Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN ATAS


PERBUATAN YANG MENIMBULKAN KERUGIAN
TERHADAP PENUMPANG

OLEH

NAMA : ARFIANSYAH HN
STAMBUK : 04020160656

Proposal ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan ujian seminar
proposal di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa proposal di bawah ini:

Judul : Tanggung Jawab Perusahaan Atas Tindakan


yang Menimbulkan Kerugian Terhadap
Penumpang.
Nama Mahasiswa : Arfiansyah HN
No. Stambuk : 04020160656
Bagian : Hukum Perdata
Nomor SK Pembimbing : 0558/H.05/FH-UMI/III/2020

Telah diperiksa dan dapat disetujui untuk diajukan dalam Ujian Seminar Proposal.

Diketahui Oleh :

Pembimbing Ketua Pembimbing Anggota

Dr. Ilham Abbas,SH.,MH. Dr. Hj. Andi Risma, SH,MH..

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Perdata

Dr. Hj. Andi Risma, SH,MH.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian......................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 7

A. Hukum Penerbangan di Indonesia................................................. 7

B. Definisi Perusahaan Penerbangan Dan Penumpang...................... 8

1. Definisi Perusahaan Penerbangan........................................... 8

2. Definisi Penumpang................................................................ 9

C. Jenis Jenis Penerbangan................................................................ 10

1. Penerbangan Berjadwal........................................................... 11

2. Penerbangan Tidak Berjadwal................................................. 12

D. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penerbangan dan

Penumpang.................................................................................... 13

E. Hak Dan Kewajiban Perusahaan Penerbangan Dan Penumpang.. 16

.......................................................................................................

1. Hak Dan Kewajiban Perusahaan Penerbangan....................... 16

2. Hak dan Kewajiban Penumpang........................................ 21

iii
iv

F. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut...................................... 24


G. Gugatan Yang Dapat Diajukan Terhadap Perusahaan

Penerbangan............................................................................ 27

1. Gugatan yang Disebabkan Wanprestasi............................ 27

2. Gugatan yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum... 28

BAB III METODE PENULISAN.................................................................. 30

A. Tipe Penelitian............................................................................... 30

B. Lokasi Penelitian........................................................................... 30

C. Jenis Dan Sumber Data................................................................. 31

D. Teknik Pengumpulan Data............................................................ 32

E. Analisis Data................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 34

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu bisnis jasa yang saat ini sedang berkembang dengan pesat

adalah bisnis penerbangan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 1

ayat 13 Tentang Penerbangan Menjelaskan angkutan udara adalah setiap

kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut

penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu

Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.

semakin menjamurnya maskapai penerbangan yang beroperasi di

Indonesia. Hingga saat ini terdapat kurang lebih 47 maskapai, yang

terbagi atas maskapai penerbangan pemegang AOC (Air Operator

Certificate) 121, dan maskapai penerbangan pemegang AOC (Air

Operator Certificate) 135. AOC 121 adalah sertifikat yang diberikan

kepada maskapai maskapai yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di

atas 30 tempat duduk, dimana jumlah maskapai yang tergolong di

dalamnya sejumlah 21 maskapai, sedangkan AOC 135 adalah sertifikat

yang diberikan kepada maskapai maskapai yang mengoperasikan pesawat

berkapasitas di bawah 30 tempat duduk, dengan jumlah maskapai yang

tergolong di dalamnya sebanyak 26 maskapai penerbangan.

Berkembangnya bisnis penerbangan ini berbanding lurus dengan

kebutuhan manusia yang juga semakin kompleks. Kecenderungan

masyarakat yang kini tidak ingin dibatasi oleh ruang dan waktu membuat

1
2

jalur udara lebih diminati dibandingkan jalur darat atau pun laut. Hal ini

disebabkan karena penerbangan merupakan alat transportasi yang

memiliki waktu perjalanan yang paling singkat dari semua alat

transportasi yang ada.

Namun dibalik kelebihannya sebagai alat transportasi yang cepat,

penerbangan juga memiliki risiko yang tinggi. Hal ini disebabkan adanya

hubungan yang kompleks antara manusia, teknologi, dan lingkungan.

Manusia yang terlibat dalam penerbangan harus memahami secara

mendalam mengenai manajemen penerbangan dan teknologi yang

digunakan, teknologi penerbangan tidak hanya ada pada pesawat udara

tapi juga pada sistem dan prasarana yang mendukung. Sistem yang

mendukung adalah daya dukung satelit yang mendukung aktivitas

penerbangan sedangkan prasarananya adalah bandara udara. Lingkungan

juga menjadi aspek yang penting terutama lingkungan penduduk.

Seiring dengan semakin berkembangnya dunia penerbangan yang ada

saat ini, persentase penumpang yang diangkut oleh penerbangan sipil

komersil di dunia juga semakin meningkat, sehingga timbulnya risiko

penerbangan yang paling tinggi ada pada penerbangan sipil komersil

(niaga), seperti yang yang terkandung di dalam sebab hal ini sangat terkait

dengan keselamatan jiwa penumpang.

Allah SWT di dalam dalilinya Pada Al-Quran telah mewajibkan

kepada seseorang yang telah merugikan orang lain, untuk mengganti rugi

yang dialami oleh orang yang dirugikan, dalil Alquran Surah Al-Baqarah
3

ayat 194:

Artinya : maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia,
seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Kewajiban tanggung jawab atas kerugian terhadap konsumen jasa

penerbangan terdapat pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7

Tahun 2011 Pasal 2 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan

Udara menyatakan bahwa:

Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas


kerugian terhadap :
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c. Hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat;
d. Hilang, musnah atau rusaknya kargo;
e. Keterlambatan angkutan udara; dan
f. Kerugian yang dideritapihak ketiga.

Keselamatan dalam penerbangan, khususnya penerbangan sipil komersil

penumpang, merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan

oleh pihak perusahaan penerbangan. Persepsi terhadap keselamatan

penerbangan mencerminkan perasaan yang secara menyeluruh mengenai

suatu keunggulan dari suatu perusahaan. Persepsi terhadap keselamatan

dalam penerbangan adalah hal yang harus diperhatikan, sehingga

perusahaan penerbangan dengan berbagai cara untuk meningkatkan suatu

pelayanan yang baik menurut persepsi konsumen. Namun ternyata akhir-

akhir ini, keselamatan penerbangan yang terjadi di Indonesia kurang


4

memenuhi harapan konsumen.

Hal ini dibuktikan dengan informasi Industri penerbangan yang

tampaknya tidak pernah sepi dari berita kerusakan dan kecelakaan

pesawat, seperti kecelakaan yang menimpa pesawat JT 610 Lion Air pada

tahun 2018 di tanjung pakis Karawang pada kasus penerbangan jurusan

Jakarta-pangkal Pindang ini telah merenggut seluruh nyawa penumpang

dengan jumlah korban 181 beserta 8 awak pesawat, dan ganti rugi yang

diberikan oleh maskapai Lion Air kepada ahli waris baru berjumlah 75

orang ahli waris yang mendapatkan ganti rugi sehingga 106 ahli waris

mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan dan kecelakaan dunia

penerbangan juga sempat dikejutkan dengan kasus pembunuhan yang

dialami oleh Munir ketika sedang menumpangi pesawat Garuda 974, rute

Jakarta-Amsterdam pada tanggal 1 September 2004 yang lalu. Selain dari

kasus kerusakan atau kecelakaan yang sering menimpa penerbangan

Indonesia, kasus keterlambatan pemberangkatan juga menjadi satu kasus

tersendiri dalam dunia penerbangan

Dampak dari kasus-kasus yang terjadi di atas, telah menimbulkan banyak

kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian materil seperti hilang atau

rusaknya barang-barang berharga milik penumpang, atau kerugian

nonmateril seperti cacat fisik dan psikis yang harus diderita, atau ketika

penumpang harus kehilangan nyawanya. Namun secara tidak langsung

bukan hanya penumpang yang akan merasakan risiko dari ketidak

maksimalan pelayanan jasa dari pihak perusahaan penerbangan,


5

melainkan juga keluarga para penumpang yang menjadi korban.

Melihat dari banyaknya kerugian yang timbul, maka tidak sedikit dari

penumpang yang menjadi korban ataupun keluarganya, mengajukan

perkara ke Pengadilan guna menuntut pertanggung jawaban dari

perusahaan penerbangan. Seperti gugatan yang diajukan oleh keluarga

penumpang Adam Air boing 737, atau gugatan yang diajukan oleh

Suciwati istri Munir kepada PT. Garuda Indonesia.

Kasus-kasus tersebut menjadi suatu fenomena yang patut untuk

dicermati, karena selain pesawat sangat berpotensi mengalami

kecelakaan, tiap kecelakaan penerbangan berdampak yuridis, khususnya

tanggung jawab maskapai (carrier) terhadap penumpang dan pemilik

barang (bagasi maupun kargo). Sehingga melihat dari latar belakang

masalah di atas maka penulis perlu mengkaji dan meneliti lebih lanjut

tentang “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Atas Tindakan

Yang Menimbulkan Kerugian Terhadap Penumpang”.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, ada beberapa hal yang akan

penulis kemukakan sebagai pokok masalah, yaitu:

1. Bagaimanakah tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan

terhadap penumpang ?

2. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh penumpang terhadap

pihak perusahaan penerbangan atas kerugian yang dialaminya ?

C. Tujuan Penelitian
6

1. Untuk mengetahun dan menganalisis tanggung jawab perusahaan

penerbangan terhadap penumpang ditinjau dari aspek hukum perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dapat

ditempuh oleh penumpang terhadap pihak perusahaan penerbangan

atas kerugian yang dialaminya.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk

perbaikan pelayanan perusahaan penerbangan.

2. Bagi penulis penelitian ini dapat memperdalam wawasan dan

pengetahuan tentang dunia penerbangan Indonesia, terutama dalam hal

tanggung jawabnya terhadap penumpang.

3. Dapat memberi informasi bagi penelitian lain yang akan meneliti

dengan judul yang sejenis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Penerbangan di Indonesia

K. Martono (2013:22) mengemukakan Perkembangan hukum

penerbangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh

perkembangan hukum penerbangan di dunia internasional. Secara

formil, hukum penerbangan internasional lahir sejak Konvensi

Paris tahun 1919. Konvensi Paris ini dikenal dengan nama

Convention Relating to International Aerial Navigation yang

ditanda tangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris.

Konvensi ini kemudian disempurnakan dengan Konvensi

Havana 1928 yang dikenal pula dengan nama Convention on

Commercial Aviation yang ditanda tangani di Havana tanggal 20

Februari 1928. Pada akhirnya, konvensi ini disempurnakan

dengan Konvensi Chicago tahun 1944. Konvensi ini terdiri dari

96 pasal, dimana hanya 5 pasal yang .mengatur bisnis transportasi

udara dan selebihnya mengatur mengenai keselamatan

penerbangan dan organisasi Penerbangan Sipil Internasional

(Internasional Civil Aviation Organization disingkat ICAO).

Secara formil, hukum penerbangan di Indonesia lahir pada tahun 1933

dengan Staatsblad 1933 No. 118. Staatsblad ini kemudian disempurnakan

dengan Staatsblad 1936 No. 425 dan Staatsblad 1936 No. 426. Pada tahun

1958 lahirlah Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan,

7
8

yang kemudian diganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan, dan tahun 2009 kembali undang-undang tentang penerbangan

tersebut disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan.

B. Definisi Perusahaan Penerbangan dan Penumpang

1. Definisi Perusahaan Penerbangan

Menurut R. S. Damardjati (2011 : 06) mengemukakan pengertian

perusahaan penerbangan sebagai berikut :

“Perusahaan penerbangan adalah perusahaan miliki swasta atau


pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan
udara untuk penumpang umum baik yang berjadwal (schedule
service/regular fligh(t) maupun yang tidak berjadwal (non schedule
service). Penerbangan berjadwal menempuh rute penerbangan
berdasarkan jadwal waktu, kota tujuan maupun kota-kota
persinggahan yang tetap. Sedangkan penerbangan tidak berjadwal
sebaliknya, dengan waktu, rute, maupun kota-kota tujuan dan
persinggahan bergantung kepada kebutuhan dan permintaan pihak
penyewa.”

Dari F. X. Widadi A. Suwarno (R. S. Damardjati 2011 : 7) berpendapat

bahwa “Perusahaan penerbangan atau airlines adalah perusahaan

penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk

mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman (kargo),

dan benda pos (mail) dengan pesawat udara”.

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

perusahaan penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan udara yang

memberikan dan menyelenggarakan pelayanan jasa angkutan udara

yang mengoperasikan dan menerbitkan dokumen penerbangan dengan


9

teratur dan terencana untuk mengangkut penumpang, bagasi

penumpang, barang kiriman (kargo), dan benda pos ke tempat tujuan.

Sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbang,

memberikan definisi tentang perusahaan penerbangan dalam Pasal 1

ayat (20), yakni :

“Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara,


badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk
perseroan terbatas atas koperasi, yang kegiatan utamanya
mengoprasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut
penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

2. Definisi Penumpang

Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Ordonansi

Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa tidak memberikan

definisi tentang "penumpang". Namun, beberapa upaya untuk

memperbaiki Perjanjian Warsawa antara lain dengan dibuatnya Draft

Convention 1950, yang membuat definisi sebagai berikut :

“Penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam suatu pesawat

udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan”. Dari pengertian

tersebut, yang dikategorikan penumpang tidak mencakup orang-orang

yang ada hubungan kerja dengan pengangkut udara, yang diangkut

karena tugas mereka. Sedangkan Draft Convention 1964, memberikan

pengertian sebagai berikut : “Penumpang, adalah setiap orang yang

diangkut dalam pesawat udara kecuali awak pesawat (termasuk cabin

crew) sedangkan pegawai pengakut udara baik dalam tugas maupun

tidak, dianggap sebagai penumpang.


10

Meskipun tidak ada aturan yang menjelaskan secara pasti definisi

dari penumpang, namun secara umum penumpang dapat dikategorikan

sebagai konsumen, sehingga definisi dari penumpang juga dapat dilihat

dari definisi konsumen itu sendiri. Dalam Undang- Undang No. 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian

konsumen dalam Pasal 2 yakni : “Setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak

untuk diperdagangkan.”

Menurut R. S. Damadjati (2011:19) pengertian penumpang adalah: “

Setiap orang yang diangkut ataupun yang harus diangkut di dalam pesawat

udara ataupun alat pengangkutan lainnya, atas dasar persetujuan dari

perusahaan ataupun badan yang menyelenggarakan angkutan tersebut “.

Menurut Yoeti (R. S. Damadjati 2013:19) pengertian penumpang

adalah Pembeli Produk dan jasa pada suatu perusahaan adalah pelanggan

perusahaan barang dan jasa mereka dapat berupa seseorang (individu) dan

dapat pula sebagai suatu perusahaan.

K. Martono (2012:80) menjelaskan bahwa yang dapat

dikategorikan sebagai penumpang hanyalah orang yang membeli jasa

dari perusahaan penerbangan, sedangkan pilot dan awak pesawat

lainnya masuk dalam kategori personel penerbangan.

C. Jenis-Jenis Penerbangan

Secara umum kegiatan angkutan udara dibagi atas angkutan udara niaga
11

dan bukan niaga. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud dengan angkutan udara

niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran,

sedangkan angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang

digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk

mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

Angkutan udara niaga ini kemudian terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni

Penerbangan berjadwal; dan Penerbangan tidak berjadwal.

1. Penerbangan Berjadwal

Penerbangan berjadwal adalah penerbangan yang dilakukan oleh

perusahaan penerbangan berjadwal, terbuka untuk umum dan

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Penerbangan sesuai dengan jadwal penerbangan yang telah

diumumkan lebih dahulu;

b. Penerbangan tanpa memperhatikan jumlah penumpang apakah

tempat duduk yang tersedia telah penuh atau belum, asal telah

tiba jadwal keberangkatanya tetap terbang walaupun jumlah

tempat duduk yang tersedia belum penuh;

c. Terbuka untuk umum dalam arti setiap orang atau badan hukum

secara individu berhak ikut menikmati jasa angkutan udara yang

disediakan.

d. Nilai waktu lebih berharga dibandingkan dengan nilai uang

dalam arti tetap memperhatikan jadwal waktu penerbangan;


12

e. Harga tiket perseorangan relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan biaya yang harus dibayar perseorangan dalam

penerbangan tidak berjadwal atau borongan;

f. Penerbangan dilakukan sesuai dengan rute yang telah ditetapkan

dan dapat mengambil (embarkasi) dan atau menurunkan

(debarkasi) penumpang dan atau kargo pos disetiap bandar

udara yang disinggahi;

g. Boleh mengumumkan lewat radio, televisi atau mass media

lainnya. K. Martono (2010:75)

2. Penerbangan Tidak Berjadwal

Penerbangan tidak berjadwal atau carter atau borongan adalah

penerbangan yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai

berikut :

a. Penerbangan tidak terikat pada jadwal waktu yang telah

ditetapkan lebih dahulu;

b. Penerbangan dilakukan tergantung oleh pencarter, apabila

jumlah tempat duduk yang disediakan telah dipenuhi minimum

jumlah yang diperlukan. Penerbangan dapat dilaksanakan

apabila tempat duduk minimum telah dipenuhi;

c. Nilai uang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

waktu;

d. Pembelian tiket secara rombongan dan tidak terbuka untuk

umum secara individu;


13

e. Pengangkutan hanya terbuka untuk anggota rombongan

pencarter;

f. Biasanya biaya yang harus dibayar oleh setiap orang lebih

murah dibandingkan dengan harga tiket setiap orang dalam

penerbangan berjadwal;

g. Penerbangan dilakukan dari satu tempat keberangkatan dan

menurunkan penumpang, kargo dan pos pada satu bandar udara

tujuan dan dilarang menurunkan (dembarkasi) atau mengambil

(embarkasi) penumpang, kargo dan pos di setiap bandar udara

yang disinggahi;

h. Penerbangan tidak atas dasar rute penerbangan yang lebih dahulu

ditetapkan, wilayah operasi diseluruh wilayah Republik Indonesia.

K. Martono (2010:75).

D. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penerbangan dan Penumpang

Hubungan antara perusahaan penerbangan dengan penumpangnya

merupakan suatu perjanjian yang objeknya merupakan layanan jasa

transportasi atau pengangkutan udara. Adapun definisi dari perjanjian

angkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara

dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut

penumpang atau barang dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau

suatu prestasi lain. Dalam arti yang lebih luas suatu perjanjian angkutan udara

dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan

pesawat udara. K. Martono (2010:88)


14

Perusahaan penerbangan dalam hubungannya dengan pelayanan jasa

transportasi akan selalu berhubungan dengan penumpang. Salah satu aspek

yang mempunyai arti penting dalam hubungan antara perusahaan penerbangan

dengan penumpangnya adalah mengenai hubungan hukum antara keduanya

yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban timbal balik.

Ditinjau dari hukum perdata, kontrak atau perjajian antara perusahaan

penerbangan dan penumpang terjadi bila penumpang menyatakan

memerlukan jasa dari perusahaan penerbangan, pernyataan ini dimulai ketika

penumpang sepakat untuk membeli tiket enerbangan dari suatu perusahaan

penerbangan, hingga antara penumpang dan perusahaan penerbangan terjadi

transaksi jual beli tiket. Tiket merupakan bukti perjanjian mengenai pelayanan

jasa angkutan udara antara penumpang disatu pihak dan maskapai

penerbangan di lain pihak dan juga tiket ini merupakan bukti pembayaran.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pengertian tiket terdapat dalam

Pasal 1 ayat (27) yakni:

“Suatu dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk


lainnya yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan
udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk
menggunakan pesawat udara atau niaga yang membuat kontrak perjanjian
angkutan udara niaga.”

Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme, dimana suatu perjanjian lahir

pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak

mengenai hal-hal yang pokok dari pada yang menjadi objek perjanjian.

Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak.

Adanya interaksi jual beli jasa antar perusahaan penerbangan dengan


15

penumpang menyatakan bahwa telah lahir suatu perjanjian dimana menurut

Pasal 1313 adalah suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Kontrak yang timbul antara perusahaan penerbangan dengan penumpang

termasuk dalam jenis kontrak baku, yakni suatu kontrak yang klausul-

klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak, Ahmadi Miru

(2007:39). Dalam hal ini, yang berperan dalam menetapkan format dan isi kontrak

berada dipihak perusahaan penerbangan.

Penggunaan kontrak baku ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak

yang ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang


bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjajian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.”

Transaksi antara perusahaan penerbangan dengan penumpang secara

umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana suatu perjanjian dapat

dikatakan sah bila memenuhi empat unsur, yakni :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu

harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari

perjanjian yang diadakan itu. Dengan penumpang membeli tiket dari suatu

perusahaan penerbangan telah dapat dinyatakan bahwa telah terjadi suatu

kesepakatan antara keduanya.Subekti (2002:17)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;


16

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

asasya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat

pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Subekti (2002:17)

3. Suatu hal tertentu;

Sebagai syarat ketiga, disebutkan dalam suatu kontrak objek perjanjian

harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut

dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak

berbuat sesuatu. Perjanjian yang timbul antara perusahaan penerbangan

dan penumpang termasuk dalam hal perjajian jasa. Subekti (2002:17).

4. Suatu sebab yang halal

Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi

yang dimaksudkan sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut

tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Subekti

(2002:17)

E. Hak Dan Kewajiban Perusahaan Penerbangan Dan Penumpang

1. Hak dan Kewajiban Perusahaan Penerbangan

a. Hak Perusahaan Penerbangan

Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara menjelaskan hak pengangkut

antara lain adalah sebagai berikut:

1. Di dalam Pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa pengangkut berhak

untuk meminta kepada pengirim barang atau untuk membuat

surat muatan udara.

2. Di dalam Pasal 9, disebutkan bahwa pengangkut berhak


17

meminta kepada pengirim barang untuk membuat surat muatan

udara, jika ada beberapa barang.

3. Pengangkut juga berhak menolak pengangkutan penumpang

jika ternyata identitas penumpang tidak jelas.

4. Hak pengangkut yang dicantumkan dalam tiket penumpang

yaitu hak untuk menyelenggarakan angkutan kepada perusahaan

pengangkutan lain, serta pengubah tempat-tempat

pemberhentian yang telah disetujui, semuanya tetap ada di

tangan pengangkut udara.

5. Hak untuk pembayaran kepada penumpang atau pengirim

barang atas barang yang telah diangkutnya serta mengadakan

peraturan yang perlu untuk pengangkutan dalam batas-batas

yang dicantumkan undang-undang. E. Suherman (2005:22)

Selain itu, perusahaan penerbangan dapat dikategorikan sebagai

pelaku usaha, sesuai dengan definisi pelaku usaha dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1

ayat (3).

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,


baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Sehingga adapun yang menjadi hak dari pelaku usaha juga dapat

dilihat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


18

Perlindungan Konsumen, yakni :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara

hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh

barang/jasa yang diperdagangkan.

6. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya. E. Suherman (2005:23)

b. Kewajiban Perusahaan Penerbangan

Kewajiban pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan

Udara adalah sebagai berikut :

1. Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera

setelah muatan barang-barang diterimanya ( Pasal 8 ayat 2 ).

2. Bila pengangkut tidak mungkin melaksanakan perintah-perintah

dari pengirim, pengangkut harus segera memberitahukan Kepada

pengirim ( Pasal 15 ayat 3 ). E. Suherman (2005:24)

Sedangkan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan menjelaskan tentang kewajiban pemegang izin angkutan


19

udara dalam Pasal 118 yakni :

1. Melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling lambat

12 (dua belas) bulan sejak izin diterbitkan dengan

mengoprasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki

dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya.

2. Memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu.

3. Mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan

ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai

pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara

niaga yang dibuktikan dengan perjajian penutupan asuransi.

5. Melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas

dasar suku, agama, ras, antar golongan, serta strata ekonomi dan

sosial.

6. Menyerahkan laporan kegiatan laporan kegiatan angkutan

udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan,

setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan

berikutnya kepada Menteri.

7. Menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh

kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya

memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya,

setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya

kepada Menteri.
20

8. Melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau

pemilik badan hukum angkutan udara niaga, domisili badan

usaha angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat udara

kepada Menteri.

9. Memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

Khusus untuk wajib angkut, terdapat dalam Pasal 140 dimana

pengangkut wajib :

1. Mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah

disepakatinya perjanjian pengangkutan.

2. Memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna

jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan

yang disepakati, dimana perjanjian ini dibuktikan dengan tiket

penumpang dan dokumen muatan.

Secara umum kewajiban dari suatu Perusahaan Penerbangan juga

tertuang dalam kewajiban pelaku usaha yang terdapat dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi dan/atau


21

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku.

5. Kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

sesuai dengan perjanjian.

2. Hak dan Kewajiban Penumpang

a. Hak Penumpang

Hak dari pemakai jasa angkutan penumpang udara pada

umumnya adalah:

1. Penumpang atau pemakai jasa angkutan dapat naik pesawat

terbang atau udara sampai ke tujuan yang dikehendaki.

2. Penumpang atau ahli waris dapat menuntut ganti rugi apabila is

mendapat kerugian yang diakibatkan kecelakaan pesawat

terbang dalam penerbangan, dan kelalaian pengangkutan.

Happy Susanto (2008:25)

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4,

hak-hak konsumen sebagai berikut:


22

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dan

mengonsumsi barang/jasa.

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang/jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa

yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian,

jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya. Happy Susanto (2008:26)

b. Kewajiban Penumpang

Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka

penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

1. Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya.

2. Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau

dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu.

3. Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara


23

setiap saat apabila diminta.

4. Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai

syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang

disetujuinya.

5. Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang

barang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa

naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan,

termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.

Ahmadi Miru (2004:30).

Secara umum penumpang sebagai konsumen atas suatu jasa

juga memiliki kewajiban, seperti yang terdapat dalam Pasal 5

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan

pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga

keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian

barang/jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen

akan bertransaksi.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen

perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya

dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan


24

konsumen secara patut. Ahmadi Miru (2004:32).

F. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut

Prabowo dan Pujiono (Toman Sony Tambuan 2019:288) mengemukakan

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha terbagi atas :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, dimana jika yang

digugat tidak terbukti maka yang tergugat bebas, dan kesalahan ini

harus dapat dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan tergugat.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (pembuktian terbalik).

Dalam hal ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab ,sampai ia

dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada

si tergugat.

3. Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab. Hanya dikenal dalam

lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Sebagai contoh pada

hukum pengangkutan pada bagasi/kabin tangan, yang pengawasannnya

ada pada konsumen itu sendiri sendiri.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Biasanya prinsip ini

diterapkan karena: (1). Konsumen tidak dalam posisi

menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu

proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2). diasumsikan

produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu- waktu ada gugatan

atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah

komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3). Asas ini dapat
25

memaksa produsen lebih berhati-hati.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan, dimana konsumen dibatasi

ganti kerugiannya sebesar seberapa besar kerugian yang dialaminya.

Mengenai tanggung jawab pada angkutan udara di dalam buku Singgih

Handoyo (2011:18) sebagai mana diatur dalam Konvensi Warsawa, Kovensi

Guadalajara dan Ordonansi Pengangkutan Udara dikenal prinsip-prinsip

sebagai berikut :

1. Prinsip Presumption of Liability. Bahwa seseorang pengangkut

dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan

pada penumpang, barang atau bagasi, dan pengangkut udara tidak

bertanggung jawab hanya bila pengangkut dapat membuktikan bahwa

pihaknya tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu. Jadi para

pihak yang dirugikan tidak uperlu membuktikan adanya kesalahan dari

pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan Pasal 29 ayat (1)

Ordonansi Pengangkutan Udara yang berbunyi:

“Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia


membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu,
telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka
untuk mengambil tindakan-tindakan itu”

2. Prinsip Presumption of Non Liability. Prinsip ini kita jumpai dalam

Konvensi Warsawa dan Ordonansi Pengangkutan Udara, meskipun

tidak dengan tegas-tegas dinyatakan, dan berlaku untuk apa yang

disebut “bagasi tangan”, yaitu barang-barang yang di bawah


26

pengawasan penumpang sendiri, sebagai istilah lawan dari “bagasi

tercatat”, yaitu bagasi yang oleh penumpang sebelum keberangkatan

pesawat udara diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut. Dalam

konvensi Warsawa dinyatakan bahwa mengenai barang-barang yang di

bawah pengawasan penumpang sendiri, tidak tunduk pada konvensi,

penumpanglah yang mengawasi dan menanggung resikonya. E.

Suherman (2005:9)

3. Prinsip Absolute Liability (atau Strict Liability). Pada prinsip tanggung

jawab ini tidak ada kemungkinan bagi pengangkut atau penyelenggara

suatu penerbangan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab,

kecuali mungkin dalam satu hal, yaitu apabila kerugian timbul karena

kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah

mutlak.

4. Prinsip Limitation of Liability. Bahwa setiap pengangkut dianggap

selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas

sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur

dalam Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa.

Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi

dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan

dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang mengatur

pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah Pasal 30 ayat

(1), yaitu :

”Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut


27

terhadap fiap–tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang,


disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai
jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian
ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok, yang
dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas”.

G. Gugatan yang dapat diajukan terhadap Perusahaan Penerbangan

1. Gugatan yang Disebabkan Wanprestasi

Subekti (2002:45) Mengemukakan Dalam hal wanprestasi suatu pihak

dapat digugat apabila memenuhi 4 (empat) unsur, yakni:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Sehubungan dengan masalah wanprestasi ini, maka suatu perusahaan

penerbangan dapat digugat atas dasar salah satu pasal yang terdapat

dalam KUH Perdata Pasal 1239 dimana ditentukan bahwa “Tiap-tiap

perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu; apabila si

berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian

dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”

Dari pasal di atas ganti rugi dapat dirinci dalam 3 (tiga) unsur, yakni

biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau

perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.

Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan


28

kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur, sedangkan bunga

adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah

dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Subekti (2002:47)

Pasal 1243 KUH Perdata yang menentukan bahwa :

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu


perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya”.

2. Gugatan yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum

Selain dapat digugat atas dasar wanprestasi, debitur dapat pula

digugat apabila melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian

dan perbuatan melawan hukum.

Gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum dan kelalaian ini

diatur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

itu, mengganti kerugian tersebut.” Serta Pasal 1366 KUH Perdata yang

berbunyi “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian

yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada

perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi),

tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar


29

hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan

konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh

setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan

perjajian antara produsen dengn konsumen. Dengan demikian pihak

ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian. Ahmadi dan Sutarman Yodo

(2004:129)
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif memiliki karakteristik alami

(Natural serfing) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih

dipentingkan dari pada hasil.

Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah, atau natural

setting, sehingga penelitian ini sering disebut penelitian naturalistic. Objek yang

alami adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga

kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan keluar dari

objek relatif tidak berubah. Dalam penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen.

Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau

Human instrument. Untuk menjadi instrumen peneliti harus memiliki bekal teori

dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret dan

mengkontruksi objek yang diteliti menjadi jelas dan bermakana. Kriteria data

dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data

yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar terlihat,

terucap, tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap

tersebut.

30
31

B. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhan maka penelitian

dilakukan di wilayah kota Makassar dengan pertimbangan objek permasalahan

bertempat di kota Makassar. Adapun tempat penelitian tersebut adalah kantor

PT.Garuda Indonesia Makassar, PT.Lion air Makassar, Badan penyelesaian

sengketa konsumen Makassar, Perpustakan Fakultas Hukum UMI, Serta

Perpustakaan umum Ustman Bin Affan UMI.

C. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

a. Data Primer : Data yang diperoleh melalui penelitian langsung

terhadap objek yang diteliti, dimana sumber data ini diperoleh dari

pihak-pihak terkait yang berkompeten di bidangnya, serta kuesioner

dari para responden.

b. Data Sekunder : data yang diperoleh oleh penulis melalui buku-

buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah dan data lain-lain yang

diperoleh secara langsung (hard copy) maupun yang diperoleh dari

hasil pencarian melalui internet (soft copy)

2. Sumber Data

a. Data Primer : Data yang berasal dari sumber yang asli dan

dikumpulkan secara khusus untuk menjawab pertanyaan peneliti,

yaitu data dari pihak perusahaan penerbangan PT. Garuda Indonesia

dan PT. Lion Air data dari pengguna jasa sebanyak 10 orang, serta

data dari badan yang menyelesaikan masalah yang terjadi antara


32

pihak perusahaan penerbangan dan pengguna jasa, yaitu Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen.

b. Data Sekunder : Data yang diperoleh dari studi kepustakaan

terhadap berbagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan

objek kajian antara lain berupa buku, jurnal, artikel dan karya-karya

tulis dalam bentuk yang lain yang diperoleh dari media internet.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara, yaitu dialog secara langsung untuk memperoleh informasi

dari responden terpilih dalam menghimpun informasi yang relevan

dengan penelitian. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara

dengan salah satu pihak dari PT Garuda Indonesia , PT Lion Air,

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

2. Kuesioner, yaitu pengumpulan data yang mengajukan sejumlah

pertanyaan secara tertulis yang diberikan kepada responden dengan

maksud untuk memperoleh data yang akurat dan valid, dan dalam

penelitian ini penulis membagikan kuesioner kepada 10 orang yang

pernah menggunakan jasa penerbangan.

E. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kompratif, yakni mendiskripsikan atau menggambarkan keadaan objek

penelitian yang sesungguhnya untuk mengetahui dan menganalisis tentang

permasalahan yang dihadapi oleh objek penelitian kemudian dibandingkan


33

dengan standar yang ada. Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan

tanggung jawab perusahaan penerbangan atas tindakan yang menyebabkan

kerugian terhadap penumpang. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis

dengan cara membandingkannya dengan peraturan-peraturan hukum yang ada.


DAFTAR PUSTAKA

Referensi Al-Quran dan Terjemahan

Al-Quran Terjemahan 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus


Sunnah.

Referensi Buku

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,2004, Hukum Perlindungan Konsumen,


Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Darmadjati Supadjar, 2013, Istilah-Istilah Dunia Pariwisata, Jakarta:


Pradnya Paramita.

Happy Susanto, 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta Selatan:


Transmedia Pustaka.

Martono. K, 2010.. Laporan Akhir Penyusunan Kompilasi Bidang Hukum


tentang Keselamatan Penerbangan, Jakarta: Rajawali Pers .

2012. to The International and National Air Law (Jakarta :


Joint Law Socialisation between Department of law and Human
Right and Indonesia Aviation Study Intitute, Jakarta: Rajawali Pers.

2013, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Status Hukum


dan Tanggung Jawab Awak Pesawat Udara

Singgih Handoyo, 2011, Aviapedia Ensiklopedia Umum Penerbangan,


Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta


Selatan: Pradnya Paramita.

Subekti, 2002. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.

Suherman. E, 2005, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat


Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan,
Bandung: Offset Alumni.

Toman Sony Tambuan, 2019, Hukum Bisins, Jakarta : PrenadaMedia Group.

34
35

Referensi Undang-undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), Pustaka Mahardika.

Peraturan Mentri Perhubungan No. 7 Tahun 2011.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Referensi Artikel/Internet

Keluarga Korban Adam Air Datangkan Pengacara AS


(http://www1.surya.co.id/v2/?p=569)
Bisnis Penerbangan. 2009 (http://mskapai.wordpress.com) Kala Maskapai
Bertanggung Jawab (http//www.goggle.com.)
Pengertian Perusahaan Penerbangan. 2009 (http://necel.wordpress.com)

Anda mungkin juga menyukai