Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH HUBUNGAN INTERNASIONAL

PEMETAAN KONFLIK
( PERANG INDONESIA DENGAN BELANDA )

Dosen Pengampu : ANDIKA RONGGO GUMURUH,M.H

Disusun oleh :

ANDRI MAULANA (208720500041)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pemetaan
Konflik Perang Indonesia Dengan Belanda ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hubungan
Internasional. Penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang pentingnya mengetahui terkait pemetaan konflik serta menganalisis perang antara
Indonesia dengan Belanda.
Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Andika Ronggo Gumuruh selaku dosen
pembimbing mata kuliah Hubungan Internasional yang telah memberikan ilmunya
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami guna menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kami selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Semoga makalah  ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................10
1.3 Tujuan Penelitihan......................................................................................................10
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................10
2.1 Konflik Atau Perang................................................................................................10
2.2 Kedatangan Bangsa Belanda dan Tujuan Utamanya Menjajah Indonesia........12
2.2.1 VOC ( Veerenigde Oostindische Compagnie )....................................................13
2.2.2 Sistem Tanam Paksa............................................................................................14
2.2.3 Devide et Impera..................................................................................................17
2.3 Perang – Perang Indonesia Melawan Belanda......................................................18
2.3.1 Perang Aceh.........................................................................................................18
2.3.2 Penyebab Perang Aceh........................................................................................20
2.3.3 Perang Aceh Pertama (1873 -1874).....................................................................20
2.3.4 Perang Aceh Kedua (1874-1880).........................................................................21
2.3.5 Perang Aceh Ketiga (1881-1896)........................................................................21
2.3.6 Perang Aceh Keempat dan Akhir (1896- 1910)..................................................22
2.4 Perang 10 November Surabaya...............................................................................23
2.4.1 Sifat Pertempuran Surabaya November 1945......................................................24
2.5 Konteks State ( Negara )..........................................................................................26
2.5.1 Sifat Negara ( Belanda – Indonesia )...................................................................26
2.5.2 Masalah Keadilan Politik,Ekonomi,Sosial dan Budaya......................................27
2.6 Regional ( Hubungan Dengan Negara Tetangga Enmity Vs Amity )..................28
2.6.1 Enmity ( Permusuhan )........................................................................................28
2.6.2 Amity ( Persahabatan ).........................................................................................29
2.7 Sebagai Pendukung Konflik,Pihak Yang Bisa Dipercaya....................................30
2.7.1 Mengadakan Sidang Dewan PBB........................................................................30
2.7.2 Membentuk Komisi Tiga Negara.........................................................................30
2.8 GLOBAL...................................................................................................................31
2.8.1 Kepentingan Geopolitik Dari Extra-Regional Power..........................................31
2.8.2 Faktor Eksternal Pendorong Konflik...................................................................31
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................33
3.1 Metode Kajian Pustaka...............................................................................................33
3.2 Analisis Data...............................................................................................................34
BAB IV PENUTUP............................................................................................................35
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................35
4.2 Saran...........................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pernyataan bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun perlu ada penelusuran
kembali untuk membuktikan kebenarannya, tidak hanya melalui pendekatan politik akan
tetapi perlu juga pendekatan secara hukum. Melalui pendekatan hukum, Resink
menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat bahwa Bangsa Indonesia (dulunya disebut
Nusantara), tidak semuanya dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Adapun yang
menjadi tujuan penulis dalam penelitian sejarah ini adalah untuk mengetahui proses
kedatangan Belanda ke Nusantara, untuk mengetahui sistem politik Belanda dalam
penjajahan di Nusantara, untuk mengetahui latar belakang pemahaman 350 tahun
Indonesia dijajah Belanda, untuk mengetahui tentang kebenaran 350 tahun Indonesia
dijajah Belanda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis atau
dokumenter. Data yang diperoleh melalui teknik kepustakaan dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa bukan 350 tahun Indonesia dijajah
Belanda, dengan bukti-bukti yaitu: penyebutan nama Indonesia, hukum bangsabangsa di
Makassar masa lalu, Raja dan Kerajaan yang merdeka di Nusantara tahun 1850-1910.
Hitungan Resink, Belanda sebenarnya hanya menjajah seluruh Nusantara selama 40
sampai 50 tahun. Namun penulis mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya Indonesia
dijajah Belanda hanya 30 tahun sejak ditaklukannya Aceh tahun 1912. Sehingga sejak
1912 seluruh wilayah di Indonesia resmi dijajah Belanda hingga tahun 1942. Pemahaman
350 tahun Indonesia dijajah Belanda yang dibuat oleh para politisi Indonesia sebenarnya
memiliki nilai-nilai positif tujuannya untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan
patriotisme bangsa Indonesia, serta legitimasi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
karena kondisi pada waktu itu bangsa Indonesia terpecahpecah dan mengembalikan
semangat juang bangsa Indonesia. Namun meskipun demikian, pemahaman 350 tahun
Indonesia dijajah Belanda berdampak pada penulisan sejarah Indonesia, karena
pemahaman ini bukan fakta sejarah. ( Absiroh,Isjoni,dkk,2017 )
Indonesia, disebut juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
hanya Republik Indonesia (RI) adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang dilintasi
garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Oseania, serta
antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Nama alternatif yang biasa dipakai
adalah Nusantara. Dengan populasi mencapai 270.203.917 jiwa pada tahun
2020, Indonesia menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara
berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan penganut lebih dari 230 juta jiwa.
Indonesia adalah salah satu negara multietnik dan multikultural di dunia seperti
halnya Amerika Serikat.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik,
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih
secara langsung. Ibu kota negara Indonesia adalah Jakarta. Pemindahan ibu kota telah
diusulkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2019 dan pada 18 Januari 2022,
pemerintah menetapkan Nusantara yang berada di Penajam Paser Utara untuk
menggantikan Jakarta sebagai ibu kota negara. Indonesia berbatasan darat
dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Pulau Sebatik, dengan Papua Nugini di Pulau
Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya yang berbatasan
dengan laut adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan
Andaman dan Nikobar di India.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia
menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7, yaitu sejak berdirinya Kerajaan
Sriwijaya, sebuah kemaharajaan Hindu-Buddha yang berpusat di Palembang. Kerajaan
Sriwijaya ini menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India, juga
dengan bangsa Arab. Kerajaan-kerajaan beragama Hindu dan/atau Buddha mulai tumbuh
pada awal abad ke-4 hingga abad ke-13 Masehi, diikuti para pedagang dan ulama
dari Jazirah Arab yang membawa agama Islam sekitar abad ke-8 hingga abad ke-16, serta
kedatangan bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 yang saling bertempur untuk memonopoli
perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra.
Setelah berada di bawah penjajahan Belanda selama hampir 3 abad, Indonesia yang
saat itu bernama Hindia Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II,
tepatnya tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Indonesia mendapat berbagai tantangan
dan persoalan berat, mulai dari seringnya terjadi bencana alam, praktik korupsi yang masif,
konflik sosial, gerakan separatisme, proses demokratisasi, dan periode pembangunan,
perubahan dan perkembangan sosial-ekonomi-politik, serta modernisasi yang pesat.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama.
Berdasarkan rumpun bangsa (ras), Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi
yakni Mongoloid Selatan/Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang
terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Dengan suku
Jawa dan suku Sunda membentuk kelompok suku bangsa terbesar dengan populasi
mencapai 57% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka
tunggal ika" (Berbeda-beda namun tetap satu), bermakna keberagaman sosial-budaya yang
membentuk satu kesatuan/negara.
Selain memiliki populasi penduduk yang padat dan wilayah yang luas, Indonesia
memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia. Indonesia adalah anggota dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dan satu-satunya
anggota yang pernah keluar dari PBB, yaitu pada tanggal 7 Januari 1965, dan bergabung
kembali pada tanggal 28 September 1966. Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota
yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28
September 1950.( Wiki Pedia )
Indonesia juga merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara Eropa dan
juga Asia, karena sejak zaman dahulu Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil
alamnya yang berlimpah, hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah
dan bermaksud menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negaranya, Negara-
negara yang pernah menjajah Indonesia antara lain:
1. Portugis pada tahun 1509, hanya Maluku, lalu berhasil diusir pada pada tahun
1595.
2. Spanyol pada tahun 1521, hanya Sulawesi Utara, tetapi berhasil diusir pada
tahun 1692.
3. Belanda pada tahun 1602, sebagian besar wilayah Indonesia.
4. Prancis (1795–1811). Prancis menaklukkan Republik Belanda pada 1795
dalam Perang Revolusi Prancis, dan Prancis mendirikan Republik
Batavia (1795–1806) dan Kerajaan Hollandia (1806–1810) yang berstatus
sebagai negara bawahan Prancis. Dengan demikian, secara tidak langsung
Prancis adalah penguasa tertinggi Hindia Belanda.
Pada 1810 Kerajaan Hollandia dileburkan dalam Kekaisaran Pertama Prancis,
sehingga wilayah Hindia Belanda menjadi jajahan Prancis secara langsung.
Meskipun demikian pemerintahan dan pertahanan tetap dipegang oleh warga
Belanda (termasuk Herman Willem Daendels yang berkuasa 1908–1811 dan
dikenal pro-Prancis) Kekuasaan Prancis berakhir pada tahun 1811 ketika
Britania mengalahkan kekuatan Belanda-Prancis di pulau Jawa.
5. Britania Raya pada tahun 1811, sejak ditandatanganinya Kapitulasi
Tuntang yang salah satunya berisi penyerahan Pulau Jawa dari Belanda kepada
Britania, Pada tahun 1814 dilakukanlah Konvensi London yang isinya
pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah jajahan Britania di
Indonesia. Lalu baru pada tahun 1816, pemerintahan Britania di Indonesia
secara resmi berakhir.
6. Jepang pada tahun 1942 dan berakhir pada tahun 1945, oleh karena
kekalahan Jepang kepada pasukan Sekutu.
Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan
beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi
perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan
Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tetapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan
menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara
negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk
koloni mereka, Timor Portugis).
Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya
melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19. Di
bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19, perkebunan besar dan
penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda
yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas
setelah 1870, sistem ini dihapus. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan
Beretika, yang termasuk reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di
Hindia Belanda. ( Wiki Pedia )
Pada abad ke-15 terjadi beberapa peristiwa penting di Eropa. Salah satu kejadian
penting yang dapat mempengaruhi jalannya sejarah dunia adalah peristiwa jatuhnya Kota
Konstantinopel yang merupakan Ibu Kota Romawi Timur pada tahun 1453. Kota
Konstantinopel merupakan benteng terdepan Eropa untuk membendung masuknya agama
Islam di Benua Eropa. Dalam suatu perang yang sengit akhirnya orang Turki Utsmani yang
beragama islam berhasil merebut Kota Konstantinopel. Dengan demikian terbukalah pintu
bagi penguasa islam untuk masuk ke Eropa. Tetapi bagi Eropa jatuhnya Kota
Konstantinopel berarti putusnya hubungan antara dunia Barat dan dunia Timur. Jalan
dagang menuju ke dunia Timur juga terputus. Untuk itu orang Eropa harus mencari jalan
lain untuk menuju dunia Timur.
Akhinya bangsa Eropa memulai melaksanakan ekspedisi penjelajahan samudera yang
dipelopori oleh Portugis dan Spanyol. Dari penjelajahan samudera itu mereka sampai ke
Benua Afrika dan Asia hingga sampai ke Nusantara dengan niat berdagang. Namun,
setelah mengetahui bahwa Bangsa Afrika dan Asia itu lemah kemudian munculah niat
untuk melakukan Kolonialisme dan Imperialisme. Salah satu bangsa Eropa yang pertama
kali sampai ke Nusantara adalah bangsa Portugis pada tahun 1512 dibawah pimpinan
Fancisco Serrão berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Inilah awal dari masuknya
bangsa Eropa di Nusantara. Setelah itu barulah disusul oleh bangsa-bangsa Eropa Lainya.
Pada tahun 1596 bangsa Belanda yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman tiba di
pelabuhan Banten. Inilah awal kedatangan bangsa Belanda di Nusantara, namun
kedatangan Belanda ini akhirnya diusir oleh penduduk pesisir Banten karena sikap mereka
yang kasar dan sombong. Pada tahun 1598 bangsa Belanda datang lagi ke Nusantara yang
dipimpin oleh Jacob Van Neck dan Wybrecht Van Waerwyck. Tiba di kepulauan Maluku
pada bulan Maret 1599.
Keberhasilan pelayaran tersebut mendorong keinginan berbagai perusahaan di
Belanda untuk memberangkatkan kapalnya ke Indonesia ada 14 perusahaan yang telah
memberangkatkan 62 kapal. Semakin banyaknya para pedagang Belanda di Indonesia
mengakibatkan antar sesama mereka terjadi persaingan. Selain itu mereka pun harus
menghadapi persaingan dengan Portugis, Spanyol dan Inggris. Atas kondisi tersebut, bukan
keuntungan yang mereka peroleh, melainkan kerugian. Terlebih lagi dengan sering
terjadinya perampokan oleh bajak laut. Atas prakarsa dari pangeran Maurits dan Johan Van
Olden Barnevelt, pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda Mendirikan Verenigde Oost
Indische Compagnie – VOC (Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur).
Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara Negara-negara Eropa, yaitu Portugis,
Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis, dan Belanda, untuk memperebutkan hagemoni
perdagangan di Asia Timur. Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pertama kali
membuka kantor dagangnya di Banten pada tahun 1602 dan di kepalai oleh Francois
Wittert. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di kepulauan Nusantara pada awalnya
merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan
setara, antara pedagang dan pembeli. Namun, keadaan itu perlahan-lahan mulai berubah.
Karena tingginya persaingan perdagangan antar Negara menyebabkan mereka untuk
berusaha menguasai sumber-sumber rempah-rempah. ( Adi Sudirman.2014 )

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Konflik atau Perang ?


1.2.2 Bagaimana awal mula kedatangan bangsa Belanda dan apa tujuannya ?
1.2.3 Bagaimana Perang Indonesia dengan Belanda?
1.2.4 Bagaimana Konteks Suatu Negara ?
1.2.5 Bagaimana hubungan regional secara Enmity dan Amity Indonesia dengan
Negara Tetangga ?
1.2.6 Siapa pihak pendukung konflik yang dapat dipercaya terkait Perang
Indonesia dengan Belanda ?
1.2.7 Bagaimana Kepentingan Politik Dari Extra – Regional Power ?
1.2.8 Apa saja faktor eksternal pendorong konflik Indonesia dengan Belanda ?
1.3 Tujuan Penelitihan

1.3.1 Untuk Memahami Konflik atau Perang


1.3.2 Untuk Memahami Bagaimana awal mula kedatangan bangsa Belanda dan
apa tujuannya
1.3.3 Untuk Memahami Bagaimana Perang Indonesia dengan Belanda
1.3.4 Untuk Memahami Bagaimana Konteks Suatu Negara
1.3.5 Untuk Memahami Bagaimana hubungan regional secara Enmity dan Amity
Indonesia dengan Negara Tetangga
1.3.6 Untuk Memahami Siapa pihak pendukung konflik yang dapat dipercaya
terkait Perang Indonesia dengan Belanda
1.3.7 Untuk Memahami Bagaimana Kepentingan Politik Dari Extra – Regional
Power
1.3.8 Untuk Memahami Apa saja faktor eksternal pendorong konflik Indonesia
dengan Belanda
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konflik Atau Perang

Konflik (conflict) barangkali merupakan konsep yang jauh lebih tua dari eksistensi
studi hubungan nasional itu sendiri. Sebagai sebuah peradaban, konflik bahkan sudah ada
persamaan pada awal mula kehadiran umat manusia di muka bumi ini. Adapun dalam
konteks hubungan antarnegara fenomena konflik telah berlangsung sejak munculnya
konsep konsep negara-kota atau city states di era Yunani kuno dan Cina kuno. Konflik
adalah bagian vital dari sejarah hubungan antar negara, single konsep ini menjadi konsep
dasar yang sangat sentral dalam studi hubungan internasional sejak dulu hingga kini.
Fenomena konflik, khususnya konflik antar negara sejak awal menjadi concern
utama dari studi hubungan internasional. Bahkan tujuan awal di lainnya hubungan
internasional sebagai disiplin akademis itu sendiri adalah untuk menemukan sebab-sebab
konflik (the causes of conflict atau the causes of war) antar negara. Seperti diketahui, studi
hubungan internasional sebagai disiplin akademis yang berdiri sendiri lahir sesaat setelah
berakhirnya perang Dunia I. Studi Hubungan Internasional merupakan salah satu jawaban
atas pertanyaan what ought to be done agar konflik antarnegara yang dahsyat itu tidak
terulang lagi. Dengan ditemukan dan di eliminasinya sebab-sebab konflik atau perang
diharapkan perdamaian dunia (world peace) dapat dipelihara.
Mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan konflik, Ted Robert Gurr
mengklasifikasikan konflik antarnegara ke dalam enam jenis yaitu :
1. Konflik yang berlatar belakang etnis
2. Konflik yang berlatar belakang agama
3. Konflik yang berlatar belakang ideologi
4. Konflik yang berlatar belakang perebutan wilayah
5. Konflik yang berlatar belakang pemerintahan dan
6. Konflik yang berlatar belakang ekonomi atau perebutan sumber daya alam
Konflik yang berlatar belakang etnis (ethnic conflict) adalah konflik antara dua atau
lebih kelompok yang berbeda, di mana masing-masing kelompok mengidentifikasikan diri
berdasarkan kriteria kesamaan etnis, seperti bahasa, unsur budaya, klaim teritorial,
hubungan ras, atau mi tos nenek moyang yang sama. Misalnya konflik antar beberapa
negara bekas Yugoslavia,
Konflik yang berlatar belakang agama (religious con flict) adalah konflik yang
disebabkan perbedaan keyakinan keagamaan. Misalnya konflik di Irlandia Utara antara
kelompok Katolik yang pro bergabung dengan Irlandia dan kelompok Protestan yang
mengingin kan bergabung dengan Inggris. Konflik yang berlatar belakang ideologi
(ideological conflict) adalah konflik antarnegara yang disebabkan oleh perbedaan ideologi.
Contohnya konflik antara Korea Utara yang komu nis dengan Korea Selatan yang liberal.
Sementara itu, konflik yang berlatar belakang perebutan wilayah (territorial conflict)
adalah konflik antarnegara di mana para pihak memperebutkan atau berusaha memiliki
sebuah wilayah yang sama. Contoh kontemporer adalah konflik antara China dengan
sejumlah negara ASEAN memperebutkan Kepulauan Spratley.
Konflik yang berlatar belakang pemerintahan (governmental conflict) adalah
konflik yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam pemerintahan, misalnya berupa
kebijakan atau sikap pemerintah suatu negara yang ditujukan kepada pemerintah negara
lain. Contohnya, konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China yang disebabkan oleh
sikap pemerintah AS yang mengecam penegakan HAM dan demokrasi di China.
Sedangkan konflik yang ber latar belakang ekonomi (economic conflict) adalah konflik
antarnegara yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya perang dagang (trade war)
antara AS dan China yang dipicu oleh kebijakan proteksionistis pemerintah China.

2.2 Kedatangan Bangsa Belanda dan Tujuan Utamanya Menjajah Indonesia

Pada tahun 1596 bangsa Belanda yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman tiba di
pelabuhan Banten. Inilah awal kedatangan bangsa Belanda di Nusantara, namun
kedatangan Belanda ini akhirnya diusir oleh penduduk pesisir Banten karena sikap mereka
yang kasar dan sombong. Pada tahun 1598 bangsa Belanda datang lagi ke Nusantara yang
dipimpin oleh Jacob Van Neck dan Wybrecht Van Waerwyck. Tiba di kepulauan Maluku
pada bulan Maret 1599. Keberhasilan pelayaran tersebut mendorong keinginan berbagai
perusahaan di Belanda untuk memberangkatkan kapalnya ke Indonesia ada 14 perusahaan
yang telah memberangkatkan 62 kapal.
Semakin banyaknya para pedagang Belanda di Indonesia mengakibatkan antar sesama
mereka terjadi persaingan. Selain itu mereka pun harus menghadapi persaingan dengan
Portugis, Spanyol dan Inggris. Atas kondisi tersebut, bukan keuntungan yang mereka
peroleh, melainkan kerugian. Terlebih lagi dengan sering terjadinya perampokan oleh
bajak laut. Atas prakarsa dari pangeran Maurits dan Johan Van Olden Barnevelt, pada 20
Maret 1602, para pedagang Belanda Mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie –
VOC (Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur).
Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara Negara-negara Eropa, yaitu Portugis,
Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis, dan Belanda, untuk memperebutkan hagemoni
perdagangan di Asia Timur. Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pertama kali
membuka kantor dagangnya di Banten pada tahun 1602 dan di kepalai oleh Francois
Wittert. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di kepulauan Nusantara pada awalnya
merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan
setara, antara pedagang dan pembeli. Namun, keadaan itu perlahan-lahan mulai berubah.
Karena tingginya persaingan perdagangan antar Negara menyebabkan mereka untuk
berusaha menguasai sumber-sumber rempah-rempah. ( Adi Sudirman,2014 )
Dalam penjajahan kolonial Belanda menenerapkan beberapa sistem politik yang
digunakan untuk memperkuat posisi Belanda serta untuk menguasai wilayah dan sumber
daya alam Indonesia anatara lain dengan didirikannya seperti VOC,sistem tanam paksa,
Devide et Impera dan sistem lainya.
2.2.1 VOC ( Veerenigde Oostindische Compagnie )
Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC) dikenal sebagai Perserikatan
Dagang Hindia Timur Belanda, berdiri pada 20 Maret 1602. VOC berupaya
melakukan monopoli perdagangan di kawasan Asia pada era kolonialisme Eropa.
Saat itu, tujuan pendirian VOC adalah mencegah kerugian akibat persaingan
dagang dengan Portugis di Nusantara. Sebelum VOC berdiri sebenarnya sudah ada
beberapa perusahaan dagang Belanda yang melakukan perdagangan di Nusantara.
Salah satunya Compagnie van Verre asal Amsterdam, Belanda, yang melakukan
pelayaran ke Asia pada 1595-1597. Mereka melihat bahwa ada prospek cerah
dalam perdagangan di Nusantara.
Belakangan perusahaan-perusahaan dagang tersebut saling bersaing untuk
mendapatkan komoditas di Nusantara. Lantaran kondisi ini keuntungan yang
diperoleh oleh masing-masing perusahaan menjadi kecil. Artinya bahwa jumlah
modal yang harus dikeluarkan ketika berlayar tidak sepadan dengan keuntungan
yang didadapatkan. Menyadari hal itu, beberapa perusahaan dagang di Belanda
memutuskan untuk bekerja sama secara lokal (kota) mulai tahun 1600. (Yuda
Prinada.2021)
Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindarkan persaingan
antar perusahaan Belanda (intern) serta mampu menghadapi persaingan dengan
bangsa lain, terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya (ekstern).7 Awalnya
VOC dibentuk sebagai kepentingan perdagangan, kemudian mulai melakukan
monopoli perdagangan hingga pada akhirnya mulai menanamkan kekuasaannya di
beberapa wilayah di Nusantara. VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799. (
Adi Sudirman, 2014 )
Dalam melaksanakan pemerintahan, VOC menerapkan sistem pemerintahan
tidak langsung (indirect rule) dengan memanfaatkan sistem Feodalisme yang telah
berkembang di Indonesia, termasuk yang dilakukan di Maluku. Raja menjalin kerja
sama dalam perdagangan, namun pada perkembangannya VOC mencampuri urusan
dalam negeri kerajaan serta mengontrol setiap gerakan kerajaan. Di Ternate, VOC
membangun benteng di dekat kedaton yang tujuannya untuk memantau gerak-gerik
sultan dan kerabatnya. Sistem semacam itu dipertahankan sehingga VOC dapat
melaksanakan monopoli perdagangannya dan menarik pajak melalui raja. Oleh
karena itulah, VOC selalu turut campur tentang masalah pergantian raja. Dalam
melaksanakan tugas-tugas dari VOC, raja dan bupati selalu diawasi oleh residen
dan asisten residen. Dalam birokrasi seperti itulah desa-desa serta rakyatnya
menanggung beban paling berat atas tindakan-tindakan bupati dan rajanya.
2.2.2 Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel digagas oleh Gubernur Jenderal
Johannes Van den Bosch pada tahun 1830. Tanam paksa diberlakukan untuk
menggantikan sistem sewa tanah atau landelijk stelsel yang gagal diterapkan secara
maksimal. Sistem sewa tanah yang diterapkan dari masa Letnan Jenderal Stamford
Raffles sampai masa pemerintahan Komisaris Jenderal Van der Cappelen dan Du
Buss gagal mendorong para petani untuk meningkatkan produksi komoditi tanaman
ekspor. Kebutuhan akan suatu kebijakan baru yang diharapkan dapat dengan cepat
mengisi kekosongan kas negeri Belanda memang sangat mendesak. Keadaan
perekonomian negeri Belanda saat itu memang sedang kacau. Peperangan yang
dilakukan sungguh menguras kas negara.
Pada saat itu negeri Belanda memang sedang menanggung banyak hutang
akibat dua peperangan yang dihadapi. Pertama perang di Eropa melawan Belgia
dan kedua perang di Hindia Belanda (baca: Pulau Jawa) melawan Diponegoro.
Negeri Belanda membebankannya pada daerah jajahan mereka untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor yang tidak dapat dicapai dengan kebijakan sebelumnya
yaitu dengan menetapkan sistem sewa tanah. Akan tetapi sistem ini gagal
memberikan negeri Belanda pemasukan yang cukup. Namun sistem sewa tanah ini
kemudian memberikan pondasi pada sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang
diterapkan kemudian. Sistem sewa meninggalkan peraturan untuk setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi,
tebu, dan indigo.
Hasil panen dari tanaman-tanaman tersebut nantinya akan diberikan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan untuk para penduduk yang tidak memiliki
tanah, maka harus bekerja 66 hari selama satu tahun. Pada dasarnya, sistem tanam
paksa atau cultuurstelsel merupakan gabungan dari sistem penyerahan wajib dan
sistem pajak tanah. Rakyat memiliki kewajiban untuk membayar pajak dari hasil
tanaman mereka. Sistem ini juga merupakan upaya untuk menghidupkan kembali
eksploitasi yang terjadi pada masa VOC, yaitu berupa penyerahan wajib untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor.
Perbedaannya adalah sistem tanam paksa lebih terorganisir dan melibatkan
unsur-unsur pokok, seperti birokrasi pemerintahan kolonial, para kepala pribumi,
organisasi desa, tanah pertanian rakyat, tenaga kerja rakyat, dan juga pengusaha.
Seperti yang tertera dalam Staatsblad tahun 1834 nomor 2 (Kartodirdjo, 1991),
yang berisi tentang ketentuan-ketentuan pelaksanaan sistem cultuurstelsel sebagai
berikut :
1. Penduduk desa menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman
perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa
2. Tanah yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah
pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman yang ditentukan
tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam
padi dan komoditi pangan lainnya
4. Bagian yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah
5. Hasil tanaman wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bila
hasilnya melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih
positifnya harus diserahkan kepada rakyat
6. Kegagalan panen harus dibebankan kepada Pemerintah Hindia Belanda,
terutama bila kegagalan bukan disebabkan oleh kelalaian penduduk
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan
kepala-kepala mereka, dan para pegawai Eropa membatasi
pengawasannya pada segi-segi teknis dan ketepatan waktu dalam
pembajakan tanah, panen, serta pengangkutan. (Alfa,Hendi.dkk.2021)
Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van Den Bosch, maka
pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini.
Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya
kesejahteraan hidup.
Namun dari sekian banyak dampak negatif, masih terdapat dampak positif yang
dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Dampak negatif dari pelaksanaan tana paksa:
1. Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor
seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk
tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
2. Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat
besar sehingga memberatkan petani.
3. Budidaya tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani
yan baik dan bernilai paling tinggi.
4. Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan
hewan terak petani, tidak hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga
sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik atau pelabuhan
5. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga
angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban
jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan
Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun
drastis. Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim)
dimana-mana. (Ricklefs M.C, 2008)
Dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
1. Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik menanam jenis-jenis tanaman
baru
2. Meningkatkan jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga
memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
3. Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang
terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
4. Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti
jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan gudang
untuk hasil budidayanya. (Ricklefs M.C, 2008)
2.2.3 Devide et Impera
Politik adu domba atau politik pecah belah atau dalam bahasa Belanda
disebut Devide et Impera adalah suatu upaya dari Belanda untuk menguasai sebuah
wilayah dengan menggunakan adu domba dalam sebuah sistem kerajaan. Upaya
mengadu domba yaitu menggunakan kombinasi strategi politik, ekonomi dan
militer yang bertujuan untuk mendapatkan serta menjaga wilayah kekuasaan
dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok – kelompok kecil
agar lebih mudah ditaklukkan. Dalam arti lain, devide et impera juga merupakan
upaya pencegahan kelompok – kelompok kecil untuk bersatu membentuk
kelompok besar yang lebih kuat. Belanda menggunakan sistem devide et
impera sejak awal memasuki Nusantara.
Politik adu domba pada abad – 17 sangat digemari VOC untuk menguasai
suatu daerah, dengan cara inilah Belanda yang bahkan jumlahnya jauh lebih sedikit
dari pribumi bisa menguasai wilayah nusantara. Secara antropologi, negara
Indonesia adalah negara heterogen dengan adat budaya, agama, suku dan ras. Inilah
yang memudahkan bangsa Belanda untuk melakukan politik adu domba. Dalam
memecah belah, Belanda menggunakan aksi isu atau provokasi, propaganda, desas
– desus, bahkan fitnah kepada kekuasaan yang ada dengan disusupi permusuhan
besar. Politik memecah belah ini menggunakan campuran strategi politik, ekonomi
dan militer. Pelaksanaan sistem ini yaitu dengan mengangkat satu pemimpin untuk
dijadikan calon pemimpin tandingan yang telah ada.
Politik pecah belah diwujudkan dengan menentang suatu kekuasaan baik
yang berada di pemerintahan maupun yang ada di masyarakat. Akan lahir dua pihak
di dalam satu badan, baik di masyarakat maupun kerajaan, salah satu pihak tersebut
dibantu Belanda sedangkan yang lain dipinggirkan. Belanda kemudian
memunculkan isu – isu ketidakpercayaan terhadap pemimpin yang lama agar suatu
kerajaan menjadi tidak solid. Bahkan terkadang ada bumbu – bumbu permusuhan
dalam tubuh keluarga kerajaan yang pantas menduduki singgasana kerajaan diluar
garis keturunan raja.
Teknik yang digunakan Belanda dalam memecah belah adalah agitasi,
propaganda, desas – desus dan bahkan fitnah. Contoh politik pecah belah adalah
dengan memberi kehidupan layak suatu kelompok politik yang bertujuan agar lebih
percaya ke pihak Belanda daripada kerajaannya sendiri. Selanjutnya kelompok
tersebut menjadi duri dalam daging sebuah kerajaan. ( IdSejarah,2022 )
2.3 Perang – Perang Indonesia Melawan Belanda

2.3.1 Perang Aceh


Proses trasformasi keadaan dunia membawa perubahan dari sebelumnya
ketika memasuki Abad ke 19. Negara - nagara seperti Inggris, Prancis, Rusia dan
Jerman telah melahirkan kekuatan baru dalam Tatanan Dunia Baru (New
World Order). Para menguasa lama, seperti Usmani dan Hapsburg, terpaksa harus
dapat beradaptasi dengan evolusi zaman. Usmani, misalnya, mengeluarkan deklarasi
Gülhane pada 1839 untuk mendapatkan dukungan dari negara - negara Eropa.
(Supratman, 2020).
Perubahan konfigurasi dunia ini juga dirasakan oleh Kesultanan Aceh.
Kolonialisme Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia pada awalnya tidak
mengusik Kesultanan Aceh. Namun pada 1824, Traktat London menjadi pedoman
bagi Inggris menguasai bagian utara Selat Malaka (Malaysia sekarang) dan Belanda
menguasai selat Malaka bagian Selatan (Indonesia sekarang). Kesultanan Aceh berada di
dalam arena kontestasi dua negara ini. Untuk itu diputuskan bahwa Kesultanan Aceh
tetap netral dibawah perlindungan Kerajaan Inggris. Namun, pada 2 November
1871, Belanda mengingkari Traktat London dengan menggabungkan Kesultanan
Aceh sebagai bagian dari wilayah koloninya. Sejak saat itu, Belanda mulai melakukan
persiapan invasi ke Aceh.
Perang Aceh sendiri adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya
dalam sejarah bangsa Belanda. Mereka tidak pernah menghadapi suatu peperangan yang
lebih besar daripada peperangan dengan Aceh. Di mata mereka perang Aceh lebih dari
sekedar konflik militer tetapi juga konflik politik, kolonial internasional dan negara
Belanda selama satu abad.
Bagi Belanda sebuah negara kecil di Eropa barat yang kekuatannya tidak lagi
diperhitungkan setelah abad ke-17 tetapi wilayah jajahannya di Hindia timur masih
memberikan pengaruh dalam percaturan ekonomi dan politik dunia. Perang perang di Aceh
adalah sebuah arena bagi usaha hanya untuk diakui sebagai sebuah kekuatan besar di
dunia.
Dengan kekecualian perang Diponegoro 1825 - 1830, yang menguras sumber daya
Belanda, ekspansi kolonialisme Belanda di kepulauan Nusantara terutama di bangun lewat
kekuatan angkatan laut dan perjanjian diplomasi, bukan kekuatan militer. Pada saat perang
Aceh pecah jumlah tentara kolonial hindia-belanda secara keseluruhan tidak lebih dari
30.000 orang prajurit. Kelemahan keuangan dan militernya membuat ambisi menaklukkan
Belanda terhadap Aceh menjadi blunder yang harus mereka bayar. Kesembronoan mereka
menyerang Aceh tanpa mengetahui seluk-beluk keadaan politik, geografis dan cara
pandang hidup penduduk setempat merupakan sumber malapetaka yang menyebabkan
Belanda berkali-kali menderita kekalahan. Timbulnya polemik tentang perang di Aceh,
yang terus berlangsung selama pelaksanaan perang itu sendiri. Para pelaku perang Aceh di
satu pihak dijuluki sebagai pahlawan, tetapi di pihak lain dianggap sebagai "bajingan
tengik". ( Oktorini Nino,2017.Perang Aceh : 8-9 )
2.3.2 Penyebab Perang Aceh
Perang Aceh yang terjadi dapat di golongkan dalam sebab umum dan sebab
yang khusus. Sebab umum terjadinya perang antara kesultanan Aceh dengan Belanda
yaitu:
1. Belanda memduduki Siak dan melakukan perjanjian Siak (1858) dimana
sultan Ismail harus menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang (Fitriyah,
2019).
2. Berakhirnya Traktat London yang berisi batas wilayah kekuasaan antara
Belanda dan Inggris (Amilia, 2018).
3. Perisitiwa dibukanya terusan Suez oleh Ferdinand De Lessep berdampak
wilayah laut Aceh menjadi sangat penting dalam jalur perdagangan dunia
(Anwar, 2020).
4. Perjanjian Sumatera yang berlangsung tahun 1871 yang berisi hak
keleluasaan dan kedaulatan belanda mengambil tindakan di Aceh yang
membuat belanda menjadi semena - mena.
5. Selain sebab umum yang telah dijabarkan, perang Aceh terjadi
adanya sebab khusus yaitu; Tuntutan Belanda terhadap Aceh agar tunduk
kepada pemerintah Belanda. Petisi yang disampaikan Belanda di tolak
sepenuhnya dengan tegas oleh Sultan Mahmud Syah. Penolakan tersebut
dijawab oleh Belanda dengan deklarasi perang terhadap Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873 (Hasjmy, 1977).

Belanda melakukan penyerangan terhadap Aceh yang dipimpin oleh


Mayjen J.H. Kohler yang mendaratkan lebih dari 3.000 pasukan KNIL di pante
Ceureumen.
2.3.3 Perang Aceh Pertama (1873 -1874)
Traktat Sumatera 1871 telah dinodai oleh pengingkaran Belanda, hal ini
dapat dianggap sinyal ditabuhnya gendering perang Belanda terhadap Aceh
(Fitriyah, 2019). Setelah terjadi beberapa koresponden yang tegang antara
Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda
Nieuwenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang "Citadel van Antwerpen"
(Hasjmy, 1977).
Perang Aceh dimulai ketika pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor
Jenderal Kohler dengan 3.000 pasukan mendarat di Pantai Cermin Ulee Lheue
pada tanggal 5 April 1873 (I. Pratiwi, 2007). Pasukan Belanda dalam agresi I berhasil
dihancurlumatkan Angkatan Perang Aceh yang gagah berani, sehingga setelah 18
hari bertempur, sisa pasukan Belanda lari puntang-panting ke kapal-kapalnva, dengan
meninggalkan sekian banyak bangkai serdadunya vang mati konyol sementara bangkai
panglimanya Mavor Jendral J.H.R. Kohier pada tanggal 15 April 1873 masih sempat
dilarikan ke kapal (Hasjmy., 1977).
2.3.4 Perang Aceh Kedua (1874-1880)
Setelah ke gagalan dalam penyerangan I yang dipimpin Kohler, Belanda
melanjutkan upayanya untuk menaklukan Aceh melalui ekspedisi Aceh II oleh Belanda
dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Pasukan Belanda memang berhasil menguasai
istana Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah
meninggalkan kraton dan bergerilya. Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya,
pasukan Belanda tetap kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua
yang dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood (Fitriyah, 2019).
2.3.5 Perang Aceh Ketiga (1881-1896)
Masih dengan semangat jihad fisabilillah, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar,
Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk
melakukan perang gerilya melawan Belanda. Alhasil, Belanda semakin kewalahan dengan
taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh. Pada 1891, Christiaan Snouck Hurgronje
yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam yang juga penasihat untuk urusan adat dari
pemerintah kolonial datang ke Aceh (Dame et al., 2014).
Sebagai orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama. Peran Snouck
Hurgronje menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena ia menggunakan siasat
menyerang dari dalam yang nantinya membuahkan hasil gemilang. Bertepatan dengan
kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam
karena kematian Teuku Cik Ditiro. Salah satu pemimpin Aceh lainnya, Teuku Umar,
dikabarkan menyerah kepada Belanda. Namun, itu ternyata hanya taktik semata untuk
memperlemah kekuatan lawan.
2.3.6 Perang Aceh Keempat dan Akhir (1896- 1910)
Ketiadaan Teuku Umar tidak membuat semangat rakyat Aceh padam menghadapi
Belanda. Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita
bernama Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, Teuku
Umar yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh. Sayangnya, pada 11 Februari 1899,
Teuku Umar gugur di Meulaboh. Perjuangan pun kembali dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien
bersama Pocut Baren. Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-
1912 mengungkapkan, kondisi rakyat Aceh mulai melemah karena kematian dari beberapa
pemimpinnya.
Terlebih, strategi merusak dari dalam yang dijalankan Snouck Hurgronje juga
berjalan dengan mulus dan semakin memperlemah pasukan dan rakyat Aceh (Munir,
2019). Tahun 1905, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan kemudian wafat pada
1910(García, 2013). Kematian Cut Nyak Dien pun menjadi penanda berakhirnya Perang
Aceh. Peran Ulama Dalam Perang Aceh Perang melawan penjajah, bangsa asing dan non
muslim, diyakini oleh umat Islam di Aceh sebagai perang suci/jihad (Hardiansyah, 2010).
Unsur jihad dalam Perang Sabil digunakan sebagai basis ideologi hukum untuk berperang
melawan Kaphee Belanda (kaum penjajah) (García, 2013).
Berjihad merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama. Dengan demikian,
seruan berjihad tersebut sampai keseluruh pelosok-pelosok bumi Aceh, yang saat itu tidak
ada pejuang-pejuang dan ulama-ulama yang tidak mengetahui seruan berjihad melawan
para penjajah. Hikayat yang terkenal dalam sejarah Aceh adalah hikayat prang sabi
(berjihad di jalan Allah). Masa perang Aceh, ulama muncul sebagai figure pemimpin
agama yang sanggup memimpin dan mengarahkan masyarakat Aceh untuk memiliki jiwa
pejuang dalam mengusir Belanda (penjajah) dari bumi serambi Mekah.
Tahun 1910, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk melakukan serangan
umum di Aceh Besar, Pidie, dan Samalanga. Serangan ini disebut serangan Sapurata dari
pasukan Marchausse (marsose) yang merupakan pasukan orang asli dari bangsa Indonesia
yang dilatih oleh Belanda. Serangan ini berhasil mendesak rakyat Aceh mundur ke
pedalaman.  Untuk menyerbu kepedalaman, Belanda mengirim pasukan di bawah
pimpinan Jenderal Van Daalen. Dalam waktu singkat Belanda berhasil menduduki Aceh
dan membubarkan Kesultanan Aceh.
2.4 Perang 10 November Surabaya

Setelah Indonesia merdeka kedaulatan Indonesia tidak langsung diakui oleh seluruh
bangsa di dunia. Usai perang dunia ke-2 semua jajahan Jepang diambil alih oleh sekutu
termasuk Indonesia. Belanda bersiasat untuk kembali menjajah Indonesia. Belanda dan
pihak sekutu Inggris melakukan persetujuan sipil. Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Johannes Van Mook dan panglima tertinggi Pasifik Barat Daya jenderal MacArthur dari
Amerika menyepakati Hindia Belanda yang berhasil direbut sekutu akan diserahkan
kepada pemerintah sipil Belanda yang disebut NICA (Netherland Indies Civil
Administration) (Jordan, 2000).
Akhir September 1945 tentara Inggris yang mewakili sekutu tiba di Indonesia tugas
mereka antara lain melucuti senjata Jepang, membebaskan tawanan perang dan menjaga
ketertiban di Indonesia termasuk di Surabaya Jawa Timur. Namun sekutu tidak
menunaikan tugasnya dengan Jalan damai, tanggal 27 Oktober 1945 langit Surabaya
dipenuhi pamflet ultimatum sekutu yang mengultimatum agar rakyat yang memiliki senjata
menyerah dan meletakkan senjata. Rakyat Surabaya yang khawatir bakal dijajah lagi tidak
mau menyerahkan senjata rampasan Jepang, mereka membalas ultimatum dengan
menghalau Inggris.
Pertempuran 3 hari di akhir Oktober 1945 membuat tentara Inggris terpojok. 29
Oktober 1945 pemimpin Inggris lantas meminta pertolongan Soekarno untuk datang ke
Surabaya memadamkan gelora arek suroboyo dan menghentikan pertempuran yang
dilanjutkan dengan perundingan. Presiden Soekarno datang bersama wakil presiden
Muhammad Hatta dan menteri penerangan Amir Syarifudin(Amerta, 2018). Setelah
melalui perundingan alot yang dihadiri pula oleh Sumarsono dan Bung Tomo, dicapai
enam kesepatakan yang disiarkan antara pukul 6.30-9.00 malam.
Intinya ada gencatan senjata, keamanan ex-tahanan, Indonesia tidak menentang
kedatangan pasukan sekutu, kecuali mereka yang mengusik kemerdekaan Republik
Indonesia. Pidato radio ini diakhiri dengan seruan Mallaby dalam bahasa Inggris untuk
pasukan sekutu (Silas et al., 2018). Setelah Soekarno pulang ke Jakarta masih berlansung
pertempuran tanggal 30 Oktober 1945 dan menewaskan Brigadir Albertine Walters
Sothern Mallaby pemimpin pasukan Inggris. Mallaby tewas di sekitar Jembatan Merah
Surabaya. Kematian Mallaby membuat Inggris gaduh Inggris meminta pertanggung
jawaban Soekarno. Inggris kembali ultimatum Indonesia harus menyerahkan semua senjata
kepada Inggris pada 10 November sebelum pukul 6 pagi. Jika melawan maka Surabaya
akan di bombardir Inggris. Sejak kematian Mallaby liku diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan Gubernur Jawa Timur berujung buntu(Theorina, 2007a).
Presiden sukarno menyerahkan seluruhnya nasib Surabaya kepada masyarakat
Surabaya dikarenakan mereka lebih mengetahui kondisi dan situasi di Surabaya. Gubernur
Soerya dan rakyat Surabaya Jawa Timur menentukan sikap mereka melawan Inggris dan
pecahlah pertempuran 10 November. Meski pejuang dipukul mundur Inggris ke perbatasan
ada makna dalam pertempuran Surabaya itu. Republik yang baru merdeka itu dapat
melawan kekuatan sekutu yang sangat besar dalam satu pertempuran dimana perang
tersebut diakui oleh Inggris sebagai yang terbesar setelah perang dunia 2. Hal ini menjadi
satu hal yang luar biasa sehingga dunia internasional menaruh hormat dan kemudian
masalah Indonesia dibawa ke PBB.
Perkiraan sekutu yang awalnya berpikir akan mampu mengendalikan situasi dalam
3 hari meleset, pertempuran Surabaya menghabiskan waktu Inggris selama hampir 3
minggu. Setiap jengkal tanah di Surabaya dipertahankan para pejuang meski dengan
senjata minim. Perlawanan tidak berhenti, Kobaran api semangat di seluruh kota terus
menyala-nyala, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Laskar serta bantuan yang aktif dari
rakyat Surabaya membuat kota Surabaya terbakar bak neraka. Bagaimanakah sebenarnya
sifat pertempuran di Surabaya ini, bagaimana mobilisasi rakyat dalam pertempuran
Surabaya ini dan Apakah ada peran sentral tokoh-tokoh lokal yang berperan besar dalam
pertempuran Surabaya ini.
2.4.1 Sifat Pertempuran Surabaya November 1945
Dari awal mula yang melatarbelakangi terjadinya pertempuran Surabaya ini adalah
ketidaksediaan rakyat Surabaya dijajah kembali oleh Belanda yang membonceng sekutu
datang ke Surabaya untuk alasan penertiban dan pembebasan tawanan perang setelah
Jepang kalah dalam perang dunia ke 2. Sikap antipatif rakyat sebenarnya sudah
ditunjukkan ketika rombongan tentara sekutu yang diboncengi NICA mendarat di
Surabaya pada akhir september 1945. Sikap tersebut menunjukkan bahwa rakyat sudah
dapat menentukan siapa sebenarnya musuh mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Jederal AH Nasution dalam bukunya Pokok-pokok gerilya dimana disebutkan bahwa
sesungguhnya rakyatlah yang perang, bukan cuma angkatan bersenjata. Rakyatlah yang
memaklumkan perang dan menentukan damai, dan yang melahirkan angkatan
bersenjatanya. Angkatan bersenjata adalah ujung tombak dari rakyat itu, yang diarahkan
oleh rakyat itu pula(Cribb, 2001).
Penolakan kehadiran NICA jelas ditunjukkan oleh arek-arek Suroboyo pada
kejadian perobekan bendera Belanda dalam peristiwa hotel Yamato. 19 September 1945
ketika beberapa pemuda Indo-Belanda (sinyo) berkumpul di hotel Oranye (hotel Yamato)
untuk kemudian mencari gara-gara dengan menaikkan bendera Belanda yang akhinya
secara spontan mendapat respon dari masyarakat surabaya dengan memanjat dan merobek
bagian warna biru dari bendera lantas mengibarkan dua warna tersisa yaitu merah putih
ditiang tertinggi hotel Yamato(Silas et al., 2018). Respon ini memang benar-benar tumbuh
dari hati rakyat tanpa ada campur tangan dari organisasi resmi ataupun pemerintah
Surabaya saat itu.
Kekuatan yang timbul dari batin dan hati masayarakat inilah yang menjadi cikal
bakal kekuatan besar arek-arek suroboyo melawan kekuatan militer sekutu di hari-hari
kemudian. Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh clausewitz dalam small wars and
people’s Wars mengatakan “Konsep yang dapat disamakan dengan konsep kekuatan sipil
atau tentara rakyat. Kekuatan sipil adalah kekuatan sukarela luar biasa yang terdiri dari
seluruh masyarakat, dengan semua kekuatan fisik dan batin mereka, aset dan niat baik
mereka”(Labuschagne, 2020).
Sifat kerakyatan ini sudah ditunjukkan jauh hari sebelum pecahnya petempuran
Surabaya. Bibit-bibit perlawanan sudah tumbuh dalam hati rakyat Surabaya sebelum
sekutu mengultimatum untuk penyerahan senjata Jepang yang dikuasai para pemuda
Surabaya. Sebagaimana diketahui perebutan senjata Jepang di Surabaya tahun 1945 dilatar
belakangi oleh keinginan arek-arek Surabaya untuk memperoleh senjata dalam
mempersenjatai diri menghadapi kemungkinan pertempuran dengan pihak Sekutu dan
Belanda. Senjata yang mampu diperoleh hanya dengan merebutnya dari Jepang. Gudang
senjata Jepang di Surabaya juga banyak tersebar di Surabaya, seperti Don Bosco, Kedung
Cowek, Kompleks Lindeteves, Markas Kempetai, Markas Kaigun Jepang, Markas Polisi
Istimewa, dan Markas Kohara Butai Gunungsari (Yulista, 2017). Peristiwa perebutan
senjata ini adalah semata-mata keinginan rakyat Surabaya untuk mempersiapkan diri
membela kebenaran dan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia dari
gangguan dan ancaman yang diperkirakan akan datang dari sekutu yang diboncengi oleh
NICA.
Sikap demikian merupakan wujud dari strategi pertahanan semesta sesuai pendapat
Syariffudin Tipe tentang tinjauan ontologis ilmu pertahanan mengapa dan bagaimana
eksistensi sebuah negara dapat dipertahankan kedaulatannya, keutuhan wilayahnya dan
keselamatan bangsanya dari segala jenis ancaman, dari dalam dan luar negara tersebut
(Tippe, 2016). Mengapa dan bagaimana rakyat surabaya mempertahankan kedaulatan dan
kemerdekaan Indonesia dari gangguan dan ancaman yang datang dari sekutu dengan
diboncengi NICA.
2.5 Konteks State ( Negara )

2.5.1 Sifat Negara ( Belanda – Indonesia )


Negara memiliki sifat monopoli, artinya memiliki kekuasaan atau kewenangan
yang seutuhnya untuk mengatur dan menentukan tujuan yang akan dicapai oleh negara
tersebut. Negara memiliki sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundang-
undangan atau peraturan yang dibuat di negara tersebut berlaku untuk semua warganya
tanpa terkecuali.
Sifat – Sifat Negara :
a. Sifat Memaksa.
b. Sifat Monopoli.
c. Sifat Mencakup Semua.
Sifat – sifat tersebut dimiliki oleh semua negara bukan hanya Belanda atau juga Indonesia
akan tetapi sebuah negara memiliki sifat –sifat tersebut.
2.5.2 Masalah Keadilan Politik,Ekonomi,Sosial dan Budaya
Sejarah kolonial Belanda yang tidak kurang dari 3,5 abad lamanya di Indonesia,
tersebut peranan politik etnisitas terhadap bangsa pribumi tampak lebih dominan.
Kendatipun kolonial Belanda begitu lama bisa ber tahan di Indonesia, tetapi sebetulnya
terdapat begitu banyak perlawanan yang bahkan ratusan perlawanan yang dilakukan
bangsa pribumi, yakni umat Islam (ulama, sultan, haji, kiai) yang sering kali melibatkan
kerajaan atau kesultanan-kesultanan di Nusantara. Banyaknya perlawanan bangsa pribumi,
terutama umat Islam, itu sendiri dilakukan terutama sejak pemerintah kolonial Belanda
menerapkan suatu sistem perdagangan monopoli yang bertentangan dengan sistem
perdagangan masyarakat Nusantara. Politik etnisitas kolonial Belanda dalam beragam
bidang kehidupan (politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan agama) terhadap masyarakat
pribumi (natives, indigenous) yang diskriminatif, telah berdampak pada kuatnya resistensi
begitu kuat dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, baik tampak maupun
tidak tampak.
Politik etnisitas ini dilakukan bertujuan sebagai "pemecah belah", "devide at
impera" yang identik pula diikuti dengan tindakan kekerasan atau penindasan. Hal ini juga
sebagai upaya dan strategi menguasai dengan melemahkan nasionalisme bangsa pribumi
yang memiliki kekayaan rempah-rempah dan sumber daya alam yang sekaligus menjadi
"motif utama bangsa Eropa/ Belanda datang ke Indonesia sebagai kapitalis-ekonomi.
Indonesia hanyalah sebagai tujuan memperoleh kekuasaan ekonomi tetapi mereka tidak
memandang Indonesia sebagai "masa depan" nya. Struktur politik masyarakat Hindia-
Belanda demikian di mana bangsa "migran" kolonial Belanda mensubordinasi mayoritas
masyarakat pribu minatives, dengan berbagai kebijakan sangat diskriminatif, eksploitatif,
dan dominatif terhadap bangsa pribumi serta eksploitatif terhadap sumber daya alam yang
melimpah. Struktur masyarakat yang menempatkan minoritas kolonial Belanda sebagai
superordinate; sementara, etnis mayoritas pribumi sebagai subordinate tersebut telah
menyebabkan hubungan tidak harmonis dan seringnya perlawanan dari etnis-etnis pribumi
lokal/ kesultanan Islam di Nusantara-sepanjang sejarah kehadiran Belanda di Indonesia.

2.6 Regional ( Hubungan Dengan Negara Tetangga Enmity Vs Amity )

2.6.1 Enmity ( Permusuhan )


Hasil pembahasan Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia atau Konfrontasi ialah
sebuah perang tentang masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi antara
Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1963 hingga 1966. Perang ini dimulai karena
keinginan Federasi Malaya (FM) lebih dikenal dengan Persekutuan Tanah Melayu pada
tahun 1961. Namun penggabungan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi
Malaysia tidak sesuai dengan Persetujuan Manila. Maka penggabungan FM tersebut
ditentang oleh Presiden Soekarno. Pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal
sebagai Malaysia ialah "boneka imperialisme Inggris" yang kolonialisme dan imperialisme
gaya baru.
Tanggal 3 Mei 1964 rapat besar yang dilaksanakan di Senayan, Jakarta. Soekarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya; pertinggi
ketahanan revolusi Indonesia dan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura,
Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Federasi Malaysia. Menjelang akhir tahun
1965, Jenderal Soeharto mulai memiliki kewenangan di bidang keamanan dan ketertiban,
setelah berlangsungnya G30S/PKI.
Konflik domestik ini, semangat Indonesia untuk meneruskan perlawanan kepada Malaysia
menjadi berkurang hingga akhirnya mereda. Tanggal 28 Mei 1966 konferensi di Bangkok,
merumuskan antara Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia tentang penyelesaian
konflik.
Kekerasan berakhir bulan Juni 1966, dan perjanjian perdamaian ditandatangani
pada tanggal 11 Agustus 1966. Politik luar negeri Indonesia pada masa konfrontasi
Indonesia dengan Malaysia tahun 1963-1966 melenceng dari garis politik luar negeri bebas
aktif. Namun jika dilihat dari sisipositif, tindakan Presiden Soekarno melakukan
konfrontasi kepada Malaysia sangat tepat. Sesuai dengan garis kebijakan politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif, Indonesia tidak menghendaki negara tetangganya menjadi
antek-antek negara kolonialis dan imperialis. Apabila sebuah negara di Asia Tenggara
dapat dikuasai oleh kekuatan kolonialis dan imperialis, maka wilayah tersebut akan
dijadikan basis bagi penyebaran pengaruh mereka dan bahkan penguasaan mereka atas
bangsa-bangsa dan negara-negara di sekitarnya.
Namun demikian, dilihat dari sisi negatif, konfrontasi ini telah menyebabkan
bangsa Indonesia melenceng dari garis kebijakan politik luar negeri bebas dan aktif.
Terbukti pada waktu itu Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan di PBB, dan
setelah itu ada kesan bahwa bangsa Indonesia dikucilkan dari pergaulan dunia
internasional. Selain itu pula, peristiwa konfrontasi Indonesia-Malaysia ini dimanfaatkan
oleh PKI untuk kepentingannya mendekatkan negara Indonesia dengan negara-negara
komunis seperti USSR, Korea Utara dan RRC
2.6.2 Amity ( Persahabatan )
Peran Indonesia sangat dibutuhkan Dari negara-negara di kawasan ASEAN
Menyelesaikan sengketa Thailand, ASEAN Kamboja mengingat konflik ini Dapat
membahayakan stabilitas keamanan Dari negara-negara ASEAN. Indonesia Telah
melakukan berbagai upaya Kedua belah pihak dapat menyelesaikan konflik Dengarkan apa
adanya Secara diplomatis tanpa rekonsiliasi Anda tidak perlu membawa konflik ini
dengan tentara Di kawasan internasional seperti Dewan Keamanan PBB. bahasa
Indonesia Perselisihan ini telah memenangkan banyak kepercayaan Dari DKPBB untuk
mengatasinya.
Harapan ASEAN dan PBB Dalam hal ini Indonesia disebut peran resep.
Spesifikasi peran adalah sarannAtaunpersyaratan tindakan dari sistem Internasional
(lingkungan eksternal) Terhadap nnegara. Ini sesuai dengan keinginan Indonesia dengan
mendapatkan Masukan dan kepercayaan dari pihak lain Dalam hal ini, negara atau
organisasi Penyelesaian sengketa internasional Antara Thailand dan Kamboja. Untuk
menandai Peran Indonesia Wilayah ASEAN saja, tapi maksimal negara-negara PBB.
Indonesia sukses Bertindak sebagai mediatorndalam konflik Thailand, Mencapai Kamboja
sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia Martina Talegawa Dapat mendamaikan kedua
negara dengan PBB pada 14 Februari 2011. Banyak yang diharapkan dari Indonesia Posisi
di wilayah internasional. Indonesia mungkin beberapa kali Aktor untuk penyelesaian
sengketa Terutama sengketa internasional Itu terjadi di daerah itu.
Misalnya, Indonesia menjadi tuan rumah dari tahun 1988 hingga 1989 Tempat
pertemuan informal di Jakarta (JIM) Untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan
Vietnam. Pada pertemuan Indonesia berhasil, dan Komunikasikan dua negara Konflik
dengan duduk bersama dan mendiskusikan kerabat Resolusi konflik antara dua Negara.
Pada pertemuan di atas inisiasi bahasa Indonesia, yaitu Kamboja secara bertahap menjadi
damai dan aman Ketika Vietnam menarik pasukannyan Negara. Hal ini Utamakan
Indonesia Lawan bisa main lagi Peran dalam penyelesaian sengketa Antara Kamboja dan
Thailand. Keberadaan negara – negara tetangga Indonesia juga mendukung kemerdekaan
bangsa Indonesia yakni itut serta mengakui Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat
2.7 Sebagai Pendukung Konflik,Pihak Yang Bisa Dipercaya

Untuk bisa mencapai kemerdekaan Indonesia, dibutuhkan proses perjuangan yang


teramat panjang dan melibatkan banyak tokoh. Para pejuang Indonesia berani
mempertaruhkan nyawa agar kemerdekaan bias segera tercapai dan terbebas dari jeratan
penjajah. Dalam memperjuangkan kemerdekaannya, Indonesia juga banyak dibantu oleh
pihak luar negeri, salah satunya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
2.7.1 Mengadakan Sidang Dewan PBB
Untuk menengahi perseteruan antara Indonesia dan Belanda yang terus berlangsung setelah
proklamasi kemerdekaan, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi tanggal 1 Agustus
1947, yang isinya sebagai berikut.
1. PBB menyerukan kepada Indonesia dan Belanda untuk melakukan gencatan senjata
2. Indonesia dan Belanda diminta untuk menyelesaikan masalah dengan komisi
arbitrase atau cara lainnya
Pada 14 Agustus 1947, Sidang Dewan PBB pun dilaksanakan di Lake Success, New
York, Amerika Serikat. Agenda Sidang Dewan PBB ini adalah untuk membahas mengenai
konflik antara Indonesia dengan Belanda, khususnya setelah Agresi Militer Belanda I.
Setelah sidang, Belanda dan Indonesia pun bersedia melakukan gencatan senjata dan
berunding dalam Sidang Dewan PBB di AS.
Sidang Dewan PBB menghasilkan dua keputusan, yaitu:
1. Indonesia diwajibkan untuk membuat laporan yang sesungguhnya tentang keadaan
di Indonesia
2. Pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) yang akan memberikan jasa-jasa baik
untuk membantu menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dan Belanda
2.7.2 Membentuk Komisi Tiga Negara
Karena masalah Agresi Militer Belanda tidak kunjung usai, pemerintah Indonesia
mengundang Menteri Luar Negeri Australia, Herbert Vere Evatt, untuk membantu
menyelesaikannya. Evatt, yang didukung oleh Perdana Menteri Australia Joseph Benedict
Chifley,Fallantas membawa masalah Indonesia dan Belanda ke Dewan Keamanan PBB.
Bantuan lain yang juga diberikan Australia yaitu dengan mengusulkan rancangan
resolusi. Rancangan resolusi ini berisi usulan Australia kepada Dewan Keamanan PBB
Setelah itu, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) pada 26 Agustus 1947. Terdapat
tiga negara yang menjadi anggota KTN, yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Berikut ini tugas KTN sesuai hasil pertemuan di Sydney, pada 20 Oktober 1947.
1) Membantu menyelesaikan persengketaan antara Indonesia dan Belanda secara
damai.
2) Berusaha mendekatkan kedua belah pihak guna menyelesaikan persoalan-
persoalan militer dan politik.
3) Mempertemukan kembali Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Renville
2.8 Global State

2.8.1 Kepentingan Geopolitik Dari Extra-Regional Power

Seperti yang diketahui pada kawasan Asia tenggara, pemerintahan Indonesia


dibawah presiden Soeharto pada tahun 1966-1998 saat mendorong terbentuknya ASEAN
bersama dengan Malaysia Filipina Thailand dan Singapura melalui deklarasi Bangkok di
tahun 1967. Organisasi ini membangun dirinya dengan mengambil dari pelajaran
konfrontasi terhadap Malaysia oleh Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno inisiatif
ini didasarkan pada ketakutan akan militer Indonesia akan ancaman komunisme kepada
stabilitas internal pada kawasan yang selanjutnya dapat mengancam integritas nasional.
Untuk mengubah ASEAN menjadi aliansi regional yang melawan penyebaran komunisme
di kawasan tersebut Indonesia mencoba untuk melaksanakan doktrin nasionalis pada
ASEAN salah satu contohnya adalah dimasukkannya konsep seperti ketahanan nasional
musyawarah mufakat, dan anti intervensi asing sebagai prinsip utama ASEAN.
2.8.2 Faktor Eksternal Pendorong Konflik

a. Faktor Eksternal Pendorong Konflik Antara Indonesia Dengan Belanda


Faktor eksternal ini dipengaruhi oleh negara-negara eropa yang memulai
penjelajahan samudra, serta ambisi negara-negara eropa yakni glod, glory, gospel yang
akhirnya mendorong imperialisme dan kolonialisme. Motivasi ini menjadi semboyan para
bangsa Barat melakukan penjelajahan. Gold bermakna bahwa bangsa Barat menginginkan
kekayaan melalui penjajahan atau yang lainnya. Bangsa Barat juga ingin mendapat
kejayaan atau kemenangan yaitu glory. Tujuan yang lainnya yaitu ingin memperluas 
keyakinannya yaitu agama nasrani di Asia. Kendati demikian, tujuan awal untuk berdagang
nampaknya pupus lantaran melimpahnya kekayaan alam di Indonesia yang mendorong
adanya penjajahan bangsa Eropa terhadap pribumi, sehingga menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan rakyat Indonesia.
b. Faktor Eksternal Pendorong Konflik ( Konfrontasi ) Antara Indonesia Dengan
Malaysia
Konfrontasi Indonesia–Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja
adalah sebuah peristiwa perang mengenai persengketaan wilayah dan penolakan
penggabungan wilayah Sabah, Sarawak dan Singapura yang terjadi antara Federasi
Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962 hingga 1966. Perang ini berawal dari keinginan
Federasi Malaya atau lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu. Pada tahun 1961
Federasi Malaya ingin menggabungkan Sabah, Sarawak dan Singapura ke dalam Federasi
Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila. Oleh karena itu, keinginan tersebut
ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang
sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan
imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan
dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Kajian Pustaka

Studi pustaka merupakan langkah awal dalam metode pengumpulan data.


Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada
pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam
proses penulisan. Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung
foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Studi pustaka merupakan
Maka dapat dikatakan bahwa studi pustaka dapat memengaruhi kredibilitas hasil penelitian
yang dilakukan.
Metodologi penelitian yang digunakan,yaitu metode kualitatif dengan melakukan
penelitian dari buku-buku literatur sejarah tentang TNI, khususnya kiprah perjuangan
prajurit Sudirman pada masa pasca Kemerdekaan RI yang diungkap secara deskriptif
analitik. Bungin (2007: h. 69), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif berawal dari
asumsi, pemahaman yang luas, melihat dari sudut pandang teori dan pembahasan masalah
yang menyangkut individu atau kelompok untuk menjelaskan masalah atau fenomena
sosial.
3.2 Analisis Data

Sejak dahulu Indonesia telah menjadi primadona bagi bangsa-bangsa asing


termasuk juga bangsa Belanda. Terbentang di antara dua samudra dan dua benua telah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam yang melimpah.
Ditambah lagi Indonesia berada di jalur perdagangan internasional, sehingga semakin
banyak bangsa Barat yang datang ke Indonesia untuk sekedar singgah ataupun berdagang.
Kekayaan alam Indonesia  yang melimpah telah menarik perhatian bangsa barat untuk
datang ke Nusantara. Bahkan hampir di setiap daerah memiliki rempah pilihan serta
mempunyai karakteristik dan cita rasa yang khas. Hal inilah yang menjadikan bangsa barat
berbondong-bondong untuk masuk ke Indonesia dengan alasan berdagang. Akan tetapi,
tujuan awal untuk berdagang nampaknya pupus lantaran melimpahnya kekayaan alam di
Indonesia yang mendorong adanya penjajahan bangsa Eropa terhadap pribumi, sehingga
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia.
Semakin lama bangsa kolonial Belanda semakin bersikap otoriter atau sewenang –
wenang baik dalam segi penguasaan sumber daya alam ( rempah – rempah ),wilayah,dan
bahkan ikut campur dalam urusan pemerintahan.Keinginan bangsa Belanda untuk
menguasai setiap wilayah yang ada di Indonesia seperti daerah
Jawa,Kalimantan,Sulawesi,Aceh,Sumatra,Papua dan wilayah – wilayah lainnya
menyebabkan terjadinya pemberontakan ( Konflik/Perang ) dari masyarakat pribumi atau
bangsa Indonesia contohnya seperti Perang Aceh,Perang 10 November Surabaya,Perang
Bandung Lautan Api, dan Perang lainnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Sejak dahulu Indonesia telah menjadi primadona bagi bangsa-bangsa asing.


Terbentang di antara dua samudra dan dua benua telah menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Ditambah lagi Indonesia berada di
jalur perdagangan internasional, sehingga semakin banyak bangsa Barat yang datang ke
Indonesia untuk sekedar singgah ataupun berdagang. Kekayaan alam Indonesia  yang
melimpah telah menarik perhatian bangsa barat untuk datang ke Nusantara. Bahkan hampir
di setiap daerah memiliki rempah pilihan serta mempunyai karakteristik dan cita rasa yang
khas. Hal inilah yang menjadikan bangsa barat berbondong-bondong untuk masuk ke
Indonesia dengan alasan berdagang.
Motivasi ini menjadi semboyan para bangsa Barat melakukan penjelajahan. Gold
bermakna bahwa bangsa Barat menginginkan kekayaan melalui penjajahan atau yang
lainnya. Bangsa Barat juga ingin mendapat kejayaan atau kemenangan yaitu glory. Tujuan
yang lainnya yaitu ingin memperluas  keyakinannya yaitu agama nasrani di Asia. Kendati
demikian, tujuan awal untuk berdagang nampaknya pupus lantaran melimpahnya kekayaan
alam di Indonesia yang mendorong adanya penjajahan bangsa Eropa terhadap pribumi,
sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia. Dari Penjajahan
tersebut lama – kelamaan menyebabkan terjadinya perang di Indonesia.Peperangan
tersebut dipicu karena sifat kolonial Belanda yang sangat otoriter terhadap Indonesia baik
dari segi politik,ekonomi dan lain sebagainya.
Perang Indonesia dengan Belanda dapat kita pahami bahwa perang yang paling
berat adalah bukan perang melawan penjajah akan tetapi perang melawan bangsa
sendiri,karena pada jaman penjajahan colonial Belanda sangat banyak orang pribumi atau
bangsa Indonesia sendiri yang berpihak kepada Belanda untuk menghancurkan negaranya
sendiri. Selain itu kondisi dalam negeri Indonesia yang kaya akan sumber daya sehingga
menarik bangsa eropa untuk datang ke Indonesia disamping itu keadaan adal negeri sendiri
belum mengenal persatuan dan kesatuan sehingga mudah untuk di jajah.
4.2 Saran

Sebagai salah satu bagian dari bangsa Indonesia sudah seharusnya kita harus
menjunjung tinggi nilai – nilai perjuangan,cinta akan tanah air Indonesia karena yang
membuat Indonesia terjajah selama lebih dari tiga setengah abad (350 tahun) lamanya
karena kurangnya rasa cinta tanah air dan hal tersebutlah yang membuat bangsa Indonesia
terjajah oleh kolonial Belanda dengan begitu lama. Perang Indonesia dengan Belanda dapat
kita pahami bahwa perang yang paling berat adalah bukan perang melawan penjajah akan
tetapi perang melawan bangsa sendiri,karena pada jaman penjajahan kolonial Belanda
sangat banyak orang pribumi atau bangsa Indonesia sendiri yang berpihak kepada Belanda
untuk menghancurkan negaranya sendiri. Persatuan dan kesatuan adalah salah satu faktor
yang sangat penting dalam upayah untuk mewujudkan suatu bangsa yang kuat. Dengan
bersatu kita tidak akan dapat dikalahkan apalagi mengalami penjajahan dengan waktu yang
sangat lama seperti penjajahan Belanda terhadap Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia .Jogjakarta: Diva Press. Hal. 250
https://media.neliti.com/media/publications/205480-sejarah-pemahaman-350-tahun-
indonesia-di.pdf Diunduh pada tanggal 17 April 2022
Jurnal Understanding Of History 350 Years Indonesia Colonized By Dutch
https://media.neliti.com/media/publications/205480-sejarah-pemahaman-350-tahun-
indonesia-di.pdf Diunduh pada tanggal 17 April 2022
Deskripsi dan Sejarah Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia Diunduh pada tanggal 17 April 2022
Yuda Prinada.2021. Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan
Tujuannya.Jakarta:Tirto.id
https://tirto.id/apa-itu-pengertian-voc-sejarah-kapan-didirikan-dan-tujuannya-gaaG
Diunduh pada tanggal 18 April 2022
Ricklefs M.C, (2008), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, PT. Serambi Ilmu
Semesta.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/337 Diunduh pada tanggal 19
April 2022
Wulan Sondarika.2015 Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat
Indonesia dari Tahun 1830-1870
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/337 Diunduh pada tanggal 19
April 2022
Kartodirdjo, S. (1991). Sejarah perkebunan di Indonesia: Kajian sosialekonomi.
Aditya Media.
https://journal.unindra.ac.id/index.php/estoria/article/view/465 Diunduh pada tanggal 19
April 2022
Meninjau Praktik Kebijakan Tanam Paksa di Hindia Belanda 1830-1870
https://journal.unindra.ac.id/index.php/estoria/article/view/465 Diunduh pada tanggal 19
April 2022
Devide et Impera
https://idsejarah.net/2016/03/bagaimana-politik-adu-domba-atau-devide.html Diunduh
pada tanggal 20 April 2022
Strategi Perang Semesta Dalam Perang Aceh (1873 -1912)
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Fitriyah, L. (2019). " Perang Aceh 1873- 1903 ( Surutnya Hubungan Diplomasi
Kesultanan Aceh Dan Turki Utsmani ) ”. 1903.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
García, R. (2013). Heroisme Perlawanan Kolonial Dalam Film Cut Nyak Dhien.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Hardiansyah. (2010). Ontologi Hikayat Prang Sabi.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Hasjmy. (1977). Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun
Melawan Agresi Belanda.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Amilia, S. (2018). Peranan Teungku Fakinah dalam Perang Aceh Tahun 1873-
1933 M.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Anwar. (2020). Strategi Kolonial Belanda Dalam Menaklukkan Kerajaan Aceh
Darussalam. Jurnal Adabiya, 19(1), 13. https://doi.org/10.22373/adabiya.v19i1.74 82
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Dame, I., Junaidi, & Sukirno. (2014). Pertentangan Antara Christian Snouck
Hurgronje dan Johanes Benedictus Van Heutsz dalam penetapan kebijakan kolonialisme
belanda di Aceh (1898- 1904). 1(1), 32–45.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Pratiwi, I. (2007). Peran Ulama Dalam Perang Aceh 1873-1912
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/517/434 Diunduh pada tanggal 20 April
2022
Endra,Syaiful,dkk,2021.Pertempuran Surabaya Tahun 1945 Dalam Perspektif
Perang Semesta.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Jordan, D. (2000). ‘A particularly exacting operation’: British forces and the battle
of Surabaya, november 1945. International Journal of Phytoremediation, 11(3), 89– 114.
https://doi.org/10.1080/095923100084232 90
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Amerta, K. (2018). Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Melatarbelakangi
Pertempuran 10 November Di Surabaya. November 1945.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Silas, J., Hastijanti, R., Demettwati, M., Handinoto, Basundoro, P., & Sumarno.
(2018). Pasak Sejarah Indonesia Kekinian Surabaya 10 Nopember 1945 (A. Sugiharti & M.
Fiker (Eds.); Petama). Humas Surabaya.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Theorina, V. (2007a). Pertempuran 10 November 1945 Di Surabaya (Issue
November 1945, pp. 1–130). Repository.usd.ac.id
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Cribb, R. (2001). Military Strategy in the Indonesian Revolution: Nasution’s
Concept of ‘Total People’s War’ in Theory and Practice. War and Society, 19(2), 143–
154.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Labuschagne, P. (2020). Small Wars and People’S Wars: a Clausewitzian
Perpective on the South African War, 1899–1902. Scientia Militaria, 47(1), 1899–1902.
https://doi.org/10.5787/47-1-1265
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
YULISTA, F. (2017). Perebutan Senjata Jepang Di Surabaya Tahun 1945. Avatara,
5(3).
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022
Tippe, S. (2016). Strategi Pertahanan Semesta: Memahami. Journal UIR, 1(Nov), 1–12.
https://doi.org/https://doi.org/10.25299/sis ilainrealita.2016
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/546 Diunduh pada tanggal 21 April 2022

Tegar Alan,2018.Peran Indonesia Dalam Penyelesaian Konflik Perbatasan


Kamboja dan Thailand
https://www.researchgate.net/profile/Alan-Apriana/publication/
357619680_PERAN_INDONESIA_DALAM_PENYELESAIAN_KONFLIK_PERBATA
SAN_KAMBOJA_DAN_THAILAND/links/61d671b2da5d105e551fe256/PERAN-
INDONESIA-DALAM-PENYELESAIAN-KONFLIK-PERBATASAN-KAMBOJA-
DAN-THAILAND.pdf Diunduh pada tanggal 24 April 2022
Kusmayadi Yadi,2017.Politik Luar Negeri Republik Indonesia Pada Masa
Konfrontasi Indonesia-Malaysia Tahun 1963-1966
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/download/732/636 Diunduh pada
tanggal 24 April 2022
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
https://jurnalprodi.idu.ac.id/index.php/SPS/article/download/537/518 Diunduh pada
tanggal 24 April 2022

REFERENSI BUKU

Oktorini Nino.2017.Perang Terlama Belanda Kisah Perang Aceh Tahun 1873 -


1913. hlm 8-9 Jakarta: PT.Elex Media Komputindo Diunduh pada tanggal 20 April 2022
Sugeng Bob,2017.Studi DanTeori Hubungan Internasional.hlm 33 Jakarta:Yayasan
Pustaka Obor Indonesia Diakses pada tanggal 24 April 2022
Suryadi Umar,2017.Dasar – Dasar Hubungan Internasional.hlm 68 Jakarta:PT
Desindo Putra Mandiri Diakses pada tanggal 24 April 2022
Idi Abdullah,2007.Politik Enisitas Hindia Belanda.hlm 6-7.Jakarta:Rineka Cipta
Diakses pada tanggal 24 April 2022
Harisun Endah,2021.Jejak Arsitektur Kolonial Belanda Di Ternate.hlm
4.YogyakartaDeepublish CV Budi Utama Diakses pada tanggal 24 April 2022

Anda mungkin juga menyukai