Anda di halaman 1dari 4

Possible High TC Superconductivity

in The Ba − La − Cu − O System
Andre Christoga Pramaditya (2006570006)

Jurnal penelitian yang diulas ditulis oleh Bednorz & Müller dengan DOI 10.1007/BF01303701.

Pada artikel dalam jurnal penelitian diatas, didapati bahwa superkonduktivitas pada sistem
senyawa Barium, Lantanum, Copper (Tembaga), dan Oksigen alias Ba − La − Cu − O tem-
peratur transisi superkonduktor (TC ) nya senilai 35 K dimana ini adalah falsifikasi terhadap TC
dari superkonduktor konvensional yang diketahui nilai maksimumnya adalah 23.3 K. Para pe-
niliti mendapati bahwa nilai yang lebih besar dari TC pada metallic oxide (tipe perovskite) bisa
didapati jika carrier density & electron-photon interraction pada Fermi-level dapat ditinggikan.

Gambar 1: Ketergantungan temperatur dengan resistivitas pada Bax La5−x Cu5 O5(e−y) untuk
sampel dengan x(Ba) = 1 yg berada pada kurva atas dan sebelah kiri skala. Ada juga x(Ba) =
0.75 yg berada pada kurva bawah dan sebelah kanan skala. Pengaruh kepadatan arus dapat
dilihat pada dua kasus pertama.

Pada percobaan yang dimaksud, para peneliti – dengan metode coprecipitation – menyi-
apkan sampel – dengan rasio tertentu – larutan berair dari Ba−, La−, Cu − nitrate. Campuran

1
dari oxalate akan termanifestasi ketika larutan berarti dari asam oxalic ditambahkan ke larutan
sebagai precipitant. Sintesa film tipis via pencampuran prekursor kedalam larutan dan me-
nunggu deposit terbentuk adalah yang kita maksud dengan metode coprecipitation. Dengan
teknik analitika x-ray powder diffractograms peneliti berhasil mendapatkan tiga fase kristalo-
grafi individu. Didapati 17 barisan yg berasal dari sampel yg sesuai dengan bentuk struktur
K2 N iF (layer-type perovskite-like), pada fasa kedua adalah kubik dihadiri oleh ketergantung
pada konsentrasi Ba seiringan dengan intensitas garis berkurang bagi x(Ba) yg bernilai lebih
kecil. Pada fase ketiga dengan fraksi volume yg melebihi intensitas x-ray sebesar 30 persen, di-
dapati thermal stability sampai dengan 1000 celsius serta ketidakbergantungan pada komposisi
inisial dari sampel; pada temperatur > 1000 deg C akan terbentuk La3 Ba3 Cu6 014 yang adalah
oxygen-deficient perovskite saat fase terhsebut hilang secara progresif. Senyawa yg terbentuk
akan menyebabkan kekosongan dalam struktur kristal mengingat kelebihan kation yg terjadi
dikarenakan kekurangan oksigen pada senyawa.

Pengukuran konduktivitas DC dilakukan salah satunya dalam pengukuran electric resis-


tance as a function of temperature, dengan menggunakan metode empat titik untuk mengukur
resistasi sampel peneliti mengukur pada rentang suhu antara 300 K sampai dengan 4.2 K via alir-
an cryostat kontinu yang terotomatisasi bagi variasi suhu, akuisisi, dan pengolahan data. Figur
1 memperlihatkan bahwa untuk sampel x(Ba) ≤ 1.0 didapati perilaku logam pada temperatur
tinggi, sebagaimana peningkatan resistivitas pada temperatur rendah juga dapat dilihat pada fi-
gur tersebut. Figur 2 memperlihatkan bahwa sampel yang dianilasi di udara memiliki transisi
dari itinerant ke perilaku lokal lingkungan tidak begitu tampak, sebagaimana anilasi pada atmo-
sfer yang dikurangi sedikit menyebabkan terjadinya kenaikan resistivitas serta efek lokalisasi
yang tampak jelas. Permulaan penurunan resistivitas digeser menuju ke wilayah temperatur 30
K pada saat yang sama. Pada temperatur annealing yakni 1040 deg C, fasa high conductivity
hampir hilang. Kurva untuk sampel dengan Ba concentration yang lebih rendah dari 0.75 di-
dapati resistivitasnya berkurang tiga kali lipatnya yang memberikan bukti bahwa bulk menjadi
superkonduktor dibawah 13 K dengan temperatur awal sekitar 35 K (terlihat pada figur 3).
Para peneliti studi ini menemukan, bahwa ketika bahan logam didinginkan dari suhu ka-
mar, bahan ini mengalami penurunan suhu secara linear, yang menyebabkan peningkatan lo-
garitmik dalam resistivitas. Permulaan superkonduktivitas terjadi pada puncak resistivitas, dan
Para peneliti meyakini bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh variasi dalam fungsi gelombang
superkonduktor. Puncak temperatur pada 35 K untuk jenis material tertentu (x(Ba) = 0.75)
menandai awal fenomena kooperatif superkonduktif dalam butir-butir yang terisolasi.

Granularitas sistem juga dibahas, dengan resistivitas logaritmik yang menunjukkan awal
lokalisasi. Ketika temperatur turun di bawah titik tertentu (T), koneksi Josephson antara butir-
butir yang terkunci fasa terbentuk secara bertahap, menyebabkan resistivitas bulk menurun
dengan faktor 3 menjadi nol. Namun, pada kerapatan arus yang lebih tinggi, persimpangan
Josephson yang lebih lemah bergeser ke resistivitas normal, menghasilkan perubahan suhu.
Pergeseran ini ditunjukkan pada penurunan resistivitas datar di bawah 80% pada Gambar 1 dan
kurva (6) pada Gambar 2, di mana sambungan diperlihatkan untuk bertransisi ke keadaan alami-
ahnya. Para peneliti juga menekankan pentingnya persiapan sampel, mencatat bahwa oksalat
harus ditambahkan ke sampel dan sampel harus dianil pada suhu di bawah 940 deg C untuk
menghasilkan fase non-perovskit dengan rentang perilaku yang stabil. Mereka menganggap
penemuan superkonduktivitas suhu tinggi dalam sistem Ba − La − Cu − O sebagai kemajuan
besar dalam bidang ini, yang mengarah pada pengembangan berbagai bahan superkonduktor
suhu tinggi lainnya. Namun demikian, mereka mengakui bahwa penelitian lebih lanjut diper-

2
Gambar 2: Resistivitas pada sampel-sampel dengan temperatur rendah, dengan x(Ba) = 1.0
annealed pada tekanan parsial O2 sebesar 0.2 bar pada kurva 1 dan 0.2 × 10−4 bar pada kurva
2 sampai dengan 7

lukan untuk sepenuhnya memahami proses di balik superkonduktivitas suhu tinggi dalam sistem
Ba − La − Cu − O dan untuk mengidentifikasi bahan alternatif dengan sifat yang serupa. De-
monstrasi superkonduktivitas superkonduktivitas suhu tinggi sistem Ba−La−Cu−O memiliki
implikasi signifikan untuk studi superkonduktivitas, menurut kesimpulan artikel tersebut.

3
Gambar 3: Resistivitas temperatur rendah dari sampel x(Ba) = 0.75 untuk current density
yang berbeda

Anda mungkin juga menyukai