TAFSIR TARBAWI
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
dedeselpiyana@gmail.com
Dr. Cucu Surahman, S.Th.I,M.A1
ABSTRAK
Pendidikan dalam Islam sangat diperhatikan dengan baik. Alquran sebagai sumber
primer rujukan teori-teori pendidikan Islam menyediakan ruang yang tidak terbatas untuk
digali berbagai konsepnya. Salah satu tema yang sangat potensial untuk diteliti yaitu
tentang cinta di dalam Alquran. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep cinta
dalam Alquran yang meliputi hakikat cinta, karakteristik manusia yang dicintai Allah, dan
kemudian ditarik implikasinya terhadap teori pendidikan Islam. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode tafsir maudu’i. Dari temuan yang
selanjutnya dianalisis, ditemukan bahwa cinta yang dimaksud dalam Alquran berkaitan
dengan Allah sebagai subjek yakni curahan kebaikan yang tidak pernah putus diberikan
sebagai bentuk kemurahan-Nya agar sistem kehidupan ini berjalan dengan kondusif dan
penuh dengan ketentraman serta keteraturan. Sementara itu, cinta manusia kepada Allāh
Swt. merupakan wujud reaksi atas aksi cinta Allāh terlebih dahulu yang telah memberikan
hal tersebut terhadap hamba-Nya. Adapun di antara sebagian dari karakteristik manusia
yang dicintai Allah berdasarkan ayat-ayat yang telah diinventarisir yaitu: 1) mengikuti
Rasululāh saw., 2) bertakwa kepada Allāh, 3) berbuat baik, 4) sabar, 5) tawakal, 6) adil, 7)
berperang dalam barisan yang teratur, 8) lemah lembut terhadap orang mukmin, dan 9)
tidak takut terhadap celaan orang-orang. Sementara itu, rumusan konsep cinta dalam
Alquran ini memiliki implikasi terhadap teori pendidikan Islam. Implikasi paling dominan
dari konsep cinta dalam Alquran terhadap teori pendidikan Islam ini yaitu memberikan
inspirasi terhadap bagaimana seharusnya pendidik dan peserta didik serta komunikasi di
antara keduanya secara ideal, yakni dengan mengedepankan kasih sayang ketimbang emosi
terlebih perlakuan yang kasar.
1
Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Alquran
1
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan wahana yang efektif untuk mengubah perilaku, karakter hingga
akhlak manusia. Melalui pendidikan dengan karakteristik prosesnya berdurasi lama, dapat
diberikan berbagai perlakuan dan transfer nilai yang berupaya menjadikan objeknya
memiliki kepribadian ideal. Kepribadian ideal yang dimaksud yaitu tertanam dalam dirinya
akhlak yang mulia. Sebagaimana misi turunnya Rasululāh saw. ke muka bumi ini yakni
untuk menyempurnakan akhlak. Ini menyiratkan betapa urgennya pembinaan akhlak dalam
kehidupan manusia. Proses pembinaan akhlak sebagai ikhtiar untuk menjaga nilai-nilai
utuh kemanusiaan seyogianya dilaksanakan satu paket dalam pendidikan. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh Syahidin (2009, hal. 30) bahwa:
“…..peranan pendidikan akan sangat penting, karena disamping kemajuan ilmu
pengetahuan yang menuntut sumber daya manusia yang berkualitas (khalifah di
muka bumi), juga pendidikan berperan sebagai pengarah dari lajunya
perkembangan pengetahuan itu sendiri, sehingga hasilnya tidak akan merusak nilai-
nilai kemanusiaan.”
Selain itu, pendidikan dapat dijadikan sarana untuk menjadikan manusia sebagai
sosok paripurna melalui rangkaian proses yang bertahap. Kenyataan ini tentu akan
berimplikasi pada kualitas proses yang dijalankan di dalamnya. Penentuan hasil akhir yang
diperoleh dari pendidikan akan sangat bergantung pada seberapa baik tahap proses yang
dijalankan. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa untuk melaksanakan proses yang baik
harus dilakukan perencanaan matang sehingga tidak terjadi kebingungan dalam
pelaksanaannya.
Apabila merujuk kepada definisi pendidikan menurut para ahli dapat ditemukan
berbagai makna yang terdapat di dalamnya. Meskipun ada perbedaan, namun tidak terlalu
signifikan dan semuanya bermuara pada upaya pengembangan potensi manusia supaya
sesuai dengan fitrahnya.
Marimba (dalam Tafsir 2012, hal. 34) memberikan pengertian bahwa pendidikan
merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan ruhani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Di sisi lain,
Tafsir (2012, hal. 34) melihat dengan sudut pandang yang lebih luas lagi bahwa pendidikan
adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, yaitu aspek jasmani, akal, dan hati
(ruhani).
Sementara itu, Islam sebagai agama yang komprehensif sangat menomorsatukan
kedudukan pendidikan. Banyak ayat dalam Alquran yang membahas bahwa pendidikan
begitu diprioritaskan kedudukannya dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan
manusia, yakni sebagai khalifah dan hamba Allāh. Salah satu contohnya adalah firman
Allāh tentang perintah membaca dalam Qs. Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Penyelenggaraan pendidikan tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa pembentukan
komponen-komponennya yang meliputi tujuan pendidikan, media, metode, karakter
pendidik hingga tahapan evaluasi pendidikan. Mukhtar sebagaimana dikutip Riadi (2008,
hal. 1) menyebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah implementasi dari cinta
dan kasih sayang Allāh yang diturunkan kepada segenap makhluk terutama manusia.
Dengan cinta dan kasih sayang, suatu proses pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Dengan cinta dan kasih sayang, guru mendidik murid-muridnya. Dengan cinta dan kasih
sayang pula ulama dan pemimpin mendidik bangsa dan negaranya.
Islam sendiri tidak pernah tabu untuk memperbincangkan cinta. Dari pemahaman
cinta yang utuh, setiap tingkah laku, perbuatan, perkataan hingga ucap di hati bisa
2
dimaknai dengan semestinya. Tidak ada pikiran kotor untuk saling menjatuhkan antar satu
sama lain. Hal ini karena Allāh sebagai sang Pencipta pun memperlakukan makhluknya
dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sudah semestinya sifat Allāh tersebut menjadi acuan
bagi manusia untuk mengedepankan perasaan saling cinta ketimbang permusuhan dan
menebar benih kebencian.
Apabila semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan merujuk
kepada konsep cinta sesuai Alquran dengan tepat, maka dapat dipastikan apa yang
dilakukannya itu nyaris tanpa beban. Ataupun ketika beban itu ada, akan mudah diatasi
karena niatnya bukan hanya untuk mendapatkan materi semata melainkan mengacu pada
hal abstrak berupa kepuasan batin yang tak terhingga.
Melalui implementasi konsep cinta (yang dirumuskan dari Alquran) dalam
pendidikan Islam dimungkinkan akan terjadinya proses pendidikan yang kondusif. Hal ini
karena pada intinya manusia memiliki kepekaan tinggi ketika bersinggungan dengan
perasaan cinta. Ketika para pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan penuh rasa
cinta seperti halnya Allāh memperlakukan hambanya dengan kecintaan yang tanpa pamrih
maka akan terjadi hubungan harmonis antar kedua belah pihak tersebut. Pada akhirnya
proses transfer of knowledge dan transfer of value berpeluang akan berjalan dengan tanpa
hambatan berarti.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan
objek penelitiannya merupakan makna-makna yang diungkap dari sumber yang non angka.
Begitupun dengan pengolahan datanya yang mementingkan kualitas daripada kuantitas.
Hal ini dinyatakan oleh Sarosa (2012, hal. 8) bahwa penelitian kualitatif memang
“berusaha menggali dan memahami pemaknaan akan kebenaran yang berbeda-beda oleh
orang yang berbeda”.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan yaitu metode penelitian pustaka atau
lazim popular dengan studi literatur dengan menjadikan buku-buku sebagai sumber data.
Ini sebagaimana dijelaskan oleh Fathoni (2006) bahwa penelitian pustaka bermakna:
Suatu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan
menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku,
periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara
berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya,
yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah.
3
Metode yang ditempuh oleh seorang mufasir dengan cara menghimpun seluruh
ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang suatu tema serta mengarahkan kepada
satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat itu turun secara berbeda, tersebar
pada berbagai surah dalam Alquran dan berbeda waktu dan tempat turunnya.
2. Hakikat Cinta
2.1. Pengertian
Setelah melalui tahapan analisis terhadap ayat-ayat yang mengandung makna cinta
di dalamnya, peneliti menemukan poin penting mengenai definisi cinta dalam Alquran
yang terdapat dalam 3 ayat, yakni Qs. ali Imron [3]: 31, Qs. al-Maidah [5]: 54, dan al-Shaf
[61]: 4. Pada ketiga ayat ini. berdasarkan penafsiran para mufasir diuraikan makna cinta
secara definitif ditunjang dengan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan maksud cinta
di dalam Alquran.
Cinta kepada Allāh dari seorang hamba dengan penuh ketulusan merupakan pintu
pengantar baginya untuk memperoleh ketenangan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada
lagi yang menjadi sumber ketenangan dan ketenteraman selain dengan terus mengingat
Allāh setiap saat. Di mana ini merupakan salah satu dampak dari pekerjaan mencintai
Allāh.
Hal ini berkesesuaian dengan kandungan Qs. Ali Imron [3]: 31 yang ditafsirkan
oleh Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah. Menurutnya, cinta manusia kepada Allāh
apabila benar-benar dilakukan tanpa ada niat pragmatis, akan mengantarkan pribadi
mereka menjadi sosok yang segala tindakannya mengarah pada ketaatan, menghormati,
serta mengagungkan juga mementingkan Allāh di atas segala-galanya.
Lebih lanjut dijelaskan tentang hal ini sebagai berikut:
“Cinta manusia kepada Allāh adalah suatu kualitas yang mengejawantah pada diri
seseorang yang beriman sehingga menghasilkan ketaatan kepada-Nya,
penghormatan dan pengagungan, dan dengan demikian ia mementingkan-Nya dari
selain-Nya. Dia menjadi tidak sabar dan resah untuk tidak memandang dan
memenuhi kehendak-Nya, dia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali bila
bersama-Nya, dia tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya pula, dan
puncak kenikmatan yang dikecupnya adalah ketika menyebut-nyebut (berdzikir)
sambil memandang keindahan dan kebesaran-Nya.” (Shihab, 2008, hal. 70).
Pengakuan cinta manusia kepada Allāh tidak bisa hanya diikrarkan begitu saja
tanpa mengikuti syarat yang diajukan Allāh terhadap mereka. Dalam ayat ini, Alquran
4
mengabarkan bahwa mencintai Allāh bisa diterima dan akan berbalas manakala manusia
juga mengikuti apa yang dibawa oleh utusan-Nya, Nabi Muhammad saw.
Keduanya merupakan satu paket kemestian yang harus dilakukan untuk
mendapatkan cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan dari Allāh Swt. Tidak bisa
keduanya dicintai secara parsial, dalam artian secara terpisah-pisah. Sebab Rasululāh
sebagai utusan-Nya hadir sebagai teladan yang nyata untuk menampilkan nilai-nilai ideal
yang telah termaktub dalam Alquran sebagai firman Allāh.
Penegasan mengenai harusnya ada keterkaitan antara mencintai Allāh dan
menjalani konsekuensinya yaitu juga mengikuti utusan-Nya ini pun senada dengan
penafsiran ash-Shiddieqy (2000, hal. 572), (Al-Qurthubi, 2008, hal. 165), Quṭb (2008, hal.
57), dan Ath-Thabari (2008, hal. 223).
Cinta pun dijadikan ruh dan prinsip yang magis sampai-sampai banyak perkara
yang awalnya terlihat mustahil, pada akhirnya bisa menjadi nyata juga. Hal ini pun
berkesesuaian dengan pernyataan Ibnul Qayyim dalam bukunya, Taman Para Pecinta
sebagaimana dikutip Matta (2016, hal. 6) bahwa “semua gerak di alam raya ini, di langit
dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.”
Cinta memang sangat berpotensi melahirkan kekuatan seperti itu. Hal ini sudah
menjadi fitrah dari cinta dan berlaku pada objek mana saja saat sifat itu diarahkan. Terlebih
lagi kalau ini cinta yang diarahkan kepada Allāh, Yang Maha Menciptakan Cinta, juga
Yang Maha Pencinta.
Berdasarkan penjelasan para mufasir tersebut, untuk membedah ketiga makna ayat
mengenai makna cinta dalam Alquran, dapat disimpulkan bahwa cinta yang dimaksud
dalam Alquran kaitannya dengan Allāh sebagai subjek adalah sebuah pengerahan fokus
pada hal-hal yang akan mendatangkan rida-Nya. Tentu hal itu akan diperoleh saat perkara-
perkara yang disukai Allāh dilakukan dengan keseriusan serta sepenuh hati.
5
dan akan sangat berdaya guna apabila diarahkan kepada hal-hal baik serta ditujukan untuk
kemaslahatan umat beserta alam raya dan segala isinya. Tugas yang harus terus menerus
diemban yaitu mengarahkan cinta agar tetap berada dalam koridor yang semestinya dan
tidak disalahgunakan untuk sesuatu perbuatan-perbuatan tidak bertanggung jawab dan
lebih parahnya justru kalau sampai merugikan.
2.4.Manfaat Cinta
Term cinta di dalam Alquran mendapatkan porsi yang cukup besar. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya ayat yang secara langsung maupun tidak, memiliki prinsip
mengenai cinta.
Cinta memang tak bisa terlepas dari kehidupan sebagai satu nafas yang membuat
manusia tenteram dalam menjalaninya. Cinta terlebih lagi memiliki peran vital untuk
menyumbang dorongan terhadap manusia agar bersemangat menyelesaikan permasalahan
hidupnya masing-masing. Jika cinta tidak diciptakan, bagaimana jadinya interaksi sesama
manusia baik dengan manusia lain juga makhluk hidup lainnya. Pastilah akan menghadapi
gesekan yang sulit diantisipasi.
6
Alquran menerangkan cinta dengan penuh ekspresi, betapa sifat ini memang sangat
lekat dengan Allāh Swt. sebagai Dzat Yang Maha Pencinta. Melalui cinta-Nya, Allāh
menularkan energi tersebut dalam banyak peristiwa dan berbagai koneksi. Cinta menjadi
landasan atas pergerakan banyak perkara.
7
yang agung tersebut memang tidak mudah dan tanpa risiko. Naqshbandi (2002, hal.
107) mengingatkan untuk bersiap mengorbankan banyak hal demi mencapai tujuan
mulia ini serta harus dilandasi niat yang kokoh. Peneliti sepakat dengan pernyataan
tersebut. Sebab memang sangat berat cobaan dan rintangan yang harus dilalui untuk
tiba di maqam istimewa itu.
1.5.1.3.Memperbanyak Tahlil
Definisi tuhan itu bisa sangat banyak sekali. Sesuatu yang dirindukan,
dicintai, diyakini mampu mendatangkan maslahat juga mendatangkan madarat
sekaligus menjauhkannya, ditakuti. Seluruhnya berpotensi menjadi tuhan-tuhan
baru. Di mana kehadiran semuanya itu akan bisa menduakan eksistensi Tuhan yang
sesungguhnya, yakni Allāh Swt. sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi.
Maka membaca tahlil dengan konsisten akan mereduksi kecenderungan
menyimpang tersebut dari hati setiap hamba. Atau setidaknya mampu kembali
menstabilkan kondisi hati yang melemah lantaran kian menjauh dari Allāh Swt.
Sebagaimana dinyatakan Naqshbandi (2002, hal. 108) bahwa membaca la ilaha illa
Allāh secara kontinu “ini merupakan senjata ampuh: ia meniadakan semua tuhan
yang salah yang bisa jadi bersarang di hati seseorang.”
Oleh karena itu, menjadikan dzikir kalimat tahlil dalam keseharian harus
terus dibiasakan. Sekilas hal ini tampak terlihat sederhana dan mudah untuk
dilakukan. Namun, bila tanpa dibarengi latihan yang istiqamah, mustahil kebiasaan
melanggengkan membaca tahlil ini bisa jadi karakter dalam diri seseorang, yang
akan terasa ganjil jika dalam satu kesempatan saja hal itu tidak dikerjakan.
1.5.1.4.Merenung (fikr)
“Merenung merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencapai cinta
kepada Allāh” (Naqshbandi, 2002, hal. 108). Melalui perenungan mendalam berupa
refleksi diri yang dilakukan dengan intensitas tinggi akan membuat apa yang
disebut Naqshbandi (2002, hal. 108) sebagai limpahan spiritual (faidh) Allāh turun
ke dalam hati para pencari cinta tersebut.
Merenung memang akan memberikan ruang yang penuh dengan konsentrasi
untuk mengevaluasi diri sendiri beserta kesahalan-kesalahan yang telah diperbuat
selama ini. Selain juga melalui perenungan itu akan menyediakan kemungkinan
untuk berpikir secara jernih.
8
1.5.1.5.Bersahabat dengan Mereka yang Benar dalam Ucapan dan Tindakan
(shadiqin)
Ada satu ungkapan yang menyatakan bahwa seseorang bisa dilihat
wataknya dari siapa teman bergaulnya. Logis sekali hal ini. Sebab memang peranan
teman juga sahabat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan pola
pikir dan bersikap seseorang.
“Jika seorang pencari tetap bersahabat dengan para pecinta, ia juga akan
menjadi pecinta (‘asyiq)” (Naqshbandi, 2002, hal. 109).
9
Nya tidak bisa tidak, harus pula mengikuti apa yang dicontohkan Rasululāh baik dalam
perkataan, perbuatan, juga pembiarannya (taqrir). Karena beliau adalah utusan yang
membawa risalah berupa petunjuk untuk bertauhid serta menghamba kepada-Nya.
10
3.3. Sabar
Shihab (2014, hal. 165-166) setelah mengacu pada arti secara harfiah kata
sabar dalam kamus-kamus Alqur’an menyimpulkan bahwa sifat ini “menuntut
ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima
dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab.” Betul memang betapa sabar itu hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang kuat yang jiwanya mampu menerima keadaan apa
pun termasuk sesuatu yang dianggap merugikan dirinya.
Berdasarkan ayat-ayat mengenai term cinta yang telah dihimpun, karakteristik
sifat orang-orang penyabar terdapat dalam Q.S. ali Imron [3]: 146. Dalam ayat ini,
sebagaimana diungkapkan Shihab (2008, hal. 237) bahwa sifat sabar yang dimaksud
memang spesifik dalam arti tabah saat menunaikan tugas serta bertahan atas derita
menerima ujian dalam berperang melawan musuh. Konteks ayatnya yaitu saat perang
fisik berhadapan dengan lawan-lawan yang memusuhi kaum muslimin pada masa
Nabi-nabi terdahulu. Lalu Allāh mengekpresikan cintanya kepada orang-orang yang
bersabar ini dengan memberi dukungan serta anugerah-Nya.
3.4. Tawakal
Hamka (2015, hal. 285) dalam buku Tasawuf Modern mendefinisikan tawakal
yaitu “menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan
semesta alam.” Senada dengan apa yang disampaikan Hamka dengan sedikit
penambahan, Al-Jailani (2005, hal. 137) menyebutkan bahwa hakikat tawakal adalah
“memasrahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allāh, menyucikan diri dari gulita
ikhtiar dan (sombongnya) perencanaan (tadbir), serta naik ke derajat penyaksian
hukum dan takdir.”
Penjelasan lain mengenai tawakal dikemukakan pula oleh Naqshbandi (2002,
hal. 156). Menurutnya, tawakal berarti:
“Refleksi kembalinya hamba yang lemah kepada Yang Mahakuat dengan
permohonan, ketundukan, dan kepasrahan, agar dia mengetahui sifat tersebut di
saat kembali dan berangkat. Karena itu, hendaknya seseorang tidak bertawakal
dan menyandarkan diri kecuali kepada Allāh Swt., dengan menganggap bahwa
tawakal tersebut merupakan cabang iman, dan menyerahkan segala urusan
kepada-Nya, yang dengan itu akan terlihat jelaslah gambaran tauhid dalam
kalbu hamba yang mencintai Allāh, sehingga dia tidak melihat adanya tempat
kembali kecuali Allāh Swt.”
Dari ketiga pengertian yang dikemukakan tersebut, ada satu persamaan perihal
tawakal, yakni bersikap pasrah akan hasil kepada Allāh Swt. Bila seorang hamba
memiliki sikap seperti ini, maka kekecewaan meskipun akan menghampiri saat
kegagalan meraih yang diinginkan, itu akan mudah diantisipasi sehingga tidak terlalu
berlarut-larut di dalamnya sambil mengutuk keadaan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk membiasakan mengedepankan tawakal setelahnya melakukan berbagai hal
sebagai bentuk ikhtiar. Selain akan mengundang cinta Allāh, orang-orang yang
bertawakal akan selamat dari berbagai bentuk kepahitan dalam hidup.
3.5. Adil
Sekilas, adil dimaknai sebagai sifat yang paham di mana seharusnya sesuatu
ditempatkan atau diletakkan. Sementara itu, lawan dari sifat itu adalah zalim. Misalnya
11
saja mengenakan jaket yang tebal dengan tujuan memamerkan pakaian baru padahal
hari sedang panas terik.
Menurut Shihab (2009, hal. 595) dalam tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa
tujuan dari perintah untuk bersikap adil berdasar Q.S Al-Hujurat [49] ayat 9 yang
merupakan salah satu ayat tentang anjuran untuk berbuat adil yaitu agar keputusan
yang diambil dapat diterima oleh semua kelompok dengan baik.
Ayat ini memang konteksnya tentang perintah dari Allāh untuk mendamaikan
kelompok-kelompok yang sedang berselisih paham. Adil di sini lebih mengarah
kepada prinsip dalam mengambil sebuah keputusan agar tidak berat sebelah dan
berusaha sebisa mungkin untuk seimbang.
12
Berdasarkan penjelasan tentang karakteristik manusia yang dicintai Allāh dalam
Alquran, dapat dipahami bahwa kesemuaannya telah dicontohkan Rasululāh dalam setiap
tindak-tanduknya di keseharian. Hal ini karena ia merupakan cetak biru dari Alquran
sendiri yang merupakan firman Allāh.
13
ilmu kemasyarakatan (sosiologi), ilmu ekonomi, balaghah, ilmu bahasa Arab, ilmu
pembelaan negara, dan segala ilmu yang dapat mengembangkan kehidupan umat manusia
dan yang mempertinggi derajatnya.”
Konten yang menjadi bahan pembahasan saat pembelajaran berlangsung dalam
pendidikan Islam merujuk pada keseluruhan potensi yang dimiliki manusia baik secara
jiwa maupun raga. Kebutuhan pengembangannya harus diakomodir dalam bentuk bahan-
bahan kajian yang bisa dipelajari atau diperdebatkan dengan tujuan melatih nalar peserta
didik agar terlatih untuk kritis.
Kesimpulan yang diperoleh mengenai materi pendidikan Islam terutama dengan
basis cinta yaitu tidak mengenal prinsip parsial mengenai sumber belajar. Materi-materi
yang bersifat rasional, empirik, serta spiritual ditekankan untuk saling menguatkan satu
sama lain. Sebab jika terjadi pemisahan di antaranya, sebagaimana dijelaskan Arifin (2011,
hal. 142) “berarti telah mengabaikan adanya dikotomi antara kekuasaan Tuhan dengan
manusia dan alam semesta di satu pihak, dan Alquran di lain pihak, yang menunjukkan
bahwa pola pikir demikian tidaklah sesuai dengan pandangan Alquran.”
14
setidaknya keinginan menyajikan materi yang menarik melalui bantuan media
pembelajaran tetap tumbuh dalam kapasitasnya selaku seorang pendidik.
4.5.Pendidik
Pendidik sejati menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Ridla (2002, hal. 129) tak
ubahnya seperti “matahari yang menyinari sekelilingnya, dan dengan minyak wangi (misk)
yang membuat harum di sekitarnya. Sementara orang yang berilmu yang tidak mau
mengamalkan ilmunya, maka ia ibarat lembar kosong yang bermanfaat bagi lainnya,
namun dirinya sendiri kosong”.
Astutik (t.t., hal. 78) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Karakter Dalam Perspektif Pemikiran Ki Hajar Dewantara & Ibnu Miskawayh bahwa
“proses belajar mengajar dan aktifitas pendidikan tidak akan ada bila tidak ada pendidik.
Selain itu manusia membutuhkan adanya pemandu jalan atau pendidik yang akan
mengantarkan dirinya pada kebaikan dan dicapainya kebahagiaan.”
Peneliti sepakat dengan pendapat Astutik tersebut di atas. Bahwa memang
pengetahuan bisa didapat hanya dengan membaca buku sepuasnya. Tapi, jangan lupa
bahwa orientasi mencari ilmu dan pengetahuan bukan semata untuk mendapatkan
popularitas atas wawasannya yang luas semata.
Lebih dari itu Islam sebagai agama yang kamil memiliki konsep tentang
keberkahan ilmu yang agaknya sulit diperoleh apabila menguasai keilmuan tanpa adanya
bimbingan dari pendidik yang mengarahkan. Peran pendidik sebagai seseorang yang
memiliki kelimpahan pengalaman memungkinkan untuk mendampingi para pencari ilmu
supaya menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
Selanjutnya, hubungan antara pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran di
suatu lembaga pendidikan hendaknya dilandasi atas spirit kasih sayang dan bertumpu pada
nilai-nilai kecintaan. Bukan hanya mengejar orientasi tertunainya transaksi sebagai
pendidik dan peserta didik secara profesional saja. Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan
dalam interaksi seorang pendidik dan peserta didik dan sebaliknya, maka proses kaderisasi
orang-orang yang berilmu yang peduli akan kelangsungan agamanya akan berjalan nyaris
tanpa hambatan.
Mengacu kepada intisari ayat-ayat yang diteliti dalam penelitian ini setidaknya
dapat dirumuskan prinsip-prinsip berkenaan dengan bagaimana hubungan seharusnya
antara seorang pendidik dan peserta.
15
karena ada sesuatu yang menghalangi. Peserta didik sudah sepantasnya meredam hawa
nafsunya dari keinginan-keinginan tidak terpuji yang bisa mendatangkan kemarahan dan
memancing emosi pendidik.
Oleh karena itu, apabila pendidik merasakan ke-ta’dhim-an sikap peserta
didiknya, maka ilmu yang diberikan akan dengan mudah diterima. Ungkapan yang
menyatakan bahwa sesuatu yang datang dari hati akan sampai lagi ke hati tampaknya
cocok untuk menggambarkan hal ini. Bersumber pada hasil analisis tentang sifat-sifat
manusia yang dicintai dan tidak dicintai oleh Allāh, hubungan peserta didik dan pendidik
pun bisa mengadopsi hubungan kausalitas ini. Berdasarkan konsep cinta dalam Alquran
yang sudah dirumuskan, pendidik dan peserta didik dapat mengimplementaskannya dalam
proses pendidikan Islam.
4.8.Evaluasi Pendidikan
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan sebuah hal mutlak yang tidak boleh
dilewatkan. Karena prinsip mengevaluasi segala aktitas dan amalan begitu dianjurkan
dalam Islam. Umar bin Khattab bahkan sampai mengisyaratkan untuk menghitung amalan
sendiri sebelum kelak dihitung dalam mahkamah akhirat yang tidak akan ada sedikit pun
hal yang terlewat. Hal ini menunjukan urgensi evaluasi pada setiap amalan, konteks di sini
khususnya dalam pendidikan Islam.
KESIMPULAN
Makna cinta yang disarikan dari berbagai tafsir beberapa ayat Alquran
menunjukkan bahwa sifat ini merupakan sebuah pengerahan fokus pada hal-hal yang akan
mendatangkan rida-Nya. Tentu hal itu akan diperoleh saat perkara-perkara yang disukai
Allāh dilakukan dengan keseriusan serta sepenuh hati. Cinta sendiri memiliki maksud
tujuan penganugerahannya oleh Allah dalam kehidupan, yang antara lain tercakup dalam
beberapa poin berikut: 1) cinta itu membuat sosok yang lemah menjadi pribadi kuat, 2)
cinta mengubah penakut jadi pemberani, 3) cinta menjadikan seseorang tidak enggan untuk
dibenci manakala itu tidak berpengaruh terhadap penilaian dari yang dicintainya, 4) cinta
diciptakan untuk membuat manusia bisa mengendalikan emosinya dari perkara negatif
yang menggebu-gebu, 5) cinta ditujukan agar manusia menjadi sosok yang di mana pun
berada selalu berorientasi menjadi penebar manfaat, 6) cinta mengarahkan manusia untuk
konsisten berpihak terhadap kebenaran, 7) cinta mendorong manusia untuk mempu
menempatkan diri di tengah perbedaan (bersikap toleran) dan tidak berbuat aniaya terlebih
pada siapa pun yang berbeda pandangan, 8) cinta diciptakan agar manusia punya rasa
16
memiliki yang tinggi terhadap agamanya, 9) cinta bertujuan supaya manusia memiliki
gairah untuk cenderung pada keindahan (sesuatu yang membuat damai dan
menenteramkan), 10) cinta dihadirkan di dunia untuk memicu sisi responsif manusia
terhadap berbagai masalah yang ada. Sementara itu, manfaat dari adanya cinta terutama
bagi manusia yaitu: 1) akan dikasihi serta diampuni berbagai dosa oleh Allāh Swt., 2)
mendapatkan suntikan energi luar biasa untuk mampu menjadi pribadi-pribadi yang kuat
dan rela berkorban, 3) menjadi sosok yang komitmen terhadap Islam, 4) pahala akan
diberikan (baik di dunia dan akhirat) terhadap orang-orang yang dicintai Allāh, 5) cinta
akan mendorong munculnya sikap tawadu seseorang dengan menghindarkan diri dari sikap
angkuh dan merasa mampu berbuat banyak hal.
Berdasarkan analisis terhadap ayat yang berkaitan dengan cinta dalam Alquran,
ditemukan beberapa karekteristik manusia yang dicintai oleh Allāh. Karakteristik yang
dimaksud antara lain: 1) mengikuti Rasululāh saw., 2) bertakwa kepada Allāh, 3) berbuat
baik, 4) sabar, 5) tawakal, 6) adil, 7) berperang dalam barisan yang teratur, 8) lemah
lembut terhadap orang mukmin, dan 9) tidak takut terhadap celaan orang-orang. Beberapa
karakteristik ini mendatangkan cinta Allah bagi siapa pun yang mengupayakan serta
memilikinya. Tidak mudah melaksanakan sifat-sifat ini jika tanpa ada dorongan kuat untuk
semakin mendekat kepada-Nya.
Konsep cinta dalam Alquran pada penelitian ini memiliki implikasi terhadap teori
pendidikan Islam. Hal ini dipandang positif untuk dikaji karena akan bermanfaat dalam
pengembangan pendidikan Islam sehingga makin kaya dengan referensi baik secara konsep
maupun mencakup prinsip yang akan membantu praktisi pendidikan Islam saat
mengaplikasikannya di tataran teknis di lapangan. Implikasi dari konsep cinta terhadap
aspek pendidik dan peserta didik menimbulkan cara pandang terhadap pola hubungan
antara keduanya yang sangat indah dan menghindarkan proses yang hanya bersifat
mekanistis. Hubungan cinta keduanya akan memposisikan pendidik bersedia berkorban
demi kebaikan peserta didiknya dan mengakibatkan kesediaan terdidik untuk
mengidentifikasikan diri kepada harapan-harapan pendidiknya tersebut secara tulus dan
penuh.
17
REFERENSI
'Abdullah. (2008). Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 2) (Vol. 2). (M. Y. Harun, H. N. Wahid , F. A.
Okbah, Y. A. Jawas , M. Bamu'allim , F. Dloifur , et al., Penyunt., & M. A.
Ghoffar, Penerj.) Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi'i.
Al-Jailani, S. A. (2005). Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq. (C. R. Anwar, Penyunt., &
A. Irawan, Penerj.) Jakarta: Penerbit Zaman.
Al-Qurthubi, S. I. (2008). Tafsir Al-Qurthubi (Jilid 4). (A. Zubairin, Penyunt., D. Rosyadi,
N. Haq, & Fathurrahman, Penerj.) Jakarta: Pustaka Azzam.
AnSyadilie, M. (2017). Konsep Pendidikan: Persepektif Alquran Komtemplasi Filosofis
Tafsir Tarbawi. (D. S. Fuadah, Penyunt.) Yogyakarta: Piner Semesta.
Arifin, M. (2011). Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. (F. Asy, Penyunt.) Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ash-Shiddieqy, T. M. (2000). Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur (Jilid 1). (N. Shiddiqi, &
Z. F. ash-Shiddieqy, Penyunt.) Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Astutik, P. (t.t.). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pemikiran Ki Hajar Dewantara &
Ibnu Miskawayh. -: Pena Nusantara.
Ath-Thabari, A. J. (2008). Tafsir (Jilid 5). (B. H. Amin, Penyunt., & B. Sarbeni, Penerj.)
Jakarta: Pustaka Azzam.
Fathoni, A. (2006). Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Hamka. (1993). Tafsir Al-Azhar Juz'u V. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka. (2015). Tasawuf Modern. (M. I. Santosa, Penyunt.) Jakarta: Republika Penerbit.
Matta, A. (2016). Serial Cinta: Bagaimana Kekuatan Cinta mengubah Kualitas Hidup dan
Cita Rasa Kehidupan. Jakarta: Tarbawi Press.
Mujib, A., & Mudzakir, J. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Naqshbandi, F. Z. (2002). Love for Allah: A Translation of Ishq Ilahi. (D. S., Penyunt., &
Munir, Penerj.) Bandung: Penerbit Marja'.
Rakhmat, J. (2004). Madrasah Ruhaniah. Bandung: Manikmaya.
Ridla, M. J. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-
Filosofis). (Z. Abas, L. Fauroni, Penyunt., & M. Arif, Penerj.) Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. (B. Sarwiji, Penyunt.) Jakarta: PT
Indeks.
Shihab, M. Q. (2008). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Volume
2) (XI ed., Vol. 2). Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an
Volume 12 (Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2014). Secercah Cahaya Hidup Bersama Al-Qur'an. (A. Muhammad,
Penyunt.) Bandung: Penerbit Mizan.
Syahidin. (2009). Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur'an. Bandung: Penerbit
Alvabeta.
Syahidin, Ali, Z., Alba , C., Nurwahidin, & Firmansyah, M. I. (2014). Pendidikan Agama
Islam Kontemporer. Tangerang: Yayasan Masyarakat Indonesia Muda.
Tafsir, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islami. (E. Kuswandi, Penyunt.) Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
18
Zainudin, M. (2011). Kisah-kisah Cinta Penuh Drama Para Filsuf Dunia. Yogyakarta:
Diva Press.
19