Anda di halaman 1dari 7

Terong atau secara ilmiah acap dinamakan Solanum Melongena merupakan tanaman buah yang

mudah ditemukan di seputar kita. Sebagai tanaman pangan, terong yang bisa tumbuh antara 40
hingga 150 cm (16-57 inci) ini memiliki buah dengan berbagai warna, antara lain warna ungu,
hijau, dan putih.

Buah terong bisa dihidangkan dalam berbagai jenis menu makanan, baik sayuran, lalapan,
ataupun bahan sambal. Hanya saja masih jarang yang memanfaatkan kulitnya, sehingga acapkali
hanya dibuang dan dijadikan limbah.

Manfaat Kulit Terong

Kulit terong yang acapkali hanya dibuang ke tempat sampah ini sejatinya ada manfaat yang tak
kalah menariknya. Dari kulit yang memiliki warna itulah kita mulai bisa mengenalinya. Sebagai
contoh adalah terong ungu, dari warna ungu pun biru kita mendapatkan petunjuk mengenai
kandungan antosianin. Yaitu kandungan yang juga memberikan rangsagan dan peningkatan laju
peremajaan sel kulit. Di samping itu bisa pula unutk meminimalisir terkena penyakit kanker.

Penelitian Kulit Terong

Kandungan Antosianin

Kadar antosianin pada terong ini tak elak juga menjadi bahan perhatian para akademisi, baik
manca pun dalam negeri. Sebagai contoh adalah yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa
Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Dari penelitian yang dilakukan, muncul inovasi di bidang kecantikan, yaitu satu produk dengan
bahan dasar kulit terong berupa masker kulit, sebagai terobosan perawatan kulit pada wajah.

Vitamin E

Keberadaan kulit terong tak bisa disia-siakan, karena di dalamnya ternyata masih banyak
kandungan vitamin E yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan elastisitas dan kelembutan
bagi kulit. Dengan elastisitas yang ada tentu saja penuaan dini bisa dicegah ataupun
diminimalisir. Di samping itu vitamin E pada kulit terong ini juga sangat bermanfaat bagi
pencegahan kerusakan pada kulit akibat darsi radiasi sinar ultraviolet.

Dengan manfaat yang didapat dari terong ini, sudah sewajarnya semua pihak mendapatkan
manfaat lebih, baik para penggunanya, ataupun para petani penanam terong yang selama ini
hanya mendapatkan harga murah dari hasil panen terongnya.

Pemrosesan Kulit Terong

Cara mengolah (kulit) terong untuk dimanfaatkan sebagai masker, dalam hal ini yang kita ambil
contoh adalah tering ungu, pertama kali adalah menyeleksi terong-terongnya. Tak lain adalah
kondisi terong yang masih segar dan bagus. Kemudian terong ungu itu kita cuci dengan
menggunakan air mengalir.

Menjadikannya Bubuk

Untuk proses sselanjutnya, jangan lupa sterilisasi pula kedua tangan yang akan mengolahnya,
yaitu dengan cara menyemprotkan alkohol berkadar 70% pada telapak tangan dan jari-jemarinya.

Setelah terong dikupas, kulit terong kita ambil dan kemudian dijemur dengan dilapisi kain kasa
di atasnya. Jika telah kering, proses selanjutnya adalah menjadikannya sebagai bubuk, yaitu
dengan cara di masukkan ke dalam blender.

Tepung Beras

Ketika kulit terong telah menjadi bubuk halus (yang mirip tepung), langkah selanjutnya adalah
menyediakan tepung beras. Bisa beli jadi ataupun membikinnya sendiri. Namun tentunya akan
lebih aman sekiranya membikinnya sendiri. Yaitu dnegan memilih jenis beras yang kondisinya
bagus, merendamnya dengan air hingga satu malam, kemudian menumbuknya, dan terakhir
disring beras tumbukan tersebut.

Kedua bahan bubuk, baik bubuk kulit terong dan bubuk tepung beras dicampurkan menjadi satu.
Ukurannya adalah 6 berbanding 4.

Jika mau menambah aroma dan hendak disimpan pun digunakan di kemudian hari, ada saran
untuk menambahkan lima tetes essense serta satu tetes propilen glikol, dan lalu dicampur hingga
merata. Essense merupakan ekstrak kental yang konsentratnya mampu menembus lapisan kulit,
sedangkan propilen glikol adalah cairan kental, transparan dan biasa digunakan sebagai bahan
pewangi pada produk kosmetik. [uth]
epung Kulit Pisang

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang sangat luas
penggunaannya, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat
gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan masa kini yang
serba praktis. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan
komponen kimia bahan pangan. Namun, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu pertama bahan pangan yang mudah menjadi cokelat apabila dikupas dan kedua bahan
pangan yang tidak mudah menjadi cokelat. Pada umumnya, umbi-umbian dan buah-buahan
mudah berubah menjadi cokelat setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara
sehingga terbentuk reaksi pencokelatan oleh pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut (browning enzymatic). Pencokelatan karena enzim merupakan reaksi antara oksigen dan
suatu senyawa fenol yang dikatalisis oleh polifenol oksidase. Pembentukan warna coklat pada
kulit pisang dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol
oksidase. Enzim tersebut dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan
kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat (Mardiah 1996).
Bahan pangan tertentu, seperti pada sayur dan buah, senyawa fenol dan kelompok enzim
oksidase tersebut tersedia secara alami. Oleh karena itu pencoklatan yang terjadi disebut juga
reaksi pencoklatan enzimatis. Untuk menghindari terbentuknya warna cokelat pada bahan
pangan yang akan dibuat tepung dapat dilakukan dengan mencegah kontak antara bahan yang
telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air (atau larutan garam 1% dan atau
menginaktifasi enzim dalam proses blansing) (Damardjati dan Widowati, 2000).

Salah satu langkah dalam penepungan adalah pengeringan, menurut Muchtadi et al. (1995)
pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak
atau busuk. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Gogus dan
Maskan, 1998). Selain itu pengeringan juga dapat menurunkan biaya dan memudahkan dalam
pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan. Bahan yang dikeringkan menjadi ringan dan
volume menjadi lebih kecil. Faktor suhu dan lama pengeringan sangat penting karena dapat
mempengaruhi mutu produk akhir. Histifarina et al. (2004) menambahkan bahwa proses
pengeringan dan penggilingan mengakibatkan penurunan kadar dan -karoten tepung wortel,
namun demikian kadar air yang diperoleh sudah cukup rendah yaitu 8,6%. Menurut Marpaung
dan Sinaga (1995), pengeringan dengan oven pada suhu 40C yang dikombinasikan dengan pra-
pengeringan (direndam dalam larutan garam 2%) menghasilkan volatile reduction substances
(VRS) 340,66 mgrek/g dan sifat organoleptik terbaik pada irisan kering bawang putih. Pada
wortel, suhu dan lama pengeringan terbaik adalah suhu 50-60C selama 32 jam dan suhu 50-
60C selama 22 jam untuk kubis (Histifarina et al., 2004).

Metode pengeringan sub atmosferik dengan oven vakum akan membuat air menguap pada suhu
yang lebih rendah daripada pengeringan oven biasa. Dalam proses pengeringan ini panas
dipindahkan menembus bahan pangan, baik dari udara maupun dari permukaan yang dipanaskan,
kemudian uap air dipindahkan dengan udara dan ditampung dalam suatu bagian alat pengering
vakum. Kelebihan metode pengeringan dengan oven vakum adalah pengeringan berlangsung
cepat, dan dapat meminimalkan kerusakan pada komponen tidak tahan panas yang ada dalam
bahan (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Kulit pisang yang masih memiliki banyak nilai fungsional sebenarnya masih dapat diolah lebih
lanjut menjadi tepung untuk dimanfaatkan. Dengan menjadikan kulit pisang sebagai tepung,
maka pigmen karotenoid dalam kulit pisang akan lebih mudah untuk digunakan oleh masyarakat.
Berdasarkan Fatemeh et al. (2012) tahap pembuatan tepung kulit pisang dilakukan dengan
mencuci, dan memotong kulit menjadi bagian lebih kecil, lalu dikeringkan selama 24 jam dengan
pengering kabinet (hot air dryer) dengan suhu 500C. Setelah itu baru dihancurkan atau digiling
dengan blender, dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Penelitian lain oleh Alkarkhi et al. (2010)
melakukan penepungan kulit pisang dengan cara merendam kulit dalam asam sitrat 0,5% (w/v)
selama 10 menit untuk menjaga kulit tetap berwarna kuning dan tidak mengalami pencokelatan,
lalu baru dikeringkan dengan oven 600C selama 24 jam. Kulit kering digiling dengan mesin
penggiling (Retsch AS200) yang diatur agar ukuran partikel tepung lolos pada ayakan 40 mesh.
Tepung yang sudah lolos ayakan disimpan dalam plastik kedap udara di lemari pendingin
(1520C). Ramli et al. (2009) meneliti mengenai penggunaan tepung kulit untuk pembuatan mie,
dengan menggunakan teknik penepungan kulit pisang yang sama dengan yang digunakan oleh
Alkarkhi et al. (2010). Ramli et al. (2010) juga membahas perbedaan tepung kulit pisang hijau
(belum matang) dan tepung kulit pisang kuning (matang) menggunakan metode yang digunakan
oleh Alkarkhi et al. (2010).

Menurut Hernawati dan Any (2008) tepung kulit pisang dapat dibuat dengan cara merendam
kulit dalam larutan Na-metabisulfit 0,1% selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air dan
diblansing selama 10 menit dengan air hangat. Selanjutnya dikeringkan dalam pengering kabinet
selama 8 jam dengan suhu 40oC. Setelah itu baru ditepungkan dengan alat penepungan. Fungsi
Na-metabisulfit adalah untuk mencegah browning non enzimatis karena sulfit dapat berinteraksi
dengan gugus karbonil, dimana hasil dari reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga
dapat mencegah timbulnya warna cokelat.

Nagarajaiah dan Jamuna (2011), melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan tepung
kulit pisang. Kulit pisang sebelum ditepungkan dicuci dengan air destilasi dan langsung
dikeringkan dengan oven 50 1C dan dihancurkan dengan blender, baru disimpan dalam toples
kedap udara di lemari pendingin pada suhu 4C. Namun dalam jurnalnya Nagarajaiah dan
Jamuna (2011) tidak mencantumkan berapa lama kulit dikeringkan dalam oven. Analisis yang
dilakukan oleh Nagarajaiah dan Jamuna (2011), meliputi gabungan analisis yang dilakukan oleh
Fatemeh et al. (2012) dan Alkarkhi et al. (2010), juga melakukan uji total karotenoid dengan
mengekstrak tepung kulit dalam aseton. Total karotenoid dibaca dengan menggunakan
colorimetric dan petroleum eter sebagai larutan standar.

Berdasarkan hasil penelitian Fatemeh et al. (2012) yang menguji aktivitas antioksidan dari
tepung kulit, didapatkan hasil 45,081,30% untuk tepung dari kulit matang dan 52,660,82%
untuk tepung dari kulit pisang belum matang (warna hijau). Nagarajaiah dan Jamuna (2011)
melakukan uji total karotenoid dan uji -karoten, dengan hasil 3,120,14 mg karotenoid /100 g
tepung dan 1,860,01 mg -karoten/ 100g tepung.

Adeniji et al. (2007) melakukan penepungan pisang dengan menggabungkan kulit dan buah
pisang. Pada penelitian tersebut untuk mencegah browning pisang dan kulitnya diblansing pada
air panas (1000C) selama 5 menit sebelum dikupas dan direndam dalam air dingin setelah
dikupas. Setelah itu untuk pengeringan dilakukan selama 48 jam pada oven dengan suhu 650C
dan digiling. Teknik penepungan yang dilakukan oleh Adeniji et al. (2007) tetap menggunakan
suhu <700C.

Di Indonesia sendiri tepung kulit pisang sudah mulai disosialisasikan oleh kementerian pertanian
Indonesia sebagai cara untuk diversifikasi pangan. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia
tepung pisang ambon kuning sangat mudah untuk dibuat, yaitu dengan memotong kulit menjadi
bagian kecil-kecil dan menjemur dibawah matahari selama 2 malam (48 jam), atau dioven
dengan suhu 60oC agar pengeringan lebih cepat. Setelah itu kulit dihancurkan dengan blender,
dan diayak hingga didapatkan tepung pisang.

Gonzlez et al. (2010) menyatakan kulit pisang tinggi akan serat, yaitu 50% dari berat kering,
serta masih mengandung protein (7% berat kering), asam amino essensial, asam lemak tak jenuh
dan juga potasium. Pada kulit pisang juga mengandung senyawa fenolik antara 0,9-3 g/100 g
berat kering. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suparmi dan Harka (2012) kulit pisang
ambon kuning memiliki kandungan karotenoid total sebesar 6,2030,004 g/g dan konversi
karotenoid pro-vitamin A sebesar 124,060,08 IU. Someya et al. (2002) juga mengidentifikasi
bahwa dalam kulit pisang terdapat karotenoid, berupa -karoten, -karoten dan beberapa jenis
xantofil yang setara dengan 300400 g lutein/100 g. Karotenoid yang terdapat pada kulit pisang
dapat digunakan sebagai pro-vitamin A yang dapat membantu mengatasi masalah kekurangan
vitamin A di dunia, terutama di Indonesia. Dalam kulit pisang juga ditemukan anti bakteri yang
efektif untuk menghalangi bakteri gram positif dan gram negatif, yaitu asam suksinat, -
sitosterol, asam palmitat, dan asam malat (Parashar et al., 2014). Menurut balai penelitian dan
pengembangan industri Jawa Timur kulit pisang masih memiliki kandungan gizi yang cukup
lengkap yang tertera pada Tabel berikut:

Tabel Kompisisi zat gizi kulit pisang per 100 gram bahan
Zat Gizi
Kadar

Air (g)
68-70

Karbohidrat (g)
18,50

Lemak (g)
2,11

Protein (g)
0,32

Kalsium (mg)
715

Fosfor (mg)
117

Zat Besi (mg)


1,60

Vitamin C (mg)
0,12

Vitamin B (mg)
17,50 Sumber :Balai Penelitian Dan Pengembangan Industri Jawa
Timur (2004)

Tartrakoon et al. (1999) menyatakan bahwa tingkat kematangan kulit pisang mempengaruhi
kandungan nutrisi yang ada dalam kulit, seperti yang tertera pada Tabel berikut:

Tabel Kandungan nutrisi dalam berbagai tingkat kematangan kulit pisang

Komposisi Nutrisi
Kulit pisang

Mentah Hampir Matang


matang
Bahan kering (%)
91,62 92,38 95,66

Protein kasar (%)


5,19 6,61 4,77

Lemak kasar (%)


10,66 14,2 14,56

Serat kasar (%)


11,58 11,1 11,59

Abu (%)
16,3 14,27 14,58

Kalsium (%)
0,37 0,38 0,36

Fosfor (%)
0,28 0,29 0,23

Energi (kcal/kg)
4.383 4.692 4.592

Sumber : Tartrakoon et al. (1999)

Anda mungkin juga menyukai