Anda di halaman 1dari 48

TUGAS KELOMPOK 3

ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR ASURANSI DALAM


KEGIATAN PERASURANSIAN DI INDONESIA

ANGGOTA KELOMPOK
I GUSTI AYU RATNA DEWI
INNA INTANI MUSTOPA
IVAN MASTER WORUNG
JOKO PITOYO

DOSEN
Adv. Dr. dr. ABD HALIM,Sp.PD.,S.H.,M.H.,M.M.,M.M.RS., CLA.,CMED

PROGRAM PASCASARJANA MMRS - ARS UNIVERSITY


2024
PENDAHULUAN
Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakekatnya mengadung berbagai hal
yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud
disini adalah suatu sifat “tidak kekal“ yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan
manusia pada umumnya. Sifat tidak kekal tersebut selalu meliputi dan menyertai
manusia baik ia sebagai pribadi maupun ia dalam kelompok atau dalam ba- gian
kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan- kegiatannya.
Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut
mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu
secara tepat, sehingga dengan demikian keadaan termaksud tidak akan pernah
memberikan rasa pasti. Karena tidak adanya kepastian, tentu saja akhirnya sampai
pada keadan yang tidak pasti pula. Keadaan yang tidak pasti tersebut dapat berwujud
dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari. Keadaan tidak
pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau
peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut
sebagai risiko.
Setiap orang siapapun sebagai individu dia pasti mempunyai berbagai risiko
dengan variasi dan kualitas yang berbeda satu dengan yang lain, sebagai risiko
individual yaitu suatu keadaan tidak pasti mengenai dirinya sendiri. Namun demikian,
manusia telah dikaruniai akal budi guna mengatasi berbagai risiko yang ada. Seperti
yang kita ketahui bahwa menanggung risiko adalah kewajiban memikul kerugian
yang diakibatkan karena suatu sebab atau kejadian di luar kesalahan sendiri. Risiko
selalu dihadapi oleh semua orang, baik risiko besar maupun risiko kecil yang
datangnya sewaktu-waktu tanpa diduga atau disangka, hanya risiko kematian saja
yang tidak dapat ditolak kedatangannya.
Dengan demikian manusia kadangkala ingin mencari solusi untuk mencegah
adanya situasi yang tidak diinginkan atau dengan kata lain menusia ingin
mendapatkan sesuatu yang dapat menggantikan segala kerugian yang dihadapinya.
Karena ada beberapa cara mengatasi risiko yang timbul yaitu:

1. Menghindari (avoidance)
Dimana yang bersangkutan menjauhkan diri dari perbuatan atau peristiwa
yang dapat menimbulkan risiko baginya.
2. Mencegah (prevention)
Adalah melakukan beberapa usaha/tindakan tertentu sehingga akibat yang
tidak diharapkan yang mungkin timbul dapat diatasi atau dihindari
3. Mengalihkan atau membagi (transfer or distribution)
Yaitu risiko yang timbul diantisipasi dengan pengalihan atau membagi pada
pihak lain yang mau menanggung risiko tersebut dengan cara melalui suatu
perjanjian.
4. Menerima (assumption or retention)
Apabila diperkirakan kerugian yang timbul tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan biaya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
pencegahannya, oleh yang bersangkutan diputuskan untuk menerima saja
risiko yang mungkin timbul tersebut.
Menurut Sri Redjeki Harono, dengan memandang pada akibat yang
ditimbulkan oleh peristiwa tertentu yang menimbulkan suatu ketidakpastian, resiko
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Speculative Risk (resiko spekulatif), yang mengandung dua unsur yaitu:
a. Kemungkinan timbul kerugian (loss)
b. Kemungkinan ada keuntungan (gain)
2. Pure Risk (resiko murni)
Resiko murni selalu membawa konsekuensi yang tidak menguntungkan. Sifat
tidak menguntungkan itu tidak hanya pada seorang tertentu saja tetapi berlaku umum
bagi semua anggota masyarakat. Karena resiko murni ini tidak dapat dihindari maka
perlu dicari jalan untuk menga- tasinya, terutama akibat-akibat ekonomi yang timbul
dari padanya. Risiko yang ada dan melekat di dalam kehidupan masyarakat sifatnya
sangat luas dan kompleks, karena dapat mengenai harta benda dan jiwa untuk masa
depan dirinya sendiri, keluarga bahkan lingkungan yang luas sekalipun.
Pada sisi yang lain, manusia sebagai makhluk Tuhan dianugerahi berbagai
kelebihan. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat
yang lebih dari makhluk lain mencari daya upaya guna mengatasi rasa tidak aman
tadi. Manusia dengan akal budinya berdaya upaya untuk menanggulangi rasa tidak
aman tadi sehingga ia merasa menjadi aman. Dengan daya upayanya tersebut
manusia berusaha bergerak dari ketidak pastian menjadi suatu kepastian sehingga ia
selalu dapat menghindarkan atau mengatasi risiko-risikonya, baik secara individual
atau bersama-sama.
Asuransi atan pertanggungan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah
melakukan perjanjian asuransi dengaii perusahaan asuransi, baik perusahaan asuransi
milik negara maupun milik swasta nasional.
Menurut H.M.N Purwosutjipto: “Pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara
penanggung dengan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk
mengganti kerugian, dan atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan
pada waktu penutupan perjanjian, kepada penutupasuransi atau orang lain yang
ditunjuk, pada waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan
diri untuk membayar uang premi”.
Sementara itu, dalam KUHD Pasal 246 menyatakan bahwa: Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada tertaggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.
Dalam masyarakat yang sudah maju dan sadar akan nilai kegunaan lembaga asuransi
atau pertanggungan sebagai lembaga pelimpahan risiko, setiap kemungkinan terhadap
bahaya menderita kerugian itu pasti diasuransikan atau dipertanggungkan. Hampir
setiap gerak dan aktivitas baik pribadi atau badan-badan usaha itu selalu dilindungi
oleh suatu peganjian pertanggungan yang mereka adakan, atau dengan perkataan lain
setiap kemungkinan risiko itu selalu dipertanggungkan; jadi semakin orang merasa
makin tidak aman, semakin pula orang selalu berusaha mengasuransikan segala
kemungkinan risiko yang mungkin timbul makin banyak yang merasa tidak aman
makin banyak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain, berarti makin banyak
peganjian asuransi ditutup. Selanjutnya makin banyak pula dana yang diserap oleh
perusahaan sebagai pembayaran atas kesedianya mengambil alih risiko pihak
tertanggung.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kajian dalam pendahuluan, rumusan masalah pada topik ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana asas-asas dasar asuransi dalam kegiatan perasuransian di
Indonesia?
2. Bagaimana prinsip dasar asuransi dalam kegiatan perasuramsian di Indonesia?
PEMBAHASAN
1. Definisi Asuransi
Kata asuransi berasal dari Bahasa Inggris insurance yang dalam
Bahasa Indonesia dengan Padanan kata "pertanggungan" dan memaknai kata
insurance dengan (a) auransi dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa
disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya
aktivitas yang berkaitan dengan finansial, resiko merupakan suatu hal yang
tidak dapat dihindari. Salah satu hal yang dapat meminimalisir resiko tersebut
adalah dengan asuransi. Asuransi menguntungkan kehidupan masyarakat
dengan mengurangi kekayaan yang harus disisihkan untuk menutupi kerugian
akibat berbagai resiko yang didapat. Terdapat beberapa definisi mengenai
asuransi yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Menurut M. Nur Rianto asuransi merupakan sebuah mekanisme
perlindungan terhadap pihak tertanggung apabila mengalami resiko di masa
yang akan datang dimana pihak tertanggung akan membayar premi guna
mendapatkan ganti rugi dari pihak penanggung.
Julius R. Latumaerissa mendefinisikan asuransi sebagai suatu
perjanjian dimana terdapat pihak tertanggung yang membayar premi kepada
pihak penanggung guna mendapatkan penggantian karena suatu keinginan,
kerusakanm atau kehilangan keuntungan yang telah diharapkan yang
kemungkinannnya tidak pasti akan terjadi di masa yang akan datang.
Sementara menurut Ktut Silvanita asuransi merupakan suatu
permintaan dimana satu pihak memiliki intensif untuk mentrasfer resiko
dengan membayar sejumlah dana untuk menjauhi resiko kehilangan sejumlah
harta yang dimilikinya.
Mehr dan Cammack Asuransi adalah alat sosial untuk mengurangi
risiko, dengan menggabungkan sejumlah uang yang memadai unit- unit yang
terkena risiko, sehingga kerugian-kerugian individual mereka diramalkan itu
dipikul merata yang bergabung.
Willet Asuransi adalah alat sosial untuk mengurangi risiko untuk
mengumpulkan dana guna mengatasi kerugian modal yang tak tentu, yang
dilakukan melalui pemindahan risiko dari banyak individu kepada seseorang
atau sekelompok orang.
Mark R. Green Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang
bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengombinasikan dalam satu
pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, se- hingga
kerugian tersebut secara meyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas
tertentu.
C. Arthur William, Jr. dan Richard M. Heins, mendefinikan asuransi
berdasarkan dua sudut pandang:
1. Asuransi adalah suatu pengamanan terhadap kerugian finansiil yang
dilakukan oleh seorang penanggung
2. Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang atau
badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi
merupakan suatu mekanisme perlindungan terhadap harta yang dimiliki
dimana didalamnya terdapat pihak tertanggung yang membayar sejumlah dana
kepada pihak penanggung guna mendapatkan penggantian rugi atas resiko
yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Asuransi adalah
pertanggungan atau perjanjian antara dua belah pihak dimana pihak satu
berkewajiban membayar iuran / kontribusi / premi. Pihak yang lainnya
memiliki kewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran
apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya
sesuai dengan perjanjian yang sudah dibuat.
Apabila seseorang menginginkan supaya sebuah resiko tidak terjadi,
maka seharusnyalah orang tersebut mengusahakan supaya kerugian itu tidak
terjadi. Usaha tersebut bisa disebut sebagai tindakan pencegahan kerugian.
Tindakan-tindakan pencegahan kerugian itu tentunya harus dipikirkan
sedemikian rupa sehingga kerugian itu tidak akan pernah terjadi. Salah satu
cara untuk menghindari kerugian adalah dengan mengalihkan resiko yang
dihadapi kepada pihak lain. Dengan demikian apabila suatu resiko benar-
benar menjadi kenyataan maka kerugian yang ditimbulkan akan dipikul oleh
pihak lain dalam bentuk ganti kerugian. Adapun pihak yang bersedia memikul
resiko adalah lembaga asuransi. Dengan cara berasuransi maka orang yang
menghadapi resiko atas harta kekayaannya bermaksud untuk mengalihkan
resiko itu atau setidak-tidaknya membagi resiko itu pada pihak lain yang
bersedia menerima peralihan atau pembagian resiko tersebut. Dengan
demikian pengertian asuransi adalah: “Persetujuan dengan mana satu pihak,
penanggung mengikatkan diri terhadap pihak lain yaitu tertanggung, untuk
mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung karena terjadi suatu
peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, dengan
mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.” (Moelengraff dalam
Mashudi dan Chidir Ali, 2003:12) 7 Menurut Pasal 1774 KUH Perdata,
perjanjian asuransi dimasukkan sebagai perjanjian untung-untungan (kans-
over-eenkomst) atau perjanjian kemungkinan yaitu perjanjian yang didasarkan
pada ada dan tidak adanya peristiwa tidak tentu. Dalam perjanjian untung-
untungan pada Pasal 1774 KUH Perdata, kewajiban penanggung untuk
mengganti kerugian tergantung pada ada tidaknya peristiwa tertentu. Kalau
peristiwa tidak tentu itu benar-benar terjadi yang mengakibatkan kerugian
tertanggung, maka penanggung berkewajiban mengganti kerugian yang
diderita oleh tertanggung, tetapi jika peristiwa tidak tentu itu tidak terjadi,
maka penanggung tidak perlu mengganti apa-apa. Berdasar ketentuan Pasal
246 KUHD, yang dimaksud asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
akibat dari suatu evenemen.”(Abdulkadir Muhammad, 2006 )
Menurut Purwosutjipto, pengertian asuransi yang bisa mencakup baik
asuransi kerugian maupun asuransi jumlah, adalah pengertian asuransi yang
ditetapkan dalam Burgerlijk Wetboek Baru Negeri Belanda, Pasal 7 ayat (1)
yang berbunyi: “Pertanggungan adalah suatu perjanjian, pada mana
penanggung, dengan menerima uang premi dari lawan pihaknya,
penutupasuransi, mengikatkan diri untuk melakukan satu atau beberapa kali
pembayaran, pada mana baik perikatan ini maupun pembyaran premi ataupun
kedua-duanya digantungkan pada suatu peristiwa tk tentu bagi kedua belah
pihak pada waktu ditutupnya perjanjian.” (Purwosutjipto, 2000:211)
Pengertian asuransi yang lebih luas terkandung dalam Pasal 1 angka
(1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha Perasuransian,
asuransi atau pertanggungan didefenisikan sebagai berikut : “Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana
Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada Tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
Tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”. (Abdulkadir Muhammad, 2006)
Adapun dalam prakteknya pengerian asuransi merupakan perjanjian
peralihan resiko, yaitu resiko menghadapi kerugian yang dialami seseorang
atau suatu badan hukum yang diakibatkan oleh kejadian yang tidak pasti, dan
resiko ini diperalihkan kepada pihak lain yang berkedudukan selaku
penanggung. Pihak penanggung mendapatkan kontra prestasi berupa
pembayaran premi dari tertanggung karena kesediaannya untuk mengambil
alih resiko atau membayar ganti rugi yang ditimbulkan oleh peristiwa yang
tidak pasti. Asuransi pada dasarnya bertujuan untuk mengalihkan resiko yang
ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain,
yang mengambil resiko untuk mengambil kerugian tersebut. Sebagai kontra
prestasi dari adanya pengalihan resiko itu maka tertanggung harus membayar
premi kepada penanggung sebesar jumlah yang telah ditentukan.
Asuransi memberi manfaat baik kepada penanggung maupun
tertanggung. Manfaat asuransi dari sudut pandang tertanggung adalah bahwa
dengan adanya asuransi maka tertanggung akan merasa aman karena adanya
perlindungan asuransi yang diberikan kepada harta miliknya dari segala
bentuk kerugian. Sehingga ia akan dapat melakukan aktivitasnya dengan baik
tanpa harus diliputi rasa takut akan mengalami kerugian.
Jika dibanding dengan jumlah premi yang diterima dari beberapa
tertanggung, maka jumlah ganti kerugian yang dibayarkan kepada tertanggung
yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar jumlahnya. Kerugian yang
diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang
diterima dari seluruh tertanggung.
Dari sudut perhitungan ekonomi, keadaan ini merupakan faktor
pendorong perkembangan Perusahaan Asuransi, di samping faktor tingginya
pendapatan per kapita warga negara (warga masyarakat). (Abdulkadir
Muhammad, 2006) Di samping itu dana tersebut juga dapat digunakan untuk
memberi bantuan kredit jangka pendek dan jangka panjang bagi usaha-usaha
pembangunan. Dengan demikian berarti pihak asuransi telah berperan serta
dalam pembangunan dan memberi peluang bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya.
2. Dasar Hukum Asuransi
Sistem hukum Indonesia berasal dari hukum perdata yang di bawa oleh
pemerintah kerajaan Belanda ke Indonesia pada masa penjajahan. Hukum
perdata tersebut dapat ditelusuri akarnya ke hukum perdata Perancis sampai
ke hukum Romawi. Keberadaan hukum asuransi di Indonesia berakar dari
kodifikasi hukum perdata (code Civil) dan hukum dagang (Code de
commerce) pada permulaan abad ke sembilan belas semasa pemerintahan
kaissar Napoleon di Perancis. Pada waktu itu, Hukum dagang Belanda hanya
memuat pasal-pasal mengenai asuransi laut sampai di undangkannya
rancangan kitab undang-undang hukum dagang (Wet Boek Van koophandel)
Tahun 1838 yang memuat peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi
hasil bumi dan asuransi jiwa. Sistem ini yang dianut untuk Hindia Belanda
dahulu sampai sekarang masih berlaku di Indonesia. Asuransi sebagai gejala
hukum di Indonesia baik dalam pengertian maupun dalam bentuknya yang
terlihat sekarang berasal dari hukum barat, pemerintah belanda yang
mengimpor asuransi sebagi bentuk hukum (rechtfiguur) di Indonesia dengan
cara mengundangkan Burgelijk wetboek dan wetboek Van koophandel
dengan satu pengumuman pada tanggal 30 April 1847, kedua undang-undang
tersebut mengatur asuransi sebagai sebuah perjanjian. Sebagai lembaga
hukum, asuransi masuk ke Indonesia secara resmi bersamaan dengan
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dan dimuat dalam staatblaad No.23
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dikenal
sebagai pasal yang memberi definisi mengenai perjanjian asuransi atau
perjanjian pertanggungan.
Menurut Pasal 246 KUHD: “Asuransi atau pertanggungan adalah
suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi unetuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang
tidak tentu “.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian dirumuskan definisi asuransi yang lebih lengkap jika
dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD
menurut ketentuan Pasal 1 (1) UU No. 40 Tahun 2014: “Asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak, yaitu perusaahaan asuransi dan pemegang polis,
yang menjadi dasaar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk;
a. memberikan pergantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau di- dasarkan pada hasil
pengelolaan dana.”
Sedangkan apa yang terdapat dalam Pasal 247 KUHD hanyalah
beberapa contoh dan jenis-jenis pertanggungan yang diatur dalam KUHD.
Perkembangan atau dinamika pasar asuransi Indonesia saat ini sudah sangat
kompleks. Pada dekade terakhir ini perkembangan asuransi di Indonesia di
warnai beberapa hal yang menyebabkan pasar semakin kompetitif dan
persaingan semakin ketat. Dari tahun ke tahun semakin banyak pendirian
perusahaan asuransi baru, baik swasta nasional, maupun perusahaan patungan.
Usaha perasuransian yang begitu cepat, semakin begitu bervariasi dan
berkombinasi dalam upaya menyiasati faktor pasar yang ada serta potensi
pasar Indonesia yang cenderung timbul semakin cerdas, kritis, dan
komperhensif.
3. Prinsip-Prinsip Asuransi
Adapun prinsip-prinsip yang diharapkan untuk dapat dipahami adalah:
prinsip itikad baik; prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan; prinsip
ganti-rugi; prinsip proksima; prinsip kontribusi; dan prinsip subrogasi. Pada
umumnya prinsip-prinsip yang disebutkan di atas berlaku untuk asuransi jiwa,
akan tetapi dapat berlaku untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan diri
(personal accident). Adapun prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1. Prinsip itikad baik (utmost good faith)
Prinsip medasar yang harus dimiliki adalah prinsip adanya itikad baik
atau “utmost good faith” atau “uberrimai fides”. Sedangkan dalam jual
beli produk nyata (tangible product) berlaku prinsip “caveat emptor”
atau “let the buyer beware” yaitu bahwa “pembelilah yang harus
berhati-hati” sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan
jasa.
Pelanggaran atas prinsip itikad baik ini dapat mengakibatkan
pertanggungan menjadi batal atau batal sejak awal dan atau dilakukan
perbaikan dengan kondisi yang berbeda. Kesalahan ini dapat terjadi
karena:
a. Tidak menggunakan informasi material secara benar dan lengkap
(non-disclosure) yang dilakukannya dengan tidak sengaja.
b. Menyembunyikan informasi (concealment)
c. Informasi yang diungkapkan keliru (innocent misrepresentation)
d. Memberikan informasi yang salah dengan tujuan penipuan
(fraudulen misrepresentation)

Itikad baik atau utmost good faith adalah salah satu prinsip dasar yang harus
dipenuhi dalam kontrak atau perjanjian asuransi. Tanpa terpenuhinya prinsip ini,
sangat terbuka lebar terjadinya sengketa atau dispute antara tertanggung dan
penanggung. Jadi, tujuan dari prinsip utmost good faith ini adalah untuk mencegah
adanya niat jahat untuk mencari keuntungan semata yang bisa datang baik dari
tertanggung maupun penanggung.
Itikad baik ini tecermin dari perilaku pengungkapan informasi secara jujur
yang menjadi dasar kontrak asuransi. Sebelum memulai kontrak asuransi, calon
tertanggung harus mengungkapkan secara jujur profil risikonya kepada perusahaan
asuransi, sedangkan perusahaan asuransi harus jujur terkait profil produk asuransi
yang ditawarkan.
Sebagaimana diketahui bersama, kontrak asuransi terjalin atas dasar
kepercayaan untuk mengalihkan risiko dari tertanggung kepada penanggung atau
perusahaan asuransi. Nasabah atau tertanggung mempercayakan kepada perusahaan
asuransi untuk menanggung risikonya dengan membayar premi. Sementara itu,
perusahaan asuransi bersedia menanggung risiko nasabah berdasarkan kondisi
sebenar-benarnya yang diungkapkan oleh tertanggung.
Pada prakteknya, memang tidak semua polis asuransi berujung pada klaim
bila risiko yang dipertanggungkan selama masa pertanggungan tidak terjadi.
Contohnya adalah saat kita beli asuransi kendaraan untuk risiko kehilangan dan
kerusakan selama periode 1 tahun. Bila kedua belah pihak memegang prinsip utmost
good faith, tertanggung tidak akan mengajukan klaim bila risiko yang
dipertanggungkan tidak terjadi. Sebaliknya, bila risiko benar terjadi maka perusahaan
asuransi akan menyetujui klaim yang diajukan.
Akan tetapi, bila kedua belah pihak tidak memegang prinsip utmost good
faith, tertanggung bisa saja memanipulasi risiko agar dapat mengajukan klaim.
Contohnya adalah tertanggung dengan sengaja menabrakkan kendarannya menjelang
masa pertanggungan berakhir agar mendapatkan penggantian sparepart kendaraan.
Sebaliknya, perusahaan asuransi bisa mencari seribu macam alasan untuk menolak
klaim yang diajukan oleh tertanggung.
Lalu apa itu sebenarnya the principle of utmost good faith ini dalam praktek
asuransi? Istilah the principle of utmost good faith dikenal juga sebagai
prinsip uberrima fidei (The principle of uberrima fidei) atau kontrak jual beli atas
dasar niat baik. Dalam konteks ini, baik tertanggung maupun penanggung memiliki
kewajiban yang sama mengenai duty of full disclosure yaitu kewajiban untuk
mengungkapkan fakta-fakta material atau penting (all material circumstances) secara
penuh dan jujur.
Pasal 251 KUH Dagang juga mengatur soal prinsip itikad baik ini
yaitu "Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau setiap tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si Tertanggung betapapun itikad baik
ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya si Penanggung telah
mengetahui keadaan sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup
dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan."
Apa yang diatur dalam Pasal 251 KUH Dagang tersebut sesuai dengan
definisi para Pakar di Inggris. The Duty of Utmost good faith didefinisikan
sebagai suatu kewajiban positif secara sukarela mengungkapkan secara akurat dan
lengkap semua fakta-fakta material tentang risiko yang diminta untuk ditutup, baik
fakta-fakta itu ditanyakan maupun tidak. Namun demikian, pada
awalnya beberapa Law Reform Committees, The Departement of Trade, dan The
Office of Fair Trading sempat menilai bahwa kewajiban ini terlalu banyak
dibebankan kepada pihak tertanggung.
Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya komplain dari
tertanggung, Law Reform Committees, The Departement of Trades, dan The Office of
Fair Trading membuat pernyataan bersama pada Januari 1986 yang bernama
“Statement of General Insurance Practice” yang berlaku untuk asuransi umum yang
pemegang polisnya berdomisili di Inggris. Salah satu butir penting dalam pernyataan
bersama tersebut adalah duty of full disclosure juga dibebankan kepada pihak
penanggung. Dengan demikian, penanggung tidak dibenarkan menyembunyikan
suatu informasi penting dari tertanggung sehingga membuat tertanggung masuk
dalam suatu perjanjian yang tidak baik atau merugikan tertanggung.
Fakta-Fakta Material (Material Facts)
Mengutip Marine Insurance Act 1906 Section 18 (2), setiap keadaan atau fakta adalah
material/penting apabila keadaan atau fakta itu dapat mempengaruhi keputusan
penanggung yang hati-hati dalam menetapkan premi atau menentukan si penanggung
itu bersedia menutup risiko itu. Tidak semua fakta material harus diungkapkan, tetapi
ada fakta-fakta material yang boleh untuk tidak diungkapkan.
Berdasarkan definisi tersebut, fakta-fakta yang harus diungkapkan dalam
rangka utmost good faith adalah:
a) Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa risiko yang diminta untuk ditutup secara
internal lebih besar/tinggi dari ukuran yang biasanya untuk risiko tersebut.
b) Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa risiko yang diminta untuk ditutup itu
menjadi lebih besar dari normal karena faktor-faktor luar dan eksternal.
c) Fakta-fakta yang dapat memperbesar jumlah kerugian atau membuat jumlah
kerugian menjadi lebih besar dari normalnya.
d) Catatan kerugian-kerugian dan klaim-klaim.
e) Penolakan atau syarat-syarat keras/berat yang diberlakukan/dikenakan saat dalam
penutupan sebelumnya oleh penanggung atau penanggung-penanggung lain.
f) Fakta-fakta yang membatasi hak-hak subrogasi penanggung karena tertanggung
memperingan tanggung jawab pihak ketiga.
g) Fakta-fakta yang lengkap yang terkait dengan deskripsi dari obyek
pertanggungan.
Sementara itu, fakta-fakta yang tidak harus diungkapkan dalam rangka utmost good
faith adalah:
a) Fakta-fakta hukum.
b) Fakta-fakta yang penanggung sendiri dianggap sudah mengetahuinya.
Fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya oleh tertanggung kepada
penanggung atas permintaan penanggung.
2. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest)
Pemahaman tertanggung tentang kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable
interest) merupakan prinsip yang harus ditegakkan sejak awal perjanjian asuransi.
Kepentingan finansial yang dapat diasuransikan dalam kehidupan bisnis sehari-hari,
dapat dikatakan bahwa seorang pengusaha mempunyai “interest” dalam beberapa
perusahaan tertentu, berarti ia mempunyai keterlibatan keuangan dengan perusahaan-
perusahaan tersebut, dalam arti bahwa ia mempunyai kepentingan finansial. Dengan
demikian jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa obyek pertanggungan,
tertanggung akan mengalami kerugian keuangan.
Sebagai produk keuangan yang memberikan jaminan penggantian finansial atas
kerugian yang dialami oleh tertanggung, asuransi memiliki karakteristik dan
persyaratan yang berfungsi untuk memberikan batasan risiko dan kerugian apa saja
yang dapat dipertanggungkan atau diasuransikan. Bila tidak memenuhi karakteristik
dan persyaratan yang ada, otomatis kontrak pertanggungan tidak bisa dijalankan.
Salah satu karakteristik dari risiko yang bisa diasuransikan atau
dipertanggungkan adalah pihak yang mengasuransikan suatu risiko harus memiliki
persyaratan sebagai insurable interest atau adanya kepentingan yang diasuransikan.
Artinya, setiap risiko yang apabila terjadi harus mengakibatkan kerugian finansial
bagi pihak tertanggung. Contohnya adalah asuransi kebakaran hanya berlaku untuk
rumah atau tempat usaha yang dimiliki secara sah oleh tertanggung. Dengan
demikian, konsep atau prinsip insurable interest menjadi suatu unsur yang
esensial dan fundamental dari setiap kontrak atau perjanjian asuransi dan menjadi
suatu prinsip. Tanpa memenuhi prinsip insurable interest, perjanjian asuransi tidak
bisa dilakukan.
Pentingnya unsur insurable interest ini juga termaktub dalam Pasal 250
KUHD yang berbunyi: "Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungan untuk diri sendiri, atau seorang yang untuknya telah diadakan suatu
pertanggungan, pada saat diadakan pertanggungan itu tidak mempunyai
kepentingan itu terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung
tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi".
Merujuk pada ayat tersebut, jelas sekali bahwa bila ternyata ditemukan
kebenaran bahwa objek yang dipertanggungkan tidak memenuhi unsur insurable
interest, maka pihak penanggung atau perusahaan asuransi bisa menolak pengajuan
pembayaran klaim.
Pada dasarnya insurable interest memiliki beragam definisi karena umumnya
bersifat kasuistik. Namun ada satu definisi yang bisa digunakan untuk menjelaskan
apa itu insurable interest yaitu the legal right to insure arising out of a financial
relationship, recognized at law between the insured and the subject-matter of
insurance. Terjemahan bebas dari definisi ini adalah tertanggung harus memiliki hak
hukum untuk mengasuransikan suatu risiko yang timbul dari hubungan keuangan.
Hubungan antara tertanggung dan objek asuransi tersebut harus dilindungi atau diakui
secara hukum. Selain itu, hak atas kepentingan tersebut harus dapat dinilai dengan
uang (financial interest) terhadap pokok pertanggungan (subject-matter of insurance).
Yang termasuk subject-matter of insurance antara lain barang (property), kejadian
yang secara hukum dapat menimbulkan kerugian (loss of a legal right), dan tanggung
jawab hukum (a legal liability).
Dari definisi di atas, bila diurai secara detail maka akan diperoleh empat unsur
penting dari insurable interest yaitu:
1. Harus ada harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota badan atau tanggung jawab
potensial, yang dapat diasuransikan/dipertanggungkan.
2. Harta benda dan lain lain-lain seperti tersebut di atas harus menjadi objek
pertanggungan (the subject-matter of insurance).
3. Tertanggung harus mempunyai suatu hubungan dengan obyek pertanggungan
itu. Melalui hubungan tersebut, tertanggung akan mendapatkan manfaat apabila tidak
terjadi apa-apa atas objek pertanggungan itu yang menjadi tanggung jawabnya.
Sebaliknya, tertanggung akan menderita kerugian keuangan apabila objek
pertanggungan itu mengalami kerusakan atau apabila timbul tanggung jawab pada
pihaknya.
4. Hubungan antara si tertanggung dan objek pertanggungan itu haruslah suatu
hubungan yang dilindungi atau diakui hukum.
DR. Sri Rejeki Hartono, S.H dalam bukunya berjudul “Hukum Asuransi dan
Perusahaan Asuransi” cetakan pertama Juni 1992 mendefinisikan kata “kepentingan”
atau interest sebagai suatu keterlibatan kerugian keuangan karena suatu peristiwa
yang belum pasti. Sementara itu, Dorhout Mess mendefinisikan kata “kepentingan”
sebagai suatu faktor ekonomi yang murni sehingga sulit untuk dapat diberi batasan
menurut hukum.
Dengan demikian, hubungan kepentingan dalam konsep insurable
interest juga bisa bersifat kepentingan keuangan (pecuniary interest). Misalnya, saat
seseorang mengasuransikan rumah, kendaraan, barang, gudang atau tanggung
jawabnya yang potensial kepada orang lain, bisa jadi yang diasuransikan bukan
fisiknya, tetapi kepentingan keuangan tertanggung atas properti, harta benda, atau
tanggung jawab yang potensial. Contoh produk asuransi yang menggunakan konsep
ini adalah asuransi perlindungan atas kewajiban/tanggung jawab hukum pihak ketiga
(third party liability/TPL). Produk asuransi ini akan memberikan manfaat
perlindungan atas tuntutan kerugian yang dialami oleh pihak ketiga yang terlibat
dalam suatu kecelakaan. Pihak ketiga yang dimaksud adalah siapapun yang ada di
dalam kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan dengan kendaraan yang kita
asuransikan.
Dengan kata lain, secara fundamental hal yang diasuransikan dalam suatu
polis adalah interest (kepentingan) si tertanggung yang melekat pada subject-matter
of insurance (objek pertanggungan) dan bukan the subject-matter on insurance itu
secara fisik atau lahiriah.
Lebih lanjut, insurable interest atas tertanggung ini dapat muncul berdasarkan
berlakunya hal-hal sebagai berikut:
a. Berdasarkan Hukum (Common law)
Insurable interest bisa muncul akibat ketentuan hukum yang berlaku yang membuat
seseorang memiliki kepentingan atas kerugian yang dialami sendiri maupun pihak
lain. Sebagai contoh adalah ketentuan hukum dalam The Law of Tort di
Inggris. Dalam hukum tersebut dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai duty of
care (kewajiban untuk menjaga) agar orang atau orang lain tidak mengalami
kerugian. Jika duty of care-nya dilanggar, misalnya ia melakukan suatu kelalaian
(negligence) yang menyebabkan orang lain menderita kerugian, maka ia wajib
bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada orang lain itu.
Di Indonesia, ketentuan tentang duty of care ini juga termaktub dalam Pasal 1365 dan
Pasal 1366 KUH Perdata dimana setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut.
Dengan demikian common law menciptakan insurable interest bagi orang-orang yang
mempunyai potensial liability.

b. Kontrak atau Perjanjian (Contract)


Kontrak atau perjanjian antara dua belah pihak yang diakui secara hukum juga bisa
menciptakan terjadinya insurable interest. Misalnya, berdasarkan kontrak atau
perjanjian salah satu pihak yang mengadakan kontrak dan perjanjian itu harus
bertanggung jawab atas sesuatu bila tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dalam
kontrak tersebut.
Contohnya, penyewa sebuah gedung perkantoran berdasarkan perjanjian atas
sewa menyewa yang dibuatnya dengan pemilik gedung perkantoran itu bertanggung
jawab atas pemeliharaan atau perbaikan terhadap gedung perkantoran yang
disewanya. Dalam hal seperti itu, kontrak atau perjanjian sewa menyewa itu
memberikan kepada penyewa suatu insurable interest yang tidak akan ada kalau
bukan karena kontrak atau perjanjian. Oleh karena itu, pihak penyewa bisa
mengasuransikan risiko kerugian atas gedung perkantoran yang disewanya.

c. Undang-Undang (Statue)
Insurable interest juga bisa muncul karena diatur langsung dalam sebuah Undang-
Undang. Praktek ini terjadi di Inggris dimana beberapa Undang-Undang secara tegas
tegas memberikan insurable interest kepada seseorang atau suatu pihak tertentu.
Contohnya adalah Marine Insurance Act 1745, Married Women’s Property Act 1882,
Repair of Benefice Building Measure 1972, dan Industrial Assurance & Friendly
Society Act 1948. Di Indonesia, contohnya adalah UU tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek. Undang-Undang
ini memberikan insurable interest kepada perusahaan angkutan umum untuk
bertanggungjawab atas risiko kecelakaan atau kerugian yang diderita oleh penumpang
yang menggunakan jasa angkutannya.

3. Prinsip ganti-rugi (indemnity)


Prinsip ganti-rugi (indemnity) adalah prinsip yang memberikan ganti rugi atas
kerugian yang sebenarnya,artinya tidak akan terjadi pembayaran suatu kerugian atas
risiko yang direncanakan, maka dikenal dengan prinsip “volenti nonfat injria” atau
suffer of a loss without a remedy”. Bahwa prinsip indemnity merupakan suatu
mekanisme yang akan menempatkan kembali tertanggung kepada posisi semua sesaat
sebelum terjadinya kerugian, dengan menerima pembayaran ganti rugi dari
penanggung setelah terjadinya suatu kerugian. Besarnya ganti rugi yang diberikan
tidak boleh melebihi kerugian yang sebenarnya diderita (atau tidak boleh melebihi
jumlah penggantian penuh/jumlah uang pertanggungan).
Fungsi dasar asuransi adalah mengganti kerugian finansial yang timbul akibat
terjadinya risiko yang dipertanggungkan. Misalnya dalam asuransi kesehatan. Saat
tertanggung sakit dan menjalani rawat jalan atau rawat inap maka biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan atau perawatan akan diganti atau ditanggung oleh
perusahaan asuransi. Nah, dalam proses penggantian biaya tersebut yaitu untuk
menentukan biaya yang ditanggung atau diganti biasanya menggunakan
prinsip indemnity.
Lalu apa sebenarnya istilah indemnity? Kata indemnity diartikan
sebagai "protection or security againts damage or loss againts legal
responsibility". Dari terminologi tersebut, ide yang dapat disarikan dari indemnity
adalah protection and security (perlindungan dan pengamanan). Berpijak dari ide
tersebut, indemnity dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang mana penanggung
memberikan penggantian finansial dalam rangka untuk menempatkan atau
mengembalikan tertanggung pada posisi keuangan yang sama setelah terjadinya suatu
kerugian. Contoh sederhananya adalah A memiliki mobil dengan kondisi bagus tanpa
kerusakan pada bagian bodinya. Lalu, A mengasuransikan mobilnya untuk risiko
kerusakan akibat tabrakan. Dalam periode pertanggungan, mobil A mengalami
tabrakan yang mengakibatkan bamper depan penyok dan lampu pecah. Atas
kerusakan tersebut, maka asuransi akan mengganti biaya perbaikan hingga kondisi
mobil A kembali seperti sebelum tabrakan.
Pandangan bahawa indemnity adalah suatu bentuk kompensasi persis atau
tepat juga disampaikan oleh Hakmi Bett. Dalam kamus "Castellain v. Prestion
(1883)" di Inggris, Hakim Bett menjelaskan bahwa kontrak asuransi yang tertuang
dalam sebuah polis kebakaran atau polis marine adalah suatu kontrak indemnity atau
hanya indemnity. Dalam kaitan kontrak asuransi tersebut sebagai kontrak indemnity,
Bett secara implisit menyatakan bahwa indemnity yang berhak diterima tertanggung
tidak boleh kurang, tetapi tidak boleh juga lebih besar dari suatu indemnity penuh.
Meski demikian, definisi indemnity tersebut tidak statis dan mutlak. Dalam
praktek asuransi, indemnity pun mengalami perkembangan
dan dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan kontemporer. Adanya modifikasi ini memungkinkan bentuk atau besaran
kompensasi bisa lebih rendah/kecil dari full indemnity. Begitu sebaliknya, bentuk atau
besaran kompensasi juga bisa lebih tinggi dari full indemnity.
Dalam modifikasi indemnity ini harus mempertimbangkan prinsip insurable
interest (kepentingan yang dapat dipertanggungkan). Pasalnya, pada
dasarnya financial interest (kepentingan keuangan) si tertanggung melekat pada objek
pertanggungan yang sebenarnya diasuransikan atau dipertanggungkan. Jadi bila klaim
terjadi, pembayaran yang dilakukan perusahaan asuransi kepada tertanggung tidak
boleh melebihi besarnya financial interest si tertanggung.
Di Indonesia, tidak semua kontrak asuransi bisa menggunakan
prinsip indemnity. Dalam KUH Dagang Pasal 246 dan UU No. 2 Tahun 1992 Pasal 1
dinyatakan bahwa kontak-kontrak asuransi kecuali kontrak asuransi jiwa adalah
kontrak pemberian ganti rugi atau indemnity (indemnitas). Alasannya karena jiwa dan
anggota badan dari seseorang tidak dapat diukur dengan uang. Lalu penutupan
asuransinya bagaimana? Dalam melakukan penutupan asuransi atas jiwa dan risiko
kecelakaan diri seseorang, pihak penanggung harus berhati-hati terkait dengan
penetapan jumlah yang dipertanggungkan atau harga pertanggungan. Untuk asuransi
jiwa, jumlah pertanggungan untuk jiwa seseorang dibatasi menurut kemampuan
tertanggung dalam membayar premi. Adapun untuk asuransi kecelakaan diri, jumlah
pertanggungan harus disesuaikan dengan pendapatan normal dari orang yang
bersangkutan.

METODE INDEMNITY
Pada saat timbul suatu klaim yang valid atau sah yang berkenaan dengan
kerugian atau kerusakan objek pertanggungan, perusahaan asuransi atau penanggung
dapat menggunakan setidaknya 4 metode indemnity yaitu:
a. Cash Payment
Pembayaran tunai (cash payment) adalah metode yang paling sering dan umumnya
dipakai penanggung karena pada dasarnya suatu kontrak asuransi adalah kontrak
untuk membayar dengan uang. Cara pembayarannya adalah dengan uang kontan, cek,
dan giro bilyet. Biasanya dilakukan untuk asuransi kebakaran, marine, dan jiwa.
b. Repair
Berdasarkan metode ini, pekerjaan perbaikan dilakukan oleh bengkel atau bengkel-
bengkel yang telah ditunjuk (authorised) oleh penanggung. Metode ini banyak
digunakan oleh para penanggung untuk klaim-klaim asuransi kendaraan
bermotor. Biasanya penanggung menyediakan fasilitas bengkel dalam rangka
perbaikan kendaraan.
c. Replacement
Berdasarkan metode ini, penanggung mengganti barang yang dipertanggungkan_yang
telah menjadi total loss_dengan sebuah barang lainnya dengan jenis yang
sama. Biasanya untuk asuransi kaca mata, perhiasan, dan mobil baru.
Jika polis tidak secara spesifik memberikan hak kepada penanggung untuk dapat
memilih metode replacement, maka penggunaan metode ini oleh penanggung hanya
dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak tertanggung. Sebagai
contoh, polis pesawat terbang memberikan kepada penanggung hak untuk memilih
(option).
d. Reinstatement
Penanggung memulihkan kembali harta benda yang dipertanggungkan pada kondisi
sesaat sebelum kerugian. Bila terjadi total loss maka indemnity dilakukan dengan
cara rebuilding, sedangkan bila terjadi partial loss maka dilakukan repair.

MEASURE OF INDEMNITY
Ukuran ganti rugi alias measure of indemnity sangat bergantung pada sifat dari jenis
produk asuransi. Pada asuransi umum berlaku unliquidated demages yaitu besarnya
klaim yang akan dituntut tidak diketahui sebelumnya. Sementara itu untuk asuransi
jiwa, berlaku liquidated damages yaitu jumlah uang yang akan diberikan sudah pasti
sebelumnya. Adapun penetapan besaran ganti rugi untuk 4 jenis produk asuransi yaitu
asuransi properti, mesin-mesin (machineries), stock in trade manufaktur, dan marine
insurance adalah sebagai berikut:
a. Property Insurance
Untuk mengukur indemnity asuransi properti adalah komponen bangunan
(buildings), biaya perbaikan (the cost of repair) atau biaya pembangunan kembali
(the cost of reconstruction), dikurangi dengan unsur wear and tear (keausan) karena
faktor usia dari bangunan itu atau bagian-bagian dari bangunan itu. Unsur lain yang
menjadi pengurang adalah betterment (perbaikan/kemajuan) pada bagian tertentu dari
bangunan itu. Misalnya, semula memakai 5 buah AC dengan kapasitas masing-
masing 1 PK, dan ketika bangunan yang musnah itu dibangun kembali, 5 buah AC
yang lama dan telah mengalami kerusakan total itu diganti dengan 5 buah AC yang
masing-masing memiliki kapasitas yang lebih besar.
Dalam mengukur indemnitas untuk asuransi properti juga bukan dari biaya tapi dari
harganya pada saat kerugian dan tempat kejadian. Jika harga naik selama periode
pertanggungan maka penggantian indemnity juga naik dengan syarat maksimum
setinggi-tingginya jumlah pertanggungan.
b. Mesin-mesin (machineries)
Untuk mesin-mesin (machineries) yang mengalami kerugian atau kerusakan,
besarnya indemnity adalah sebesar the cost of repair atau the cost of
replacement (harga mesin baru), dikurangi dengan unsur wear and
tear (keausan) karena faktor usia dari mesin yang mengalami kerusakan atau kerugian
tersebut. Bila mesin second-hand seperti yang mengalami kerugian atau kerusakan itu
tersedia/dapat dibeli di pasar, besarnya indemnity adalah seharga (the price)
mesin second hand yang dijual di pasar ditambah dengan biaya pengangkutan (the
cost of carriage) dan biaya pemasangan (the cost of installation).
c. Stock in Trade di Pabrik
Stock in trade di pabrik dapat meliputi bahan baku (raw materials), barang-barang
setengah jadi (work in progress), dan barang-barang jadi (finished
stock). Nilai indemnity dalam stock in trade di pabrik bukan mengenai apa yang rusak
atau stok yang hancur, tetapi pada biaya untuk mengganti stok tersebut ke tempat
kejadian dengan kondisi seperti sesaat sebelum terjadi kerugian.
Untuk stok lainnya (work in progress dan finished stock), besarnya indemnity dalam
hal terjadi kerugian atau kerusakan pada stok tersebut adalah sebesar harga raw
materials (the cost of raw materials) dan ongkos kerja (the cost of
labour) serta biaya-biaya lain (other cost) yang diperlukan untuk memproduksi
barang-barang atau stok tersebut, dengan harga-harga yang berlaku pada hari
terjadinya kerugian itu, hingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
d. Marine Insurance
Marine hull insurance (asuransi atas kapal laut)
dan marine cargo insurance (asuransi atas barang-barang yang diangkut dengan
kapal laut) lazimnya ditutup di bawah suatu "valued policy" yaitu polis yang
mencantumkan "agreed value" dari kapal atau barang yang dipertanggungkan dari
penutupan asuransi atas barang-barang yang diangkut dengan kapal laut. Tertanggung
dalam hal-hal tertentu diperbolehkan untuk menambahkan suatu jumlah tertentu,
sebagai profit, pada nilai barang yang dipertanggungkan, dalam hal seperti ini
maka agreed value barang tersebut sudah termasuk profit.
Dalam hal total loss dari kapal atau barang, biasanya indemnity adalah
sebesar agreed value kapal atau barang tersebut.

MODIFIKASI INDEMNITY
Modifikasi indemnity biasanya dilakukan dalam 2 bentuk yaitu pertama, untuk
membatasi pembayaran indemnity para penanggung memberlakukan polis yang
berkaitan dengan hal-hal atau ketentuan sebagai berikut:
a. The Sum Insured
The sum insured yang tercantum pada polis merupakan jumlah maksimum yang
dapat diperoleh tertanggung pada polis yang bersangkutan, disamping sebagai dasar
untuk perhitungan premi.
b. Average
Ketentuan atau klausula average dalam polis adalah berkaitan dengan kerugian atau
kerusakan lebih besar/tinggi dari the sum insured yang tercantum di dalam polis (atau
disebut dengan istilah under insurance). Dalam hal seperti itu tertanggung hanya
berhak menerima indemnity menurut formula :

Sum insured x Loss


Value at risk

c. Excess atau Deductible


Excess atau deductible adalah suatu jumlah_bagian dari jumlah suatu klaim_yang
telah disetujui oleh tertanggung untuk ditanggung sendiri oleh tertanggung dalam
setiap kejadian/kecelakaan (any one accident) atau dalam setiap klaim (each and
every claim). Jadi misalkan dalam kejadian nilai kerugian yang ditanggung oleh
asuransi adalah Rp100 juta, sedangkan total kerugian yang dialami adalah Rp120
juta. Maka, excess yang dibayar sendiri oleh tertanggung adalah Rp20 juta.
d. Limits
Seringkali polis-polis menetapkan batas (limit) pembayaran indemnity dalam hal
terjadi kerugian atau kerusakan pada barang-barang tertentu yang menjadi bagian dari
seluruh barang-barang atau harta benda yang dipertanggungkan.
Kedua, modifikasi indemnity yang dapat memperbesar pembayaran indemnity yang
mana dapat dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Reinstatement
Atas dasar kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, sebuah bangunan dapat
ditutup sebesar jumlah biaya pemulihan kembali (reinstatement). Pada
polis reinstatement penanggung menyatakan setuju membayar seluruh biaya
pemulihan kembali, pada saat pemulihan kembali dilakukan. Dengan persetujuan
penanggung seperti itu, pembayaran indemnity kepada tertanggung akan meliputi
seluruh biaya untuk pemulihan bangunan itu (the full cost of the reinstatement), tanpa
dipotong unsur wear and tear, atau pembayaran indemnity itu akan menjadi
pembayaran atas dasar indemnity ditambah unsur wear and tear.
2. New for Old
Isi (contents) sebuah rumah tinggal yang dipertanggungkan di bawah sebuah
polis household insurance lazim ditutup dengan kondisi new for old, yang sama
dengan kondisi reinstatement untuk bangunan seperti yang dikemukakan di atas.
Dengan polis seperti itu penanggung dinyatakan setuju untuk membayar seluruh
biaya pemulihan kembali (the full cost of the reinstatement) isi rumah tersebut apabila
isi rumah itu musnah dalam periode pertanggungan, tanpa dipotong unsur wear and
tear meskipun pada saat pemulihan kembali dilakukan, usia harta benda itu telah
mencapai beberapa tahun. Dengan metode penutupan seperti itu maka
pembayaran indemnity akan meliputi pembayaran atas dasar indemnity ditambah
unsur wear and tear.
3. Valued Policies
Seperti telah dijelaskan di atas, valued policies ini biasanya diaplikasikan
pada penutupan asuransi marine atas kapal laut dan atas cargo. Dalam jenis polis ini
dicantumkan aggred value dari kapal laut atau cargo yang dipertanggungkan. Nilai
(value) dari kapal laut atau barang/muatan (cargo) itu berdasarkan kesepakatan antara
penanggung dengan tertanggung (agreed value). Sekalipun pada saat terjadi kerugian
pada obyek pertanggungan nilainya mungkin dipandang lebih tinggi dari nilai
sebenarnya, hal itu tidak akan dipersoalkan karena telah terjadi overvaluation yang
dilakukan tertanggung dengan sengaja untuk mengambil keuntungan dengan adanya
asuransi itu.
Dengan menggunakan sebuah valued policy maka dalam hal kapal laut atau muatan
barang (cargo) yang menjadi pertanggungan itu menjadi total loss karena suatu
bahaya yang dijamin, tertanggung berhak atas penggantian (indemnity)
sebesar agreed value yang tercantum dalam polis. Ini berarti bahwa bila pada saat
obyek pertanggungan itu mengalami total loss nilai obyek itu secara kebetulan lebih
rendah dari agreed value yang tercantum dalam polis, tertanggung menerima
pembayaran indemnity yang lebih besar dari yang sebenarnya.

4. Prinsip proksima atau “penyebab utama terjadinya risiko”


Prinsip proksima dalam asuransi adalah penyebab untama terjadinya risiko
(proximate cause). Seringjuga timbul perselisihan karena kesalahan dalam penafsiran
terhadap penyebab terjadinya risiko. Dalam polis-polis asuransi selalu tercantum
penyebab-penyebab apa saja yang dijamin. Pernyataan ini mengandung arti bahwa
perusahaan akan membayar ganti rugi terhadap kerugian obyek yang
dipertanggungkan apabila kerugian tersebut timbul akibat salah satu sebab yang
dijamin.
Setiap risiko yang ditanggung oleh asuransi pasti memiliki peristiwa-
peristiwa penyebab terjadinya kerugian keuangan bagi tertanggung atau nasabah.
Tentu tidak sembarang peristiwa bisa diakui sebagai penyebab terjadinya kerugian
tetapi peristiwa tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu yaitu proximate
cause. Proximate cause ini berfungsi untuk mencari tahu peristiwa utama paling awal
yang menjadi penyebab terjadinya kejadian kerugian atas objek yang ditanggung.
Peristiwa awal inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan apakah termasuk
peristiwa yang ditanggung oleh asuransi.
Misalnya adalah sebuah rumah diasuransikan atas risiko kebakaran tanpa ada
jaminan tambahan meliputi banjir, gempa bumi, badai, dan angin topan. Suatu saat
rumah tersebut mengalami kebakaran. Saat terjadi kebakaran, kondisi sedang terjadi
angin topan. Menyikapi peristiwa ini, perusahaan asuransi akan mencari tahu
penyebab utama kebakaran apakah karena angin topan atau korsleting listrik. Bila
penyebab utamanya ternyata adalah angin topan maka perusahaan asuransi bisa
menolak klaim yang diajukan karena proximate cause-nya tidak termasuk risiko yang
dijamin.
Oleh karena itu, penting sekali pemahaman tentang proximate cause agar
tidak menimbulkan mispersepsi di antara tertanggung dan perusahaan asuransi pada
saat pengajuan klaim.
Definisi
International Risk Management Institute (IRMI) mendefinisikan proximate
cause sebagai penyebab terdekat yaitu penyebab yang memiliki dampak paling
signifikan dalam menimbulkan kerugian berdasarkan polis asuransi properti pihak
pertama, ketika dua atau lebih bahaya independen (berdiri sendiri-sendiri) beroperasi
pada saat yang sama atau bersamaan sehingga menghasilkan kerugian.
Istilah lain yang juga dipakai untuk menggambarkan proximate
cause adalah causa proxima yang diambil dari putusan hukum "causa proxima non
remota spectatur". Artinya adalah "causa proxima atau proximate cause dan
bukan causa remota atau remote cause yang diperhatikan".
Pada umumnya, dalam setiap peristiwa yang menimbulkan kerugian terdapat
sejumlah remote causes (penyebab-penyebab yang jauh) yang turut berperan secara
tidak langsung dalam menghasilkan kerugian. Namun, ketika proximate cause dari
kerugian itu telah ditentukan, maka remote causes dari kerugian itu dapat diabaikan.
Contohnya adalah jika sebuah kapal kandas karena lampu di sebuah
mercusuar dalam keadaan mati/padam. Proximate causes dari kerugian/kerusakan
kapal itu adalah kandasnya kapal itu secara tiba-tiba (accidental stranding).
Sedangkan lampu dalam keadaan mati/padam adalah suatu remote cause. Putusan ini
diambil dalam kasus "lonicles v. Universal Marine Insurance Association (1863)".
Contoh lain adalah sebuah kapal bertabrakan dan dibawa ke pelabuhan untuk
menjalani perbaikan. Kapal itu mengangkut sejumlah barang berupa buah-
buahan. Untuk memudahkan perbaikan, maka buah-buahan tersebut dibongkar ke
darat dan kemudian dimuat kembali ke kapal itu setelah selesai. Karena
keterlambatan (delay) dalam penerusan barang-barang tersebut ke tempat tujuan
sebagai akibat dari proses perbaikan kapal, buah-buahan itu menjadi
busuk. Proximate cause dari kerugian/kerusakan buah-buahan ini adalah delay,
sedangkan tabrakan yang menimbulkan delay itu dan proses bongkar dan pemuatan
kembali buah-buahan itu adalah remote causes (penyebab yang jauh) terhadap
kerugian/kerusakan buah-buahan itu, sebagaimana putusan hakim dalam kasus "Pink
v. Flemming (1890)".
Definisi proximate cause yang dibuat oleh hakim dalam memeriksa kasus
hukum yang standar berkenaan dengan proximate cause dari kasus "Pawsey v.
Scottish Union and National (1907)" diharapkan dapat menjadi rujukan
dalam menyelesaikan kasus-kasus proximate cause. Definisi proximate cause yang
dimaksud adalah penyebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu
rangkaian kejadian-kejadian yang melahirkan suatu hasil, tanpa intervensi/campur
tangan suatu kekuatan yang berasal dan bekerja secara aktif dari suatu sumber baru
dan independen".
Berdasarkan definisi proximate cause di atas, maka suatu cause (penyebab)
memenuhi syarat untuk menjadi proximate cause apabila memenuhi dua kondisi yaitu
pertama, cause (penyebab) itu merupakan suatu dominant cause (penyebab dominan)
atau active and effective cause (penyebab aktif dan efektif) dalam menghasilkan suatu
kerugian. Kedua, tidak terputus rangkaian peristiwa itu (the chain of event)
antara cause (penyebab) tersebut dengan kerugian sendiri.
Beberapa terms dalam proximate cause adalah concurrent causes dan remote
cause. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Concurrent Causes
Dalam konteks proximate cause, yang dimaksud concurrent causes adalah
apabila terdapat dua atau lebih penyebab yang beroperasi secara bersamaan atau
berbarengan, tetapi masing-masing penyebab itu berdiri sendiri-sendiri
(independently), terhadap objek pertanggungan, dan secara bersamaan atau
berbarengan pula beroperasi terus hingga penyebab-penyebab itu menyebabkan
kerugian/kerusakan pada objek pertanggungan itu.
Dalam menentukan seberapa jauh atau seberapa besar polis merespons terhadap
kerugian itu, perlu lebih dahulu diperhatikan hal-hal berikut ini:
 Bagaimana penyebab-penyebab beroperasi secara bersamaan.
Misalnya, kebakaran (fire) dan badai (storm) atau huru-hara (riot)
 Status dari masing-masing penyebab itu. Apakah suatu bahaya yang dijamin
polis an insured peril atau a peril insured againts, atau suatu bahaya yang
dikecualikan oleh polis (an excluded peril atau an excepted peril) suatu bahaya yang
sama sekali tidak disebutkan dalam polis (an uninsured peril atau other peril)
 Kemungkinan untuk dapat memisahkan-misahkan bagian dari kerugian itu yang
disebabkan oleh masing-masing penyebab tersebut.
Contohnya adalah sebuah rumah yang dipertanggungkan di bawah sebuah polis
kebakaran yang normal/umum mengalami kerugian/kerusakan yang disebabkan
secara bersama-sama (concurrently) tetapi independen (independently) satu sama
lainnya oleh fire (an insured peril) dan storm (an unisured peril). Bila tidak mungkin
lagi untuk membedakan antara bagian kerugian/kerusakan yang disebabkan
oleh fire dan bagian kerugian/kerusakan yang disebabkan oleh storm, maka seluruh
kerugian/kerusakan dijamin polis karena tidak ada suatu excluded peril yang
terlibat. Jika pembedaan atau pemisahan masih dapat/bagian dari kemungkinan untuk
dilakukan, maka hanya bagian dari kerugian/kerusakan itu disebabkan oleh fire itu
saja yang dijamin polis.
Jika rumah yang sama tersebut mengalami kerugian/kerusakan yang disebabkan
secara bersama-sama (concurrently) tetapi indenpenden (independently) satu sama
lainnya oleh fire (an insured peril) dan riot (an excluded peril), dan masih mungkin
dilakukan pemisahan antara bagian dari kerugian/kerusakan itu disebabkan oleh
masing-masing penyebab itu, maka hanya bagian dari kerugian/kerusakan itu yang
disebabkan oleh fire itu saja yang dijamin polis. Jika pemisahan seperti itu sudah
tidak mungkin, maka seluruh kerugian/kerusakan itu tidak dijamin polis karena
suatu excluded peril terlibat dalam peristiwa itu.
b. Remote Cause
IRMI mendefinisikan remote cause sebagai penyebab jarak jauh yaitu dalam
kasus properti pihak pertama, bahaya yang terjadi sebelum penyebab terdekat.
Misalnya dalam urutan kejadian jenis situasi dimana suatu bahaya diikuti oleh (tetapi
tidak menyebabkan) bahaya kedua yang tidak terduga pada saat polis itu dikeluarkan.
Dalam situasi seperti ini, pengadilan berpendapat bahwa bahaya kedua adalah
penyebab pengganti sehingga menjadi penyebab terdekat dari kerugian tersebut.
Pertanggungan untuk kerugian tergantung pada apakah penyebab yang menggantikan
ditanggung. Dalam situasi seperti ini, bahaya awal yang tidak dipilih sebagai
penyebab terdekat disebut sebagai penyebab yang jauh.
Seperti telah disinggung di awal bahwa aturan "causa proxima non remota
spectatur" inilah yang dipakai dalam mengaplikasikan prinsip atau doktrin proximate
cause terhadap polis-polis asuransi yang dibuat di Inggris, khususnya polis-polis yang
mengatur bahwa kerugian atas obyek pertanggungan dijamin apabila
penyebab proxima (the proximate cause) dari kerugian itu suatu bahaya yang dijamin
polis (a peril insured againts atau an insured peril).
Dengan aturan ini, apabila telah dapat ditetapkan bahwa suatu bahaya yang dijamin
polis menjadi proximate cause dari kerugian pada obyek pertanggungan, maka
penyebab atau penyebab-penyebab lainnya yang berkontribusi dalam timbulnya
kerugian itu diabaikan. Akan tetapi, aturan ini tidak berlaku bila di dalam polis
terdapat suatu pengecualian khusus. Alasannya adalah bahwa pengecualian seperti itu
mempunyai kedudukan yang prioritas dari kata-kata yang umum (general words).
Jika remote cause (penyebab jauh) itu termasuk dalam kata-kata pengecualian itu, hal
itu sudah cukup menjadi dasar bagi penanggung untuk menyatakan bahwa kerugian
tersebut telah disebabkan oleh suatu bahaya yang dikecualikan dari jaminan polis.

5. Prinsip kontribusi
Dalam kehidupan sehari-hari kontribusi dapat berarti sumbangan, iuran, pembayaran,
ataupun dapat juga merupakan sesuatu yang dapat diberikan untuk mencapai tujuan
bersama, misalnya kontribusi dalam membangun sebuah tempat ibadah. Kontribusi
adalah hak penanggung untuk “menagih” bagian yang menjadi tanggung-jawab
penanggung lain atas ganti rugi yang telah dibayarkan kepada tertanggung. Dalam
prakterk perasuransian, kita melihat bahwa kontribusi tidaklah selamanya dilakukan
sesuai dengan cara “bayar dulu” kepada tertanggung “baru tagih” kepada penanggung
lainnya, hal ini tergantung dari bagaimana cara penutupan asuransi dilakukan. Pada
umumnya, kita mengenal beberapa cara penutupan asuransi yang dengan sendirinya
mempengaruhi cara kontribusi dalam pembayaran klaim.
Lazimnya kontrak pertanggungan asuransi adalah antara satu
tertanggung atau nasabah dan satu perusahaan asuransi. Padahal sebenarnya,
dimungkinkan untuk mengikat kontrak asuransi antara satu nasabah dengan lebih dari
dua perusahaan asuransi untuk objek pertanggungan yang sama. Artinya, objek yang
dipertanggungkan memiliki dua polis berbeda yang diterbitkan oleh dua perusahaan
asuransi. Sehingga bila terjadi klaim maka pembayaran klaim akan dilakukan oleh
dua perusahaan asuransi berdasarkan prinsip indemnity dan besaran kontribusinya.
Praktek bisnis seperti ini bisa dilakukan karena dalam asuransi mengenal prinsip
kontribusi (contribution).
Namun untuk menjaga agar dalam proses pembayaran klaim tidak
bertentangan dengan prinsip indemnity maka keberadaan prinsip kontribusi ini
diperlukan. Tujuan dari prinsip contribution ini sebenarnya sama dengan
prinsip subrogation atau subrograsi yang diperlukan untuk mengamankan tujuan
prinsip indemnity (ganti rugi) yaitu bagaimana menempatkan tertanggung pada posisi
keuangan yang sama setelah terjadinya kerugian seperti sesaat sebelum kerugian itu
terjadi. Jadi, keberadaan prinsip kontribusi lebih untuk memastikan bahwa dalam
skema subrogasi tertanggung mendapatkan ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian
yang dialami, tidak lebih atau kurang.
Misalnya, seseorang memiliki dua polis asuransi kendaraan untuk 1 objek
kendaraan dari dua perusahaan asuransi berbeda. Saat objek kendaraan yang
diasuransikan tersebut mengalami kecelakaan dengan nilai klaim mencapai
Rp5.000.000 maka nilai klaim tersebut akan dibayarkan oleh dua perusahaan asuransi
yang dibagi berdasarkan porsi kontribusi yang telah diatur dalam ketentuan polis.
Tanpa berlaku prinsip kontribusi, nasabah berpotensi mendapatkan nilai klaim yang
lebih besar dari nilai klaim yang diajukan. Tentu ini bertentangan dengan
prinsip indemnity.
Dengan demikian, prinsip kontribusi ini hanya berlaku bila terjadi double
insurance atau dua pertanggungan terhadap objek yang sama. Selain itu, prinsip
kontribusi yang merupakan pengaman dari prinsip indemnity juga berlaku hanya
untuk polis-polis asuransi yang bersifat indemnity.
Lalu apa yang dimaksud dengan prinsip contribution?
Merujuk hukum asuransi di Inggris, contribution dalam konteks asuransi
didefinisikan sebagai hak seseorang penanggung untuk mengajak atau meminta
penanggung-penanggung lainnya yang sama-sama bertanggung jawab kepada
tertanggung yang sama untuk membagi suatu pembayaran indemnity (ganti rugi).
Penggunaan kata "indemnity" ini menunjukkan bahwa prinsip contribution hanya
berlaku atas polis-polis asuransi indemnity, dan tidak berlaku atas polis-
polis asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan diri. Pasalnya, polis-polis asuransi jiwa
dan polis-polis asuransi kecelakaan diri bukan polis indemnity.
Sementara itu dalam hukum asuransi di Indonesia, prinsip kontribusi dalam suatu
kerugian seperti yang dimaksud dengan definisi contribution menurut hukum
asuransi di Inggris terkandung dalam Pasal 277 KUH Dagang, yang berbunyi:
"Apabila berbagai penanggungan, dengan itikad baik, telah diadakan mengenai
satu-satunya barang, sedangkan dalam pertanggungan pertama hanya sepenuhnya
telah dipertanggungkan, maka hanya pertanggungan pertama itu sajalah mengikat,
sedangkan para penanggung yang berikutnya dibebaskan. Apabila dalam
pertanggungan pertama itu tidak dipertanggungkan harga sepenuhnya, maka para
penanggung berikutnya bertanggung jawab untuk harga selebihnya, menurut tertib
waktu ditutupnya pertanggungan-pertanggungan berikut ini"
Kapan prinsip contribution dapat diterapkan?
Dalam hal common law yang merujuk pada hukum Inggris, contribution hanya akan
berlaku apabila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi:
 Terdapat dua atau lebih polis-polis indemnity yang terlibat.
 Polis-polis tersebut menjamin atau menutup suatu kepentingan yang sama
(common interest).
 Polis-polis itu menjamin bahaya yang sama (common perils).
 Polis-polis itu suatu objek pertanggungan yang sama (common subject-
matter).
 Masing-masing polis itu menjamin kerugian yang sama.

Agar lebih mudah memahami aplikasi dari prinsip kontribusi, mari kita simak dua
contoh kasus berikut ini:
Kasus I: Pak Hasan menyimpan stok berasnya di gudang milik PT AB. Dalam
rangka memitigasi risiko kerugian akibat kebakaran gudang, PT AB yang
berdasarkan ketentuan hukum bertindak sebagai strict liability atas barang-barang
yang tersimpan di gudangnya, mengasuransikan stok beras Pak Hasan. Di pihak lain,
sebagai pemilik langsung stok beras, Pak Hasan juga telah mengasuransikan
barangnya untuk memitigasi kerugian saat penyimpanan.
Lalu Gudang milik PT AB mengalami kebakaran hebat sehingga menyebabkan
kerugian pada stok beras milik Pak Hasan. Terkait kejadian ini, prinsip kontribusi
tidak berlaku karena syarat common interest (suatu kepentingan yang sama) tidak
terpenuhi. Pasalnya, interest dari Pak Hasan adalah sebagai pemilik barang,
sedangkan interest dari PT AB adalah sebagai bailee atau pihak yang
bertanggungjawab mengawasi terhadap barang yang tersimpan di gudang. Jadi, dalam
kasus ini klaim asuransi ditanggung hanya oleh satu penanggung saja. Kesimpulan ini
mengacu pada yurisprudensi kasus The King Granaries tahun 1877.
Kasus II: Pak Hasan sebagai pemilik seluruh isi (termasuk stok) dari suatu bangunan
pabrik, telah mengasuransikan seluruh isi tersebut di bawah sebuah
polis asuransi properti kepada perusahaan asuransi A. Pak Hasan juga
telah mengasuransikan stok saja di bawah sebuah
polis asuransi properti lainnya kepada perusahaan asuransi B.
Lalu, gudang Pak Hasan mengalami kebakaran sehingga mengakibatkan kerugian.
Namun, kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hanya pada stok saja. Sementara
itu, kedua polis yang dimiliki Pak Hasan menjamin kerugian atas stok saja.
Dengan demikian, kondisi yang dialami Pak Hasan ini memenuhi syarat berlakunya
prinsip kontribusi karena kedua polis yang dimiliki Pak Hasan semuanya
menanggung risiko stok.
Bagaimana cara pembagian porsi kontribusi dalam kerugian?
Pada dasarnya cara pembagian porsi kontribusi beraneka ragam tergantung jenis
asuransi kerugian yang dipertanggungkan, di antaranya:
1. Rateable Proportion yang dibagi menjadi dua yaitu proporsi terhadap harga
pertanggungan dan limit of liability.
2. Market practice yaitu mengacu pada metode standar yang sering digunakan
dan kadang telah tergabung ke dalam formal agreement antar-grup perusahaan
yang besar.
3. Dalam marine insurance, pembagian proporsi dari masing-masing
penanggung dalam suatu kerugian adalah atas dasar harga pertanggungan
(sum insured) pada masing-masing polis.
4. Untuk property insurance, pembagian proporsi seperti itu biasanya mengacu
pada market practice di Inggris, yaitu untuk polis-polis properti tanpa
ketentuan average pembagian proporsi dilakukan di atas dasar sum
insured dan polis-polis properti dengan ketentuan average pembagian
proporsi dilakukan atas dasar metode independent lialibity.
6. Prinsip subrogasi (subrogation)

Subrogasi (to subrogate) yang berarti menggantikan atau menempatkan diri pada
tempat orang lain. Dalam asuransi, subrogasi berarti bahwa penanggung
menempatkan diri atau menggantikan tempat tertanggung dengan maksud untuk
memperoleh/menuntut ganti kerugian dari pihak ketiga atas kerugian yang diderita
oleh tertanggung. Saat kendaraan kita ditabrak oleh pengendara lain sehingga
mengalami kerusakan, biasanya secara langsung kita akan meminta ganti rugi
sejumlah uang kepada si penabrak untuk mengganti biaya perbaikan. Berhubung
kendaraan kita masih dalam pertanggungan asuransi, biasanya kita juga akan
mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi. Dalam asuransi, praktek seperti ini
sebenarnya tidak dibenarkan karena ada prinsip subrogation.

Penerapan prinsip subrograsi di asuransi biasanya dengan cara perusahaan


asuransi secara langsung membayar klaim kepada tertanggung atas kerugian yang
dialaminya. Selanjutnya, perusahaan asuransi akan menuntut ganti rugi kepada pihak
ketiga yang atas kelalaiannya telah menyebabkan kerugian terjadi senilai klaim yang
telah dibayarkan kepada tertanggung. Hak subrogasi ini biasanya akan tercantum
dalam polis asuransi. Namun demikian, dalam implementasinya sangat bergantung
pada pertimbangan dari perusahaan asuransi, apakah akan menggunakannya atau
tidak.

Prinsip subrograsi ini seringkali dianggap sebagai pengaman atau pendamping


dari prinsip indemnity (corollary of indemnity). Prinsip indemnity sendiri adalah
memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam rangka mengembalikan posisi
keuangan yang sama setelah terjadinya kerugian seperti kondisi sebelum kerugian
terjadi. Bila tidak ada prinsip subrograsi, maka tertanggung akan berpotensi
mendapatkan nilai penggantian yang lebih besar atau ganda dari yang seharusnya
sehingga tidak sesuai dengan prinsip indemnity.

Dalam hukum di Indonesia, prinsip subrogasi diatur dalam Pasal 284 KUHD
yang berbunyi: “Seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang
yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya
terhadap orang-orang ketiga berhubungan dengan penerbitan kerugian tersebut, dan
tertanggung itu adalah bertanggungjawab untuk setiap perbuatan yang dapat
memberikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga.”

Maksud dari pasal tersebut adalah bila kerugian tertanggung disebabkan oleh
pihak ketiga maka penggantian kerugiannya dialihkan kepada pihak ketiga dan bukan
kepada pihak asuransi. Namun, bila pihak tertanggung tetap meminta ganti kerugian
kepada pihak asuransi maka pihak asuransi berhak untuk meminta ganti rugi kepada
pihak ketiga karena pihak asuransi berhak untuk menggantikan kedudukan
tertanggung.

Definisi subrogation sendiri sebenarnya diambil dari kasus "Burnand v.


Rodocancachi (1882)" di Inggris. Dalam kasus tersebut, penanggung, setelah
memberikan indemnity kepada tertanggung, berhak untuk menerima kembali dari
tertanggung apa saja yang dapat diterimanya dari sumber lain. Berdasarkan definisi
tersebut, hak subrogasi hanya bisa diterapkan untuk kontrak-kontrak asuransi yang
terkait dengan kontrak indemnity. Oleh karena itu, prinsip subrogasi tidak bisa
diterapkan atau tidak berlaku dalam polis asuransi jiwa atau polis asuransi kecelakaan
diri.

Mengapa subrograsi dianggap sebagai pendamping dari


prinsip indemnity (corollary of indemnity)? Agar lebih mudah memahaminya, kita
akan ilustrasikan dengan sebuah contoh kejadian sebagai berikut: Andi
mengasuransikan mobilnya kepada perusahaan asuransi A untuk periode
pertanggungan 12 bulan dengan risiko sendiri (jumlah tertentu harus ditanggung
sendiri oleh Andi, selaku tertanggung dalam setiap kerugian dan setiap kejadian)
sebesar Rp500.000.

Dalam periode polis, mobil Andi ditabrak oleh mobil Iwan. Padahal, posisi
mobil Andi diparkir di tempat yang benar. Akibat kejadian tersebut, mobil Andi
mengalami kerusakan dan menimbulkan kerugian senilai Rp3.000.000. Alhasil, Andi
pun mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Iwan dan juga secara paralel mengajukan
klaim kepada perusahaan asuransi A. Karena kerugian yang dialami dijamin oleh
polis asuransi, maka perusahaan asuransi A membayar klaim Andi sebesar
Rp3.000.000-Rp500.000 = Rp2.500.000.

Setelah perusahaan asuransi A membayarkan klaim berdasarkan


prinsip indemnity kepada Andi sebesar Rp2.500.000, ternyata selang beberapa hari
kemudian Andi menerima pembayaran ganti rugi dari Iwan sebesar Rp3.000.000
karena telah menabrak mobil Andi hingga rusak. Bila mengacu pada prinsip
subrograsi, maka atas sejumlah pembayaran dari Iwan tersebut Andi harus
membayarkan senilai Rp2.500.000 kepada perusahaan asuransi A yang sebelumnya
telah membayar klaim kepada Andi senilai Rp2.500.000.

Kapan Hak Subrogasi Ini Timbul?

Hak subrogasi (subrogation rights) bagi penanggung dapat timbul dari


beberapa faktor, yaitu:

1. Hak-hak tertanggung yang timbul dari suatu perbuatan melanggar atau


melawan hukum (dalam hukum Inggris disebut "tort") seperti kelalaian
(negligence) yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya.
2. Hak-hak tertanggung yang timbul dari suatu kontrak atau perjanjian yang
telah diadakannya dengan orang lain.
3. Hak-hak tertanggung berdasarkan Undang-Undang.

Selain itu, hak subrogasi penanggung juga dapat timbul dari obyek
pertanggungan itu sendiri atau bagian dari obyek pertanggungan (hak
dan salvage atau sisa barang) yang mana penanggung telah
membayar indemnity berdasarkan syarat-syarat polis. Hak subrogasi seperti ini
sebenarnya di luar subrogation atau definisi subrogasi seperti yang dijelaskan
sebelumnya, tetapi lebih pada aplikasi prinsip indemnity yang tidak membenarkan
tertanggung menikmati pembayaran indemnity yang lebih besar dari indemnity penuh
(full indemnity).

Adapun mengutip keterangan common law di Inggris dan juga Pasal 284
KUH Dagang di Indonesia, hak subrogasi penanggung belum timbul selama
penanggung belum membayarkan klaim yang bersangkutan kepada tertanggung.
Ketentuan atau aturan ini dapat menimbulkan masalah bagi pihak penanggung karena
setelah kerugian yang menimbulkan klaim itu terjadi, penanggung tidak dapat
berpartisipasi aktif atau berjuang atas nama si tertanggung dalam upaya menuntut hak
tertanggung kepada pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kerugian. Tentu
kondisi ini dapat berakibat buruk terhadap hak subrograsi penanggung.

Untuk menjamin hak subrogasi penanggung berjalan dengan baik, biasanya


penanggung dalam banyak polis mencantumkan ketentuan atau
klausula subrogation yang memungkinkan penanggung untuk meminta pihak
tertanggung, atas biaya penanggung, melakukan langkah-langkah yang dianggap
perlu, sebelum atau sesudah penanggung melaksanakan
pembayaran indemnity terhadap tertanggung, dalam upaya memperoleh ganti rugi
dari pihak-pihak lain.

Modifikasi Subrogasi

Sama seperti prinsip indemnity, prinsip subrograsi tidak bersifat mutlak


sehingga dalam hal-hal atau situasi-situasi tertentu dimungkinkan untuk disesuaikan.
Dalam kaitan ini, para penanggung atau perusahaan asuransi bisa melakukan
modifikasi terhadap cara kerja subrogasi. Berikut ini adalah beberapa contoh dari
modifikasi yang dimaksud:

1. Knock for knock Agreement. Perjanjian ini adalah suatu intercompany


agreement (perjanjian antarperusahaaan asuransi) yang mengatur bahwa antara
perusahaan asuransi yang mentransaksikan bisnis asuransi kendaraan bermotor, tidak
akan melaksanakan hak-hak subrogasi terhadap satu sama lainnya dalam hal
terjadinya kerusakan kendaraan milik tertanggung mereka yang disebabkan oleh
suatu peristiwa tabrakan antara kendaraan-kendaraan para tertanggung mereka.
2. Perjanjian-perjanjian lainnya. Perjanjian antara penanggung kendaraan bermotor
dan penanggung properti yang menjamin kerugian/kerusakan harta benda yang
dipertanggungkan pada polis properti karena ditabrak kendaraan bermotor. Dalam
perjanjian ini, para pihak setuju untuk kontribusi secara bersama-sama dalam
kerugian properti yang bersangkutan berdasarkan proporsi-proporsi yang telah
disepakati.
3. Waiver of subrogation dalam polis. Polis-polis tertentu, seperti polis employers
liability, mencantumkan suatu kalusula waiver of subrogation yang berisi pernyataan
bahwa penanggung melepaskan hak subrogasinya dalam hal seorang karyawan
menyebabkan seorang karyawan lainnya cedera badan.

4. Asas-Asas Dasar Asuransi


Asuransi dapat dikatakan sebagai suatu lembaga yang berada di lingkungan
masyarakat luas. Pada hakikatnya suatu lembaga selalu melakukan tindakan yang
bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain, untuk
memenuhi tugas-tugas tertentu dan lain sebagainya. Begitu juga dengan keberadaan
asuransi dimana sebuah perusahaan asuransi merupakan suatu lembaga masyarakat
sebagai tujuan sosial. Karena itu lembaga asuransi selalu menawarkan produknya
kepada masyarakat.

Promosi yang sangat berlebihan oleh para agen asuransi, yang memaparkan hal yang
positif saja, tidak transparan dalam menjual produk asuransi, setelah produk berhasil
dijual agen asuransi justru menjauhkan diri dari tertanggung. Tentunya sikap agen
asuransi seperti ini bertentangan dengan misi perlindungan konsumen. Bahkan
sampai pada suatu keadaan menyertakan investasi dalam program asuransi yang
perusahaan tersebut jalankan. Apakah tindakan ini sesuai dengan asas etikad baik
(utmost goodfaith) kedua belah pihak dalam perjanjian asuransi?

Perjanjian asuransi melahirkan berbagai program yang secara pengaturan belum ada
aturan yang pasti dijadikan landasan pelaksanaan berbagai program asuransi tersebut.
Asuransi tumbuh karena semakin banyak berbagai risiko yang dihadapi dalam
berbagai aspek kehidupan. Salah satu upaya untuk menanggulangi risiko tersebut
adalah asuransi.
Risiko adalah ketidaktentuan atau uncertainly yang mungkin melahirkan kerugian.
Karena itu kebutuhan akan jasa asuransi makin dirasakan baik perorangan maupun
dunia usaha. Asuransi merupakan sarana financial dalam tata kehidupan rumah
tangga, baik atas risiko yang mendasar seperti risiko kematian ataupun risiko atas
harta benda. Demikian juga pada dunia usaha dalam menjalankan kegiatannya dalam
menghadapi berbagai risiko yang mungkin dapat mengganggu kesinambungan
usahanya.

Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata terdapat pada Buku III tentang Perikatan
yaitu pada bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V, dan bab XV. Pengaturan asuransi
dalam buku III KUH Perdata tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pengaturan
asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas
kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad
baik, dan asas kepribadian.
a. Asas kebebasan berkontrak freedom of contract) ditentukan pada Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak
membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk
perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Tetapi asas kebebasan berkontrak
(freedom of contract) bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas
ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum
yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum, maka akan mengakibatkan
kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
b. Asas konsensualisme terkandung di dalam pasal 1320 KUH Perdata
sebagaimana telah dijelaskan dimuka, bahwa asas ini menentukan kata
sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian
asuransi. Herlien Budiono mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa
perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai
tidak secara formal tetapi cukup melalui consensus belaka.
c. Asas pacta sunt servanda terkandung di dalam Pasal 1388 ayat (1) KUH
Perdata, menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi
mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Dalam pasal ini
terkandung asas-asas pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan
asas kepastian hukum. Kepastian hukum ini berarti janji harus ditepati.
d. Asas itikad baik (good faith) tersurat dengan tegas (eksplisit) di dalam Pasal
1388 ayat (3) KUH Perdata, menentukan, “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut Mariam Darus, bahwa asas itikad
baik pada Pasal 1388 ayat (3) KUH Perdata ini sebagai penyeimbang dari asas
pacta sunt servanda yang terkandung dalam pasal 1388 ayat (1) KUH Perdata.
Sehingga dengan gabungan kedua asas ini memberikan perlindungan pada
pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian
asuransi yaitu antara penaggung dan tertanggung menjadi seimbang.
e. Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUH Perdata, menentukan,
“pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas
yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para
pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja.

KESIMPULAN
Setiap orang siapapun sebagai individu dia pasti mempunyai berbagai risiko
dengan variasi dan kualitas yang berbeda satu dengan yang lain, sebagai risiko
individual yaitu suatu keadaan tidak pasti mengenai dirinya sendiri. Salah satu hal
yang dapat meminimalisir resiko tersebut adalah dengan asuransi. Asuransi
menguntungkan kehidupan masyarakat dengan mengurangi kekayaan yang harus
disisihkan untuk menutupi kerugian akibat berbagai resiko yang didapat. Adapun
prinsip-prinsip yang diharapkan untuk dapat dipahami adalah: prinsip itikad baik;
prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan; prinsip ganti-rugi; prinsip proksima;
prinsip kontribusi; dan prinsip subrogasi. Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata
buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak,
asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Asuransi pada dasarnya merupakan perjanjian antara pihak asuransi sebagai
penanggung dan nasabah sebagai tertanggung. Dalam asuransi, penanggung
memberikan pertanggungan atau penggantian apabila terjadi sesuatu yang menimpa
pihak tertanggung atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Singkatnya, perusahaan asuransi memberikan penggantian kepada
nasabah jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Sementara itu, nasabah sebagai
tertanggung juga harus melaksanakan kewajibannya, yakni membayar iuran premi
asuransi sesuai perjanjian.
Tujuan dan manfaat asuransi memang berdampak untuk masa depan. Namun,
asuransi juga memiliki fungsi yang bisa dirasakan selama masa pertanggungannya.
Seperti apa fungsi dari asuransi tersebut
1. Mengelola Risiko
Manajemen risiko diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Asuransi berfungsi
dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko yang mungkin terjadi.
Nasabah bisa terhindar dari risiko keuangan akibat mengalami kejadian yang tidak
diinginkan karena sudah ditanggung pihak asuransi.
2. Menyediakan Keamanan Finansial
Asuransi juga berfungsi untuk menyediakan keamanan finansial bagi nasabah.
Nasabah tidak perlu merasa cemas ketika terjadi masa sulit karena sudah
memiliki asuransi yang siap menanggungnya. Nasabah hanya fokus pada
kewajibannya, yaitu membayar premi dengan periode dan jumlah yang sudah
disepakati.
3. Memberikan Ketenangan Pikiran
Memiliki asuransi juga berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan secara
psikologis. Nasabah bisa merasakan ketenangan pikiran dan tidak perlu khawatir
ketika sudah memiliki asuransi. Pikiran yang rileks tentu akan membuat nasabah
bisa berkonsentrasi untuk menjalani kehidupan sehari-harinya dengan tenang.
Tertarik mengikuti asuransi ada baiknya memahami asas-asas dan prinsip dasar
asuransi yaitu Secara umum, kehadiran asuransi adalah untuk memberikan
perlindungan atau proteksi. Baik asuransi kesehatan, asuransi jiwa, maupun asuransi
properti, semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melindungi dari kemungkinan
risiko. Banyaknya jenis asuransi tidak jarang membuat masyarakat awam bingung
untuk memahami produk asuransi lebih dalam. Oleh sebab itu, dengan memahami
dengan baik prinsip asuransi, Kita akan terhindar dari kesalahpahaman serta membuat
kita mengetahui apakah kita akan mendapat manfaat asuransi yang sesuai dengan
ekspektasi atau malah sebaliknya

KEPUSTAKAAN
1. Idayanti, Soesi., Aryani, F.A. (2020). Hukum Asuransi. DI Yogyakarta. Tanah
Air Beta.
2. Fazri, Fanisyah., Kurniawan, Lili. (2021). Aspek Hukum Pelaksanaan
Perjanjian Asuransi. Jurnal Ekonomi Manajemen Sistem Informasi (JEMSI),
Volume 2, Issue 6, 772-784.
3. Zainal, E.A.L. (2020). Hukum Asuransi. Jakarta. PT Cipta Gadhing Artha.
4. Edrisy, I.F., Putri, Angelina., Sulistiyawati. (2023). Hukum Asuransi. Bandar
lampung. Pusaka Media.
5. Fauzi, W. (2019). Hukum Asuransi Di Indonesia. Padang. Andalas University
Press
6. Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
hlm 3
7. Dwi Endah Ernawati, Penerapan asas-asas asuransi dalam perjanjian asuransi
kendaraan bermotor, Jurnal Portal Garuda.dikti.com, 2009.
8. Fauzi, A., Hukum Asuransi di Indonesia, Andalas University Press:Padang,
2019.
9. Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet 1,
hlm. 1.
10. Peter F. Drcker, management : Tugas dan Tanggung jawab Praktek asuransi,
Jakarta, Gramedia, 1981, hlm 40

Anda mungkin juga menyukai