Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH METODOLOGI EKONOMI KELEMBAGAAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah

Ekonomi Kelembagaan Islam

Dosen pengampu :

Dr. H. Ahmad Djalaluddin, Lc, M.A

Disusun Oleh :

Anggun Fambudi Lestari Ningrum 220504210034

PROGRAM MAGISTER EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

2023

+
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
1. Asumsi Dasar Perilaku Manusia Dalam..................................................................................3
A. Perluasan konsep rasionalitas dalam teori ekonomi dengan memasukkan asumsi-asumsi
dasar perilaku manusia yang lebih realistis..............................................................................3
B. Bounded rationality, Perilaku oportunis...............................................................................6
C. Rational choice vs. Rule-fullowing behavior.......................................................................9
2. Eksplanasi dalam Teori: Realism Vs Instrumentalism........................................................11
3. Variabel intitusi dalam Eksplanasi teori...............................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14
1. Asumsi Dasar Perilaku Manusia Dalam
A. Perluasan konsep rasionalitas dalam teori ekonomi dengan memasukkan asumsi-
asumsi dasar perilaku manusia yang lebih realistis
Rasionalitas merupakan istilah yang berkaitan dengan gagasan akal yang
berkonotasi pada proses berpikir dalam memberikan laporan atau keterangan.
Rasionalitas menyangkut dua aspek, yaitu (1) aspek yang berkaitan dengan pemahaman,
kecerdasan dan pengambilan keputusan, (2) kemasukakalan dari penjelasan, pemahaman
atau pembenaran. Rasionalitas juga mengandung makna quality of being rational
(kualitas menjadi rasional), possession of reason (mengandung alasan), reasonableness
(layak), rational act or belief (tindakan atau keyakinan yang rasional). Makna terakhir
menunjukkan bahwa rasionalitas mengarah pada dua dimensi, yaitu keyakinan dan
tindakan yang menurut pelakunya sebagai rasional (dan rasional sendiri digerakkan oleh
akal budi) (Isfandiar, 2015).
Konsep rasionalitas dalam ekonomi sering memunculkan istilah rational
economicman, yang dalam ekonomi konvensional menyamakan rasional tersebut dengan
serving of self-interest throug the maximization of wealth and want satisfaction. Kendali
self-interest didasarkan hanya pada the moral equivalent of the force of gravity in nature
(Isfandiar, 2015). Menurut Eisenhardt (1989) (Sari & Meiranto, 2017) ia mengemukakan
adanya tiga asumsi sifat dasar manusia, yaitu: (1) manusia mementingkan dirinya sendiri
(Self Interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas untuk persepsi masa mendatang
(Bounded Rationality), (3) manusia selalu menghindari resiko (Risk Adverse).
Rasionalitas sangat dekat dengan self-interest, sehingga terdapat beberapa
kategori, yaitu: (1) himpunan alternatif yang terbuka untuk dipilih, (2) hubungan yang
menentukan imbalan (“kepuasan”, “pencapaian tujuan”) sebagai fungsi dari alternatif
yang dipilih, dan (3) urutan prefrensi di antara imbalan (H. A. Simon, 1955). Menurut
Walter Nicholson (Isfandiar, 2015) self-interest didasarkan pada 3 sifat manusia yang
menjadi ungkapan kecenderungan manusia yaitu:
1. Completencess (kelengkapan), maknanya pada situasi yang sama manusia tidak dapat
mempunyai pilihan yang jelas karena keduanya menjadi prioritas dan diperlukan,
2. Transitivity (transitivitas), maknanya ada prioritas pilihan
3. contiunuity (kesinambungan), maknanya berbagai hal yang dibutuhkan untuk
menunjang tercapainya tujuan harus pula menjadi prioritas pilihan. Kecenderungan itu
mengiring manusia secara natural dan naluriah membangun preferensinya.

Menurut R. Varian (Isfandiar, 2015) membuat tidak asumsi tentang preferensi, yaitu:

1. Strong monotonicity (kemonotonan yang kuat), maknanya kecenderungan manusia


adalah ingin lebih banyak ataupun lebih baik dan tetap pada posisi semula adalah batas
minimal.
2. Local non-satiation (diri yang tidak pernah merasa puas), maknanya perubahan harus
selalu etrcapai meskipun sedikit.
3. Strict convexity (konveksitas-cembung-ketat), maknanya manusia hakikatnya suka
yang rata-rata ketimbang yang ektrim.
Setelah melihat kecenderungan self-interest terhadap rasionalitas, kemudian
secara teoritis, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar asumsi. Menurut Roger
LeRoy Miller (Karim, 2007), asumsi rasionalitats merupakan manusia berperilaku secara
rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan
menjadikan mereka lebih buruk. Rasional tersebut membentuk sebuah perilaku yang
mengerucut pada dua makna, yaitu: (1) metode, yang maknanya adalah tindakan yang
dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan kebiasaan, prasngka atau
emosi, dan (2) hasil, yang maknanya tindakan yang benar-benar dapat mencapai tujuan
yang ingin dicapai.
Secara konseptual dan teoritis, rasionalitas dalam ekonomi islam dibangun atas
dasar asumsi yang dibentuk dari nilai dan ajaran Islam yang merupakan kaidah yang
bersifat umum dan berlaku universal (Isfandiar, 2015). Aksioma tersebut antara lain:
1. Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan mashlahah
Untuk mewujudkan kesejahteraan falah maka kegiatan ekonomi harus diarahkan
untuk mencukupi kebutuhan guna menghasilkan mashalahah. Oleh karenanya, pada
dasarnya setiap pelaku ekonomi akan berorientasi untuk mencapai mashlahah ini.
Berkaitan dengan mencari mashlahah ini, seseorang akan selalu:
a) Mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit
Mashlahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatannya lebih disukai daripada
mashlahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatannya, atau monotonicity
mashlahah yang lebih besar akan memberikan kebahagian yang lebih tinggi,
karenanya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih kecil.
b) Mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu
Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity, yaitu situasi mashlahah yang
menunjukkan pola non-decreasing. Karena jika seseorang menderita sakit maka ia
akan berusaha mengobati sakitnya tersebut, sebab sakit tidaklah menyenangkan
dan dapat menurunkan mashlahah hidupnya. Selanjutnya dia bersedia
mengeluarkan sejumlah pengobatan tertentu misalnya olahraga, vaksinasi, dan
lainnya supaya tidak jatuh sakit lagi danlebih sehat di masa depan supaya
mashlahah hidupnya semakin meningkat atau setidaknya tetap.
2. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran )non-
wasting)
Dapat dipahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan, maka diperlukan suatu
pengorbanan. Namun, jika pengorbanan tersebut lebih besar dari hasil yang
diharapkan, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi pemubaziran atas suatu
sumber daya. Perilaku mencegah wasting ini diinginkan oleh setiap pelaku karena
dengan terjadinya kemubaziran berarti telah terjadi pengurangan dari sumber daya
yang dimiliki tanpa konpensasi berupa hasil yang sebanding.
3. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan risiko
Risiko merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan dan oleh karenanya
menyebabkan menurunnya mashlahah yang diterima. Hal ini merupaman
konsekuensi dari aksioma monotonicity dan qusi concavity. Namun, tidak semua
risiko dapat dihindari atau diminimumkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap orang
bersedia untuk menanggungnya, karena pertimbangan mashlahah yang lebih besar.
4. Setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian
Ketidakpastian dapat menurunkan mashlahah yang diterima. Kemunculan risiko
dalam banyak hal dapat diantisipasi melalui gelaja yang ada. Geja;a yang dimaksud
disini adalah adanya ketidakpastian (uncertainty). Secara spesifik, situasi
ketidakpastan akan dapat menimbulkan risiko. Dengan begitu suatu ketidakpastian
banyak diidentikan dengan risiko itu sendiri, atau ketidakpastian dianggap sebagao
dual dari risiko/ oleh karena itu, situasi ketidakpastian juga dianggap sebagai situasi
yang dapat menurunkan nilai mashlahah
5. Setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan risiko
Dalam kondisi ketidakpastian, setiap pelaku berusaha untuk mencari dan melengkapi
informasi serta kemampuannya. Hal ini kemudian digunakan untuk mengkalkulasi
apakah suatu risiko masuk dalam kategori worthed atau unworthed sehingga dapat
ditentukan keputusan apakah akan menghadapi risiko tersebut atau menghindarinya.
Informasi ini dapat digali melalui fenomena kejadian masa lalu ataupun
petunjuk/informasi yang diberikan pihak tertentu (H. Firmansyah, 2018).

Anggapan yang bersifat universal tersebut, didukung oleh anggapan yang hanya
terdapat dalam ajaran Islam dan hanya diyakini oleh seorang muslim, yaitu (1) adanya
kehidupan setelah kematian di dunia, (2) kehidupan dunia merupakan media untuk
mencapai kehidupan akhirat, dan (3) sumber utama hanyalah Qur’an dan Hadits
(Isfandiar, 2015).
Rasionalitas dalam ekonomi islam mempunyai batasan-batasan tertentu, karena
rasionalitas yang berbasis akal harus dikendalikan oleh etika dan norma, yang digali ddari
ajaran islam yang berasal dari sumber otoritatif yaitu Qur’an dan Hadis. Etika, bukan
hanya berlaku sebagai border (pembatas), akan tetapi ia secara internal dan inheren
berlaku pada setiap muslim dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu, rasionalitas
dalam ekonomi islam berorientasi pada subyek yakni perilaku muslim dalam ekonomi.
Sehingga pandangan rasionalitas dalam ekonomi islam berimplikasi pada dihadapkannya
rasionalitas yang berbasis ajaran islam dengan pemahaman rasionalitas uang selama ini
berkembang pada perekonomian modern (Isfandiar, 2015).

B. Bounded rationality, Perilaku oportunis


1. Rasionalitas yang terbatas (Bounded rationality)
Rasionalitas terbatas merupakan gagasan bahwa dalam pengambilan
keputusan, rasionalitas individu dibatasi oleh informasi yang dimiliki, keterbatasan
kognitif dari pikiran atau keterbatasan waktu, sementara adakalanya keputusan harus
segera diputuskan. Pengambilan keputusan tidak memiliki kemampuan dan sumber
daya memadai untuk sampai pada solusi optimal, karena itu mereka menerapkan
rasionalitas setelah penyederhanaan pilihan tersedia. Oleh karenanya manusia lebih
cenderung menjadi satisficer (terpuaskan) ketimbang optimalisasi atau maksimalisasi
(m.firmasyah).
Wayland (2006) Inti dari bounded rationality adalah keterbatasan manusia dal
am mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam menent
ukan sesuatu tindakan dalam kehidupan. (M. Firmansyah & Suman, 2013)
Bounded rationality adalah bagaimana manusia bisa mengambil keputusan dalam keh
idupan, dimana waktunya singkat, pengetahuan yang kurang, dan sumber daya lain ya
ng terbatas (Gigerenzer, 2000)
Menurut Harbeth mengatakan bahwa manusia tak sepenuhnya rasional, berba
gai aksi yang dipengaruhi faktor-faktor irasional dalam otak manusia, berbagai agen r
asional terbatas menghadapi keterbatasan informasi dan pengalaman dalam memecah
kan masalah rumit (Hoesada, 2021)
Manusia dan perusahaan sebagai pendiri atau atasan ternyata terbatas, yakni t
erbatas dati motivasi, emosi, dan informasi yang menjadi dasar pertimbangan dan pen
gambilan keputusan melainkan keputusan dan prilkau ekonomipun dipengaruhi oleh
kondisi sosial, waktu, dan segala macam pengaruh ruang yang melingkupinya. Conto
h prilaku rasional yang irasional, mengkonsumsi suatu produk diketahui dapat merusa
k kesehatan misalnya tetapi terus menjadi pilihan prilaku konsumsi(Weruin, 2022)
Rasionalitas ekonomi terbatas pada ruang, waktu, informasi, pengaruh, motiv
asi, dan pertimbangan moral yang menyertai. Pilihan individu untuk pertimbangan da
n prilaku tertentu tak pernah bebas nilai, tak pernah menyeluruh dan tak pernah netral
melainkan melibatkan pertimbangan sedehana. Maka pandangan rasionalitas ekonomi
neoklasik dianggap sederhana dan cakupan yang komplek karena mengembalikan se
mua asal mula pertimbangan pada individu, dan indihidupun dipengaruhi oleh faktor
eksternal (Weruin, 2022). Alasan yang mendasar mengapa orang-orang membatasi ju
mlah penalaran yang mereka gunakan ketika harus membuat keputusan :
a. Manusia membatasi kemampuan analitis, dan memang ada keterbatasan pengetah
uan individu bersangkutan yang tersedia
b. Manusia ingin menghemat upaya ingatan (kognitif) yang diperlukan
c. Manusia tidak ingin menghabiskan waktu yang dibutuhkan menggali informasi ya
ng diperlukan dan membuat keputusan yang optimal
2. Perilaku oportunis
Perilaku oportunis merupakan perilaku individu untuk berusaha mengambil
keuntungan bagi diri sendiri tanpa mempedulikan prinsip-prinsip yang berlaku.
Perilaku oportunistik dapat juga digolongkan sebagai perilaku yang cenderung
memanipulasi informasi. Individu dengan perilaku oportunistik secara signifikan
dapat memanipulasi informasi dan data yang ada sehingga hal ini bertentangan
dengan hak setiap orang untuk mendapatkan informasi yang akurat. Fajri dan Senja
(2006) menyatakan bahwa opportunism merupakan pandangan yang semata-mata
hendak mengambil keuntungan untuk memperkaya diri sendiri dari kesempatan yang
ada tanpa berpegang pada prinsip yang berlaku. Perilaku opportunistic merupakan
perilaku yang senantiasa hendak mengambil keuntungan dari setiap kesempatan yang
ada tanpa berpegang pada prinsip yang berlaku (Dwi Prawitasari & Dwiana Putra,
2019).
Wibowo menyatakan bahwa prilaku oprtunis ini mengacu pada tindakan spesi
fik yang dilakukan oleh satu pihak, sehingga terjadi pengaturan yang tidak sama atau
tidak mentaati peraturan dengan pihak lain yang bersangkutan. Oportunisme mengara
h pada tindakan, memotong/menahan atau memutarbalikkan fakta (mendistorsi) infor
masi penting, tidak memenuhi janji atau kewajiban, berbohong, atau berbuat curang
(Supiani, 2020). Prilaku oportunis ini mengacu pada prilaku manusia yang sengaja di
buat rasional (H. Simon, 1955)
Oportunis adalah kebijakan atau kesadaran yang dirasakan seseorang, praktek
yang mencerminkan keegosan dalam suatu keadaan, yang tidak memperhatikan prins
ip-prinsip. Istilah ini dapat diterapkan kepada individu, kelompok, organisasi, gaya, p
rilaku, dan tren. Oportunisme atau prilaku oportunistik adalah konsep penting dalam
bidang-bidang ekonomi, biaya transaksi, biologi evolusi, teori permainan, etika, psik
ologi, sosiologi dan politik., model IGMOB (intergrated general model of opportunis
tic behaviour) mengidentifikasikan 15 penyebab prilaku oportunistik yaitu: 1) tempor
litas (waktu terbatas) hubungan 2) kesamaan (kemiripan) budaya 3) formalsasi hubun
gan 4) tata-kelola hubungan 5) keseimbangan kekuasaan 6) pengaruh timbal balik 7)
kerjasama berbasis kepemilikan 8) atmosfer toleransi 9) saling menghormati (respek)
10) kepuasan hubungan 11) lama hubungan 12) sanjungan (rayuan) berlebihan 13) si
kap sinisme 14) kecenderungan menipu 15) relavitas (perubahan yang dialami setiap
harinya) (Pratama, 2018).
Dalam perjalanan hubungan antara mitra dalam perusahaan bisa jadi berjalan
mulus terkadang juga bisa menemukan suatu permasalahan, salah satu masalah yang
kerap muncul dalam hubungan kemitraaan ialah niat mitra untuk berprilku oportunis
tik, yang mana prilaku oportunik ini mengganggu hubungan antara mitra, sehingga bi
sa menghambat proses pembenaran nilai (Wibowo, 2013)
Oportunisme akan muncul ketika keputusan manager akan meningkatkan kes
ejahteraan manager tetapi tidak diikuti dengan kekayaan bersih secara agregat. Oport
unisme manager akan timbul apabila:
1. Kondisi sistem pengendalian perusahaan mampu member celah bagai manager untuk
melakukan tindakan yang memperkaya dirinya sendiri
2. Adanya kesalahan pada saat perjanjian kontrak dilakukan oporunisme, berrti manage
r melakukan tindakan mentransfer kesejahteraan dari pemegang saham atau pemegan
g hutang tanpa menimbulkan kenaikan kesejahteraan bersih secara agregat
(Priantinah, 2017)

C. Rational choice vs. Rule-fullowing behavior


1. Rational Choice (Pilihan Rasional)
Pilihan rasional ialah pilihan individu untuk melakukan tindakan terbaik untu
k mencapai tujuan. Teori pilihan rasional ini di populerkan oleh James S. Coleman da
lam karya jurnalnya yang berjudul rationality and society, tujuan teori ini untuk meny
ebarkan pemikiran yang berdasarkan pada perspektif pilihan rasional. Rasional disini
ialah pola pikir seseorang yang cenderung bersikap dan bertindak berdasarkan logika
dan nalar manusia (Syafira & Harianto, 2019). Rubinstein (1998), mengatakan dalam
teori ekonomi, pembuat keputusan yang rasional adalah karakteristik dari atasan yang
memiiki keputusan rasional setelah melakukan pertimbangan dengan meyertakan apa
yang layak, apa yang diinginkan dan alternative apa yang terbaik dalam mempertimba
ngkan kelayakan tersebut (M. Firmansyah & Suman, 2013)
Teori pilihan rasional merekomendasikan untuk membentuk penjelasan tentan
g fenomina sosial dengan prilaku pilihan individu yang dipandang rasional. Rasionalit
as mewujudkan dirinya dalam tindakan individu yang memiliki tujuan. Teori terebur
menyatakan bahwa seorang individu akan selalu memilih alternative yang memaksim
alkan manfaat dalam situasi tertentu.(Kaisla, 2000)
Teori pilihan rasioanl merupakan alat untuk berpikir logis, berfikir rasional, d
idalam membuat suatu keputusan. Teori pilihan rasional berpusat pada aktor dan sum
berdaya, aktor disini diartikan sebagai individu yang melakukan sebuah tindakan, tind
akan tersebut diharapkan mampu menghasilkan sebuah perubahan sosial. Contoh akto
r disini ialah sorang petani miskin yang memiliki yang memiliki suatu tujuan tertentu
untuk bertahan hidup walaupun musim tdak lagi mendukung untuk bercocok tanam, s
tarategi berahan hidup petani miskin merupakan sebuah pilihan, yang didalamnya ada
sebuah tindakan yang dilakukan oleh individu yang dianggap rasional. dan sumber da
ya disini contohnya ialah “sawah” yang mereka miliki tidak semua petani memiliki l
ahan pertanian yang luas sehingga mereka punyak cara yang berbeda-beda dalam me
ngelola pertaniannya (Rejeki, 2019).
Imam B. Prasodjo mengemukakan Kelemahan rational choice theory antara l
ain ialah
a. Kadang-kadang informasi yang diterima tidak merata antara satu orang dengan or
ang lain
b. Rasionalitas yang terjadi dalam kenyataannya adalah berbeda-beda anatara satu or
ang dengan orang lainnya.
c. Tidak semua prilaku manusia dapat dijeaskan melalui rational choice theory, mis
alnya jika kita dihadapkan pada atura budaya, maka cenderung untuk ikut saja. Ra
tional choice theory tidak memperhatikan nurani, insting emosional, hal-hal yang
irrasional, misalnya perempuan yang senantiasa marah-marah pada saat haid
2. Rule-fullowing behavior (Prilaku mematuhi aturan)

Prilaku mengikuti aturan ialah fenomena dimana kita tampak terbimbing dan s
ecra normatif dibatasi sesuatu (Reiland, 2023). Norma/aturan ialah nilai bersama yang
mengatur prilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Menurut Plateau
(2000) perkembangan dalam pembangunan ekonomi telah terjadi dimana saat ini tuju
an nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Norma sosial ialah didefinisik
an sebagai aturan yang menetukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu j
uga dipahami sebagai ronsip keadilan yang mengarahkan pelaku untuk berprilaku yan
g tidak mementingkan diri sendiri

Norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengukur sesuatu yang lain atau seb
uah ukuran, norma ialah kaidah atau petunjuk untuk hidu (bertingkah laku) sebagaima
na mestinya terhadap sesame manusia maupun terhadap alam dalam suatu masyarakat
Fungsi norma ialah sebagai pedoman membuat atau melakukan sesuatu dan ukuran u
ntuk mempertimbangkan sesuatu (De & Soemargono, 1987)
Konsep-konsep norma menurut Coleman ialah sebagai berikut:
a) Norma menentukan tindakan yang harus dilakukan oleh sekelomok orang
b) Norma dicipta secara sengaja
c) Norma diciptakan dan dipertahankan karena ada manfaat: untuk bila patuh dan ru
gi bila melanggar
d) Norma ditegakkan melalui sanksi, imbalan ika tidakan benar dan hukuman bila tid
akan tidak benar
e) Orang-orang yang patuh terhadap norma yang berlaku, menyatakan adanya hak u
ntuk menerapkan sanksi apabila melanggar dan mengakui hak orang lain yang ber
pegang pada norma tersebut
f) Tindakan dalam mematuhi norma tersebut akan mempengaruhi tindakan yang sa
ma kepada orang lain yakni mematuhi norma karena ada manfaat dalam melakuka
n kepatuhan tersebut.

Sebuah tindakan dapat dinilai rasional secara langsung, tetapi hanya dengan
mempertimbangkan sejauh mana tindakan tersebut sesuai dengan aturan yang rasiona
l untuk diikuti, dengan kata lain sebuah aturan tindakan adalah rasional jika dengan m
engikuti aturan tersebut. (Kaisla, 2000)

2. Eksplanasi dalam Teori: Realism Vs Instrumentalism


Realisme dan instrumentalisme memberikan dua interpretasi alternatif terhadap sains dan
pengetahuan faktual secara umum. Menurut realisme, pengetahuan semacam itu bersifat
deskriptif mengenai ciri-ciri alam semesta (umum atau khusus). Menurut instrumentalisme
bahkan suatu teori yang sepenuhnya benar tidak menggambarkan apa pun melainkan berfungsi
sebagai instrumen untuk meramalkan fakta-fakta yang memuat kandungan empirisnya
(Feyerabend, 1981). Dikutip dari Wikipedia, Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek
indra adalah rill dan berada sendiri tanpa disandarkan kepada pengetahuan lain atau kesadaran
akal. Contoh bunga mawar yang harum baunya merangsang hidung sungguh nyata bertengger
diranting pohon ditaman bunga. Dari pernyataan tersebut contoh realisme yaitu nyata bukan
khayalan karena semuanya tampak adanya dan terlihat oleh mata dan juga tercium oleh hidung.
Diantara pemikir realisme antara lain Aristoteles, John Locke, Johan Amos Comenius, Francis
Bacon, William Mc Gucken.

Realisme merupakan salah satu paradigma tertua dalam Hubungan Internasional


(International Relation/IR) dan Ekonomi Politik Internasional (International Political
Economy/IPE). Ini adalah “spektrum gagasan” berdasarkan prinsip-prinsip bersama tentang apa
yang menentukan perilaku negara terhadap satu sama lain. Di antara gagasannya adalah
anarki. Kaum realis percaya bahwa tidak ada otoritas global terpusat yang membatasi negara-
negara berdaulat dan menentukan tindakan mereka. Oleh karena itu, negara-bangsa merupakan
satu-satunya aktor yang sah dalam urusan internasional dan baik aktor supranasional maupun
domestik tidak dapat membatasi mereka. Realisme memandang segala sesuatunya tidak
sebagaimana mestinya, tetapi sebagaimana adanya (Kat, 2015)

Gagasan filosofis tentang realisme mempunyai akar yang tajam pada ontologi, yaitu
penyelidikan terhadap hakikat keberadaan, apa yang ada atau ada, bersama dengan hakikat objek
kajian. Realisme adalah bagian tak terpisahkan dari metodologi atau kebijakan ekonomi (Qadri,
2021). Realisme bukanlah paradigma monolitik, melainkan sebuah program penelitian yang
menggabungkan berbagai aliran. Saat memperdebatkan banyak isu di luar program penelitian,
berbagai versi realisme memiliki kesamaan inti asumsi dan proposisi. Dan lagi-lagi, terdapat
perbedaan pendapat mengenai komponen mana yang pantas disebut sebagai asumsi inti, mana
yang merupakan proposisi 'sekadar', dan mana yang tidak dimasukkan ke dalam kelompok
terluar (Barth, 2000).

Meski jelas dalam menggambarkan tren sejarah secara keseluruhan, realisme mendapat
kritik keras dalam beberapa dimensi. Pertama, paham realis memandang negara sebagai 'kotak
hitam' yang kurang memahami bagaimana kepentingan nasional disusun. Kedua, realisme
dikritik karena pendekatannya yang terlalu materialistis. Peran ide, nilai, institusi, dan norma
masih diremehkan. Misalnya, Hans Morgenthau, bapak pendiri realisme politik kontemporer,
menyalahkan negara demokrasi liberal Barat karena lemah dalam bereaksi terhadap ancaman
fasisme. Ketiga, realisme biasanya disebut sebagai teori kekuatan dunia, yang menempuh mata
kuliah politik kekuasaan. Oleh karena itu, realisme perlu dilengkapi dengan asumsi teori-teori
IPE yang bersaing: Marxisme, liberalisme, konstruktivisme (Kat, 2015).

Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori ilmiah merupakan perkiraan kebenaran


universal tentang realitas, sedangkan instrumentalisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori
ilmiah berada dalam struktur intelektual yang memberikan prediksi yang memadai tentang apa
yang diamati dan kerangka kerja yang berguna untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan
masalah dalam domain tertentu (Cacioppo et al., 2004). Dikutip dari Wikipedia,
Instrumentalisme adalah pandangan metodologis bahwa ide adalah instrumen yang berguna, dan
bahwa nilai suatu ide didasarkan pada seberapa efektif ide tersebut dalam menjelaskan dan
memprediksi fenomena. Instrumentalisme terkait erat dengan Pragmatisme (yang menekankan
konsekuensi praktis sebagai kriteria penting dalam menentukan makna, kebenaran atau nilai),
dan bertentangan dengan Realisme Ilmiah (pandangan bahwa dunia yang dijelaskan oleh sains
adalah dunia nyata, terlepas dari apa yang mungkin kita ambil) (Feelsafat, n.d.) Dalam
pandangan Friedman yang mendukung interpretasi instrumentalis terhadap asumsi ekonomi
berpendapat bahwa nilai suatu teori sepenuhnya dinyatakan dalam kemampuannya memprediksi
fenomena yang dapat diamati; teori adalah instrumen prediksi (Feyerabend, 1981).

Tesis mendasar dari instrumentalisme adalah bahwa penalaran praktis hanya terdiri dari
penalaran tujuan akhir. Artinya, penalaran praktis pada dasarnya adalah tentang penggunaan
pengetahuan seseorang tentang hubungan sebab-akibat, hubungan konstitutif, dll., untuk
mencapai tujuan dan keinginan seseorang dan penalaran praktis tidak lebih dari itu. Namun
beberapa tujuan harus diberikan pada awal proses ini. Jadi, klaim penting lainnya dari
instrumentalisme adalah bahwa ada tujuan-tujuan tertentu (yang disebut tujuan akhir )
yang tidak dianggap sebagai nilai instrumental melainkan memotivasi agen sebelum melakukan
musyawarah. Singkatnya, dua klaim karakteristik instrumentalisme adalah: (1) semua penalaran
praktis adalah penalaran tujuan dan (2) beberapa tujuan tidak mempunyai pembenaran lebih
lanjut (Hughes, 2009)
Studi ekonomi politik kritis, menurut Golding dan Murdock setidaknya terdapat dua varian
utama, yakni : instrumentalis dan strukturalis. Dalam analisis instrumentalis (Herman dan
Chomsky ) fokus utama diletakan pada bagaimana cara para pemilik modal menggunakan
kekuasaan ekonomi mereka dalam sebuah sistem pasar komersial untuk menjamin aliran
informasi publik yang sejalan dengan misi dan tujuan mereka. Sehingga yang terjadi adalah
adanya berubahnya fungsi media sebagai dominasi kelas. Akan tetapi, meskipun kapitalis
mempunyai kekuasaan untuk menentukan aliran informasi yang sesuai dengan pandangan
mereka, masih terdapat struktur yang lebih luas yang memberikan keterbatasan kepada kapitalis.
Menjadi penting untuk dilakukan adalah tugas dari analisis instrumentalis ini adalah berusaha
untuk menganalisa berbagai sifat dan sumber-sumber keterbatasan yang dimiliki oleh kapitalis
dan elit politik dalam struktur yang lebih besar tersebut (Triyono, 2012)

Namun, secara umum, para filsuf teknik dapat menghindari kontroversi


mengenai instrumentalisme . Bagi filsuf praktis yang “murni”, apakah pembenaran praktis selalu
menghasilkan tujuan akhir yang tidak dapat dibenarkan adalah sebuah pertanyaan penting,
namun pertanyaan ini tidak begitu relevan dalam memahami praktik Teknik (Hughes, 2009)
Doktrin ini menjadikan keberhasilan empiris suatu teori sebagai sumber misteri. Dan teori
ekonomi akan sangat terpuruk jika kita menyimpulkan bahwa premis-premisnya sangat tidak
konsisten dengan proses sebab-akibat nyata yang mendasari perekonomian yang bekerja. Oleh
karena itu aktivitas ekonomi dalam masyarakat modern memerlukan institusi yang menentukan
penggunaan, pengelolaan, dan penikmatan sumber daya; penempatan dan pengelolaan tenaga
kerja; dan manajemen perusahaan.

3. Variabel intitusi dalam Eksplanasi teori


Di ambil dari suatu buku yang mana Buku ini tumbuh dari upaya untuk mengawinkan
dua arus yang sedang berkembang di bidang ekonomi, yaitu penelitian khusus mengenai
metodologi umum perekonomian dan kebangkitan minat teoretis terhadap karakter dan peran
institusi. Ada gagasan bahwa kedua belah pihak akan mendapat manfaat dari aliansi semacam
itu. Di satu sisi, penelitian dalam metodologi ekonomi jelas memerlukan orientasi dan
pengembangan konsep yang diilhami oleh isu-isu konkrit yang terlibat dalam teori-teori dan
pendekatan-pendekatan ekonomi yang substansial. Ilmu ekonomi institusionalis, dengan
berbagai ragamnya, mungkin dapat memberikan sumber inspirasi dan landasan uji bagi para
generalis dalam metodologi ekonomi. Di sisi lain, rehabilitasi studi teoritis lembaga-lembaga di
bidang ekonomi baru-baru ini menimbulkan banyak isu yang bersifat metodologis. Meskipun
para ekonom institusionalis secara tradisional cenderung terlibat dalam refleksi metodologis,
terdapat banyak ruang untuk kecanggihan. Metodologi umum yang diinformasikan secara
filosofis mungkin bisa membantu di sini.

Saat ini jauh lebih sah dibandingkan, katakanlah, dua puluh tahun yang lalu jika kita
menganggap institusi sebagai masalah penelitian yang serius di bidang ekonomi. Masalah ini
bukan lagi satu-satunya keistimewaan para pengikut Veblen, Commons, Mitchell, Ayres, dan
lainnya dalam tradisi lama Amerika. Saat ini terdapat upaya-upaya baru yang dihormati secara
luas untuk berteori tentang logika tindakan kolektif (misalnya Olson 1965), hak milik (misalnya
Furubotn dan Pejovich 1974), hukum (misalnya Posner 1973), sistem pemerintahan politik.

sebagaimana diketahui bahwa metodologi ilmu ekonomi akhir-akhir ini mengalami


kemajuan pesat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah buku dan artikel yang
diterbitkan sejak tahun 1980 atau lebih melebihi pencapaian periode sebelumnya. Outlet baru
telah didirikan, seperti jurnal Ekonomi dan Filsafat. Jumlah penelitian canggih yang mendasari
teori ekonomi telah meningkat sedemikian rupa sehingga pemahaman kita tentang banyak aspek
ekonomi berada pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Ada alasan untuk memuji,
tapi harus berkualitas.

Metodologi umum ilmu ekonomi saat ini sebagian besar disibukkan dengan pertanyaan-
pertanyaan penilaian epistemik, yaitu pertanyaan-pertanyaan epistemologis mengenai
penerimaan dan penolakan rasional terhadap teori-teori ekonomi. Kekhawatiran utamanya adalah
peran penting bukti empiris negatif dalam konteks dinamis pengujian dan kemajuan, yang diduga
tidak memiliki kesimpulan induktif.

Ilmu ekonomi institusionalis dalam pengertian minimal ini adalah ilmu ekonomi dengan
institusi yang berperan sebagai entitas penjelas atau entitas penjelas atau keduanya. Versi
institusionalisme yang berbeda kemudian dapat dipahami sebagai hal yang didasarkan pada
spesifikasi yang berbeda, seperti spesifikasi tentang bagaimana institusi dikonseptualisasikan;
bagaimana institusi dijelaskan; aspek kelembagaan apa saja yang dijelaskan; bagaimana institusi
digunakan untuk menjelaskan hal lain; terdiri dari apakah sesuatu yang lain ini, dsb. Hal ini akan
memberi kita berbagai macam institusionalisme. Garis pemisah antara institusionalisme lama
dan institusionalisme baru menjadi relatif, karena hanya satu dari sekian banyak institusi lain
yang memotong kedua kategori gabungan tersebut secara internal.

Mari kita lihat karakterisasi Richard Langlois mengenai ekonomi institusionalis baru
dalam kaitannya dengan 'tema' dan sebagai 'program penelitian' yang lebih spesifik. Dia
membedakan tiga tema bersama dan item terkait dalam program penelitian institusionalis baru
Saya merangkumnya sebagai berikut.

1. Pendekatan 'lain-lain atau topikal' yang 'menarik perhatian pada masalah-masalah ekonomi
yang diabaikan oleh para ekonom ortodoks yang tidak memiliki keterpaduan teoritis, karena
ilmu ekonomi dikatakan mempunyai batas-batas yang jelas dan pintu-pintu tetap terbuka
untuk topik atau proyek apa pun yang dapat menarik perhatian penyelidik institusionalis.

2. Pendekatan 'tematik' yang berfokus pada 'berbagai tema dasar yang sudah mapan' namun
masih kurang 'kerangka penafsiran menyeluruh yang ke dalamnya tema-tema dasar... dapat
dipadukan dalam satu kesatuan umum.

3. Pendekatan 'paradigmatis' yang mencari 'kerangka analisis analitik menyeluruh.

Gruchy kemudian mengakui bahwa 'mayoritas kaum institusionalis [tampaknya bukan tipe
institusionalis lama] menganut pendekatan aneka atau topika dalam studi ekonomi
institusional' dan bahkan segelintir orang tersebut (seperti Veblen, Mitchell, Commons,
Ayres, dan Galbraith) yang telah berupaya mengembangkan kerangka teoritis untuk
kelembagaan
DAFTAR PUSTAKA

De, V. H., & Soemargono, S. (1987). Pengantar Etika. Tiara Wacana Yogya.

Dwi Prawitasari, N. M., & Dwiana Putra, I. M. P. (2019). Pengaruh Perilaku Oportunistik,

Asimetri Informasi, Moralitas Manajemen dan Kesesuaian Kompensasi Pada Praktik

Kecurangan Akuntansi. E-Jurnal Akuntansi, 28(3), 1984.

https://doi.org/10.24843/eja.2019.v28.i03.p22

Firmansyah, H. (2018). Teori Rasionalitas Menurut Ekonomi Islam. EKSISBANK: Ekonomi

Syariah dan Bisnis Perbankan, 2(1), 1–15. https://doi.org/10.37726/ee.v2i1.5

Firmansyah, M., & Suman, A. (2013). RASIONALITAS MEMILIH TRANSAKSI DENGAN

BANK SYARIAH (Perspektif Teori Bounded Rationality). Proceding Seminar asional

dan Call for Paper.

Gigerenzer, G. (2000). Adaptive Thinking Rationality In The Real World. Oxfor University

Press.

Hoesada, D. D. J. (2021). Teori Rasionalitas Berbatas.

https://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/08/10/rational-choice-theory-dan-
simbolik-interaksionisme/

Isfandiar, A. A. (2015). Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic Ethics. Muqtasid:

Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 6(2), 23.

https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41

Kaisla, J. (2000). Rationality and Rule Following: Frederisksberg.

Karim, A. (2007). Ekonomi Mikro Islam. Jakrta: Rajawali Press.

Pratama, W. A. (2018). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR

MEMPENGARUHI PERILAKU OPORTUNISTIK DALAM PENGELOLAAN

RETRIBUSI WISATA (STUDI KASUS PADA PEGAWAI DINAS PARIWISATA


KEBUDAYAAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN BLITAR). Jurnal Ilmiah:

Universitas Brawijaya.

Priantinah, D. (2017). PERSPEKTIF OPORTUNISTIK DAN EFISIEN DALAM FENOMENA

MANAJEMEN LABA. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, 14(2).

https://doi.org/10.21831/jpai.v14i2.12865

Reiland, I. (2023). “Rule‐Following I: The Basic Issues.” Philosophy Compass, e12900.

https://doi.org/10.1111/phc3.12900

Rejeki, S. (2019). PILIHAN RASIONAL PETANI MISKIN PADA MUSIM PACEKLIK.

Jurnal Analisa Sosiologi, 8(2).

Sari, A. R., & Meiranto, W. (2017). Pengaruh Perilaku Opportunistik, Mekanisme Pengawasan,

Dan Financial Distress Terhadap Manajemen Laba. Diponegoro Journal of Accounting,

6, 1–17.

Simon, H. (1955). A Behavioral Model Of Rational Choice. Quarterly Journal of Economics, 69.

Simon, H. A. (1955). The Prussian Income Tax Author ( s ): Joseph A. Hill Source: The

Quarterly Journal of Economics , Vol. 6 , No. 2 ( Jan ., 1892 ), pp. 207-226 Published by:

The MIT Press Stable URL : http://www.jstor.org/stable/1882547. The Quarterly Journal

of Economics, 69(1), 99–118.

Supiani, E. (2020). STUDI DESKRIPTIF OPPORTUNISTIC BEHAVIOR DALAM

PENGELOLAAN KEUANGAN DESA. 3.

Syafira, D., & Harianto, S. (2019). PILIHAN RASIONAL MASYARAKAT SURABAYA

DALAM MENGGUNAKAN SUROBOYO BUS. Universitas Negri Surabaya.

Weruin, U. U. (2022). KRITIK BEHAVIORAL ECONOMICS TERHADAP RASIONALITAS

EKONOMI. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.


Wibowo, A. J. I. (2013). PERILAKU OPORTUNISTIK DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN

(PARTNERSHIP): SEBUAH ANALISIS KONSEPTUAL DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL IGMOB. 17.

Anda mungkin juga menyukai