Anda di halaman 1dari 93

HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DAN MASA KERJA

DENGAN KEJADIAN NOISE INDUCED HEARING LOSS


DI BAGIAN PRODUKSI PT. EPATA

SKRIPSI

Oleh :
ENGKA BIAS VALIAN PRIANTO
113118901

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S-1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DAN MASA KERJA
DENGAN KEJADIAN NOISE INDUCED HEARING LOSS
DI BAGIAN PRODUKSI PT. EPATA

SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (S1)

Oleh :
ENGKA BIAS VALIAN PRIANTO
113118901

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S-1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT (S-1) SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2019

ENGKA BIAS VALIAN PRIANTO


Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja Dengan Kejadian Noise
Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.

ix + 62 halaman + 8 tabel + 4 gambar + 10 lampiran

ABSTRAK

Noise Induced Hearing Loss adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran
seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan
oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja. Faktor yang mempengaruhi
Noise Induced Hearing Loss adalah intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan,
lamanya waktu pemaparan bising, massa kerja, keretanan individu, jenis kelamin,
usia, kelainan di telinga tengah.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan intensitas kebisingan dan masa
kerja dengan kejadian noise induced hearing loss di PT. EPATA.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan jumlah
sampel total sampling yaitu sebanyak 30 pekerja di bagian produksi. Teknik
pengumpulan data dikumpulkan oleh peneliti sendiri dengan menggunakan
audiometri, sound level meter , dan lembar observasi kuesioner. Analisis data melalui
dua tahap, yaitu univariat untuk melihat distribusi frekuensi dan bivariat untuk
melihat hubungan (chi square).
Hasil penelitian didapatkan jumlah yang mengalami gangguan noise induced hearing
loss 17 pekerja (56,7%) dan adanya hubungan antara intensitas kebisingan (p
value=0,011) nilai PR = 2,844 (1,202 - 6,727), massa kerja (p value=0,001) PR =
5.000 (1,388-18,018), dengan noise induced hearing loss.
Diupayakan rekayasa teknik (Engineering Control) pada mesin produksi dibagian
Metal Forming seperti pemberian pembatas atau sekat antara mesin dengan tenaga
kerja, Melapisi dinding, dan lantai dengan bahan penyerap suara misalnya gabus,
glasswool dan lain-lain.

Kata kunci : intensitas kebisingan, masa kerja, noise induced hearing loss.
Keputakaan : 14, (2003-2016)
PUBLIC HEALTH DEPARTMENT (S-1) SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2019

ENGKA BIAS VALIAN PRIANTO

The Relationship between Noise Intensity and Work Period with the Occurrence
of Noise-Induced Hearing Loss at PT. EPATA.

ix + 62 pages + 8 tables + 4 pictures + 10 attachments

ABSTRACT

Noise-Induced Hearing Loss is the loss of part or all of a person's hearing


permanently, about one or both ears that is caused by continuous noise in the
workplace environment. Some factors are affecting Noise-Induced Hearing Loss;
noise intensity, frequency of noise, length of time of exposure to noise, work mass,
individual anxiety, gender, age, and abnormalities in the middle ear. This study aims
to find the relationship of noise intensity and work period with the incidence of noise-
induced hearing loss at PT. EPATA.
This research is using a cross-sectional study with 30 workers in the production
department as the sampling.  The data were collected using audiometry, sound level
meters, and questionnaire observation sheets. There are two stages to analyze the
data, univariate and bivariate.  univariate to see the frequency distribution and then
bivariate to see the relationship (chi-square).
The result shows that the number of people experiencing noise-induced hearing loss
is 17 workers (56.7%) and the relationship between noise intensity (p value = 0.011)
PR value = 2.844 (1,202 - 6,727), work mass (p value = 0,001) PR = 5,000 (1,388-
18,018), with noise-induced hearing loss. There is engineering control in the
production machinery in the Metal Forming section such as the give of barriers or
barriers between machines and labor, covering walls and floors with sound-absorbent
materials such as cork, glass wool, and others.

Keywords: noise-induced hearing loss, noise intensity, and work period.


Archipelago: 14, (2003-2016)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaaikan penelitian yang berjudul

“Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja Dengan Kejadian Noise

Induced Hearing Loss Di PT. EPATA” dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwasanya jauh dari kesempurnaan,

baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi isi. Akan tetapi penuis medapat

banyak bantuan, bimbingan, motivasi dan saran bagi berbagai pihak sehingga pada

kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar

besarnya kepada:

1. Bapak Gunawan Irianto,dr,.M.Kes(MARS) selaku Ketua Stikes jenderal Achmad

Yani Cimahi.

2. Bapak Asep Dian A, S.Pd., SKM., MM., MH. Kes selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat (S1) Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi.

3. Bapak Dr., K.M., Agus Riyanto, SKM., M.Kes. selaku pembimbing satu yang

telah memberikan bimbingan, arahan dan koreksi dalam menyelesaikan Penelitian

ini.

4. Bapak Dr. Budiman, S.Pd., S.kep., Ners., SKM., M.Kes., MH.Kes selaku

pembimbing dua yang telah memberikan bimbingan, arahan dan koreksi dalam

menyelesaikan Penelitian ini.


5. Bapak Teguh Akbar Budiana, SKM., M.Gizi selaku penguji satu yang telah

memberikan saran dan arahan dalam menyelesaikan penelitian ini.

6. Seluruh staf Prodi Kesehatan Masyarakat dan Perpustakaan STIKES Achmad

Yani yang telah membantu.

7. Keluarga tercinta terutama Bapak dan Ibu saya yang telah memberikan dukungan

dan motivasi terbesar baik dan moral maupun material.

8. Teman-teman saya yang telah membantu penulisan penelitian ini yang tidak bisa

saya sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT melimpahkan berkah-nya atas semua jasa dan kebaikan

selama pembuatan Penelitian ini, dengan Rasa hormat penulis memohon kritik dan

saran yang membangun dari semua pihak, Terima kasih.

Cimahi, September 2019

ENGKA BIAS VALIAN PRIANTO

NPM. 113118901
DAFTAR ISI
ABSTRAK.........................................................................................................i
ABSTRACT.....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................v
DAFTAR TABEL..........................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................4
1. Tujuan Umum..................................................................................4
2. Tujuan Khusus.................................................................................5
D. Manfaat Penelitian ................................................................................5
1. Manfaat Teoritik..............................................................................5
2. Manfaat Praktis................................................................................5
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A. Noise Induced Hearing Loss..................................................................6
B. Kebisingan........................................................................................10
1. Faktor-faktor mempengaruhi kehilangan pendengaran.................10
2. Jenis-jenis kebisingan....................................................................12
3. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja ..................................13
4. Pengukuran kebisingan .................................................................20
5. Alat pengukur kebisingan..............................................................21
6. Identifikasi sumber bising di tempat kerja.....................................25
7. Pengendalian bahaya kebisingan ..................................................27
8. Pengurangan waktu pemaparan.....................................................31
C. Hubungan kebisingan dengan penyakit NIHL.....................................32
D. Masa Kerja...........................................................................................33
E. Kerangka Teori....................................................................................34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian ...............................................................................35
1. Paradigma Penelitian ....................................................................35
2. Kerangka konsep............................................................................36
3. Rancangan Penelitian ....................................................................36
4. Hipotesis Penelitian ......................................................................37
5. Variabel Penelitian ........................................................................37
6. Definisi Oprasional .......................................................................38

B. Populasi Dan Sampel Penelitian .........................................................40


1. Populasi..........................................................................................40
2. Sampel...........................................................................................40
C. Pengumpulan Data...............................................................................40
1. Teknik Pengumpulan Data............................................................40
2. Instrumen Data ..............................................................................41
D. Prosedur Penelitian .............................................................................44
1. Tahap Persiapan.............................................................................44
2. Tahap Pelaksanaan.........................................................................44
3. Tahap Akhir...................................................................................44
E. Pengelolaan Dan Analisis Data ...........................................................45
1. Pengolahan Data ...........................................................................45
2. Analisis Data .................................................................................46
F. Etika Penelitian ...................................................................................50
G. Lokasi Dan Waktu Penelitian .............................................................51
1. Lokasi Penelitian ...........................................................................51
2. Waktu Penelitian ...........................................................................51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................................52
B. Pembahasan ........................................................................................56
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan..............................................................................................61
B. Saran ...................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Waktu paparan dan intensitas kebisingan........................................30


Tabel 3.1 Tabel Definisi Oprasional ...............................................................38
Tabel 3.2 Tabel kontingensi 2x2......................................................................49
Table 4.1 Distribusi Frekuensi Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.52
Table 4.2 Distribusi Frekuensi kebisingan Di PT. EPATA............................53
Table 4.3 Distribusi Frekuensi masa kerja Di PT. EPATA............................53
Table 4.4 Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Kejadian Noise
Induced Hearing Loss Di PT. EPATA...........................................54
Table 4.5 Hubungan masa kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing
Loss Di PT. EPATA....................................................................... 55
DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Gambar Kerangka Teori............................................................................34

3.1 Gambar Kerangka Konsep.........................................................................36

3.2 Gambar sound level meter.........................................................................41

3.3 Gambar audiometri ...................................................................................42


Daftar Lampiran

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Stikes Achmad Yani Cimahi

Lampiran 2 Surat Balasan PT. EPATA

Lampiran 3 Surat Rekomendasi Statistik

Lampiran 4 Informed Consent

Lampiran 5 Kuesioner Penelitian

Lampiran 7 Master Tabel

Lampiran 8 Out Put Uji Statistik

Lampiran 9 Dokumentasi

Lampiran 10 Daftar Riwayat Hidup


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Noise Induced Hearing Loss adalah hilangnya sebagian atau seluruh

pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua

telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja.

Noise Induced Hearing Loss dan gangguan akibat kebisingan lebih sering

terjadi diantara mereka yang bekerja di galangan kapal (rata-rata tingkat

kebisingan 98 dBA) dibandingkan mereka yang bekerja di bengkel mesin

dalam kapal (85,5 dBA) (Albert PW, 1987).

Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising

telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh

Hendarmin dalam tahun yang sama pada Manufacturing Plant Pertamina

dan dua pabrik es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan

pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang

dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja

terus-menerus selama 5-10 tahun. (Komite Nasional Penanggulangan

Gangguan Pendengaran dan Ketulian, 2011).


Pembangunan di Indonesia semakin pesat khususnya dalam bidang

industri akan terus dikembangkan sampai tingkat industri maju. Home

industry atau industri besar umumnya mempergunakan alat-alat yang

memiliki potensi menimbulkan kebisingan. Berkembangnya industri di

Indonesia menyebabkan semakin besar pula jumlah tenaga kerja yang terpapar

bising yang keras dan dalam waktu yang lama. Pekerjaan yang terpapar bising

yang terlalu keras dan berlangsung lama dapat menyebabkan Noise Induced

Hearing Loss (NIHL). Menurut Komite Nasional Penanggulangan

Gangguan Pendengaran dan ketulian (2011), faktor-faktor yang

mempengaruhi noise induced hearing loss adalah Intensitas kebisingan,

frekuensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising kerentanan

individu, jenis kelamin, usia, dan kelainan di telinga tengah.

Noise Induced Hearing Loss adalah hilangnya sebagian atau seluruh

pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua

telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja.

Noise Induced Hearing Loss dan gangguan akibat kebisingan lebih sering

terjadi diantara mereka yang bekerja di galangan kapal (rata-rata tingkat

kebisingan 98 dBA) dibandingkan mereka yang bekerja di bengkel mesin

dalam kapal (85,5 dBA) (Albert PW, 1987).

World Health Organisation (WHO, 2007), mengatakan bahwa

prevalensi ketulian di Indonesia mencapai 4,2%. Negara-negara di dunia telah

menetapkan bahwa Noise Induced Hearing Loss merupakan penyakit kerja


yang terbesar diderita. Sebesar 16% dari ketulian yang diderita oleh orang

dewasa dikarenakan oleh kebisingan di tempat kerja, sehingga dapat dijadikan

masalah yang perlu ditangani dan mendapatkan perhatian khusus. Kebisingan

yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja, terutama

pada indera pendengaran. Tenaga kerja memiliki risiko Noise Induced

Hearing Loss dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan

tanpa disadari. Penurunan daya pendengaran tergantung dari lamanya

pemaparan serta tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor yang

menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurangi. (jumali, Sumadi, dkk,

2013).

Menurut Komite Nasional Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan ketulian (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi

Noise Induced Hearing Loss adalah Intensitas kebisingan, frekuensi

kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising kerentanan individu, jenis

kelamin, usia, dan kelainan di telinga tengah (Arini, 2005).

Kebisingan di tempat kerja bukan hanya menyebabkan gangguan

pendengaran seperti penurunan nilai ambang batas dengar pekerja, namun

juga dapat menyebabkan gangguan nonaudiotoir (gangguan yang tidak

berpengaruh langsung terhadap pendengaran) yaitu stress, mempercepat

denyut nadi, meningkatkan tekanan darah, perasaan mudah marah, gangguan

komunikasi, dan menurunkan gairah kerja (Habsari, 2003).


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Makalalag,

Kalesaran, dan Kawatu di PT. Gapura Angkasa Manado tahun 2017

didapatkan hasil yang signifikan antara hubungan intensitas kebisingan

dengan kelelahan pada tenaga kerja Ground Handling. Hasil penelitian yang

diperoleh tenaga kerja yang terpapar intensitas kebisingan > 85 dB yaitu

sebanyak 21 orang mengalami Kelelahan Sedang dan 3 orang mengalami

kelelahan berat, sedangkan tenaga kerja yang terpapar intensitas kebisingan ≤

85 dB yaitu sebanyak 13 orang mengalami kelelahan ringan, 5 orang lelah

sedang dan 3 orang lelah berat dengan nilai p = 0,000 (α < 0,05).

Menurut hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bagian

produksi di PT. EPATA para pekerja mengeluhkan kebisingan yang berasal

dari mesin produksi dan didapatkan paparan bising sebesar 90 dBA. Dari hasil

studi pendahuluan tersebut peneliti tertarik mengambil judul Hubungan

Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja dengan kejadian Noise Induced

Hearing Loss Pada Pekerja di PT. EPATA

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Uraian diatas, maka peneliti membuat rumusan masalah

sebagai berikut : “Bagaimana Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa

Kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA ?”


C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja dengan

kejadian Noise Induced Hearing Loss Pada Pekerja di PT. EPATA.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran Noise Induced Hearing Loss pada pekerja di

PT. EPATA

b. Mengetahui gambaran intensitas kebisingan pada pekerja di PT.

EPATA

c. Mengetahui hubungan antara masa kerja dengan Noise Induced

Hearing Loss pada pekerja di PT. EPATA

d. Mengetahui hubungan antara intensitas kebisingan dengan Noise

Induced Hearing Loss pada pekerja di PT. EPATA

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta dapat

memberikan informasi khususnya di Bagian produksi PT. EPATA

b. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dikembangkan sebagai

tambahan referensi guna memberikan masukan data dan informasi


yang digunakan sebagai bahan pustaka untuk peneliti selanjutnya

mengenai penurunan ambang pendengaran.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan PT. EPATA sebagai

informasi, masukan dan acuan untuk program intervensi dalam

meningkatkan pengendalian kebisingan di tempat kerja.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Noise Induced Hearing Loss

Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) sering dijumpai pada

pekerja industri di negara maju maupun negara berkembang, terutama negera

industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam upaya meningkatkan

pembangunan banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan

mempermudah pekerjaan. Akibatnya, timbul bising lingkungan kerja yang dapat

berdampak buruk terhadap para pekerja. Menurut OSHAS (Occupational Health

and Safety Assesment Series) batas aman pajanan bising bergantung pada lama

pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberpa

faktor lain. Di Indonesia khususnya dan negara lain umumnya, pajanan bising

yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas

bising tidak melebih 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Soeripto,

2008).

Gangguan pendengaran akibat bising adalah penyakit akibat kerja yang

sering dijumpai di banyak pekerja industri, gangguan pendengaran tersebut

biasanya mengenai nada tinggi dan terdapat takik di frekuensi 4000 Hz pada
gambaran audiogramnya. Pada tahap awal gangguan itu hanya dapat dideteksi

dengan pemeriksaan audiometri. Gejala awal biasanya adanya keluhan

berdenging di telinga. gangguan pendengaran akibat bising dapat ringan sampai

berat akibat pajanan bising yang berlangsung.

Noise Induced Hearing Loss adalah hilangnya sebagian atau seluruh

pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua

telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Noise Induced Hearing Loss antara lain :

1. Intensitas kebisingan

2. Frekuensi kebisingan

3. Lamannya waktu pemaparan bising

4. Massa kerja

5. Kerentanan individu

6. Jenis kelamin

7. Usia

8. Kelainan di telinga tengah

Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti di koklea terutama sel-sel

rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang

menunjukan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan

lamanya paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku

sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi.


Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih

banyak kerusakan seperti hilangnya streosilia. Daerah yang pertama kali terkena

adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan

digantikan oleh jaringan parut.

Mekanisme yang mendasari NIHL diduga berupa adanya stres mekanis

dan metabolik pada organ sensorik pada organ sensorik audiotorik bersamaan

dengan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti didalam

koklea. Kehilangan sel sensorik pada daerah yang sesuai dengan frekuensi yang

terlibat adalah penyebab NIHL yang paling penting. Kepekaan terhadap stres

pada sel rambut luar ini berada dalam kisaran 0-50 dBA, sedangkan untuk sel

rambut dalam di atas 50 dBA. Biasanya dengan terjadinya TTS, ada kerusakan

bermakna pada sel rambut luar. Frekuensi yang sangat tinggi lebih dari 8 KHz

mempengaruhi dasar koklea.

Gangguan pendengaran akibat bising dapat terjadi secara mendadak atau

perlahan, dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari

oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang

pendengaran, biasanya sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan

(irreversible). Pada kasus-kasus tertentu, gangguan pendengaran akibat bising

mulai berlangsung antara 6 sampai 10 tahun lamanya setelah terpajan bunyi yang

keras.

Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars piramida tulang temporal

dan terdiri dari koklea, vestibulum dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea
merupakan bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang

temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris yang merupakan struktur

yang mengandung sel-sel reseptor pendengaran, terbentang dari basis sampai

apeks koklea.

Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi, akan dihantarkan melalui

udara sehingga mencapai aurikula. Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah

melalui meatus akustikus eksternus dan akan menggetarkan membran timpani.

Disini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB pada frekuensi antara 2 sampai 5

kH. Selanjutnya getaran bunyi akan melalui media padat yaitu tulang-tulang

pendengaran. Dalam perjalanannya getaran bunyi akan mengalami penguatan

melalui efek pengungkit rantai tulang pendengaran yang memberikan penguatan

sebesar 1,3 kali dan efek hidrolik membran timpani sebesar 17 kali. Total

penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB. Penguatan bunyi ini

diperlukan agar bunyi mampu merambat terus ke perilimfe. Getaran bunyi yang

telah diperkuat selanjutnya menggerakkan stapes yang menutup foramen ovale.

Pada frekuensi sonik gerakan perilimfe dalam skala vestibuli menyebabkan

getaran langsung ke arah skala media dan menekan membran basilaris.

Gerakan membran basilaris akan menyebabkan gesekan membran tektoria

terhadap rambut sel-sel sensoris. Pergerakan sel rambut menyebabkan perubahan

kimiawi yang akhirnya menghasilkan listrik biologik dan reaksi biokimiawi pada

sel sensorik sehingga timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung saraf

VIII yang menempel pada dasar sel sensorik akan menampung mikroponik yang
terbentuk. Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju ganglion spiralis korti,

saraf VIII, nukleus koklearis di medula oblongata, kolikulus superior, korpus

genukulatum medial, kkorteks auditori di lobus temporalis serebri.

B. Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki, pengaruh gangguan

kebisingan tergantung kepada intensitas dan frekuensi nada. Contoh : frekuensi

yang lebih tinggi akan lebih menggangu dari pada frekuensi yang lebih rendah.

Nada atau bunyi tunggal lebih mengganggu dari pada bunyi yang terdiri dari

beberapa nada (Soeripto, 2008). Kebisingan yaitu suara atau bunyi yang tidak

dikehendaki karena pada tingkat atau intensitas tertentu dapat menimbulkan

gangguan, terutama merusak alat pendengaran (Ramdan, 2013).

Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat

menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan

dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia bising adalah semua

suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau

alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan

pendengaran. Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan

adalah semua bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat menganggu

kesehatan dan keselamatan (Anizar, 2012).

1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan pendengaran


Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan pendengaran

berhubungan dengan terpaparnya kebisingan. Bagian yang paling penting

adalah:

a. Intensitas Kebisingan

b. Jenis kebisingan

c. Lamanya terpapar per hari

d. Jumlah lamanya terpapar (dalam Setahun)

e. Usia yang terpapar

f. Masalah yang telah diderita sebelumnya

g. Lingkungan yang bising

h. Jarak pendengaran dengan sumber bising.

Dikarenakan faktor yang bervariasi ini, yang paling berbahaya adalah

tingkat suara, frekuensi, lama terpapar, dan penyebarannya. Telinga manusia

yang tidak dilindungi sangat berbahaya jika terpapar suara dengan intensitas

lebih dari 115 dB. Jika masih di bawah 80 dB pendengar masih berada pada

tahap aman. Jika terpapar kebisingan diatas 80 dB terlalu lama harus

dilindungi dengan alat pelindung diri (APD).

Untuk mengurangi resiko kehilangan pendengaran, harus dibatasi

selama maksimal delapan jam dengan kebisingan sekitar 90 dB. McDonalds

menyatakan peraturan umum yang perlu kita ketahui jika kita berada pada

tempat kerja yang bising :


a. Terpapar kurang dari 80 dB dapat dinyatakan dalam tahap aman yang

bertujuan menghindari resiko.

b. Pada tingkat 90 dB dinyatakan sebagai tahap maksimum untuk terpapar

secara langsung selama 8 jam per hari tanpa menggunakan alat pelindung

apapun.

c. Terpapar secara terus menerus pada tingkat 115 dB atau lebih tinggi tidak

dianjurkan.

d. Impulse noise harus dibatasi hingga 140 dB per 8 jam perhari untuk

pemaparan terus menerus.

2. Jenis-jenis Kebisingan

a. Bising kontinu

Bising kontinu yaitu suara bising yang berlangsung terus-menerus,

biasanya intensitas dan sprektumnya konstan, sehingga paling mudah

untuk menentukan amplitudo, frekuensi, dan lama pajanannya.

Kebanyakan tempat kerja didominasi dengan bising jenis ini.

b. Bising Terputus-putus

Bising terputus-putus adalah bising yang dihasilkan beberapa kali

dengan jeda waktu , intensitasnya mungkin sama atau berbeda, misalnya

bunyi dering telepon, bunyi pesawat yang lepas landas dan mendarat.

c. Bising impulsif

Bising dengan satu atau beberapa puncak intensitas yang sangat

tinggi, misalnya dihasilkan oleh suara ledakan tunggal yang sangat keras
atau ledakan yang berurutan dengan puncak intensitas bunyi yang

multiple, seperti bunyi ketukan pemancangan tiang beton, dan bunyi

ketukan palu bertekanan udara.

Bising yang kontinuitas lebih berbahaya bila dibandingkan dengan

bising terputus-putus, tetapi dari keseluruhannya yang paling berbahaya

adalah bising impulsif.

3. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja

Kebisingan dapat menyebabkan berbagai pengaruh terhadap tenaga

kerja, seperti : pengaruh fisiologi, pengaruh psikologis berupa gangguan

(mengganggu atau annoying), pengaruh pada komunikasi dan pengaruh yang

paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian.

a. Pengaruh Fisiologi

Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-

lebih yang terputus-putus atau yang datang secara tiba-tiba dan tidak

terduga dapat menimbulkan reaksi fisiologis seperti: peningkatan tekanan

darah (± 10 mmHg), peningkatan denyut nadi, basal metabolisme,

gangguan tidur, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada kaki dan

tangan, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta gangguan

refleks.

Reaksi ini terutama terjadi pada permulaan pemajanan terhadap

bising, yang kemudian akan kembali pada keadaan semula. Apabila terus-
menerus terpajan bising, maka akan terjadi adaptasi sehingga perubahan

itu tidak nampak lagi.

Kebisingan ini dapat menimbulkan gangguan fisiologi melalui 3

cara :

1) Internal Body system yaitu sistem fisiologi yang penting untuk

kehidupan seperti :

a) Cardiovascular

b) Gastro Intestinal

c) Syaraf

d) Musculoskeletal

e) Endocrine

Stimulasi (rangsangan) kebisingan kepada serabut syaraf secara tidak

langsung mengenai sistem di atas. Suara ledakan dapat menimbulkan :

a) Konstruksi pada pembuluh darah

b) Meningkatkan denyut nadi

c) Kelelahan

d) Pusing kepala

e) Gangguan keseimbangan

Pengaruh ini umumnya bersifat sementara, dan sampai derajat

tertentu dapat terjadi adaptasi, sebenarnya proses adaptasi sendiri

adalah indikasi daripada perubahan fungsi tubuh, oleh karenanya tidak

begitu disukai.
Kebisingan yang tinggi juga dapat mengubah ketetapan dari

koordinasi gerakan, memperpanjang waktu reaksi, menaikan respone

time. Kesemuanya itu tadi dapat berakhir dengan Human error.

2) Ambang Pendengaran

Ambang pendengaran adalah suara terendah yang masih dapat

didengar. Makin rendah tingkat suara yang terlepas yang dapat berarti

makin rendah Nilai Ambang Pendengaran (NAP). Hal ini berarti

semakin baik pula telinganya.

Kebisingan dapat mempengaruhi Ambang Pendengaran, Pengaruh

ini bersifat sementara (fisiologis) ataupun bersifat menetap (patologis).

3) Pola Tidur

Kebisingan dapat mengganggu tidur terhadap :

a) Kelelapannya

b) Kontinuitasnya

c) Lamanya

d) Recooperative value, kalau seseorang tidak bisa tidur atau

terganggu tidurnya, maka akan gampang marah, berperilaku

emosional, terjadinya pergeseran shift daripada nyenyaknya tidur

dapat menimbulkan kelelahan.

b. Pengaruh psikologis

Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan reaksi

psikologis, menimbulkan rasa khawatir, jengkel dan lain-lain. Yang


dimaksud dengan stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk

berfungsi atau bertindak normal. Kebisingan memang tidak dapat

menimbulkan mental illness, namun dapaet memperberat problem mental

yang sudah ada. Reaksi psikologis yang timbul dari kebisingan adalah

mudah marah, mudah tersinggung, gugup atau nervousitas, dan

mengganggu.

Reaksi terhadap annoyance ini sering menimbulkan keluhan

masyarakat terhadap kebisingan dari pabrik atau lapangan terbang.

Umumnya kebisingan lingkungan masyarakat di luar pabrik yang

melebihi 50-55 dB pada siang hari atau 45-55 dB akan mengganggu

lingkungan.

Suatu penyelidikan yang dilakukan pada para tenaga kerja di industri

baja yang terpajan bising ternyata lebih aggresive distrustful, mudah

curiga dan mudah tersinggung daripada tenaga kerja yang bekerja di

lingkungan yang tenang.

c. Annouyance

Suatu kebisingan dikatakan mengganggu (Annoying), bila pemajanan

terhadap kebisingan menyebabkan orang tesebut mengurangi, menolak

bising tersebut atau meninggalkan tempat yang bising bila mungkin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya annoyance ini:

1) Faktor penyerap utama/ Primary acoustic factor

a) Tingkat intensitas suara (bising)


b) Frekuensi

c) Waktu

2) Faktor bukan kedua/Secondary acoustic factor

a) Spectral complexity

b) Fluktuasi tingkat intensitas suara (bising)

c) Rise time dari bising

d) Lokalisasi dari sumber bising

3) Faktor bukan penyerap/non acoustic factor

a) Physiologi

b) Adaptasi dan pengalaman

c) Aktivitas

d) Predictability itu penting baginya

e) Perbedaan individu dan kepribadiannya

Annoyance sering dihubungkan dengan Comunnity noise yang oleh

rose blit dibuat suatu noise rating untuk bising dilingkungan pemukiman

(rasidensial noise) dan diklasifikasikan sebagai kelas A (rendah) sampai

dengan H (tinggi) pada Noise rating harus dilakukan berbagai koreksi

seperti :

1) Karakteristik spectrum

2) Ada tidaknya suara impulsif

3) Backgroud noise: suburb, residesial, Industrial

4) Waktu
5) Adaptasi conditioning

Hasil dari “noise rating” ini, kemudian dihubungkan dengan reaksi

masyarakat setempat.

d. Gangguan Komunikasi

Gangguan jenis ini dapat disebabkan oleh masking effect dari

kebisingan dan gangguan kejelasan suara. Sebagai pegangan resiko

potensial kepada pendengaran terjadi apabila komunikasi pembicaraan

harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini

menyebabkan terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru.

Gangguan komunikasi secara tidak langsung akan mengakibatkan

bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak

mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya, disamping itu dapat

menurunkan mutu pekerjaan dan produktivitas kerja.

e. Pengaruh kebisingan kepada performance kerja

1) Weston menemukan bahwa terjadi kenaikan produktivitas sebesar

10% pada pabrik tekstil, diaman kebisingannya dikurangi dari 96 dB

menjadi 87dB.

2) Lindah menemukan kenaikan penampilan tenaga kerja pada industri

alat-alat listrik setelah dilakukan pemasangan akustik pada dinding

dan atap ruangan untuk mengurangi kebisingan dalam ruang kerja.

3) Jerison mengatakan bahwa adanya penurunan performance vigilance

task oleh pengaruh bising.


4) Mental tasknya juga menngalami penurunan performance

f. Ketulian

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh

kebisingan, maka yang paling serius adalah gangguan terjadi ketulian.

1) Ketulian sementara

Akibat pajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi, tenaga

kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya

sementara. Apabila keadaan tenaga kerja diberikan waktu istirahat

secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang

dengar semula.

2) Ketulian menetap

Ketulian menetap oleh karena pemajanan terhadap intensitas

kebisingan yang tinggi dengan jangka waktu yang lama. Ketulian

menetap terjadi sebagai akibat oleh proses pemulihan yang tidak

sempurna. Umumnya penurunan daya dengar (terjadinya ketulian

menetap) terjadi pelan-pelan dan bertahap sebagai berikut :

a) Tahap pertama, timbul setelah 10-20 hari terpajan bising, tenaga

kerja mengeluh telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja.

b) Tahap kedua, keluhan telinga berbunyi secara Intermittent (sekali-

sekali), sedangkan keluhan subjektif lainnya menghilang. Tahap

ini dapat berlangsung beberapa bulan sampai bertahun-tahun.


c) Tahap ketiga, tenaga kerja sudah merasa gangguan pendengaran

yaitu tidak dapat mendengar detak jam, tidak mendengar

percakapan terutama bila ada suara lain.

d) Tahap keempat, gangguan pendengaran bertambah jelas sehingga

sulit berkomunikasi.

Waktu terjadinya ketulian yang menetap ini memang cukup lama,

umumnya tenaga kerja tidak tahu secara tepat kapan mulai tuli dan

ini diperngaruhi oleh banyak faktor:

a) Tingginya intensitas kebisingan

b) Lamanya pemajanan

c) Spektrum suara

d) Temporal pattern dari pemajanan

e) Kepekaan individu

f) Pengaruh obat-obatan

g) Keadaan kesehatan telinga

g. Acoustic Trauma

Acoustic Trauma disebabkan oleh karena terpajan kepada suara

impulsif dengan intensitas tinggi, seperti letusan senjata, ledakan dan

lain-lain.

4. Pengukuran Kebisingan

Dalam beberapa industri terdapat berbagai intensitas kebisingan,

misalnya pada:
a. 85-100 dB Biasanya terdapat pada pabrik tekstil, tempat kerja mekanis

seperti mesin penggilingan, penggunaan udara bertekanan, bor listrik,

gergaji mekanis.

b. 100-115 dB Biasanya terdapa pada pabrik pengalengan, ruang ketel,

drill.

c. 115-130 dB biasanya terdapat pada mesin-mesin diesel besar, mesin

turbin pesawat terbang dengan mesin turbo, compressor isirine.

d. 130-160 dB biasanya terdapat pada mesin-mesin jet, roket peledakan.

Mengadakan peninjauan berkaitan dengan pengukuran tingkat

kebisingan di berbagai tempat yang berbeda di tempat kerja. Alat yang

biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan adalah Sound level

meter dan dosimeter. Sebuah sound level meter menghasilkan pembacaan

langsung yang menyatakan tingkat kebisingan di berbagai tempat yang

spesifik dalam waktu yang singkat. Dosimeter memberikan rata-rata waktu

pemaparan. Dosimeter alat yang paling sering digunakan karena dosimeter

mengukur jumlah pemaparan, yang mana telah memenuhi standar yang

ditetapkan oleh badan OSHA (Occupation Safety and Health Administration)

dan ANSI (America National Standards Institute).

Menggunakan sebuah dosimeter di berbagai daerah kerja dan

memberikan dosimeter pada satu atau labih pekerja adalah anjuran ke depan

untuk menjamin keakuran pembacaan.


5. Alat pengukur kebisingan

Ada 2 cara untuk mengukur tingkat kebisingan di tempat kerja, yaitu:

a. Instrumen pembaca langsung disebut juga “sound level meter” yang

beraksi terhadap suara atau bunyi, mendekati kepakaan telinga manusia.

Alat ini dipakai untuk mengukur tingkat kebisingan pada saat tertentu.

Biasanya alat ini digunakan untuk mengidentifikasi tempat-tempat yang

tingkat kebisingannya lebih tinggi dari aturan batas maksimum yaitu 85

dB. Alat ini terdiri dari microphone, alat penunjuk elektronik, amplifier, 3

skala pengukuran A,B,C.

1) Skala pengukuran A : Untuk memperlihatkan perbedaan kepekaan

yang besar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi

teling untuk intensitas rendah.

2) Skala pengukuran B : Untuk memperlihatkan kepekaan telinga untuk

bunyi dengan intensitas sedang.

3) Skala pengukuran C : Untuk skala dengen intensitas tinggi.

Ada 2 jenis sound level meter yang sering digunakan yaitu:

1) Pocket Sound Level Meter type 2205, tipe ini dapat untuk pengukuran

pada skala A,B dan C.

2) Precision Sound Level Meter type 2203, type ini lebih besar dari tipe

2205 dan dapat untuk pengukuran yang lebih teliti di samping dapat

dilengkapi dengan filter untuk frekuensi.


b. Pemeriksaan audiometri pada program pencegahan gangguan

pendengaran akibat bising, sebaiknya mengikuti peraturan yang telah

ditetapkan. Perlu dilakukan kalibrasi alat, kalibrasi proof room, persiapan

pekerja yang diperiksa, pemeriksaan yang terlatih.

Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran, menggunakan audiometer

nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan dan mudah di

kontrol. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah yang

ditujukan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi

rendahnya suatu bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan

keras lemahnya suatu bunyi disebut intensitas deccibell (dB). Terdapat

tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometri yaitu alat audio metri

yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan

keterampilan pemeriksaan yang handal. Syarat pemeriksaan audiometri :

1) Orang yang diperiksa kooperatif

2) Tidak sakit

3) Mengerti instruksi

4) Dapat mendengarkan bunyi di telinga

5) Sebaiknya bebas pajanan bising sebelumnya minimal 12-14 jam

6) Alat audiometri sudah dikalibraasi

7) Pemeriksa mengerti cara penggunaannya

8) Sabar dan telaten


9) Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kedap suara maksimal 40

dB

Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari

cara pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri

yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan

belum berpengalaman. Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi

klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki cukup pengetahuan yang

memadai.

Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus

dapat memberikan instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya

dengan menganjurkan mengangkat tangan/ telunjuk bila mendengar bunyi

nada atau mengatakan ada/tidaknya bunyi, atau dengan menekan tombol.

Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat

dan nyaman. Responden duduk di kursi, menghadap 30º dari pemeriksa

sehingga tidak dapat melihat pemeriksaannya. Pemberian sinyal

dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti gambaran

audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat pada

audiogram, memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction

untuk menentukan jenis ketulian, serta mengerti prosedur rujukan dan

peran teknisi audiometrik.

Persyaratan penilaian audiogram anamnesis bising sebaiknya sudah

lengkap, otoskopi harus sudah dilakukan sebelumnya, bila ada serumen


harus sudah dibersihkan, melalui evaluasi keadaan membran timpani dan

refleks cahaya. Alat audiometer sudah dikalibrasi dengan baik.

6. Identifikasi sumber bising di tempat kerja

Survei bising adalah pengukuran derajat kebisingan pada suatu lokasi

tempat kerja. Tata cara pelaksanaan survei bising adalah sebagai berikut :

a. Survei awal sumber bising

Survei awal sumber bising tidak dimaksudkan untuk mengetahui

derajat dan lamanya pajanan bising yang membahayakan di suatu lokasi

tempat kerja. Dengan demikian, survei awal sumber bising perlu

dilaksanakan pada lokasi kerja yang diindikasikan terpajan bising yang

membahayakan, misalnya di suara yang normal, atau bila terdapat

beberapa pekerja yang menderita kurang pendengaran beberapa jam

setelah pajanan bising.

b. Survei bising definitif

Dari hasil survei awal sumber bising dapat ditentukan lokasi tempat

kerja yang memerlukan perhatian khusus. Selanjutnya perlu dilaksanakan

survei bising definitif dengan tujuan :

1) Memperoleh informasi pasti mengenai besarnya derajat bising di

masing-masing lokasi tempat kerja yang dapat membahayakan

pekerja, sehingga diyakini para pekerjanya membutuhkan alat

pelindung diri terhadap pajanan bising.


2) Mengidentifikasi mesin atau peralatan yang menghasilkan derajat

kebisingan tinggi sehingga diyakini para pekerjanya membutuhkan

pengukuran derajat kebisingan dengan instrumen audiometri.

3) Mengidentifikasi para pekerja yang terpajan derajat kebisingan tinggi,

sehingga membutuhkan tes pendengaran.

4) Merencanakan pedoman pengendalian teknik dan/atau pengandalian

administratif.

5) Memastikan bahwa peraturan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan

kerja yang ditetapkan pemerintah telah dilaksanakan dengan baik.

Pelaksanaan survei bising harus menggunakan sound level meter

yang memenuhi standar ANSI SI.4-1971/R.1976 yang diatur pada

skala A, respons lambat di sekeliling mesin atau peralatan yang

diperkirakan menghasilkan derajat kebisingan tinggi. Survei ini

dilaksanakan melalui 3 tahap proses berikut.

a) Pengukuran daerah/ lokasi kebisingan, derajat bising pada titik

pusat daerah kebisingan diukur secara reguler untuk menentukan

derajat bising maksimal dan minimal. Makin banyak titik

pengukuran dilaksanakan, hasil pengukuran akan makin akurat.

b) Pengukuran tempat kerja, untuk mengevaluasi para pekerja yang

bekerja pada daerah kebisingan dengan derajat bising maksimal

80-92 dB, dibutuhkan pengukuran masing-masing pekerja di

tempat/meja kerjanya, jika derajat bising maksimal tidak pernah


kurang dari 90 dB, dapat diindikasikan bahwa pekerja di tempat ini

bekerja dalam kondisi lingkungan kerja dengan derajat bising yang

membahayakan. Namun, bila derajat bising maksimal tidak lebih

dari 85 dB, kondisi lingkungan masih dianggap aman.

7. Pengendalian Bahaya Kebisingan

a. Pengendalian kebisingan pada sumber

Memodifikasi sumber adalah solusi yang paling tepat. Kebisingan

berasal dari sumber dan jika suara yang dihasilkan bisa dikurangi atau

bahkan dihilangkan maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dalam

hal pengontrolan di penghubung dan penerima. Tetapi dalam hal

memodifikasi sumber, banyak hal yang harus diperhatikan dan ini tidaklah

mudah tetapi bukan tidak mungkin juga.

Pengontrolan suara dapat dilakukan dengan berbagai cara

antara lain :

1) Menutup sumber (mengisolir sumber kebisingan)

2) Mengubah desain peredam suara pada sumber

3) Menurunkan tingkat kebisingan pada sumber

4) Pemilihan dan pemasangan mesin dengan tingkat kebisingan rendah

5) Pemeliharan dan pelumasan mesin-mesin dengan teratur

6) Penggunaan bahan-bahan peredam suara, menyekat sumber bising

7) Membuat perubahan pada peralatan yang sudah ada


8) Mengganti proses sehingga peralatan dengan suara yang lebih kecil

dapat digunakan.

Apabila tingkat kebisingan sudah di atas 85 dB untuk shift 8 jam,

40 jam perminggu maka koreksi dapat dilakukan dengan cara melakukan

penanaman pohon-pohon dan pengaturan tata letak ruangan harus

sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kebisingan. Menempatkan

sumber bunyi sedemikian rupa sehingga terpisah dengan ruang dimana

tenaga kerja berada, bekerja dengan menggunakan pemisah terbuat dari

bahan/konstruksi yang dapar mengurangi pelajaran suara baik berupa tabir

atau ruangan tertutup.

b. Pengendalian kebisingan pada penghubung

Dalam berbagai situasi dan kondisi misalnya jika peralatan sudah

ada maka tidak mungkin lagi untuk memodifikasi mesin yang merupakan

sumber suara. Dalam hal ini, hal yang mungkin dilakukan adalah

mengubah jalur penerus gelombang suara (acoustic transmission path)

yang digunakan antara sumber suara dan penerima atau pendengar. Yaitu:

1) Memindahkan sumber jauh dari pendengaran.

2) Menambah suara pada jalur yang dilaluinya sehingga lebih banyak

suara yang diserap ketika suara merambat ke pendengar.

Pengontrolan suara pada penghubung membutuhkan modifikasi

antara sumber dan penerima. Secara tidak langsung dapat digunakan

bahan yang bersifat menyerap di permukaan materi untuk menyerap


energi suara tersebut. Bahan-bahan tersebut diantaranya adalah karet,

bahan dari logam, gabus dan udara.

Secara langsung, konstruksi barrle denngan menggunakan

material yang tidak dapat ditembus sehingga suara yang dihasilkan

memantul kembali ke sumber. Dinding penghalang terletak antara sumber

suara dan penerima yang berfungsi untuk mereduksi suara langsung yang

diterima oleh pendengar. Dinding penghalang yang terbuat dari bahan

penyerap suara dapat mengurangi suara yang bergaung dengan

meningkatkan daya penyerapan tersebut.

Dinding penghalang ini biasanya berguna untuk mereduksi

suara langsung yang berasal dari satu arah saja. Dinding penghalang ini

terdiri dari dinding beton yang keras tetapi asbes, lempeng logam dan

plastik dengan masa jenis yang tinggi juga telah digunakan sekarang ini.

Perbedaan mendasar di dua konsep yang berbeda menggunakan bahannya

ini tidak dapat diutamakan karena tidak lebih efisien daripada

pengontrolan langsung pada sumbernya.

c. Pengendalian suara pada penerima

Penerima suara adalah telinga manusia dan sangat disayangkan

tidak ada yang dilakukan untuk mengontrol suara yang diterima. Jika

semua usaha yang dilakukan untuk mengurangi intensitas kebisingan tidak

berhasil maka hanya tinggal beberapa cara saja. Tetapi jika tingkat suara

tersebut sangat tinggi dan tidak bisa dikurangi lagi, maka satu-satunya
cara adalah tidak meletakan pekerja di area tersebut dan menggunakan

metode remote control untuk mengoperasikan mesin yang ada.

Metode yang lain adalah dengan mengoperasikan mesin dalam

sebuah ruangan yang dibatasi sekat dinding jendela. Ruang operator

adalah ruangan yang memiliki tiga atau empat dinding perintang. Operator

hanya berada diruangan tersebut pada saat hendak menjalankan ataupun

mengawasi mesin. Oleh karena itu, metode ini dapat mengurangi lamanya

waktu operator terkena bising tanpa menggunakan alat pelindung diri.

Pengontrolan kebisingan secara langsung pada telinga dengan

menggunakan earplug dan earmuff dapat sangat efektif di lingkungan

industri. Meskipun demikian ternyata penggunaan alat pelindung diri ini

pun menimbulkan masalah. Masalah yang ditimbulkan antara lain yaitu

suara peringatan (emergency sounds) mungkin tidak terdengar serta

ketidaknyamanan dalam pemakaiannya.

Ketika alat pelindung telinga harus dipakai, maka juga harus

ada sosialisasi dan pendidikan kepada pekerja agar pekerja memahami

bahaya apa yang ditimbulkan dan cara pemakaian yang benar.

Penggunaan alat pelindung diri ini tidaklah nyaman sehingga merupakan

pilihan terakhir jika tidak ada metode lain lagi yang dapat digunakan.
8. Pengurangan Waktu Pemaparan

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/ MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan

Kerja Perkantoran dan Industri maka lamanya pemaparan yang diizinkan yaitu

sebagaimana terdapat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Waktu paparan dan intensitas kebisingan

Waktu Pemaparan per Intensitas Kebisingan


Hari dB (A)
4 Jam 88
2 91
1 94
30 Menit 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 Detik 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Sumber: threshold Limit Values for Chemical Substances
and Physical Agents in the Workroom Environment with
Intended Change for 1996

Beberapa peraturan yang harus dipenuhi adalah :

a. Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dB, walaupun sesaat.


b. Bila pekerja terpapar pada beberapa tempat dengan tingkat kebisingan

yang berbeda, harus diperhatikan efek kombinasinya bukan efek satu per

satu.

c. Bila kebisingan pada suatu tempat kerja adalah 115 dB atau lebih, maka

tenaga kerja tersebut tidak boleh masuk ke dalam tempat kerja tersebut

tanpa menggunakan alat pelindung yang tepat.

d. Bila terdapat bunyi impulsif dengan tingkat kebisingan lebih dari 130 dB

atau bunyi yang bersifat “fast” dengan tingkat kebisingan 120 dB maka

alat pelindung telinga harus dipakai.

e. Tidak seorangpun boleh memasuki area dengan tingkat kebisingan 140 dB

dan harus dipasang tanda peringatan.

C. Hubungan kebisingan dengan penyakit NIHL

Kebermaknaan hasil pada penelitian yaitu jumlah yang menderita NIHL

sesuai dengan lama masa kerja para pekerja dipengaruhi oleh faktor yang paling

penting yaitu intensitas kebisingan di lingkungan home industry >105 dB dengan

lama kerja per hari adalah 8 jam.

Menurut May (2000), intensitas bising yang sangat tinggi (>100 dB)

memberikan impuls kebisingan secara mekanik untuk merusak organ telinga

bagian tengah dan telinga bagian dalam. Menurut Leesen (2010) mengenai

penelitian retrospektif terhadap kejadian NIHL di Ducth Contrution Industry

bahwa semakin tinggi intensitas kebisingan maka angka kejadian NIHL juga

tinggi.
Bising dengan intnsitas yang tinggi dan dalam waktu yang lama yaitu antara

10-15 tahun akan mengakibatkandestruksi total organ corti. Intensitas bunyi yang

sangat tinggi dan dalam waktu yang cukup lama mengakibatkan perubahan

metabolisme dan vaskuler yang dapat menyebabkan kerusakan degeneratif pada

struktur sel-sel rambut dalam organ corti. Organ corti yang rusak mengakibatkan

kehilangan pendengaran yang permanen. Pada audiometri diagnosis NIHL

ditunjukan adanya penurunan pendengaran pada frekuensi antara 3000-6000 Hz

dan kerusakan organ corti untuk reseptor bunyi yang berat terdapat pada

frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Proses ketulian bersifat lambat dan tersembunyi,

sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh pekerja.

D. Masa Kerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di

suatu tempat kerja (Budiono, 2013). Tenaga kerja mempuyai kepuasan kerja

yang terus meningkat sampai masa kerja 5 tahun, kemudian mulai terjadi

penurunan sampai masa kerja 8 tahun. Tetapi kemudian setelah tahun kedelapan

kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan meningkat (suma’mur, 2014).

Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif, akan

memberikan pengaruh positif bila semakin lama seseorang bekerja maka akan

berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya akan memberikan

pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan dan

kebosanan. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia
telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Ramdan,

2013).

Menurut (Budiono, 2013) masa kerja dapat dikategorikan sebagai berikut :

1) Massa kerja baru (≤ 5 tahun)

2) Masa kerja lama (> 5 tahun)

Massa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif maupun

negatif. Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja bila dengan

lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman dalam

melakukan pekerjaanya, Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif

apabila semakin lama seseorang bekerja maka menimbulkan kebosanan dan

kelelahan kerja yang akan berujumg pada penurunan produktivitas (budiono,

2013).
E. Kerangka Teori

Intensitas Kebisingan
Jenis Kebisingan
Lamanya Pemaparan
Massa Kerja
Usia Terpapar Noise Induced Hearing
Masalah Yang Diderita Sebelumnya Loss
Lingkungan Yang Bising
Jarak Pendengar Dengan Sumber Bising

Sumber : (Soeripto, 2008 dan Budiono, 2013)

Gambar 2.1 Kerangka Teori


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Noise induced hearing loss (NIHL) dapat terjadi pada manusia

diakibatkan oleh bising yang umumnya mengacu pada tingkat pendengaran

dimana individu tersebut mengalami kesulitan untuk melaksanakan

kehidupan normal,biasanya dalam hal memahami pembicaraan (Lubis dalam

Lianasari, 2010).

Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya noise induced

hearing loss (NIHL) akibat kebisingan pada pekerja yaitu intensitas

kebisingan yang tinggi, masa kerja, umur dan penggunaan alat pelindung diri

earplug.

Menurut May (2000), intensitas kebisingan yang sangat tinggi (>100

dB) memberikan impuls kebisingan secara mekanik untuk merusak organ

telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Menurut Leesen (2010)

mengenai penelitian retrospektif terhadap kejadian NIHL di Ducth

Contruction Industry bahwa semakin tinggi maka angka kejadian NIHL juga

tinggi.

Bising dengan intensitas yang tinggi dalam kurun waktu yang lama

yaitu antara 10-15 tahun akan mengakibatkan destruksi total organ corti.
Intensitas bunyi yang sangat tinggi dan dalam waktu yang cukup lama

mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler yang dapat

menyebabkan kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambur dalam

organ corti. Organ corti yang rusak mengakibatkan kehilangan pendengaran

yang permanen. Proses ketulian bersifat lambat dan tersembunyi, sehingga

pada tahap awal tidak disadari oleh pekerja.

Berdasarkan dari uraian latar belakang, tujuan dan tinjauan pustaka

yang tealah dijelaskan sebelumnya maka dapat digambarkan kerangka

konsep sebagai berikut :

2. Kerangka Konsep

Intensitas kebisingan

Noise Induced Hearing Loss

Masa kerja

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3. Rancangan penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi analitik dengan

rancangan penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional, yaitu suatu

rancangan penelitian observasional yang dilakukan untuk mengetahui


hubungan variabel independen dengan variabel dependen dimana

pengukurannya dilakukan pada satu saat (serentak) (Budiman,2011).

Kelebihan dari penelitian ini adalah kemungkinan penggunaan

populasi dari masyarakat umum, relatif murah, mudah dan hasilnya cepat

diperoleh, dapat dipakai untuk meneliti sekaligus banyak variabel.

Kekurangan dari penelitian ini adalah dibutuhkan subjek yang cukup besar

terutama bila variabel yang dipelajari banyak, tidak praktis untuk meneliti

kasus yang sangat jarang terjadi (Budiman, 2011).

4. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep, maka dapat diajukan suatu hipotesis

alternatif (Ha) sebagai berikut :

a. Ada hubungan intensitas kebisingan dengan terjadinya noise induced

hearing loss (NIHL) pada pekerja di bagian produksi PT. EPATA

b. Adanya hubungan masa kerja dengan penurunan ambang batas

pendengaran pada pekerja produksi di PT. EPATA

5. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel terikat (Dependen Variabel)

Sebagai variabel terikat/dependen dalam penelitian ini adalah noise

induced haering loss (NIHL) pada pekerja di PT. EPATA


b. Variabel Bebas (Independen Variabel)

Sebagai variabel bebas/independen yaitu intensitas kebisingan dan

masa kerja.

6. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi variabel-variabel yang akan

diteliti secara operasional di lapangan. Definisi operasional bermanfaat untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel

yang akan diteliti serta untuk pengembangan instrumen. Dengan definisi

operasional yang tepat maka ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel

yang diteliti menjadi terbatas dan penelitian akan lebih fokus (Riyanto,

2011).

Tabel 3.1.
Definisi Operasional

no Variabel Definisi Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Konsepsional Operasional
1 Noise Suatu individu Audiometri 0. NIHL jika Ordinal
Induced kelainan atau mengalami >25dB
Hearing gangguan kesulitan 1. Normal
Loss pendengaran untuk jika 0-25
(NIHL) berupa melaksanakan dB
penurunan kehidupan
fungsi indera normal,
pendengaran biasanya
akibat dalam hal
terpapar oleh memahami
bising dengan pembicaraan.
intensitas Dalam
yang pengukuran
berlebihan ini dilakukan
terus menerus pada
no Variabel Definisi Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Konsepsional Operasional
dalam waktu frekuensi
lama 1000 Hz. Jika
(Rotinsulu salah satu
dalam teling kiri
Lianasari, maupun
2010) kanan
mengalami
gangguan
maka
semuanya
dinyatakan
gangguan
2 Intensitas Intensitas Bunyi suara Sound level 0. Tidak Ordinal
Kebisingan kebisingan yang Meter Memenuhi
adalah dihasilkan Syarat (>
besarnya oleh mesin 85 dBA)
tekanan atau alat lain 1. Memenuhi
(energi) yang yang syarat
dipancarkan dinyatakan jika (≤ 85
oleh suatu) dalam dBA. dBA.)
sumber bunyi Pengukuran
(Soeripto, ini dilakukan
2008 dengan titik
sampling
secara area,
diarahkan ke
sumber bising
setinggi
telinga
pekerja.
3 Masa Masa kerja Masa kerja Data 0. Masa Ordinal
Kerja adalah responden Kepegawaian kerja lama
lamanya dari pertama PT. EPATA jika ≥5
waktu yang kali masuk tahun
pernah kerja sampai 1. Masa
dijalani saat kerja baru
pegawai atau dilakukannya jika < 5
karyawan penelitian di Tahun
dalam suatu PT. EPATA
kantor atau
no Variabel Definisi Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Konsepsional Operasional
perusahaan
(Winarsunu,
2008).

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai pada bidang

packing di bagian produksi di PT. EPATA yaitu sebanyak 30 orang.

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah jumlah seluruh

pegawai pada bidang produksi di PT. EPATA yaitu sebanyak 30 orang

(Riyanto, 2011).

C. Metode Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber data

Data yang diperlukan dalam penelitian adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan

kuisioner, observasi dengan lembar observasi pengukuran kebisingan dan

audiometri. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak Produksi PT.

EPATA
b. Cara Pengumpulan Data

Cara Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan cara observasi,

wawancara langsung, data sekunder hasil pengukuran kebisingan dan

pengukuran audiometri pada pekerja di PT. EPATA

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sound

level meter dan audiometri.

a. sound level meter

Gambar 3.2 sound level meter

Alat pengukuran kebisingan yang digunakan adalah jenis digital sound

level meter merk Krisbrow KW 06-29 Lo : 25-100 dBA, Hi : 65-130 dBA.

1) Tekan tombol power

2) Cek garis tanda pada monitor untuk mengetahui baterai dalam keadaan

baik atau tidak.

3) Kalibrasi alat dengan kalibrator, sehingga alat pada monitor sesuai

dengan angka kalibrator 3.


4) Pengukuran :

a) Pilih 49elector pada posisi (Fast : kebisingan continue, dan

Slow : kebisingan 49elector49 / terputus-putus)

b) Pilih 50elector range intensitas kebisingan

c) Tentukan lokasi pengukuran

d) Pada setiap pekerja pengukuran dilakukan pengamatan

selama 1 menit sebanyak 6x pembacaan. Hasil pengukuran

adalah angka yang ditunjukan pada monitor

e) Catat hasil pengukuran dan hitung rata-rata kebisingan

f) Alat tulis, seperti buku tulis/kertas dan ballpoint.

b. Audiometri

Gambar 3.3 audiometri

Alat pengukuran audiometri yang digunakan adalah merk

audiometri model DA-800, dengan frekuensi 500, 1000, 2000, 4000,

dan 8000 Hz.

Cara penggunaan alat :

1) Melakukan pengaturan alat dan pasang kabel pada tempatnya


2) Menekan tombol power

3) Pengenalan nada oleh responden

4) Sebelum pengukuran dilakukan, responden terbebas dari

paparan bising selama 15 menit agar didapatkan gambaran

audiogram yang dapat dipercaya.

5) Responden dikenalkan dengan nada yang dikeluarkan oleh

mesin

6) Responden diberikan instruksi bagaimana merespon dalam

pemberian stimulus yang dilakukan dalam pengukuran.

7) Pada proses pengukuran responden menggunakan headset

dengan posisi headset sesuai dengan tulisan kanan atau kiri.

8) Responden diminta mendengarkan nada yang dihasilkan oleh

alat.

9) Responden diminta menekan tombol bila mendengar nada

10) Pemesriksaan pendengaran dilakukan pada frekuensi 1000 Hz.

11) Pada frekuensi 1000 Hz diberikan intensitas bunyi mulai dari

40-50 dB untuk pasien normal, kemudian dinaikan bertahap

dan diturunkan lagi hingga batas dimana responden terakhir

masih bisa mendengar nada yang diberikan.

12) Pemeriksaan dilakukan pada telinga kanan kemudian telinga

kiri

13) Mancatat hasil pemeriksaan pada lembar data.


D. Prosedur Penelitian

1. Tahap Penelitian

a. Membuat perijinan melakukan survei awal/pendahuluan

Peneliti menyerahkan surat ijin penelitian kepada pihak perusahaan

agar bisa melakukan penelitian.

b. Memilih lahan penelitian

Peneliti meng observasi dan memilih tempat penelitian di perusahaan

sesuai dengan topik penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Melakukan izin survei pendahuluan :Stikes Jenderal Achmad Yani

Cimahi, PT. EPATA

Peneliti melakukan survey kondisi di lapangan untuk studi

pendahuluan.

b. Mendapat surat persetujuan penelitian

Peneliti menerima surat persetujuan dari pihak perusahaan untuk

melakukan penelitian.

c. Melakukan pengambilan data dan analisa data

Peneliti mengambil data yang dibutuhkan dari perusahaan dan

menganalisis data tersebut.

3. Tahap akhir

a. Menyusun skripsi
Peneliti menyusun hasil analisis data yang telah di dapat dari

perusahaan.

b. Membuat skripsi

Peneliti membuat interpretasikan hasil analisis data.

c. Mempresentasikan hasil skripsi

Mempresentasikan hasil interpretasi kepada pihak Stikes Jenderal

Achmad Yani Cimahi.

d. Memperbaiki hasil skripsi

Merevisi kekurangan dari skripsi yang telah di koreksi oleh pihak

Stikes Jenderal Achmad Yani.

E. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan

penelitian setelah pengumpulan data. Agar analisis penelitian menghasilkan

informasi yang benar, ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus

dilalui, yaitu (Riyanto, 2011) :

a. Editing, merupakan kegiatan mengoreksi isi kuesioner, mulai dari

kelengkapan data responden maupun menyusun lembar kuesioner

berdasarkan urutan data yang diambil. Selain itu melakukan pengukuran

posisi kerja menggunakan metode REBA berdasarkan gambar yang diambil

sewaktu penelitian.
b. Proccessing/Entry Data, merupakan kegiatan melakukan entry data atau

memasukan data dari lembar kuesioner kedalam program ke dalam program

komputer.

c. Coding, merupakan kegiatan merubah data berbentuk angka atau bilangan

menjadi huruf atau kategori, seperti variabel umur yang dilakukan codding 0

= Tua (> 30 Tahun) dan 1 = Muda (< 30 Tahun), variabel lama kerja dengan

codding 0 = Tidak Memenuhi Syarat (> 8 jam/hari) dan 1 = Memenuhi

Syarat (< 8 jam/hari), variabel masa kerja dengan codding 0 = Lama dan 1 =

Baru, variabel status gizi dengan codding 0 = Tidak Normal dan 1 = Normal,

variabel posisi kerja dengan codding 0 = Berisiko Tinggi dan 1 = Berisiko

Sedang, dan variabel kejadian low back pain dengan codding 0 = Mengalami

dan 1 = Tidak Mengalami. Codding ini mempermudah peneliti dalam

menganalisis data.

d. Cleaning, merupakan kegiatan kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Menganalisa variabel dalam bentuk distribusi frekuensi responden

berdasarkan gambaran umum responden dan intensitas kebisingan, masa

kerja, umur secara deskriptif.


Hasil analisis untuk masing-masing variabel yang diteliti

dalam bentuk tabel univarian dan setelah itu dilakukan penafsiran

dengan asumsi-asumsi pribadi sehingga membentuk penemuan

ilmiah dengan menggunakan rumus berikut ini (Notoatmodjo, 2005).

a
P= ×100 %
b

Keterangan :

P : Persentasi responden
a : Jumlah responden yang termasuk dalam kriteria
b : Jumlah keseluruhan responden

b. Analisis Bivariat

Bivariat adalah untuk melihat hubungan yang signifikan antara

dua variabel, yaitu variabel independen ( Intensitas kebisingan, lama

kerja) dengan dependen noise induced hearing loss (NIHL).

Mengingat bahwa variabel independen dan variabel dependen ini

merupakan variabel kategorik maka untuk membuktikan adanya

hubungan dan menguji hipotesia antara dua variabel tersebut

digunakan uji chi-square. Dengan rumus :

Rumus menghitung X2 :
2
(fe−fo)
x2=∑
fe
Keterangan :

X2 : Nilai Chi-Kuadrat
Fo : Frekuensi yang diobservasi (Frekuensi empiris)
Fe : Frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)
dk = (k-1) (b-1)
Keterangan :

k : Jumlah kolom
b : Jumlah baris

Hasil uji chi-square dapat dilihat pada kotak chi-square dapat

dilihat pada kotak “ Chi-square test ” dengan ketentuan pembacaan

sebagai berikut :

1) Perhitungan Pearson Chi-square dipakai bila tabel lebih dari 2x2

2) Perhitungan Continuity Corraction dipakai bila tabel 2x2 dan

tidak ada nilai E (expected)<5 atau kurang dari 20% dari jumlah

sell dalam tabel.

3) Perhitungan Fisher exact dipakai bila tabel 2x2 dan dijumpai

nilai E (expected) < lebih dari 20% jumlah sell dalam tabel.

Pada penelitian ini variabel masa kerja dan intensitas kebisingan

memenuhi syarat Chi-square sehingga nilai yang di hasilkan tertera

pada tabel. Uji signifikan dalam penelitian kesehatan untuk

keputusan uji statistik, yaitu dengan cara menggunakan batas

kemaknaan nilai d (Alpha) = 0,05 dan 95% confidence interval

dengan ketentuan sebagai berikut :


1) P value ≤ 0,05 berarti Ho ditolak (p ≤ α), uji statistik

menunjukkan adanya hubungan antara kebisingan dan masa

kerja terhadap NIHL.

2) P value > 0,05 berarti Ho diterima (p > α), uji statistik

menunjukkan tidak ada hubungan antara kebisingan dan masa

kerja terhadap NIHL.

3) Tidak boleh ada sel mempunyai nilai harapan kurang dari 1 dan

kurang dari 5 lebih dari 20% dari jumlah keseluruhan sel.

4) Bila terjadi, tabel selain 2x2 dilakukan penggabungan sel dan

untuk tabel 2x2 dilakukan uji “Fisher exact”.

PR adalah perbandingan antara prevalens efek (penyakit/masalah

kesehatan) pada kelompok subyek yang memiliki faktor resiko

dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko. Prevalens

Ratio (PR) menunjukan peran faktor resiko dalam terjadinya efek

pada studi Cross sectional. PR dapat dihitung secara sederhana,

yaitu dengan menggunakan rabel 2x2 sebagai berikut :

Tabel 3.2 Tabel kontingensi 2x2

Faktor Resiko Penyakit Total


Ya Tidak
Terpapar a b a+b
Tidak Terpapar c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d=N
Dari definisi PR diatas, maka rumus menghitung Prevalence

Ratio adalah sebagai berikut :

a/( a+b)
PR =
c /(c +d )

Keterangan :

PR harus selalu disertai dengan nilai interval kepercayaan

(confidence interval) yang dikehendaki, misal interval kepercayaan

95%. Interpretasi hasil PR adalah sebagai berikut :

1) PR = 1 artinya variabel independen bukan merupakan faktor

resiko.

2) PR > 1 dan confidence interval tidak mencakup angka 1,

artinya variabel independen merupakan faktor resiko.

3) PR < 1 dan confidence internal tidak mencakup angka 1,

artinya variabel independen merupakan faktor pribadi.

4) Bila nilai interval kepercayaan PR mencakup nilai 1, maka

berarti mungkin nilai prevalens = 1, sehingga belum dapat

disimpulkan bahwa faktor yang kita teliti sebagai faktor resiko

atau faktor protektif.

F. Etika Penelitian

Secara garis besar, dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat

prisnsip yang harus dipegang teguh (Notoatmodjo, 2010:203-204)


1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity).

Sebagai ungkapan, peneliti menghormati harkat dan martabat subjek penelitian,

peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang

mencakup penjelasan manfaat penelitian, penjelasan kemungkinan risiko dan

ketidaknyamanan yang ditimbulkan, penjelasan manfaat yang didapatkan,

persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek

berkaitan dengan prosedur penelitian, persetujuan subjek dapat mengundurkan

diri sebagai objek penelitian kapan saja, jaminan anonimitas dan kerahasiaan

terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh responden.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and

confidentiality), setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk

privasi dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang

berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh

sebab itu, peneliti tidak menampilkan informasi mengenai identitas dan

kerahasiaan identitas subjek. Peneliti menggunakan coding sebagai pengganti

identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an inclusiveness),

prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,

keterbukaan, dan kehati-hatian. Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan

prosedur penelitian, serta menjamin bahwa semua subjek penelitian

memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan agama,

etnis, dan sebagainya.


4. Memperhitungan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms

and benefits), penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin

pada subjek penelitian. Peneliti dalam penelitian ini berusaha meminimalisasi

dampak yang merugikan bagi subjek.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di lingkungan PT. EPATA yang terdapat sumber
kebisingan
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2019
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. EPATA dengan menyajikan data hasil

penelitian pembahasan mengenai gambaran Bagaimana Hubungan Intensitas

Kebisingan dan Masa Kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing Loss Di

PT. EPATA

1. Gambaran Bagaimana Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa

Kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.

a. Gambaran Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Noise Induced Hearing Loss Di


PT. EPATA

NIHL Frekuensi Persen

NIHL ≥25db 17 56.7


Normal 0-25dB 13 43.3
Total 30 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan sebesar 17 (56,7%) pekerja

mengalami Noise Induced Hearing Loss, sedangkan pekerja yang

tidak mengalami Noise Induced Hearing Loss sebanyak 13 (43,3).


b. Gambaran Kebisingan Di PT. EPATA

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi kebisingan Di PT. EPATA

Kebisingan Frekuensi Persen

Tidak Memenuhi Syarat 16 53.3


Memenuhi Syarat 14 46.7
Total 30 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukan sebesar 16 (53,3%)

pekerja tidak memenuhi syarat, sedangkan pekerja yang memenuhi

syarat sebanyak 14 (46,7%).

c. Gambaran masa kerja Di PT. EPATA

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi masa kerja Di PT. EPATA

Lama Kerja Frekuensi Persen


Lama ≥5 Tahun 18 60.0
Baru <5Tahun 12 40.0
Total 30 100.0

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukan sebesar 18 (60,0%)

pekerja lama , sedangkan pekerja yang baru sebanyak 12 (40,0%).


2. Gambaran Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja Dengan

Kejadian Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.

a. Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Kejadian Noise Induced

Hearing Loss Di PT. EPATA.

Tabel 4.4 Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Kejadian Noise


Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.

Noise Induced Hearing Loss PR


(95% P
Intensitas NIHL > Normal 0- Value
Total CI)
Kebisingan 25dB 25dB
N % N % N %
Tidak 2,844
memenuhi 13 81,3 3 18.8 16 100 (1,202
syarat - 0,011
Memenuhi 6,727)
4 28,6 10 71,4 14 100
syarat
Total 17 56,7 13 43,3 30 100

Pada Tabel 4.4 menunjukan bahwa pekerja dengan kebisingan tidak

memenuhi syarat sebanyak 13 (81,3%) yang mengalami NIHL,

sedangkan pekerja dengan kebisingan memenuhi syarat sebanyak 4

(28,6%) yang mengalami NIHL.

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,011 (p>0,05) ini

menunjukan berarti Ho ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan kejadian Noise


Induced Hearing Loss . Hasil analisis diperoleh nilai PR = 2,844

(1,202 - 6,727) artinya pekerja di tempat kebisingan tidak memenuhi

syarat 2,844 kali beresiko mengalami Noise Induced Hearing Loss.

b. Hubungan masa kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing

Loss Di PT. EPATA.

Table 4. 5 Hubungan masa kerja Dengan Kejadian Noise Induced


Hearing Loss Di PT. EPATA.

Noise Induced Hearing Loss PR


(95% P
NIHL > Normal 0- Value
Masa Kerja Total CI)
25dB 25dB
N % N % N %
Lama >5 5.000
15 83,3 3 16,7 16 100
tahun (1,388
0,001
Baru <5 -
2 16,7 10 83,3 14 100 18.018
tahun
)
Total 17 56,7 13 43,3 30 100

Pada Tabel 4.5 menunjukan bahwa pekerja dengan Masa Kerja Lama

sebanyak 15 (83,3%) yang mengalami NIHL, sedangkan pekerja

dengan Masa Kerja Baru sebanyak 2 (16,7%) yang mengalami NIHL.

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,001 (p>0,05) ini

menunjukan berarti Ho ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian Noise

Induced Hearing Loss . Hasil analisis diperoleh nilai PR = 5.000


(1,388 - 18.018) artinya pekerja dengan masa kerja lama 5.000 kali

beresiko mengalami Noise Induced Hearing Loss.

B. Pembahasan

1. Gambaran Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja Dengan Kejadian

Noise Induced Hearing Loss Di PT. EPATA.

a. Noise Induced Hearing Loss

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil

yang menunjukan bahwa responden mengalami gangguan Noise

Induced Hearing sebanyak 17 (56,7%). Gangguan pendengaran akibat

bising (NIHL) sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun

negara berkembang, terutama negera industri yang belum menerapkan sistem

perlindungan pendengaran dengan baik. Indonesia sebagai negara yang

sedang berkembang dalam upaya meningkatkan pembangunan banyak

menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan mempermudah

pekerjaan. Akibatnya, timbul bising lingkungan kerja yang dapat berdampak

buruk terhadap para pekerja. Menurut OSHAS (Occupational Health and

Safety Assesment Series) batas aman pajanan bising bergantung pada lama

pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberpa

faktor lain. Di Indonesia khususnya dan negara lain umumnya, pajanan

bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan

intensitas bising tidak melebih 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam

seminggu (Soeripto, 2008).


b. Kebisingan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil

yang menunjukkan bahwa responden yang tidak memenuhi syarat

sebanyak 16 (53,3%). Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa

bunyi yang dapat menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan

keselamatan kerja. Sedangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia bising adalah semua suara yang tidak dikehendaki

yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alat-alat kerja yang

pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Dari

kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah

semua bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat

menganggu kesehatan dan keselamatan (Anizar, 2012).

Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki, pengaruh

gangguan kebisingan tergantung kepada intensitas dan frekuensi nada.

Contoh : frekuensi yang lebih tinggi akan lebih menggangu dari pada

frekuensi yang lebih rendah. Nada atau bunyi tunggal lebih mengganggu

dari pada bunyi yang terdiri dari beberapa nada (Soeripto, 2008).

c. Masa kerja
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil

yang menunjukan bahwa responden pekerja lama sebanyak 18

(60,0%). Massa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif

maupun negatif. Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja

bila dengan lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin

berpengalaman dalam melakukan pekerjaanya, Sebaliknya akan

memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama seseorang bekerja

maka menimbulkan kebosanan dan kelelahan kerja yang akan

berujumg pada penurunan produktivitas (budiono, 2013).

2. Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Kejadian Noise Induced

Hearing Loss Di PT. EPATA.

Berdasarkan hasil penelitian hubungan intensitas kebisingan dengan

Noise Induced Hearing Loss menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan (p=0,011). Hal ini sejalan penelitian (Marisdayana dkk, 2016),

menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,001) antara

intensitas kebisingan dengan Noise Induced Hearing Loss.

Kebermaknaan hasil pada penelitian yaitu jumlah yang menderita

NIHL sesuai dengan lama masa kerja para pekerja dipengaruhi oleh faktor

yang paling penting yaitu intensitas kebisingan di lingkungan home

industry >105 dB dengan lama kerja per hari adalah 8 jam.

Bising dengan intnsitas yang tinggi dan dalam waktu yang lama

yaitu antara 10-15 tahun akan mengakibatkandestruksi total organ corti.


Intensitas bunyi yang sangat tinggi dan dalam waktu yang cukup lama

mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler yang dapat

menyebabkan kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut dalam

organ corti. Organ corti yang rusak mengakibatkan kehilangan

pendengaran yang permanen. Pada audiometri diagnosis NIHL ditunjukan

adanya penurunan pendengaran pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan

kerusakan organ corti untuk reseptor bunyi yang berat terdapat pada

frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Proses ketulian bersifat lambat dan

tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh pekerja (Leesen

2010).

3. Hubungan Masa Kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing Loss

Di PT. EPATA.

Berdasarkan hasil penelitian hubungan masa kerja dengan Noise

Induced Hearing Loss menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan (p=0,001). Hal ini sejalan penelitian (Putri dkk, 2016),

menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,036) antara masa

kerja dengan Noise Induced Hearing Loss.

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja

di suatu tempat kerja (Budiono, 2013). Tenaga kerja mempuyai kepuasan

kerja yang terus meningkat sampai masa kerja 5 tahun, kemudian mulai

terjadi penurunan sampai masa kerja 8 tahun. Tetapi kemudian setelah


tahun kedelapan kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan meningkat

(suma’mur, 2014).

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja

bekerja di suatu tempat kerja (Budiono, 2013). Tenaga kerja mempuyai

kepuasan kerja yang terus meningkat sampai masa kerja 5 tahun,

kemudian mulai terjadi penurunan sampai masa kerja 8 tahun. Kemudian

setelah tahun kedelapan kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan

meningkat.

Massa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif maupun

negatif. Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja bila dengan

lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman dalam

melakukan pekerjaanya, Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif

apabila semakin lama seseorang bekerja maka menimbulkan kebosanan

dan kelelahan kerja yang akan berujumg pada penurunan produktivitas

(budiono, 2013).
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas kerja pekerja packing di bagian produksi PT.

EPATA tahun 2019 pada 30 responden, maka simpulan yang dapat peneliti

ambil adalah sebagai berikut

1. Responden di PT. EPATA yang sebagian ada memiliki Noise Induced

Hearing Loss sebanyak 17 pekerja dengan presentase sebesar 56,7%,

responden dengan kebisingan tidak memenuhi syarat sebanyak 16 pekerja

dengan persentase 53,3%, responden yang memiliki masa kerja terbanyak

adalah pekerja yang lama sebanyak 18 pekerja dengan persentase 60,0%.

2. Terdapat hubungan intensitas kebisingan dengan Noise Induced Hearing

Loss pada pekerja PT. EPATA ( p value = 0,011).

3. Terdapat hubungan masa kerja dengan Noise Induced Hearing Loss

pada pekerja PT. EPATA ( p value = 0,001).


B. Saran

1. Bagi PT. EPATA

a. Melakukan pengendalian administrasi (Administration Control)

dengan melaukan rotasi kepada pekerja dengan memperhatikan

pemindahan tempat atau bidang pekerjaan agar pekerja dengan risiko

umur lebih tinggi terhadap terjadinya kelelahan tidak sering terpapar

langsung oleh kebisingan di tempat kerja.

b. Diupayakan rekayasa teknik (Engineering Control) pada mesin

produksi dibagian Metal Forming seperti pemberian pembatas atau

sekat antara mesin dengan tenaga kerja, Melapisi dinding, dan lantai

dengan bahan penyerap suara misalnya gabus, glasswool dan lain-lain.

c. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai dan tepat

khususnya pada area yang mempunyai intensitas kebisingan yang

tinggi misalnya ear muff dan ear plug, tetapi dalam pelaksanaan

penelitian ini penulis menemukan semua pekerja belum mengenakan

alat pelindung diri secara maksimal yaitu ear muff dan ear plug, dalam

hal ini agar bisa lebih ditekankan kepada pekerja agar lebih mematuhi

peraturan penggunaan alat pelindung diri secara lengkap.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan agar lebih memperhatikan variable-

variabel lain selain kebisingan, umur dan kelelahan kerja yang di duga
mempunyai hubungan dengan kelelahan kerja. Misalnya status gizi, jenis

kelamin, masa kerja, beban kerja, suhu lingkungan, dan penerangan.

DAFTAR PUSTAKA

Arini, E. Y., (2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran


tipe sensorineural tenaga kerja unit produksi di PT. Kurnia Jati
Utama Semarang, tesis. Program Pascasarjana Universitas
Dipenogoro Semarang.

Albert PW. Occupational Hearing Loss, Deisease of the ear Nose and Throat in:
Head Neck Surgery. 14th ed. Philadelphia, 1991. P 1053-66

Anizar. (2009). Teknik Keselamatan Dan Kesehatan Kerja di Industri (Cetakan


Pertama). Yogyakarta :Graha Ilmu.

Budiman (2011). Penelitian Kesehatan. Bandung: Refika Aditama

Habsari. 2003. Dalam Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Hidayat, A.A. 2007, Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data.
Penerbit Salemba medika.

Leensen, M.C.J, J.C van Duivenbooden, W.A. Dreschler. A Retrospective Analysis


of Noise Induced Hearing Loss in The Dutch Cinstruction Industry.
2010. International Rasearch Occupation Environtment Health,
Volume 84, Nomor 5 : 577–590.
Riyanto. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yoyakarta: Nuha Medika.

Soeripto.(2008). Hygiene Indutri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Jumali, dkk (2013).Prevalensi dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising padaOperator
Mesin Kapal Feri, Jurnal Kesahatan Masyarakat Airlangga, Vol. 7,
No. 12, Juli 2013

keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/


MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri maka lamanya pemaparan yang
diizinkan.

http://www.telingakusehat.com/
komitenasionalpenanggulangangangguanpendengarandanketulian

Marisdayana, dkk (2016). Hubungan internsitas paparan bising dan masa kerja
dengan gangguan pendengaran pada karyawan PT.X

Putri, dkk (2016). Hubungan usia dan masa kerja dengan nilai ambang dengar
pekerja yang terpapar bising di PT. X Sidoarjo
LAMPIRAN
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan dengan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun bahwa saya

bersedia untuk berpartisipasi dan berperan serta sebagai responden dalam penelitian

yang dilakukan oleh Engka Bias Valiant Prianto (Mahasiswa Program Studi

Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani

Cimahi) yang berjudul “Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa Kerja dengan

kejadian Noise Induced Hearing Loss Pada Pekerja di PT x”.

Saya yakin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan keraguan apapun pada

saya dan keluarga. Dan saya telah mempertimbangkan serta telah memutuskan untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Ngamprah , Agustus 2019

Responden

(......................................)
Bagaimana Hubungan Intensitas Kebisingan dan Masa
Kerja Dengan Kejadian Noise Induced Hearing Loss Di PT.
EPATA

A. Indetitas Pekerja

No :

Nama :

Umur :

B. NIHL (Noise Induced Hearing Loss) :

C. Kebisingan

D. Massa Kerja :
Frequencies

Statistics

NIHL Kebisingan MasaKerja


N Valid 30 30 30
Missing 0 0 0

Frequency Table

NIHL

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid NIHL >25dB 17 56.7 56.7 56.7
Normal 0-25dB 13 43.3 43.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

Kebisingan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TMS 16 53.3 53.3 53.3
MS 14 46.7 46.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

MasaKerja

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Lama >5 Tahun 18 60.0 60.0 60.0
Baru <5 Tahun 12 40.0 40.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Crosstabs

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kebisingan * NIHL 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

Kebisingan * NIHL Crosstabulation

NIHL
Normal
NIHL >25dB 0-25dB Total
Kebisingan TMS Count 13 3 16
Expected Count 9.1 6.9 16.0
% within Kebisingan 81.3% 18.8% 100.0%
MS Count 4 10 14
Expected Count 7.9 6.1 14.0
% within Kebisingan 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 17 13 30
Expected Count 17.0 13.0 30.0
% within Kebisingan 56.7% 43.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.438(b) 1 .004
Continuity
6.429 1 .011
Correction(a)
Likelihood Ratio 8.860 1 .003
Fisher's Exact Test .009 .005
Linear-by-Linear
Association 8.157 1 .004
N of Valid Cases 30
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.07.

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
Kebisingan (TMS / MS) 10.833 1.961 59.834
For cohort NIHL = NIHL
>25dB 2.844 1.202 6.727
For cohort NIHL =
Normal 0-25dB .263 .090 .767
N of Valid Cases 30

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
MasaKerja * NIHL 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

MasaKerja * NIHL Crosstabulation

NIHL
Normal
NIHL >25dB 0-25dB Total
MasaKerja Lama >5 Tahun Count 15 3 18
Expected Count 10.2 7.8 18.0
% within MasaKerja 83.3% 16.7% 100.0%
Baru <5 Tahun Count 2 10 12
Expected Count 6.8 5.2 12.0
% within MasaKerja 16.7% 83.3% 100.0%
Total Count 17 13 30
Expected Count 17.0 13.0 30.0
% within MasaKerja 56.7% 43.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 13.032(b) 1 .000
Continuity
10.458 1 .001
Correction(a)
Likelihood Ratio 14.020 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear
Association 12.597 1 .000
N of Valid Cases 30
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.20.

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
MasaKerja (Lama >5 25.000 3.522 177.477
Tahun / Baru <5 Tahun)
For cohort NIHL = NIHL
>25dB 5.000 1.388 18.018
For cohort NIHL =
Normal 0-25dB .200 .069 .579
N of Valid Cases 30
DOKUMENTASI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Engka Bias Valian Prianto

Alamat : JL. Hutan lindung No 30 RT 03

RW 05, Kec. Bukit Bestari, Kel,

Tanjung pinang timur.

Tempat/ Tanggal Lahir : Batam, 29-12-1993

Pendidikan :

1. SDN 014 : Tahun 1999-2005

2. MTSN BATAM : Tahun 2005-2008

3. MAN 2 BATAM : Tahun 2008-2011

4. Stikes Jenderel Achmad Yani Cimahi

Program S-1 Kesehatan Masyarakat : Tahun 2011-2019

Anda mungkin juga menyukai