Anda di halaman 1dari 3

Sistem Komunikasi pedesaan

Indonesia adalah Negara multikultural. Rasanya sulit memberi patokan ciri


apa yang menjadi kekhasan pada setiap unsur budayanya. Kekhasan yang paling bijak
mungkin terletak pada kata muntikultural itu sendiri. Setiap Negara memiliki kekhasan dan
multikutiral itulah yang membedakan Indonesia dengan negara lain.
Sistem komunikasi indonesia itu bersifat interdisiplier, ia tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam masyarakat Indonesia, otomatis corak, bentuk, dan keragaman budaya begitu
kental mempengaruhnya. Begitu juga bila kita lihat di dalam komunikasi pedesaan, budaya
yang di anut oleh masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap sisitem komunikasi
masyarakatnya.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih
sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng
dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk
verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan
diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur,
memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian
rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua
kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan
dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
Kajian budaya akan terlihat detail hubungannya dengan Sistem Komunikasi
Indonesia apabila ruang lingkup dan karakternya diketahui scara jelas. Menurut geografisnya,
SKI dibagi menjadi dua bagian besar yaitu siem komunikasi pedesaan dan perkotaan.
Masing- masing daerah memiliki ciri khas mendasar. Sistem kmunikasi di pedesaan lebih
kuat dalam menjalankan komunikasi antar personal. Sedangkan sistem komunikasi perkotaan
lebih dipercayakan pada media massa. Hal itu ada hubungannya dengan unsur sosiologis.
Masyarakat pedesaan bercirikan homogen, terbingkai dalam aturan- aturan nilai
adat yang kuat dan sedikit tertutup. Keluar masuknya informasi dalam lingkungan tertumpu
pada hubungan personal. Selain faktor verbal, komunikasi di pedesaan sangat tergantung
pada kehadiran sosok opinion leader. Opinion leader adalah orang yang dipercaya menjadi
titik tolak dan poros bagi masyarakat setempat. Wujud nyata opinion leader akan ditemui
pada sosok pemuka agama seperti Ustadz, Mubaligh, Pastor maupun sosok panutan seperti
guru dan sesepuh. Opinion leader begitu sentral bagi berjalannya komunikasi
pedesaan. Opinion leader secara garis besar dianggap sebagai orang yang lebih tahu sebagai
pihak penerjemah pesan dari luar maupun ke dalam desa.
Indonesia dengan ciri khasnya sebagai negara multietnis akan memiliki sistem
komunikasi yang beraneka ragam dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi
sudah berembang pesat, tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di
pedesaan, maka peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan
sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior. Tidak hanya terbatas
berdasarkan sekup wilayah tetapi dapat berada dalam lingkungan pergaulan, agama, dsb.
Komunikasi yang terbagi menjadi empat level jika diamati akan melibatkan
peran opinion leader. Pada level interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada yang
lebih dominan. Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan
komunikasi massa.
Berhubung daerah - daerah di luar kota juga sudah terjamah oleh perkembangan
teknologi dan informasi maka tidak menutup kemungkinan jika masyarakat sedah memliki
pola konsumsi media massa, baik itu cetak maupun elektronik. Namun, pada prartiknya, apa
yang disampaikan media kepada khalayak juga tak sesempurna yang didambakan. Untuk hal-
hal yang laten seperti agama dan kepercayaan, peran opinion leader sangat kental nuansanya
sebagai pamong yang menetralisir arus informasi.

Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa


dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita
rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk
folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang
golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami
transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secara
apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala
penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu
televisi swasta.
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial
yang penting. Kini penampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan
Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain
karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop,
radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya
penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat
pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan
sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya
mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah
televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan
media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai
mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai
ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia.
Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-
pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang
berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin
kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Didalam pengembangan sistem komunikasi yang ada di pedesaan dapat
dicontohkan pada usaha penerapan teknologi Informasi telepon di ribuan Pedesaan di
Indonesia. Pemasangan telepon pedesaan merupakan permintaan dari pemerintah daerah
melalui Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Kominfo guna
memperlancar saluran komunikasi dengan desa-desa tertinggal.
Skema pembangunan merupakan penyediaan fasilitas telekomunikasi pedesaan
dalam bentuk telepon kumunal (Wartel). Bagi masyarakat yang menggunakan juga dikenakan
biaya, namun tarifnya tidak sama dengan Wartel pada umumnya. Tarifnya relatif murah, atau
disamakan dengan telepon rumah. Pembangunan telepon pedesaan sebenarnya telah
dilakukan sejak 2003, dengan jumlah jaringan yang dipasang 3.010 unit pada 3.010 desa yang
berada di peloksok dan belum terjangkau askes telepon. Pada 2004, pemerintah juga
membangun jaringan telepon pedesaan sebanyak 2.620 SST pada 2.341 desa. Secara nasional
infrastruktur atau jaringan telepon yang telah terbasang baru 13 juta untuk fixed line atau
sekitar enam persen, dan 53 juta telepon seluler (18 persen).

Daftar Pustaka :
1.      Nurudin. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai