Anda di halaman 1dari 10

PASCA PANEN JAHE

Penanganan pasca panen merupakan rangkaian kegiatan atau proses yang terjadi mulai
dari panen hingga sampai ke tangan konsumen (Singh, 2013). Pengelolaan pasca panen
tanaman obat merupakan suatu perlakuan yang diberikan kepada hasil panen tanaman obat
hingga produk siap dikonsumsi atau menjadi simplisia sebagai bahan baku obat tradisional
atau obat alam. Pengelolaan pasca panen bertujuan untuk melindungi bahan baku dari
kerusakan fisik dan kimiawi, sehingga dapat mempertahankan mutu bahan baku atau
simplisia yang dihasilkan, terutama menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan, dan
khasiat sediaan (produk akhir). Selain itu, penanganan pasca panen juga bertujuan untuk
menjamin ketersediaan bahan baku tanaman obat yang bermutu dalam jumlah cukup dan
berkelanjutan. Selain itu, pasca panen yang tepat dilakukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas agar memenuhi persyaratan pasar ekspor. Pengelolaan pasca panen
dimulai sesaat sejak bahan tanaman dipanen hingga siap dikonsumsi. Tahapan pengelolaan
pasca panen tanaman obat meliputi pengumpulan bahan, sortasi basah, pencucian, penirisan,
pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengemasan, dan penyimpanan (Ningsih,
2016).
Pada tanaman obat tujuan dilakukan pengelolaan pasca panen secara spesifik adalah
untuk membuat simplisia nabati siap konsumsi baik secara langsung oleh masyarakat umum,
sebagi bahan baku jamu, industri obat tradisional maupun untuk keperluan ekspor. Jahe
adalah rempah-rempah yang penting secara komersial dan banyak digunakan dalam
pengobatan dalam ayurveda. Komponen kimia rimpang jahe sangat bervariasi tergantung
lokasi budidaya dan perlakuan pascapanen. Jahe mengandung senyawa polifenol seperti
gingerol dan turunannya seperti zingiberone, bisabolene, camphene, geranial, linalool,
borneol dan oleoresin (kombinasi minyak atsiri dan resin) yang menyumbang aroma khas dan
sifat terapeutiknya (Kaushal, et all., 2017). Untuk menjaga kualitas serta kandungan
terapeutiknya maka pengelolaan pasca panen yang tepat perlu dilakukan agar jahe yang
dihasilkan memenuhi kriteria pasar internasional. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa
Indonesia merupakan merupakan produsen utama jahe yang akan diimport ke berbagai
negara lain. Tingginya angka konsumsi dan penggunaan jahe untuk berbagai keperluan
khususnya dalam hal produksi dan pengembangan obat mendorong berbagai inovasi metode
yang dilakukan oleh peneliti untuk mengoptimalkan pengelolaan pasca panen sehingga
prosedur yang dilakukan efektif dan efisien (FAO, 2002).
Adapun prosedur atau tahapan dari pengelolaan pasca panen hingga menghasilkan
simplisia jahe adalah sebagai berikut :
1. Sortasi Basah
Sortasi basah merupakan proses untuk memisahkan kotoran atau bahan asing serta
bagian tanaman lain yang tidak diinginkan dari bahan simplisia. Kotoran tersebut dapat
berupa tanah, kerikil, rumput/gulma, tanaman lain yang mirip, bahan yang telah rusak
atau busuk, serta bagian tanaman lain yang memang harus dipisahkan dan dibuang.
Pemisahan bahan simplisia dari kotoran ini bertujuan untuk menjaga kemurnian dan
mengurangi kontaminasi awal yang dapat mengganggu proses selanjutnya, mengurangi
cemaran mikroba, serta memperoleh simplisia dengan jenis dan ukuran seragam. Oleh
karena itu, dalam tahapan ini juga dilakukan pemilihan bahan berdasarkan ukuran
panjang, lebar, besar kecil, dan lain-lain (Ningsih, 2016).
Pada pengelolaan pasca panen rimpang jahe, dilakukan prosedur grading yang
dilakukan berdasarkan ukuran, warna, dan kesegaran. Di India grading umumnya hanya
dilakukan di Himachal Pradesh. Kelas pertama dikenal sebagai "Gola" yang memiliki
bahan kering maksimum dan kandungan serat rendah. Kelas dua yang dikenal dengan
sebutan “Gatti” termasuk ukuran yang lebih kecil dari kelas satu. Kelas tiga dan empat
memiliki jumlah bahan kering yang sedikit dan kandungan serat yang tinggi. Sedangkan,
tahapan sortasi pada rimpang jahe dilakukan untuk memilah rimpang yang memiliki
kecacatan seperti, luka, dan busuk. Rimpang yang tampak segar, ukuran besar dan warna
kuning pucat dianggap bermutu tinggi, sedangkan, rimpang yang kecil dan berkerut
dianggap memiliki mutu yang rendah (Singh, 2013).

2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain yang melekat
pada bahan simplisia. Rimpang yang dipanen harus dicuci untuk menghilangkan tanah
yang menempel padanya. Jika tersedia, pencucian bertekanan lebih disukai karena lebih
efisien dan cenderung mengurangi cemaran mikroba. Penggunaan power nozzle di ujung
selang dapat membantu membersihkan tanah/media dari sela-sela rimpang. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan air bersih (standar air minum), air dari sumber mata air,
air sumur, atau air PDAM. Rimpang harus 'dibunuh' atau dinonaktifkan. Ini dilakukan
dengan mengupas, mengikis kasar atau memotong rimpang menjadi irisan (baik
memanjang atau melintasi rimpang). Kulit rimpang harus dikupas menggunakan pengikis
kayu yang terbuat dari bambu untuk mencegah pewarnaan rimpang. Rimpang utuh yang
belum dikupas dapat dibunuh dengan cara direbus dalam air selama 10 menit. Setelah
dikupas dan dicuci, rimpang direndam selama 2-3 jam dalam air bersih kemudian
direndam dalam larutan kapur 1,5-2,0% (kalsium oksida) selama 6 jam. Ini menghasilkan
rimpang berwarna lebih terang (diputihkan) (Ningsih, 2016; Farm Africa, 2013).
Jika rimpang disimpan dalam massa untuk waktu yang lama, rimpang dapat
mengalami fermentasi. Perendaman dalam air mendidih dapat menonatifkan proses
enzimatik. Cara lain adalah dengan mengikis, mengupas, atau mengiris rimpang sebelum
dikeringkan. Mengupas atau mengikis disarankan untuk mengurangi waktu pengeringan,
sehingga meminimalkan pertumbuhan jamur dan fermentasi. Bahan simplisia rhizome
dapat dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal
karena sebagian mikroba biasanya terdapat pada bagian permukaan bahan simplisia, dan
dengan proses pencucian saja amasih belum mampu menghilangkan mikroba tersebut.
Namun, proses mengikis atau mengupas ini menurunkan kandungan serat dengan
menghilangkan kulit gabus luar, proses ini juga cenderung menghilangkan beberapa
kandungan minyak, karena lebih terkonsentrasi di kulitnya, dan dapat mengurangi rasa
pedas. Pada umumnya dalam proses pembuatan simplisia jahe, kulit jahe tidak dikupas
atau dikikis untuk mempertahankan kandungan senyawa yang terkandung di dalamnya
(Farm Africa, 2013; FAO, 2002).
3. Penirisan
Setelah bahan dicuci bersih, dilakukan penirisan pada rak-rak yang telah diatur
sedemikian rupa untuk mencegah pembusukan atau bertambahnya kandungan air. Prose
penirisan bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan air di permukaan
bahan dan dilakukan sesegera mungkin setelah pencucian. Selama penirisan, rimpang
jahe dibolak-balik untuk mempercepat penguapan dan dilakukan di tempat teduh dengan
aliran udara cukup agar terhindar dari fermentasi dan pembusukan. Setelah air yang
menempel di permukaan bahan menetes atau menguap, bahan simplisia rimpang jahe
dikeringkan (Ningsih, 2016).
4. Pengubahan Bentuk / Perajangan
Proses pengubahan bentuk atau perajangan bertujuan untuk memudahkan kegiatan
pengeringan, penggilingan, pengemasan, penyimpanan dan pengolahan selanjutnya.
Selain itu, proses ini bertujuan untuk memperbaiki penampilan fisik dan memenuhi
standar kualitas (terutama keseragaman ukuran) serta meningkatkan kepraktisan dan
ketahanan dalam penyimpanan. Pengubahan bentuk harus dilakukan secara tepat dan
hati-hati agar tidak menurunkan kualitas simplisia yang diperoleh (Ningsih, 2016).
Teknik pengubahan bentuk atau perajangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
perajangan dengan metode tradisional dan metode mekanis. Metode tradisional sering
dipraktekkan di Nigeria. Metode ini dilakukan dengan membelah jahe yang sudah dicuci
secara memanjang menjadi dua bagian yang sama menggunakan pisau tajam. Kemudian
dijemur dan dibalik 3 sampai 4 kali sehari selama 5 sampai 7 hari sampai benar-benar
kering kadar air 10 sampai 12%. Sedangkan, pada metode mekanis pengirisan rimpang
jahe, seperti tanaman lainnya dicapai dengan menerapkan gaya potong melalui dua
elemen geser yang berlawanan. Biasanya salah satu elemen bergerak dengan gerakan
bolak-balik atau berputar. Pemotongan adalah dicapai dengan gerakan pisau sehubungan
dengan bahan yang dipotong dan counter shear pada tumbukan.
Berdasarkan literatur yang diperoleh, terdapat beberpa pengembangan alat pengiris
jahe dengan metode mekanik. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Simonyan,
dkk. (2003) mengembangkan alat pengiris jahe reciprocating bermotor yang terdiri dari
unit makan, mekanisme pengiris dan rumah. Rimpang jahe yang dimasukkan secara
manual ke dalam hopper jatuh secara gravitasi ke dalam silinder di bagian bawah piston.
Ini didorong secara horizontal ke bilah pisau stasioner saat piston bergerak menuju titik
mati atas. Hal ini mendorong rimpang jahe melalui bilah, yang dikumpulkan di outlet.
Guwo (2008) juga mengembangkan mesin pemisah jahe yang memiliki mata pisau
pemotong stasioner dan dua buah baling-baling yang berputar. Rotasi konstan dari
impeler menciptakan aliran rimpang jahe yang sinkron di dalam ruang pemisah. Gaya
sentrifugal dari impeler karena rotasinya terhadap bilah pisau stasioner menyelesaikan
proses pemisahan. Chatthong dkk. (2011) juga merancang dan membangun mesin
pengiris jahe semi otomatis. Mesin menghasilkan jahe lembaran dan jahe garis (Kaushal,
et all., 2017).
Selain metode yang digunakan, Panjang irisan dari jahe juga perlu diperhatikan
untuk mempertahankan senyawa aktif yang terkandung dalam jahe. Berdasarkan studi
yang dilakukan Jayasree, et all., 2012 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
Panjang irisan dengan kandungan oleoresin dalam jahe. Studi pengeringan menunjukkan
bahwa dengan bertambahnya panjang irisan, kandungan oleoresin meningkat dan retensi
maksimum diperoleh untuk seluruh rimpang kering dan untuk panjang irisan yang lebih
panjang ketika dikeringkan di bawah sinar matahari atau di pengering terowongan surya.
Panjang irisan di bawah 20 mm, dapat membuat jahe kehilangan kandungan minyak
atsiri yang sangat tinggi. Dari penelitian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
kandungan oleoresin sampel jahe sepanjang 50 mm setara dengan kandungan oleoresin
rimpang kering utuh sehingga Panjang irisan 50 mm memberikan hasil yang paling
optimal (Jayasree, et all., 2012).
Semakin tipis ukuran hasil rajangan atau serutan, maka akan semakin cepat proses
penguapan air sehingga waktu pengeringannya menjadi lebih cepat. Namun ukuran hasil
rajangan yang terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya senyawa
aktif yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa yang
diinginkan. Oleh karena itu, untuk rimpang jahe harus dihindari perajangan yang terlalu
tipis agar dapat mencegah berkurangnya minyak atsiri. Selain itu, perajangan yang
terlalu tipis juga menyebabkan simplisia mudah rusak saat dilakukan pengeringan dan
pengemasan. Ukuran ketebalan simplisia rimpang adalah ± 3 mm. Rimpang jahe
dipotong secara membujur (Ningsih, 2016).

5. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air agar bahan simplisia tidak rusak
dandapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, menghentikan reaksi enzimatis, dan
mencegah pertumbuhan kapang, jamur, dan jasad renik lain. Dengan matinya sel bagian
tanaman, maka proses metabolisme (seperti sintesis dan transformasi) terhenti, sehingga
senyawa aktif yang terbentuk tidak diubah secara enzimatik. Secara umum, proses
pengeringan ada 2 (dua) macam, yaitu:
a. Pengeringan secara Alamiah
Proses pengeringan secara alamiah dapat dilakukan dengan du acara, yaitu dengan
sinar matahari langsung dan dengan diangin-anginkan. Pengeringan dengan
menggunakan sinar matahari langsung digunakan untuk bagian tanaman yang relatif
keras, seperti kayu, kulit kayu, biji, dan bahan tanaman yang mengandung senyawa
aktif yang relatif stabil. Kelebihan dari prose pengeringan ini adalah mudah dan
murah. Sedangkan kelemahannya adalah kecepatan pengeringannya sangat
tergantung pada kondisi cuaca. Sedangkan, proses pengeringan dengan diangin-
anginkan ini dilakukan untuk mengeringkan bahan tanaman yang lunak seperti
bunga, daun, dan bagian tanaman yang mengandung senyawa aktif mudah menguap.
b. Pengeringan Buatan
Proses pengeringan buatan dapat dilakukan dengan menggunakan oven, uap panas,
atau alat pengering lainnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses
pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, lamanya
pengeringan, dan luas permukaan bahan. Bila proses pengeringan telah sesuai,
diharapkan dapat terhindar dari face hardening, yaitu kondisi dimana bagian luar
bahan telah kering, namun bagian dalam bahan masih basah. Penyebab terjadinya
face hardening, antara lain:
 Irisan atau rajangan bahan simplisia terlalu besar atau tebal, sehingga sulit
ditembus oleh panas.
 Suhu pengeringan terlalu tinggi dan lama pengeringan terlalu singkat.
 Adanya keadaan yang menyebabkan penguapan air di permukaan bahan menjadi
jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke permukaan bahan. Akibatnya,
bagian luar bahan menjadi keras dan menghambat proses pengeringan lebih
lanjut.
Pengeringan jahe dengan menggunakan metode tradisional adalah dengan
meletakkan potongan-potongan di atas tikar bambu yang bersih atau di atas lantai beton
dan dijemur sampai kadar air akhir 10%. Pengeringan bisa memakan waktu 7 sampai 14
hari tergantung pada kondisi cuaca. Selama pengeringan, rimpang kehilangan berat
antara 60 dan 70%. Dalam kondisi hujan, pengering mekanis harus digunakan untuk
mempercepat proses pengeringan. Potongan jahe yang diiris hanya membutuhkan waktu
5-6 jam untuk mengering saat menggunakan pengering udara panas. Rimpang jahe yang
dikupas utuh membutuhkan waktu sekitar 16-18 jam untuk mengering dalam pengering
mekanis. Penting untuk memantau aliran udara dan suhu selama pengeringan. Suhu
pengeringan tidak boleh melebihi 60°C karena menyebabkan daging rimpang menjadi
gelap.
Di sebagian besar daerah yang tumbuh, jahe yang dikerok dikeringkan di bawah
sinar matahari tetapi di mana kondisi musiman yang tidak menguntungkan terjadi,
metode pengeringan yang lebih baik menggunakan pengering mekanis atau matahari
juga digunakan. Dalam pengering mekanis, 57,2ºC dilaporkan sebagai suhu tertinggi di
mana jahe untuk pasar rempah-rempah dapat mengalami dehidrasi (Ravindran dan
Nirmal, 2005). Kualitas jahe kering tergantung pada penampilan, prinsip kepedasan,
serat, aroma dan karakteristik rasa minyak atsiri (Ebewele dan Jimoh 1988). Alakali dan
Satimehin (2009) mempelajari kinetika pengeringan irisan jahe pada berbagai suhu 40⸰,
45⸰, 50⸰ dan 55⁰.C dan menemukan bahwa pengeringan berlangsung lebih cepat pada
suhu tinggi; sedangkan menurut Azain, dkk.(2004) pengeringan suhu rendah biasanya
mempertahankan komponen aktif dalam jahe. Eze dan Agbo (2011) juga
merekomendasikan suhu pengeringan ruang dalam pengering surya tidak lebih dari 40⸰
C, karena suhu tinggi mendenaturasi protein dan mengubah sifat organoleptik jahe.
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Jayasree E., et all (2012) yang
meneliti berbagai metode pengeringan seperti sun drying, solar tunnel drying, dan
cabinet tray drying pada suhu 50⸰, 55⸰, 60⸰ dan 65 °C. Dari penelitian tersebut diamati
bahwa seluruh rimpang jahe yang dikeringkan di dengan metode sun drying dan solar
tunnel drying mempertahankan kandungan minyak atsiri maksimum (13,9 mg/g) dan
oleoresin (45,2 mg/g) jahe kering. Sedangkan, pada pengeringan mekanis yaitu cabinet
tray drying pada suhu 60° C dianggap paling optimal, namun terdapat kehilangan sekitar
12,2% minyak essensial. Berdasarkan beberapa studi literatur tersebut, dapat
disimpulkan bahwa metode pengeringan dapat dipilih berdasarkan kebutuhan, apabila
simplisia diproduksi dalam jumlah kecil dan peralatan yang diperlukan terbatas, maka
pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dapat dilakukan. Sedangkan, apabila
simplisia diperlukan dalam waktu cepat maka pengeringan mekanik dapat diplih untuk
mempersingkat waktu dan menghindari cuaca yang tidak menentu. Suhu dari
pengeringan mekanik yang dapat digunakan untuk mengeringkan rimpang jahe berkisar
antara 30-60⸰C untuk menjaga kandungan senyawa minyak atsiri yang terkandung di
dalamnya.

6. Sortasi Kering
Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan bahan-bahan asing dan simplisia yang
belum kering benar. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin bahwa simplisia benar-
benar bebas dari bahan asing. Kegiatan ini dilakukan secara manual. Simplisia yang telah
bersih dari bahan asing terkadang untuk tujuan tertentu (misalnya untuk memenuhi
standar mutu tertentu) masih diperlukan grading atau pemisahan menurut ukuran,
sehingga diperoleh simplisia dengan ukuran seragam. Setelah melalui proses
pengeringan, rimpang jahe dibersihkan untuk menghilangkan kotoran, potongan kulit
kering dan serangga. Pemisah udara dapat digunakan untuk jumlah besar, tetapi dalam
skala kecil mungkin tidak efektif dari segi biaya. Membersihkan simplisia rimpang jahe
sebelum dikemas dan dijual bertujuan untuk memastikan jahe memiliki kualitas terbaik
dan akan mendapatkan harga tertinggi. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan semua
benda asing yang menurunkan mutu dan membahayakan konsumen (Ningsih, 2016;
Farma Africa, 2013).
7. Pengemasan dan Pemberian Label
Pengepakan atau pengemasan simplisia sangat berpengaruh terhadap mutu terkait dengan
proses pengangkutan (distribusi) dan penyimpanan simplisia. Kegiatan ini bertujuan
untuk melindungi simplisia saat pengangkutan, distribusi, dan penyimpanan dari
gangguan luar, seperti suhu, kelembapan, cahaya, pencemaran mikroba, dan adanya
serangga atau hewan lainnya. Berikut ini adalah persyaratan bahan pengemas, antara
lain:
a. Bersifat inert (netral), yaitu tidak bereaksi dengan simplisia yang dpat berakibat
terjadinya perubahan bau, warna, rasa, kadar air, dan kandungan senyawa aktifnya.
b. Mampu mencegah terjadinya kerusakan mekanis dan fisiologis.
c. Mudah digunakan, tidak terlalu berat, dan harganya relatif murah.
Irisan atau bubuk kering simplisia rimpang jahe dikemas dalam kantong berlapis multi-
dinding Kraft. Beberapa laminasi mungkin lebih baik daripada yang lain karena
permeabilitas film. Apapun film yang digunakan, penyimpanan di lingkungan yang sejuk
dan kering sangat penting untuk rempah-rempah kering (Ningsih, 2016; FAO, 2002).
Setelah simplisia dikemas dalam wadah atau kemasan, maka dapat dilakukan
pemberian label atau etiket. Label tersebut harus menunjukkan informasi simplisia yang
jelas, meliputi nama ilmiah tanaman obat, asal bahan (lokasi budidaya), tanggal panen,
dan tanggal simpan, berat simplisia, dan status kualitas bahan.

8. Penyimpanan
Simplisia yang telah dikemas dan diberi label, kemudian disimpan dalam gudang
yang telah dipersiapkan dengan berbagai pertimbangan. Tujuan penyimpanan adalah
agar simplisia tetap tersedia setiap saat bila diperlukan dan sebagai stok bila hasil panen
melebihi kebutuhan. Proses ini merupakan upaya untuk mempertahankan kualitas fisik
dan kestabilan kandungan senyawa aktif, sehingga tetap memenuhi persyaratan mutu
yang ditetapkan. Rimpang kering, irisan, atau belahan harus disimpan di lingkungan
yang sejuk (10-15°C). Ketika disimpan pada suhu kamar (23-26 C), kehilangan oleoresin
(berat kering) hingga 20% pada jahe kering setelah 3 bulan, dan kandungan (6)-gingerol
menurun. Oleh karena itu disarankan untuk mengekstrak atau menyaring jahe kering
dengan cepat, jika penyimpanan dingin tidak tersedia, ketika minyak atau oleoresin
adalah produk akhir. Pentingnya penyimpanan kering untuk jahe kering yang ditujukan
untuk penyulingan hanya dapat ditekankan sebagai tambahan karena mikotoksin dari
jamur dapat disuling bersama dengan minyak atsiri (Ningsih, 2016; FAO, 2002).
Standarisasi Non Spesifik
1. Identifikasi Susut Pengeringan
Susut pengeringan adalah pengurangan berat bahan setelah dikeringkan dengan cara
yang telah ditetapkan. dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, simplisia
dalam bentuk serbuk dengan derajat halus 8, suhu pengeringan 105⸰C dan susut
pengeringan ditetapkan sebagai berikut : Timbang saksama 1 sampai 2 g simplisia
rimpang jahe dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu penetapan dan ditara. Ratakan bahan dengan menggoyangkan
botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih dari 5 sampai 10 mm, dimasukkan
dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot
tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup dalam
keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu ruang. Susut pengeringan
simplisia rimpang jahe tidak lebih dari 10% (Kemenkes RI, 2017).
2. Identifikasi Kadar Abu Total
Timbang saksama 2 sampai 3 g simplisia rimpang jahe yang telah dihaluskan dan
masukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan
hingga arang, dinginkan dan timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat
dihilangkan, tambahkan air panas, aduk, saring melalui kertas saring bebas abu.
Pijarkan beserta sisa kertasnya dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam
krus, uapkan dan pijarkan hingga bobot tetap pada suhu 800±25⸰. Kadar abu total
dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b. Kadar abu total simplisia
rimpang jahe tidak lebih dari 4,2% (Kemenkes RI, 2017).
3. Identifikasi Kadar Abu Tidak Larut Asam
Didihkan abu yang diperoleh pada Penetapan Kadar Abu Total dengan 25 mL asam
klorida encer LP selama 5 menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam,
saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus
hingga bobot tetap pada suhu 800±25⸰. Kadar abu yang tidak larut dalam asam
dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b /b. Kadar abu tidak larut
asam simplisia rimpang jahe tidak lebih dari 3,2% (Kemenkes RI, 2017).

Anda mungkin juga menyukai