Anda di halaman 1dari 5

NAMA : NUR WAASI

KELAS : PERBANKAN SYARIAH B


NIM : 90500121062
MATA KULIAH : EKONOMI MIKRO SYARIAH

Rasionalitas Ekonomi dan Perspektifnya dalam Ekonomi Islam

A. Definisi Rasionalitas
Menurut M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia bahwa rasionalitas
menjadi membingungkan ketika dapat berarti tidak memihak (dispassionate),
beralasan (reasonable), logis (logical), dan mempunyai maksud tertentu
(purposeful).
Dalam literatur teori ekonomi modern, seorang pelaku ekonomi
diasumsikan rasional berdasarkan kriteria berikut:1
1. Setiap orang selalu tahu apa yang mereka mau dan inginkan
2. Keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan tradisi, nilai-nilai
dan mempunyai alasan dan argumentasi yang lugas.
3. Setiap keputusan yang diambil oleh individu harus menuju pada
pengkuantifikasian keputusan akhir dalam satuan unit moneter.
Rasionalitas ekonomi syariah dapat dilihat pada asas-asas ekonomi
syariah dan prinsip dasar sistem yang dipakai.
Jika dalam ekonomi konvensional manusia disebut rasional secara
ekonomi jika mereka selalu memaksimumkan utility (nilai guna) untuk
konsumen dengan keuntungan untuk produsen, maka dalam ekonomi islam
seorang pelaku ekonomi, produsen, konsumen akan berusaha untuk
memaksimalkan maslahah.2
Beberapa pakar ekonomi islam membuat batasan terhadap rasionalitas
dalam ekonomi islam. Konsep asas rasionalisme Islam menurut Monzer
Kahf, yaitu :
1. Konsep kesuksesan
Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan didalam
hidupnya melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam
Islam bukan hanya kesuksesan materi saja akan tetapi juga kesuksesan
dihari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.
2. Jangka waktu perilaku konsumen

1
M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia,TeoriMikroekonomi: Suatu Perbandingan
Ekonomi Islamdan Ekonomi Konvensional, (Jakarta: Kencana, 2010),hlm 66
2
Direktorat Perbankan Syariah Dan PusatPengkajian Dan Pengembangan Ekonmi
Islam,TextBook Ekonomi Islam(Jakarta : BI & P3EI-UII, 2007)hlm19-21
3. Konsep kekayaan
Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT
dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di hari
akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan
adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka
di dunia.
4. Konsep barang
Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-
nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu al-
tayyibat (barang yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan
barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit).
Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu,
barang keperluan primer (daruriyyat), barang sekunder (hajiyyah) dan
barang tersier (tahsiniyyat). Barang haram tidak diakui sebagai barang
dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa
memperhatikan maqasid syariah (tujuan syariah).
5. Etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk
mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang
yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi
barang untuk israf(pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way)
seperti suap, berjudi dan lainnya.

B. Tipe Rasionalitas
Terkait dengan tipe atau jenis rasionalitas, Robert H. Frank dalam
Adiwarman A. Karim (2016) menyebutkan terdapat dua jenis rasionalitas
sebagai berikut:
a. Self Interest Rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi). Prinsip
pertama dalam ilmu ekonomi menurut Edgeworth adalah bahwa setiap
pihak digerakan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin saja benar pada
masa-masa Edgeworth, tetapi salah satu pencapaian dari teori utilitas
modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama yang
meragukan tersebut. Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak
kekayaan seseorang dalam satuan rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa
individu mengejar berbagai tujuan, bukan hannya memperbanyak
kekayaan secara moneter. Dengan demikian, self interest sekurang-
kurangnya mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise,
persahabatan, cinta, kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni,
dan banyak lagi.
b. Present-Aim Rationality (Rasionalitas Kepentingan Kolektif). Teori
utilitas (kepuasan) modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa
manusia bersikap mementingkan kepentingan pribadinya (self interested).
Teori ini hanya berasumsi bahwa manusia menyesuaikan preferensinya
dengan sejumlah aksioma, secara kasarnya preferensi-preferensi tersebut
harus konsisten. Individu menyesuaikan dirinya dengan aksioma-aksioma
ini tanpa harus menjadi self interested.

C. Prinsip Rasionalitas
Robert S Pyndick dan Daniel L Rubinfeld sebagaimana dikutip oleh M.
Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia bahwa prinsip-prinsip rasionalitas
ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Kelengkapan (Completeness)
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan
keadaan mana yang lebih disukainya di antara dua keadaan. Bila A dan B
merupakan dua keadaan yang berbeda, maka individu selalu dapat
menentu-kan secara tepat satu di antara kemungkinan berikut:
a) A lebih disukai daripada B
b) B lebih disukai daripada A
c) A dan B sama-sama disukai
d) A dan B sama-sama tidak disukai
2. Transitivitas (Transitivity)
Prinsip ini menerangkan mengenai konsistensi seseorang dalam
menentukan dan memutuskan pilihannya bila dihadapkan oleh beberapa
alternatif pilihan produk. Dimana jika seorang individu mengatakan bahwa
“produk A lebih disukai dari pada produk B” dan “produk B lebih disukai
daripada produk C”, maka ia pasti akan mengatakan bahwa “produk A
lebih disukai dari pada produk C”. Prinsip ini sebenarnya untuk
memastikan ada-nya konsistensi internal di dalam diri individu dalam hal
pengambilan ke-putusan. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap
alternatif pilihan seorang individu akan selalu konsisten dalam
memutuskan preferensinya atas suatu produk dibandingkan dengan produk
lain.
3. Kesinambungan (Continuity)
Prinsip ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan
“produk A lebih disukai daripada Produk B”, maka setiap keadaan yang
mndekati produk A pasti akan lebih disukai daripada produk B.
4. Lebih Banyak Selalu Lebih Baik (The More is Always the Better)
Prinsip ini menjelaskan bahwa jumlah kepuasan akan meningkat, jika
individu mengkonsumsi lebih banyak barang atau produk tersebut. Hal ini
bisa dijelaskan dengan kurva kepuasan konsumen dalam ilmu ekonomi hal
ini dikenal dengan kurva indiferen (indiference curve) yang semakin
meningkat akan memberikan kepuasan yang lebih baik. sehingga
konsumen cenderung akan selalu menambah konsumsinya demi kepuasan
yang akan didapat. Meskipun dalam peningkatan kurva indiferen ini akan
dibatasi oleh keter-batasan anggaran (budget constraint).
Selain prinsip-prinsip rasionalitas di atas, M. Nur Rianto Al Arif dan Euis
Amalia menambahkan prinsip-prinsip rasionalitas dalam ekonomi Islam
sebagai berikut:
a. Objek yang halal dan thayib (halal and thayib things). Dalam Islam
individu dibatasi oleh aturan-aturan syariat, dimana ada beberapa barang
yang tidak boleh dikonsumsi karena ada satu alasan tertentu, barang ini
hukumnya haram. Sehingga konsumen muslim hanya boleh
mengkonsumsi barang atau objek yang halal, baik produknya maupun
prosesnya.
b. Lebih banyak tidak selalu lebih baik (the more isn’t always better). Prinsip
ini mengkritik prinsip keempat, dimana sesuatu yang lebih banyak tidak
selamanya selalu baik. Hal ini terjadi pada barang-barang yang dapat
menimbulkan kemafsadatan dan kemudaratan bagi individu yang
mengkonsumsinya. Bila produk-produk ini dikonsumsi semakin banyak
justru akan menyebabkan individu dan masyarakat menjadi lebih buruk
kondisinya.
REFERENSI

Karim Adiwarman A. 2011. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta: Rajagrafindo


Persada), hlm. 51-57.

Ngasifudin, Muhammad. "Rasionalitas Ekonomi Islam." Al-Intaj: Jurnal Ekonomi


dan Perbankan Syariah 4.2 (2018).

Anda mungkin juga menyukai