OLEH :
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya seringkali menghadapi
konflik antarsuku. Perbedaan agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat menjadi pemicu
terjadinya ketegangan antarsuku. Konflik antara Tionghoa dengan Pribumi ini terjadi pada
tahun 1972. Saat itu terbentuk mobilisasi massa ketika tiba-tiba tersebar berita bahwa ada
tukang becak yang terbunuh oleh warga keturunan Arab. Keesokan harinya seluruh tukang
becak yang ada di Surakarta berkumpul di lokasi kejadian tersebut karena ada yang
memprovokasi agar memprotes si pelaku pembunuhan tersebut. Mobilisasi masa juga menjadi
salah satu hal yang menyebabkan membesarnya suatu konflik yang terjadi pada tahun 1980
dengan lokasi yang masih sama, yaitu di Surakarta. Pada peristiwa tersebut terbentuk
mobilisasi masa yang disebabkan karena adanya provokasi oleh Pipiet sebab tidak terima atas
penyerangan yang menipanya, lalu Pipiet mengumpulkan sekitar 50 orang teman sekolahnya
untuk berdemo di jalan Urip Sumoharjo (Wasino, 2006: 65). Pada tahun 1998, sejumlah
mobilisasi massa sudah terjadi ketika ada aksi damai di UMS. Saat itu, aksi dari para
mahasiswa ini sangat sulit diredan oleh apadat keamanan (kepolisian) sehingga mereka keluar
kampus, ketika itu justru semakin banyak massa yang berkumpul. Selain itu juga ada
provokasi dari warga itu sendiri untuk membakar rumah-rumah orang China. Dari Ajakan-
ajakan tersebut akhirnya banyak warga berkumpul dan bergerak menuju pusat kota Surakarta.
Dalam konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ini ialah dengan
membantu menenangkan para warga yang tengah ketakutan pasca konflik itu terjadi.
Walikota Sukatmo, SH., melalui seruannya beliau menghimbau kepada seluruh warga
setempat agar tidak mudah terpancing dengan isu-isu yang saat itu sedang beredar, sebab kita
harus membuktikan terlebih dahulu isu tersebut benar atau tidak. Beliau juga mengatakan
bahwa ia akan menindaklanjuti orang yang menjadi dalang penyebab dari semua konflik yang
terjadi. Akibat dari konfliknya menyebabkan lumpuhnya perekonomian dan warga sekitar
daerah Surakarta juga merasakan kesengsaraan. Oleh karena itu, dari pemerintah sendiri
mengajak para warga untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Namun, warga justru malah menolak dan meminta agar aparat penegak hukum menindak
Konflik ini memiliki dampak negatif yaitu terbakar nya rumah-rumah dan terdapatnya
dan banyaknya korban jiwa yang terjatuh tetapi konflik ini juga mengakibatkan dampak
posifitif yaitu tampaknya rasisme perlahan-lahan mulai memudar. Hal ini terlihat dari
munculnya etnis Tionghoa dalam dunia perpolitikan. Dampak negatif yang dihasilkan adalah
banyaknya korban yang berjatuhan serta citra negeri di mata dunia internasional yang ternoda
konsisten dari semua pihak terkait. Pemerintah dan lembaga masyarakat sipil perlu
pemahaman dan memperbaiki hubungan antarsuku. Selain itu, pendidikan dan sosialisasi juga
Solusi untuk mengatasi konflik antarsuku harus didasarkan pada pendekatan yang