Anda di halaman 1dari 19

KONSEP CINTA DALAM PERSEPEKTIF

TAFSIR TARBAWI
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

dedeselpiyana@gmail.com
Dr. Cucu Surahman, S.Th.I,M.A1

ABSTRAK

Pendidikan dalam Islam sangat diperhatikan dengan baik. Alquran sebagai sumber
primer rujukan teori-teori pendidikan Islam menyediakan ruang yang tidak terbatas untuk
digali berbagai konsepnya. Salah satu tema yang sangat potensial untuk diteliti yaitu
tentang cinta di dalam Alquran. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep cinta
dalam Alquran yang meliputi hakikat cinta, karakteristik manusia yang dicintai Allah, dan
kemudian ditarik implikasinya terhadap teori pendidikan Islam. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode tafsir maudu’i. Dari temuan yang
selanjutnya dianalisis, ditemukan bahwa cinta yang dimaksud dalam Alquran berkaitan
dengan Allah sebagai subjek yakni curahan kebaikan yang tidak pernah putus diberikan
sebagai bentuk kemurahan-Nya agar sistem kehidupan ini berjalan dengan kondusif dan
penuh dengan ketentraman serta keteraturan. Sementara itu, cinta manusia kepada Allāh
Swt. merupakan wujud reaksi atas aksi cinta Allāh terlebih dahulu yang telah memberikan
hal tersebut terhadap hamba-Nya. Adapun di antara sebagian dari karakteristik manusia
yang dicintai Allah berdasarkan ayat-ayat yang telah diinventarisir yaitu: 1) mengikuti
Rasululāh saw., 2) bertakwa kepada Allāh, 3) berbuat baik, 4) sabar, 5) tawakal, 6) adil, 7)
berperang dalam barisan yang teratur, 8) lemah lembut terhadap orang mukmin, dan 9)
tidak takut terhadap celaan orang-orang. Sementara itu, rumusan konsep cinta dalam
Alquran ini memiliki implikasi terhadap teori pendidikan Islam. Implikasi paling dominan
dari konsep cinta dalam Alquran terhadap teori pendidikan Islam ini yaitu memberikan
inspirasi terhadap bagaimana seharusnya pendidik dan peserta didik serta komunikasi di
antara keduanya secara ideal, yakni dengan mengedepankan kasih sayang ketimbang emosi
terlebih perlakuan yang kasar.

Kata kunci: Cinta, Alquran, Pendidikan Islam

1
Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Alquran

1
PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan wahana yang efektif untuk mengubah perilaku, karakter hingga
akhlak manusia. Melalui pendidikan dengan karakteristik prosesnya berdurasi lama, dapat
diberikan berbagai perlakuan dan transfer nilai yang berupaya menjadikan objeknya
memiliki kepribadian ideal. Kepribadian ideal yang dimaksud yaitu tertanam dalam dirinya
akhlak yang mulia. Sebagaimana misi turunnya Rasululāh saw. ke muka bumi ini yakni
untuk menyempurnakan akhlak. Ini menyiratkan betapa urgennya pembinaan akhlak dalam
kehidupan manusia. Proses pembinaan akhlak sebagai ikhtiar untuk menjaga nilai-nilai
utuh kemanusiaan seyogianya dilaksanakan satu paket dalam pendidikan. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh Syahidin (2009, hal. 30) bahwa:
“…..peranan pendidikan akan sangat penting, karena disamping kemajuan ilmu
pengetahuan yang menuntut sumber daya manusia yang berkualitas (khalifah di
muka bumi), juga pendidikan berperan sebagai pengarah dari lajunya
perkembangan pengetahuan itu sendiri, sehingga hasilnya tidak akan merusak nilai-
nilai kemanusiaan.”

Selain itu, pendidikan dapat dijadikan sarana untuk menjadikan manusia sebagai
sosok paripurna melalui rangkaian proses yang bertahap. Kenyataan ini tentu akan
berimplikasi pada kualitas proses yang dijalankan di dalamnya. Penentuan hasil akhir yang
diperoleh dari pendidikan akan sangat bergantung pada seberapa baik tahap proses yang
dijalankan. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa untuk melaksanakan proses yang baik
harus dilakukan perencanaan matang sehingga tidak terjadi kebingungan dalam
pelaksanaannya.
Apabila merujuk kepada definisi pendidikan menurut para ahli dapat ditemukan
berbagai makna yang terdapat di dalamnya. Meskipun ada perbedaan, namun tidak terlalu
signifikan dan semuanya bermuara pada upaya pengembangan potensi manusia supaya
sesuai dengan fitrahnya.
Marimba (dalam Tafsir 2012, hal. 34) memberikan pengertian bahwa pendidikan
merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan ruhani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Di sisi lain,
Tafsir (2012, hal. 34) melihat dengan sudut pandang yang lebih luas lagi bahwa pendidikan
adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, yaitu aspek jasmani, akal, dan hati
(ruhani).
Sementara itu, Islam sebagai agama yang komprehensif sangat menomorsatukan
kedudukan pendidikan. Banyak ayat dalam Alquran yang membahas bahwa pendidikan
begitu diprioritaskan kedudukannya dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan
manusia, yakni sebagai khalifah dan hamba Allāh. Salah satu contohnya adalah firman
Allāh tentang perintah membaca dalam Qs. Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Penyelenggaraan pendidikan tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa pembentukan
komponen-komponennya yang meliputi tujuan pendidikan, media, metode, karakter
pendidik hingga tahapan evaluasi pendidikan. Mukhtar sebagaimana dikutip Riadi (2008,
hal. 1) menyebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah implementasi dari cinta
dan kasih sayang Allāh yang diturunkan kepada segenap makhluk terutama manusia.
Dengan cinta dan kasih sayang, suatu proses pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Dengan cinta dan kasih sayang, guru mendidik murid-muridnya. Dengan cinta dan kasih
sayang pula ulama dan pemimpin mendidik bangsa dan negaranya.
Islam sendiri tidak pernah tabu untuk memperbincangkan cinta. Dari pemahaman
cinta yang utuh, setiap tingkah laku, perbuatan, perkataan hingga ucap di hati bisa

2
dimaknai dengan semestinya. Tidak ada pikiran kotor untuk saling menjatuhkan antar satu
sama lain. Hal ini karena Allāh sebagai sang Pencipta pun memperlakukan makhluknya
dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sudah semestinya sifat Allāh tersebut menjadi acuan
bagi manusia untuk mengedepankan perasaan saling cinta ketimbang permusuhan dan
menebar benih kebencian.
Apabila semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan merujuk
kepada konsep cinta sesuai Alquran dengan tepat, maka dapat dipastikan apa yang
dilakukannya itu nyaris tanpa beban. Ataupun ketika beban itu ada, akan mudah diatasi
karena niatnya bukan hanya untuk mendapatkan materi semata melainkan mengacu pada
hal abstrak berupa kepuasan batin yang tak terhingga.
Melalui implementasi konsep cinta (yang dirumuskan dari Alquran) dalam
pendidikan Islam dimungkinkan akan terjadinya proses pendidikan yang kondusif. Hal ini
karena pada intinya manusia memiliki kepekaan tinggi ketika bersinggungan dengan
perasaan cinta. Ketika para pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan penuh rasa
cinta seperti halnya Allāh memperlakukan hambanya dengan kecintaan yang tanpa pamrih
maka akan terjadi hubungan harmonis antar kedua belah pihak tersebut. Pada akhirnya
proses transfer of knowledge dan transfer of value berpeluang akan berjalan dengan tanpa
hambatan berarti.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan
objek penelitiannya merupakan makna-makna yang diungkap dari sumber yang non angka.
Begitupun dengan pengolahan datanya yang mementingkan kualitas daripada kuantitas.
Hal ini dinyatakan oleh Sarosa (2012, hal. 8) bahwa penelitian kualitatif memang
“berusaha menggali dan memahami pemaknaan akan kebenaran yang berbeda-beda oleh
orang yang berbeda”.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan yaitu metode penelitian pustaka atau
lazim popular dengan studi literatur dengan menjadikan buku-buku sebagai sumber data.
Ini sebagaimana dijelaskan oleh Fathoni (2006) bahwa penelitian pustaka bermakna:
Suatu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan
menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku,
periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara
berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya,
yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah.

Sementara dalam upaya untuk memecahkan rumusan masalah perlu ditentukan


langkah-langkah operasional sebagai panduan. Peneliti dalam hal ini menggunakan metode
tafsir madhu’i sebagai satu dari berbagai prosedur untuk mengkaji Alquran yang telah
dirumuskan para ulama tafsir. Tentu ini ditempuh sebagai upaya untuk menelaah tema-
tema yang berkaitan dengan cinta dalam Alquran untuk kemudian ditarik prinsip-prinsip
yang ditemukan serta dirumuskan menjadi konsep pendidikan Islam.
Penelitian ini dipandang tepat menggunakan metode tafsir maudhu’i sebab tujuan
yang diharapkan yaitu merumuskan kontribusi terhadap pengembangan teori pendidikan
Islam dari konsep cinta dalam Alquran. Oleh karena itu ayat-ayat mengenai cinta harus
terlebih dahulu dikumpulkan, disusun secara sitematis hingga akhirnya dianalisis untuk
memperoleh kesimpulan yang baik mengenai konsep cinta tersebut.
Shihab (dalam Arifah, 2014 hal. 36) menjelaskan mengenai metode tafsir maudhu’i
ini sebagai berikut:

3
Metode yang ditempuh oleh seorang mufasir dengan cara menghimpun seluruh
ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang suatu tema serta mengarahkan kepada
satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat itu turun secara berbeda, tersebar
pada berbagai surah dalam Alquran dan berbeda waktu dan tempat turunnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Persebaran dan Bentuk-bentuk Cinta (hubb) dalam Alquran
Merujuk pada proses pembacaan serta analisis peneliti, konsep cinta dalam Alquran
terbagi ke dalam beberapa kategori. Pertama berdasarkan subjek dalam ayat yang memuat
term cinta, kedua mengacu pada objek cinta dalam ayat tersebut diturunkan, dan ketiga
berupa konten serta konteks ayat.
Subjek cinta dalam Alquran terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Allāh Swt dan
kedua manusia. Lalu pada kategori manusia ini dibagi kembali menjadi beberapa kalangan
secara spesifik yang meliputi: manusia secara umum, nabi (nabi Ibrahim, nabi Sulaiman,
nabi Yaqub, dan nabi Yusuf), kaum Anshar, orang-orang beriman, isteri al-Aziz, orang-
orang kafir, dan sebagian manusia yang menyembah kepada selain Allāh.

2. Hakikat Cinta
2.1. Pengertian
Setelah melalui tahapan analisis terhadap ayat-ayat yang mengandung makna cinta
di dalamnya, peneliti menemukan poin penting mengenai definisi cinta dalam Alquran
yang terdapat dalam 3 ayat, yakni Qs. ali Imron [3]: 31, Qs. al-Maidah [5]: 54, dan al-Shaf
[61]: 4. Pada ketiga ayat ini. berdasarkan penafsiran para mufasir diuraikan makna cinta
secara definitif ditunjang dengan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan maksud cinta
di dalam Alquran.
Cinta kepada Allāh dari seorang hamba dengan penuh ketulusan merupakan pintu
pengantar baginya untuk memperoleh ketenangan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada
lagi yang menjadi sumber ketenangan dan ketenteraman selain dengan terus mengingat
Allāh setiap saat. Di mana ini merupakan salah satu dampak dari pekerjaan mencintai
Allāh.
Hal ini berkesesuaian dengan kandungan Qs. Ali Imron [3]: 31 yang ditafsirkan
oleh Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah. Menurutnya, cinta manusia kepada Allāh
apabila benar-benar dilakukan tanpa ada niat pragmatis, akan mengantarkan pribadi
mereka menjadi sosok yang segala tindakannya mengarah pada ketaatan, menghormati,
serta mengagungkan juga mementingkan Allāh di atas segala-galanya.
Lebih lanjut dijelaskan tentang hal ini sebagai berikut:
“Cinta manusia kepada Allāh adalah suatu kualitas yang mengejawantah pada diri
seseorang yang beriman sehingga menghasilkan ketaatan kepada-Nya,
penghormatan dan pengagungan, dan dengan demikian ia mementingkan-Nya dari
selain-Nya. Dia menjadi tidak sabar dan resah untuk tidak memandang dan
memenuhi kehendak-Nya, dia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali bila
bersama-Nya, dia tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya pula, dan
puncak kenikmatan yang dikecupnya adalah ketika menyebut-nyebut (berdzikir)
sambil memandang keindahan dan kebesaran-Nya.” (Shihab, 2008, hal. 70).

Pengakuan cinta manusia kepada Allāh tidak bisa hanya diikrarkan begitu saja
tanpa mengikuti syarat yang diajukan Allāh terhadap mereka. Dalam ayat ini, Alquran

4
mengabarkan bahwa mencintai Allāh bisa diterima dan akan berbalas manakala manusia
juga mengikuti apa yang dibawa oleh utusan-Nya, Nabi Muhammad saw.
Keduanya merupakan satu paket kemestian yang harus dilakukan untuk
mendapatkan cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan dari Allāh Swt. Tidak bisa
keduanya dicintai secara parsial, dalam artian secara terpisah-pisah. Sebab Rasululāh
sebagai utusan-Nya hadir sebagai teladan yang nyata untuk menampilkan nilai-nilai ideal
yang telah termaktub dalam Alquran sebagai firman Allāh.
Penegasan mengenai harusnya ada keterkaitan antara mencintai Allāh dan
menjalani konsekuensinya yaitu juga mengikuti utusan-Nya ini pun senada dengan
penafsiran ash-Shiddieqy (2000, hal. 572), (Al-Qurthubi, 2008, hal. 165), Quṭb (2008, hal.
57), dan Ath-Thabari (2008, hal. 223).
Cinta pun dijadikan ruh dan prinsip yang magis sampai-sampai banyak perkara
yang awalnya terlihat mustahil, pada akhirnya bisa menjadi nyata juga. Hal ini pun
berkesesuaian dengan pernyataan Ibnul Qayyim dalam bukunya, Taman Para Pecinta
sebagaimana dikutip Matta (2016, hal. 6) bahwa “semua gerak di alam raya ini, di langit
dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.”
Cinta memang sangat berpotensi melahirkan kekuatan seperti itu. Hal ini sudah
menjadi fitrah dari cinta dan berlaku pada objek mana saja saat sifat itu diarahkan. Terlebih
lagi kalau ini cinta yang diarahkan kepada Allāh, Yang Maha Menciptakan Cinta, juga
Yang Maha Pencinta.
Berdasarkan penjelasan para mufasir tersebut, untuk membedah ketiga makna ayat
mengenai makna cinta dalam Alquran, dapat disimpulkan bahwa cinta yang dimaksud
dalam Alquran kaitannya dengan Allāh sebagai subjek adalah sebuah pengerahan fokus
pada hal-hal yang akan mendatangkan rida-Nya. Tentu hal itu akan diperoleh saat perkara-
perkara yang disukai Allāh dilakukan dengan keseriusan serta sepenuh hati.

2.2. Potensi Cinta


Cinta menyimpan energi luar biasa yang memiliki daya dobrak terhadap banyak hal
besar di dunia ini. Meski begitu, cinta barangkali netral adanya sama seperti perkakas
dapur berupa pisau yang tajam. Sangat tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan
ditujukan untuk apa penggunaan pisau itu. Oleh seorang penjual daging di pasar, pisau
tersebut sangat bermanfaat untuk memotong daging sesuai dengan pesanan pembeli.
Sebaliknya, di tangan orang yang berambisi menghabisi nyawa seseorang, pisau akan
menjadi alat yang sangat mengerikan.
Atas nama cinta, banyak penemuan besar di dunia ini yang berhasil. Selain itu,
banyak juga pendirian bangunan-bangunan megah yang spiritnya diinspirasi atas gejolak
jiwa bernama cinta. Maka pantas bila cinta menjadi topik abadi yang menarik dan selalu
menjadi sorotan untuk dibicarakan.
Zainudin (2011, hal. 6) dalam bukunya Kisah-kisah Cinta Penuh Drama Para
Filsuf Dunia menuturkan bahwa lewat pesona cinta yang memiliki daya kuat, banyak
tokoh-tokoh besar seperti ilmuwan dunia dan para filsuf sekali pun tidak berkutik di
hadapannya.
Terkait hal ini, disebutkan pula oleh Matta (2016, hal. 3) bahwa cinta adalah
“obrolan manusia sepanjang sejarah masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka
abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa
cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majnun, Siti Nurbaya, atau
Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.”
Demikianlah, cinta mempunyai daya pikat yang menarik manusia untuk tidak jemu
memperbincangkannya sepanjang waktu. Cinta pun menyimpan kekuatan yang luar biasa

5
dan akan sangat berdaya guna apabila diarahkan kepada hal-hal baik serta ditujukan untuk
kemaslahatan umat beserta alam raya dan segala isinya. Tugas yang harus terus menerus
diemban yaitu mengarahkan cinta agar tetap berada dalam koridor yang semestinya dan
tidak disalahgunakan untuk sesuatu perbuatan-perbuatan tidak bertanggung jawab dan
lebih parahnya justru kalau sampai merugikan.

2.3. Tujuan Cinta


Cinta tentu dihadirkan oleh Allāh Swt. dengan banyak maksud. Tanpa cinta, hidup
manusia akan hambar, tidak menghadirkan dinamika yang menarik selama menjalani
petualangan di dunia ini. Tanpa cinta pula, melakukan sesuatu akan terasa menentramkan.
Wajar bila Zainudin (2011, hal. 5-6) menyebutkan bahwa “dunia akan terasa hampa tanpa
rengkuhan cinta, bahkan terbit dan terbenamnya sejarah peradaban manusia tidak bisa
terlepas dari cinta di dalamnya.” Karenanya, cinta sedapat mungkin hadir membawa misi
penciptaan serta penganugerahan tertentu terhadap manusia dan bahkan bagi alam semesta
beserta seluruh prinsip keteraturan yang terjalin di dalamnya.
Selanjutnya, Naqshbandi (2002, hal. 15) menjelaskan bahwa benih-benih cinta
sebenarnya sudah diberikan Allāh Swt. ke dalam hati setiap manusia saat mereka
diciptakan. Bentuk nyata dari cinta ini adalah kondisi fithrah berislam saat setiap manusia
dilahirkan.
Cinta diciptakan Allāh Swt. serta diberikan sebagai potensi kepada setiap manusia
bukan tanpa tujuan. Cinta inilah yang menstimulus serta mendorong manusia untuk
akhirnya beriman kepada Allāh Swt, mempercayai serta berkomitmen atas janji persaksian
bahwa tiada illāh yang memiliki kekuatan serta punya pengaruh untuk mendatangkan
kebaikan juga keburukan selain-Nya.
Sebagaimana ditekankan oleh Naqshbandi (2002, hal. 15) bahwa “jika cinta kepada
Allāh Swt. yang inheren ini dihilangkan dari manusia, yang tersisa hanyalah kebinatangan.
Sungguh, tidak ada yang pantas ada dalam kehidupan dunia yang temporal ini kecuali cinta
Allāh Swt.”
Di dalam Alquran sendiri sebenarnya tujuan cinta tidak secara tersurat ada. Namun
meski begitu, dapat dibaca isyarat-isyarat eksistensi cinta pada beberapa ayat Alquran yang
mengandung prinsip-prinsip dasar mengenai hal ini.
Kesimpulan tentang tujuan cinta dalam Alquran merujuk pada sebuah rencana
Allāh untuk memberikan sumber energi yang tidak akan ada habis-habisnya bagi manusia
walaupun digunakan berulang kali. Di mana memang cinta tidak kunjung berhenti
merangsang manusia untuk mengarahkan perbuatannya selalu pada perkara-perkara yang
mengandung unsur kebaikan dan menjaga jarak dari keburukan serta membantu mereka
berbuat dengan kekuatan berlipat-lipat yang berasal dari pancaran kekuatan cinta itu
sendiri.

2.4.Manfaat Cinta
Term cinta di dalam Alquran mendapatkan porsi yang cukup besar. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya ayat yang secara langsung maupun tidak, memiliki prinsip
mengenai cinta.
Cinta memang tak bisa terlepas dari kehidupan sebagai satu nafas yang membuat
manusia tenteram dalam menjalaninya. Cinta terlebih lagi memiliki peran vital untuk
menyumbang dorongan terhadap manusia agar bersemangat menyelesaikan permasalahan
hidupnya masing-masing. Jika cinta tidak diciptakan, bagaimana jadinya interaksi sesama
manusia baik dengan manusia lain juga makhluk hidup lainnya. Pastilah akan menghadapi
gesekan yang sulit diantisipasi.

6
Alquran menerangkan cinta dengan penuh ekspresi, betapa sifat ini memang sangat
lekat dengan Allāh Swt. sebagai Dzat Yang Maha Pencinta. Melalui cinta-Nya, Allāh
menularkan energi tersebut dalam banyak peristiwa dan berbagai koneksi. Cinta menjadi
landasan atas pergerakan banyak perkara.

2.5. Cara Mencintai


Alquran memberikan tuntunan bagi manusia dalam mencintai objek-objek cinta
yang macamnya banyak sekali. Allāh, manusia, dan beragam kehidupan dunia yang
meliputi harta, kesenangan, isteri, bapak, saudara, anak-anak, sawah –ladang dan lainnya
merupakan objek cinta yang dimaksud itu. Melalui bimbingan Alquran, seharusnya
manusia lebih dimudahkan untuk mencintai sesuatu secara benar dan sesuai dengan
kemestiannya. Sebab akan terjadi kebuntuan dalam pencarian atau upaya menggapai
sesuatu jika tidak ada petunjuk-petunjuk untuk meraihnya.
2.5.1. Mencintai Allāh
Cara mencintai sebagaimana dijelaskan Shihab (2008, hal. 69) berdasar atas
penjelasan tafsirnya terhadap Q.S. Ali Imran [3] ayat 31 yaitu dengan
melaksanakan apa yang Allāh perintahkan, yakni dengan mengimani serta bertakwa
kepada-Nya.
Hanya saja ini baru merupakan gerbang awal untuk menggapai cinta Allāh.
Masih sangat jauh perjalanan seorang hamba jika ia benar-benar ingin mendapat
curahan cinta Allāh yang sangat luas dan menentramkan tidak ada tandingannya
itu.
Setidaknya, untuk bisa mendapatkan cinta Allāh yang dalam ayat tersebut
terwujud dalam bentuk pengampunan dosa-dosa dan curahan rahmat, pencapaian
berupa tiba di gerbang menuju cinta Allāh tadi harus diteruskan. Dosa-dosa yang
diampuni serta mendapatkan rahmat-Nya pun sebenarnya merupakan wujud cinta
minimal dari Allāh. Hal ini sebagaimana disebutkan Shihab (2008, hal. 72) bahwa
“limpahan karunia-Nya Dia sesuaikan dengan kadar cinta manusia kepada-Nya.
Namun, minimal adalah pengampunan dosa-dosa serta curahan rahmat.”
Untuk memperoleh Allāh, Naqshbandi (2002, hal. 106) menjelaskan
prinsip-prinsip yang harus ditempuh, diantaranya: kerinduan yang tulus (thalab),
melepaskan kenikmatan-kenikmatan duniawi, memperbanyak tahlil, merenung
(fikr), bersahabat dengan mereka yang benar dalam ucapan dan tindakan (shadiqin),
berdo’a dan meminta tolong kepada Allāh (iltija’).
Lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip ini dijelaskan sebagai berikut:
1.5.1.1 Kerinduan yang Tulus (thalab)
Allāh memang bersama prasangka hamba-Nya dan ini tidak diragukan lagi
kebenarannya. Maka untuk mendapatkan cinta Allāh itu, yang paling utama
manusia harus berharap bahwa Allāh memang akan memberikannya dengan penuh
keyakinan. Dijelaskan oleh Naqshbandi (2002, hal. 106) bahwa memang “syarat
utama untuk meraih cinta Allāh Swt adalah mengharapkan cinta semacam itu
dengan tulus. Orang mungkin mendapatkan materi (dunya) dengan pasif, tetapi
cinta sejati (isyq) adalah khazanah; karena itu tidak dapat diperoleh jika seseorang
tidak aktif mencarinya.”
Allāh Swt. sama sekali tidak akan dan juga sangat mustahil mengecewakan
hamba-Nya yang benar-benar ingin memperoleh cinta dari-Nya. Dia berbeda
dengan makhluk yang seringkali bersikap seenaknya dengan membuat orang lain
kecewa. Dia justru akan dengan penuh kecintaan menyambut baik seriap hamba
yang ingin mendekat pada-Nya. Namun, dalam proses menggapai cinta Allāh Swt.

7
yang agung tersebut memang tidak mudah dan tanpa risiko. Naqshbandi (2002, hal.
107) mengingatkan untuk bersiap mengorbankan banyak hal demi mencapai tujuan
mulia ini serta harus dilandasi niat yang kokoh. Peneliti sepakat dengan pernyataan
tersebut. Sebab memang sangat berat cobaan dan rintangan yang harus dilalui untuk
tiba di maqam istimewa itu.

1.5.1.2. Melepaskan Kenikmatan-kenikmatan Duniawi


Dunia merupakan alat uji bagi keseriusan seorang hamba dalam berbakti
kepada Allāh Swt. Apakah dengan mudah mendapatkannya akan membuat kualitas
ibadah menjadi meningkat dari sebelumnya, atau justru materi duniawi malah
melenakan hingga membuat lupa terhadap tujuan sebenarnya, yaitu akhirat.
Kehidupan dunia terlihat menyilaukan sehingga orang-orang berbondong-
bondong menghalalkan segala cara, menghabiskan sebagian besar waktu, hingga
lalai terhadap kewajibannya sebagai seorang hamba yang memiliki tugas untuk
mengabdi kepada Rabb-nya. Hanya mereka yang telah paham dan meyakini bahwa
dunia ini fana dan semua hal yang diperbuat di dalamnya ini akan
dipertanggungjawabkan yang akan mawas diri sehingga tidak terlalu terobsesi
menghabiskan waktu untuk mengejarnya.

1.5.1.3.Memperbanyak Tahlil
Definisi tuhan itu bisa sangat banyak sekali. Sesuatu yang dirindukan,
dicintai, diyakini mampu mendatangkan maslahat juga mendatangkan madarat
sekaligus menjauhkannya, ditakuti. Seluruhnya berpotensi menjadi tuhan-tuhan
baru. Di mana kehadiran semuanya itu akan bisa menduakan eksistensi Tuhan yang
sesungguhnya, yakni Allāh Swt. sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi.
Maka membaca tahlil dengan konsisten akan mereduksi kecenderungan
menyimpang tersebut dari hati setiap hamba. Atau setidaknya mampu kembali
menstabilkan kondisi hati yang melemah lantaran kian menjauh dari Allāh Swt.
Sebagaimana dinyatakan Naqshbandi (2002, hal. 108) bahwa membaca la ilaha illa
Allāh secara kontinu “ini merupakan senjata ampuh: ia meniadakan semua tuhan
yang salah yang bisa jadi bersarang di hati seseorang.”
Oleh karena itu, menjadikan dzikir kalimat tahlil dalam keseharian harus
terus dibiasakan. Sekilas hal ini tampak terlihat sederhana dan mudah untuk
dilakukan. Namun, bila tanpa dibarengi latihan yang istiqamah, mustahil kebiasaan
melanggengkan membaca tahlil ini bisa jadi karakter dalam diri seseorang, yang
akan terasa ganjil jika dalam satu kesempatan saja hal itu tidak dikerjakan.

1.5.1.4.Merenung (fikr)
“Merenung merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencapai cinta
kepada Allāh” (Naqshbandi, 2002, hal. 108). Melalui perenungan mendalam berupa
refleksi diri yang dilakukan dengan intensitas tinggi akan membuat apa yang
disebut Naqshbandi (2002, hal. 108) sebagai limpahan spiritual (faidh) Allāh turun
ke dalam hati para pencari cinta tersebut.
Merenung memang akan memberikan ruang yang penuh dengan konsentrasi
untuk mengevaluasi diri sendiri beserta kesahalan-kesalahan yang telah diperbuat
selama ini. Selain juga melalui perenungan itu akan menyediakan kemungkinan
untuk berpikir secara jernih.

8
1.5.1.5.Bersahabat dengan Mereka yang Benar dalam Ucapan dan Tindakan
(shadiqin)
Ada satu ungkapan yang menyatakan bahwa seseorang bisa dilihat
wataknya dari siapa teman bergaulnya. Logis sekali hal ini. Sebab memang peranan
teman juga sahabat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan pola
pikir dan bersikap seseorang.
“Jika seorang pencari tetap bersahabat dengan para pecinta, ia juga akan
menjadi pecinta (‘asyiq)” (Naqshbandi, 2002, hal. 109).

1.5.1.6.Berdo’a dan Meminta Tolong kepada Allāh (iltija’)


Berdo’a kepada Allāh Swt. merupakan bentuk kepasrahan seorang hamba
setelah menempuh ikhtiar yang dipersyaratkan. Naqshbandi (2002, hal. 111)
menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan sebab “sesungguhnya Dialah yang
mengarahkan pencari ke tujuannya.”
Berdo’a pula menunjukkan bahwa manusia memang lemah tidak berdaya
bila tanpa adanya pertolongan dari Allāh Swt. Selanjutnya Dialah yang akan
menuntun hambanya pada ujung pencarian di saat mereka kebingungan tentang
arah perjalanannya sendiri.

1.5.2. Mencintai Rasulullāh


Mencintai Rasulullāh sebagai bagian dari sebuah hal yang mesti, tidak bisa
ditawar lagi harus diyakini betul oleh setiap muslim. Apabila kemantapan belum
hadir, maka yang bersangkutan jangan merasa aman-aman saja melainkan harus
terus mengikhtiarkan agar keyakinan itu bisa kokoh bersemayam dalam hati
masing-masing. Mencintai Rasululāh Saw. berarti berkomitmen semaksimal
mungkin melaksanakan apa-apa yang telah diteladankan semasa beliau hadir di
dunia.

3. Karakteristik Manusia yang Dicintai Allah


Berdasarkan analisis terhadap 8 ayat yang berkaitan dengan cinta dalam Alquran,
ditemukan beberapa karekteristik manusia yang dicintai oleh Allāh. Karakteristik yang
dimaksud antara lain:
3.1.Mengikuti Rasululāh saw.
Ayat yang menandakan bahwa Allāh akan mencintai orang-orang yang
mengikuti Rasululāh saw. adalah Qs. Ali Imron [3]:31. Dalam ayat ini terkandung
gambaran mengenai keterkaitan antara taat kepada Rasulullāh dengan terbukanya pintu
cinta dari Allāh bagi hamba-Nya yang mengaku mencintai-Nya.
Dalam arti keharusan untuk menjalankan semua hal yang dicontohkan oleh
kekasih-Nya itu menjadi sebuah tiket didapatnya karunia berupa cinta dari Allāh.
Bahkan apabila kadar realiasasi ketaatan itu tidak hanya dalam hal-hal yang sifatnya
wajib saja, Shihab (2008, hal. 72) menyebutkan bahwa Allāh menjanjikan akan
mengampuni dosa orang-orang yang mengikuti Rasululāh tersebut.
Hal ini pun senada dengan penafsiran ash-Shiddieqy (2000, hal. 572) bahwa
kesalahan yang diampuni berupa “pengaruh perilaku maksiat yang tertanam dalam
jiwa” dengan tambahan lain Allāh pun akan memberikan rida terhadap mereka yang
dimaksud itu. Alasannya menurut ‘Abdullah (2008, hal. 35) adalah karena berkat
keberkahan perantara-Nya, yakni Rasululāh Saw.
Berdasarkan analisis berbagai pendapat mufasir mengenai ayat ini, bahwa
untuk bisa mendapatkan cinta dari Allāh, maka orang-orang yang mengaku mencintai-

9
Nya tidak bisa tidak, harus pula mengikuti apa yang dicontohkan Rasululāh baik dalam
perkataan, perbuatan, juga pembiarannya (taqrir). Karena beliau adalah utusan yang
membawa risalah berupa petunjuk untuk bertauhid serta menghamba kepada-Nya.

3.2. Bertakwa kepada Allāh


Definisi takwa yang terkandung dalam Q.S. ali Imron [3]:76 mengacu kepada
penafsiran Shihab (2008, hal. 128) yaitu “mengindahkan perintah Allāh dan menjauhi
larangan-Nya.” Pengertian ini lazim diketahui mayoritas umat Islam dan sudah
memasyarakat karena tipikalnya yang sangat mudah dipahami serta diingat.
Penafsiran senada dengan sedikit penambahan dikemukakan oleh Ath-Thabari
(2008, hal. 501) yakni takwa dalam ayat ini berarti “beriman kepada Muhammad dan
membenarkan segala perkara yang dibawanya, menunaikan amanat kepada yang
berhak, juga taat kepada perintah dan larangan Allāh serta menjaga diri dari segala
larangan Allāh SWT., dan segala kemaksiatan kepada-Nya.” ‘Abdullah (2008, hal. 75)
dalam Tafsir Ibnu Katsir pun berpendapat sama tentang makna taqwa ini.
Saking tingginya orang yang bisa sampai di maqam takwa, menurut Rakhmat
(2004, hal. 62) yang mengacu pada Q.S. Al-Anfal [8]: 34 menyebutkan bahwa dalam
Alquran, orang bertakwa ini digelari sebagai sosok manusia ideal, yakni kekasih
Allāh.
Sungguh taqwa hendaknya dijadikan satu misi hidup setiap muslim yang
prioritas sehingga seluruh perbuatan dan penjagaan diri dari suatu pelarangan
mengarah pada derajat ini. Sebab takwa sebagaimana yang disebutkan Syahidin, dkk.
(2014, hal. 48) merupakan syarat dan sebab atas diturunkannya pertolongan dan
kemudahan dalam hidup manusia yang sangat penting untuk diraih.

3.3. Berbuat baik


Definisi kebaikan yang Allāh cintai berdasarkan Q.S. Ali Imron [3]:148
menurut Hamka (1993, hal. 111) yaitu senantiasa memperbaiki setiap pekerjaan
sehingga kualitasnya menjadi lebih baik dan kalau bisa mendekati sempurna. Dengan
kata lain, selalu dilakukan evaluasi secara kontinu tentang hal-hal yang masih kurang
dan ditindaklanjuti dengan peningkatan amal tersebut agar tidak hanya sekadar
berorientasi pada kuantitas semata.
Adapun berbuat ihsan yang dimaksud Shihab (2014, hal. 161) adalah
“memberi lebih banyak dan lebih baik dari yang diterima.” Secara prinsip sama saja
dengan penafsiran Hamka sebelumnya yakni harus ada perbaikan berupa peningkatan
kualitas dan segi jumlah yang bisa dilakukan karena adanya dorongan dari hati yang
bersih untuk mengikhtiarkannya.
Sementara itu, Ash-Shiddieqy (2000, hal. 704) menjadikan indikator penegak
sunnah-sunnah Allāh di muka bumi ini juga mendasarkan segala amal perbuatan
mereka atas pertolongan dan motivasinya ditujukan karena Allāh sebagai makna dari
berbuat baik dalam Q.S. Ali Imron [3]:148 ini. Serta balasan bagi yang berbuat baik
itu tak lain adalah akan dikasihi Allāh sebab Dia mencintai mereka yang berbuat
demikian.
Wajar sekali Allāh mencintai orang-orang yang berbuat baik dengan cakupan
objek tak terbatas ini dikarenakan memang butuh latihan terus menerus dan
perjuangan berat dalam melakukannya. Harus ada perjuangan yang totalitas
dikerahkan saat berbuat kebaikan itu. Godaan-godaan seperti pikiran bahwa berbuat
kebajikan tidak akan mendatangkan apa-apa dan hanya merugikan diri sendiri tak
dipungkiri menghambat eksekusi terhadap niat itu.

10
3.3. Sabar
Shihab (2014, hal. 165-166) setelah mengacu pada arti secara harfiah kata
sabar dalam kamus-kamus Alqur’an menyimpulkan bahwa sifat ini “menuntut
ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima
dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab.” Betul memang betapa sabar itu hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang kuat yang jiwanya mampu menerima keadaan apa
pun termasuk sesuatu yang dianggap merugikan dirinya.
Berdasarkan ayat-ayat mengenai term cinta yang telah dihimpun, karakteristik
sifat orang-orang penyabar terdapat dalam Q.S. ali Imron [3]: 146. Dalam ayat ini,
sebagaimana diungkapkan Shihab (2008, hal. 237) bahwa sifat sabar yang dimaksud
memang spesifik dalam arti tabah saat menunaikan tugas serta bertahan atas derita
menerima ujian dalam berperang melawan musuh. Konteks ayatnya yaitu saat perang
fisik berhadapan dengan lawan-lawan yang memusuhi kaum muslimin pada masa
Nabi-nabi terdahulu. Lalu Allāh mengekpresikan cintanya kepada orang-orang yang
bersabar ini dengan memberi dukungan serta anugerah-Nya.

3.4. Tawakal
Hamka (2015, hal. 285) dalam buku Tasawuf Modern mendefinisikan tawakal
yaitu “menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan
semesta alam.” Senada dengan apa yang disampaikan Hamka dengan sedikit
penambahan, Al-Jailani (2005, hal. 137) menyebutkan bahwa hakikat tawakal adalah
“memasrahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allāh, menyucikan diri dari gulita
ikhtiar dan (sombongnya) perencanaan (tadbir), serta naik ke derajat penyaksian
hukum dan takdir.”
Penjelasan lain mengenai tawakal dikemukakan pula oleh Naqshbandi (2002,
hal. 156). Menurutnya, tawakal berarti:
“Refleksi kembalinya hamba yang lemah kepada Yang Mahakuat dengan
permohonan, ketundukan, dan kepasrahan, agar dia mengetahui sifat tersebut di
saat kembali dan berangkat. Karena itu, hendaknya seseorang tidak bertawakal
dan menyandarkan diri kecuali kepada Allāh Swt., dengan menganggap bahwa
tawakal tersebut merupakan cabang iman, dan menyerahkan segala urusan
kepada-Nya, yang dengan itu akan terlihat jelaslah gambaran tauhid dalam
kalbu hamba yang mencintai Allāh, sehingga dia tidak melihat adanya tempat
kembali kecuali Allāh Swt.”

Dari ketiga pengertian yang dikemukakan tersebut, ada satu persamaan perihal
tawakal, yakni bersikap pasrah akan hasil kepada Allāh Swt. Bila seorang hamba
memiliki sikap seperti ini, maka kekecewaan meskipun akan menghampiri saat
kegagalan meraih yang diinginkan, itu akan mudah diantisipasi sehingga tidak terlalu
berlarut-larut di dalamnya sambil mengutuk keadaan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk membiasakan mengedepankan tawakal setelahnya melakukan berbagai hal
sebagai bentuk ikhtiar. Selain akan mengundang cinta Allāh, orang-orang yang
bertawakal akan selamat dari berbagai bentuk kepahitan dalam hidup.

3.5. Adil
Sekilas, adil dimaknai sebagai sifat yang paham di mana seharusnya sesuatu
ditempatkan atau diletakkan. Sementara itu, lawan dari sifat itu adalah zalim. Misalnya

11
saja mengenakan jaket yang tebal dengan tujuan memamerkan pakaian baru padahal
hari sedang panas terik.
Menurut Shihab (2009, hal. 595) dalam tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa
tujuan dari perintah untuk bersikap adil berdasar Q.S Al-Hujurat [49] ayat 9 yang
merupakan salah satu ayat tentang anjuran untuk berbuat adil yaitu agar keputusan
yang diambil dapat diterima oleh semua kelompok dengan baik.
Ayat ini memang konteksnya tentang perintah dari Allāh untuk mendamaikan
kelompok-kelompok yang sedang berselisih paham. Adil di sini lebih mengarah
kepada prinsip dalam mengambil sebuah keputusan agar tidak berat sebelah dan
berusaha sebisa mungkin untuk seimbang.

3.6. Berperang dalam barisan yang teratur


Jika nilai berjama’ah diaplikasikan dalam seluruh kondisi dan situasi, maka
kemenangan umat Islam di segala lini yang telah dijanjikan akan segera terealisasi.
Dalam hal ini berperang yang ditekankan baik secara pemikiran, karya bahkan yang
paling membutuhkan kekuatan sekali pun yakni perang dalam arti fisik, jika itu
memang diperlukan.
Oleh karena keutamaan-keutamaan dari bersatu dengan penuh keteraturan,
Allāh pun mencintai hal itu sebagai perkara yang hendaknya tidak boleh diabaikan
oleh setiap umat Islam.

3.7. Lemah lembut terhadap orang mukmin


Hubungan sesama mu’min dalam sebuah hadits Rasululāh dianalogikan
sebagai satu bangunan utuh. Dalam hadits lain malah dimisalkan seperti satu tubuh, di
mana ketika satu bagian merasakan sakit bagian lain pun turut merasakan pula.
Dalam islam sendiri, hubungan persaudaraan tidak terbatas dengan hanya yang
sedarah saja. Lebih dari itu, relasi antar saudara seakidah dalam riwayat sejarah umat
ini erat sekali berkontribusi banyak terhadap kemenangan Islam dalam perjuangan
menghadapi kalangan yang memusuhinya. Ini menunjukan betapa limpahan energi
dari hubungan baik persaudaran karena seiman dapat mempengaruhi kualitas diri
seorang mukmin.

3.8. Tidak takut terhadap celaan orang-orang


Berkaitan dengan celaan, sebagaimana dijelaskan Shihab (2008, hal. 131-132)
bahwa sifat kaum yang akan datang kemudian untuk menyelisihi orang-orang murtad
berdasarkan QS. Al-Maidah [5]: 54 ini yaitu “mereka tidak takut dicela bahwa mereka
tidak toleran, misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang
memusuhi Islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika
menegakkan ukhuwah Islamiyah.” Penyebab bisa kokoh mengakarnya sikap para
kaum pendatang yang dijanjikan itu karena mereka “melakukan sesuatu pekerjaan
untuk menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan”(Ash-Shiddieqy, 2000,
hlm. 1102).
Karakter yang unggul seperti ini, disebut oleh Hamka (1993, hal. 286) dalam
Tafsir Al-Azhar sebagai dampak dari “mutu iman dan islam yang telah tinggi” dan
mereka itu menurutnya memang berupaya “jalan terus” dalam memperjuangkan apa
yang telah diyakininya itu dengan mengabaikan perlakuan tidak menyenangkan
berupa celaan dan cercaan tersebut.

12
Berdasarkan penjelasan tentang karakteristik manusia yang dicintai Allāh dalam
Alquran, dapat dipahami bahwa kesemuaannya telah dicontohkan Rasululāh dalam setiap
tindak-tanduknya di keseharian. Hal ini karena ia merupakan cetak biru dari Alquran
sendiri yang merupakan firman Allāh.

4. Implikasi Konsep Cinta Dalam Alquran terhadap Teori Pendidikan Islam


Setelah makna yang terdapat dalam ayat-ayat dikaji dan ditelaah dengan bantuan
berbagai tafsir baik tafsir berbahasa asli maupun terjemahan tafsir, temuan kemudian
ditarik implikasinya terhadap pendidikan Islam. Implikasi yang dimaksud dari konsep cinta
perspektif Alquran terhadap teori pendidikan Islam diuraikan dalam penjelasan sebagai
berikut:
4.1. Tujuan Pendidikan
Konsep cinta yang dirujuk dari Alquran memberikan inspirasi bahwa tidak ada satu
pun perbuatan yang terlepas dari pantauan-Nya. Perbuatan manusia mengandung dua
kemungkinan. Jika tidak bermuatan positif, maka jelas itu termasuk ke dalam kelompok
perbuatan yang mendatangkan kemafsadatan. Dalam hal ini, prinsip cinta-mencintai harus
menjadi alat pengawal supaya perbuatan subjek dan objek pendidikan Islam tetap dalam
koridor perilaku yang baik dan diridai-Nya. Dikatakan perbuatan tersebut baik dan
mendatangkan cinta Allāh, yakni dengan kembali menata diri dalam bingkai kepatuhan
atas perintah-Nya.
Implementasi dalam praktik pendidikan Islam berbasis cinta kepada Allāh harus
dilakukan secara sistemik. Misalnya saja proses pelaksanaan di sebuah lembaga
pendidikan Islam ruh tentang cinta yang diinspirasi dari perlakuan cinta Allāh kepada
makhluknya dan sebaliknya ini hadir dalam perumusan visi dan misinya. Dengan begini,
hal-hal teknis sebagai penjabaran atas visi-misi yang sudah disusun secara otomatis akan
mengikuti dan menyesuaikan.
Proses pendidikan Islam sebagai sebuah eksekusi atas rancangan di atas kertas
berupa panduan tertulis disusun secara serius yang ditujukan sebagai petunjuk teknis ketika
pendidikan Islam itu diwujudkan di ruang-ruang kelas. Pendidik serta pengelola lembaga
pendidikan akan berpatokan pada langkah-langkah teknis yang telah dibuat tersebut
sehingga dalam kurun waktu tertentu harapan terkait tujuan pendidikannya pun dapat
tercapai.
Apabila tujuan tersebut hanya dalam bentuk garis-garis besar an sich dan ditambah
tidak terpampang jelas pada panduan yang sistematis dan terperinci, maka para pelaku
pendidikan Islam akan terombang-ambing dalam menggapai apa yang ditujunya.

4.2. Materi Pendidikan


Materi pendidikan Islam pada dasarnya tidak dibatasi dengan sekat-sekat tertentu.
Hal ini dijelaskan pula oleh Arifin (2011, hal. 135) bahwa “materi-materi yang diuraikan
dalam Alquran menjadi bahan-bahan pokok pelajaran yang disajikan dalam proses
pendidikan Islam, formal maupun nonformal.”
Selama hal-hal yang dipelajari memiliki kesesuaian dengan ruh misi Islam
diturunkan dan tidak mendatangkan pertentangan dengan inti ajarannya, selama itu pula
materi tersebut diperbolehkan untuk disampaikan. Hanya saja, dalam hal ini materi
pendidikan harus mengerucut pada beberapa tema besar sehingga dengan mudah dapat
menjadi panduan bagi para pelaku pendidikan Islam.
Tema-tema ini berdasarkan pandangan Prof. Dr. Mohammad Fadhil al-Djamaly
(Arifin, 2011, hal. 137) meliputi: “ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu jiwa,
ilmu kedokteran, ilmu pertanian, biologi, ilmu hitung, ilmu hukum, perundang-undangan,

13
ilmu kemasyarakatan (sosiologi), ilmu ekonomi, balaghah, ilmu bahasa Arab, ilmu
pembelaan negara, dan segala ilmu yang dapat mengembangkan kehidupan umat manusia
dan yang mempertinggi derajatnya.”
Konten yang menjadi bahan pembahasan saat pembelajaran berlangsung dalam
pendidikan Islam merujuk pada keseluruhan potensi yang dimiliki manusia baik secara
jiwa maupun raga. Kebutuhan pengembangannya harus diakomodir dalam bentuk bahan-
bahan kajian yang bisa dipelajari atau diperdebatkan dengan tujuan melatih nalar peserta
didik agar terlatih untuk kritis.
Kesimpulan yang diperoleh mengenai materi pendidikan Islam terutama dengan
basis cinta yaitu tidak mengenal prinsip parsial mengenai sumber belajar. Materi-materi
yang bersifat rasional, empirik, serta spiritual ditekankan untuk saling menguatkan satu
sama lain. Sebab jika terjadi pemisahan di antaranya, sebagaimana dijelaskan Arifin (2011,
hal. 142) “berarti telah mengabaikan adanya dikotomi antara kekuasaan Tuhan dengan
manusia dan alam semesta di satu pihak, dan Alquran di lain pihak, yang menunjukkan
bahwa pola pikir demikian tidaklah sesuai dengan pandangan Alquran.”

4.3. Metode Pendidikan Islam


Ilmu yang diajarkan sulit diterima oleh objeknya apabila disampaikan dengan apa
adanya. Diperlukan sebuah perantara untuk mempermudah peserta didik dalam memahami
apa yang dipelajari. Mengenai hal ini sebagaimana dikutip AnSyadilie (2017, hal. 103)
bahwa terdapat “adagium ushuliyah yang menyatakan bahwa “Al amru bi Sya’i amru
biwasailihi, walil wasaili hukmul maqashidi” yang berarti perintah pada sesuatu
(contohnya pendidikan) maka diperintahkan pula untuk mencari mediumnya (metode).”
Dalam komponen pendidikan, hal ini dinamakan metode pendidikan. Metode
pendidikan pada pendidikan Islam ditujukan untuk memberikan kemudahan dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagaimana dijelaskan Athiyah Al-Abrasyi
(AnSyadilie, 2017, hal. 102) bahwa metode pengajaran atau pendidikan memang
dimaksudkan “sebagai jalan untuk memberikan pemahaman materi pelajaran kepada
murid.”
Para ahli pendidikan telah merumuskan banyak sekali metode untuk mempermudah
para pendidik memberikan pemahaman tentang sebuah bahasan keilmuan tertentu. Para
pakar pendidikan Islam pun turut berkontribusi memberikan alternatif metode yang bisa
digunakan sesuai dengan karakteristik bahasan yang akan disampaikan.

4.4. Media Pembelajaran


Alquran banyak berbicara mengenai media pembelajaran yang bisa mempermudah
pemahaman akan sesuatu ilmu dan pengetahuan. Media yang dimaksud bukan sebatas
peralatan canggih tertentu dengan biaya mahal untuk memperoleh atau dalam proses
perancangannya sendiri oleh para pendidik.
Di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang mengandung informasi bahwa alam
semesta memberikan kontribusi bagi tercapainya kepahaman manusia apabila mereka mau
berpikir kritis disertai dengan proses dialogis di dalam benaknya terkait ilmu-ilmu yang
sebelumnya sudah diketahui.
Kondisi kekinian zaman yang terus berdinamika meniscayakan bahwa pendidik
hendaknya terpacu untuk terus berinovasi menciptakan sendiri media-media pembelajaran.
Hal ini diupayakan harus bisa memfasilitasi peserta didik supaya secara efektif mampu
memahami materi yang disampaikan di ruang kelas. Atau jika pendidik memiliki
keterbatasan dalam mengkreasikan sesuatu untuk menjadi media pembelajaran yang khas,

14
setidaknya keinginan menyajikan materi yang menarik melalui bantuan media
pembelajaran tetap tumbuh dalam kapasitasnya selaku seorang pendidik.

4.5.Pendidik
Pendidik sejati menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Ridla (2002, hal. 129) tak
ubahnya seperti “matahari yang menyinari sekelilingnya, dan dengan minyak wangi (misk)
yang membuat harum di sekitarnya. Sementara orang yang berilmu yang tidak mau
mengamalkan ilmunya, maka ia ibarat lembar kosong yang bermanfaat bagi lainnya,
namun dirinya sendiri kosong”.
Astutik (t.t., hal. 78) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Karakter Dalam Perspektif Pemikiran Ki Hajar Dewantara & Ibnu Miskawayh bahwa
“proses belajar mengajar dan aktifitas pendidikan tidak akan ada bila tidak ada pendidik.
Selain itu manusia membutuhkan adanya pemandu jalan atau pendidik yang akan
mengantarkan dirinya pada kebaikan dan dicapainya kebahagiaan.”
Peneliti sepakat dengan pendapat Astutik tersebut di atas. Bahwa memang
pengetahuan bisa didapat hanya dengan membaca buku sepuasnya. Tapi, jangan lupa
bahwa orientasi mencari ilmu dan pengetahuan bukan semata untuk mendapatkan
popularitas atas wawasannya yang luas semata.
Lebih dari itu Islam sebagai agama yang kamil memiliki konsep tentang
keberkahan ilmu yang agaknya sulit diperoleh apabila menguasai keilmuan tanpa adanya
bimbingan dari pendidik yang mengarahkan. Peran pendidik sebagai seseorang yang
memiliki kelimpahan pengalaman memungkinkan untuk mendampingi para pencari ilmu
supaya menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
Selanjutnya, hubungan antara pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran di
suatu lembaga pendidikan hendaknya dilandasi atas spirit kasih sayang dan bertumpu pada
nilai-nilai kecintaan. Bukan hanya mengejar orientasi tertunainya transaksi sebagai
pendidik dan peserta didik secara profesional saja. Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan
dalam interaksi seorang pendidik dan peserta didik dan sebaliknya, maka proses kaderisasi
orang-orang yang berilmu yang peduli akan kelangsungan agamanya akan berjalan nyaris
tanpa hambatan.
Mengacu kepada intisari ayat-ayat yang diteliti dalam penelitian ini setidaknya
dapat dirumuskan prinsip-prinsip berkenaan dengan bagaimana hubungan seharusnya
antara seorang pendidik dan peserta.

4.6. Peserta didik


Setiap peserta didik harus memiliki sikap sadar diri bahwa tanpa guru, mereka
akan kesulitan untuk meraih keberkahan ilmu. Peserta didik jangan sampai membuat
pendidik mereka merasa risih dengan tabiatnya sehingga dalam waktu yang lama akan
timbul kesan negatif terhadapnya. Sebaliknya, peserta didik mesti berusaha untuk dekat
dan dicintai oleh pendidik sehingga proses transfer ilmu dan nilai akan berjalan dengan
baik.
Untuk mendapatkan cinta kasih dari pendidik, peserta didik hendaklah bersikap
sewajarnya sebagai seseorang yang berada di posisi membutuhkan ilmu. Yakni dengan
bersikap tawadu sebagai wujud terimakasih atas jasa pendidik yang telah memberikan
menjadi jalan kepahaman atas ilmu pengetahuan serta mendidik kepribadiannya.
Orang yang butuh tentu harus mengikuti keinginan dari sang pemilik, yang dalam
hal ini pendidik. Apabila sesuatu yang dikerjakan oleh yang membutuhkan tidak sejalan
dengan keinginan pemilik, maka akan timbullah yang dinamakan kebencian atau rasa tidak
suka. Setelah itu terjadi, hubungan saling memberi akan menjadi terhambat prosesnya

15
karena ada sesuatu yang menghalangi. Peserta didik sudah sepantasnya meredam hawa
nafsunya dari keinginan-keinginan tidak terpuji yang bisa mendatangkan kemarahan dan
memancing emosi pendidik.
Oleh karena itu, apabila pendidik merasakan ke-ta’dhim-an sikap peserta
didiknya, maka ilmu yang diberikan akan dengan mudah diterima. Ungkapan yang
menyatakan bahwa sesuatu yang datang dari hati akan sampai lagi ke hati tampaknya
cocok untuk menggambarkan hal ini. Bersumber pada hasil analisis tentang sifat-sifat
manusia yang dicintai dan tidak dicintai oleh Allāh, hubungan peserta didik dan pendidik
pun bisa mengadopsi hubungan kausalitas ini. Berdasarkan konsep cinta dalam Alquran
yang sudah dirumuskan, pendidik dan peserta didik dapat mengimplementaskannya dalam
proses pendidikan Islam.

4.7. Hubungan Emosional Pendidik dan Peserta Didik


Allāh memberikan contoh yang sangat baik untuk ditiru kaitannya dengan
hubungan antara pendidik dan peserta didik. Allāh tidak pernah mengecewakan hambanya
yang berupaya mendekati. Ia tidak pernah ingkar akan janjinya terhadap orang-orang yang
menunaikan perkara-perkara yang dicintai Allāh.
Begitu pun halnya seorang pendidik bisa mengaplikasikan sifat demikian dalam
berinteraksi dengan peserta didiknya di sekolah. Alangkah indah apabila seorang pendidik
memposisikan peserta didik bukan hanya sebagai objeknya dalam menyampaikan materi
pelajaran saja. Melainkan ada nilai plus lain lewat memperlakukan mereka dengan penuh
cinta kasih sebagai generasi penerus dalam memperjuangkan Islam agar senantiasa unggul.
Maka dalam menjalani kewajiban mengajar serta mendidik pun tidak akan terbebani
melainkan sebaliknya berpotensi menjadi semangat karena ada tujuan besar jangka
panjang yang hendak digapai.

4.8.Evaluasi Pendidikan
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan sebuah hal mutlak yang tidak boleh
dilewatkan. Karena prinsip mengevaluasi segala aktitas dan amalan begitu dianjurkan
dalam Islam. Umar bin Khattab bahkan sampai mengisyaratkan untuk menghitung amalan
sendiri sebelum kelak dihitung dalam mahkamah akhirat yang tidak akan ada sedikit pun
hal yang terlewat. Hal ini menunjukan urgensi evaluasi pada setiap amalan, konteks di sini
khususnya dalam pendidikan Islam.

KESIMPULAN
Makna cinta yang disarikan dari berbagai tafsir beberapa ayat Alquran
menunjukkan bahwa sifat ini merupakan sebuah pengerahan fokus pada hal-hal yang akan
mendatangkan rida-Nya. Tentu hal itu akan diperoleh saat perkara-perkara yang disukai
Allāh dilakukan dengan keseriusan serta sepenuh hati. Cinta sendiri memiliki maksud
tujuan penganugerahannya oleh Allah dalam kehidupan, yang antara lain tercakup dalam
beberapa poin berikut: 1) cinta itu membuat sosok yang lemah menjadi pribadi kuat, 2)
cinta mengubah penakut jadi pemberani, 3) cinta menjadikan seseorang tidak enggan untuk
dibenci manakala itu tidak berpengaruh terhadap penilaian dari yang dicintainya, 4) cinta
diciptakan untuk membuat manusia bisa mengendalikan emosinya dari perkara negatif
yang menggebu-gebu, 5) cinta ditujukan agar manusia menjadi sosok yang di mana pun
berada selalu berorientasi menjadi penebar manfaat, 6) cinta mengarahkan manusia untuk
konsisten berpihak terhadap kebenaran, 7) cinta mendorong manusia untuk mempu
menempatkan diri di tengah perbedaan (bersikap toleran) dan tidak berbuat aniaya terlebih
pada siapa pun yang berbeda pandangan, 8) cinta diciptakan agar manusia punya rasa

16
memiliki yang tinggi terhadap agamanya, 9) cinta bertujuan supaya manusia memiliki
gairah untuk cenderung pada keindahan (sesuatu yang membuat damai dan
menenteramkan), 10) cinta dihadirkan di dunia untuk memicu sisi responsif manusia
terhadap berbagai masalah yang ada. Sementara itu, manfaat dari adanya cinta terutama
bagi manusia yaitu: 1) akan dikasihi serta diampuni berbagai dosa oleh Allāh Swt., 2)
mendapatkan suntikan energi luar biasa untuk mampu menjadi pribadi-pribadi yang kuat
dan rela berkorban, 3) menjadi sosok yang komitmen terhadap Islam, 4) pahala akan
diberikan (baik di dunia dan akhirat) terhadap orang-orang yang dicintai Allāh, 5) cinta
akan mendorong munculnya sikap tawadu seseorang dengan menghindarkan diri dari sikap
angkuh dan merasa mampu berbuat banyak hal.
Berdasarkan analisis terhadap ayat yang berkaitan dengan cinta dalam Alquran,
ditemukan beberapa karekteristik manusia yang dicintai oleh Allāh. Karakteristik yang
dimaksud antara lain: 1) mengikuti Rasululāh saw., 2) bertakwa kepada Allāh, 3) berbuat
baik, 4) sabar, 5) tawakal, 6) adil, 7) berperang dalam barisan yang teratur, 8) lemah
lembut terhadap orang mukmin, dan 9) tidak takut terhadap celaan orang-orang. Beberapa
karakteristik ini mendatangkan cinta Allah bagi siapa pun yang mengupayakan serta
memilikinya. Tidak mudah melaksanakan sifat-sifat ini jika tanpa ada dorongan kuat untuk
semakin mendekat kepada-Nya.
Konsep cinta dalam Alquran pada penelitian ini memiliki implikasi terhadap teori
pendidikan Islam. Hal ini dipandang positif untuk dikaji karena akan bermanfaat dalam
pengembangan pendidikan Islam sehingga makin kaya dengan referensi baik secara konsep
maupun mencakup prinsip yang akan membantu praktisi pendidikan Islam saat
mengaplikasikannya di tataran teknis di lapangan. Implikasi dari konsep cinta terhadap
aspek pendidik dan peserta didik menimbulkan cara pandang terhadap pola hubungan
antara keduanya yang sangat indah dan menghindarkan proses yang hanya bersifat
mekanistis. Hubungan cinta keduanya akan memposisikan pendidik bersedia berkorban
demi kebaikan peserta didiknya dan mengakibatkan kesediaan terdidik untuk
mengidentifikasikan diri kepada harapan-harapan pendidiknya tersebut secara tulus dan
penuh.

17
REFERENSI

'Abdullah. (2008). Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 2) (Vol. 2). (M. Y. Harun, H. N. Wahid , F. A.
Okbah, Y. A. Jawas , M. Bamu'allim , F. Dloifur , et al., Penyunt., & M. A.
Ghoffar, Penerj.) Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi'i.
Al-Jailani, S. A. (2005). Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq. (C. R. Anwar, Penyunt., &
A. Irawan, Penerj.) Jakarta: Penerbit Zaman.
Al-Qurthubi, S. I. (2008). Tafsir Al-Qurthubi (Jilid 4). (A. Zubairin, Penyunt., D. Rosyadi,
N. Haq, & Fathurrahman, Penerj.) Jakarta: Pustaka Azzam.
AnSyadilie, M. (2017). Konsep Pendidikan: Persepektif Alquran Komtemplasi Filosofis
Tafsir Tarbawi. (D. S. Fuadah, Penyunt.) Yogyakarta: Piner Semesta.
Arifin, M. (2011). Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. (F. Asy, Penyunt.) Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ash-Shiddieqy, T. M. (2000). Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur (Jilid 1). (N. Shiddiqi, &
Z. F. ash-Shiddieqy, Penyunt.) Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Astutik, P. (t.t.). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pemikiran Ki Hajar Dewantara &
Ibnu Miskawayh. -: Pena Nusantara.
Ath-Thabari, A. J. (2008). Tafsir (Jilid 5). (B. H. Amin, Penyunt., & B. Sarbeni, Penerj.)
Jakarta: Pustaka Azzam.
Fathoni, A. (2006). Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Hamka. (1993). Tafsir Al-Azhar Juz'u V. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka. (2015). Tasawuf Modern. (M. I. Santosa, Penyunt.) Jakarta: Republika Penerbit.
Matta, A. (2016). Serial Cinta: Bagaimana Kekuatan Cinta mengubah Kualitas Hidup dan
Cita Rasa Kehidupan. Jakarta: Tarbawi Press.
Mujib, A., & Mudzakir, J. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Naqshbandi, F. Z. (2002). Love for Allah: A Translation of Ishq Ilahi. (D. S., Penyunt., &
Munir, Penerj.) Bandung: Penerbit Marja'.
Rakhmat, J. (2004). Madrasah Ruhaniah. Bandung: Manikmaya.
Ridla, M. J. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-
Filosofis). (Z. Abas, L. Fauroni, Penyunt., & M. Arif, Penerj.) Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. (B. Sarwiji, Penyunt.) Jakarta: PT
Indeks.
Shihab, M. Q. (2008). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Volume
2) (XI ed., Vol. 2). Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an
Volume 12 (Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2014). Secercah Cahaya Hidup Bersama Al-Qur'an. (A. Muhammad,
Penyunt.) Bandung: Penerbit Mizan.
Syahidin. (2009). Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur'an. Bandung: Penerbit
Alvabeta.
Syahidin, Ali, Z., Alba , C., Nurwahidin, & Firmansyah, M. I. (2014). Pendidikan Agama
Islam Kontemporer. Tangerang: Yayasan Masyarakat Indonesia Muda.
Tafsir, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islami. (E. Kuswandi, Penyunt.) Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

18
Zainudin, M. (2011). Kisah-kisah Cinta Penuh Drama Para Filsuf Dunia. Yogyakarta:
Diva Press.

19

Anda mungkin juga menyukai