Anda di halaman 1dari 3

Buletin Kaffah No.

192, 25 Ramadhan 1442 H-07 April 2021 M

IDUL FITRI, TAAT ILAHI SEPENUH HATI


Alhamdulillah, meski masih dalam kondisi pandemi, kita sampai juga ke penghujung Ramadhan.
Ramadhan akan segera berakhir. Idul Fitri akan segera hadir. Seharusnya Idul Fitri tahun ini,
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berbahagia. Berkumpul bersama keluarga, orangtua
dan saudara. Menyambung tali silaturahmi. Namun demikian, wabah Corona yang tak jelas rimbanya,
menjadikan kita tak bisa ke mana-mana. Kita hanya bisa menyapa orangtua, keluarga dan saudara
melalui telepon genggam. Sebagian hanya bisa berdoa. Sebagian lagi hanya bisa meneteskan air mata
karena tak bisa lagi bertemu dengan mereka yang sudah pergi untuk selamanya.
Sungguh, hanya orang yang beriman yang bisa mengambil pelajaran. Betapa lemahnya
manusia. Hanya dengan makhluk Allah SWT yang tidak kasatmata, virus Corona, manusia sedunia
tak berdaya. Lalu apa yang patut kita sombongkan? Kekayaan, jabatan atau kekuasaan? Semuanya tak
berguna.
Sebentar lagi kita merayakan Idul Fitri, Hari Kemenangan. Menang karena kemampuan dan
kemauan kita mengalahkan hawa nafsu. Meninggalkan hal-hal yang sebenarnya dihalalkan pada
waktu siang. Tak berani berbuka sebelum waktunya karena merasa diawasi oleh Zat Yang Maha
Mengawasi.
Hakikat Idul Fitri, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ali radhiyalLahu ‘anhu, adalah:
‫ وإمنا العيد ملن أمن الوعيد؛‬،‫ليس العيد ملن لبس اجلديد‬
‫ إمنا العيد ملن طاعاته تزيد؛‬،‫ليس العيد ملن لبس اجلديد‬
)277 ،‫ (لطائف املعارف‬.‫ إمنا العيد ملن غُفرت له الذنوب‬،‫ليس العيد ملن جتمل باللباس والركوب‬
Idul Fitri bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru.
Idul Fitri adalah bagi orang yang aman dari ancaman (neraka).
Idul Fitri bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru.
Idul Fitri adalah bagi orang ketaatannya bertambah.
Idul Fitri bukanlah bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya.
Idul Fitri adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.

Manusia yang bebas dari ancaman neraka, yang ketaatannya bertambah dan yang diampuni
dosa-dosanya hanyalah mereka yang bertakwa. Inilah buah puasa Ramadhan, sesuai dengan firman-
Nya:
‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ِ َّ
َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ
َ ‫ين َآمنُواْ ُكت‬
ِ َّ
َ ‫يَا َُّأي َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Kata “taqwa” berasal dari kata “waqâ”. Artinya, melindungi. Maknanya, melindungi diri dari
murka dan azab Allah SWT. Wujudnya dengan menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi
segala larangan-Nya. Yang halal dilakukan. Yang haram ditinggalkan. Dalam seluruh aspek
kehidupan. Tak ada rasa keberatan sedikit pun terhadap aturan Allah dan keputusan Rasulullah saw.,
sebagaimana firman-Nya:
‫ت َويُ َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِْي ًما‬
َ ‫ضْي‬
ِ ِ ِ
َ َ‫ك اَل يُْؤ مُن ْو َن َحىّٰت حُيَ ِّك ُم ْو َك فْي َما َش َجَر َبْيَن ُه ْم مُثَّ اَل جَيِ ُد ْوا يِف ْٓي اَْن ُفس ِه ْم َحَر ًجا مِّمَّا ق‬
َ ِّ‫فَاَل َوَرب‬
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati
mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-
Nisa’ [4]: 65).

Imam ath-Thabari, saat menafsirkan QS al-Baqarah ayat 2, mengutip sejumlah pernyataan


tentang hakikat orang-orang bertakwa. Al-Hasan, misalnya, menyatakan, “Orang-orang bertakwa
adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang Allah haramkan atas mereka dan
melaksanakan apa saja kewajiban yang Allah titahkan atas mereka.”
Ibn Abbas berkata, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang khawatir terhadap azab
Allah ‘Azza wa Jala jika meninggalkan petunjuk-Nya yang telah mereka ketahui dan mengharapkan
rahmat-Nya dengan membenarkan apa saja yang datang kepada dirinya (berupa al-Quran, red.).”
Ibn Mas’ud menuturkan dari sekelompok Sahabat Nabi saw. bahwa orang-orang yang
bertakwa adalah orang-orang Mukmin.
Abu Bakr ‘Ayyas berkata, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang menjauhi dosa-dosa
besar.”
Qatadah berkata, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang disifati dengan sifat—
sebagaimana dalam ayat berikutnya, red.—yaitu: orang yang mengimani perkara gaib, menegakkan
shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah Allah limpahkan kepada mereka.”
Ibn Abbas juga menyatakan bahwa orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut
menyekutukan Allah SWT dan mengamalkan apa saja yang telah Allah SWT wajibkan atas mereka
(Lihat: Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân li Ta’wîl al-Qur’ân, I/232-233).
Al-Quran pun banyak mengungkap ciri orang-orang yang bertakwa. Di antaranya
sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah ayat 3-5. Demikian juga dalam al-Hadits. Begitu pun
yang dinyatakan oleh para Sahabat dan banyak ulama dari generasi salafush-shalih. Di antaranya
adalah yang dinyatakan oleh al-Hasan, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat
diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara; senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji;
rendah hati dan tidak sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang
lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu yang luas; senantiasa
ber-taqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Al-Hilm, I/32).
Terkait ciri orang yang bertakwa pula, Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam
pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du.
Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun
dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat
dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum al-Quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-
Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).
Karena itu sebagai manusia yang insya Allah lulus dari medan Ramadhan, tak layak kita
mengabaikan dan mencampakkan al-Quran. Al-Quran rutin dibaca, tetapi tak berbekas pada jiwa. Al-
Quran bahkan dilombakan, tetapi tak dipahami dan diamalkan. Peristiwa turunnya al-Quran
diperingati, tetapi isinya tak diikuti. Al-Quran disakralkan, tetapi hukum-hukumnya tak dijadikan
aturan kehidupan. Fisik al-Quran dijaga dari pemalsuan, tetapi kandungannya tak dijaga dari
penyimpangan. Al-Quran diklaim sebagai pedoman, tetapi tak dijadikan sebagai aturan kehidupan.
Al-Quran dijadikan sebagai penenang hati dengan lantunan yang mengalun, tetapi tak dijadikan
sebagai sumber hukum. Yang menyedihkan, al-Quran mulia dianggap oleh negara sebagai hukum
negatif yang harus diabaikan.
Jika demikian, berhati-hatilah! Seperti yang dikatakan oleh Anas bin Malik, yang ditulis oleh
Imam al-Ghazali, dalam kitab Al-Mursyid al-Amin, halaman 65:
ِ ِ
ُ‫ب قَا ِرٍئ ل ْل ُق ْرآن َواْل ُق ْرآ ُن َيْل َعنُه‬
َّ ‫ ُر‬ 
Banyak orang yang membaca al-Quran, tetapi al-Quran justru melaknat dirinya.

Mengapa? Karena mereka mencampakkan al-Quran. Apalagi para penguasa yang diberi kesempatan
untuk menerapkan seluruh isi al-Quran, tetapi mereka tidak menerapkan al-Quran, padahal mereka
punya kekuasaan.
Tanpa berpegang teguh pada al-Quran, negara berantakan. Ini karena hawa nafsu
dikedepankan. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dikebelakangkan. Jangan heran jika Islam malah
dituduh sebagai sumber perpecahan, ancaman persatuan, bahkan dituding menginspirasi radikalisme
dan ekstremisme.
Inilah kezaliman nyata di depan mata kita. Yang benar dianggap salah. Yang salah dianggap
benar. Yang berkuasa bertindak seenaknya. Yang lemah diinjak-injak seperti sampah tak berguna.
Hilang kasih sayang. Yang muncul nafsu kekuasaan.
Padahal Islam ya’lu wala yu’la. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.
Islam diturunkan oleh Zat Yang Mahamulia, melalui malaikat yang paling mulia, Jibril ‘alaihissalam,
kepada manusia paling mulia, Rasulullah Muhammad saw. Bagaimana mungkin Islam menyebabkan
kerusakan, kehancuran dan keterbelakangan?
Justru dengan Islam kaum Muslim akan menjadi umat terbaik, khayru ummah. Islam dengan
sistemnya, Khilafah, akan mengangkat derajat manusia dari kezaliman, keterpurukan,
keterbelakangan, ketertindasan menuju peradaban agung yang diridhai Allah SWT.
Karena itulah Idul Fitri harus menjadi momentum kita semua untuk berubah. Menjadi
manusia baru. Laksana kupu-kupu yang indah memesona, yang baru melewati masa kepompong
selama Ramadhan. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara totalitas, tanpa batas.
Akhirnya, mari bergandeng tangan. Eratkan ukhuwah dan kesampingkan perbedaan
furu’iyyah. Perjuangkan syariah. Tegakkan sistem hidup berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Hidup
mulia dengan Islam. Ingatlah seruan Allah SWT:
ِ ‫يا َأيُّها الَّ ِذين آمنُوا استَ ِجيبوا لِلَّ ِه ولِ َّلرس‬
‫ول ِإ َذا َد َعا ُك ْم لِ َما حُيْيِي ُك ْم‬ ُ َ ُ ْ َ َ َ َ
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya jika dia menyeru kalian
pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

Semoga Allah SWT menolong kita. Menerima puasa kita. Mengabulkan doa-doa kita. Juga
menempatkan kita semua di jannah-Nya. Amin. []

Kami, Redaksi dan Pengurus Buletin Kaffah, mengucapkan:

Selamat Idul Fitri 1442 H


‫تقبل اهلل منا و منكم صيامنا و صيامكم‬
‫و كل عام و أنتم خبري‬
Mohon Maaf Lahir Batin

Anda mungkin juga menyukai