Anda di halaman 1dari 16

POLITIK BAHASA NASIONAL DAN

PENGEMBANGAN KESUSASTRAAN

DOSEN PENGAMPU:

Dra. RASDAWITA, M.M

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

MUHAMMAD ESA PRATAMA A1B119099

NUR AZMI HANINDIYA A1B119100

DIAN PUSPITASARI A1B119102

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Politik
Bahasa Nasional yang diberi judul “POLITIK BAHASA NASIONAL DAN
PEGEMBANGAN KESUSASTRAAN”.

Makalah ini dibuat sebagai salah satu untuk melengkapi tugas semester VI
(enam) tahun 2022, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi.

Pada kesempatan ini penulis megucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Rasdawita, M.M. Selaku dosen pengampu yang telah bersedia
membimbing dan mengarahkan penulis sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.
2. Kepada orang tua yang telah memberikan doa kepada penulis sehingga
penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
3. Teman-teman yang telah banyak membantu dan member semangat,
tenaga, dan pemikirannya.

Semoga semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis
menjadi amal pahala disisi Allah Swt. Dan penulis berharap semoga makalah ini
berguna untuk sekarang dan untuk masa yang akan datang.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG........................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH...................................................................................1
1.3. TUJUAN............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
2.1. POLITIK BAHASA NASIONAL......................................................................3
2.2. KESUSASTRAAN INDONESIA......................................................................4
2.3. HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN KESUSASTRAAN..........................9
BAB III...........................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................12
3.1. KESIMPULAN................................................................................................12
3.2. SARAN............................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Kata Politik dalam berbagai konteks, sering kali bersifat dinamis,
dan juga maknanya ambigu. Politik Bahasa misalnya, secara umum dapat
berarti kebijaksanaan pemerintah terhadap bahasa dalam sistem tata negara
atau kenegaraan. Frase Politik Bahasa jika ditambahkan dengan nasional,
menjadi Politik Bahasa Nasional yang maknanya menjadi sangat jelas
yaitu pengaturan atau kebijakan Bahasa Nasional ‘kebangsaan’. Politik
bahasa berkaitan dengan pengakuan terhadap bahasa yang ada dan bersifat
mengatur bagi pemerintah dalam konteks Negara dan bangsa. Dengan
demikian terjadi ikatan segi tiga hubungan yaitu Bahasa dan Negara yang
diatur oleh pemerintah demi kepentingan bangsa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, Indonesia diperkaya
dengan bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara. Sehingga
terdapat hubungan saling mengisi dengan bahasa daerah. Awal terciptanya
bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa Indonesia yaitu pada tanggal 28
Oktober 1928 yang bermula dari Sumpah Pemuda.
Politik memang mempunyai garis persinggungan dengan sastra.
Keadaan politik suatu zaman terkadang juga begitu berpengaruh terhadap
kehidupan keseniannya, termasuk kehidupan kesusastraan. Sastra lisan
merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat pemiliknya, sebagai milik bersama, yang isinya
mengenai berbagai peristiwa atau kebudayaan masyarakat.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana sejarah dan perkembangan politik bahasa Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan kesusastraan Indonesia?
3. Bagaimana hubungan antara politik dan kesusastraan?

1
1.3. TUJUAN
Makalah ini disusun dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan politik bahasa
Indonesia;
2. Untuk mengetahui perkembangan kesusastraan Indonesia.
3. Untuk mengetahui hubungan antara politik dan kesusastraan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. POLITIK BAHASA NASIONAL


Politik bahasa adalah pengolahan bahasa secara menyeluru dengan
kebijaksanaan nasional mengenai kebahasaan dan kesastraan. Politik
bahasa nasional tidak diartikan secara sempit, yaitu tentang politik sich,
tetapi pembicaraan tentang kebudayaan dan kebangsaan suatu bangsa.
Kebijakan nasional dirumuskan sebagai politik bahasa nasional yang berisi
perencanaan, pengarahan, dan ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar
bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan.
Tujuan politik bahasa adalah a) perencana dan perumusan
kerangka dasar kebijaksanaan di dalam kebahasaan; b) perumusan dan
penyusunan ketentuan-ketentuan serta garis-garis kebijaksanaan umum
mengenai penelitian, pengembangan, pembakuan, dan pengajaran bahasa,
termasuk sastra; c) penyusunan rencana pengembangan kebijaksanaan
nasional.
Alisjahbana mengemukakan bahwa kata modern yang tertera
dalam "fungsi politik bahasa nasional" dalam kitab Politik Bahasa
Nasional dijadikan sebagai titik berangkat mengikuti perkembangan
pendidikan modern di Indonesia dan menghubungkan dengan bangkitnya
bahasa Indonesia. Menurutnya Sumpah Pemuda dan Kongres Bahasa
Indonesia pertama dalam sistem konstitusi di Indonesia telah merumuskan
fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana untuk membentuk bangsa
Indonesia yang modern dan kebudayaan Indonesia yang modern. Untuk
memahami bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia yang modern,
Alisjahbana mengemukakan bahwa kebudayaan perlu dipahami dalam arti
luas sehingga dapat dilukiskan perbedaan maupun persamaan antara
berbagai kebudayaan. Untuk membedakan kebudayaan tradisi lama dari
kebudayaan modern dikemukakan dengan membatasi pengertian
kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan adalah penjelmaan nilai-nilai yang

3
dapat diklasifikasi dalam nilai teori atau ilmu, nilai ekonomi, nilai agama,
nilai seni, nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Pada tahun 1908 kaum intelektual Indonesia berupaya mendirikan
berbagai organisasi kemasyarakatan untuk menggalang persatuan bangsa
Indonesia. Salah satu aktivitas per-satuan ini menentukan suatu bahasa
yang dapat dipahami oleh semua rakyat Indonesia. Ihwal pertumbuhan
politik bahasa di Indonesia adalah melihat fakta bahasa Melayu sudah
dipakai di kepulauan Indonesia selama berabad-abad. Organisasi besar
seperti Serikat Islam, surat kabar dan majalah Indonesia menggunakan
bahasa Melayu. Hasil Kongres Pemuda di Jakarta 28 Oktober 1928
menyatakan nama bahasa Melayu diganti dengan nama bahasa Indonesia.
Keputusan ini berdampak langsung kepada kedudukan masyarakat
Indonesia menjadi bangsa Indonesia dengan bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Keputusan yang bersifat politik itu telah menyadarkan para
cendekia Indonesia untuk menumbuhkan bahasa Indonesia yang telah
berhasil menggantikan bahasa Belanda sebagai alat untuk mencapai
kebudayaan modern.

2.2. KESUSASTRAAN INDONESIA


A. Pengertian Kesusastraan Indonesia
Secara etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti
karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sanskerta) artinya : tulisan,
karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan”
berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah”
amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian
lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat
rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa
menemukan hal-hal yang indah.
Nilai-nilai estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur)
cipta sastra tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat)-nya. Nilai
moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang akan diungkapkan
dalam sebuah cipta sastra cara bagaimana pengungkapannya itu. Nilai

4
konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan
terhadap masalah yang diungkapkan di dalam cipta sastra yang
diciptakan. Sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan
yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi cipta
sastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Cipta
sastra bukanlah semata tiruan daripada alam (imitation of natura) atau
tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan
penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretator of
life
Kesusastraan adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik
dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan
masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang
positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Ada dua daya
yang harus dimiliki oleh seorang pengarang. Yakni daya kreatif dan
daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal
yang baru dan asli.
B. Perkembangan Kesusastraan Indonesia
Indonesia pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin, PKI yang
pada saat itu menjadi salah satu partai besar di Indonesia mempunyai
kedudukan yang istimewa. Kekuasaannya cukup besar dalam
mendominasi kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia. Sebagai
sebuah partai yang besar, PKI mencoba membuat sebuah lembaga
kebudayaan yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Lekra ini diciptakan untuk menguatkan kekuasaan politik partainya.
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950. Organisasi Lekra dari tahun ke
tahun terus mengalami perkembangan. Kedudukan Lekra pun semakin
kuat di dalam percaturan budaya Indonesia. Konsep-konsep ”politik
adalah panglima”, ”seni untuk rakyat”, dan ”realisme sosialis” terus
menerus dipropagandakan Lekra. Kedudukan Lekra yang kuat tersebut
membuat mereka berusaha untuk menjatuhkan lawan-lawan yang
ideologinya berseberangan dengan mereka. Lekra melakukan

5
kecaman-kecaman terhadap sastrawan luar Lekra melalui media massa
yang dikuasainya, seperti
Harian Rakyat dan Bintang Timur. Pada masa itu, dominasi Lekra
yang begitu besar membuat kebebasan mencipta dan kreativitas sastra
terganggu. Kehidupan kreativitas kepengarangan seolah-seolah harus
mengikuti garis PKI. Oleh karena itu, para sastrawan di luar Lekra
akhirnya mencoba membentuk organisasi-organisasi kebudayaan yang
berlindung pada partai politik tertentu untuk dapat bertahan. Beberapa
seniman dan sastrawan yang tidak mau berdiri di bawah naungan
partai menciptakan suatu kelompok tersendiri. Para sastrawan yang
tidak mau menyangkutpautkan hasil karyanya dengan kepentingan
politik berkumpul dan membuat pernyataan budaya yang dikenal
dengan nama Manifes Kebudayaan.
Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan
sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada
zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan
bahasa sastra (Purwoko, 2004 : 84), hasil-hasil sastra berbahasa
Melayu yang tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19.
Sementara itu, ffondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri
pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Pustaka. Sejak saat itu
sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum
terbagi menjadi beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan
angkatan 1970 sampai dengan sekarang. Di era 2000-an seperti
sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di
dunia cyber atau internet.
a. Zaman Sastra Melayu Lama
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair,
pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain. Karya sastra pada
kesusastraan lama masih berkisar pada cerita yang disampaikan
dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng,

6
mantra, dan hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries
(mengisahkan kehidupan raja-raja).
b. Zaman Peralihan
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang
istana dan raja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan
masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi),
Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah
ke Negeri Jeda. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam
segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa
Melayu yang kearab-araban.
c. Zaman Sastra Indonesia
1. Angkatan Balai Pustaka (1920 – 1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun
1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004:
143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan
dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F. 25.000 setiap
tahun guna keperluan sekolah bumi putra yang ternyata justru
meningkatkan pendidikan masyarakat.
2. Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan
Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi
nama Poedjangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi
wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin
mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe
merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke
aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula.
3. Angkatan ’45
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan
Pujangga Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik
masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki

7
gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan
kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45..
4. Angkatan 1950
Angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi oleh karya
karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi
memiliki identitas, kesusastraan mengalami krisis baik kualitas
maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan
seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung
jawab
5. Angkatan ’66
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal
pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan
perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada
masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan
seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra, organ
PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai
organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik
adalah panglima”.
6. Angkatan 70-an sampai sekarang
Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk
pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi
dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan
gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya
keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai
bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah.
Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980-1990-an banyak penulis Indonesia yang
berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata
ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal
sampai sekarang adalah Gramedia.

8
2.3. HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN KESUSASTRAAN
Mengingat pertautan konseptualnya, hubungan antara sastra dan
politik sesungguhnya berakar dari hubungan yang lebih mendalam antara
sastra dan sejarah sastra. Bagi orang yang melihat bahwa sastra selalu
terkait dengan sejarah sastra, ia akan juga melihat bahwa sastra selalu
terkait dengan politik sastra. Sejarah sastra adalah konteks sosial,
ekonomi, dan politik di mana karya sastra dilahirkan, dan membaca sastra
dalam konteks sejarahnya, berarti mensituasikan karya tersebut dalam
relasi-relasi sosial-ekonomi-politis zamannya.
“Politik menceraikan, seni menyatukan”, pendapat ini telah
menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat seni, karena dalam pengertian
ini tampak terjadi dua kepentingan yang berbeda; seni/sastra mememberi
arah untuk memanusiakan manusia, sedang politik disebut sebagai wilayah
dengan segala upaya dan cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki. Memang dalam kacamata awam, hubungan sastra dan politik
dalam kaitan ini, tampak seperti hal yang sangat sederhana, atau malah
terkesan biasa-biasa saja, bahkan tak lebih dari sebuah peristiwa klise.
Adigum sastra adalah dunia suci, dan politik adalah dunia kotor
merupakan hal pasti di mata masyarakat, hal ini merujuk pada setiap
peristiwa politik yang terjadi selama ini saat pemilu atau peristiwa politik
lainnya. Sebut saja, masih ingat peristiwa Pilpres bereapa waktu lalu, tak
sedikit korban kemanusian yang harus menjadi tumbal “keganasan”
politik.
Sebagaimana disebut di atas, sastra adalah dunia suci, dunia
kemanusiaan, dan sastra sebaiknya jangan sampai disusupi politik, apalagi
menjadi ajang rebut kepentingan dan alat propaganda politik. Sastra yang
ditunggangi politik tak ubahnya pamflet, banner, brosur dan mimbar
kampanye politik. sastra, dan karya sastra menjadi keruh.
Sastra akan kehilangan alat vitalnya sebagai penjaga jargon suci
yang berbunyi "bila politik bengkok, sastra akan meluruskannya." Sastra
menolak diri dari kooptasi politik dalam makna dan maksud apapun.

9
segala yang berbau politik sebaiknya tak menyusup sembunyi-sembunyi
atau mencengkeram terang-terangan terhadap sastra yang jiwanya lembut
dan halus.
Politik adalah dunia unik. Keras, berwibawa dan terhormat.
Sebaiknya sastra tidak masuk wilayah politik. Sastra hanya akan merusak
marwah politik. Terlebih sastra dan karya sastra digunakan dalam politik.
Digunakam untuk meramal, merumuskan atau bahkan dikutip dalam
proses perumusan beragam kebijakan politik. politik is politik. Dan sastra
is sastra. politik adalah tugas kebangsaan dan kenegaraan. Sedangkan
sastra adalah peran khayali. Politisi berkumpul merumuskan nasib bangsa
ke depan. Sedangkan sastra dan para sastrawan hanya mengajak bangsa
terjebak dalam imajinasi tak berkesudahan.
Sastra bisa saja masuk ke ranah politik. Sastra bisa menjadi bacaan
penting bagi para perumus kebijakan, baik sebagai bahan material atau
bacaan di kala senggang daripada ngantuk saat sidang. Sastra dapat
membantu para politisi memahami banyak persoalan. Terkhusus suara hati
masyarakat yang tak terekam dan tak tersuarakan. Politisi bisa memahami
bahwa bila jurnalisme dibungkam, sastra akan bersuara.
Sastra dapat digunakan sebagai cara mendidik masyarakat.
Menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan bahkan meramal
nasib masa depan. sastra juga dapat dibacakan oleh para politisi di
hadapan jamaah politik masing-masing, dengan tujuan politik. Sastra
mendekatkan politisi dengan konstituen. Sastra menjadi agen oposisi yang
efektif. Sastra menjadi mimbar propaganda yang menggetarkan. Lisan
maupun tulisan.
Sastra menjadi vitamin penambah daya dobrak dan daya gerak
politik lebih berwibawa, lebih elegan dan lebih menarik dinikmati sebagai
hiburan. Sastra yang suci mewarnai politik yang dianggap kotor. Sastra
sebagai warna baik masuk wilayah politik yang dianggap berdebu. Sastra
masuk politik dan menyapu sampah politik. Sastra masuk politik dan
menyeka debu politik. Hingga kaca politik menjadi bening. Ruang politik
menjadi lebih mewangi.

10
Tapi ketika sastra dicaplok dan dijadikan alat propaganda poltik,
sastra tak lebih akan menjadi pion-poin yang pada akhirnya akan
tersingkirkan dari nilai-nilai kemanusian, yakni patokan normatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara
tindakan alternatif. Serta sebagai salah satu bagian terpenting dari
kehidupan sosial sebab dengan penegakan norma seseorang dapat merasa
tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan
dirinya.
Dalam posisi ini kerap para politisi menyapa penyair seperti lahir
dan batinnya. Politik menyediakan ruang yang cukup bagi sastra untuk
menentukan arah bangsa. Politik sedia pasang badan bagi sastra yang
rentan. Yang perjalanannya kerap disandera rasa sakit dan kesunyian.
Politik menjadi amunisi, logistik dan sekaligus suaka bagi sastra.

11
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Politik bahasa nasional tidak diartikan secara sempit, yaitu tentang
politik sich, tetapi pembicaraan tentang kebudayaan dan kebangsaan suatu
bangsa. Menurutnya Sumpah Pemuda dan Kongres Bahasa Indonesia
pertama dalam sistem konstitusi di Indonesia telah merumuskan fungsi
bahasa Indonesia sebagai sarana untuk membentuk bangsa Indonesia yang
modern dan kebudayaan Indonesia yang modern.
Kesusastraan yaitu segala hasil cipta karya manusia dengan bahasa
sebagai alat atau instrumennya yang dirangkai dengan indah dan baik,
sehingga dapat meningkatkan budi pekerti manusia melalui makna dan
pesan yang disampaikan oleh penulis.
Mengingat pertautan konseptualnya, hubungan antara sastra dan
politik sesungguhnya berakar dari hubungan yang lebih mendalam antara
sastra dan sejarah sastra. Bagi orang yang melihat bahwa sastra selalu
terkait dengan sejarah sastra, ia akan juga melihat bahwa sastra selalu
terkait dengan politik sastra.

3.2. SARAN
Pada saat ini bahasa politik nasional dalam kesusastraan
terkhususnya di Indonesia keberadaannya sangat dikesampingkan, karena
pada jenjang pendidikan umunnya lebih mengedepankan serta
mementingkan pembelajaran yang sifatnya ilmiah. Bahasa nasional sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia untuk mampu berkomunikasi
dengan masyarakat di luar daerah. Padahal dengan mempelajari bahasa
nasional dan kesusastraan dapat turut berperan dalam pembentukan
kepribadia, watak, dan sikap yang tentunya akan lebih baik diterapkan
sejak dini. Seharusnya bahasa nasional dan kesusastraan dapat
dioptimalkan pembelajarannya sehingga dapat diapresiasikan dengan baik.

12
DAFTAR PUSAKA

Juanda. (2015). POLITIK BAHASA INDONESIA DARI PRAKEMERDEKAAN


DAN PASCAKEMERDEKAAN. Tuturan, Vol. 4, No. 1, Januari 2015,
688-703.

Sugono, H. A. (2000). Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen


Pendidikan Nasional.

Al-Fayyadl, M. (2009, Mei 27). “Politik Sastra”, Signifikansi, dan Batas-


batasnya.

SAMBODJA, A. (2013, 12 15). PETA POLITIK SASTRA INDONESIA 1908-


2008.

Fitriindriyani, S. (2022, 1 13). Peran Bahasa, Sastra dan Politik di Masyarakat.

Meidiska, A. (2022, 1 7). Sastra Hibrida Sebagai Identitas Kesusastraan


Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai