Anda di halaman 1dari 21

OPTIMALISASI TUGAS DAN FUNGSI PERAWATAN DAN KESEHATAN TERHADAP

DETENI YANG MENDERITA PENYAKIT KRONIS PADA RUMAH DETENSI IMIGRASI


JAKARTA (KASUS WERNER ROLF WULLENKORD DAN KINGSLEY CHUKWUEBUKA)

Jeane Christine Siahaan


Politeknik Imigrasi
jeanech92@gmail.com

Surya Pranata
Politeknik Imigrasi
suryapranata58@gmail.com

M. Alvi Syahrin
Politeknik Imigrasi
ma.syahrin@poltekim.ac.id

Abstrak
Rumah Detensi Imigrasi yang merupakan tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang
dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian. Rumah Detensi Imigrasi menyediakan perawatan dan
pelayanan kesehatan bagi para Deteni. Perawatan dan layanan yang diberikan kepada Deteni
disetarakan. Di Rumah Detensi Imigrasi ditemukan dua kasus Deteni yaitu Werner Rolf Wullenkord
dan Kingsley Chukwuebuka dalam mengurus biaya rumah sakit dan/atau pemakaman, semua
tanggung jawab dilimpahkan ke Rumah Detensi Imigrasi. Diketahui ada unsur melepaskan tanggung
jawab dan menjadi pengabaian oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui perawatan, pelayanan kesehatan terhadap Deteni di Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta dan mengetahui pelayanan kesehatan yang tepat bagi Deteni yang
menderita penyakit kronis. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan metode kualitatif dan
pendekatan normatif-empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-
undangan dan berbagai kajian lain tentang pelayanan kesehatan Deteni, pelayanan Deteni dan
secara empiris dilakukan dengan mengamati gejala-gejala sosial yang terjadi di lapangan. Hasil
penelitian ini, dalam penerimaan calon Deteni, khususnya pemeriksaan kesehatannya harus jelas
dipastikan kondisi kesehatan Orang Asing tersebut. Apabila ternyata kondisinya tidak sehat, maka
calon Deteni perlu ditempatkan di luar Rumah Detensi Imigrasi.
Kata Kunci: Deteni; Pelayanan Kesehatan Deteni; Perawatan Deteni.

Abstract
Immigration Detention House which is a temporary shelter for Foreigners subject to Immigration
Administrative Action. The Immigration Detention House provides care and health services for
Detainees. The care and services provided to Detainee are equalized. At the Immigration Detention
House, two cases of Detainees were found, namely Werner Rolf Wullenkord and Kingsley
Chukwuebuka in taking care of hospital and/or funeral expenses, all responsibilities were devolved to
the Immigration Detention House. It is known that there is an element of abdicating responsibility and
being a waiver by the parties who are supposed to be responsible. The purpose of this research was
to find out the treatment, health services for Detainees at the Jakarta Immigration Detention House
and find out the right health services for Detainees suffering from chronic diseases. To answer the
research problems, qualitative methods and normative-empirical approaches are carried out. The
normative approach is carried out by reviewing laws and regulations and various other research on
Detainee health services, Detainee services and empirically carried out by observing social symptoms
that occur in the field. The results of this research, in the admission of prospective Detainee,
especially the medical examination, must be clearly ascertained the health condition of the Foreigner.
If it turns out that the condition is not healthy, then the prospective Detainee needs to be placed
outside the Immigration Detention House.
Keywords: Detainee; Detainee’s health care; Services of Detainees.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam menjaga tegaknya kedaulatan negara maka Pejim memiliki kewenangan untuk
melakukan penegakan hukum kepada WNI dan WNA yang melanggar aturan Keimigrasian
sesuai dengan prosedur hukum. Pejim memiliki wewenang untuk melaksanakan fungsi
penegakan Hukum Keimigrasian yang meliputi 2 (dua) tindak yaitu:
1. Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK)
2. Penyidikan Keimigrasian
Dalam menindak setiap orang yang melakukan pelanggaran keimigrasian harus
disesuaikan dengan pasal yang tepat untuk menindak lanjuti setiap perbuatan yang
melanggar aturan yang ada. TAK dinilai lebih sering dilaksanakan dalam menegakan
hukum Keimigrasian terkhususnya bagi WNA. Definisi TAK pada dasarnya ialah sanksi-
sanksi administratif yang sudah ditetapkan oleh Pejim terhadap OA di luar proses
peradilan. Jenis jenis TAK diatur lebih lanjut dalam UU Keimigrasian No. 6 Tahun 2011
Pasal 75 yang berisi:
1. Pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
2. Pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
3. Larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah
Indonesia;
4. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
5. Pengenaan biaya beban; dan/atau
6. Deportasi dari Wilayah Indonesia.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Inti dilakukannya TAK untuk memberi tindakan lanjut terhadap OA apabila Ia diketahui
melakukan suatu kegiatan yang berbahaya serta patut diduga membahayakan ketertiban
umum dan keamanan ataupun ditemukan ada OA yang tidak menghormati atau tidak
menaati peraturan-peraturan yang berlaku khususnya melanggar hukum keimigrasian.
Pada saat menunggu proses Deportasi OA yang dikenai TAK ditempatkan sementara di
Rudenim. Pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 2013 Pasal 1 angka 24 tertulis
bahwa, Rumah Detensi Imigrasi yang nama lainnya yakni Rudenim merupakan unit
pelaksana teknis yang menjalankan fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan
sementara bagi OA yang dikenakan TAK. Maka, dalam hal ini Pejim memiliki kewenangan
untuk menempatkan OA dalam Rudenim dengan unsur-unsurnya, antara lain:
1. Apabila OA Berada di Wilayah Indonesia yang tanpa Izin Tinggal dan Izin tinggal
harus diperoleh dengan cara yang sah, kemudian sudah tidak berlaku lagi yang
biasa disebut Overstay;
2. Setiap OA yang Berada di Wilayah Indonesia tanpa memiliki Dokumen Perjalanan
yang sah atau memperoleh Dokumen Perjalanan dengan diperoleh dengan cara
yang sah;
3. Dikenai TAK berupa pembatalan Izin Tinggal karena yang bersangkutan
melakukan hal yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan atau
mengganggu keamanan serta ketertiban umum dengan posisi yang bersangkutan
berada di Wilayah negara Indonesia;
4. Menunggu pendeportasian;
5. OA tersebut dipindahkan dari Ruang Detensi Imigrasi.
Dalam hal pendetensian Deteni juga mendapat hidup yang layak. Deteni mendapat
pelayanan dan perawatan yang cukup di Rudenim. Standard pelayanan serta perawatan
memperhatikan sisi Hak Asasi Manusia (HAM) yang baik. Selain pelayanan serta
perawatan yang cukup terdapat hal-hal yang memerlukan penanganan tertentu seperti
berikut:
1. Penanganan kelahiran;
2. Pemeriksaan Kesehatan;
3. Penanganan Kematian;
4. Penanganan Deteni yang melakukan pelanggaran;
5. Penanganan Deteni yang mogok makan;
6. Penanganan Deteni yang melarikan diri.
Setiap pelaksanaan perawatan atau pelayanan terhadap deteni harus didasarkan pada
ketentuan yang berlaku yakni berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Rudenim.
SOP yang berlaku saat ini didasarkan atas Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor
IMI.1917-OT.02.01 Tahun 2013 tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi
Imigrasi.Peraturan Direktorat Jenderal Imigrasi Nomor Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013
tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi. Rudenim Jakarta dalam
implementasinya sudah menerapkan aturan SOP Rudenim dengan cukup baik. Penulis
menjabarkan lebih lanjut mengenai pemeriksaan kesehatan dan penanganan kematian
deteni. Hal tersebut yang membuat peneliti ingin mendalami permasalahan pada Rudenim
serta mencari jalan keluar yang harus segera ditangani, Hal ini menjadi sebuah pemikiran
peneliti dikarenakan tidak sedikit Deteni yang tergolong sakit kronis sehingga dilain waktu
penanganannya membutuhkan perhatian lebih serta harus menggunakan prinsip kehati-
hatian dalam penanganannya. Salah satu implementasi penanganan deteni yang tergolong
sakit yaitu kondisi kesehatan deteni selalu dipantau oleh tenaga kesehatan Rudenim.
Tetapi, terdapat lebih dari 2 (dua) kasus Deteni yang dinyatakan meninggal dunia. Dalam
penelitian ini mengambil 2 (dua) contoh kasus Deteni diantaranya yaitu:
1. Deteni atas nama Kingsley Chukwuebuka (KC) yang berkewarganegaraan Nigeria
memiliki riwayat sakit jantung dan;
2. Deteni atas nama Werner Rolf Wullenkord (WRW) yang berkewarganegaraan
Jerman. Rekaman medis terakhirnya menyatakan bahwa yang bersangkutan (Ybs)
mengalami komplikasi (leukimia, gagal ginjal akut, diabetes militus) dan sepsis.
Salah satu dari kasus deteni yang dinyatakan meninggal dunia, yakni kasus yang
dialami oleh Kingsley Chukwuebuka berkewarganegaraan Nigeria. Ybs pada saat
pemeriksaan kesehatan tidak mengakui adanya riwayat sakit jantung dan sesuai hasil
rekaman medis pada saat pemeriksaan kesehatan di awal Ybs dinyatakan dalam keadaan
sehat. Pada saat di Rumah Detensi Imigrasi terdapat keributan Ybs dinyatakan tidak
sadarkan diri pada saat proses penertiban di Rudenim Jakarta. Ybs dinyatakan meninggal
dunia dan mengakibatkan beberapa pihak menyudutkan pihak Rudenim yang senyatanya
Ybs memiliki riwayat sakit jantung dan seharusnya pihak yang lain tidak sewenang-wenang
terhadap pihak Petugas Rudenim Jakarta. Pada saat ini Ybs sudah dikebumikan. Sebelum
dikebumikan Ybs di autopsi terlebih dahulu. Pada saat jenazah belum dikebumikan,
jenazah di tempatkan pada tempat penyimpanan jenazah Rumah sakit Polri Kramat Jati
selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan. Dalam penanganan biaya jenazah yang ditempatkan
di RS Polri memakan biaya yang besar.
Kemudian, kasus selanjutnya peneliti akan membahas kasus yang dialami oleh
Werner Rolf Wullenkord memperoleh respon yang kurang mendukung dari kedutaan besar
atau pihak keluarganya. Sebelumnya telah diketahui adanya bukti bahwasanya Rudenim
Jakarta telah melaporkan keadaan Ybs kepada istri Ybs namun istri Ybs berhalangan hadir
dengan pernyataan bahwa keluarga terhalang kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) sehingga tidak bisa hadir. Kemudian Rudenim Jakarta juga melaporkan Ybs
kepada pihak Kedutaan Besar Jerman yang bertujuan untuk meminta pertanggung
jawaban ketika pada saat itu pembiayaan penanganan kesehatan khususnya dalam hal
pengobatan menjadi tanggungan Rudenim Jakarta dan adanya bantuan dari bapak Kepala
Rudenim Jakarta dalam menutupi biaya tagihannya. Dalam hal ini pihak Rudenim tidak
bisa menanggung pembiayaan sepenuhnya karena memakan biaya yang cukup besar. Hal
tersebut diketahui dari pesan obrolan via aplikasi WhatsAPP antara salah satu struktural
yakni ibu Sari Anggaini selaku Kepala Sub Seksi Kesehatan sebagai upaya koordinasi
yang dilakukan dari pihak Rudenim terhadap pihak Kedutaan Besar Jerman pada saat itu.
Pada dasarnya setiap setiap kasus diatas berpusat pada pembiayaan yang tidak
mendukung. Sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor
M.05.IL.02.01 Tahun 2006 tentang Rudenim Pasal 16 ayat (1).Kementerian Hukum dan
HAM RI, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.05.IL.02.01 Tahun
2006 tentang Rumah Detensi Imigrasi.
Pada saat keluarga, perwakilan negaranya, atau pihak lain tidak ada atau tidak dapat
dihubungi dalam jangka waktu tertentu semua biaya dibebankan pada anggaran Rudenim
sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (2). Dalam pembuktian contoh dilapangannya
sudah jelas bahwasanya Rudenim telah memiliki itikad yang baik dalam membantu biaya
penanganan pengobatannya namun di sisi lainnya pihak keluarga Ybs atau Kedutaan
Besar tidak bertanggung jawab. Sehingga, dapat dikatakan sesuai Permenkumham Nomor
M.05.IL.02.01 Tahun 2006 tentang Rudenim Pasal 16 ayat (1) dilihat tidak berjalan dengan
semestinya karena terindikasi pembiaran dari pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini perlu
diajukan teknis penanganan kepada Deteni yang tergolong sakit kronis atau yang
terindikasi riwayat sakit akut dan perlu dikaji untuk membuat langkah preventif kasus
serupa. Pengajuan teknis penanganan Deteni yang menderita penyakit kronis akan
dibahas lebih lanjut oleh penulis.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana perawatan dan
pelayanan kesehatan yang memerlukan khusus bagi Deteni yang menderita penyakit
kronis pada Rumah Detensi Imigrasi Jakarta ? (2) Bagaimana optimalisasi terhadap Deteni
yang menderita penyakit kronis sebelum di tempatkan ke Rumah Detensi Imigrasi
Jakarta ?

B. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian yang digunakan peneliti ialah normatif-empiris. Pengertian dari penelitian
normatif ialah penelitian yang dimana fokus utamanya merupakan peraturan yang
berlakunya dan melakukan analisis apakah peraturan tersebut sudah berfungsi dengan
baik. Pengertian dari penelitian empiris ialah suatu penelitian tentang hukum yang berlaku
dilapangan. Sehingga, peneliti menggunakan jenis penelitian ini dikarenakan ada hukum
positif yang berlaku di lingkungan Rudenim yang dimana jenis ini termasuk jenis penelitian
normatif dan pembahasan yang diteliti oleh peneliti yakni seputaran Rudenim serta
dengan dikaitkannya faktor pendukung mengenai realita kejadian yang terjadi dilapangan.
Terdapat unsur kenyataan dilapangan ataupun kejadian-kejadian yang ada merupakan
jenis penelitian empirisnya.

C. PEMBAHASAN
1. Perawatan Kesehatan terhadap Deteni yang Menderita Penyakit Kronis pada Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta
Perawatan merupakan salah satu ruang lingkup dari pendetensian yang didasarkan
pada SOP Rudenim. Kewenangan Perawatan dibawah Kepala Seksi Perawatan dan
Kesehatan yang dilimpahkan kepada Kepala Sub Seksi Perawatan yang dibantu
dengan petugas bidang perawatan. Perawatan Deteni menurut SOP Rudenim 2013
meliputi:
a. Kebutuhan makan dan minum Deteni
b. Peralatan tidur, mandi, cuci Deteni
c. Perlengkapan ibadah
d. Kebutuhan olahraga
e. Kebutuhan rekreasi
f. Kebutuhan lainnya.Peraturan Direktorat Jenderal Imigrasi Nomor Imi.1917-
Ot.02.01 Tahun 2013 tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi
Imigrasi.
Perawatan Deteni pada Rudenim Jakarta berdasarkan hasil wawancara oleh salah
satu struktural bahwasanya perawatan sudah disesuaikan dengan SOP Rudenim
2013. Kebutuhan makan dan minum yang diberikan sebanyak 3 (tiga) kali sehari.
Berikut jadwal makan Deteni pada Rudenim Jakarta:
a. Pagi : 08.00 WIB
b. Siang : 12.00 WIB
c. Malam : 18.00 WIB
Para Deteni mendapat makan sesuai dengan jadwalnya dan diberi makan
sebanyak sehari 3 (tiga) kali. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Sari Anggraini, sebagai Sub
Seksi Kesehatan Rudenim Jakarta bahwasanya dalam memperhatikan kebersihan
serta pemenuhan gizi bagi Deteni bagian perawatan mengecek makanan dengan
mengambil beberapa sampel makanan yang harus dipastikan dan diperiksa terlebih
dahulu. Tahap selanjutnya, Sub Seksi Perawatan memperhatikan rekomendasi
mengenai kebutuhan makanan dari Sub Seksi Kesehatan untuk Deteni yang dalam
kondisi sakit tertentu. Pada hari Sabtu dan Minggu makanan Deteni diurus oleh petugas
Pengamanan. Salah satu perawatan yang diberikan kepada Deteni harus sangat
diperhatikan dan dipertanggung jawabkan oleh Sub Seksi Perawatan serta menimbang
rekomendasi Sub Seksi Kesehatan sehingga apa yang diterima oleh Deteni seharusnya
dalam keadaan yang layak karena sudah disesuaikan dengan SOPAP Pemberian
Makan Deteni Nomor W.10.IMI.IMI-8.OT.02.02-310. Selain itu, Deteni mendapat
peralatan tidur, peralatan mandi, dan peralatan cuci sesuai dengan pembagian dari
Rudenim Jakarta. Selanjutnya, perlengkapan ibadah disediakan sesuai dengan
kebutuhan alat untuk ibadah. Sebelum pandemi Covid-19 Rudenim mengundang
pendeta untuk mendukung ibadah Deteni yang beragama Kristen untuk beribadah pada
tempat yang telah disediakan di Rudenim. Mengenai kebutuhan rekreasi, Rudenim
Jakarta menjadwalkan untuk memberi penyegaran terhadap Deteni. Pemenuhan
kebutuhan lainnya Rudenim Jakarta menyesuaikan perizinan dan anggaran.

2. Pelayanan Kesehatan terhadap Deteni yang Menderita Penyakit Kronis pada Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta
Pelayanan kesehatan menurut Kementerian Kesehatan adalah suatu usaha untuk
melangsungkan individu atau bersamaan dalam komposisi untuk menghindari dan
mengembangkan kesehatan, menjaga, mengobati sakit penyakit dan mengobati
kesehatan setiap masyarakat. Pada Rudenim Jakarta pelayanan kesehatan menjadi
salah satu bagian dari pelayanan Deteni yang masuk dalam kategori kesehatan dan
kebersihan berdasarkan SOP Rudenim 2013. Berikut jenis-jenis pelayanan kesehatan
pada Rudenim antara lain:
1) pemeriksaan kesehatan Deteni secara rutin;
2) dalam hal kondisi kesehatan Deteni tidak dapat ditangani oleh petugas
kesehatan RUDENIM, pemeriksaan kesehatan Deteni dapat dilakukan di
klinik, puskesmas, atau rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut;
3) bagi Deteni dalam kondisi kesehatan Kritis, dapat diberikan fasilitas
pemeriksaan kesehatan di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit;
4) Deteni dengan mengidap penyakit akut, dapat dirawat di rumah sakit;
5) Fasilitas sebagaimana dimaskud pada angka 2) sampai dengan angka 4)
harus mendapatkan izin dari Kepala Rudenim. (Peraturan Direktorat
Jenderal Imigrasi Nomor Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar
Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi, 2013)
Pemeriksaan kesehatan Deteni dilakukan pada klinik Rudenim. Pelayanan
kesehatan Deteni dilimpahkan kepada Klinik Rudenim yang ditangani oleh tenaga medis
yaitu Dokter Umum, Dokter Gigi dan perawat. Tenaga medis pada Rudenim Jakarta
merupakan salah satu dari Rudenim yang ada di Indonesia yang memiliki tenaga medis
yang lengkap. Tenaga medis Klinik Rudenim Jakarta terdiri dari 2 (dua) Dokter, yakni 1
(satu) Dokter Umum, 1 (satu) Dokter Gigi, dan 2 (dua) perawat sehingga tenaga medis
yang ada di Rudenim sudah dikategorikan lengkap.
Dalam pemeriksaan kesehatan Deteni secara rutin disesuaikan dengan jadwal yang
telah ditentukan. Pelayanan kesehatan Deteni juga dilimpahkan kepada Klinik Rudenim.
Deteni dalam masa pendetensiannya apabila ditemukan laporan kondisi yang tidak
sehat ataupun ada keluhan sakit dari Deteni maka akan segera dibawa ke klinik
Rudenim, apabila telah diperiksa oleh Dokter diketahui adanya sakit yang harus segera
ditangani karena fasilitas pada klinik tidak lengkap maka mendapat rujukan dari dokter
klinik Rudenim untuk di tangani lebih lanjut di rumah sakit pengayoman dan apabila
masih membutuhkan pengobatan medis atau peralatan medis yang lebih khusus dapat
di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar ataupun rumah sakit swasta sesuai permintaan
Deteni yang mengidap sakit tersebut dengan mempertimbangkan keputusan Kepala
Rudenim Jakarta. Sehingga semua perizinan dari pemeriksaan di klinik Rudenim,
puskesmas, atau rumah sakit untuk penanganan yang lebih lanjut harus sesuai dengan
keputusan Kepala Rudenim.

3. Upaya Perawatan dan Pelayanan Kesehatan Deteni yang Menderita Penyakit Kronis
Kasus Deteni Kingsley Chukwuebuka (KC) dan Werner Rolf Wullenkord (WRW) di
Rumah Detensi Imigrasi Jakarta
a. Perawatan dan Pelayanan Kesehatan Deteni terhadap Deteni Atas Nama:
Kingsley Chukwuebuka (KC) pada Masa Pendetensian di Rumah Detensi
Imigrasi Jakarta
Kingsley Chukwuebuka adalah Deteni berkewarganegaraan Nigeria. Kingsley
Chukwuebuka dikenai TAK karena diketahui melakukan pelanggaran terhadap aturan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 78 yang berbunyi
sebagai berikut,

“Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan
masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang dari 60 (enam puluh) hari dari
batas waktu Izin Tinggal dikenai biaya beban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian .
Pada saat penerimaan calon Deteni pada Rumah Detensi Imigrasi Jakarta KC
merupakan WNA yang dikirim dari Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Timur. Dalam
proses penerimaan calon Deteni pada Rudenim Jakarta KC diarahkan sesuai dengan
SOP Pendetensian. Berikut Alur Pendetensian pada Rudenim Jakarta.

Maka, didapati ilustrasi alur penerimaan Kingsley Chukwuebuka sebagai berikut:


Uraian alur pendetensian KC:
1) KC merupakan WNA yang dikenai TAK karena melanggar aturan UU No. 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian pasal 78 ayat 3 yang merupakan suatu
pelanggaran karena izin tinggal telah bearkhir masa berlakunya dan masih berada
di Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal. Ybs
merupakan Deteni WNA yang dilimpahkan dari Kantor Imigrasi Kelas I TPI
Jakarta Timur. Proses serah terima KC di Rudenim pada tanggal 27 Agustus
2021. Dilakukan pemeriksaan barang KC. Uraian barang KC berupa:
a) Paspor Asli an. Kingsley Chukwuebuka nomor A06956637 Berlaku s.d. 22
Oktober 2020
b) Surat Pernyataan Asli Menikah atas nama Kingsley Chukwuebuka
c) Surat Pindah Agama Nomor 125/BPPMI/V/2014 atas nama Kingsley
Chukwuebuka
d) HP merek OPPO atas nama Kingsley Chukwuebuka
2) Pengambilan foto biometrik dan sidik jari KC.
3) Registrasi.
4) Pemberian kartu Deteni kepada KC.
5) Pemeriksaan Kesehatan. Ybs dinyatakan tekanan darahnya tinggi yaitu 150/100
Dalam hal ini Ybs tidak mengatakan adanya riwayat penyakit. (Pemeriksaan pada
Rudenim tidak difasilitasi untuk medical checkup secara keseluruhan).
6) Penempatan KC pada sel Pendetensian.

Setelah melewati alur penerimaan maka Deteni KC berhak mendapat perawatan


dalam masa pendetensiannya. Berikut hal-hal yang diperhatikan dalam perawatan
Deteni yaitu kebutuhan makan, minum, peralatan tidur, peralatan mandi, peralatan
cuci, perlengkapan ibadah, kebutuhan olahraga, serta kebutuhan lainnya. Sesuai
dengan penelitian saya di Rudenim Jakarta perawatan yang diberikan kepada Deteni
sudah sesuai dengan SOP Rudenim. Dalam pemberian pelayanan kesehatan ia
mendapat penanganan yang tepat. Pada suatu kejadian KC dipindahkan ke sel
lainnya karena ada keributan. Pada saat proses pemindahan Deteni KC mengalami
serangan jantung. Pihak keamanan ketertiban mengkoordinasi dengan pihak
kesehatan kemudian sempat dicek oleh tenaga medis bahwa sudah tidak sadarkan
diri. Kemudian KC dibawa ke UGD RS Mitra keluarga untuk memastikan kondisinya.
Dokter yang memeriksa menyatakan bahwa KC meninggal dunia. Pihak Rudenim
Jakarta menginformasikan kepada pihak keluarga dan Kedutaan Besar Nigeria.
Selanjutnya, respon dari pihak Ybs bahwasanya Jenazah Ybs ingin di pulangkan ke
negara asal. Namun Rudenim dalam merespon hal tersebut bukanlah menjadi suatu
tanggung jawab pihak Rudenim untuk memulangkan jenazah kembali ke negara
asalnya.
Sesuai dengan aturan yang berlaku yakni Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01
Tahun 2006 tentang Rudenim Pasal 16 ayat (1) dikatakan bahwa, “Biaya pengurusan
rumah sakit dan/atau pemakaman Deteni yang meninggal dunia ditanggung oleh
keluarga atau perwakilan negaranya atau pihak lainnya”. Dan berdasarkan aturan
turunannya lagi yakni Perdirjenim 2006 tentang Tata Cara Pendetensian pada Pasal
24 ayat (2) dikatakan bahwa, Pihak keluarga, sponsor dan/ atau Kepala Perwakilan
Negara Deteni yang telah diberitahu tentang kematian Deteni dan tidak mengambil
mayat Deteni dalam waktu 2 X 24 jam, Petugas Rumah Detensi Imigrasi melakukan
pemakaman dengan cara dikubur atau dikremasi.
Dalam hal ini pengambilan langkah Rudenim kurang tepat pada saat merespon
kejadian tersebut. Namun, pada kondisi yang sebenarnya jenazah KC tempatkan
hampir 7 (tujuh) bulan lamanya di tempat penyimpanan jenazah diketahui
penyimpanan jenazah dikenai tarif Rp500.000,00 / hari. Maka jika ditotal biayanya
sangatlah besar. Waktu penyimpanan jenazah menjadi sangat lama dikarenakan
pihak Rudenim Jakarta masih menunggu jawaban dari keluarga ataupun Kedutaan
Besar Nigeria mengenai tindakan yang diberi kepada jenazah yaitu untuk di pulangkan
atau tidak. Pihak Keluarga ataupun pihak Kedutaan Besar Nigeria tidak bertanggung
jawab atas biaya penyimpanan jenazahnya. Sehingga ditemukan adanya prosedur
yang kurang tepat dalam penanganannya. Apabila disesuaikan dengan peraturan
yang ada pihak keluarga dan pihak Kedutaan Besar harus bertanggung jawab apabila
mendapat respon dari salah satu pihak mereka. Kemudian adanya pembiaran
terhadap pihak keluarga ataupun Kedutaan Besar Nigeria dalam hal mengikuti
keinginan mereka yang diketahui mereka menginginkan jenazah tersebut
dikembalikan ke negara asalnya yakni negara Nigeria dan meminta pihak Rudenim
Jakarta untuk membiayai kepulangan jenazahnya.
Hal tersebut terkesan tidak efektif karena pada intinya sejak awal harus
ditegaskan mengenai aturan yang berlaku dan dalam pengambilan langkah harus
sesuai dengan aturan serta sebaiknya pihak Rumah Detensi Jakarta tidak mengikuti
keinginan pihak dari Ybs. Apabila pihak dari yang seharusnya berkewajiban tidak bisa
bertanggung jawab dalam hal biaya maka kita juga berhak mengikuti aturan yang
mengatur yakni Perdirjenim 2006 tentang Tata Cara Pendetensian pada Pasal 24 ayat
(2) dikatakan bahwa, Pihak keluarga, sponsor dan/ atau Kepala Perwakilan Negara
Deteni yang telah diberitahu tentang kematian Deteni dan tidak mengambil mayat
Deteni dalam waktu 2 X 24 jam.Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-
1002.Pr.02.10 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendetensian Orang Asing. Sehingga
seharusnya tidak membayar uang penyimpanan jenazah di RS Polri selama 7 (tujuh)
bulan tersebut. Apabila pihak Rudenim mengikuti aturan yang berlaku dan
mengoptimalkan aturan yang berlaku dengan melihat ketidakjelasan pihak dari
keluarga atau Kedutaan Besar Ybs maka pihak Rudenim dapat bersikap tegas dengan
hukum yang berlaku sehingga tidak akan menimbulkan kesalahan yang sama dilain
waktu. Berikut relevansi teori Efektifitas (Penegakan) Hukum oleh Soerjono Soekanto
apabila diamati dari kasus Kingsley Chukwuebuka (KC).
NO. TEORI SUB TEORI ANALISIS
1. Efektifitas Berdasarkan asas kepastian
(Penegakan) hukumnya juga yang diamati pada
Hukum Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01
Tahun 2006 tentang Rudenim Pasal
b. Perawatan dan Pelayanan Kesehatan Deteni
16 tidak mencantumkan konsekuensi
apabila pihak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhi
kewajibannya. Pada pasal 16 ayat (2)
Faktor Hukum
merupakan toleran yang
dimanfaatkan oleh pihak yang
seharusnya bertanggung jawab.
Seharusnya diberikan konsekuensi
pada pasal tersebut bagi pihak yang
tidak bertanggung jawab. Pihak
Rudenim juga tidak optimal dalam
merealisasikan aturan yang mengatur
seputar Rudenim.

Pada kasus KC diketahui pihak dari


Rudenim tidak tegas dalam
Faktor
menindaklanjuti prosedur dan terbawa
Penegak
pada kehendak daripada pihak
Hukum
keluarga ataupun pihak Kedutaan
Nigeria.

Fasilitas dalam hal pembiayaannya


Faktor Sarana tidak memadai dan biaya tempat
Dan Fasilitas penyimpanan jenazah di RS Polri
Hukum membutuhkan dana yang sangat
besar.

Istri dari KC atau pihak Kedutaan


besar tidak memahami hukum yang
berlaku sehingga kurangnya
Faktor
pemahaman akan peraturan pada
Masyarakat
lingkungan Rudenim dan bertindak
sesuai pemahaman mereka sendiri
tidak didasarkan dengan peraturan
yang berlaku.
Pihak luar Rudenim tidak sepenuhnya
memahami peraturan dan tidak tertib
akan hukum yang berlaku sehingga
terus menimbulkan penawaran-
Faktor
Imigrasi Jakarta
Werner Rolf Wullenkord (WCW) merupakan WNA yang diserahkan dari Lembaga
permayarakatan yang diketahui sebelumnya ia melakukan pelanggaran terkait
pemalsuan dokumen perjalanan serta dikenakan hukum pidana. Setelah masa
penahanannya selesai ia diserahkan ke Rudenim untuk menunggu pendeportasian
kenegara asalnya. Sehingga, proses penerimaan Deteni digambarkan sebagai berikut:

Uraian alur pendetensian WCW:


1) WCW merupakan WNA yang dikenai Tindak Pidana melanggar Undang-
Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 119 ayat (1)
Sehingga dipidana penjara 8 (delapan) bulan, dikenakan denda
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), subsider denda 3 (tiga)
bulan.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Maka
Ybs dibawa ke Lapas Kelas II B Indramayu. Setelah masa hukuman
dipenjara sudah selesai maka ia diajukan untuk dilakukan Pencegahan,
Penangkalan, dan diDeportasi. Dalam menunggu proses pendeportasian Ybs
dilimpahkan ke Rudenim Jakarta. Kemudian, dilakukan proses serah terima
WRW di Rudenim pada tanggal 18 April 2019.
2) Dilakukan pemeriksaan barang WRW. Uraian barang WRW berupa:
a) Fotocopy Paspor Jerman a.n. Werner Rolf Wullenkord Nomor
928208550 (paspor hilang) berlaku s.d. 30 Oktober 2015
b) Tindakan Administratif Keimigrasian, Berita Acara Pemeriksaan dan
Berita Acara Pendapat a.n. Werner Rolf Wullenkord
c) Fotocopy Surat Lepas dari Lapas Kelas II B Indramayu atas nama
Werner Rolf Wullenkord bin Werner Hermun Wilheln Wullenkord
d) Pengambilan foto biometrik dan sidik jari WRW.
e) Registrasi.
f) Pemberian kartu Deteni kepada WRW.
g) Pemeriksaan Kesehatan. Dalam hal ini Ybs tidak mengatakan adanya
riwayat penyakit serta dinyatakan sehat. (Pemeriksaan pada Rudenim
tidak difasilitasi untuk medical checkup keseluruhan).
h) Penempatan WRW pada sel Pendetensian.
Setelah melewati alur penerimaan Deteni WRW mendapat perawatan dalam
masa pendetensiannya. Berikut hal-hal yang diperhatikan dalam perawatan
Deteni yaitu kebutuhan makan dan minum, dalam hal ini pemberian makan dan
minum apabila kondisi kesehatannya sakit akan disesuaikan dengan
kebutuhannya. WRW juga mendapat peralatan tidur, peralatan mandi, peralatan
cuci, perlengkapan ibadah, kebutuhan olahraga, serta kebutuhan lainnya. Sesuai
dengan penelitian di Rudenim Jakarta perawatan yang diberikan kepada Deteni
sudah sesuai dengan SOP Rudenim. Dalam hal pemberian pelayanan kesehatan
keluhan sakit WRW mendapat penanganan yang tepat namun pada saat tahap
awal pemeriksaan kesehatan pada kenyataan dilapangan pelaksanaan
pemeriksaan kesehatan kurang mendalam khususnya untuk usia-usia yang
rentan penyakit atau yang masuk kategori lanjut usia. WRW termasuk salah satu
Deteni yang masuk kategori lanjut usia yang diketahui berumur 65 tahun. Pada
suatu kejadian WRW mengalami sakit kronis yang diawali gejala-gejala
penyakitnya kemudian setelah direkomendasikan oleh Dokter Klinik Rudenim
Jakarta untuk melanjutkan pengobatan di RS Pengayoman Cipinang dan
direkomendasikan lagi oleh Dokter RS Pengayoman Cipinang untuk melakukan
tindakan medis di RS Polri dan kemudian WRW dinyatakan meninggal dunia di
RS Polri. Berikut penjelasan riwayat medis deteni a.n. Werner Rolf Wullenkord
(WRW):
1) Pada tanggal 25 Mei 2020, WRW berobat ke klinik Rudenim Jakarta dengan
keluhan sakit kelingking kiri, dan diberikan obat oleh dokter umum yang
bertugas.
2) Pada tanggal 28 Mei 2020, WRW belum sembuh sejak keluhan sebelumnya
sehingga dirujuk berobat ke Rumah Sakit Pengayoman Cipinang, Jakarta
Timur dengan diagnosa Selulitis (bengkak pada kaki kiri disertai luka di
kelingking) dan dirujuk rawat inap dan menandatangani Surat Pernyataan
Penolakan Rawat Inap.
3) Pada tanggal 2 Juni 2020, Rudenim Jakarta bersurat kepada pihak Kedutaan
Jerman perihal kondisi kesehatan WRW.
4) Pada tanggal 4 Juni 2020, WRW dirujuk untuk konsultasi kembali ke Dokter
Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dan dirujuk untuk rawat inap karena
kondisinya sudah mengalami komplikasi yang parah.
5) Pada tanggal 5 Juni 2020, WRW di rawat inap di RS Pengayoman Cipinang,
Jakarta Timur dan dilakukan tindakan test laboratorium dengan hasil
komplikasi yaitu HB rendah perlu transfusi darah, ada masalah pada ginjal,
Leukosit tinggi beresiko Sepsis.
6) Pada tanggal 10 Juni 2020, diambil tindakan transfusi darah golongan A
untuk WRW, karena kondisi HB yang bersangkutan sangat rendah.
7) Pada tanggal 12 Juni 2020, WRW dilaporkan terjatuh di kamar rawat inap,
menyebabkan luka robek dan lebam pada dahi, dan diambil tindakan
penjahitan luka oleh petugas medis RS Pengayoman. Kemudian, WRW
dirujuk untuk di rawat di RS Bhayangkara Polri, guna perawatan lebih lanjut,
karena kondisi yang semakin buruk karena keterbatasan fasilitas RS.
Pengayoman. WRW selanjutnya, masuk ke Unit Gawat Darurat RS
Bhayangkara Polri, kemudian dilakukan tindakan observasi oleh dokter dan
dirujuk untuk rawat inap di ruang perawatan High Care Unit (HCU), namun
dikarenakan ruang High Care Unit (HCU) penuh, dokter merujuk untuk di
rawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Bhayangkara Polri. Selanjutnya
WRW pada pukul 17.12 WIB di rawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS,
kondisi Ybs masih dalam keadaan sadar dengan napas yang agak berat.
Pada saat itu juga pegawai Rudenim Jakarta melakukan pengawasan secara
bergantian terhadap WRW pada RS. Bhayangkara Polri.
8) Pada tanggal 13 Juni 2020, WRW dikunjungi oleh istrinya Enih dari
Indramayu pukul 12.27 WIB. Kemudian WRW diberi tindakan transfusi darah
dan pemasangan Central Venous Catheters (CVC) untuk WRW. Diketahui
istri WRW sering melakukan kontak via Whatsapp dengan staf lokal Kedutaan
Jerman terkait kondisi kesehatan WRW dan meminta bantuan biaya
pengobatan dikarenakan pihak keluarga tidak mampu membiayai pengobatan
WRW.
9) Pada tanggal 14 Juni, dilakukan pemasangan ventilator untuk membantu
pernapasan WRW.
10) Pada tanggal 15 Juni 2020, kondisi WRW koma dan semakin parah dengan
tensi menurun 90/60, dokter memvonis harapannya sangat tipis. Pada pukul
17.30 WIB, WRW dinyatakan meninggal oleh dokter RS. Bhayangkara Polri.
Dikarenakan Pihak keluarga tidak mampu membiayai seluruh pengobatan
WRW dan tidak adanya bantuan dari pihak Kedutaan, maka seluruh biaya
pengobatan sebesar Rp. 28.512.750 ditanggung oleh Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Rudenim Jakarta dan sumbangan pegawai
Rudenim Jakarta.
11) Pada tanggal 16 Juni 2020 pukul 10.45 almarhum diberangkatkan dari RS.
Polri ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur dikawal oleh pegawai
Rudenim Jakarta. Pemakaman di TPU Tegal Alur blok AA 1 blade 028 dan
dihadiri oleh keluarga.
Tindak lanjut atas uraian peristiwa tersebut Kepala Rumah Detensi Imigrasi
Jakarta melaporkan ke Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta, serta memberitahukan kepada pihak
Kedutaan Jerman pada kesempatan pertama. Maka, diketahui pada uraian
peristiwa WRW mengenai pertanggung jawaban biaya berobat serta rawat inap dan
dukungan medis lainnya dari RS. Polri Bhayangkara mengambil biaya yang sangat
besar. Sehingga, rangkaian berobat, rawat inap serta fasilitas medis lainnya dalam
hal biaya tidak ada yang bertanggung jawab. Hal pertanggung jawaban biaya
perobatan didasarkan pada Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01 Tahun 2006
tentang Rudenim Pasal 16 ayat (1) dikatakan bahwa, “Biaya pengurusan rumah
sakit dan/atau pemakaman Deteni yang meninggal dunia ditanggung oleh keluarga
atau perwakilan negaranya atau pihak lainnya”.Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.05.IL.02.01 Tahun 2006 tentang Rumah Detensi Imigrasi.
Dapat ditarik kesimpulan pihak keluarga ataupun pihak Kedutaan Besar Jerman
sudah merespon namun tidak berniata untuk menanggung pembiayaan
pengobatan WRW. Seharusnya, pihak Rudenim lebih mempertegas dan
mengoptimalkan peraturan yang berlaku pada Rudenim mengenai adanya
kewajiban para pihak yang menjadi penanggung jawab tersebut sehingga dilain
waktu tidak terjadi hal yang serupa. Selanjutnya, berikut penjabaran relevansi Teori
Efektifitas (Penegakan) Hukum dengan kasus Werner Rolf Wullendkord (WRW).
NO TEORI SUB TEORI ANALISA
1. Efektifitas Berdasarkan kasus WRW, menurut asas
(Penegakan) hukum yang berlaku yakni asas hukum
Hukum kepastian yang diamati pada
Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01
Tahun 2006 tentang Rudenim Pasal 16
tidak mencantumkan konsekuensi
apabila pihak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhi
kewajibannya. Pada Pasal 16 ayat (2)
merupakan suatu toleransi yang
dimanfaatkan oleh pihak yang
Faktor Hukum
seharusnya bertanggung jawab. Maka,
pasal tersebut tidaklah efektif karena hal
toleransi pada dasarnya tidak melihat
dari sisi kerugiannya. Dalam kasus WRW
4. O p t i m a l i s
cukup banyak menghabiskan anggaran
DIPA Rudenim Jakarta dan
menggunakan uang beberapa pegawai
untuk membayar biaya medisnya. Pada
dasarnya juga pihak Rudenim tidak
mengoptimalkan peraturan yang berlaku
di lapangan.
Pihak Rudenim memiliki kewenangan
Faktor yang kuat. Seharusnya lebih
Penegak mempertegas akan hal pertanggung
Hukum jawaban kepada pihak yang
bersangkutan.
Fasilitas pada Klinik Rudenim Jakarta
tidak memadai dan harus dirujuk ke RS
Faktor Sarana spesialis penyakit yang diderita oleh
Dan Fasilitas WRW sehingga cukup memakan
Hukum anggaran yang besar untuk menangani
penyakit yang diderita oleh WRW.
Keluarga serta perwakilan negara WRW
tidak memperdulikan akan kondisi WRW
serta tidak dapat mempertanggung
jawabkan biaya yang seharusnya dibayar
Faktor oleh pihak WRW hal ini juga kurang
Masyarakat pemahamannya pihak-pihak yang
seharusnya melaksanakan kewajibannya
dalam hal pembiayaan pengurusan
rumah sakit dan pengurusan
kematiannya.
Penyakit Kronis sebelum ditempatkan ke Rumah Detensi Imigrasi Jakarta.
a. Pemeriksaan Kesehatan pada Awal Penerimaan Calon Deteni di Rumah
Detensi Imigrasi
Pada saat proses pemeriksaan kesehatan di awal seharusnya sudah diketahui
kondisi kesehatannya. Dalam artian pada saat pemeriksaan harus ditekankan
unsur kehati-hatian oleh tim medis sehingga pemeriksaan kesehatan memperoleh
hasil pemeriksaan yang tepat. Selanjutnya, dalam tahap pemeriksaan Deteni pada
saat penerimaan awal masuk harus benar-benar dipastikan bahwa kondisi
kesehatan calon Deteni yang akan melaksanakan masa pendetensiannya sebelum
dideportasikan. Sehingga ada baiknya apabila Rumah Detensi Imgirasi Jakarta
hanya menerima calon-calon Deteni dengan kondisi kesehatan yang tidak dalam
menderita penyakit kronis ataupun kondisi calon Deteni yang tidak layak untuk di
detensikan. Dari kedua kasus penelitian yang dibahas ditemukan bahwa pada saat
dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh tim medis yaitu dokter dan perawat pada
saat ditanyakan mengenai kondisi kesehatannya mengenai riwayat penyakit yang
dimilikinya beberapa dari calon Deteni tidak mengetahui akan riwayat penyakit
yang dimilki, kemudian kondisi yang terlihat sehat namun pada saat menjalankan
masa pendetensiannya kondisi kesehatannya menurun dan memburuk. Tugas dari
seksi kesehatan yakni memberi pelayanan apabila ditemukan Deteni yang sakit
atau memiliki riwayat penyakit tertentu. Para Deteni memiliki hak untuk
mendapatkan pengobatan. Dalam kasus yang dibahas dalam hal pemeriksaan
Deteni ditemukan kurangnya mendalam pengecekan kesehatan terhadap calon
Deteni. Seharusnya dibuatkan pemeriksaan terkhsusus yakni dilakukan medical
chekup secara keseluruhan terhadap Deteni yang didasarkan oleh faktor umur dan
faktor dari hasil pemeriksaan Dokter Klinik apabila ditemukan adanya indikasi
gejala ataupun ciri-ciri calon Deteni apabila dari hasil pengecekan kesehatan
seperti tensi darahnya, pengecekan gula darah dan lain-lainnya diketahui melewati
batas normal. Untuk calon Deteni yang dikategorikan lanjut usia cenderung lebih
rentan apabila tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan jantung. Ada baiknya
Rumah Detensi Imigrasi memberi fasilitas untuk pengecekan kesehatan jantung
bagi calon Deteni dengan kategori lanjut usia dan bagi calon Deteni yang dirasa
oleh dokter atau perawat harus melaksanakan pemeriksaan Elektrokardiografi
(EKG).
Rumah Deteni Imigrasi dalam pemeriksaan kesehatan memiliki fasilitas yang
dikatakan cukup lengkap namun ada baiknya menambahkan pengecekan
kesehatan jantung sehingga dilakukan pengecekan jantung di luar Rumah Detensi
Imigrasi khususnya bagi Deteni yang dikategorikan lanjut usia dan bagi calon
Deteni yang dirasa oleh dokter atau perawat harus melaksanakan pemeriksaan
EKG dengan juga melakukan revisi anggaran terkhusus bagian perawatan dan
kesehatan untuk kepentingan pengecekan kesehatan. Penyakit jantung hari-hari ini
tidak dapat diprediksi maka pemeriksaan EKG adalah langkah yang tepat untuk
memeriksa kesehatan calon Deteni karena apabila calon Deteni tidak diketahui
kondisi kesehatan jantungnya akan berisiko tinggi apabila menjalankan masa
pendetensiannya di Rumah Detensi Imigrasi.
Kemudian, dalam hal menanyakan riwayat penyakit calon Deteni harus
ditanyakan dan diyakinkan serta perlu menghubungi pihak keluarga untuk
memastikan kondisi kesehatan Deteni. Seperti kasus Kingsley Chukwuebuka yang
pada awal pemeriksaan kesehatannya tidak mengatakan bahwa Ybs memiliki sakit
jantung, namun pada saat Ybs sudah dinyatakan meninggal dunia pihak keluarga
baru menginformasikan mengenai kondisi Kingsley Chukwuebuka bahwasanya
beriwayat sakit jantung. Maka, pemeriksaan kesehatan harus dilaksanakan dengan
unsur kehati-hatian pada saat awal penerimaan calon Deteni sehingga tidak
mengulangi kasus yang serupa dilain waktu.
Selain itu, dalam memperhatikan hal pertanggung jawaban yang didasarkan
pada Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01 tentang Rudenim Pasal 16 dikatakan
bahwa:
Ayat (1) dikatakan bahwa “Biaya pengurusan rumah sakit dan/atau
pemakaman Deteni yang meninggal dunia ditanggung oleh keluarga atau
perwakilan negaranya atau pihak lainnya.”
Ayat (2) dikatakan bahwa, “Apabila keluarga, perwakilan negaranya, atau
pihak lain tidak ada atau tidak dapat dihubungi dalam jangka waktu 2 X 24 (dua kali
dua puluh empat) jam, biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan
pada anggaran Rudenim.”(RI, n.d.)
Dari pasal tersebut menimbang kasus yang diteliti yakni biaya rumah sakit dan
pemakamannya ditanggung oleh pihak Rudenim Jakarta.Untuk Kasus Kingsley
Chukwuebuka yang menangung dari biaya administratif rumah sakit hingga ia
dilaksanakan autopsi kemudian proses jenazah di tempatkan pada tempat
penyimpanan jenazah yang diketahui dikenakan biaya perharinya dan dalam
pengurusan pemakamannya yang menanggung biaya ialah pihak Rudenim Jakarta
walaupun dalam hal pengurusan penempatan jenazah pada tempat penyimpanan
jenazah di RS Polri tidak perlu membayar karena adanya perbincangan serta
negosiasi dari pihak Rudenim Jakarta dengan pihak RS Polri sehingga hal tersebut
juga tidak dapat menjadi titik acuan bahwa apabila kasus yang sama terulang
kembali akan mendapat kesempatan yang kedua terkhusus dalam hal
pembiayaannya. Apabila menimbang dari biaya listrik dan perawatan jenazah yang
diberikan oleh RS Polri merupakan salah satu kerugian yang cukup besar bagi RS
Polri pada saat menangani kasus KC. Selain itu, untuk kasus kedua yakni Deteni
atas nama Werner Rolf Wullenkord sejak keluhan sakit pertama kalinya hingga
WRW dirujuk ke RS Pengayoman kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara
Polri dan sampai Ybs dinyatakan meninggal dunia serta pengurusan
pemakamannya dalam hal pembiayaanya ditanggung oleh pihak Rudenim Jakarta.
Apabila melihat isi dari Permenkumham No. M.05.IL.02.01 tentang Rudenim
Pasal 16 ayat (2) diketahui bahwa apabila keluarga, perwakilan negaranya, atau
pihak lain tidak ada atau tidak dapat dihubungi dalam jangka waktu 2 x 24 jam.
Maka seharusnya menjadi perhatian yang didukung dengan kalimat “tidak ada atau
tidak dapat dihubungi”. Kalimat tersebut seharusnya menjadi acuan pihak Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta untuk tegas dalam menegakkan hukum yang berlaku.
Diketahui dari kasus KC dan WRW pihak keluarga dari kasus KC dapat dihubungi
namun balasan yang berkaitan dengan tidak memiliki uang, kemudian dari pihak
WRW juga didapati jawaban yang seolah-olah tidak mau bertanggung jawab
walaupun pihak Rudenim Jakarta khususnya bagian kesehatan sudah memberi
bukti foto kondisi Warga Negaranya yang membutuhkan bantuan dana dan pihak
Kedutaan Jerman hanya merespon untuk diberi tahu ke pihak keluarganya.
Sementara pihak keluarga dari WRW sulit melakukan perjalanan ke Jakarta
dikarenakan pada masa pembatasan pergerakan pandemi Covid-19.
Sehingga ditemukan banyak motif penghindaran yang dilakukan dari pihak
yang seharusnya menjadi penanggung jawab dalam hal biaya pengurusan rumah
sakit dan/atau pemakaman Deteni yang meninggal dunia. Maka harus diberi
penegasan terhadap kasus-kasus yang serupa. Oleh karena itu, kedua kasus
tersebut menjadi pelajaran bagi pihak Rudenim Jakarta untuk mencegah kejadian
serupa terutama dalam proses penerimaan awal kesehatan Deteni yang harus
dilakukan pemeriksaan tambahan yakni pemeriksaan kondisi kesehatan jantung
yakni EKG yang ditujukan bagi calon Deteni yang dikategorikan lanjut usia dan bagi
calon Deteni yang berdasarkan saran dari Dokter untuk dilakukan pengecekan
kesehatan jantung. Maka, hal tersebut dapat mengantisipasi kejadian sebelumnya
dan mengingat anggaran Rumah Detensi dalam hal kesehatan Deteni tidak banyak
maka pengecekan kondisi kesehatan jantung hanya ditujukan kepada calon Deteni
yang diketegorikan lanjut usia dan bagi calon Deteni yang mendapat rekomendasi
dari Dokter Klinik Rudenim untuk melakukan pengecekan kesehatan jantung di
Rumah Sakit.
b. Optimalisasi Perawatan dan Pelayanan Kesehatan dengan Menempatkan
Calon Deteni yang Menderita Penyakit Kronis ke Tempat Lain untuk
Melaksanakan Pemulihan Kondisi Kesehatan Calon Deteni diluar Rumah
Detensi Imigrasi.
Dalam hal peneimaan calon Deteni harus dipastikan hasil dari pemeriksaan
kesehatan tersebut valid sehingga dari hasil yang valid apabila sudah
pemeriksaan kesehatan yang tepat oleh tim medis bahwasanya calon Deteni
memiliki riwayat penyakit, menderita penyakit kronis, atau bagi yang dikategorikan
lanjut usia ketika sudah dilakukan pemeriksaan jantung dan dinyatakan memiliki
sakit jantung sebaiknya dilakukan penolakan untuk pemdetensian pada Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta sejak awal apabila diketahui kondisi kesehatannya tidak
layak untuk didetensikan. Karena pada dasarnya Rumah Detensi ialah tempat
penampungan sementara bagi Orang Asing yang hendak dilakukan
pendeportasian ke negara asal. Apabila pihak Rudenim tidak memeriksa dengan
teliti mengenai kondisi kesehatan Calon Deteni akan ditemukan penghindaran
pertanggung jawaban bagi pihak yang harusnya menjadi pihak penanggung
jawab Deteni, bahkan apabila suatu saat ditemukan adanya Deteni dalam
menjalani masa pendetensiannya meninggal di Rudenim dapat menjadi suatu
pemicu penilaian negatif dari masyarakat luar karena pada dasarnya banyak
masyarakat yang tidak mengetahui permasalahan awal seperti apabila tidak
diketahuinya kondisi kesehatan masing-masing dari Deteni dan dalam masa
pendetensiannya tidak semua Deteni dapat beradaptasi dengan cepat
dilingkungan yang baru. Dalam hal pendetensian yang sudah kita ketahui adanya
pembatasan hak kebebasan bagi Orang Asing yang dikenai TAK dan harus
segera di deportasikan sehingga tidak tepat apabila menerima calon Deteni yang
memiliki riwayat penyakit, menderita penyakit kronis pada Rudenim Jakarta.
Maka ada baiknya dilakukan penolakan penerimaan calon Deteni untuk
menjalankan masa pendetensiannya di Rumah Detensi Imigrasi. Karena Deteni
yang hendak dideportasikan atau Deteni yang dengan kondisi kesehatannya tidak
baik tidak diperbolehkan untuk melaksanakan bepergian yang jauh. Maka langkah
yang tepat yakni menolak OA ataupun calon Deteni yang dikirim dari UPT untuk
dilakukan pemulihan terlebih dahulu sebelum calon Deteni diterima untuk
menjalani masa pendetensiannya. Apabila hanya mengandalkan pihak yang
bertanggung jawab yakni pihak keluarga ataupun Kedutaan Besar yang pada
kenyataannya tidak dapat menjamin sepenuhnya dan diketahui untuk pihak
Kedutaan Besar tidak pernah membantu dalam hal pembiayaan pengurusan
rumah sakit ataupun pengurusan kematiannya. Sehingga, kalau
mempertimbangkan pertanggung jawaban dari pihak yang dimaskud pada
Permenkumham Nomor M.05.IL.02.01 tentang Rudenim Pasal 16 ayat (1)
dikatakan bahwa “Biaya pengurusan rumah sakit dan/atau pemakaman Deteni
yang meninggal dunia ditanggung oleh keluarga atau perwakilan negaranya atau
pihak lainnya.”(RI, n.d.) Maka, ada 3 (tiga) pihak berkewajiban untuk bertanggung
jawab yaitu:
1) pihak keluarga
2) pihak perwakilan negaranya
3) pihak lainnya
Ketiga pihak tersebut yang seharus mempertanggung jawabkan setiap kondisi
Deteni dalam masa pendetensiannya di Rudenim tidak menjamin mereka dapat
membiayai urusan rumah sakit hingga kematian Deteni. Pasal tersebut dinilai
kurang efektif pada saat diaplikasikan di lapangan. Maka hal yang tepat yakni
menolak calon Deteni yang dinyatakan sakit, kemudian ditempatkan di tempat lain
yang didasarkan pada Pasal 83 ayat (3) dinyatakan bahwa, “Pejabat Imigrasi
dapat menempatkan Orang Asing sebagaimana dimaskud pada Pasal 83 ayat (1)
di tempat lain apabila Orang Asing tersebut sakit, akan melahirkan, atau masih
anak-anak.”Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Sehingga dapat dilakukan pemulihan terlebih dahulu bagi calon Deteni yang
apabila ditemukan beriwayat penyakit tertentu atau menderita penyakit kronis.
Adapun yang menjadi urgensi dalam penelitian ini yakni untuk merancang ulang

alur penerimaan calon Deteni. Berikut alur penerimaan calon Deteni.

Dalam menerima calon Deteni sesuai dengan kasus yang saya bahas tahap
pemerikasaan kesehatan harus menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data dari
beberapa Deteni yang menyatakan dirinya “sehat” tidak sesuai dengan kenyataan
pada saat Deteni sudah dalam masa pendetensiannya. Contoh kasus yang
merupakan kenyataan pada Rudenim Jakarta ialah kasus Kingsley Chukwuebuka.
pada saat Ybs dalam tahap pemeriksaan kesehatan, diketahui Ybs tidak
mengakui adanya riwayat penyakit.
Namun, pada saat ditanyakan kepada pihak keluarganya, yakni istri dari Ybs
mengakui bahwa Ybs memiliki riwayat penyakit. Maka, dalam mencegah hal yang
sama terjadi Orang Asing yang atau Calon Deteni dinyatakan sakit dapat
ditempatkan di tempat lain. Karena pada dasarnya Rudenim Jakarta bukan tempat
penampungan orang sakit, sehingga dapat ditolak oleh pihak Rudenim Jakarta
untuk dilakukannya pendetensian dikarenakan berdasar Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 83 ayat (3) dinyatakan bahwa,
“Pejabat Imigrasi dapat menempatkan Orang Asing sebagaimana dimaskud pada
ayat (1) di tempat lain apabila Orang Asing tersebut sakit, akan melahirkan, atau
masih anak-anak.”(Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian,
2011) Sehingga pihak Rudenim dan tim medis Klinik Rudenim Jakarta harus
berani mengambil sikap untuk menolak calon Deteni yang menderita penyakit
kronis dan dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan harus dilakukan secara
hati-hati dan teliti.
Maka hal-hal yang harus diperhatikan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta atas kasus
yang telah terjadi yakni kasus Kingsley Chukwuebuka (KC) dan Werner Rolf
Wullenkord (WRW) meliputi:
1) kondisi kesehatan calon Deteni harus dinyatakan benar-benar sehat dan
tidak memiliki riwayat penyakit;
2) pengecekan kesehatan jantung yakni pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
khusus calon Deteni yang dikategorikan lanjut usia dan calon Deteni yang
direkomendasikan oleh Dokter Klinik Rumah Detensi Imigrasi Jakarta untuk
melakukan pengecekan kesehatan jantung dari Dokter Klinik Rumah Detensi
Imigrasi Jakarta.
Maka, kedua hal tersebut menjadi perhatian bagi pihak Rudenim Jakarta
khususnya dalam menerima calon Deteni. Sehingga, OA yang diterima menjadi
Deteni ialah Calon Deteni yang dinyatakan sehat dan tidak memiliki riwayat
penyakit tertentu sehingga dapat dilaksanakan segera pendeportasiannya.
Apabila, Deteni yang diterima dalam kondisi yang tidak sehat atau memilki riwayat
penyakit tertentu akan membebani dalam segi keuangannya serta kondisi yang
tidak sehat apabila dipaksakan untuk dilakukan pendetensian pada Rudenim tidak
akan membaik juga akan memperlama waktu pendetensian serta kenyataan di
lapangan beberapa Deteni yang tidak terselamatkan apabila menjalankan proses
pemulihannya di dalam Rumah Detensi Imigrasi karena kondisi keuangannya
yang tidak mencukupi namun, apabila dilakukan pemulihan di tempat lain dengan
status penanggung jawabnya ialah UPT pengirim terkait, juga Ybs dalam
pengawasan UPT terkait kepada OA yang ditempatkan di tempat lain. Dalam hal
ini juga mempermudah koordinasi antara UPT terkait dengan penjamin OA
sebagai calon Deteni dikarenakan masih dalam satu cakupan wilayahnya,
sehingga pengawasan dapat lebih efektif. Dengan terlaksananya hal tersebut
calon Deteni yang memiliki riwayat penyakit tertentu, penyakit kronis, atau dengan
kondisi yang tidak layak untuk didetensikan dapat melakukan pemulihan terlebih
dahulu ditempat lain. Hal lainnya juga tidak membebankan biaya kepada pihak
Rudenim dan apabila kondisi sudah layak untuk dilakukan pendetensian sehingga
proses pendeportasian dapat berjalan dengan lancar karena apabila Kedutaan
Besar menerima laporan untuk dilakukan pendeportasian namun ditemukan sakit
dari Deteni akan menghambat pendeportasiannya.

D. KESIMPULAN
Kasus Deteni atas nama Kingsley Chukwuebuka dan Werner Rolf Wullenkord yang
menderita penyakit kronis masuk ke Rudenim Jakarta tidak diperiksa kesehatannya secara
mendalam oleh tim medis Rudenim Jakarta, sehingga tidak bisa diketahui bahwa kedua
Deteni menderita penyakit kronis. Kedua Deteni tersebut atas nama:
1. Kingsley Chukwuebuka Warga Negara Nigeria berumur 36 tahun mengalami
serangan jantung dan meninggal dunia pada tanggal 9 November 2021.
2. Werner Rolf Wullenkord Warga Negara Jerman berumur 67 tahun mengalami
komplikasi (leukimia, gagal ginjal akut, diabetes militus) dan sepsis.pada saat
masa pendetensiannya dan meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 2020 Rumah
Sakit Bhayangkara Polri
Optimalisasi perawatan dan pelayanan kesehatan terhadap Deteni yang menderita
penyakit kronis sebelum di tempatkan ke Rumah Detensi Imigrasi Jakarta dapat dilakukan
dengan cara Pemeriksaan kesehatan pada awal penerimaan calon Deteni di Rumah Detensi
Imigrasi Jakarta dan optimalisasi perawatan dan pelayanan kesehatan calon Deteni melalui
penempatan di tempat lain untuk melakukan pemulihan kondisi kesehatan calon Deteni di
luar Rumah Detensi Imigrasi Jakarta
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Beni Ahmad Saebani. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Dr. Irwan S.KM, M.Kes. Etika Dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE
MEDIA, 2017.
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008.

JURNAL ILMIAH
Alam, Andi Samsul. “Pemenuhan Hak Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Dan Makanan
Bagi Deteni Di Rumah Detensi Imigrasi Makassar.” Phinisi Integration Review 2, no.
2 (2019): 201.
Kontrak, Hakikat, Menurut Roscoe, Pound Dan, Hengki Firmanda S, Hakikat Kontrak,
Roscoe Pound, and Lingkungan Hidup. “Hakikat Kontrak Menurut Roscoe Pound
Dan Relevansinya Terhadap Kontrak Yang Berkaitan Dengan Lingkungan Hidup”
(n.d.): 10–19.
Maulidati, Laila Fadillah, and Chatila Maharani. “Evaluasi Program Pengelolaan Penyakit
Kronis (Prolanis) Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Puskesmas Temanggung.” Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip) 10, no. 2 (2022): 233–243.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/32800.
Mirwanto, Tony, Politeknik Imigrasi Asto, and Yudho Kartiko. “Sudut Pandang Deportasi
Terhadap Hukum Internasional (Point View of Deportasion on Internasional Law).”
Jurnal Abdimas Imigrasi Politeknik Imigrasi 1, no. 2 (2020): 76–95.
Simamora, Andreas Agustinus, Politeknik Imigrasi, Surya Pranata, and Politeknik Imigrasi.
“Peran Rumah Detensi Imigrasi Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Pencari
Suaka” 2, no. 2 (2020): 1–13.
Sumarto, Sumarto. “Budaya, Pemahaman Dan Penerapannya.” Jurnal Literasiologi 1, no. 2
(2019): 16.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Indonesia. Kementerian Hukum dan HAM. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Nomor M.05.IL.02.01 Tahun 2006 tentang Rumah Detensi Imigrasi
Indonesia. Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-1002.Pr.02.10 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Pendetensian Orang Asing.
Indonesia. Peraturan Direktorat Jenderal Imigrasi Nomor Imi.1917-Ot.02.01 Tahun
2013 tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi.

INTERNET
https://kbbi.web.id/masyarakat, diakses pada hari Minggu (08/04/2022), pukul 15.20 WIB.
https://www.mingseli.id/2021/02/pengertian-kesehatan-menurut-paraahli.html, diakses pada
hari Kamis (01/08/2022), pukul 14.00 WIB.
https://kumparan.com/artikel-kesehatan/penyakit-kronis-pengertian-contoh-dan-faktor-
penyebabnya-1yROCIPfPdO, diakses pada Rabu (31/08/2022), pukul 12.00 WIB.

WAWANCARA
Hasil wawancara dengan Hendra Nofiardi, Sub Koordinator Pendeportasian.
Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimgirasian, Kementerian Hukum dan HAM RI
pada hari Kamis (7/07/2022), pukul 14.00 WIB, bertempat di Direktorat Pengawasan
dan Penindakan Keimigrasian, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum
dan HAM RI.
Hasil wawancara dengan Denny Priyankasetya, Kepala Seksi Registrasi
Administrasi dan pelaporan di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta pada hari Selasa
(14/06/2022), pukul, 14.00 WIB, bertempat di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta.
Hasil wawancara dengan Sari Anggaini, Kepala Sub Seksi Kesehatan
di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta pada hari Rabu (19/04/2022), pukul, 15.00 WIB,
bertempat di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta.
Hasil wawancara dengan Wiwik Wijayanti, Perawat di Klinik Rumah Detensi
Imigrasi Jakarta pada hari Rabu (29/06/2022), pukul, 14.00 WIB, bertempat di Rumah
Detensi Imigrasi Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai