Anda di halaman 1dari 24

GREEN CAPITALISM :

SOLUSI ATAU ILUSI?


Kelompok 6
Teknologi dan Lingkuangan
ANGGOTA KELOMPOK
21/480049/FI/04984 MICHELLE GABRIELA MOMOLE
21/481507/FI/05010 DAYA MERAH ASRI
21/482716/FI/05030 FRANCOIS RYNASHER MAMARIMBING
21/483077/FI/05042 ROMDHONI AFIF NASRULLAH

GREEN CAPITALISM?
Green capitalism is an approach that says we
can use the levers of the market to fix the
broken environment—that's its fundamental
reasoning.
Green capitalism's proponents argue that
because fossil fuels and most other natural
resources are limited and dwindling, the
economy will inevitably run up against
shortages (Rogers, 2009).
GREEN CAPITALISM?
Green capitalism sebuah ideologi dan
perspektif ekonomi yang menganggap pasar
ekonomi sebagai solusi optimal untuk
tantangan lingkungan (Tienhaara, 2014).

Proposisi tersebut telah dioperasionalkan


dengan dua cara.
GREEN CAPITALISM?
Pertama, dengan membangun pasar emisi gas
rumah kaca melalui instrumen seperti
penetapan harga karbon dan skema
perdagangan emisi dengan skema 'cap and
trade'.
Kedua, dengan mempromosikan inovasi
teknologi untuk mengurangi emisi atau untuk
menyerap karbon di atmosfer.
PRINSIP DASAR GREEN CAPITALISM
Green capitalism memperluas konsep ekonomi
modal (aset yang digunakan untuk memproduksi
barang dan jasa) untuk memasukan "modal alam".
Pendukung green capitalism melihat polusi,
hilangnya keanekaragaman hayati, dan penggunaan
sumber daya alam yang tidak berkelanjutan
sebagai bentuk "kegagalan pasar".
PRINSIP DASAR GREEN CAPITALISM

In other words, environmental degradation is the


result of the failure of capitalist systems to
account for the financial value of environmental
service.
SOLUSI ATAU ILUSI?
PARADOKS GREEN
CAPITALISM
Mobil listrik dianggap sebagai solusi mengurangi
polusi udara dan penggunaan bahan bakar fosil.
Namun, teknologi tersebut sangat bergantung pada
ekstraksi logam semacam itu seperti litium, kobalt,
mangan, dan nikel. Sementara bisa dibilang beberapa
limbah material ini dapat digunakan kembali atau
didaur ulang, tetapi limbah tetap menjadi masalah
mendasar. Sebab, teknologi mobil listrik hari ini
menggunakan baterai lithium-ion (LIB) sedangkan LIB
memiliki masa hidup yang relatif singkat, yakni 8-10
tahun.
Kemudian, label daur ulang tidak lebih dari strategi
pemasaran dan komunikasi suatu perusahaan untuk
memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari
segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa
benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak
bagi kelestarian lingkungan.
Contohnya, air minum dalam kemasan (AMDK) di
Indonesia. Salah satu perusahaan menyatakan bahwa
menggunakan botol daur ulang dan telah
mengumpulkan mengumpulkan 12.000 ton sampah
botol plastik tiap tahunnya. Padahal, jumlah botol
plastik yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya,
sekitar 4,86 miliar sampah botol plastik dan
perusahaan tersebut menyumbang lebih dari setengah
botol plasik nasional
Dengan demikian, gelombang “kapitalisme hijau” yang
dipromosikan positif untuk mengurangi emisi efek
rumah kaca telah dibajak oleh 'pasar'.

"Keberlanjutan telah menjadi komoditas itu sendiri,


untuk diperdagangkan, dibeli, dijual, dan dikelola
seperti yang lainnya”

Munculnya "kapitalisme hijau", selayaknya skenario


bisnis seperti biasa yang tidak pasti. Setidaknya sejak
munculnya perdebatan lingkungan modern selama
tahun 1960-an, tujuan ekonomi dan keberlangsungan
lingkungan dianggap bertentangan satu sama lain dan
teknologi menjadi aktor di antara keduanya.
Pada akhirnya, “Kapitalisme Hijau” adalah ilusi akan
solusi dari permasalahan lingkungan hidup. Sebab,
tujuan dari kapitalisme hijau bukanlah menyelamatkan
lingkungan hidup dengan akses terhadap teknologi
yang mereka punya. Tujuan kapitalisme tidak lain
adalah semakin memperbanyak akumulasi keuntungan
dengan alat produksi “teknologi” yang mereka punya.
SIAPA YANG DAPAT
DISALAHKAN DARI
KERUSAKAN LINGKUNGAN?
MANUSIA?
TEKNOLOGI?
Pesatnya perkembangan teknologi pasca revolusi industri telah
menyumbang berbagai masalah kerusakan lingkungan. Kendati
demikian, teknologi, dewasa ini, juga dapat mengatasi berbagai
masalah tersebut. Sebagaimana yang ditawarkan oleh “Green
Capitalism”

Solusi yang ditawarkan kapitalisme melalui “Green Capitalism”


kembali diorientasikan untuk akumulasi keuntungan. Akibatnya,
segudang masalah pun hadir dari ‘solusi’ yang ditawarkan oleh
kapitalisme itu sendiri. Teknologi, pada akhirnya, dibajak untuk
memenuhi kebutuhan akumulasi modal kapital.
Feenberg mencoba menganalisisnya dengan
teori kritis teknologi. Freenberg mencoba
melihat teknologi ke dalam bentuk kode teknis
di mana rasionalitas teknologis inheren dengan
kebudayaan teknis.

Feenberg melakukan perubahan yang cukup


radikal terkait konsep ambivalensi, karakter
sosial, dialektika, dan juga proses demokratisasi
teknologi ketika terjadi komunikasi dalam hal
partisipasi demokratisasi desain dan penerapan
teknologi.
Pola rasionalitas teknologis terbentuk karena
adanya permainan dari hierarki kekuasaan yang
terstruktur sehingga menghalangi pemecahan
akan kebenaran yang hakiki. Sebagaimana
realitanya sekarang, segala sesuatu menjadi
terkesan rasional padahal irasional atau
terkesan objektif namun ditunggangi oleh
kepentingan tertentu. Sebagaimana dengan
narasi “Green Capitalism”
Feenberg menyimpulkan bahwa

'Evolusi teknologi tidak lagi dapat dianggap sebagai proses


otonom tetapi harus berakar pada kepentingan dan
kekuatan sosial'

Inovasi utamanya dalam kaitannya dengan konstruktivisme


terdiri dari pemahamannya tentang kekuatan-kekuatan itu
dalam kaitannya dengan teori tentang signifikansi historis
dan politiknya. Bagi Feenberg, teknologi dibentuk dan
dicetak oleh aktor sosial dengan tuntutan yang bersaing
dan terkadang saling bertentangan.
"DI BAWAH SOSIALISME,
PEKERJA ... DAPAT MENGUBAH
HAKIKAT TEKNOLOGI"
Dalam hal ini, Feenberg tidak membayangkan
transformasi besar-besaran, sekaligus dalam
apa yang kita maksud dengan 'teknologi',
melainkan serangkaian perubahan pada desain
alat dan mesin yang, jika digabungkan, akan
menjadi perombakan material secara drastis
Di bawah sosialisme, bagi Feenberg, berpikir
secara teknis akan membawa serangkaian
konotasi yang berbeda dari yang ada di pikiran
saat ini. Jika teknologi kapitalis menyimbolkan
efisiensi, otoritas, dan kontrol yang
ditingkatkan, teknik sosialis akan mengarah
pada pemecahan masalah manusia, kepedulian
yang lebih besar terhadap lingkungan, dan
peningkatan kualitas pengalaman manusia.
KESIMPULANNYA?
Upaya demokratisasi teknologi dalam konteks
green capitalism sangat dimungkinkan atas
optimisme Feenberg akan memandang
demokratisasi sebagai jalan keluar atas
determinisme atau esensialisme teknologi
maupun logika teknokrasi yang cenderung
dikuasai oleh kapitalisme.
“JIKA SOLUSI DALAM SUATU SISTEM
SANGAT TIDAK MUNGKIN DITEMUKAN,
MAKA KITA HARUS MENGUBAH
SISTEM ITU SENDIRI”.

-GRETA THUNBERG
DAFTAR PUSTAKA
Knight, Poppi. “Is Green Capitalism A Paradox? — Human Rights Pulse.” Human Rights
Pulse, 27 April 2021, https://www.humanrightspulse.com/mastercontentblog/is-green-
capitalism-a-paradox. Diakses 17 November 2022.

Nick J. Fox. “Green capitalism, climate change and the technological fix: A more than
human assessment.” The Sociological Review, 2022.

Rangga Kala Mahaswa. “Is Social Media Neutral? Rethinking Indonesia's Social Media in
Postphenomenology and Critical Theory of Technology Perspective.” 2017. Diakses 17
November 2022.

Söderholm, Patrik. “The green economy transition: the challenges of technological


change for sustainability - Sustainable Earth.” Sustainable Earth, 22 Juni 2020,
https://sustainableearth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s42055-020-00029-y.
Diakses 17 November 2022.
THANK YOU!

Anda mungkin juga menyukai