dan tembus kebibir kiri. Kemudian
setelah itu terdakwa langsung melarikan diri sedangkan saksi fahmi ditoto
langsung berobat dan melaporkan kejadian tersebut kepolrestabes Palembang
untuk di Proses lebih lanjut. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pasal 338 Ayat 1 Jo Pasal 53 Ayat 1 KUHP
MENGADILI :

1. Menyatakan terdakwa M.Edison Alias Soni Bin Kramo Jakni (Alm)


terlah tebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “penganiayaan yang mengakibatkan luka berat”
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa M.Edison Alias Soni Bin
Kramo Jakni dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan 6
(enam) bulan:
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan
5. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.000,00 (dua ribu rupiah)

ANALISIS PUTUSAN

Berdasarkan dari putusan pidana diatas saya berpendapat bahwa kasus


tindak pidana penganiayaan tersebut teramasuk kepada Deviant Place Theory
artinya individu menjadi korban karena mereka tinggal didaerah/area sosial
dengan tingkat kejahatan tinggi yang tidak teratur secara sosial dimana mereka
memiliki resiko terbesar untuk bersentuhan dengan pelaku kejahatan. Untuk
membedakan dengan Lifestyle exposure theory, dalam Deviant Place theory ini
individu ini menjadi korban tidak berkaitan dengan perilaku atau gaya hidup
mereka sendiri. 1 Para korban tidak mendorong terjadinya kriminalitas tetapi
menjadi korban hanya karena mereka berada di daerah yang “buruk”. Misalnya
individu ini berada atau mengunjungi tempat-tempat berbahaya, maka akan besar
kemungkinan mereka terkena kejahatan dan kekerasan.2

Contoh deviant place adalah daerah lingkungan miskin, padat penduduk,


lingkungan dimana property komersial dan residensial saling berdampingan. Jenis
orang yang paling umum tinggal di daerah ini adalah tunawisma, pencandu, sakit

1
L.J. Siegel. Criminology: Theories, Patterns, and Typologies. (Edisi ke-9), CA, Wadsworth
Publishing,2006.
2
Amira Paripurna , Viktimologi dan Sistem Peradilan Pidana , deepublish, Surabaya, 2021.
jiwa, dan lansia. Individu yang tinggal di daerah miskin memiliki resiko yang jauh
lebih tinggi untuk menjadi korban karena mereka tinggal di dekat banyak pelaku
yang termotivasi untuk melakukan kejahatan. Teori ini berpendapat bahwa korban
harus menghindari apa yang disebut sebagai tempat yang buruk atau tempat
dengan tingkat kejahatan tinggi untuk menghindari serangan. Untuk mengurangi
kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan, individu tersebut harus
menghindari daerah yang buruk dimana tingkat kejahatannya tinggi. Jika tingkat
kejahatan tinggi, seseorang harus menghindari tempat-tempat ini sehingga mereka
terhindar dari jatuhnya korban kejahatan.

Sementara itu Mendelson mengemukakan tipologi korban berdasarkan


derajat kesalahannya. Tipologi korban yang dikemukakan oleh Mendelsohn cukup
kontroversial karena Mendelshon percaya bahwa sebagian besar korban memiliki
sikap tidak sadar yang menimbulkan viktimisasi. Dalam hal ini korban dibedakan
menjadi lima macam yaitu: 3

1. Korban sama sekali tidak bersalah. (Dalam kasus Nomor


1888/Pid.B/2020/PN.Llg ini korban sama sekali tidak bersalah karena
korban hanya bertanya kepada pelaku dan secara sengaja pelaku
mengayunkan golok kemuka korban)
2. Yang jadi korban karena kelalaiannya
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah dari pelaku
5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku
dibebaskan).

3
Gaelle L.M. Brotto, Grant Sinnamon, Wayne Petherick. “Victimology and Predicting Victims of
Personal Violence”. In Wayne Petherick, and Grant Sinnamon (eds). The Psychology of Criminal
and Antisosial Behavior: Victim and Offender Perspectives. Elsevier Science & Technology,
2016, h.82-83.
Sementara itu, Stephen Schafer merumuskan tipologi korban dari
persfektif tanggung jawab korban itu sendiri. Menurut terdapat 7 (tujuh)
bentuk, yakni sebagai berikut: 4

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si


pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari
aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
(Dalam Kasus Nomor 1888/Pid.B/2020/PN.Llg korban juga memiliki
peran dalam kejahatan ini karena korban menanyakan pertanyaan yang
membuat pelaku kesal sehingga pelaku mengayunkan golok ke muka
korban)
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus
dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek
ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek
pertanggungjawaban terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak
berdaya;
5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan
sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh
terletak pada penjahat atau masyarakat

4
Ibid, h.85
6. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggungjawabannya
sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku
kejahtaan;
7. Political victims adalah orang yang menentang mereka yang berkuasa.

Sedangkan ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya


kejahatan, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa bentuk, yakni
sebagai berikut;

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak


kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penaggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau
pemicu kejahatan
8. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki
perilaku lain sehingga memudahkan dirinya mejadi korban (Dalam Kasus
Nomor 1888/Pid.B/2020/PN.Llg korban tidak menyadari bahwa perilaku
korban dapat membuat pelaku marah sehingga terjadinya pertengkaran ;
4. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri;

Selain dari perspektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai


suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang
dikemukakan oleh Wolfgang dan Thorsten Sellin. Mereka menyajikan
tipologi korban berdasarkan situasi korban daripada karakteristik atau
hubungan pribadi mereka. Tipologi korban menurut Wolfgang dan Thorsten
Sellin meliputi:

9. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi


korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok) (Dalam Kasus
Nomor 1888/Pid.B/2020/PN.Llg korban adalah sendiri bukan kelompok
1. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya
badan hukum
2. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas
3. Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
4. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan
korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu hasil produksi.
2. Putusan Lepas

PUTUSAN
Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN.MDN

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG


MAHA ESA

Pengadilan Negeri Medan yang mengadili perkara pidana dengan cara


pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai
berikut dalam perkara terdakwa
1. Nama Lengkap : Imelda Chrisanty Gultom
2. Tempat Lahir : Binjai
3. Umur/ Tanggal Lahir : 39 Tahun/13 Juni 1979
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jl. Perwira III No. 131 Kel. Sunggal Kec.
Medan Sunggal/ Jl. Melati Raya No.18
Komplek Pemda Tanjung Sari Kec.
Medan Selayang
7. Agama : Kristen Katolik
8. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Terdakwa Imelda Chrisanty Gultom tidak ditahan, terdakwa


menghadap sendiri, Pengadilan Negeri tersebut Setelah membaca:

- Penetapan ketua pengadilan Negeri Medan Nomor


3453/Pid.Sus/2017/PN.Mdn tanggal 4 Desember 2017 tentang
penunjukan Majelis Hakim;
- Penetapan Majelis Hakim Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN.Mdn
tanggal 5 Desember 2017 tentang penetapan hari sidang;
- Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan; setelah
mendengar keterangan saksi-saksi, dan terdakwa serta
memperhatikan barang bukti yang diajukan dipersidangan;

DAKWAAN

Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh


penuntut umum yang pada pokoknya sebagai berikut;

1. Menyatakan terdakwa Imelda Chrisanty Gultom terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”pemberi
fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan
kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang
tidak merupakan benda persediaan kecuali dengan persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia “sebagaimana diatur
dan diancam pidana melanggar pasal 23 ayat (2) UU RI No.42
tahun 1999 tentang jaminan fidusia (dakwaan pertama) dan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pemberian fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau
menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia”
sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal 36 UU
RI No.42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia (dakwaan kedua)
2. Menjatuhkan pidana terhadap Imelda Chrisanty Gultom dengan
pidana penjara selama 1 tahun denda Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah) subsidair 4 (empat) bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir salinan akta jaminan
fidusia;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir salinan buku daftar
fidusia W2-20836-AH-05-01-TH-2013/STD;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir akta jaminan fidusia;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir perjanjian pembiayaan;
- 2 (dua) lembar foto copy installment schedule;
- 2 (dua) lembar foto copy surat pernyataan bersama;
- 1 (satu) lembar foto copy lampiran angsuran;
- 1 (satu) foto copy surat perjanjian penitipan mobil;
- 1 (satu) lembar surat tanda terima laporan polisi;
- 1 (satu) lembar foto copy kartu tanda penduduk a.n. Rian
Ilhaam Sinaga, terlampir dalam berkas perkara.
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp
5000 (lima ribu rupiah)

KRONOLOGIS

Pada hari kamis tanggal 24 juli 2017 atau setidak-tidaknya dibulan juli 2017
bertempat di Jl. Seroja Raya Komplek Taman Pesona Indah Blok A No.02 Kec.
Medan Selayang terdakwa membeli secara kredit 1 (satu) unit mobil Toyota
Avanza dengan nomor Polisi BK 1250 ZN dan terdakwa selaku debitur yang
memiliki kewajiban setiap bulan sesuai dengan surat perjanjian kredit nomor
06769312 tanggal 31 Desember 2012 atas nama debitur Imelda Chrisanty Gultom
yang beralamat di Jl. Perwira 3 No.131 LK 2 Sunggal untuk jenis kendaraan
Toyota avanza 51 E M/T berwarna black mica tahun 2012 nomor rangka
MHKM1BA2JCK017203, nomor mesin K3 MA29477 atas nama kepemilikan
pada STNK benda objek fidusia adalah Imelda Chrisanty Gultom dan terdakwa
telah melakukan kewajiban atas pembelian dan pembiayaan 1 (satu) unit mobil
Avanza type E warna hitam Nomor polisi BK 1250 ZN tersebut berupa uang
muka sebesar Rp.50.0000 (lima puluh juta rupiah) angsuran perbulan Rp.
2.000.000 (dua juta rupiah) mulai januari 2013 s/d juli 2014 (17 bulan) seluruhnya
sebesar Rp 34.000.000,- (tiga puluh empat juta rupiah), dengan masa kredit 36
bulan sejak januari 2013 s/d desember 2015 kemudian pada hari kamis tanggal 24
juli 2014 bertempatan di Jl. Seroja Raya Komplek taman pesona indah blok A
nomor 02 kec. Medan selayang terdakwa telah meminjamkan mobil tersebut
kepada rian ilham sinaga dengan membuat surat penitipan mobil bermaterai
Rp.6000 (enam ribu rupiah) antara terdakwa dengan rian ilham sinaga dan
terdakwa menerima uang sewa dari rian sinaga sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta
rupiah) dan perbuatan terdakwa meminjamkan mobil tersebut kepada orang lain
tanpa sepengetahuan dari pihak PT Toyota Astra Financial Service (PT TAFS)
(penerima fidusia) selaku perusahaan pembiayaan kredit mobil tersebut, dan
ternyata setelah rian ilham sinaga menerima dan menggunakan mobil dari
terdakwa hingga saat ini tidak dikembalikan kepada terdakwa dan pada waktu
pihak dari PT Toyota Astra Financial Service (PT. TAFS) melakukan penagihan
atas kredit mobil yang dilakukan terdakwa oleh terdakwa tidak melakukan
pembayarannya, sehingga pihak PT Toyota Astra Financial Service (PT.TAFS)
memberikan surat peringatan kepada terdakwa namun terdakwa tidak juga
melakukan pembayaran atas mobil tersebut, dan sewaktu pihak PT Toyota Astra
financial Service (PT. TAFS) menanyakan keberadaan mobil yang dibeli olah
terdakwa secara kredit ternyata terdakwa tidak dapat menujukkannya kepada
pihak PT Toyota Astra Financial Srvice (PT TAFS) mengalami kerugian
keseluruhan sebesar Rp.151.600.000,- (seratus lima puluh satu juta enam ratus
ribu rupiah) perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

MENGADILI

1. Menyatakan terdakwa Imelda chrisanty Gultom telah terbukti secara sah


dan meyakinkan mealkukan perbuatan sebagaimana didakwakan pada
dakwaan kesatu dan dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan tersebut
bukan merupakan suatu tindak pidana;
2. Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum
(onslag van alle rechtsvervolging)
3. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat
dan martabatnya;
4. Memerintahkan barang bukti berupa;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir salinan akta jaminan fidusia;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir salinan buku daftar fidusia
W2-20836-AH-05-01-TH-2013/STD;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir akta jaminan fidusia;
- 4 (empat) lembar fotokopi legalisir perjanjian pembiayaan;
- 2 (dua) lembar foto copy installment schedule;
- 2 (dua) lembar foto copy surat pernyataan bersama;
- 1 (satu) lembar foto copy lampiran angsuran;
- 1 (satu) foto copy surat perjanjian penitipan mobil;
- 1 (satu) lembar surat tanda terima laporan polisi;
- 1 (satu) lembar foto copy kartu tanda penduduk a.n. Rian Ilhaam
Sinaga
5. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara

ANALISIS PUTUSAN

Berdasarkan dari putusan diatas saya berpendapat bahwa kasus pelanggaran


jaminan fidusia termasuk kepada Lifestyle Exposure and Daily Routine Theory
karena kekayaan data yang dikumpulkan terutama melalui survey viktimisasi telah
menghasilakan berbagai formulasi teoritis. Sejumlah teori dikembangkan untuk
memberi penjelasan yang masuk akal atau munculnya variasi-variasi dalam risiko
seseorang menjadi korban kejahatan. Salah satu yang paling penting dalam
menjelaskan hal ini adalah lifestyle exposure (gaya hidup) dikembangkan oleh
Hindelang Gottfredson dan Garofalo. 5

Karena menurut Teori ini kemungkinan seseorang menjadi korban sangat


bergantung pada gaya hidup. Orang-orang dengan profil demografis tertentu lebih
rentan mengalami viktimisasi criminal dengan gaya hidup mereka telah
mengekspos munculnya stuasi yang mengandung risiko.6dengan gaya tertentu
dengan perilaku yang terus berulang, seseorang terpapar pada situasi yang
berisiko tinggi untuk menjadi korban. Teori ini berfokus pada probabilitas yang
dnegannya individu ditemukan di lokasi tertentu pada waktu tertentu dan dalam
keadaan tertentu untuk melakukan kontak dengan orang-orang tertentu.
kemungkinan viktimisasi meningkat sebagai fungsi dari gaya hidup yang

5
Robert F., Meier, and Terance D. Miethe. “Understanding Theories of Criminal Victimization.”
Crime and Justice 17, 1993
6
Madero-Hernandez, Arelys, and Bonnie S.Fisher. “Race, Ethnicity, Risky Lifestyle, and Violent
Victimization: A Test of a Mediation Model. “Race and Justice 7 (4) 2017
meningkatkan jumlah waktu yang dihabiskan di ruang public, terutama di malam
hari, dan waktu yang dihabiskan diantara orang asing/ tak dikenal gaya hidup
penting karena meningkatkan eksposur kepada calon pelaku tanpa batasan efektif
yang dapat mencegah kejahatan

Sementara itu Mendelson mengemukakan tipologi korban berdasarkan


derajat kesalahannya. Tipologi korban yang dikemukakan oleh Mendelsohn cukup
kontroversial karena Mendelshon percaya bahwa sebagian besar korban memiliki
sikap tidak sadar yang menimbulkan viktimisasi. Dalam hal ini korban dibedakan
menjadi lima macam yaitu: 7

1. Korban sama sekali tidak bersalah.


2. Yang jadi korban karena kelalaiannya (Dalam kasus Nomor
3453/Pid.Sus/2017/PN.MDN korban kurang teliti dalam menyewa sebuah
mobil akibatnya korban mengalami permasalahan hukum)
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah dari pelaku
5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku
dibebaskan).

Sementara itu, Stephen Schafer merumuskan tipologi korban dari


persfektif tanggung jawab korban itu sendiri. Menurut terdapat 7 (tujuh)
bentuk, yakni sebagai berikut: 8

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si


pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari
aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
7
Gaelle L.M. Brotto, Grant Sinnamon, Wayne Petherick. “Victimology and Predicting Victims of
Personal Violence”. In Wayne Petherick, and Grant Sinnamon (eds). The Psychology of Criminal
and Antisosial Behavior: Victim and Offender Perspectives. Elsevier Science & Technology,
2016, h.82-83.
8
Ibid, h.85
(Dalam kasus Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN.MDN korban kurang teliti
dalam menyewa sebuah mobil akibatnya korban mengalami permasalahan
hukum sehingga pertanggung jawaban dari pelaku )
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus
dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek
ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek
pertanggungjawaban terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak
berdaya;
5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan
sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh
terletak pada penjahat atau masyarakat
6. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggungjawabannya
sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku
kejahtaan;
7. Political victims adalah orang yang menentang mereka yang berkuasa.

Sedangkan ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya


kejahatan, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa bentuk, yakni
sebagai berikut;

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak


kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penaggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau
pemicu kejahatan
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki
perilaku lain sehingga memudahkan dirinya mejadi korban (Dalam kasus
Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN.MDN korban kurang teliti dalam menyewa
sebuah mobil akibatnya korban mengalami permasalahan hukum)
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri
Selain dari perspektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai
suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang
dikemukakan oleh Wolfgang dan Thorsten Sellin. Mereka menyajikan
tipologi korban berdasarkan situasi korban daripada karakteristik atau
hubungan pribadi mereka. Tipologi korban menurut Wolfgang dan
Thorsten Sellin meliputi:
6. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi
korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok)
5. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya
badan hukum (Dalam kasus Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN.MDN korban
kurang teliti dalam menyewa sebuah mobil akibatnya korban mengalami
permasalahan hukum sehingga tak hanya korban akan tetapi PT TAFS)
6. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas
7. Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
8. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan
korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu hasil produksi.
3. Putusan Bebas
PUTUSAN
Nomor 2019/Pid.B/2018/PN.MDN

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG


MAHA ESA
Pengadilan Negeri Medan yang mengadili perkara pidana dengan cara
pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai
berikut dalam perkara terdakwa
1. Nama Lengkap : Henny Herlinda
2. Tempat Lahir : Tebing Tinggi
3. Umur/ Tanggal Lahir : 48 Tahun/19 Juni 1969
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jln. Nusa Indah Raya No.14 Komplek
Pemda Tk I Kel. Simpang Selayang
Kec. Medan Selayang Kota Medan
7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Terdakwa ditahan Terdakwa ditahan dalam tahanan Rutan oleh:

1. Penyidik tidak ditahan;


2. Penahanan Penuntut Umum sejak tanggal24 Juli 2018 sampai
dengan tanggal 12 Agustus 2018;
3. Penahanan Majelis Hakim sejak tanggal 06 Agustus 2018 sampai
dengan tanggal 04 September 2018;
4. Perpanjangan Penahanan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan
Negeri Medan sejak tanggal 05 September 2018 sampai dengan
tanggal 03 Nopember 2018;
Terdakwa didampingi oleh Penasihat Hukum Hisca Salman Sirait, S.H.dkk
dari Kantor Hukum Salman Sirat, SH. & Associates beralamat di Jl. Marelan I
Simpang Pasar IV Barat Ruko Marelan Residence No.4 Marelan Medan,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 03 Agustus 2018;

- Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Medan Nomor


2019/Pid.B/2018/PN
- Mdn tanggal 06 Agustus 2018 tentang penunjukan Majelis Hakim;
- Penetapan Majelis Hakim Nomor 2019/Pid.B/2018/PN Mdn tanggal
06 Agustus 2018 tentang penetapan hari sidang;
- Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan;
- Setelah mendengar pembacaan surat dakwaan Penuntut Umum;
- Setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa serta
memperhatikan barang bukti yang diajukan dipersidangan;

DAKWAAN

1 Menyatakan terdakwa HENNY HERLINA bersalah melakukan tindak


pidana “PENGGELAPAN”, sebagaimana dimaksud melanggar: pasal 372
KUHP dalam dakwaan Pertama.
2 Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa HENNY HERLINA dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun dikurangi dengan penahanan yang
telah dijalani.
3 Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) lembar kwitansi tanggal 5 Juni 2014 sebesar Rp. 70.000.000,-
- 1 (satu) lembar kwitansi tanggal 23 Juli 2014 sebesar Rp. 133.000.000,-
- 1 (satu) lembar kwitansi tanggal 24 Juli 2014 sebesar Rp. 27.000.000,-
- 1 (satu) lembar slip setoran Bank Mandiri tanggal 13 Nopember 2014
sebesar Rp. 50.000.000,-
- -1 (satu) lembar rekening koran Bank Mandiri tanggal 23 Mei 2015
sebesar Rp.35.000.000,-
- 2 (dua) lembar Surat kesepakatan bersama antara JOHAN
SIMANJUNTAK dengan HENNY HERLINA tanggal 05 Juni 2014
- tetap terlampir dalam berkas perkara.
4 Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-
(dua ribu rupiah).

KRONOLOGI

Berawal pada tanggal 05 Juni 2014, terdakwa HENNY HERLINA sepakat


menjual 1 (satu) unit rumah yang terletak di Perumahan Graha Tanjung Sari Blok
K No.16 Kec. Medan Selayang Kota Medan dengan alas hak Sertifikat Hak Milik
No.02.01.10.04.1.03.499 atas nama HENNY HERLINA kepada saksi JOHAN
SIMANJUNTAK dan disepakati harga rumah senilai Rp. 900.000.000,- (sembilan
ratus juta rupiah) dengan sistem pembayaran tanda jadi dibayarkan senilai Rp.
70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah), pembayaran kedua pada akhir bulan Juni
2014 sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) sekaligus
penyerahan sertifikat kepada pihak kedua saksi (JOHAN SIMANJUNTAK),
kemudian pembayaran ketiga atau pelunasan pembelian rumah akan dibayarkan
saksi kepada terdakwa setelah proses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) disetujui
dan balik nama sertifikat ditandatangani di hadapan Notaris (PPAT);

Bahwa kemudian pada tanggal 05 Juni 2014 saksi JOHAN


SIMANJUNTAK melakukan pembayaran tanda jadi kepada terdakwa HENNY
HERLINA senilai Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) selanjutnya pada
tanggal 23 Juli 2014 dibayarkan senilai Rp. 133.000.000,- (seratus tiga puluh tiga
juta rupiah) lalu pada tanggal 24 Juli 2014 senilai Rp. 27.000.000,- (dua puluh
tujuh juta rupiah), pada tanggal 13 November 2014 senilai Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan pada tanggal 23 Mei 2015 senilai Rp. 35.000.000,- (tiga
puluh lima juta rupiah) sehingga pembayaran telah dilakukan seluruhnya Rp.
315.000.000,- (tiga ratus lima belas juta rupiah) dan telah diterima oleh terdakwa
HENNY HERLINA, kemudian terdakwa menagih pelunasan rumah miliknya
kepada saksi JOHAN SIMANJUNTAK akan tetapi saksi mengatakan bahwa
pengurusan kredit pemilikan rumah di KPR BTN Medan untuk membayar rumah
terdakwa tersebut belum selesai sehingga belum dapat melunasinya akan tetapi
saksi JOHAN SIMANJUNTAK sudah menempati rumah tersebut ;

Bahwa begitu seterusnya, terdakwa menagih pelunasan rumah miliknya


yang dibeli oleh saksi JOHAN SIMANJUNTAK, akan tetapi saksi belum dapat
melunasinya lalu terdakwa mengambil sertifikat rumah tersebut di kantor notaris
dan menawarkan rumah tersebut kepada orang lain kemudian pada bulan Juli
2015 atas sepengetahuan saksi JOHAN SIMANJUNTAK, terdakwa menjual
rumah tersebut kepada MOETTAQIEN HASRIMI sebesar Rp. 1.050.000.000,-
(satu milyar lima puluh juta rupiah) sehingga 1 (satu) unit rumah di Perumahan
Graha Tanjung Sari Blok K No.16 Kec. Medan Selayang Kota Medan telah
beralih kepemilikannya kepada MOETTAQIEN HASRIMI;

Bahwa setelah saksi JOHAN SIMANJUNTAK mengetahui hal tersebut,


saksi meminta uang yang telah dibayarkannya sejumlah Rp. 315.000.000,- (tiga
ratus lima belas juta rupiah) kepada terdakwa dan terdakwa berjanji akan
mengembalikannya kemudian saksi JOHAN SIMANJUNTAK melalui penasehat
hukumnya BUKIT SITOMPUL telah memberi somasi pada tanggal 15 Juli 2016
dan tanggal 21 Maret 2017 kepada terdakwa HENNY HERLINA agar
mengembalikan uang milik saksi, selain itu saksi juga menghubungi terdakwa
melalui hand phone akan tetapi terdakwa tidak juga mengembalikan uang milik
saksi JOHAN SIMANJUNTAK oleh karena terdakwa telah menggunakan uang
saksi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya;

Bahwa akibat perbuatan terdakwa telah melakukan penggelapan sehingga


saksi JOHAN SIMANJUNTAK mengalami kerugian sebesar Rp. 315.000.000,-
(tiga ratus lima belas juta rupiah) kemudian membuat pengaduan ke Polda Sumut
untuk penyidikan lebih lanjut.
MENGADILI

1. Menyatakan terdakwa HENNY HERLINA tersebut diatas tidak


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Penggelapan dan Penipuan sebagaimana dakwaan kesatu atau kedua;
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan kesatu atau
kedua tersebut (Vrijspraak);
3. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengeluarkan terdakwa
dari dalam tahanan setelah putusan ini diucapkan;
4. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lembar kwitansi tanggal 5
Juni 2014 sebesar Rp. 70.000.000,- , 1 (satu) lembar kwitansi tanggal
23 Juli 2014 sebesar Rp. 133.000.000,- , 1 (satu) lembar kwitansi
tanggal 24 Juli 2014 sebesar Rp. 27.000.000,- , 1 (satu) lembar slip
setoran Bank Mandiri tanggal 13 Nopember 2014 sebesar Rp.
50.000.000,-, 1 (satu) lembar rekening koran Bank Mandiri tanggal 23
Mei 2015 sebesar Rp.35.000.000,- dan 2 (dua) lembar Surat
Kesepakatan Bersama antara Johan Simanjuntak dengan HENNY
HERLINA tanggal 05 Juni 2014. Aslinya dikembalikan kepada
pemiliknya saksi Johan Simanjuntak, sedangkan fotocopy tetap
terlampir dalam berkas perkara;
6. Membebankan biaya perkara kepada Negara;

ANALISIS PUTUSAN

Berdasarkan dari putusan diatas saya berpendapat bahwa kasus pelanggaran


jaminan fidusia termasuk kepada Victim Precipitation Theory. karena teori ini
berpendapat bahwa korban berkontribusi pada kejahatan yang dialaminya dan
merugikan mereka.9 Kontribusi tersebut bisa melalui fasilitas korban (victim
facilitation) atau provokasi korban. Viktimologi sebagai sebuah studi tentang

9
Nicole V Lasky. “Victim Precipitation Theory”. The Encyclopedia of Women and Crime. New
Jersey, John Wiley & Sons, 2019, h.1-2,
korban bermula dari teori presipitasi korban. Tipologi korban kejahatan yang
dikembangkan oleh para ahli viktimologi di periode awal dimulai teori presipitasi
korban. Para viktimologis seperti Benjamin Mendelsohn, Hans Von Hentig,
Marvin Wolfgang, Stephen Schafer dan Menachem Amir. Teori presipitasi korban
ini memiliki perspektif bahwa korban bukan saja bertanggung jawab dalam
kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki keterlibatan dalam terjadinya kejahatan.
Menurut teori presipitasi ini terdapat tindakan kejahatan memang dikehendaki
oleh si korban untuk terjad, kerugikan akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak
terjadi bila tidak ada provokasi di korban.

Sementara itu Mendelson mengemukakan tipologi korban berdasarkan


derajat kesalahannya. Tipologi korban yang dikemukakan oleh Mendelsohn cukup
kontroversial karena Mendelshon percaya bahwa sebagian besar korban memiliki
sikap tidak sadar yang menimbulkan viktimisasi. Dalam hal ini korban dibedakan
menjadi lima macam yaitu: 10

1. Korban sama sekali tidak bersalah.


2. Yang jadi korban karena kelalaiannya (Dalam kasus Nomor
2019/Pid.B/2018/PN.MDN terdapat bahwasanya korban kurang teliti )
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah dari pelaku
5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku
dibebaskan).

Sementara itu, Stephen Schafer merumuskan tipologi korban dari


persfektif tanggung jawab korban itu sendiri. Menurut terdapat 7 (tujuh)
bentuk, yakni sebagai berikut: 11

10
Gaelle L.M. Brotto, Grant Sinnamon, Wayne Petherick. “Victimology and Predicting Victims of
Personal Violence”. In Wayne Petherick, and Grant Sinnamon (eds). The Psychology of Criminal
and Antisosial Behavior: Victim and Offender Perspectives. Elsevier Science & Technology,
2016, h.82-83.
11
Ibid, h.85
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si
pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari
aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
(Dalam kasus Nomor 2019/Pid.B/2018/PN.MDN korban kurang teliti
dalam pembelian suatu Rumah )
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus
dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek
ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek
pertanggungjawaban terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak
berdaya;
5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan
sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh
terletak pada penjahat atau masyarakat
6. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggungjawabannya
sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku
kejahtaan;
7. Political victims adalah orang yang menentang mereka yang berkuasa.
Sedangkan ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa bentuk, yakni
sebagai berikut;

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak


kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penaggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau
pemicu kejahatan;
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki
perilaku lain sehingga memudahkan dirinya mejadi korban (Dalam kasus
Nomor 2019/Pid.Sus/2018/PN.MDN korban kurang teliti dalam
Pembelian rumah)
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri

Selain dari perspektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai suatu
perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang dikemukakan oleh
Wolfgang dan Thorsten Sellin. Mereka menyajikan tipologi korban berdasarkan
situasi korban daripada karakteristik atau hubungan pribadi mereka. Tipologi
korban menurut Wolfgang dan Thorsten Sellin meliputi:

1. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi


korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok)
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya
badan hukum (Dalam kasus Nomor 2019/Pid.B/2018/PN.MDN korban
kurang teliti dalam menyewa sebuah rumah akibatnya korban mengalami
permasalahan hukum s
3. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas.
4. Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
5. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan
korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu hasil produksi.

Anda mungkin juga menyukai