Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keputusan seseorang untuk memilih alokasi sumber daya inilah yang melahirkan fungsi
permintaan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk
memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahasa berarti
berguna (usefulness), membantu (helpfulness) atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks
ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen
ketika mengkonsumsi sebuah barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa “tertolong”
dari suatu kesulitan karena mengkonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka
sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan seorang
konsumen dalam mengkonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama
meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.
Jika menggunakan teori konvensional, konsumen diasumsikan selalu menginginkan
tingkat kepuasan yang tertinggi. Konsumen akan memilih mengkonsumsi barang A atau B
tergantung pada tingkat kepuasan yang diberikan oleh kedua barang tersebut. Ia akan memilih
barang A jika memberikan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan B, demikian sebaliknya.
Masalah selanjutnya adalah mungkinkah konsumen mengkonsumsi barang tersebut ?. Untuk
menjawab pertanyaan ini, dia akan melihat dana atau anggaran yang dimiliki. Kalau ternyata
dana yang dimiliki memadai untuk membeli, maka ia akan membeli, jika tidak, maka ia tidak
akan membelinya. Kemungkinan ia akan mengalokasikan anggarannya untuk membeli barang
lain yang kepuasannya maksimal tetapi terjangkau oleh anggarannya.
Jika cerita di atas dicermati, maka setidaknya terdapat dua hal penting untuk dikritisi.
Pertama, tujuan konsumen adalah mencari kepuasan tertinggi. Penentuan barang atau jasa untuk
dikonsumsi berdasarkan pada kriteria kepuasan. Kedua, batasan konsumsi adalah kemampuan
anggaran. Dengan kata lain, sepanjang dia memiliki pendapatan, maka tidak ada yang bisa
menghalangi untuk mengkonsumsi barang yang diinginkan. Sikap seperti ini jelas akan
menafikan timbangan kepentingan orang lain atau pertimbangan aspek lain seperti kehalalan.
Perilaku konsumsi seperti di atas tidak dapat diterima begitu saja dalam ekonomi Islam.
Konsumsi yang Islami selalu berpedoman pada ajaran Islam. Di antara ajaran yang penting yang
berkaitan dengan konsumsi, misalnya perlunya memperhatikan orang lain. Dalam hadits
disampaikan bahwa setiap muslim wajib membagi makanan yang dimasaknya kepada
tetangganya yang merasakan bau dari makanan tersebut. Selanjutnya juga, diharamkan bagi
seorang muslim hidup dalam keadaan serba berkelebihan sementara ada tetangganya yang
menderita kelaparan. Hal lain adalah tujuan konsumsi itu sendiri, dimana seorang muslim akan
lebih mempertimbangkan maslahah daripada utilitas. Pencaian maslahah merupakan tujuan dari
syariah Islam, yang tentu saja harus menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi. [1]

B. Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud Kepuasan dan Rasionalitas Konsumen Muslim ?


2.    Bagaimanakah Fungsi dan Peningkatan Utilitas ?
3.    Bagaimanakah Konsumsi Intertemporal Dalam Ekonomi Islam ?
4.    Apa yang dimaksud Optimal solution ?

C. Tujuan Penulisan

1.    Agar pembaca mengetahui tentang Kepuasan dan Rasionalitas Konsumen Muslim.
2.    Agar pembaca mengetahui tentang Fungsi dan Peningkatan Utilitas.
3.    Agar pembaca mengetahui tentang Konsumsi Intertemporal Dalam Ekonomi Islam.
4.    Agar pembaca mengetahui tentang Optimal solution.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Kepuasan dan Rasionalitas Konsumen Muslim
1.    Kepuasan konsumen muslim.
Teori kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa merupakan teori pokok
dalam analisis mikro ekonomi. Kepuasan konsumsi merupakan bagian dari teori perilaku
konsumen. Seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh
kepuasan selalu menggunakan kerangka rasionalitas. Sehingga manusia rasional adalah manusia
yang berusaha mencapai kepuasan maksimum dalam kegiatan konsumsinya.
2.    Definisi Rasionalitas
Rasionalitas adalah perilaku manusia secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara
sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk. Perilaku rasional
mempunyai dua makna yaitu metode dan hasil. Dalam makna metode, perilaku rasional berarti
tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan kebiasaan,
prasangka atau emosi. Sedangkan dalam makna hasil, perilaku rasional berarti tindakan yang
benar-benar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai.[2]
Rasionalitas dalam perilaku pembelian oleh konsumen muslim haruslah berdasarkan aturan
islam, sebagai berikut :
a)             Konsumen muslim dinyatakan rasional jika pembelanjaan yang dilakukan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan.
b)             Konsumen muslim dapat dibilang rasional jika ia membelanjakan tidak hanya untuk barang-
barang yang bersifat duniawi semata, melainkan turut pula untuk keperluan di jalan Allah.
c)             Konsumen muslim yang rasional akan mempunyai tingkat konsumsi yang lebih kecil daripada
non muslim dikarenakan konsumsi hanya diperbolehkan untuk barang-barang yang halal dan
thayib.
d)                 Konsumen muslim yang rasional jika ia tidak menimbun dan menumpuk kekayaan melalui
tabungan, tetapi harus melakukan investasi yang dapat mengembangkan atau memacu sirkulasi
uang dalam rangka memacu dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena tabungan yang
tidak diinvestasikan atau disirkulasikan akan terkena pengurangan oleh zakat.[3]

B.            Fungsi dan Peningkatan Utilitas


Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan ( utility function ) biasanya digambarkan antara
dua barang atau jasa yang keduanya memang disukai oleh konsumen.
Dalam membangun teori utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional :
1.         Kompleteness
Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang
lebih disukainya diantara dua keadaan. Bila A dan B adalah dua keadaan yang berbeda, maka
individu selalu dapat menentukan secara tepat satu diantara tiga kemungkinan ini :
a)      A lebih disukai dari pada B
b)      B lebih disukai dari pada A
c)      A dan B sama menariknya

2.         Transitivity
Aksioma ini menjelaskan bahwa ji8ka seorang individu mengatakan “A lebih disukai
daripada B, dan B lebih disukai daripada C”, maka ia pasti akan mengatakan bahwa A lebih
disukai daripada C. Aksioma ini sebenarnya untuk memastikan adanya konsistensi internal
didalam diri individu dalam mengambil keputusan.
3.         Continuity
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seseorang individu mengatakan “A lebih disukai
daripada B” maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai daripada B.[4]

C.           Konsumsi Intertemporal Dalam Ekonomi Islam


Monzer Kahf berusaha mengembangkan pemikiran konsumsi intertemporal islami, dengan
memulai membuat asumsi sebagai berikut :
1.         Islami dilaksanakan oleh masyarakat
2.         Zakat hukumnya wajib
3.         Tidak ada riba dalam perekonomian
4.         Mudharabah merupakan wujud perekonomian
5.         Pelaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan
Dalam konsep islam, konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadits Rasulullah SAW yang
maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah
kamu infaqkan”. Oleh karena itu persamaan pendapatan menjadi :
Y = (C + infaq) + S
Persamaan ini disederhanakan menjadi Y = FS + S
FS adalah final spending ( konsumsi akhir ) di jalan Allah
Dalam ekonomi islam tidak berlaku sistem bunga, sehingga bunga yang dibayarkan kepada
penabung adalah nol dan digantikan dengan sistem bagi hasil.[5]
D.           Optimal solution
Sesuai dengan asumsi rasionalitas, maka konsumsi seorang muslim akan bertindak
rasional. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dari seorang konsumen senantiasa didasarkan
pada perbandingan antar berbagai refrensi, peluang dan manfaat serta madharat yang ada.
Konsumen yang rasioanl selalu selalu berusaha menggapai prefrensi tertinggi dari segenap
peluang dan manfaaat yang tersedia. Konsumen yang rasional berarti konsumen yang memilih
suatu kombinasi komoditas yang akan memberikan tingkat utilitas paling besar. Utilitas disini
juga meliputi maslahat dan madharat yang ditimbulkan dari mengonsumsi komoditas tersebut.
Dengan demikian, kepuasaan maksimum seorang konsumen terjadi pada titik dimana
terjadi persinggungan antara kurva indifference dengan budget line. Konsumen akan
memaksimalkan pilihannya dengan dua cara:
       1)      Memaksimalkan utility function pada budget line tertentu
Maksimalisasi utility function pada budget tertentu
Kombinasi Jumlah barang X Jumlah barang Y Pengeluaran
Barang yang dikonsumsi yang dikonsumsi Total
B 20 30 $80
R 20 20 $60
S 10 30 $70

Dengan tingkat pengeluaran tertentu yaitu $80, maka kombinasi barang B lebih baik
daripada kombinasi R dan S. Kombinasi B lebih baik daripada R, karena dapat mengkonsumsi
barang Y lebih banyak; dari segi total pengeluaran pun terlihat bahwa masih ada yang tidak
termanfaatkan sebesar $20. Kombinasi B lebih baik daripada kombinasi S, karena dapat
mengonsumsi barang X lebih banyak; dari segi total pengeluaran pun terlihat bahwa masih ada
yang tidak termanfaatkan sebesar $10.
            2)      Meminimalkan budget line pada utility function tertentu
Minimalisasi budget line pada utility function tertentu
Kombinasi Jumlah barang X Jumlah barang Y Pengeluaran
Barang Yang dikonsumsi Yang dikonsumsi Total
B 20 30 $80
T 20 30 $90

Untuk mengonsumsi 20X dan 30Y cukup diperlukan uang $80. Oleh karenanya kombinasi
B lebih baik daripada kombinasi T, karena untuk mendapatkan T ia harus membayar lebih mahal
untuk jumlah barang yang sama.
Untuk mengonsumsi barang x dan y dengan tingkat kepuasan yang sama, seorang
konsumen mempunyai beberapa alternatif garis anggaran yang dibutuhkan.
Dengan demikian, optimalisasi konsumen akan terbentuk pada budget line paling kecil
untuk mendapatkan kepuasan yang sama. 

Anda mungkin juga menyukai