Anda di halaman 1dari 18

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PENGGUNA

JASA ANGKUTAN UDARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG


NO.1 TAHUN 2009

DOSEN PENGAMPU:

DISUSUN OLEH :

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI NAVIGASI UDARA XIII BRAVO


POLITEKNIK PENERBANGAN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada
kita semua sehingga akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam mudah-mudahan
senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta para pengikutnya yang setia
menemani hingga akhir zaman.
Makalah yang berjudul IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PENGGUNA
JASA ANGKUTAN UDARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 2009 ini
merupakan sebuah makalah yang berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber, yang di mana tugas
ini merupakan aspek penilaian mata pelajaran Undang Undang dan Regulasi.
Terwujudnya laporan ini sejak dari tahap persiapan, awal penulisan, penelitian dilapangkan hingga
diangkatnya sebuah kesimpulan, tidak lepas dari banyak pihak yang membantu secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga semakin menumbuhkan kesadaran bagi penulis bahwa bantuan,
dukungan, bimbingan, dan arahan pihak-pihak penulis dapat menyelesaikannya sekarang.
Dalam hal ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Undang Undang dan Regulasi
yang telah membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Semoga dengan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada para pembaca.
Apabila memiliki kelebihan dan kekurangan, mohon untuk saran dan kritikannya.

Makassar, Mei 2021


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1

1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Manfaat Penelitian.................................................................................................................4
Bab II Studi Literatur.............................................................................................................................5
2.1 Definisi Angkutan Udara.............................................................................................................5
2.2 Jenis Angkutan Udara..................................................................................................................6
2.2.1 Angkutan Udara Niaga.........................................................................................................6
2.2.2 Angkutan Udara Bukan Niaga..............................................................................................7
2.2.4 Angkutan Udara Perintis.......................................................................................................7
2.3 Tanggung Jawab Pengangkut......................................................................................................7
2.4 Rute, Jaringan, dan Tarif Angkutan Udara..................................................................................8
Bab III Studi Kasus: PT. Garuda Indonesia...........................................................................................9
3.1 Profil dan Pelayanan PT Garuda Indonesia..................................................................................9
3.2 Sistem Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara
berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 2009.................................................................................9
3.3 Pelaksanaan Tanggungjawab Pengangkut terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara..........10
3.3.1 Kematian atau Lukanya penumpang yang diangkut............................................................11
3.3.2 Hilang, Musnah, atau rusaknya barang penumpang.....................................................12
3.3.3 Keterlambatan pesawat udara/penerbangan........................................................................12
3.3.4 Pelaksanaan Ganti Rugi terhadap pengguna Jasa Angkutan Udara yang Merasa
dirugikan menurut Undang-undang No 1 tahun 2009..................................................................13
Bab IV Simpulan.................................................................................................................................16
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................17

2
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan transportasi udara tidak diragukan lagi berada pada tahap
perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan lalu lintas udara itu sendiri didorong oleh
kebutuhan pengguna dan penyedia layanannya. Mengingat wilayah Indonesia sendiri
merupakan negara kepulauan, maka yang dikenal dengan istilah angkutan udara, atau
pesawat udara, bukanlah alat transportasi baru di wilayah Indonesia. Selain itu,
perkembangan, perekonomian dan infrastruktur yang sedang berkembang di tanah air
menjadikan transportasi udara sebagai primadona. Dengan semakin menjamur dan
berkembangnya maskapai penerbangan, atau yang lebih dikenal dengan maskapai
penerbangan, maka transportasi ini akan semakin terjangkau bagi kalangan menengah dan
atas.
Undang-undang nasional saat ini yang secara khusus mengatur kegiatan penerbangan adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan beberapa peraturan
penegakannya. Sedangkan peraturan yang secara khusus mengatur kegiatan angkutan udara
niaga dalam negeri adalah Luchtvervoer Ordonantie (Stbl. 1939: 100) atau peraturan
angkutan udara 1939, biasa disingkat OPU 1939. OPU ini menekankan tanggung jawab
maskapai. Sedangkan ketentuan hukum internasional yang berkaitan erat dengan kegiatan
penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa tahun 1929. Undang-undang Angkutan adalah
tanggung jawab pengangkut untuk menjamin keselamatan, kesehatan dan keselamatan
transportasi penumpang dan/atau barang ke tujuan mereka, memberikan pelayanan prima dan
mengganti kerugian penumpang dalam hal kehilangan penumpang. Bawa penumpang ke
jadwal yang ditentukan dan segera. Di sisi lain, penumpang wajib membayar sejumlah tarif
yang ditetapkan untuk mengendalikan barang dan melaporkan jenis barang yang dibawa,
terutama yang tergolong berbahaya, untuk memenuhi ketentuan Peraturan. Pengangkut
barang dalam hal transportasi. Hak dan kewajiban para pihak biasanya diatur dalam kontrak
pengangkutan.
Ketentuan tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan atau
transportasi udarta, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan berkewajiban untuk
mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat
waktu dan sebagai kompensasi dari pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan
penerbangan mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaraan pengankutan dari
penumpang.
Beberapa kasus atau fakta yang dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi oleh
pengangkut adalah tidak memberikan keselamatan dan keamanan penerbangan kepada
penumpang yaitu berupa terjadinya kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang
meninggal dunia dan/atau cacat, penundaan penerbangan atau delay, keterlambatan,
kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik penumpang, pelayanan yang kurang
memuaskan, informasi yang tidak jelas tentang produk jasa yang ditawarkan dan lainlain.
Setiap kecelakaan penerbangan selalu menimbulkan kerugian bagi penumpang yang tentu
saja melahirkan permasalahan hukum, khususnya berkenaan dengan tanggung jawab
perusahaan penerbangan atau pengangkut (carrier) terhadap penumpang dan pemilik barang

3
baik sebagai para pihak dalam perjanjian pengankutan maupun sebagai konsumen, selain itu
persoalan lain bagi konsumen adalah adanya keterlambatan pelaksanaan pengangkutan udara
yang terkadang melebihi batas toleransi. Sebagai salah satu pengangkutan dengan teknologi
tercanggih yang pernah ada, angkutan udara tidak selamanya mendatangkan rasa keamanan
dan kepuasaan kepada para penggunanya. Banyaknya penundaan penerbangan, pembatalan
sepihak oleh maskapai penerbangan, ketidakamanan barang bawaan serta kecelakaan pesawat
menimbulkan rasa kekhawatiran kepada para pengguna jasa.
Walaupun dalam Undang-undang No 1 tahun 2009 telah mengaturkan hal mengenai hak dan
kewajiban antara para pihak yang terkait dengan perjanjian pengangkutan, namun realisasi
pertanggung jawaban sering terabaikan. Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan
bahwa sektor pelayaan dalam angkutan udara masih menyimpan masalah klasik, yang
mengakibatkan ketidaknyamanan dari para pengguna jasa angkutan udara itu sendiri. Hal ini
juga tidak berkesesuaian dengan apa yang tercantum dalam pasal 4 Undang-undang No 8
Tahun 1999 mengenai hak-hak yang dimiliki konsumen antara lain:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan serta keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
2. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
3. Hak untuk mendapatkan kompenisasi, anti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana
mestinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan angkutan udara?
2. Apa saja jenis-jenis angkutan udara menurut hukum Indonesia?
3. Apa saja tanggung jawab dari pengangkut dalam bisnis ini?
4. Bagaimanakah implementasi UU no.1 tahun 2009 terhadap perlindungan konsumen,
studi kasus PT. Garuda Indonesia?

1.3 Manfaat Penelitian


1. Mengetahui definisi angkutan udara dari berbagai literatur
2. Mengetahui jenis angkutan udara yang tersedia di Indonesia
3. Mengetahui tanggung jawab pelaku usaha angkutan udara
4. Mengetahui implementasi Undang-Undang terhadap perlindungan konsumen

4
Bab II
Studi Literatur
2.1 Definisi Angkutan Udara
UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan akan menjadi Nomor 1 dalam Buletin
Pemerintah 2009. Tambahan Buletin Pemerintah Nomor 4956 Republik Indonesia. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 berawal dari perkembangan industri penerbangan
yang sangat pesat. Akibatnya, undang-undang yang berlaku tidak lagi dianggap mutakhir.
Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan pernyataan, “Selanjutnya, sehubungan dengan
pengembangan lebih lanjut hukum dalam negeri dan untuk lebih memperkuat terwujudnya
kepastian hukum, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan ada dalam
undang-undang ini. Harus diganti, karena tidak lagi mutakhir, berkembang secara ilmiah dan
teknis, serta tidak tersusun menjadi satu kesatuan.Dengan lahirnya undang-undang ini,
Undang-Undang Nomor 15 tentang Penerbangan Tahun 1992. Sudah tidak berlaku lagi dan
dinyatakan tidak berlaku

Angkutan udara nasional diatur dalam Bab X UU RI No. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan. Menurut bab tersebut, angkutan udara nasional dijelaskan dalam sembilan
bagian, yaitu:
a. Bagian pertama Pasal 83 sampai dengan Pasal 107
b. Bagian kedua Pasal 108 sampai 121
c. Bagian ketiga dari Pasal 122 sampai dengan Pasal 125
d. Bagian keempat dari Pasal 126 sampai dengan 130
e. Bagian kelima dari Pasal 131 sampai Pasal 134
f. Bagian keenam dari Pasal 134 hingga Pasal 135
g. Bagian ketujuh dari Pasal 136 sampai dengan Pasal 139
h. Bagian kedelapan dari Pasal 140 sampai Pasal 186
i. Bagian kesembilan dari Pasal 187 sampai dengan 191
Pasal 1 angka 13 UURI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan Angkutan
Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke
bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Kemudian pada Pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mendefinisikan angkutan udara
niaga yaitu, angkutan udara umum dengan memungut bayaran.
Sedangkan Konvensi Montreal 1999 pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan angkutan
internasional (international carriage) adalah:
“For the purposes of this Convention, the expression "international carriage" means
any carriage in which, according to the agreement between the parties, the place of
departure and the place of destination, whether or not there be a break in the

5
carriage or a transhipment, are situated either within the territories of two States
Parties, or within the territory of a single State Party if there is an agreed stopping
place within the territory of another State, even if that State is not a State Party.
Carriage between two points within the territory of a single State Party without an
agreed stopping place within the territory of another State is not international
carriage for the purposes of this Convention”
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa angkutan internasional adalah
angkutan udara yang sesuai dengan kesepakatan para pihak, yaitu maskapai penerbangan
dengan penumpang dan/atau pengirim barang, asal dan tujuan barang., Dengan atau tanpa
gangguan transportasi atau pengiriman, baik transportasi ditangguhkan atau sedang
berlangsung, di wilayah negara anggota Traktat Montreal 1999, atau di wilayah negara
berdaulat, tetapi perantara ke negara lain. Negara pendaratan bukanlah anggota Traktat
Montreal 1999, tetapi transportasi antara bandara asal dan bandara tujuan berada di dalam
wilayah negara anggota tanpa berhenti di negara lain. Tiba dengan kebiasaan ini.
Proses penyelenggaraan pengangkutan udara bagi penumpang meliputi empat tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan pengangkutan, meliputi penyediaan alat pengangkutan dan
penyerahan penumpang untuk diangkut.
b. Tahap penyelenggaraan pengangkutan, meliputi kegiatan pemindahan penumpang
dengan alat pengangkutan dari tempat pemberangkatan sampai di tempat tujuan yang
disepakati.
c. Tahap penyerahan penumpang kepada penerima dan turunnya penumpang, dalam hal
tidak terjadi peristiwa selama pengangkutan.
d. Tahap pemberesan/penyelesaian persoalan yang timbul/terjadi selama pengangkutan
atau sebagai akibat pengangkutan.

2.2 Jenis Angkutan Udara


Ada beberapa jenis angkutan udara menurut UU RI No. 1 Tahun 2009, yaitu:

2.2.1 Angkutan Udara Niaga


Kegiatan penerbangan niaga dilakukan oleh badan niaga dalam negeri yang sebagian besar
dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Salah satu pemilik modal
entitas harus merupakan mayoritas sederhana. Lisensi angkatan udara niaga diberikan jika
sekurang-kurangnya memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 109. Rencana usaha
badan usaha yang mencari laba harus memuat sekurang-kurangnya syarat-syarat yang diatur
dalam Pasal 110. Pasal 111 menjelaskan empat syarat untuk menjadi pengelola badan usaha
angkutan niaga. Izin angkutan udara niaga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dari segi
operasional juga diatur angkutan udara niaga reguler, dan angkutan udara niaga reguler terdiri
atas angkutan udara niaga dalam negeri dan angkutan udara niaga luar negeri.
Angkutan udara terdiri dari maskapai penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal komersial
domestik dan internasional. Untuk mengatur transportasi udara, maskapai akan mengizinkan
penumpang yang sudah memiliki tiket untuk naik ke pesawat di bandara keberangkatan pada
tanggal dan waktu yang ditentukan berdasarkan jadwal penerbangan, dan pengirim barang
akan menjadi barang. surat jalan udara. Dalam praktik angkutan udara, perusahaan angkutan

6
udara telah menciptakan formulir kargo udara tercetak yang sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Angkutan Udara. Barang diterima oleh pengangkut dan tunduk pada
kontrol, pengawasan, dan pemeliharaan pengangkut di mana pun mereka mendarat di
bandara, di atas pesawat terbang, atau di luar bandara. Perawatan, pengawasan dan
pemeliharaan ini juga berlaku untuk penumpang.
Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
Angkutan udara niaga kemudian dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:

a. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani
angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani
angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.
2.2.2 Angkutan Udara Bukan Niaga
Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani
kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain
di bidang angkutan udara. Izin angkutan udara bukan niaga diterbitkan oleh Menteri dengan
memenuhi lima syarat minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115. Izin yang
dikeluarkan berlaku selama pemegang izin terlibat dalam kegiatan Angkatan Udara yang
sebenarnya, dan izin dievaluasi setiap tahun untuk melihat apakah kegiatan tersebut diizinkan
secara permanen.
2.2.4 Angkutan Udara Perintis
Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani
jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau
daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum
menguntungkan.
2.3 Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 1 angka 26 mendefinisikan pengangkut sebagai badan usaha angkutan udara niaga,
pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan
udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan
usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

Sedangkan Suherman mendefenisikan pengangkut udara sebagai berikut:


“Setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau
pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen
angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang.”
Kemudian defisini dari Tanggung Jawab Pengangkut menurut UU. No. 1 Tahun 2009 adalah
kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Angkutan udara niaga memiliki
tanggung jawab menurut UU. No 1 tahun 2009 yaitu sebagai berikut:

7
Pasal 144 : “Pengangkut udara niaga bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan
pengangkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut udara
niaga.”
Pasal 145 : “Pengangkut udara niaga bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh
pengirim kargo karena hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan
pengangkutan udara niaga selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut udara niaga.”
Pasal 146 : “Pengangkut udara niaga bertanggungjawab atas kerugian yang diderita atas
keterlambatan pada pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila pengangkut
udara niaga dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca
dan teknis operasional.”
Pasal 147 : “Pengangkut udara niaga bertanggungjawab atas tidak terangkutnya penumpang,
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
Tanggung jawab dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa : a.
Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan, dan/atau b. Memberikan
konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat
tujuan.”
2.4 Rute, Jaringan, dan Tarif Angkutan Udara
Jaringan penerbangan menurut UU. No. 1 Tahun 2009 Bab X adalah beberapa rute
penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan udara. Rute penerbangan
dalam negeri ditetapkan ole menteri dan penerbangan luar negeri diatur oleh menteri
berdasarkan perjanjian antarnegara. Rute dalam negeri mempertimbangkan demand pasar,
teknis lapangan, serta keterpaduan rute. Sedangkan rute luar negeri mepertimbangan demand,
kepentingan nasional, pengmebangan pariwisata serta petensi ekonomi dari industri mapuun
ekonomi daerah. Menteri akan melakukan evaluasi terhadap rute baru yang diajukan badan
usaha niaga.

Tarif angkutan udara niaga terdiri dari tarif penumpang dan kargo. Kedua, retribusi juga
dibagi secara ekonomis dan tidak ekonomis. Di bidang ekonomi, faktor yang diperhitungkan
dari pajak, jarak, asuransi dan tarif tambahan adalah batas tarif, dengan mempertimbangkan
aspek perlindungan konsumen dan persaingan tidak sehat. Pasal 128 mengatur bahwa harga
pelayaran yang tidak ekonomis ditentukan berdasarkan mekanisme pasar dan pelayaran tidak
terjadwal didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa dan jasa pelayaran.

8
Bab III
Studi Kasus: PT. Garuda Indonesia
Sebelum masuk kepada pembahasan studi kasus, penulis akan menuliskan definisi dari Badan
Usaha Angkutan Udara menurut UU No.1 Tahun 2009 yaitu “badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau
koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran”.

3.1 Profil dan Pelayanan PT Garuda Indonesia


Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan nasional Indonesia. Garuda diambil dari
nama burung mitos dalam legenda perwayangan. Pada tanggal 26 Januari 1949 dianggap
sebagai hari jadi Garuda Indonesia. Pada saat itu nama maskapai adalah Indonesia Airways
dengan pesawat pertama yang beranama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari
nama gunung terkenal di provinsi Aceh. Dana untuk membeli pesawat ini didapatkan dari
sumbangan rakyat Aceh dengan harga 120,000 Dolar Malaya yang sama dengan 20kg emas.
Garuda awalnya merupakan hasil joint venture antara pemerintah Indonesia dan maskapai
penerbangan Belanda Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang memiliki 51%
saham dalam dekade pertama. Pada tahun 1953, atas paksaan seorang nasionalis, KLM
menjual sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Pada 11 Februari 2011, Garuda Indonesia
meluncurkan IPO sebagai langkah awal memasuki pasar saham dan memutuskan untuk
mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. Pada tanggal 5 Maret 2014, Garuda Indonesia
secara resmi bergabung dengan Aliansi Global SkyTeam sebagai bagian dari Program
Perluasan Jaringan Internasional. Dengan bergabung dengan SkyTeam, penumpang Garuda
Indonesia dapat terbang ke 1.064 tujuan di 178 negara yang dioperasikan oleh semua
maskapai anggota SkyTeam, dengan lebih dari 15.700 penerbangan per hari. , Memiliki akses
ke 564 lounge di seluruh dunia.

3.2 Sistem Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Pengguna Jasa


Angkutan Udara berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 merupakan hasil amandemen terhadap Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1992, dan lahirnya undang-undang ini didasarkan pada kondisi
bahwa dunia penerbangan berkembang sangat pesat dan undang-undang yang ada tidak
berlaku lagi. bersama waktu. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak hanya
didasarkan pada mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, tetapi
juga pada kebutuhan untuk mematuhi hukum internasional. UU No 1 Tahun 2009 terdiri dari
24 bab dan 466 pasal. Secara umum, aturan ini merupakan aturan publik yang mengatur
tentang esensi dari operasi penerbangan.

Masalah teknis dan operasional diatur oleh peraturan pemerintah dan peraturan Kementerian
Perhubungan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 secara sistematis berbunyi sebagai
berikut:
Bab I Tentang Ketentuan Umum
Bab II Tentang Asas dan Tujuan penerbangan
Bab III Tentang Ruang lingkup berlakunya Undang-undang

9
Bab IV Tentang Kedaulatan atas wilayah udara
Bab V Tentang Pembinaan
Bab VI Tentang Rancang Bangun dan Produksi Pesawat Udara
Bab VII Tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara
Bab VIII Tentang Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara
Bab IX Tentang Kepentingan Internasional atas Objek Pesawat Udara
Bab X Tentang Angkutan Udara Bab XI Tentang Kebandarudaraan
Bab XII Tentang Navigasi Penerbangan
Bab XIII Tentang Keselamatan Penerbangan
Bab XIV Tentang Keamanan Penerbangan Nasional
Bab XV Tentang Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pesawat Udara
Bab XVI Tentang Investigasi dan Penyidikan lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara
Bab XVII Tentang Pemberdayaan Industri dan Pengembangan Teknologi
Penerbangan
Bab XVIII Tentang Sistem Informasi Penerbangan
Bab XIX Tentang Sumber Daya Manusia
Bab XX Tentang Peran Serta Masyarakat
Bab XXI Tentang Penyidikan
Bab XXII Tentang Ketentuan Pidana
Bab XXIII Tentang Ketentuan Peralihan
Bab XXIV Tentang Ketentuan Penutup
3.3 Pelaksanaan Tanggungjawab Pengangkut terhadap Pengguna Jasa
Angkutan Udara
Di Indonesia, maskapai penerbangan bertanggung jawab atas Ordonansi Angkutan Udara
1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011. Ketentuan pertanggungjawaban diatur dalam aturan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009, Bab X Pasal 141, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011.
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka
b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin
c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo
e. Keterlambatan angkutan udara dan
f. Kerugian yang diderita pihak ketiga
Dari keenam bentuk pertanggungjawaban tersebut, terdapat perbedaan antara asas carrier
liability yaitu asas absolute limited liability dan asas pertanggungjawaban berdasarkan asas
praduga tak bersalah. Prinsip tanggung jawab mutlak berarti bahwa pengangkut memikul
tanggung jawab mutlak. Apakah pengangkut itu sendiri memiliki cacat atau tidak,
pengangkut harus membayar ganti rugi jika terjadi kerusakan pada penumpang. Dikatakan
ada pembatasan besaran ganti rugi yang dibayarkan maskapai karena ada pembatasan dan
pembatasan. Tanggung jawab terbatas ini berlaku untuk kematian atau cedera pribadi,
kehancuran, cedera, atau kehilangan properti penumpang. Liability for delays, di sisi lain,
menerapkan prinsip pertanggungjawaban berdasarkan asas praduga tak bersalah. Realisasi
tugasnya PT di Garuda Indonesia memiliki batasan tertentu. Dengan kata lain, itu adalah
tanggung jawab terbatas pengangkut dalam perjalanan. Dalam hal ini tanggung jawab itu

10
berarti mulai dari bandara boarding (terbang) sampai dengan landing (pendaratan) pesawat
dan ke bandara tujuan penumpang. Akibatnya pihak maskapai bertanggung jawab atas
kerusakan dan kerugian yang diderita penumpang akibat kelalaian pihak maskapai, namun
kewajiban pihak maskapai dalam memberikan ganti rugi terbatas. Batasannya adalah sebagai
berikut:
3.3.1 Kematian atau Lukanya penumpang yang diangkut
Sebagai persyaratan pertama tentang tanggung jawab pengangkut kepada penumpang adalah
kecelakaan. Menurut Suherman, kecelakaan didefinisikan sebagai kecelakaan yang melukai
atau membunuh penumpang, yang terjadi ketika penumpang berada di bawah kendali
maskapai, dan kecelakaan itu harus terkait dengan transportasi udara. .. Dalam hal ini, PT
Garuda Indonesia akan menganut prinsip strict liability. Artinya maskapai selalu
bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi selama penerbangan dan tidak
bergantung pada kesalahan maskapai. PT Garuda Indonesia tidak bertanggung jawab atas
ganti rugi penumpang atas penumpang yang meninggal atau terluka/sakit di dalam pesawat
atau dalam penerbangan dan bukan disebabkan oleh kecelakaan atau kesalahan dari pihak
maskapai. Penanganan operasional adalah tanggung jawab pengangkut, tetapi bukan
tanggung jawab pengangkut dan pengangkut tidak bertanggung jawab atas ganti rugi apa
pun. Di bawah ini adalah daftar kecelakaan dan insiden yang dialami Garuda Indonesia.

11
3.3.2 Hilang, Musnah, atau rusaknya barang penumpang
Dalam praktik transportasi udara, penumpang sering mengeluhkan pelayanan yang diberikan
maskapai terhadap barangnya: seringnya kehilangan bagasi, kerusakan barang, dan
kebingungan. Dari segi hukum, kerugian tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran. Ada
dua jenis kargo penumpang:
1. Bagasi tercatat , merupakan barang-barang yang diserahkan oleh penumpang dibawah
pengawasan pengangkut, untuk diangkut bersama-sama dalam pesawat terbang
2. Bagasi tangan, merupakan benda- benda keperluan pribadi yang berada dalam
pengawasan penumpang sendiri dan benda itu tidak melekat pada atau berada dalam
pakaian penumpang.
Mengenai tanggung jawab atas kehilangan, kehancuran atau kerusakan barang penumpang,
PT Garuda Indonesia akan mematuhi Pasal 143 dan 144 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 dan akan menanggung segala kerugian akibat kehilangan atau kerusakan barang
bawaan. (Jika kelalaian maskapai dapat dibuktikan) dan bagasi terdaftar akan bertanggung
jawab.
3.3.3 Keterlambatan pesawat udara/penerbangan
Ketentuan keterlambatan pesawat sesuai dengan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009, lebih khusus Pasal 9 Peraturan 77 Kementerian Perhubungan 2011, dan maskapai
bertanggung jawab atas kerugian akibat keterlambatan pengangkutan. . Dari penumpang,
bagasi dan kargo. Dalam hal terjadi keterlambatan pesawat, PT Garuda Indonesia tetap
bertanggung jawab dengan memenuhi ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011.
1. Keterlambatan penerbangan (flight delayed)
2. Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied
boarding passanger)

12
3. Pembatalan penerbangan (canceled flight)
Tanggungjawab terhadap keterlambatan pesawat ini tidak berdasarkan pada prinsip absolute
liability, karena pengangkut masih dapat membebaskan pertanggungjawabnya. Hal ini dapat
ditarik dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 tersebut, dimana pengangkut akan
bertanggungjawab atas adanya keterlambatan jika kesalahan datang dari pengangkut tersebut.
Karena tidak selamanya keterlambatan diakibatkan dari pihak pengangkut, seperti halnya jika
kesalahan ada pada sistem bandara setempat (airport authority), maka pihak pengangkut tidak
bertanggungjawab atas kerugian penumpang.
3.3.4 Pelaksanaan Ganti Rugi terhadap pengguna Jasa Angkutan Udara yang Merasa
dirugikan menurut Undang-undang No 1 tahun 2009
Aktivitas terbang selalu dapat merugikan penumpang, termasuk kecelakaan, kehilangan
bagasi, dan penundaan penerbangan. Dalam hal ini, perusahaan pelayaran biasanya
memberikan kompensasi kepada penumpang. Ketentuan kompensasi penumpang tertuang
dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011. Format hadiah yang diberikan
adalah sebagai berikut:
A. Ganti rugi terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka
Ketentuan ganti rugi oleh pengangkut dalam hal meninggal dunia, cacat tetap atau luka
penumpang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan 2011. Dalam pelaksanaan
kompensasi ini, PT Garuda melakukan kecelakaan pesawat terakhir hingga saat ini.
penumpang. Pada saat kejadian ini, penerbangan Indonesia masih mematuhi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 yang mengatur realisasi ganti rugi berdasarkan Keputusan Nomor 40
Tahun 1995. Penumpang yang luka/cacat mendapat santunan 75 juta, penumpang meninggal
ahlinya, dan ahli warisnya mendapat 600 juta dolar dari Garuda Indonesia. Ada langkah-
langkah terpisah yang harus diikuti oleh keluarga penumpang dengan cacat tetap, cedera, atau
kematian sehubungan dengan pemberian kompensasi.
Pihak PT Garuda Inonesia dalam proses ganti rugi terhadap pengguna jasa meninggal, cacat
tetap atau meninggal dunia menetapkan tahapannya yaitu:
1. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT Garuda Indonesia yang memuat
pengisian data identitas pihak yang berhak menerima ganti rugi
2. Mengajukan segala bukti :
a. Tiket atau bukti pembaayaran tiket
b. Surat keterangan dokter dan biaya pengobatan, bila penumpang akibat kecelakaan
masih dalam peraawatan
c. Akta perkawinan dari suami atau istri penumpang yang meninggal,cacat, atau luka
akibat kecelakaan pesawat
d. Akta lahir dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara disertai
penetapan fatwa waris dari PN atau PA yang berisi penetapan ahli waris
e. Kartu keluarga dari penumpang yang meninggal, cacat tetap atau luka-luka
B. Ganti rugi terhadap barang bagasi penumpang
Ganti rugi terhadap barang bagasi penumpang diatur dalam Pasal 142 dan Pasal 143 Undnag-
undang No 1 Tahun 2009, namun untuk besaran ganti ruginya di tetapkan dalam Peraturan

13
Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011, yang berisikan 2 bentuk tentang gant rugi barang
bagasi yaitu:
1. Bagasi Kabin, atau bagasi tidak tercatat
a. Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian karena hilang atau
rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya.
b. Apabila pembuktian penumpang dapat diterima oleh pengangkut atau
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap (inkracht) dinyatakan bersalah, maka ganti kerugian ditetapkan setinggi
tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.
2. Bagasi tercatat
a. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah
diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per
kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang;
b. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk,
ukuran dan merek bagasi tercatat.
c. Bagasi tercatat dianggap hilang apabila tidak diketemukan dalam waktu 14
(empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di
bandar udara tujuan.
d. Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi
tercatat yang belum ditemukan dan, belum dapat dinyatakan hilang sebesar
Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari
kalender.
C. Ganti rugi terhadap keterlambatan penerbangan
Secara hukum PT Garuda Indonesia bertanggungjawab terhadap yang disebabkan karena
keterlambatan yang disebabkan oleh mereka, yaitu keterlambatan penerbangan.
Keterlambatan pengangkutan penumpang pada dasarnya merupakan tanggungjawab dari
pengangkut, seperti yang tercantum pada Pasal 146 Undang- undang No 1 Tahun 2009 serta
Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan No 77 tahun 2011 dimana:
a. keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;
b. diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a
apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan
penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket
penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan
apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;
c. dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan
Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk
peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas
atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang
kelebihan dari tiket yang dibeli.

14
Dalam pelaksanaan ganti rugi, PT Garuda Indonesia berpacu pada ketentuan yang ada di
Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan KM 25 Tahun 2008 dengan membuat delayed
Management.

15
Bab IV
Simpulan
Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Ada 3 jenis angkutan
udara yaitu angkutan udara niaga, angkutan udara bukan niaga dan angkutan udara perintis.
Dalam hal tanggung jawab, angkutan niaga memiliki tanggung jawab untuk memastikan
keamanan dan keselamatan penumpang dan barang angkutan lain sesuai dengan UU RI. No.1
tahun 2009 Bab X.
Dalam studi kasus PT. Garuda Indonesia berdasarkan riview literatur didapatkan bahwa Pt.
Garuda Indonesia melakukan pertanggung jawaban melalui cara dibawah:
a. Kematian, cacat tetap dan lukanya penumpang. Untuk pelaksanaan tanggungjawab ini PT
Garuda Indonesia menerapkan prinsip absolute liability, sedangkan untuk pelaksanan
ganti keruigian berkesesuaian dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan No 77
Tahun 2011.
b. Hilang, musnah atau rusaknya barang penumpang. Untuk pelaksanaan tanggungjawab ini
PT Garuda Indonesia menerapkan prinsip absolute liability, sedangkan untuk ganti
kerugian berkesesuaian dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun
2011.
c. Keterlambatan penerbangan. Untuk pelaksanaan tanggungjawab ini PT Garuda Indonesia
menerapkan prinsip presumption of liability, sedangkan untuk ganti kerugian PT Garuda
Indonesia memiliki delay Management dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan
No 77 Tahun 2009 sebagai dasar besaran ganti ruginya.

16
Daftar Pustaka

Abdulkadir, M. 1991. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditia
Bakti.
Abdurrasyid, P. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum
Angkasa (Air Space Law Research Centre).
Barmawi Jenny., Tanggung jawab Pengangkut Berdasarkan The Hague Rules. Artikel dalam
majalah Hukum Pro-Justitia, Bandung, Juli 1989
Hutasoit, K, R, U. 2016. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Udara Terhadap
Penumpang Yang Mengalami Kehilangan Barang (Studi Pada PT Sriwijaya Airlines)
Fakultas Hukum Universitas Lampung
Lindo, S. R. (2019). Pengaturan Hukum Pertanggungjawaban Pengangkut Atas Kecelakaan
Dalam Pengangkutan Udara Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan. Lex Et Societatis, 7(5).
Martono, H, K, Amad 2010. Hukum Angkutan Udara, Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun
2009, Jakarta: Rajawali Pers.
Martono, H, K. 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. Bandung.
Nuraini, S. (2016). Tanggung Jawab Keperdataan dalam Penyelenggaraan Pengangkutan
Udara Atas Keterlambatan Jadwal Penerbangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
PMP, E., Njatrijani, R., & Saptono, H. (2016). Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap
Pengguna Jasa Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009.
Diponegoro Law Journal, 5(4), 1-14.
Pohajow, R. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Lex Privatum, 4(6).
Satriadi, S. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Risiko Kecelakaan Penumpang dalam
Asuransi Angkutan Udara Berdasarkan Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan. Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, 1(2),
112-123.
Suherman, 1962, Tanggungjawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, Bandung,
Eresco
Undang-undang RI No 8 Tahun 1999 tentang hak konsumen
Undang-Undang RI No. 1 Tahun. 2009 tentang Penerbangan

17

Anda mungkin juga menyukai