Cursina 1
4,85
5,49
0,90
4,85 5,55
51,8
2,37 3,44
16,9
Dat. rendah-tinggi
(200-800 m dpl)
Industri makananminuman
Cursina 2
4,59
8,49
0,81
5,15
53,1
2,71 3,33
13,7-31
Dat. medium-tinggi
(400-800 m dpl)
Industri obat
Cursina 3
5,22
6,47
0,97
5,74
48,9
2,51
14,0-31,1
Dat. tinggi
(800-1200 m dpl)
Industri obat
temulawak dapat berubah atau menurun mutunya. Salah satu parameter mutu
temulawak adalah kandungan bahan aktifnya yaitu kadar minyak atsiri,
xanthorizol, dan kurkumin. Kandungan kadar bahan aktif ini dapat terpengaruh
selama tahap pascapanen yaitu selama penjemuran/pengeringan bahan menjadi
simplisia. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh beberapa cara
pengeringan terhadap kualitas simplisia temulawak yaitu dengan melihat
tampilan fisik dan kandungan bahan aktif temulawak.
METODE PENELITIAN
Uji pengaruh pengeringan simplisia terhadap mutu temulawak dilakukan di
Kelompok Tani Makmur, Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang pada bulan
Oktober 2010. Bahan baku berupa rimpang temulawak segar diperoleh dari
lahan milik petani di Kecamatan Tembalang. Rimpang temulawak dicuci,
ditiriskan lalu diiris-iris secara manual dengan pisau setebal 3 - 5 mm kemudian
dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan beberapa metode pengeringan yaitu
dengan sinar matahari tanpa penutup kain, sinar matahari tanpa penutup kain
dengan simplisia dibalik 1 kali sehari, sinar matahari dengan simplisia ditutup
kain hitam. Penjemuran dilakukan mulai jam 7.00-16.00. Pengamatan data suhu
harian dilakukan pagi hari (jam 6.00-7.00), siang hari (jam 12.00-13.00) dan sore
hari (jam 17.00-18.00), kondisi cuaca (panas, mendung, hujan) serta lama hari
penjemuran hingga diperoleh simplisia kering.
Analisis kimia simplisia temulawak dilakukan sebanyak tiga kali ulangan
per perlakuan. Analisis kimia untuk mengetahui kandungan kurkumin dilakukan di
Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM menggunakan metode
KLT dengan fase diam silica gel 60 F254 dan fase gerak berupa kloroform:
etanol:asam asetat glasial (95:5:1) dengan jarak pengembangan 8 cm. Analisis
kimia untuk mengetahui kandungan xanthorizol serta minyak atsiri dilakukan di
Laboratorium Pengujian Balittro, Bogor menggunakan metode kromatografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Cara Pengeringan
Matahari + dibalik
1 x sehari
56
64
Warna salah satu sisi
Warna kedua sisi
irisan rimpang temulawak irisan rimpang
merah oranye, dan sisi
temulawak oranye
lainnya berwarna oranye
pucat keputihan
pucat keputihan
Matahari + tanpa dibalik
Matahari + ditutup
kain hitam
55
Warna kedua sisi
irisan rimpang
temulawak merah
oranye
ketiga cara pengeringan, yang memberikan hasil tampilan fisik simplisia yang
terbaik adalah cara pengeringan dengan ditutup kain hitam yaitu warna kedua
sisi irisan rimpang temulawak merah oranye.
Gambar 1, 2, 3, dan 4
menunjukkan kegiatan pengeringan simplisia dan keragaan fisik simplisia
temulawak yang diperoleh.
2.
Matahari + ditutup
kain hitam
4,40
0,10
1,69
banyak daripada pengeringan lampu listrik 30 watt pada suhu 20o C. Zahro dkk
(2009) menambahkan pengeringan oven menghasilkan simplisia berwarna cerah
dan permukaannya berwarna jingga kekuningan sedangkan simplisia hasil
pengeringan sinar matahari berwarna gelap dan terinfeksi jamur putih.
Suhu pengeringan jika menggunakan alat tergantung kepada bahan
simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada
suhu 30-90oC, tetapi suhu terbaik tidak melebihi 60oC. Bahan simplisia yang
mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus
dikeringkan pada suhu serendah mungkin, yaitu 30-45oC atau dengan cara
pengeringan vakum yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang
atau lemari pengeringan, sehingga tekanan kira-kira 5 mm Hg.
Cara
pengeringan simplisia dari rimpang menurut Trease dan Evans (1972), adalah
dengan mengeringkan simplisia pada suhu 30-65oC.
Pengeringan dapat
dipercepat melalui pembalikan simplisia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kandungan kurkumin simplisia temulawak paling tinggi sebesar 1,69%
diperoleh melalui penjemuran di bawah sinar matahari dan ditutup kain hitam
selama enam hari. Penjemuran dengan cara ini juga menghasilkan tampilan fisik
simplisia paling baik yaitu warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah
oranye. Hasil ini akan memberikan gambaran lebih baik apabila diketahui kadar
air bahan, sehingga perbandingan persentase kandungan bahan aktif lebih tepat
karena dibandingkan relatif terhadap kadar air bahan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Departemen Pertanian. Jakarta
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2008. Budidaya Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor
Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2008. Standar
Operasional
Prosedur
(SOP)
Budidaya
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza). Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian.
Jakarta
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1985. Cara Pembuatan
Simplisia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Huda, D.K., Muhammad, Cahyono, Bambang, Limantara, Leenawaty. 2008.
Pengaruh Proses Pengeringan terhadap Kandungan Kurkuminoid dalam
Rimpang Temulawak. Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Diponegoro. Semarang
Khaerana, Munif G., Edi D.P. 2008. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur
Panen Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Agron. (36) (3) 241-247
441
Kristina, N.N, Rita N., Siti F.S dan Molide R. Peluang Peningkatan Kadar
Kurkumin pada Tanaman Kunyit dan Temulawak. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Oktaviana, P.R. 2006. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada
Berbagai Teknik Pengeringan dan Proporsi Pelarutan
Pramono, E. 2006. Prospek Pengembangan Obat Herbal yang Berkualitas
melalui Penerapan Iptek. Seminar Bisnis Tanaman Obat Tanggal 23
September 2006. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pramono, S. 2006. Peningkatan Efektivitas dan Daya Saing Obat Alami
Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi
Tanggal 27 Maret 2006 Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru.
Bandung.
Sembiring, B.B. Mamun dan Edi I.G. 2006. Pengaruh Kehalusan Bahan dan
Lama Ekstraksi terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
Sirait, M.
Pemeriksaan Kadar Xanthorrizol dalam Curcuma xanthorrhiza.
Simposium Nasional Temulawak. UNPAD Bandung.
Siswanto, Y. W. 1997. Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial.
Trubus Agriwidya. Ungaran
Suwiah, A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang
Digunakan Pada Pembuatan Temulawak Instan (Curcuma xanthorriza
Roxb.) terhadap Rendemen dan Mutunya. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian IPB. Bogor.
Trease and Evans. 1972. Pharmacognosy. Edisi X. Bailliere Tindall. London. pp
259 276
Yuliani, S. 1989. Faktor - Faktor yang Berperan Dalam Penanganan Pascapanen
Simplisia. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri No. 3 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta
Zahro, Laely dan Cahyono, Bambang dan Hastuti, Rini Budi. 2009. Profil
Tampilan Fisik dan Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb) pada Beberapa Metode Pengeringan. Jurnal
Sains dan Matematika 17 (1) 24-32.
442