Anda di halaman 1dari 12

Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan 17 (01) (2019) 55-66

P edagogia Jurnal Ilmu Pendidikan


http://ejournal.upi.edu/index.php/pedagogia

Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak, Pembagian dan


Cara Menanggulanginya
Kusumasari Kartika Hima Darmayanti
Farida Kurniawati
Dominikus David Biondi Situmorang
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
kusumasari.kartika@ui.ac.id

Abstract Article Info


Bullying cases occur a lot in Indonesia, which involves school students. That hinders
their learning process. The research aims to determine the understanding, impact, Naskah Diterima :
2018-11-20
distribution and ways of overcoming bullying. The study uses a literature study
approach on the basic theory, impact, division and ways to overcome bullying. The Naskah Direvisi:
definition of bullying refers to Olweus (1999), which defines abuse as a psychosocial 2019-04-08
problem by repeatedly humiliating and demeaning others with negative impacts on
abusers and victims of abuse where the perpetrator has more power than the Naskah Disetujui:
victim. In line with technological advances, bullying does not only occur face-to- 2019-05-12
face, but also occurs on social media platforms. Some education practitioners can
overcome the effects of bullying and minimize the number of bullying with several
intervention programs for school students by involving parents, peers, educators,
school counselors, school administrators, and school residents.

Keywords: Bullying, Classification, Definition, Effects, Interventions

Abstrak
Kasus bullying banyak terjadi di Indonesia yang mana melibatkan siswa sekolah. Hal
itu menghambat proses belajar siswa sekolah. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengertian, dampak, pembagian dan cara menanggulangi bullying.
Penelitian menggunakan pendekatan studi literature mengenai teori dasar,
dampak, pembagian dan cara menanggulangi bullying. Definisi bullying mengacu
pada Olweus (1999), yang mendefinisikan bullying sebagai masalah psikososial
dengan menghina dan merendahkan orang lain secara berulang-ulang dengan
dampak negatif terhadap pelaku dan korban bullying di mana pelaku mempunyai
kekuatan yang lebih dibandingkan korban. Sejalan dengan kemajuan teknologi,
bullying tidak hanya terjadi secara face-to-face, namun juga terjadi pada platform
media sosial. Beberapa praktisi pendidikan bisa menanggulangi dampak bullying
dan meminimalisir angka bullying dengan beberapa program intervensi terhadap
siswa sekolah dengan melibatkan orang tua, teman sebaya, pendidik, konselor
sekolah, administrator sekolah, dan warga sekolah.

Kata Kunci: Bullying, Pembagian, Definisi, Dampak, Intervensi

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
56 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

A. PENDAHULUAN sebagai kekerasan sosial, dan bullying


Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai dinamika kelompok disfungsional
(KPAI, 2016) mengidentifikasi kasus yang (Schott, 2014). Bullying merupakan
mengacu pada klaster perlindungan anak tindakan agresif, baik secara fisik maupun
dari tahun 2011-2016. KPAI menyebutkan verbal, yang dilakukan oleh individu
angka korban bullying di atas 50 sejak (Schott, 2014). Tindakan tersebut
2011-2016. Terakhir, pada tahun 2016 dilakukan secara berulang kali, dan
angka korban mencapai 81. Angka terdapat perbedaan kekuatan antara
tersebut ditemukan pada kasus bullying pelaku dan korban (Schott, 2014).
yang terjadi di lingkungan sekolah. Untuk Perbedaan kekuatan dalam hal ini
angka pelaku bullying, KPAI (2016) merujuk pada sebuah persepsi terhadap
menemukan jumlah di atas 40 orang. kapasitas fisik dan mental (Schott, 2014).
Pada tahun 2016, jumlah pelaku bullying Selain itu, perbedaan kekuatan juga
di lingkungan sekolah mengalami terdapat pada jumlah pelaku dan korban
kenaikan menjadi 93 orang. (Schott, 2014).
Besarnya angka pelaku bullying Selanjutnya, penelitian Casas et al.
dibandingkan angka korban bullying (2013) menunjukkan bahwa empati
merupakan indikator bahwa bullying merupakan hal yang memengaruhi
dilakukan oleh beberapa orang dengan bullying. Individu yang peduli terhadap
korban yang tidak sebanding dengan keadaan korban, mengenali perasaan
kelompok yang melakukan bullying. korban, dan memahami dampak yang
Bullying tidak sekedar mencermati pelaku terjadi akibat perilaku kekerasan, akan
bullying dan korbannya (Schott, 2014). mengurangi kecenderungan terhadap
Fenomena bullying tidak hanya dilihat dari tindakan kekerasan. Demikian, empati
sudut pandang individu pelaku dan merupakan hal yang terlibatkan pada
korban, tetapi hal itu lebih menitikberatkan interaksi dan fenomena sosial. Di sisi lain,
pada aspek sosial yang melatarbelakangi perkembangan teknologi mempermudah
fenomena tersebut terjadi (Schott, 2014). komunikasi dan interaksi. Walaupun
Iklim sosial sering menjadi indikator komunikasi terjalin pada platform daring,
beberapa fenomena yang muncul di empati tetap berperan dalam interaksi di
masyarakat. Termasuk bullying, korban ranah media sosial. Individu dengan
mengalami kekerasan karena dianggap di tingkat empati yang rendah terlihat mudah
luar lingkaran sosial pelaku bullying. melakukan kekerasan dan penghinaan
Karena poin bullying terletak pada pada platform media sosial. Bullying yang
fenomena sosial, Olweus (1999) terjadi pada komunikasi secara daring
mendefinisikan bullying sebagai masalah merupakan cyberbullying, sedangkan
psikososial dengan menghina dan bullying yang terjadi secara luring disebut
merendahkan orang lain secara berulang- traditional bullying (Casas et al, 2013).
ulang dengan dampak negatif terhadap Lebih lanjut, terkait fenomena
pelaku dan korban bullying di mana cyberbullying, penelitian yang dilakukan
pelaku mempunyai kekuatan yang lebih oleh Kwan dan Skoric (2013) terkait
dibandingkan korban. Mengacu pada bullying pada platform sosial media
definisi bullying menurut Olweus (1999), Facebook bahwa bullying yang dilakukan
Schott (2014) memetakan tiga poin yang secara luring berimplikasi pada intensitas
terdapat pada definisi tersebut. bullying daring (Kwan & Skoric, 2013).
Diantaranya adalah terkait bullying Latar belakang penelitian mengacu pada
sebagai tindakan agresi individu, bullying kualitas performa akademik yang

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 17 (1) (2019) I 57

diakibatkan oleh pengalaman menjadi cyberbullying, persamaan traditional


korban bullying. Tidak hanya kualitas bullying dan cyberbullying, dan tindakan
akademik, pengalaman korban bullying prevensi dan intervensi terhadap bullying.
memengaruhi trauma emosional hingga
bunuh diri (Kwan & Skoric, 2013). Sejalan
dengan berkembangnya teknologi, media B. TINJAUAN PUSTAKA
dalam menjalin interaksi sosial merambah Olweus (1999) mendefinisikan
pada wadah daring. Hubungan interaksi bullying sebagai masalah psikososial
yang terjalin dalam secara luring (face to dengan menghina dan merendahkan
face) tertransformasikan pada wadah orang lain secara berulang-ulang dengan
interaksi daring (dalam hal ini Facebook). dampak negatif terhadap pelaku dan
Perbedaan antara traditional bullying korban bullying di mana pelaku
dan cyberbullying adalah pada proses mempunyai kekuatan yang lebih
interaksi. Traditional bullying terjadi ketika dibandingkan korban.
pelaku dan korban berhadap muka, Bullying yang marak terjadi
sedangkan cyberbullying terjadi ketika dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.
mereka tidak berhadapan. Penelitian Rosen et al. (2017) menjelaskan beberapa
Kowalski dan Limber (2013) faktor yang menyebabkan bullying dalam
mengungkapkan bahwa cyberbullying bukunya, diantaranya adalah faktor
menggunakan internet sebagai media internal dan eksternal. Faktor internal
interaksi sosial dan komunikasi. Di sisi yang menyebabkan bullying adalah faktor
lain, banyak aplikasi yang tersedia melalui temperamental dan faktor psikologi
internet, sehingga hal itu juga berimplikasi terhadap intensitas melakukan tindakan
terhadap efek adiksi terhadap internet. agresi (Rosen et al., 2017). Pelaku
Walaupun penggunaan internet yang bersikap impulsif dan minimnya
berlebihan mempengaruhi intensitas kemampuan regulasi diri (Rosen et al.,
interaksi sosial, namun ketidakmampuan 2017). Apabila mereka melakukan
dalam kontrol diri dalam berinteraksi pada tindakan kekerasan, mereka tidak merasa
media sosial tetap berpeluang untuk bersalah ataupun berempati terhadap
melakukan tindakan bullying. korban. Demikian, individu yang
Terakhir, penelitian Waasdorp, melakukan tindakan bullying memiliki
Catherine, dan Bradshaw (2015) kemampuan sosial yang rendah (Rosen et
menunjukkan bahwa traditional bullying al., 2017).
bisa memengaruhi cyberbullying. Selanjutnya, Menesini et al. (2013)
Kekerasan secara verbal dan fisik yang meneliti terkait aspek moral pada perilaku
terjadi ketika bertemu langsung dan tatap dan tindakan bullying. Penelitian bertujuan
muka bisa terjadi dalam kondisi kekerasan menguji peran perilaku tidak bermoral
secara verbal di media sosial. Sebaliknya, terhadap keterlibatan dalam bullying. Hasil
kekerasan yang terjadi pada media sosial penelitian menunjukkan bahwa moral
bisa berimplikasi pada kekerasan dan berperan pada tindakan pelaku bullying.
penghinaan ketika berhadapan secara Faktor eksternal yang
langsung. mengakibatkan tindakan bullying ialah
Mengacu pada penjelasan di atas, pola asuh orang tua (Lereya et al., 2013).
penelitian ini bertujuan untuk Hal itu meliputi meliputi bagaimana orang
mengeksplorasi beberapa hal terkait tua melakukan kekerasan kepada mereka
dampak bullying, pengertian dan ruang dan pola asuh dengan kontrol yang
lingkup traditional bullying dan rendah dengan kehangatan yang tinggi,

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
58 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

mengamati perilaku dan tindakan Di sisi lain, terdapat beberapa literature


kekerasan pengamatan termasuk yang terbit dari tahun 1999-2010. Hal itu
bagaimana orang tua melakukan agresi disebabkan, bahwa literature tersebut
terhadap orang lain atau ketika mereka merupakan pokok teori dalam kajian
melihat orang lain melakukan tindakan bullying.
tersebut kemudian mereka melakukan
tindakan agresi yang mereka amati,
pengaruh teman terbentuk ketika D. HASIL DAN PEMBAHASAN
lingkaran pertemanan umumnya 1. Dampak Bullying
menyesuaikan dengan karakter yang Dampak tindakan bullying tidak
sama sehingga mereka akan menjalin hanya pada korban, tetapi dampak
pertemanan dengan teman dengan tersebut juga mengenai pelaku bullying
individu agresif yang kemudian dan korban-pelaku bullying. Penelitian
berimplikasi terhadap perilaku anti-sosial, yang dilakukan oleh Skrzypiec et al.
pemaparan informasi melalui media, film (2012) menghasilkan pemahaman bahwa
yang menunjukkan tindakan agresif juga dampak negatif bullying dirasakan oleh
menjadi model untuk melakukan tindakan korban, pelaku, korban-pelaku bullying.
bullying, dan mendengarkan lagu dengan Penelitian tersebut menggunakan alat
lirik yang mengindikasikan terhadap ukur Strengths and Difficulties
tindakan agresif, serta bermain video Questionnaire (SDQ, Goodman, 1997
games (Rosen et al., 2017). Demikian, dalam Skrzypiec et al., 2012). Korban,
lingkungan sosial merupakan faktor yang pelaku, korban-pelaku bullying mengalami
mendasari individu dalam melakukan gangguan kesehatan mental (Skrzypiec et
tindakan kekerasan. al., 2012).
Penelitian Rosen et al. (2017), Sebagaimana telah disebutkan
Lereya et al. (2013), Menesini et al. (2013) sebelumnya bahwa pelaku bullying
hanya menjelaskan terkait faktor internal mempunyai intensitas empati yang minim
dan eksternal yang berkontribusi terhadap dalam fenomena interaksi sosial.
perilaku bullying, tanpa menjelaskan Skrzypiec et al. (2012) menyebutkan
dampak bullying, pembagian bullying, dan bahwa mereka mengalami permasalahan
program intervensi untuk menanggulangi perilaku abnormal, hiperaktif, dan pro-
perilaku bullying untuk ke depannya. sosial ketika terlibat dalam proses
interaksi sosial. Baik empati maupun
perilaku abnormal, perilaku hiperaktif, dan
C. METODE PENELITIAN pro-sosial sangat berkaitan dengan
Penelitian menggunaka metode respon pelaku ketika dirinya terlibat
kajian literatur. Kajian literatur melibatkan dengan lingkungan sosial sekitar. Berbeda
literatur yang diperoleh secara daring, dengan korban-pelaku, tingkat gangguan
yang terdiri dari artikel jurnal/penelitian kesehatan mental mereka lebih besar
dan buku. Analisis terhadap literatur dibandingkan pelaku dan korban bullying.
bertujuan untuk menjawab enam Mereka adalah individu yang melakukan
pertanyaan penelitian yang telah tindakan bullying, namun mereka juga
dirumuskan sebelumnya. menjadi korban bullying (Slee &
Selanjutnya, literatur yang diperoleh Skrzypiec, 2016). Mereka mengalami
terbentang dari tahun lima tahun terakhir. permasalahan pro-sosial, hiperaktif, dan
Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui isu perilaku (Skrzypiec et al., 2012). Untuk
terkini dan perkembangan teori bullying. korban bullying, penelitian Skrzypiec et al.

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 17 (1) (2019) I 59

(2012) menjelaskan bahwa mereka Lebih lanjut, penelitian Wolke et al.


berada pada rating antara pelaku dan (2013) menemukan bahwa bullying
korban-pelaku bullying. Mereka berdampak pada kapasitas kesehatan,
mempunyai masalah dengan kesehatan perilaku ilegal, ekonomi, dan hubungan
mental, terutama gejala emosional sosial. Angold et al. (2012)
(Skrzypiec et al., 2012). Hal yang sering mengkonsepkan keempat dampak dari
ditemukan adalah mereka sering terisolasi bullying, bahwa secara fisik korban
secara sosial, tidak mempunyai teman bullying mengalami cedera fisik yang
dekat atau sahabat, dan tidak memiliki serius dan beberapa penyakit seksual
hubungan baik dengan orang tua (Rosen (seperti: HIV). Dari segi kesehatan psikis,
et al., 2017). korban mengalami gangguan kecemasan,
Korban bullying juga mengalami gangguan depresi, dan gangguan
kekerasan fisik, untuk bullying yang kepribadian antisosial (Angold et al.,
bersifat kekerasan secara fisik. Tindakan 2012). Perilaku ilegal yang dilakukan oleh
kekerasan secara fisik dan verbal yang pelaku bullying sebagaimana berbohong
mereka terima sering menjadi faktor terhadap orang lain, sering berkelahi,
trauma untuk jangka pendek dan jangka merampok rumah, toko, atau hal lain yang
panjang. Trauma memengaruhi terhadap berkaitan dengan properti, mabuk,
penyesuaian diri dengan lingkungan, yaitu konsumsi narkotika dan obat-obatan
dalam hal ini adalah lingkungan sekolah terlarang lainnya, dan aktivitas seksual di
(Modecki et al., 2014). Bahkan, penelitian luar pernikahan (Angold et al., 2012).
yang dilakukan oleh Cornell et al. (2013) Korban mengalami putus sekolah dan
menemukan bahwa bullying merupakan tidak melanjutkan sekolah merupakan
prediktor untuk tingkat prestasi akademik indikator status sosial ekonomi (Angold et
dan putus sekolah siswa Sekolah al., 2012). Selain itu, problematika dalam
Menengah Atas (SMA). hal pekerjaan dinilai dengan putusnya
Apabila penelitian Cornell et al. hubungan kerja dan keluar dari pekerjaan
(2013) dilakukan pada siswa SMA, tanpa adanya kesiapan finansial (Angold
partisipan penelitian Takizawa et al. et al., 2012). Akibatnya, permasalahan
(2014) berusia 7, 11, 16, 23, 33, 42, 45, keuangan yang lainnya muncul, seperti
dan 50 tahun yang berjalan selama 50 tidak bisa menyelesaikan tagihan hutang
tahun sejak tahun 1958. Penelitian dan buruknya pengelolaan keuangan
tersebut menyimpulkan bahwa bullying (Angold et al., 2012). Sementara untuk
yang terjadi pada anak-anak hubungan sosial, Angold et al. (2012)
mengakibatkan tingginya tingkat depresi, tertuju pada perilaku kekerasan dalam
kecemasan, dan bunuh diri ketika dewasa hubungan sosial, meliputi: hubungan
(Takizawa et al., 2014). Tidak hanya itu, romantis, hubungan yang tidak baik
mereka bahkan mengalami permasalahan terhadap orang tua, teman dan orang
dalam hubungan sosial, kondisi ekonomi kepercayaan, dan permasalahan dalam
yang memburuk, dan rendahnya well- pertemanan dan mempertahankan teman.
being ketika menginjak usia 50 tahun
(Takizawa et al., 2014; Slee & Skrzypiec, 2. Traditional Bullying
2016). Demikian, bullying berdampak Beberapa sumber menyebutkan
pada rendahnya tingkat hubungan sosial bahwa definisi traditional bullying
korban, kesehatan mental dan fisik, dan seringkali tumpang tindih dengan definisi
persoalan ekonomi (Takizawa et al., bullying. Sebagaimana Sticca & Perren
2014). (2013) yang mengajukan definisi bullying

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
60 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

(bullying) yang mengacu pada konsep secara fisik atau verbal yang merujuk
traditional bullying. Karena pada pada
pendefinisian bullying berdasarkan pada seksualitas atau identitas gender
traditional bullying, Sticca & Perren (2013) seseorang (Dupper, 2013). Bullying
mengartikan bullying (bullying) seksual sebagaimana mengolok-olok
berdasarkan pada definisi yang diajukan seseorang untuk homoseksual, mengolok-
oleh Olweus (1999). Dengan demikian, olok organ sensitif perempuan,
traditional bullying berarti perilaku agresif menggunakan istilah seksual (misalnya,
yang dilakukan berulang kali dengan perempuan malam) untuk menjatuhkan
sengaja terhadap korban yang tak reputasi orang, menyebarkan rumor
berdaya (Olweus, 1999, Sticca & Perren, tentang kehidupan seks korban, dan
2013). Perbedaan traditional bullying menekan seseorang untuk bertindak
dengan cyberbullying terletak pada dengan cara seksual (misalnya, proposisi
penggunaan media elektronik dalam seksual) (Dupper, 2013; Duncan, 2012).
interaksi sosial dan komunikasi (Sticca & Bullying seksual tidak hanya terjadi pada
Perren, 2013). perempuan saja, namun juga terjadi pada
Waasdorp & Bradshaw (2015) laki-laki. Selain itu, bullying tipe ini juga
menguraikan bullying pada tiga poin, tidak hanya terjadi pada intra-gender saja,
yakni: fisik, verbal, dan hubungan. Bullying namun juga pada kasus seksual inter-
fisik berupa tindakan agresi individu gender (Duncan, 2012).
terhadap individu lain yang melibatkan Bullying tipe yang terakhir, apabila
anggota fisik, seperti: memukul dan merujuk pada Dupper (2013) adalah
menendang korban, sementara bullying bullying bias, dimana korban diserang
verbal adalah kekerasan yang dilakukan karena menjadi bagian atau anggota
secara verbal (baik melalui lisan maupun suatu kelompok yang termarginalkan,
tulisan), seperti: menggoda, memanggil bukan dikarenakan karakter yang terdapat
dengan sebutan yang menyakitkan, dan pada korban. Dalam hal ini, kasus yang
mengancam (Waasdorp & Bradshaw, sering terjadi adalah ketika individu
2015; Dupper, 2013). Selanjutnya, bullying menjalin pertemanan dengan korban yang
hubungan ialah di mana pelaku tidak sering menerima perlakuan bullying.
secara langsung menghadapi korban Individu tersebut dipukul atau dihina
dengan mencoba untuk mengisolasi karena dia berteman dengan individu yang
korban secara sosial dan memisahkan selalu mendapatkan perlakuan bullying
korban dari kelompok sosial (Waasdorp & (Dupper, 2013).
Bradshaw, 2015; Dupper, 2013).
Termasuk pada tipe bullying relasi ialah 3. Cyberbullying
menyebarkan rumor jelek yang Para peneliti di dunia menemukan
dimaksudkan untuk merusak reputasi kesulitan untuk mencapai konsensus
korban, menolak dan mempermalukan tentang bagaimana mendefinisikan
korban, dan memanipulasi persahabatan cyberbullying itu sendiri (misalnya,
(Waasdorp & Bradshaw, 2015; Dupper, Olweus, 2013; Smith, del Barrio, &
2013). Tokunaga, 2012; Ybarra, Boyd,
Selanjutnya, Dupper (2013) Korchmaros, & Oppenheim, 2012).
menambahkan dua tipe bullying yang Namun, dapat disimpulkan bahwa
termasuk dalam traditional bullying, yakni: cyberbullying merupakan sebuah perilaku
bullying seksual dan bullying bias. Bullying bullying yang terjadi di dalam berbagai
seksual merupakan perilaku bullying media teknologi. Secara khusus,

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 17 (1) (2019) I 61

Kowalski, Limber, dan Agatston (2012) di antara individu yang hubungannya


mendefinisikan cyberbullying sebagai dicirikan oleh ketidakseimbangan
"bullying yang dilakukan kepada orang kekuasaan (Kowalski, Giumetti,
lain melalui email, sms, di chat room, di Schroeder, & Lattanner, 2014; Kowalski et
situs web, atau melalui pesan digital atau al., 2012). Dalam hal ini,
gambar yang dikirimkan ke telepon ketidakseimbangan kekuasaan dapat
seluler". Lebih lanjut, Smith et al. (2008) dilihat dari perbedaan dalam hal fisik
mengkonseptualisasi cyberbullying maupun status sosial.
sebagai "suatu tindakan agresif yang Terlepas dari kesamaan yang
disengaja, yang dilakukan oleh kelompok dimiliki oleh traditional bullying dan
atau individu, menggunakan media cyberbullying, kedua hal ini juga berbeda
elektronik, secara berulang kali dan dari satu sama lain dalam beberapa hal.
waktu ke waktu terhadap korban yang Pertama, traditional bullying yang terjadi di
tidak dapat dengan mudah membela sekolah, hanya terjadi selama berada di
dirinya sendiri”. sekolah saja (Rosen, DeOrnellas, & Scott,
Salah satu alasan mengapa 2017). Namun berbeda dengan
cyberbullying terbukti sulit untuk cyberbullying, yang dapat terjadi kapan
didefinisikan adalah bahwa cyberbullying saja dan di mana saja (Kowalski &
terjadi dalam bentuk yang beragam dan di Morgan, 2017). Dengan demikian, korban
dalam media yang berbeda-beda cyberbulling jauh lebih rentan
(misalnya, game online, situs jejaring dibandingkan dengan traditional bullying,
sosial, sms, situs web). Lebih lanjut, karena setiap saat ia bisa saja
tempat di mana cyberbullying paling mendapatkan hal yang tidak
mungkin terjadi biasanya mencerminkan menyenangkan dari orang lain. Kedua,
bentuk teknologi yang paling populer pelaku cyberbullying dapat bersembunyi
dalam mode pada waktu tertentu untuk melalui akun-akun anonim, sehingga
kelompok usia tertentu (Kowalski & identitas asli si pelaku tidak diketahui oleh
Limber, 2013). Terlepas dari bentuk dan korban (Kowalski & Morgan, 2017).
tempat, sifat dasar cyberbullying tetap Bersembunyi di balik tabir anonimitas,
sama seperti traditional bullying yaitu mengakibatkan banyak orang melakukan
sebagai sebuah tindakan agresif yang berani cyberbullying, karena merasa
dimaksudkan untuk menyakiti individu lain. bahwa identitasnya dapat disembunyikan
(Barlett, 2014). Ketiga, terdapat
4. Persamaan dan Perbedaan antara perbedaan respon korban yang terjadi
Traditional Bullying dan pada traditional bullying dan cyberbullying.
Cyberbullying di Sekolah Para korban traditional bullying biasanya
Cyberbullying juga sulit untuk takut melaporkan kepada pihak-pihak
dikonseptualisasikan karena adanya yang berwajib, karena takut terjadi
kesamaan dan perbedaannya dengan pembalasan dari pelaku. Sementara,
traditional bullying. Cyberbullying mirip korban cyberbullying biasanya melakukan
dengan traditional bullying dalam report spam/account pada pihak yang
beberapa hal. Seperti halnya yang terjadi bertanggung jawab pada media tersebut,
pada traditional bullying, cyberbullying atau memilih diam dan tidak melaporkan
juga merupakan sebuah tindakan agresi apa-apa karena takut akun mereka
yang menyebabkan kerugian pada orang diambil oleh pihak yang berwajib demi
lain, yang biasanya dilakukan secara kepentingan penyelidikan lebih lanjut.
berulang dari waktu ke waktu, dan terjadi Keempat, motif untuk terlibat dalam

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
62 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

traditional bullying dan cyberbullying pendidik, konselor sekolah, administrator


mungkin berbeda satu sama lain sekolah, dan warga sekolah.
(Kowalski et al., 2014). Pelaku Pengembangan program
cyberbullying biasanya tidak dapat melihat pencegahan dan intervensi yang efektif
efek langsung dari perilaku bullying yang dalam mengurangi perilaku bullying,
mereka lakukan pada korban mereka, diperlukan suatu pendekatan yang
namun pelaku traditional bullying dapat komprehensif mencakup seluruh sistem,
melihat efek langsung dari perilaku termasuk orang tua, teman sebaya,
bullying yang mereka lakukan pada pendidik, konselor sekolah, administrator
korban mereka. Hal ini berkaitan dengan sekolah, dan warga sekolah.
rasa puas yang didapatkan oleh pelaku Pertama, sekolah harus melakukan
bullying (Vannucci, Nocentini, Mazzoni, & asesmen (Kowalski & Morgan, 2017).
Menesini, 2012). Dalam hal ini, sekolah dapat memberikan
kuesioner singkat kepada siswa untuk
5. Prevensi dan Intervensi terhadap mengetahui kecenderungan siapa yang
Fenomena Bullying di Sekolah mengalami bullying. Siswa dari jenis
Banyak di antara orang tua tidak kelamin dan tingkat kelas tertentu dapat
memahami fenomena traditional bullying diidentifikasi sebagai pelaku dan / atau
dan cyberbullying, serta kurang menyadari korban. Kedua, sekolah dapat melakukan
akibat dari kedua perilaku tersebut. Selain FGD kepada para siswa untuk
itu juga, banyak pendidik di sekolah yang mengumpulkan informasi yang berguna
enggan membahas terjadinya bullying di tentang berbagai informasi terkait bullying
sekolah mereka sendiri, sehingga yang terjadi di sekolah, baik itu melalui
menyebabkan para siswa yang menjadi traditional bullying maupun cyberbullying.
korban semakin tidak berdaya dan para Melalui FGD tersebut, sekolah dapat
siswa yang menjadi pelaku merasa bahwa mengetahui konten dan platform (yaitu,
iklim sekolah “membiarkan” tingkah laku aplikasi dan situs web) apa saja yang
mereka. Maka, langkah pertama yang dijadikan sebagai sarana untuk melakukan
harus dilakukan untuk menangani cyber bullying. Asesmen yang dilakukan
permasalahan traditional bullying dan oleh sekolah tersebut dapat sangat
cyberbullying di sekolah ialah mengenali bermanfaat, karena biasanya tidak semua
dan menyadari bahwa permasalahan itu orang memiliki konsep yang akurat
ada (Kowalski & Morgan, 2017). tentang bullying di sekolah.
Setelah permasalahan tersebut Selain itu, “upaya efektif untuk
dikenali dan disadari, sekolah dapat mulai mencegah dan mengatasi bullying
menerapkan program pencegahan primer membutuhkan perhatian terhadap faktor-
yang diarahkan untuk mengurangi insiden faktor individu yang dapat berkontribusi
traditional bullying dan cyberbullying, dan pada kemungkinan bullying, seperti
selanjutnya menyusun program-program karakteristik, dan tantangan anak-anak
intervensi untuk menanggulangi kasus dan remaja, serta faktor dalam ekologi
yang telah terjadi (Kowalski & Morgan, sosial individu, termasuk keluarga anak,
2017). Pengembangan program sekolah, kelompok sebaya, dan
pencegahan dan intervensi yang efektif komunitas” (Limber et al., 2016). Setiap
dalam mengurangi perilaku bullying, anak memiliki pengalaman sosial yang
diperlukan suatu pendekatan yang unik, lebih lanjut menandakan kebutuhan
komprehensif mencakup seluruh sistem, untuk perhatian individual. Antara lain,
termasuk orang tua, teman sebaya, keterlibatan siswa dalam jenis-jenis

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 17 (1) (2019) I 63

bullying lainnya (sebagai pelaku, maupun Orang tua sering kali diabaikan dan
korban), status sosial di sekolah, tingkat tidak diikutsertakan dalam program
kelas, dan sebagainya adalah variabel penanggulangan terhadap bullying seperti
yang relevan. ini, seharusnya mereka perlu terlibat aktif
Faktor iklim sekolah juga harus (Simon & Olson, 2014). Mengingat bahwa
diperhatikan dalam program pencegahan jumlah cyberbullying yang signifikan
dan intervensi. Iklim kebaikan, kasih terjadi di luar sekolah (yang masih
sayang, dan empati perlu ditekankan memengaruhi siswa selama hari sekolah),
sebagai norma, dan siswa perlu diajari orang tua perlu dilatih untuk mengenali
bahwa bullying adalah pilihan perilaku cyberbullying dan untuk berkomunikasi
buruk yang tidak akan dihargai oleh dengan anak mereka tentang hal ini.
siapapun (Kowalski, et al., 2012; Simon & Orang tua juga harus didorong untuk
Olson, 2014). terlibat dalam pengembangan program
Titik awal yang baik untuk diskusi dan kebijakan yang berkaitan dengan
mengenai bullying dan kesejahteraan pencegahan bullying (Limber et al., 2016).
digital adalah di dalam kelas. Program Siswa yang melihat bahwa orang tua
pencegahan dan intervensi terhadap mereka secara aktif terlibat dalam upaya
bullying yang paling efektif bukanlah yang penanggulangan bullying di sekolah
berhasil mengundang seorang pembicara mereka, akan lebih cenderung mendekati
yang berpengetahuan luas untuk sebuah orang tua mereka sebagai titik kontak
pertemuan para siswa tentang bullying. pertama dalam peristiwa yang terjadi di
Rancangan seperti ini sering dalam cyberbullying itu sendiri.
digunakan di sekolah-sekolah, tetapi tidak
secara efektif memberikan perhatian dan
memfokuskan di tiap tingkatan kelas yang
E. KESIMPULAN
ada. Meskipun informasi yang diberikan
Dampak dari bullying tidak hanya
oleh pembicara itu bermanfaat, program
dirasakan oleh korban bullying, akan
yang paling efektif adalah program yang
tetapi juga berimplikasi terhadap perlaku
waktu kelasnya dikhususkan untuk diskusi
bullying. Dampak bullying berupa
dan kegiatan tentang bullying (Limber,
gangguan kesehatan mental. Sementara
Kowalski, & Agatston, 2014a). Situasi
itu, terdapat dua pembagian bullying,
dapat disajikan kepada siswa dan siswa
mengacu pada media yang dilibatkan,
diminta untuk mengidentifikasi apakah
yakni traditional bullying dan
situasinya tersebut mengandung unsur
cyberbullying. Keduanya merupakan
bullying atau tidak, Dalam diskusi kelas
sebuah tindakan agresi yang
ini, siswa dapat diberikan pertanyaan
menyebabkan kerugian pada orang lain,
mengenai apa yang mereka ketahui
yang biasanya dilakukan secara berulang
tentang kebijakan sekolah tentang
dari waktu ke waktu, dan terjadi di antara
bullying, bagaimana siswa melaporkan
individu yang hubungannya dicirikan oleh
bullying, dan bagaimana mereka
ketidakseimbangan kekuasaan (Kowalski
seharusnya menanggapi dengan baik
et al.,, 2014; Kowalski et al., 2012).
dalam situasi bullying yang mereka terima.
Untuk tindakan prevensi dan
Ini dapat memberikan siswa kesempatan
intervensi terhadap bullying terdapat
untuk terlibat dalam dialog terbuka di
beberapa poin, yaitu: (1) Mengenali dan
lingkungan yang aman. Selain itu, dapat
menyadari bahwa permasalahan itu ada
membantu para siswa untuk mengenali
(Kowalski & Morgan, 2017). (2)
perilaku bullying yang sebenarnya.
Selanjutnya menyusun program-program

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
64 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

intervensi untuk menanggulangi kasus Selanjutnya dengan menggunakan pre-


yang telah terjadi (Kowalski & Morgan, test dan post-test diolah dengan analisis
2017) (3) Iklim kebaikan, kasih sayang, Anova terhadap program yang diberikan.
dan empati perlu ditekankan sebagai (2) Mengembangkan alat ukur yang
norma (Kowalski, et al., 2012; Simon & mengukur bullying dan traditional bullying
Olson, 2014). (4) Orangtua perlu terlibat dari perspektif pelaku dan korban, di mana
aktif dalam penanggulangan dan alat ukur tersebut dikembangkan dalam
penyelesaian masalah bullying (Simon & konteks budaya Indonesia. (3) Melakukan
Olson, 2014). penelitian yang mengkomparasi perilaku
Saran untuk penelitian selanjutnya dan tindakan bullying pada traditional
adalah: (1) Mengaplikasikan program bullying dan cyberbullying. (4) Mengkaji
prevensi dan intervensi kepada siswa. strategi coping korban bullying.

DAFTAR PUSTAKA
Angold, A., Erkanli, A., Copeland, W., Goodman, R., Fisher, P. W., & Costello, E. J. (2012).
Psychiatric diagnostic interviews for children and adolescents: a comparative study.
Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 51(5), 506-
517.https://doi.org/10.1016/j.jaac.2012.02.020.
Barlett, C., & Coyne, S. M. (2014). A meta-analysis of sex differences in cyber-bullying
behavior: The moderating role of age. Aggressive Behavior, 40, 474–488.
doi:10.1002/ab.21555.
Casas, J. A., Del Rey, R., & Ortega-Ruiz, R. (2013). Bullying and cyberbullying: Convergent
and divergent predictor variables. Computers in Human Behavior, 29(3), 580-587.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.11.015.
Cornell, D., Gregory, A., Huang, F., & Fan, X. (2013). Perceived prevalence of teasing and
bullying predicts high school dropout rates. Journal of Educational Psychology, 105(1),
138. DOI: 10.1037/a0030416.
Duncan, N. (2012). Sexual bullying: Gender conflict and pupil culture in secondary schools.
London: Routledge.
Dupper, D. R. (2013). School bullying: New perspectives on a growing problem. New York,
NY: Oxford University Press.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2016). Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster
Perlindungan Anak, 2011-2016 [Tabel Ilustrasi KPAI Juli 17, 2016]. Retrieved from
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-
berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016.
Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological, physical, and academic correlates of
cyberbullying and traditional bullying. Journal of Adolescent Health, 53, S13–S20.
Kowalski, R. M., & Morgan, M. E. (2017). Cyberbullying in Schools. The Wiley Handbook of
Violence and Aggression, 1-12.
Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. W., & Lattanner, M. R. (2014). Bullying in
the digital age: A critical review and meta-analysis of cyberbullying research among
youth. Psychological Bulletin, 140, 1073–1137. doi:10.1037/a0035618
Kowalski, R. M., Limber, S. E., & Agatston, P. W. (2012). Cyberbullying: Bullying in the
digital age (2nd ed.). Malden, MA: Wiley-Blackwell.

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
Pedagogia Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 17 (1) (2019) I 65

Kowalski, R. M., Morgan, C., & Limber, S. (2012). Traditional bullying as a potential warning
sign of cyberbullying. School Psychology International, 33, 505–519.
doi:10.1177/0143034312445244.
Kwan, G. C. E., & Skoric, M. M. (2013). Facebook bullying: An extension of battles in school.
Computers in human behavior, 29(1), 16-25.https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.07.014.
Lereya, S. T., Samara, M., & Wolke, D. (2013). Parenting behavior and the risk of becoming
a victim and a bully/victim: A meta-analysis study. Child abuse & neglect, 37(12),
1091-1108. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.03.001.
Limber, S., Kowalski, R. M., Agatston, P., & Huynh, H. (2016). Bullying and children with
disabilities. In B. Spodek & O. Saracho (Eds.), Research on bullying in early childhood
education (pp. 129–155). New York, NY: Information Age.
Limber, S., Kowalski, R. M., & Agatston, P. (2014a). Cyber bullying: A prevention curriculum
for grades 3–5 (2nd ed.) Center City, MN: Hazelton.
Limber, S., Kowalski, R. M., & Agatston, P. (2014b). Cyber bullying: A prevention curriculum
for grades 6–12 (2nd ed.) Center City, MN: Hazelton.
Menesini, E., Nocentini, A., & Camodeca, M. (2013). Morality, values, traditional bullying,
and cyberbullying in adolescence. British Journal of Developmental Psychology, 31(1),
1-14. DOI:10.1111/j.2044-835X.2011.02066.x.
Modecki, K. L., Minchin, J., Harbaugh, A. G., Guerra, N. G., & Runions, K. C. (2014).
Bullying prevalence across contexts: A meta-analysis measuring cyber and traditional
bullying. Journal of Adolescent Health, 55(5), 602-
611.https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2014.06.007.
Olweus, D. (1999). Sweden. The nature of school bullying: A cross-national perspective.
London & New York: Routledge.
Olweus, D. (2012). Cyberbullying: An overrated phenomenon? European Journal of
Developmental Psychology, 9, 520–538. doi:10.1080/17405629.2012.682358.
Rosen, L. H., DeOrnellas, K., & Scott, S. R. (2017). Bullying in School: Perspectives from
School Staff, Students, and Parents. Texas: Springer.
Schott, R. M., & Søndergaard, D. M. (Eds.). (2014). School bullying: New theories in context.
Cambridge University Press.
Simon, P., & Olson, R. (2014). Building capacity to reduce bullying. Washington, DC:
Institute of Medicine / National Research Council.
Skrzypiec, G. K., Slee, P. T., Askell-Williams, H., & Lawson, M. J. (2012). Associations
between types of involvement in bullying, friendships and mental health status.
Emotional and Behavioural Difficulties, 17(3–4), 259–272.
doi:10.1080/13632752.2012.704312.
Slee, P. T., & Skrzypiec, G. (2016). Well-being, positive peer relations and bullying in school
settings. Dordrecht, The Netherlands: Springer. DOI 10.1007/978-3-319-43039-3.
Smith, P. K., del Barrio, C., & Tokunaga, R. (2012). Definitions of bullying and cyberbullying:
How useful are the terms? In S. Bauman, D. Cross, & J. Walker (Eds.), Principles of
cyberbullying research: Definition, measures, and methods (pp. 29–40). Philadelphia,
PA: Routledge.
Sticca, F., & Perren, S. (2013). Is cyberbullying worse than traditional bullying? Examining
the differential roles of medium, publicity, and anonymity for the perceived severity of
bullying. Journal of youth and adolescence, 42(5), 739-750.DOI 10.1007/s10964-012-
9867-3.

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276
66 I Kusumasari, Farida, Dominikus. Bullying di Sekolah…….

Takizawa, R., Maughan, B., & Arseneault, L. (2014). Adult health outcomes of childhood
bullying victimization: evidence from a five-decade longitudinal British birth cohort.
American journal of psychiatry, 171(7), 777-784.
https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2014.13101401.
Vannucci, M., Nocentini, A., Mazzoni, G., & Menesini, E. (2012). Recalling unpresented
hostile words: False memories predictors of traditional and cyberbullying. European
Journal of Developmental Psychology, 9, 182–194.
doi:10.1080/17405629.2011.646459.
Waasdorp, T. E., & Bradshaw, C. P. (2015). The overlap between cyberbullying and
traditional bullying. Journal of Adolescent Health, 56(5), 483-
488.https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2014.12.002.
Wolke, D., Copeland, W. E., Angold, A., & Costello, E. J. (2013). Impact of bullying in
childhood on adult health, wealth, crime, and social outcomes. Psychological science,
24(10), 1958-1970. https://doi.org/10.1177/0956797613481608.
Ybarra, M. L., Boyd, D., Korchmaros, J. D., & Oppenheim, J. K. (2012). Defining and
measuring cyberbullying within the larger context of bullying victimization. Journal of
Adolescent Health, 51(1), 53-58.

DOI 10.17509/pdgia.v17i1.13980 
e.ISSN 2579-7700 p.ISSN 1693-5276

Anda mungkin juga menyukai