Anda di halaman 1dari 226

SIGIT SAPTO NUGROHO, S.H.

,
M.HUM HILMAN SYAHRIAL HAQ,
S.H., LLM

HUKUM PENGANGKUTAN INDONESIA

Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang


Transportasi Udara
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum. & Hilman Syahrial Haq, S.H., LLM
Hukum Pengangkutan Indonesia; Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum. &
Hilman Syahrial Haq, S.H., LLM; Editor: Farkhani, S.HI., S.H. M.H; Solo:
Navida; 2019
160 hlm.; 20,5 cm

ISBN: 978-602-18321-7-2

HUKUM PENGANGKUTAN INDONESIA


Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Transportasi Udara

Penulis:
Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum.
Hilman Syahrial Haq, S.H., LLM

Editor:
Farkhani, S.HI. S.H, M.H

Tata Letak:
Taufiqurrohman

Cover:
naka_abee
Cetakan I : April 2019

Diterbitkan Oleh :

Dk. Jembangan RT 04/02 Gagaksipat


Ngemplak, Boyolali, Surakarta
HP. 085229845080
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, akhirnya naskah buku Hukum Pengangkutan


Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Transportasi
Udara ini dapat diselesaikan secara kolaboratif dua orang penulis.
Keduanya adalah berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum pada
Universitas Merdeka Madiun dan Universitas Muhammadiyah
Mataram yang sama-sama mengajar mata kuliah Hukum
Pengang- kutan. Ada beberapa alasan yang mendorong penulis
berusaha menerbitkan buku ini. Pertama, buku ini merupakan
kristalisasi dari hasil materi kuliah dan beberapa hasil penelitian,
artikel, ju- rnal yang telah dilakukan oleh para penulis
sebelumnya, sehingga dengan penerbitan buku ini, maka hasil
kajian ini akan memberi manfaat maksimal bagi pengembangan
ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang Hukum
Pengangkutan.

Alasan kedua adalah kehadiran buku ini diharapkan akan


memberikan sumbangan signifikan dalam upaya peningkatan
kualitas pembelajaran bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Apalagi,
peningkatan kualitas pembelajaran adalah salah satu bagian
komit- men penting dalam rangka mewujudkan pendidikan tinggi
hu- kum yang berkualitas bagi masyarakat hukum Indonesia.
Dengan adanya buku ini, diharapkan mahasiswa akan lebih
mudah dalam mengikuti perkuliahan Hukum Pengangkutan
dengan lebih mudah dan fokus karena disajikan dengan bahasa
yang mudah dipahami.

Ketiga, buku Hukum Pengangkutan Kajian Perlindungan Hu-


Hukum Pengangkutan 3
Indonesia
kum terhadap Penumpang Transportasi Udaraini sudah di-up-date
karena bidang Hukum Dagang dan Hukum Bisnis menjadi salah

4 Hukum Pengangkutan
Indonesia
satu bidang hukum yang berkembang dengan sangat dinamis dan
sangat cepat. Perkembangan hukum yang dinamis tersebut juga
terus mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan pe-
nulisan buku yang berkesinambungan, sehingga penulis mampu
menyajikan karya yang terus up-date dan segar kepada
mahasiswa dan pembaca lainnya peminat masalah-masalah
Hukum Dagang khususnya Hukum Pengangkutan..

Buku Hukum Pengangkutan ini berisikan uraian komprehen-


sif tentang teori-teori dasar di bidang Hukum Pengangkutan di
Indonesia dan pengembangan khususnya kajian terhadap perlind-
ungan hukum bagi penumpang jasa sarana transportasi udara yang
semakin tahun ke tahun perkembangannnya semakin signifikan
seiring perkembangan teknologi di bidang transportasi.
Dalam kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih kepada kolega serta semua pihak yang telah men-
dukung kami dalam menyusun naskah buku Hukum Pengangku-
tan ini.
Terakhir, kami menyadari tidak ada gading yang tak retak,
tidak ada pekerjaan manusia yang sempurna karena manusia juga
tidak sempurna dan karena itu saran dan kritik dari pembaca buku
ini sangat kami nantikan untuk kesempurnaan buku ini di masa
datang.

Madiun-Lombok, Maret 2019


Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................3
DAFTAR ISI..........................................................................................5

BAB I PENDAHULUAN..................................................................7
A. Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya..............7
B. Klasifikasi Transportasi atau Angkutan........................13
C. Sejarah Angkutan Umum..............................................15
D. Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau Transportasi 19
E. Asas-Asas Hukum Pengangkutan.................................21
F. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum
Pengangkutan..................................................................25
G. Sumber Hukum Pengangkutan......................................28

BAB II PENGANGKUTAN PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI . 39


A. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengangkutan............39
B. Obyek Hukum Pengangkutan........................................45
C. Pengangkutan dalam Perspektif Ekonomi.....................48
D. Aspek-Aspek yang Terkait dengan Pengangkutan........51
E. Perjanjian Pengangkutan...............................................51
F. Definisi Perjanjian Pengangkutan.................................53
G. Asas-Asas Perjanjian Pengangkutan.............................53
H. Cara Terjadinya Perjanjian Pengangkutan.....................55
I. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan..........................56
J. Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan..........................57
K. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pengangkutan........59

BAB III PENGANGKUTAN TRANSPORTASI LAUT..................63


A. Pihak-Pihak Pengangkutan Laut...................................63
B. Jenis Bencana pada Pengangkutan Laut........................65
C. Jenis Kerusakan Atau Kerugian dalam Pengangkutan Laut. .67
D. Kajian Hukum Dagang Tentang Pengangkutan Laut....68

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PENGANGKUTAN UDARA79


A. Pendahuluan..................................................................79
B. Transportasi Pengangkutan Udara.................................89
C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Penumpang Transportasi Udara..................................102

BAB V TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT ATAS


KERUGIAN DALAM TRANSPORTASI UDARA........107
A. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
107
B. Upaya Hukum yang Ditempuh Penumpang yang
Mengalami Kerugian dalam Transportasi Udara.............132

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................149
TENTANG PENULIS.......................................................................156
BAB I
PENDAHULUAN

A. Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya


Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti
dengan kata ”transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada
aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada as-
pek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki
makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan
mengguna- kan alat angkut.1

Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yai-


tu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan por-
tare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, trans-
portasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain
atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa
transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong
orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain
lainnya. Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha
dan kegia- tan mengangkut atau membawa barang dan/atau
penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.2

Keberadaan kegiatan pengangkutan juga tidak dapat dipisah-


kan dari kegiatan atau kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari
zaman kehidupan manusia yang paling sederhana (tradisional)

1 https://hukumtransportasi2015.wordpress.com/2015/05/08/sistematika-buku-ajar-hukum-pen-
gangkutan-karya-melkianus-e-n-benu-s-h-m-hum-ongoing/. Diakses tanggal 7 Maret 2019.
2 Rustian Kamaluddin, 2003, Ekonomi Transportasi: Karekteristik, Teori Dan Kebijakan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 14.
sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern senantiasa
didukung oleh kegiatan pengangkutan. Bahkan salah satu barome-
ter penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat
adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan informasi maupun
teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan
pengangkutan.
Istilah ”Pengangkutan” berasal dari kata ”angkut” yang berarti
”mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah ”pengangkutan”
dapat diartikan sebagai ”pembawaan barang-barang atau orang-
orang (penumpang)”.
Menurut H.M.N Purwosutjipto menyatakan bahwa “pengang-
kutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyeleng-
garakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.3
Selanjutnya Abdulkadir Muhammad menguraikan istilah
”pengangkutan” dengan mengatakan bahwa pengangkutan meli-
puti tiga dimensi pokok yaitu: ”pengangkutan sebagai usaha
(busi- ness); pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan
pengang- kutan sebagai proses (process)”.4
Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement),
pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung
oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga
dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty). Jadi perjanjian

pengang-
3 Purwosutjipto, HMN. 2003, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum
Pen- gangkutan, Jakarta, Penerbit Djambatan, hal 5.
4 Abdulkadir Muhammad, 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga
di Indonesia dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, Penerbit Genta
Press, Yogyakarta, hal.1.
kutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung oleh
dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi.
Menurut Hasim Purba di dalam bukunya Hukum Pengang-
kutan di Laut, pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang
dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui an-
gkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan
menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu
wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang
atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan
tertentu”.5

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, warisan


Pemerintah Hindia-Belanda dahulu yang hingga sekarang masih
berlaku, diberikan tempat yang sangat banyak untuk mengatur
hukum pengangkutan menyeberang laut (Buku ke II Titel ke V
mengenai penyediaan dan pemuatan kapal-kapal – vervrachting
en bevrachting van schepen; Titel ke VA tentang pengangkutan
barang- barang; Titel ke VB tentang pengangkutan orang-orang.
Keadaan pengaturan hukum pengangkutan di darat secara sumir
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang itu disebabkan
karena da- hulu kala memang lebih-lebih terjadi pengangkutan
barang-barang dan orang-orang menyeberang laut daripada
melewati darat.

Abdulkadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan se-


bagai proses kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang
dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan berbagai
jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur undang-
undang sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan teknologi.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga

5 Purba, Hasim. 2005, Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 5.
dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan
sebagai perjanjian dan pengangkutan sebagai proses. 6
Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan suatu perjanjian;
2. Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
3. Berbentuk perusahaan;
4. Menggunakan alat angkut mekanik.
Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat
lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angku-
tan.Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang
disebut perjanjian carter, seperti carter pesawat udara untuk
pengangkutan jemaah haji, carter kapal untuk pengangkutan
barang dagang per- janjian pengangkutan dapat juga dibuat
tertulis yang disebut per- janjian carter, seperti carter pesawat
udara untuk pengangkutan je- maah haji, carter kapal untuk
pengangkutan barang dagangan.

Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna se-


bagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat
angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan,
dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan7. Sedangkan
pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian
kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang
dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat
penu- runan penumpang atau pembongkaran barang.

6 Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit Citra Aditya Bhakti,
Bandung, hal. 12.
7 Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 134.
Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi :
1. Dalam arti luas, terdiri dari:
a. memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat
pengangkut
b. membawa penumpang dan/atau barang ke tempat
tu- juan
c. menurunkan penumpang atau membongkar
barang- barang di tempat tujuan.
2. Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penump-
ang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/
bandar udara tempat tujuan.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengang-
kut dan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
me- nyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari
suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan
pen- girim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 8
Defenisi ini memiliki kesamaan dengan defenisi sebelumnya,
dengan sedikit perbedaan yaitu adanya penekanan pada aspek
fungsi dari kegiatan pengangkutan, yaitu memindahkan orang
atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud
untuk meningkatkan daya guna atau nilai.

Selain defenisi di atas ada yang menyatakan bahwa Pengang-


kutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda
maupun orang-orang, dengan adanya perpindahan tersebut maka
mutlak diperlukannya untuk mencapai dan meninggikan manfaat
serta efisiensi9.

8 Ibid.
9 Sution Usman Adji, Dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, PT Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 1.
Menurut Ridwan Khairandy,10 pengangkutan merupakan pe-
mindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:
1. adanya sesuatu yang diangkut;
2. tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
3. ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Proses pengangkutan merupakan gerak dari tempat asal dari
mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angku-
tan itu diakhiri11.
Menurut Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah
memindahkan barang atau commodity of goods dan penumpang
dari suatu tempat ketempat lain, sehingga pengangkut menghasil-
kan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang
membu- tuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-
barangnya12.
Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada
umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undan-
gan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu
menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan
sebagai suatu per- janjian timbal balik antara pihak
pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang
atau pengirim, dengan memungut biaya pengangkutan.

10 Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Gama
Media,Yogyakarta, hal. 195.
11 Muchtarudin Siregar, 1978, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, Lem-
baga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 5.
12 Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 1.
B. Klasifikasi Transportasi atau Angkutan
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menu-
rut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation)
yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi
geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari
sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi
sebagai beri- kut 13:
Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a. angkutan penumpang (passanger);
b. angkutan barang (goods);
c. angkutan pos (mail).
1. Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transpor-
tasi dapat dibagi menjadi;
a. Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b. Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke
Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c. Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke
Pulau Sumatera;
d. Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e. Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke
Jawa Timur;
f. Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan,
Surabaya dan lain-lain.

13 Rustian Kamalludin, Op Cit hal 15-19


2. Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, jika dilihat dari
sudut teknis dan alat angkutnya, maka transportasi dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Angkutan jalan raya atau highway transportation (road
transportation), seperti pengangkutan dengan
mengguna- kan truk,bus dan sedan;
b. Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan
kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan
jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang kedu-
anya digabung dalam golongan yang disebut rail and
road transportation atau land transportation (angkutan
darat);
c. Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland
transpor- tation), seperti pengangkutan sungai, kanal,
danau dan sebagainya;
d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seper-
ti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan min-
yak tanah, bensin dan air minum;
e. Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation),
yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut yang
mengarungi samudera;
f. Pengangkutan udara (transportation by air atau air
trans- portation), yaitu pengangkutan dengan
menggunakan ka- pal terbang yang melalui jalan udara.
C. Sejarah Angkutan Umum
1. Era Omni Bus14
Ide awal penyediaan pengangkutan publik khususnya di
darat sebenarnya telah dimulai sekitar 300 tahun yang lalu,
ke- tika Pascal (Perancis) mulai mengoperasikan gerbong
untuk penumpang yang ditarik kuda di Kota Paris pada tahun
1662. Pada awalnya, penyediaan kereta ini tidak dipungut
biaya, na- mun pada perkembangannya kemudian mulai
dikenakan bi- aya. Revolusi industri yang berkembang di
Eropa (Perancis dan Inggris) telah membuat perkembangan
kota yang sedemikian pesat, yang memunculkan adanya
pemisahan zona industri (tempat bekerja) dan zona
permukiman (rumah), sehingga timbul apa yang disebut
dengan fenomena urban sprawl, yakni fenomena bergeraknya
area permukiman kelas menengah ke atas ke daerah sub-
urban, menjauhi kawasan CBD (Central Business District)
yang terjadi di Inggris pada tahun 1750.

Fenomena lain adalah adanya arus commuting atau ko-


muter. Jam puncak (peak hour) juga timbul akibat adanya pe-
numpukan arus pagi (berangkat untuk bekerja) dan arus sore
(pulang), dan timbulnya efek-efek kongesti, seperti
kemacetan dan kesemrawutan. Inggris mulai mengenalkan
sistem trans- portasi massa pertamanya, yakni dengan
munculnya Omni Bus oleh George Shillibeer di kota London
pada 1829.

Omni Bus adalah kendaraan mirip gerbong beroda besar


dengan pintu masuk di belakang. Jumlah kursinya 18 hingga
20 yang ditata sejajar dan berhadap-hadapan. Model Omni
14 Gray, G. E. and Hoel, L. A. (ed), 1992, Public Transportation, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Bus ini kemudian menyebar ke kota besar lain, seperti New
York dan Paris pada tahun 1830-an. Pada tahun yang sama,
George Stephenson meluncurkan kereta api uap yang
pertama di Inggris dengan rute Liverpool sampai dengan
Manchester. Perkembangan omni bus berikutnya adalah omni
bus su- sun (double decker). Omni bus inilah embrio
pertama lahirnya bus bermotor seperti yang dikenal sekarang.

2. Era Jalan Rel (1830 – 1920)15


Era jalan rel dimulai pada saat jalan tanah yang ada dira-
sakan mulai cepat rusak dan memperlambat aksesibilitas
kere- ta kuda, sehingga muncul pemikiran untuk membuat
jalan khusus di atas tanah yang mulanya dibuat dari kayu.
Namun karena bahan kayu juga cepat rusak, maka digantikan
dengan besi/rel.
Kereta yang berjalan di atas rel masih tetap ditarik den-
gan kuda, sehingga dikenal dengan nama Horse Train Street
Cars, yang diperkenalkan di New York pada 1832. Karena
pada saat itu loko uap dilarang masuk area kota, maka
angkutan ini cepat populer di dalam kota, bahkan di Inggris
(1860).
Keunggulan tram ini adalah lebih nyaman, lebih besar
dan dapat mengangkut penumpang dengan jumlah banyak.
Kecepatan rata-ratanya 7 km/jam. Era ini juga telah menge-
nal sistem pengelolaan oleh pihak-pihak swasta dalam bentuk
perusahaan dan mulai terdapat persaingan ketat, khususnya
pada persinggungan rute yang sama.

Era berikutnya adalah kereta kabel (cable cars), yakni


den- gan adanya kabel di tengah rel yang ditarik dengan
mesin uap,
15 Ibid
yang mulai diperkenalkan di San Fransisco pada tahun 1873.
Kereta ini berkapasitas lebih besar, bahkan dapat menarik 3
(tiga) kereta dalam satu rangkaian. Biaya operasi juga
rendah, meskipun investasi awalnya lebih mahal. Pada tahun
1850 juga telah dikenal dengan adanya rapid transit dengan
jalur terpi- sah dari jalan, bahkan tidak sebidang.

Inggris pada tahun 1863 juga mulai membuka jalur Met-


ropolitan Railway, yakni jalur kereta bawah tanah dengan
tena- ga uap, dengan jalur Farringdon Street ke Bishop,
Paddington. Lima tahun kemudian (1868) Amerika Serikat
membuat jarin- gan kereta uap yang melayang (elevated) di
New York.
Kereta rel (tram) listrik pertama hadir di Chicago pada
ta- hun 1883 dan di Toronto pada tahun 1885. Energi listrik
diam- bilkan dari tiang yang menempel di bawah kabel yang
digan- tung di sepanjang rel. Kecepatan rata-rata mencapai
16 km/ jam. Pada 1888 kereta listrik telah dibuat dengan
sistem Mul- tiple Unit Train Control atau Kontrol Unit
Berganda. Sepuluh tahun berikutnya, kereta listrik mulai
dibuat di bawah tanah di Boston (AS) dan New York (1904).
Kelebihan kereta listrik adalah pada sifatnya yang tidak
polutif, jaringan yang lebih luas serta cocok untuk kondisi
kota yang kongestif.

3. Era Bus dan Trolley Bus (1920 – sekarang)16


Era bus dan bus troli kembali hadir pada 1920.Banyak
pertanyaan muncul, ketika era kereta telah sedemikian hebat,
mengapa bus kembali populer pada awal abad 20? Hal ini
dis- ebabkan adanya Perang Dunia I, di mana banyak
sarana rel
16 Ibid
yang dialokasikan untuk kebutuhan peperangan, krisis finan-
sial akibat perang, serta booming mobil pribadi, sehingga an-
gkutan massa dengan rel (yang membutuhkan investasi dan
pemeliharaan mahal) menjadi terpuruk.
Angkutan dengan bus kemudian hadir karena dirasa
lebih efisien dengan biaya investasi yang relatif murah. Pada
awalnya muncul bus bermotor di New York pada 1905, lalu
berlanjut dengan adanya sistem feeder bus ke tram (1912).
Ta- hun berikutnya (1920) hadir armada bus dengan posisi
mesin di depan dan dengan pintu yang dapat diatur oleh
pengemudi. Hingga tahun 30-an, bus berkembang sangat
pesat. Bahkan di tahun 1939, tipikal bus telah berkembang
menjadi lebih kuat, efiien, bermesin diesel, hingga persneling
otomatis.

Perkembangan berikutnya adalah bus tingkat (double


decker) dengan konfigurasi mirip bus tidak bertingkat. Model
yang cukup populer pada masa itu (1958) adalah Leyland At-
lantean. Inovasi lain adalah trolley bus, yakni kombinasi
antara bus dan tram. Disebut trolley karena bus dilengkapi
dengan 2 (dua) tiang untuk mengambil listrik dari kabel yang
tergan- tung di atas.

Melihat perkembangan sejarah angkutan umum seperti


yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa angkutan umum
muncul karena efek kongesti lalu lintas, yang bila diaktual-
isasikan di masa sekarang dapat berupa 5 (lima) penyakit
transportasi, yakni kemacetan, kesemrawutan, polusi (udara
dan kebisingan), kecelakaan dan biaya tinggi. Kini, di
negara- negara maju, angkutan umum menjadi bagian tak
terpisahkan dari konsep pengembangan tata perkotaan yang
pesat.
Angkutan umum menjadi salah satu high priority dan
kebutuhan penting dalam skema urban grand design, karena
mereka telah belajar dari pengalaman di tahun 20-an keti-
ka booming mobil pribadi telah meluluhlantakkan
aksesibilitas dan lalu lintas masyarakat, yang pada akhirnya
akan berefek pada high social cost berupa kerugian-kerugian
akibat hilangn- ya waktu perjalanan akibat kemacetan, polusi
udara, kebisin- gan, turunnya produktivitas, timbulnya stres
dan lain-lainnya.

D. Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau Transportasi


Menurut ilmu ekonomi dikenal beberapa bentuk nilai dan
keg- unaan suatu benda, yaitu nilai atau kegunaan benda
berdasarkan tempat (place utility) dan nilai atau kegunaan karena
waktu (time utility). Kedua nilai tersebut secara ekonomis akan
diperoleh jika barang-barang atau benda tersebut diangkut
ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan
tepat pada waktu- nya. Dengan demikian pengangkutan
memberikan jasa lepada masyarakat yang disebut” jasa
pengangkutan”17.

Menurut Sri Redjeki Hartono18 pengangkutan dilakukan


karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di
tempat asalnya, karena itu dikatakan pengangkutan memberi nilai
kepada barang yang diangkut dan nilai ini lebih besar daripada
biaya-biaya yang dikeluarkan. Nilai yang diberikan adalah berupa
nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility). Nilai
tem- pat (place utility) mengandung pengertian bahwa dengan
adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari
suatu tem- pat, di mana barang tadi dirasakan kurang berguna
atau berman-
17 Muchtarudin Siregar, Op-Cit, hal. 6.
18 Sri Redjeki Hartono, 1999, Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat, Seksi Hukum
Da- gang FH UNDIP, Semarang, hal. 8.
faat di tempat asal, akan tetapi setelah adanya pengangkutan nilai
barang tersebut bertambah, bermanfaat dan memiliki nilai guna
bagi manusia, oleh karena itu apabila dilihat dari kegunaan dan
manfaatnya bagi manusia, maka barang tadi sudah bertambah
nilainya karena ada pengangkutan. Nilai Kegunaan Waktu (time
utility), dengan adanya pengangkutan berarti bahwa dapat
dimung- kinkan terjadinya suatu perpindahan barang dari suatu
tempat ke tempat lainnya dimana barang tersebut lebih diperlukan
tepat pada waktunya.

Sementara itu menurut Rustian Kamaludin19 pada dasarnya,


pengangkutan atau transportasi atau perpindahan penumpang
atau barang dengan transportasi adalah dengan maksud untuk
dapat mencapai tempat tujuan dan menciptakan atau menaikkan
utilitas atau kegunaan dari barang yang diangkut, yaitu utilitas
karena tempat dan utilitas karena waktu.
Selanjutnya dinyatakan bahwa peran penting dari transpor-
tasi dikaitkan dengan aspek ekonomi dan sosial-ekonomi bagi
masyarakat dan negara, yaitu sebagi berikut:
1. Berperan dalam hal ketersediaan barang (availability of
goods);
2. Stabilisasi dan penyamaan harga (stabilization and
equali- zation);
3. Penurunan harga ( price reduction);
4. Meningkatkan nilai tanah (land value);
5. Terjadinya spesialisasi antar wilayah (territorial division
of labour);
6. Berkembangnya usaha skala besar (large scale
production);
19 Rustian Kamaludin, Op-Cit hal.14.
7. Terjadinya urbanisasi dan konsentrasi penduduk (urbani-
zation and population concentration) dalam kehidupan.
Menurut Abdulkadir Muhammad20, pengangkutan memiliki
nilai yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal tersebut
didasari oleh berbagai faktor, yaitu antara lain:
1. Keadaan geografis Indonesia yang berupa daratan yang
terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan berupa
perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sun-
gai serta danau memungkinkan pengangkutan dilakukan
melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau
selu- ruh wilayah negara;
2. Menunjang pembangunan di berbagai sektor
3. Mendekatkan jarak antara desa dan kota
4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

E. Asas-Asas Hukum Pengangkutan


Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk
undang- undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang
men- dasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas
hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan
pelaksan- anya. Bila asas-asas di kesampingkan, maka runtuhlah
bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan
pelaksananya21..

Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai beri-


kut: “…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit,
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat
dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
20 Abdulkadir Muhammad, 1998, Op-cit, hal. 18.
21 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 87.
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupa- kan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat- sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan
kongkrit tersebut”22.
Sejalan dengan pendapat Mertokusumo tersebut,
Rahardjo23 berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan
peraturan hu- kum, namun tidak ada hukum yang bisa
dipahami tanpa mengeta- hui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya, asas-asas hukum mem- beri makna etis kepada
setiap peraturan-peraturan hukum serta tata hokum selanjutnya
dipaparkan bahwa asas hukum ia ibarat jantung peraturan
hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-
peratu- ran hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas
hukum.

Kedua ,karena asas hukum mengandung tuntunan etis,


maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peratu-
ran-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan
etis masyarakatnya24.
Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hu-
kum, yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan
ber- sifat perdata, asas yang bersifat publik merupakan landasan
hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua
pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang
berkepentin- gan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah.

Asas-asas yang bersifat publik biasanya terdapat di dalam


pen- jelasan undang-undang yang mengatur tentang
pengangkutan, se- dangkan asas-asas yang bersifat perdata
merupakan landasan hu-
22 Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, hal. 5-
6.
23 Satjipto Rahardjo, Op-Cit, hal. 85.
24 Ibid, hal. 87.
kum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua
pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penump-
ang atau pengirim barang25.
1. Asas-asas Hukum Pengangkutan Bersifat Publik
Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat
publik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas manfaat yaitu, bahwa pengangkutan harus dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanu-
siaan, peningkatan kesejahteraan rakyat serta masyarakat
dan pengembangan perikehidupan yang berkesinambun-
gan bagi warga negara, serta upaya peningkatan perta-
hanan dan keamanan negara;
b. Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa pe-
nyelenggaraan usaha di bidang pengangkutan dilak-
sanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa
yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh
lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluar-
gaan;
c. Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan pen-
gangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil
dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan
biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d. Asas keseimbangan yaitu, bahwa pengangkutan harus
diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat ke-
seimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana,
antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, anta-
ra kepentingan individu dan masyarakat, serta antara
kepentingan nasional dan internasional;

25 Abdulkadir Muhammad, 1998, Op-cit, hal.


17.

Hukum Pengangkutan 23
Indonesia
e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan
pengangkutan harus mengutamakan kepentingan pelay-
anan umum bagi masyarakat luas;
f. Asas keterpaduan yaitu, bahwa pengangkutan harus
merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling
menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar
modal transportasi;
g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada
pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian
hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara In-
donesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam
penyelenggaraan penerbangan;
h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa
pengangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan
akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta
bersendikan kepada kepriba- dian bangsa.
i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap pe-
nyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai
dengan asuransi kecelakaan.
2. Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata
Kegiatan pengangkutan terdapat hubungan hukum antara
pihak pengangkut dan penumpang, hubungan hukum
tersebut harus di dasarkan pada asas-asas hukum.
Asas-asas hukum pengangkutan bersifat perdata terdiri
dari :
a. Asas konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak
diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan
kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menya-
takan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah
ada harus dibuktikan dengan atau didukung dengan
doku- men pengangkutan;
b. Asas Koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan
mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada
pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.
Meski- pun pengangkut menyediakan jasa dan
melaksanakan perintah penumpang atau pengirim
barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau
pengirim barang. Pen- gangkut merupakan salah satu
bentuk pemberian kuasa.
c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan cam-
puran dari 3 (tiga) jenis perjanjian yakni, pemberian
kuasa, peyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari
pengirim kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis per-
janjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika
diten- tukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d. Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pen-
gangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angku-
tan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak
ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan
yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan un-
tuk jarak dekat biasanya tidak ada dokumen atau tiket
penumpang,contohnya angkutan dalam kota.

F. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam


Hukum Pengangkutan
Menurut hukum pengangkutan terdapat tiga prinsip atau aja-
ran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai
berikut :26

26 Krisnadi Nasution, “Prinsip-Prinsip Tanggungjawab Pengangkut Terhadap Penumpang


Hukum Pengangkutan 25
Indonesia
Bus Umum”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 26 No. 1, Februari 2014, hal 54-69…lihat
juga

26 Hukum Pengangkutan
Indonesia
1. Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based
on fault atau liability based on fault principle);
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable
pre- sumption of liability principle);
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict
liabil- ity, absolute liability principle).
Berikut dipaparkan mengenai ketiga prinsip
pertanggungjawa- ban pengangkut tersebut di atas. Pertama,
prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault
atau liability based on fault principle), dalam ajaran ini bahwa
dalam menentukan tanggung jawab pengangkutan di dasarkan
pada pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan pengangkut
adalah pihak yang dirugikan atau penggugat. Dalam hukum
positif Indonesia, prinsip ini dapat menggunakan pasal 1365 KUH
Perdata, yang sangat terkenal den- gan pasal perbuatan melawan
hukum (onrecht matigedaad). Menu- rut konsepsi pasal ini
mengharuskan pemenuhan unsur-unsur un- tuk menjadikan suatu
perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu antara
lain:
1. adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
2. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya;
3. adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Makna dari “perbuatan melawan hukum,” tidak hanya per-
buatan aktif tetapi juga perbuatan pasif, yaitu meliputi tidak ber-
buat sesuatu dalam hal yang seharusnya menurut hukum orang
yang harus berbuat. Penetapan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata
memberi kebebasan kepada penggugat atau pihak yang dirugikan

dalam Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Per-
sada, Bandung, hal.146.
untuk membuktikan bahwa kerugian itu timbul akibat perbuatan
melanggar hukum dari tergugat. Sedangkan aturan khusus menge-
nai tanggung jawab pengangkut berdasarkan prinsip kesalahan bi-
asanya ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-
masing jenis pengangkutan.
Prinsip yang kedua, yaitu prinsip tanggungjawab atas dasar
praduga (rebuttable presumption of liability principle), menurut
prinsip ini tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat
mengemu- kakan hal-hal yang dapat membebaskan dari
kesalahan. Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip
yang pertama, hanya saja beban pembuktian menjadi terbalik
yaitu pada tergugat un- tuk membuktikan bahwa tergugat tidak
bersalah.

Dalam KUH Dagang, prinsip tanggung jawab atas dasar pra-


duga bersalah dapat ditemukan dalam Pasal 468 yang menyatakan
bahwa:

”Perjanjian pengangkutan menjanjinkan pengangkut untuk


menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat
penerimaan sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus
mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau
sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila
Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu se-
luruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat
suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau di-
hindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat ba-
rangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Ia bertang-
gung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan
terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu”.
Prinsip yang ketiga, prinsip tanggung jawab mutlak (no fault,
atau strict liability, absolute liability principle). Menurut prinsip
ini, bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam hal ini
tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak
adanya ke- salahan atau tidak milihat siapa yang bersalah atau
suatu prinsip pertanggungjawaban yang memandang kesalahan
sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyat- aannya ada atau tidak ada.pengangkut tidak
mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang
menimbulkan keru- gian bagi penumpang atau pengirim barang.

Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat pengangkut ber-


tanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa
apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan. Dalam perundang-
undangan mengenai pengangkutan prinsip tanggung jawab mut-
lak tidak diatur. Hal ini tidak mungkin diatur karena alasan bahwa
pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu
dibebani dengan risiko yang terlalu berat. Namun tidak berarti
para pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian
pengangkutan, hal tersebut berdasarkan asas perjanjian yang
bersi- fat kebebasan berkontrak.

G. Sumber Hukum Pengangkutan


Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat
menemukan hukum atau tempat mengenali hukum. Sumber hu-
kum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material (amate-
rial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a
formal sources of law)27.
Sumber hukum materil adalah sumber dari mana diperoleh
bahan hukum dan bukan kekuatan berlakunya, dalam hal ini
kepu-
27 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 7.
tusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan
berlakunya, sedangkan sumber hukum formal adalah sumber dari
sumber mana suatuperaturan hukum memperoleh kekuatan dan
sah berlakunya. Sumber hukum formal adalah kehendak negara
sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-pu-
tusan pengadilan. Sumber hukum yang telah dirumuskan peratu-
rannya dalam suatu bentuk, berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati
orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum. Itulah sumber-
sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut sumber-
sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa
efficiens.

Hukum pengangkutan merupakan bagian dari Hukum Da-


gang yang termasuk dalam bidang Hukum Perdata. Dilihat dari
segi susunan hukum normatif, hukum perdata merupakan sub-
sis- tem tata hukum nasional.Jadi Hukum Dagang atau
perusahaan ter- masuk dalam sub-sistem tata hukum nasional.
Dengan demikian, hukum pengangkutan adalah bagian dari
sub-sistem hukum na- sional. Pengaturan pengangkutan pada
umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi pengaturan pen- gangkutan dibuat secara
khusus menurut jenis-jenis pengangku- tan. Jadi, tiap-tiap jenis
pengangkutan diatur di dalam peraturan tersendiri, sedangkan
jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa
macam,yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan
pengangkutan udara.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam


Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam
beberapa pasal, yaitu sebagai berikut: 28
28 Ahmad Ichsan, 1993, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.104.
Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai
den- gan Pasal 98 Tentang Pengangkutan Darat dan Pengangkutan
Per- airan Darat;
1. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465
Tentang Pencarteran Kapal, Buku IIBab V A Pasal 466
sampai den- gan Pasal 520 Tentang Pengangkutan
Barang, dan Buku IIBab V B Pasal 521 sampai Pasal
544a Tentang Pengang- kutan Orang;
2. Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal
90 mengenai Kedudukan Para Ekspeditur sebagai
Pengusaha Perantara;
3. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754
men- genai Kapal-Kapal yang Melalui Perairan Darat.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar
KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu antara
lain:
1. Konvensi-konvensi internasional;
2. Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
3. Peraturan perundang-undangan nasional;
4. Yurisprudensi;
5. Perjanjian-perjanjian antara:
a. Pemerintah dengan Perusahaan Angkutan
b. Perusahaan Angkutan dengan Perusahaan Angkutan
c. Perusahaan Angkutan dengan pribadi/swasta
Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis
pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam:
1. Pengangkutan Darat, diatur di dalam:
a. Pasal 91 KUH Dagang sampai dengan Pasal 98
KUH Dagang tentang surat angkutan dan tentang
pengang- kut dan juragan perahu melalui sungai dan
perairan darat
b. Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata, ter-
dapat di dalam:
1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang
Pos
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang
Perkeretaapian
3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
a. KUH Dagang yaitu pada:
1) Buku II Bab V Tentang Perjanjian Carter Kapal;
2) Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan
Barang-Barang;
3) Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
b. Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran;
2) Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia No-
mor 22 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010
Tentang Angkutan di Perairan;
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 8 Tahun 2011 Tentang Angkutan Multimo-
da;
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 5 Tahun 2010 Tentang Kenavigasian;
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No- mor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di
Perai- ran;
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Ling-
kungan Maritim;
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 2 Tahun 2009 Tentang Perlakuan Kepa-
beanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Penga-
wasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang
Ke dan Dari Serta Berada di Kawasan yang
Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas;
8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan;
9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-
mor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan;
10) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pe-
layaran Nasional.
c. Pengangkutan udara; ketentuan peraturan perun-
dang-undangan nasional yang mengatur tentang
an- gkutan udara, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, tentang
Penerbangan;
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976, tentang
Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi
The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971;
3) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976, tentang
Penambahan Pada KUHP yang Berkaitan den-
gan Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Ter-
hadap Sarana/Prasarana Penerbangan;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
Tentang Angkutan Udara;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001,
tentang Keamanan dan Keselamatan Penerban-
gan;
6) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77
Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengang-
kut Angkutan Udara.
Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai ang-
kutan udara juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan interna-
sional.Di dalam tata urutan sumber hukum konvensi-konvensi in-
ternasional dan perjanjian multilateral/bilateral diletakkan di atas
peraturan perundang-undangan nasional. Karena hukum udara
termasuk di dalamnya hokum pengangkutan udara yang lebih ber-
sifat internasional, hukum udara dan hukum pengakutan udara
nasional di setiap negara pada umumnya mendasarkan diri bah-
kan ada yang turunan semata dari konvensi-konvensi internasion-
aldalam bidang angkutan udara tersebut.
Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineter-
nasional, (konvensi-konvensi internasional dalam bidang
angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
1. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929.
Konversi Warsawa ini nama lengkapnya adalah
“Conven- tion for The Unification of The Certain Rules
Relating to Inter- nasional Carriage by Air”, ditandatangani
pada tanggal 12 Ok- tober 1929 di Warsawa dan berlaku di
Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.
Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu per-
tama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter
II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggung-
jawab pengangkut udara.
Konvensi Warsawa penting artinya karena ketentuan-
ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau tanpa
perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi ang-
kutan udara domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan
Indonesia. Dengan demikian, maka setiap perubahan pada
Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama di
Indo- nesia, karena perkembangan dalam hukum udara
perdata in- ternasional akan berpengaruh pula pada hukum
udara perdata nasional di Indonesia. Terutama ketentuan
mengenai besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang
maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku untuk
penerbangan domestik maupun internasional.
2. Konvensi Geneva.
Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International
Recognition of Right in Aircraft”. Dalam Konvensi Geneva In-
donesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hu-
kum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik
“mortage” (dalam hukum Anglo Saxon) maupun “hipotik”
(dalam hu- kum Kontinental) atas pesawat udara dan
peralatannya da- pat diakui secara internasional oleh negara-
negara pesertanya.
3. Konvensi Roma 1952
Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on
Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the
Sur- face”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober
1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma
sebelumnya (tahun 1933).Konvensi Roma tahun 1952 ini
mengatur masalah tang- gung jawab operator pesawat
terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita
kerugian yang ditimbulkan oleh operator pesawat terbang
asing tersebut. Peserta Konven- si Roma tahun 1952 tersebut
pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut
serta di dalamnya.
4. Protokol Hague 1955
Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to
Amend the Convention for the Unification of Certain Rules
Re- lating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw
12 Ok- tober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague
Protocol 1955.
Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal
28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap
Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti
rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan
penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara.
Jumlah peserta Protocol Hague ini sampai dengan tahun
1981 sebanyak 105 negara. Di dalam peserta Protocol Hague
ini negara Indonesia tidak tercatat di dalamnya, tetapi
sebenarnya Indonesia melalui piagam pernyataan Menteri
Luar Negeri RI tanggal 12 Agustus 1960 untuk turut serta
(instrument of ac- cession) sebagai negara peserta kepada
Pemerintah Polandia sebagai Depositary State Protocol
Hague ini melalui Kedutaan Besar Indonesia di Moscow
untuk diteruskan di Polandia.
5. Konvensi Guadalajara 1961
Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 ada-
lah “Convention Supplementary to The Warsaw Convention
for the Unification of Certain Rules Relating to International
Car- riage by Air Performed by a person other than the
Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani
pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlaku sejak
tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara
pesertanya. Konvensi Gua- dalajara 1961 merupakan
suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen tersebut
mengatur masalah tanggung jawab pen- gangkut udara
terhadap pihak-pihak tidak tersangkut dalam mengadakan
perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering
terjadi pengangkut yang sebenarnya bukan- lah pengangkut
yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Hingga dengan
demikian dalam konvensi dikenal adanya isti- lah actual
carrier dan contracting carrier.

Pada pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan


ketentuan Konvensi Warsawa terhadap angkutan udara yang
dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengang-
kut yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Se-
hingga dengan demikian sistem tanggung jawab yang dianut
sama dengan Konvensi Warsawa.
6. Protokol Guatemala
Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal
8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas
beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Proto-
col Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pen-
gangkut terhadap penumpang dan bagasi.
Dalam Protocol Guatemala ini ditentukan :
a. Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan
bagasi digunakan sistem tanggung jawab yang prinsip
“absolute liability dengan prinsip limitation of liability”
dan untuk limit ganti ruginya ditetapkan sebesar
1.500.000,- Gold Franc.
b. Tanggung jawab terhadap muatan digunakan kombinasi
prinsip Presumption of Liability dengan Limitation of Li-
ability.
c. Tanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan kelam-
batan terhadap penumpang, bagasi dan barang diguna-
kan kombinasi prinsip “presumption on non liability den-
gan limitation of liability”.
Dalam Protocol Guatemala ini, Indonesia ikut serta me-
ngirimkan delegasinya tetapi tidak ikut menandatanganinya,
karena delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tang-
gung jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu
tinggi.
38 Hukum Pengangkutan
Indonesia
BAB II
PENGANGKUTAN PERSPEKTIF
HUKUM EKONOMI

A. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengangkutan


Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan
adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban
dalam hubungan hukum pengangkutan. Mengenai siapa saja yang
menjadi pihak-pihak dalam pengangkutan ada beberapa penda-
pat yang dikemukakan para ahli antara lain29; Wihoho Soedjono30
menjelaskan bahwa di dalam pengangkutan di laut terutama men-
genai pengangkutan barang, yang perlu diperhatikan adalah tiga
unsur yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang dan
barangnya itu sendiri.

Menurut H.M.N Purwosutjipto,31 pihak-pihak dalam pen-


gangkutan yaitu pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah
orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengang-
kutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak pengangkut ialah pen-
girim yaitu pihak yang mengikatkan dari untuk membayar uang
angkutan, dimaksudkan juga ia memberikan muatan.

29 Hasim Purba, 2005, Op-cit, hal. 11.


30 Wiwoho Soedjono, 1995, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya.
Pener- bit Cipta, Jakarta, hal. 67.
31 HMN. Purwosutjipto, 2003, Op-cit, hal. 6.
Menurut Abdulkadir Muhammad,32 subjek hukum pengang-
kutan adalah ”pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan
hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara lang-
sung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pen-
gangkutan”. Mereka itu adalah pengangkut, pengirim, penumpang,
penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar,
dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum pengangkutan dapat
berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan
perseorangan.
1. Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengang-
kut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan
jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan pemba-
yaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan. Dalam
perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yak-
ni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa ang-
kutan penumpang dan berhak atas penerimaan pembayaran
tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah ditetapkan.
2. Pengirim (Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia
tidak mengatur definisi pengirim secara umum. Akan
tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan,
pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
membayar pengangkutan barang dan atas dasar itu dia
berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari
pengangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut
consigner, khusus pada pengangkutan perai- ran pengangkut
disebut shipper.

32 Abdulkadir Muhammad, 2007, Op-cit, hal. 46.


3. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pe-
layanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk
membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan.
Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai
dua status, yaitu sebagai subyek karena dia adalah pihak
dalam perjanjian dan sebagai obyek karena dia adalah
muatan yang diangkut.

Kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak dapat mem-


buat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang ber-
laku dalam masyarakat. Berdasarkan kebiasaan, anak-anak
mengadakan perjanjian pengangkutan itu sudah mendapat
restu dari pihak orang tua walinya. Berdasarkan kebiasaan
itu juga pihak pegangkut sudah memaklumi hal tersebut. Jadi
yang bertanggung jawab adalah orang tua atau wali yang me-
wakili anak-anak itu. Hal ini bukan menyimpangi undang-
undang, bahkan sesuai dengan undang-undang dan kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat.
4. Penerima (Consignee)
Pihak penerima barang yakni sama dengan pihak pen-
girim dalam hal pihak pengirim dan penerima adalah
merupa- kan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak
pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima
barang yang diangkut di tempat tujuan.
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pen-
girim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentin-
gan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima
adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam pener-
ima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bu-
kan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai
pihak ketiga yang berkepentingan atas barang kiriman, tetapi
tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan.
Adapun kriteria penerima menurut perjanjian, yaitu :
a. perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari
pengirim barang;
b. dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
c. membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
5. Ekspeditur
Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan ba-
rang, dalam bahasa Inggris disebut cargo forwarder.
Ekspedi- tur digolongkan sebagai subyek hukum
pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang.
Ekspeditur berfungsi sebagai pengantara dalam perjan-
jian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pen-
gusaha transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan
pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendi-
rilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini nam-
pak sekali dalam perincian tentang besarnya biaya angkutan
yang ditetapkan. Seorang ekspeditur memperhitungkan atas
biaya muatan (vrachtloon) dari pihak pengangkut jumlah bi-
aya dan provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang
tidak dilakukan oleh pengusaha transport. Berdasarkan uraian
di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan
undang-undang, yaitu:

42 Hukum Pengangkutan
Indonesia
a. perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
b. bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
c. menerima provisi dari pengirim.
6. Agen Perjalanan (Travel Agent)
Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjan-
jian pengangkutan penumpang. Agen perjalanan digolong-
kan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusa-
haan pengangkutan penumpang.
Agen perjalanan berfungsi sebagai agen (wakil) dalam
perjanjian keagenan (agency agreement) yang bertindak
untuk dan atas nama pengangkut. Agen perjalanan adalah
perusa- haan yang kegiatan usahanya mencarikan penumpang
bagi perusahaan pengangkutan kereta api, kendaraan umum,
ka- pal, atau pesawat udara.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria


agen perjalanan menurut undang-undang, yaitu :
a. pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
b. bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
c. menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
d. menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan sela-
mat.
7. Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)
Untuk mendukung kelancaran kegiatan angkutan barang
dari dan ke suatu pelabuhan, maka kegiatan bongkar muat
barang dari dan ke kapal mempunyai kedudukan yang pent-
ing. Di samping itu keselamatan dan keamanan barang yang
dibongkar muat dari dan ke pelabuhan sangat erat kaitannya
dengan kegiatan bongkar muat tersebut.
8. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah No-
mor 2 Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusa-
haan yang bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan barang
di dalam gudang pelabuhan selama barang yang
bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau
penunggu pemua- tan ke dalam kapal atau menunggu
pengeluarannya dari gu- dang pelabuhan yang berada di
bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Perdagangan Re-


publik Indonesia Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang
Penataan dan Pembinaan Gudang dinyatakan bahwa :
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan warga Ne-
gara Republik Indonesia atau badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan didalam wilayah hukum Negara Kesatuan Re-
publik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang
pergudangan.

Sedangkan pemilik gudang adalah perorangan atau


badan usaha yang memiliki gudang baik yang dikelola
sendiri mau- pun disewakan.
B. Obyek Hukum Pengangkutan
Yang diartikan dengan ”obyek” adalah segala sasaran yang di-
gunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya
meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan.
Jadi obyek hukum pegangkutan adalah barang muatan, alat pen-
gangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan
hukum pengangkutan niaga, yaitu terpenuhinya kewajiban dan
hak pihak- pihak secara benar, adil, dan bermanfaat.33
1. Barang Muatan (Cargo)
Barang muatan yang dimaksud adalah barang yang
sah dan dilindungi oleh undang-undang. Dalam pengertian
ba- rang yang sah termasuk juga hewan. Secara fisik
barang mua- tan dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu :
a. barang berbahaya (bahan-bahan peledak);
b. barang tidak berbahaya;
c. barang cair (minuman);
d. barang berharga;
e. barang curah (beras, semen,minyak mentah); dan
f. barang khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi
tiga golongan, yaitu :
a. barang padat
b. barang cair
c. barang gas

33 Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 61.
d. barang rongga (barang-barang elektronik)
Dari jenisnya, barang muatan dapat dibedakan menjadi 3
golongan, yaitu :
a. general cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan
cara membungkus dan mengepaknya dalam bentuk unit-
unit kecil.
b. bulk cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara
mencurahkannya ke dalam kapal atau tanki.
c. homogeneous cargo, adalah barang dalam jumlah besar
yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepakn-
ya.
2. Alat pengangkut (Carrier)
Pengangkut adalah pengusaha yang menjalankan peru-
sahaan pengangkutan, memiliki alat pengangkut sendiri, atau
menggunakan alat pengangkut milik orang lain dengan per-
janjian sewa. Alat pengangkut di atas atas rel disebut kereta
api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkut di darat
disebut kendaraan bermotor yang dijalankan oleh supir. Alat
pengang- kut di perairan disebut kapal yang dijalankan oleh
nahkoda. Sedangkan alat pengangkut di udara disebut
pesawat udara yang dijalankan oleh pilot. Masinis, supir,
nahkoda, dan pilot bukan pengangkut, melainkan karyawan
perusahaan pen- gangkutan berdasarkan perjanjian kerja yang
bertindak untuk kepentingan dan atas nama pengangkut.
3. Biaya pengangkutan (Charge/Expense)
Pemerintah menerapkan tarif yang berorientasi kepada
kepentingan dan kemampuan masyarakat luas. Dengan ber-
pedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut, perusa-
haan umum, kereta api, perusahaan angkutan umum, perusa-
haan laut niaga, dan perusahaan udara niaga menetapkan tarif
berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha
badan penyelenggara dalam rangka meningkatkan mutu pe-
layanan serta perluasan jaringan angkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cost of services atau
ongkos menghasilkan jasa yaitu:34
a. jarak yang harus ditempuh dari tempat asal ke tempat
tu- juannya;
b. volume dan berat daripada muatan barang yang diangkut;
c. resiko dan bahaya dalam pengangkutan, berhubung ka-
rena sifat barang yang diangkut, sehingga diperlukan
alat- alat service yang spesial; dan
d. ongkos-onkos khusus yang harus dikeluarkan berhubung
karena berat dan ukuran barang yang diangkut yang
”luar biasa” sifatnya.
Biaya pengangkutan dan biaya yang bersangkutan oleh
undang-undang, yaitu dalam Pasal 1139 sub 7 bsd. Pasal
1147 KUH Perdata dimasukkan dalam hak istimewa
(privilege) atas barang-barang tertentu, yaitu atas pendapatan
dari barang-ba- rang yang diangkut. Hak istimewa bersifat
perikatan (obliga- tor) terbawa karena sifatnya hutang. Hak
istimewa menurut Pasal 1134 ayat 1 KUH Perdata adalah
suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada
seorang berpiutang sehing- ga tingkatnya lebih tinggi
daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan
sifat piutangnya.

34 Tri Margono, Aspek-Aspek Biaya dalam Jasa Informasi, Jurnal Akuntansi & Keuangan

Hukum Pengangkutan 47
Indonesia
Vol. 2, No. 2, Nopember 2000: 95 – 103.

48 Hukum Pengangkutan
Indonesia
C. Pengangkutan dalam Perspektif Ekonomi
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pengangkutan pada
pokoknya berisikan perpindahan tempat, baik mengenai benda-
benda, maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu
mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat ser-
ta efisiensi. Dengan pesat kemajuannya diperluaslah
pengangkutan benda-benda atau orang-orang itu, tidak saja di
darat, melainkan juga menyeberang di samudra dan di udara.

Pemerintah pada umumnya memandang bahwa bidang trans-


portasi adalah sangat vital untuk kepentingan negara baik dari
sudut perekonomian maupun dari sudut-sudut sosial, politik,
pemerintahan, pertahanan-keamanan dan sebagainya. Karena itu
pemerintah berpendapat bahwa bidang transportasi ini perlu men-
dapat perhatian dan bantuan, bahkan sering kali pula berpandan-
gan bahwa bagian-bagian yang terpenting di bidang transportasi
perlu diusahakan oleh pemerintah. Pada waktu yang telah dise-
lenggarakan oleh pemerintah kita melalui badan usaha mlik
negara adalah pengangkutan kereta api, pengangkutan udara,
pelayaran antar pulau di samping bidang-bidang komunikasi
lainnya.

Ada banyak pula usaha di bidang transportasi yang dimiliki,


diselenggarakan, dan diusahakan oleh pihak swasta. Seperti dike-
tahui, tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia den-
gan menciptakan manfaat. Pengangkutan adalah satu jenis keg-
iatan yang menyangkut peningkatan kebutuhan manusia dengan
mengubah letak geografi orang maupun barang. Dengan angkutan
bahan baku dibawa menuju tempat produksi dan dengan angkutan
jugalah hasil produksi dibawa ke pasar. Selain itu, dengan
angkutan pula para konsumen datang ke pasar atau tempat
pelayanan kebu-
tuhannya seperti ke pasar, rumah sakit, pusat rekreasi, dan lain-
lain.
Ada tiga faktor ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki
dan mengusahakan sendiri upaya transportasi ini, yaitu : 35
1. kurangnya kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, se-
hingga tidak mampu bergerak di bidang usaha pengang-
kutan tertentu.
2. adanya pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh
pihak swasta yang secara ekonomis menguntungkan se-
hingga akan menuju kepada kapasitas yang berlebihan di
daerah tertentu.
3. karena kepemilikan secara swasta menyebabkan
terpecah dan tersebarnya penyediaan jasa angkutan
secara tidak terkoordinir sehingga tidak terdapat efisiensi
dan keter- paduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan jasa pen-
gangkutan adalah sangat erat sekali dan saling tergantung satu
sama lainnya. Oleh karena itu untuk membangun perekonomian
sendiri perlu didukung dengan perbaikan dalam bidang
transportasi atau pengangkutan. Perbaikan dalam transportasi ini
pada umumnya berarti akan dapat menghasilkan terciptanya
penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapatnya
pengangkutan barang- barang dengan kecepatan lebih besar dan
perbaikan dalam kualitas atau sifat daripada jasa-jasa
pengangkutan tersebut sendiri.

Dalam proses pertumbuhan ekonomi,kebutuhan pengangku-


tan terus meningkat, yang secara umum dapat dilihat dari tiga fak-
tor yaitu:36
35 http://abdulhakimkusumanegara.blogspot.com/2015/05/ruang-lingkup-pengangkutan-pada-umumn-
ya.html, Diakses Tanggal 7 Maret 2019, Pukul 22.34 WIB.
Hukum Pengangkutan 49
Indonesia
36 Ibid.

50 Hukum Pengangkutan
Indonesia
1. Bila terjadi peningkatan produksi, maka semakin besar-
lah volume bahan yang diangkut untuk memenuhi bahan
baku produksi dan semakin besar pula hasil produksi di-
angkut ke konsumen;
2. Peningkatan volume mungkin sekali mengandung arti
perluasan wilayah sumber bahan baku dan wilayah pe-
masaran;
3. Peningkatan jumlah barang yang dijual akan melipat-
gandakan pertumbuhan kekhususan, dan peningkatan
pendapatan akan menambah keragaman barang yang di-
minta. Dengan kata lain, peningkatan kegiatan ekonomi
mengikutsertakan peningkatan mobilitas. Di pihak lain,
pendapatan nasional bergantung pada kemampuan pen-
gangkutan yang memadai, dan peningkatan kegiatan
ekonomi membutuhkan sarana gerak atau angkutan.
Pada awalnya infrastrukur seperti transportasi berperan
dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Berbagai aktifitas
terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar memerlukan
ketersediaan infrastruktur yang baik, sekarang transportasi
berperan penting dalam mengoakomodasi aktifitas sosial dan
ekonomi masyarakat.
Peran lain pada tahap ini adalah sebagai fasilitas bagi sistem
produksi dan investasi sehingga memberikan dampak positif pada
kondisi ekonomi baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi dapat
mem- buka aksesibilitas sehingga meningkatkan produksi
masyarakat yang berujung pada peningkatan daya beli
masyarakat.
Penanggulangan kemiskinan membutuhkan pertumbuhan
ekonomi yang cukup, dengan mengupayakan kombinasi yang
optimum antara pertumbuhan ekonomi dengan upah minimum
pekerja. Penanggulangan kemiskinan memerlukan penguatan
koordinasi dalam pelaksanaan program – programnya yang dide-
sain melalui partisipasi aktif masyarakat serta pembedayaan lang-
sung.

D. Aspek-Aspek yang Terkait dengan Pengangkutan


1. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan.
Dapat berupa badan usaha seperti perusahaan
pengangkutan atau dapat, berupa manusia pribadi, seperti
buruh pen- gangkutan di pelabuhan.
2. Alat pengangkutan, alat yang digunakan untuk pengang-
kutan/alat ini digerakkan secara mekanik dan memenuhi
syarat undang-undang/seperti kendaraan bermotor, kapal
laut/dan darat.
3. Barang/Penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang
perdagangan yang sah menurut undang-undang. Dalam
pengertian barang termasuk juga hewan.
4. Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau pe-
numpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di
tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan,
dan nilai barang atau penumpang
6. Tujuan pengangkutan, yaitu sampai ditempat tujuan yang
ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.

E. Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian itu menimbulkan perikatan diantara dua orang
yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Mengenai definisi atau pengertian perikatan, tidak ada keten-
tuannya dalam buku III KUH Perdata. Menurut Ilmu Pengetahuan
Hukum, perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua
orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan, di-
mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya
wajib memenuhi prestasi itu.
Perikatan menurut J. Satrio adalah hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, dimana pihak yang
satu ada hak dan pihak yang lain ada kewajiban. 37
Saat terjadinya perjanjian antara para pihak, ada beberapa
teo- ri yaitu :38
1. Teori kehendak (wilstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat
kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan
menuliskan surat.
2. Teori pengiriman (verzentheorie)
Bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang
dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima pena-
waran.
3. Teori Pengetahuan(Vernemingtlieone)
Bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah
mengetahui bahwa tawarannya diterima.

37 J Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 (cetakan pertama), 2001 (cetakan kedua), hal.
45.
38 Glenn Biondi, Analisis Yuridis Keabsahan Kesepakatan Melalui Surat Elektronik (E-Mail)
Berdasarkan Hukum Indonesia, Jurnal Hukum dalam https://media.neliti.com/media/
52 Hukum Pengangkutan
Indonesia
publications/164959-ID-none.pdf

Hukum Pengangkutan 53
Indonesia
4. Teori Kepercayaan (vertrournenttheorie)
Bahwa kesepakat itu terjadi pada saat pernyataan
ke- hendak dianggap layak diterima oleh pihak yang
mena- warkan.

F. Definisi Perjanjian Pengangkutan


1. Sri Rejeki Hartono
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana
satu pjhak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang
atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang
lain menyanggupi akan membayar ongkos.39
2. Abdul Kadir Muhammad ‘
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan
mana pengangkut menyediakan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan atau atau penumpang dari satu tem-
pat ketempat tujuan dengan sejamat, dan pengirim atau pe-
numpang mengikatkan diriuntuk membayar biaya pengang-
kutan.40

G. Asas-Asas Perjanjian Pengangkutan41


1. Asas konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengang-
kutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan ke-
hendak antara pihak-pihak

39 Sri Redjeki Hartono, 1999. Op-cit, hal. 89.


40 Abdulkadir Muhammad, 1998. Op-cit, hal. 3.
41 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Pengangkutan Darat, Laut Dan Udara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 23.
2. Asas koodinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara
pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanji-
an pengangkutan merupakan “pelayanan jasa”, asas subordi-
nasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuhan
tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.
3. Asas Campuran
Perjanjian Pengangkutan merupakan campuran dari tiga
jenis perjanjian yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada
pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada pen-
gangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan. Dengan
demikian, ketentuan dari 3 jenis perjanjian itu berlaku jika
dalam perjanjian Pengangkutan, kecuali jika perjanjian pen-
gangkutan mengatur lain.
4. Asas tidak ada hak retensi
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan
tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi itu bertentangan
dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.
Mengenai cara terjadinya perjanjian pengangkutan menunjuk
pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan
yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang
secara tiinbal balik. Serangkaian perbutan semacam ini tidak ada
pengaturannya dalam undang-undang melainkan ada dalam kebi-
asaan yang hidup dalam praktek pengangkutan.

Kebiasaan yang dimaksud adalah apabila dalam undang-un-


dang tidak diatur mengenai kewajiban dan hak yang dikehendaki
pihak-pihak maka pihak-pihak mengikuti kebiasaan yang telah

54 Hukum Pengangkutan
Indonesia
berlaku dalam praktek pengangkutan.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, kebiasaan yang hidup
dalam praktik pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hu-
kum keperdataan yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang me-
menuhi ciri-ciri:42
a. Tidak tertuIis yang hidup dalam praktik pengangkutan;
b. Berisi kewajjban bagaimana seharusnya pihak-pihak ber-
buat;
c. Tidak bertentangan dengan UU atau kepatutan;
d. Diterima oleh pihak2 karena adil dan masuk akal/logis;
e. menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki pihak-
pihak.

H. Cara Terjadinya Perjanjian Pengangkutan


1. Penawaran dari Pihak Pengangkut.
Cara tejadinya perjanjian pengangkutan dapat secara
langsung dari pihak-pihak, atau tidak langsung dengan meng-
gunakan jasa perantara (ekspedisi, biro perjalanan). Apabila
pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara lang-
sung, maka penawaran pihak pengangkutan dilakukan
dengan menghubungi langsung pihak pengirim atau
penumpang, atau melalui media masa.ini berarti pengangkut
mencari sendiri muatan atau penumpang untuk diangkut. Jika
penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui media masa,
pengangkut hanya menunggu permintaan dari pengirim atau
penumpang.
42 Ibid, hal. 45.
2. Penawaran dari Pihak Pengirim, Penumpang
Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan
secara langsung, maka penawaran pihak pengirim atau pe-
numpang diiakukan dengan menghubungi langsung pihak
pengangkut.Ini berarti pengirim atau penumpang mencari
sendiri pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah pengirim
atau penumpang mendengar atau membaca pengumuman
dari pengangkut. Jika penawaran melalui perantara
(ekspedisi, biro perjalanan), maka perantara, menghubungi
pengangkut atas nama pengirim atau penumpang, pengirim
menyerah- kan barang pada perantara (ekspeditur) untuk
diangkut. Pe- numpang pada biro perjalanan yang
menyiapkan pemberang-
katannya.

I. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan


Untuk mengetahui berakhirnya perjanjian pengangkutan per-
lu dibedakan dua keadaan yaitu:43
1. Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat
penyerahan dan pembayaran biaya pengangkuan ditempat tu-
juan yang disepakati, siapa yang bertanggung jawab dan be-
rapa besarnya.
2. Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah
pemberesan ke- wajiban membayar ganti kerugian.
43 Ibid, hal. 78.
J. Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan
Menurut perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak,
yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi, tidak seperti dalam
perjanjian perburuhan, dimana para pihak tidak sama tinggi
yakni, majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari si buruh.
Kedudukan tersebut disebut Sub-ordinasi (gesubordineerd), se-
dangkan dalam perjanjian pengangkutan adalah kedudukan sama
tinggi atau koordinasi (Geeoordineerd).

Pasal 1601 KUH Perdata menentukan, selain persetujuan-


persetujuan untuk melakukaan sementara jasa-jasa yang diatur
oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-
syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada oleh kebiasaan,
maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak
yang lainnya dengan menerima persetujuan perburuhan dan pem-
borongan pekerjaan.

Berdasarkan hal di atas, ada beberapa pendapat mengenai


sifat hukum perjanjian pengangkutan, yaitu :44
1. Pelayanan Berkala
Dalam melaksanakan perjanjian itu, hubungan kerja
antara pengirim dengan pengangkut tidak terus-menerus,
tetapi hanya kadangkala, kalau pengirim membutuhkan pen-
gangkutan untuk pengiriman barang. Hubungan semacam ini
disebut pelayanan berkala, sebab pelayanan itu tidak bersi-
fat tetap, hanya kadangkala saja, bila pengirim membutuhkan
pengangkutan

44 http://soegeng-poernomo.blogspot.com/2015/05/perjanjian-pengangkutan.html, Diakses Tanggal 7


Maret 2019, Pukul 23.01 WIB.
2. Pemborongan
Seperti yang ditentukan dalam Pasal 1601 (b) KUH Per-
data yang menentukan, pemborongan pekerjaan adalah per-
setujuan, dengan mana pihak yang satu si pemborong, mengi-
katkan diri untuk menyelenggarakan suatu persetujuan bagi
pihak yang lain, dengan menerima suatu harga yang ditentu-
kan.
3. Campuran
Pada pengangkutan ada unsur melakuka pekerjaan (pe-
layanan berkala) dan unsur penyimpanan, karena pengangkut
berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan dan
menyimpan barang-barang yang diserahkan kepadanya untuk
diangkut (Pasal 466, 468 ayat (1) KUHD).
Menurut Purwosutjipto setuju apabila perjanjian pen-
gangkutan itu, merupakan perjanjian campuran, karena men-
gandung unsur:45
1. Pelayanan berkala (Pasal 1601 (b) KUH Perdata)
Karena pasal ini adalah satu-satunya pasal yang
khu- sus mengenai pelayanan berkala, yang berarti tidak
ada pasal lain yang ada pada pada perjanjian
pengangkutan.
2. Penyimpanan
Terbukti adanya ketetapan dalam Pasal 468 ayat (1)
KUHD dan Pasal 346 KUHD. Pasa 346 KUHD menen-
tukan, Nakhoda diwajibkan merawat barang-barang se-
orang penumpang yang meninggal selama perjalanan,
yang berada di kapal dan dari barang-barang itu harus

58 Hukum Pengangkutan
Indonesia
45 H.M.N Purwosutjipto,2003,Op-cit. hal. 60.

Hukum Pengangkutan 59
Indonesia
dibuatnya atau disuruh membuatnya suatu daftar
perin- cian dihadapan dua orang penumpang, daftar
mana harus ditandatangani oleh dua orang penumpang
oleh dua orang penumpang itu
3. Pemberian kuasa
Terbukti dengan adanya ketetapan dalam Pasal 371
ayat (1) dan(3) KUHD. Pasa 371 ayat (1) KUHD menen-
tukan, nakhoda diwajibkan selama perjalanan menjaga
kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan
yang diperlukan untuk itu dan jika perlu untuk itu meng-
hadap di muka Hakim. jika terjadi peristiwa sedangkan
Pasal 371 ayat (3) menentukan, “dalam keadaan yang
mendesak ia diperbolehkan menjual barang muatan
atau sebagian dari itu, atau guna membiayai pengeluran-
pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan
mua- tan tersebut, meminjam uang dengan
mempertaruh-
kan muatan itu sebagai jaminan”.

K. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pengangkutan


1. Tanggung Jawab Pengangkut
Saefullah Wirapradja berpendapat bahwa, setidak-
tidaknya ada 3 prinsip tanggung jawab pengangkut dalam
perjanjian pengangkutan :46
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault li-
ability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang mel-
akukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan
46 E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, hal. 19.
harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas
kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak
yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan
pengangkut itu (Lihat Pasal 1365 BW).
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (pre-
sumtion liability)
Pengangkut (diangga selalu bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diseleng-
garakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan
bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewa-
jiban membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan
tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah
mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari
kerugian atau atau peristiwa yang menimbulkan kerugian
itu beban pembuktian ada pada pengangkut, bukan pada
pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup men-
unjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengang-
kutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Itabilily)
Pengangkut harus bertanggung jawab nnembayar
ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul
dari pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharu-
san pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.
Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari
tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbul-
kan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pem-
buktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada
atau tidak.

60 Hukum Pengangkutan
Indonesia
2. Tanggung jawab pengirim
Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh si pengirim
barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang di-
alamatkan. Bagaimanapun juga, si pengangkut selalu berhak
menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada ked-
ua-duanya, yaitu kepada si pengirim atau si penerima barang.
Dengan adanya tanggung jawab dari pengirim yaitu
membayar uang angkutan, maka hal tersebut merupakan
pembatasan dan pengurangan tanggungjawab pengangkut.
Se- hingga undang-undang memperkenankan kepada
pengang- kut untuk membuktikan bahwa kurangnya
kesempurnaan pr- estasi (barang-barang berkurang pada
saat penyerahan) atau prestasinya yang tidak wajar atau
tidak sesuai dengan keten- tuan-ketentuan waktu
penyelesaian pengangkutan (barang ternyata rusak atau
bercacat yang terlihat dari luar, terlambat sampainya
ditempat tujuan, atau sama sekali tidak, tak dapat
dipergunakan sama sekali) semuanya itu disebabkan :
a. Cacat yang lekat pada barang atau barang-barangnya
sendiri
Pembawaan dari barang-barang tertentu yang me-
nyebabkan kerusakan pada benda atau ini jadi terbakar
dalam perjaianan.
b. Kesalahan dan/atau kelalaian sendiri pada pen-
girim/ekspeditur.
Misalnya seperti peti-peti berisikan benda-benda
pengiriman yang ternyata kurang kokoh/atau peti-peti
yang ternyata kurang rapat dan mudah dimasuki air dan
sebagainya..
c. Keadaan Memaksa (Overmacht)
Terdapat dalam Pasal 91, 92 KUHD dan 1245 KUH
Perdata Pasal 92 KUHD menentukan, pengangkut atau
juragan perahu tak bertanggung jawab atas terlambatnya
pengangkutan, jika hal ini disebabkan karena keadaan
yang memaksa.
Pasal 1245 KUH Perdata menentukan, tidaklah
biaya rugi dan bungan harus digantinya, apabila lantaran
kead- aan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak
disengaja si berhutang beralangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal
yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
BAB III
PENGANGKUTAN TRANSPORTASI
LAUT

A. Pihak-Pihak Pengangkutan Laut47

1. Ekspeditur
Yaitu orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain un-
tuk menyelenggarakan dagangan dan barang-barang lainnya
melalui daratan atau pengairan. Hal ini diatur dalam KUHD
Buku I, Bab V, Bagian Pasal 85 – 90, Perjanjian Ekspedisi
adalah perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pen-
girim. Perjanjian Pengangkutan: perjanjian antara ekspedi-
tur atas nama pengirim dengan pengangkut. Jadi ekspeditur
menurut Undang-undang (Pasal 86 ayat (1) KUHD), hanya
seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi
pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang
telah diserahkan kepadanya.

2. Pengusaha Transportasi
Orang yang bersedia menyelenggarakan seluruh pen-
gangkutan dengan satu jumlah uang angkutan yang ditetap-
kan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk
melakukan pengangkutan itu sendiri.Jadi apabila dibedakan
dengan Pengangkut (Pasal 466 KUHD), orang yang mengi-
47 http://nugrahaningtyasputriutami.blogspot.com/2015/04/resume-buku-ajaran-hukum-pengangkutan .
html. Diakses tanggal 7 Maret 2019, Pukul 23.38 WIB.
katkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedang-
kan Ekspeditur (Pasal 86 KUHD) adalah orang yang bersedia
mencarikan pengangkut bagi pengirim.

3. Makelar Kapal
Yaitu perantara di bidang jual beli kapal atau carter men-
carter kapal. Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal
bertindak atas nama pengusaha kapal, Makelar kapal mengu-
sahakan seIanjutnya agar kapal dimuati, dibongkar dan dis-
erahkan kembali kepada pengusaha kapal. Menurut Purwo-
sutjipto48, makelar tidak berwenang mengurus ganti kerugian,
sebab dia bukan pihak dalam perjanjian carter kapal, paling
banter dia dapat menjadi saksi.

4. Agen Duane
Yaitu perantara perkapalan/ yang dulu tugasnya mengu-
sahakan sebuah kapal masuk dalam rombongan kapal/konvoi
tertentu. Sekarang tugasnya adalah mengusahakan dokumen
kapal, menyelesaikan dan membayar bea-cukai dan lain-lain
pekerjaan kepelabuhan.

5. Pengatur Muatan atau Juni Padat


Yaitu orang yang tugasnya menetapkan tempat dimana
suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal. Untuk
mengatur barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas
itu dibutuhkan ahli yang pandai menempatkan barang-barang
sesuai dengan sifatnya, jangan sampai mudah bergerak kalau
kapal kebetulan oleng, miring, dan lain-lain.

48 Purwosutjipto, HMN. 2003, Op-cit, hal. 167.


6. Per-Veem-an
Menurut Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969, Per-veeman, ada-
lah usaha yang ditujukan pada penampungan dan penum-
pukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan
mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana
dikerjakan dan disiapkan barang-barang yang diterima dari
kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diser-
ahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang
meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan, pengepakan,
pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran,
penandaan, dan lain-lain. Pekerjaan yang bersifat teknis
ekon- omis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.

B. Jenis Bencana pada Pengangkutan Laut


Jenis bencana yang sering terjadi pada pengangkutan laut pada
dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian:49
1. Bencana alam
Hal ini antara lain karena badai, gelombang, angin,
kabut, kapal kandas, pulau karang, gunung es, kilat, tabrakan
kapal.
2. Perbuatan manusia
a. Awak kapal dengan sengaja memusnahkan atau, mem-
buang ke laut sebagian dari muatan untuk mengurangi
muatan kapal dalam keadaan bahaya yang lazimnya
dike- nal dengan istilah “Jettison”.
b. Perbuatan tercela dari awak kapal dengan merusakkan
kapal maupun muatan, sewenang-wenang dalam menge-
mudikan kapal, sengaja menimbulkan kebakaran serta

Hukum Pengangkutan 65
Indonesia
49 Ibid.

66 Hukum Pengangkutan
Indonesia
perbuatan lainnya yang tercela dan melanggar hukum
yang akan merugikan pemilik kapal maupun pemilik
muatan yang lazim disebut “Barratry”.
c. Penyimpangan tujuan pelayaran tanpa sebab yang me-
maksa, yang dapat merugikan dan merusak muatan, mis-
alnya karena menjadi lebih lama dalam perjalanan,
mutan seperti buah-buahan menjadi membusuk dan
binatang ternak yang diangkut lebih banyak mati, lazim
disebut “Deviation”.
d. Bencana yang ditimbulkan oleh pihak ketiga, misalnya
bajak laut, penyamun, pencuri, pencoleng, perampok,
pemberontakan, perampasan, penawanan, pemogokan,
kerusuhan, dan lain-lain. termasuk dalam hal ini kerusa-
kan yang disebabkan oleh tikus, kutu, binatang
penggerek dan hama lainnya.
e. Bencana yang ditimbulkan oleh pemilik barang sendiri,
antara lain kelalaian pemilik dalam menyelenggarakan
pengepakan yang tidak layakk laut (“unseaworthy pack-
ing”), ataupun karena perbuatan lain yang sengaja
dilaku- kan dengan itikad buruk.
3. Sifat-sifat dari muatan sendiri. Lazimnya dikenal dengan is-
tilah “inherent vice”. Pada umumnya barang yang diangkut
melalui laut akan selalu mengalami kerusakan kecil maupun
penyusutan bagaimanapun baiknya pengepakan. Misalnya
buah, sayur dan pada binatang, serta barang besi akan sedikit
berkarat karena oksidasi ataupun udara laut yang yang men-
gandung garam.
C. Jenis Kerusakan Atau Kerugian dalam
Pengangkutan Laut
Dalam proses pengangkutan setiap saat kapal beserta isinya
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan adanya bahaya
yang akhirnya dapat menimbulkan kerugian baik kerugian pada
kapal maupun barang. Kerugian yang timbul selama
pengangkutan di laut lazim disebut kerugian laut atau ”averij”
atau ”average”.50
Pasal 696 KUHD menentukan tentang averij ini. Pasal ini
me- nentukan segala biaya luar biasa yang dikeluarkan guna
kepentin- gan sebuah kapal dan barang-barang yang dimuatnya,
baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri,
segala keru- gian yang menimpa kapal dan barang-barang
tersebut, selama waktu yang di dalam bagian ketiga dari bab
kesembilan ditetapkan mengenai saat mulai berlakunya dan
berakhirnya bahaya, segala sesuatu tadi harus dianggap sebagai
kerugian laut (avary).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa kerugian laut adalah


segala biaya luar biasa yang dikeluarkan untuk kepentingan kapal
dan barang serta segala kerugian yang menerima kapal dan
barang tersebut, baik untuk kepentingan bersama atau sendiri-
sendiri.
Berdasarkan macam-macam kerugian tadi undang-undang
merumuskan menjadi 2 macam kerugian lautyaitu:
1. Kerugian laut umum (avarij grosse) yaitu : yang
meliputi kapal, barang dan biaya pengangkutan secara
bersama- sama.
2. Kerugian laut khusus (bijzonder avarij), yang meliputi
ka- pal saja atau barang saja.
50 Adnandaka Nurvigya, Alfian Nanung Pradanadan Rizki Nur Annisa, Menelaah Waktu
Terjadinya Resiko( Kehilangan / Kerusakan Barang ) dalam Praktik Proses
Pengangkutan Laut, Jurnal Gema,Thn XXVII/50/Pebruari -Juli 2015.
Perbedaan keduanya akan tampak apabila membandingkan
Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701 KUHD. Dari kedua pasal
terse- but dapat dilihat adanya perbedaan antara avarij umum dan
khu- sus, yaitu:
1. Dalam avarij umum: kerugian tersebut sengaja ditimbul-
kan untuk menyelamatkan kapal dan barang. Sedangkan
avarij khusus: kerugian tersebut diderita untuk keperluan
kapal saja atau barang saja.
2. Dalam avarij umum: terdapat kepentingan bersama, se-
dang avarij khusus tidak terdapat hal demikian.
3. Dalam avarij umum: kerugian atas kapal, barang dan bi-
aya pengangkutan dipikul secara bersama-sama, sedan-
gkan averij khusus: kerugian dipikul sendiri-sendiri atas
kapal saja atau barangsaja.

D. Kajian Hukum Dagang Tentang Pengangkutan Laut


Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun
melaksanakan, kebanyakan kalinya diserahkan kepada orang lain,
yang ahli di bidang yang bersangkutan. Begitulah misalnya pada
waktu menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian carter ka-
pal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur, sedangkan
bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor).
Convooiloper atau agen duane (fungsi ini sekarang dikerjakan
oleh EMKL51). Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru-padat
mengusahakan ten- tang pemuatan dan pembongkaran. Fungsi-
fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau dua perusahaan,
misalnya, ada perusahaan EMKL yang berfungsi sebagai

ekspeditur, makelar kapal dan agen


51 Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) adalah salah satu perusahaan di bidang logistik
yang memiliki ijin legalitas dari pemerintah untuk melakukan layanan pengiriman
barang besar dan berat menggunakan kapal laut, atau yang biasa disebut dengan cargo
laut.
duane atau convooiloper, sedang perusahaan lain berfungsi sebagai
pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.
1. Siapa Ekspeditur Itu
Bila ada seorang perantara yang bersedia untuk mencari-
kan pengangkut yang baik bagi seorang pengirim itu
namanya “ekspeditur.” Mengenai ekspeditur ini diatur dalam
KUHD, Buku I, Bab V, Bagian II, pasal 86 sampai dengan
90. Pasal 86 ayat (1) KUHD berbunyi: (Ekspeditur adalah
orang, yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan
dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan). Di
sini jelas, bahwa ekspeditur menurut undang-undang hanya
seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi
pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang
telah diserahkan kepadanya itu.

Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim


disebut perjanjian ekspedisi, sedangkan perjanjian antara ek-
speditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut per-
janjian pengangkutan.
Kecuali pasal 86 sampai dengan 90 KUHD Juga pasal 95
KUHD, mengenai persoalan daluwarsa bagi gugatan terhadap
ekspeditur dan lain-lain berlaku bagi ekspeditur. Daluwarsa
bagi gugatan terhadap ekspeditur hanya satu tahun bagi pen-
giriman-pengiriman dalam wilayah Indonesia dan dua tahun
terhadap pengiriman dari Indonesia ke luar negeri.
Di antara para perantara pengangkutan, hanya ekspeditur
sajalah yang mendapat pengaturannya dalam undang-undang.
Bagi ekspeditur berlakulah pasal 86 sampai dengan 90
KUHD.
Di samping itu berlaku juga pasal 95 KUHD tentang
daluwar- sa gugatan hukum terhadap ekspeditur. Peraturan
ini semua adalah peraturan pelengkap dan berlaku juga bagi
ekspeditur yang tidak tetap, yaitu ekspeditur insidentil.
2. Sifat Hukum Perjanjian Ekspedisi
Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik
antara ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspeditur
mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik
bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri
untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian
ekspedisi ini mempun- yai sifat hukum rangkap, yaitu
“pelayanan berkala” (pasal 1601 KUH Perdata dan
“pemberian kuasa” (pasal l792 dsl KUH Per- data. Sifat
hukum “pelayanan berkala” ada, karena hubungan hukum
antara ekspeditur dan si pengirim tidak tetap, hanya kadang
kala saja, yakni bila si pengirim membutuhkan seorang
pengangkut untuk mengirim barangnya. Sifat hukum
“pembe- rian kuasa” ini ada karena si pengirim telah
memberikan kuasa kepada si ekspeditur untuk , mencarikan
seorang pengangkut yang baik baginya. Kedudukan kedua
belah pihak dalam per- janjian ekspedisi ini sama tinggi,
yakni kedudukan yang koor- dinatif (geoordmeerd), dari itu
kontra prestasi yang diberikan kepada ekspeditur bukan upah
atau gaji, tetapi provisi.

Sifat hukum perjanjian ekspedisi “pemberian kuasa” ini


jelas ada, bila si-ekspeditur mengadakan perjanjian pengang-
kutan dengan pengangkut atas nama pengirim, tetapi kalau
ekspeditur menutup perjanjiap pengangkutan itu atas nama
sendiri untuk tanggungan pengirim, maka perjanjian
ekspedisi itu mempunyai sifat «hubungan komisi» (pasal 76
KUHD). Kemungkinan juga ada, bahwa ekspeditur harus
menyimpan
barang-barang yang diserahkan oleh pengirim itu lebih dulu
dalam gudang ekspeditur, maka sifat perjanjian ekspeditur itu
bertambah dengan unsur «penyimpanan» (bewaargeving).
Mungkin pula perjanjian ekspeditur itu mempunyai un-
sur “penyelenggaraan urusan” (zaakwaarneming), bila eks-
peditur untuk barang-barang itu harus berhadapan dengan
pihak ketiga atas nama pengirim (Pasal l354 KUH Perdata).
3. Tugas Ekspeditur
Dalam merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang di-
lakukan dalam pasal 86 ayat (1) KUHD, pembentuk undang-
undang memakai istilah “doen vervoeren” (menyuruh men-
gangkut). Jadi, menurut pembentuk undang-undang tugas
ekspeditur adalah terpisah dengan tugas pengangkut. Tugas
ekspeditur hanya mencarikan pengangkut yang baik bagi si
pengirim, dan tidak menyelenggarakan pengangkutan itu
sendiri. Sedang menyelenggarakan pengangkutan adalah tu-
gas pengangkut.

Dalam usaha mencarikan pengangkut yang baik dan


cocok dengan barang yang akan diangkut, biasanya ekspedi-
tur bertindak atas nama sendiri, walaupun untuk kepentingan
dan atas tanggung jawab pengirim (lihat pasal 455 KUHD).
Pasal 455 KUHD berbunyi:
“Barang siapa membuat perjanjian carter kapal untuk
orang lain, terikatlah dia untuk diri sendiri terhadap
pihak lawannya, kecuali apabila pada waktu membuat
perjanji- an tersebut dia bertindak dalam batas-batas
kuasanya dan menyebutkan nama si pemberi kuasa yang
bersangkutan.”
Kedudukan ekspeditur ini adalah sama dengan komision-
er, yang biasanya bertindak atas nama diri sendiri (pasal 76
KUHD).
4. Kewajiban dan Hak Ekspeditur
Berhubung dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai
banyak sifat hukumnya seperti yang sudah Purwosutjipto
urai- kan di muka, maka sebagai akibatnya ekspeditur dapat
mem- punyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak sebagai
berikut:52
a. Sebagai pemegang kuasa. Ekspeditur melakukan
perbuatan hukum atas nama pengirim. Dengan ini
maka dia tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai
pemberian kuasa (pasal 1792 sampai dengan 1819 KUH
Perdata.
b. Sebagai komisioner. Kalau ekspeditur berbuat atas
namanya sendiri, maka berlakulah ketentuan-ketentuan
mengenai komisioner (pasal 76 dsl. KUHD).
c. Sebagai penyimpan barang. Sebelum ekspeditur
mendapat/menemukan pengangkut yang memenuhi
syarat, maka sering juga ekspeditur terpaksa harus
menyimpan dulu barang-barang pengirim di gudangnya.
Untuk ini berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pe-
nyimpanan barang (bewaargeving), pasal 1694 dsl. KUH
Perdata.
d. Sebagai penyelenggara urusan (zaakwaarnemer). Untuk
melaksanakan amanat pengirim, ekspeditur banyak
sekali harus berurusan dengan pihak ketiga untuk
kepentingan barang-barang tersebut, misalnya:
melaksanakan keten- tuan-ketentuan tentang
pengeluaran dan pemasukan ba-
52 H.M.N Purwosutjipto, 2003, Op-cit, hal. 134.
rang-barang di pelabuhan, bea cukai dan lain-lain. Di
sini ada unsur “penyelenggaraan urusan”
(zaakwaarneming) dan untuk ini berlakulah Pasal 1354
dsl. KUHPerdata.
e. Register dan surat muatan. Sebagai pengusaha, seorang
ekspeditur harus memelihara register harian tentang
macam dan jumlah barang-barang dagangan dan barang
lainnya yang harus diangkut, begitu pula harganya (Pasal
86 ayat (2) KUHD). Hal ini erat hubungannya dengan
Pasal 6 KUHD. Kecuali register harian tersebut di atas,
dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief — Pasal 90
KUHD) pada tiap-tiap barang yang akan diangkut.
f. Hak retensi. Berdasarkan fungsi-fungsi atau sifat-sifat
perjanjian ekspedisi tersebut di atas, maka menjadi
persoalan apakah ekspeditur mempunyai hak retensi.
Sebagai yang telah diketahui, pemegang kuasa mempu-
nyai hak retensi (Pasal 1812 KUH Perdata, begitu juga
komisioner (Pasal 85 KUHD), penyimpan barang (Pasal
1729 KUH Perdata, penyelenggara urusan (menurut ar-
rest H.R. tanggal 10 Desember 1948) maka menurut Pur-
wosutjipto ekspediturpun mempunyai hak retensi.53
5. Tanggung Jawab Ekspeditur
Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur
terhadap barang-barang yang telah diserahkan pengirim ke-
padanya untuk:
a. menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan
rapi pada barang-barang yang telah diterimanya dari
pen- girim;
b. mengindahkan segala upaya untuk menjamin keselama-
tan barang-barang tersebut.
53 Ibid.
Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-
hal di bawah ini menjadi tanggungjawabnya:
a. pengambilan barang-barang dari gudang pengirim;
b. bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur;
c. pengambilan barang-barang muatan dari tempat (pelabu-
han) tujuan untuk diserahkan kepada penerima yang ber-
hak atau kepada pengangkut selanjutnya.
Tugas tersebut dalam huruf c, d, dan e hanya dilakukan
bila tegas-tegas telah ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi
yang bersangkutan.
6. Pasal 86 Dan 87 KUHD Adalah Peraturan Pelengkap
Menurut Molengraaff, Polak dan Dorhout Mees, Pasal
86 dan 87 KUHD adalah peraturan pelengkap, artinya peny-
impangan dari ketentuan-ketentuan Pasal 86 dan 87 KUHD
diperbolehkan. Misalnya, pasal 86 KUHD menetapkan
bahwa tugas ekspeditur hanya “mencarikan pengangkut” bagi
pen- girim yang mempergunakan jasanya. Bila seorang
ekspeditur yang tugasnya merangkap menjadi pengangkut,
tidak sesuai dengan maksud pasal 86 KUHD tersebut. Tetapi
dalam prak- tek, banyak juga seorang ekspeditur yang
merangkap menjadi pengangkut, tidak menimbulkan
kesulitan-kesulitan hukum.

Berhubung Pasal 86 dan 87 KUHD adalah peraturan


pelengkap, maka sebagai juga pengangkut, ekspeditur dapat
mengurangi tanggung jawabnya sedemikian rupa sehingga
hampir dapat dikatakan tidak mempunyai tanggung jawab.
Berbeda dengan pengangkut laut dan udara, di sini undang-
undang tidak memberi pembatasan, kecuali ketertiban umum
dan kesusilaan. Meniadakan tanggung jawab untuk kesenga-
jaan dan kelalaian yang besar pada hemat Purwosutjipto tidak
diperkenankan.
7. Batas Tanggung Jawab Ekspkditur
Menurut Pasal 87 KUHD, tanggung jawab ekspeditur
ber- henti pada saat barang-barang dari pengirim itu telah
diterima oleh pengangkut. Tetapi menurut Pasal 88 KUHD,
kerugian- kerugian sesudah saat tersebut, bila dapat
dibuktikan bersum- ber pada kesalahan atau kelalaian
ekspeditur, maka kerugian itu dapat dibebankan kepada
ekspeditur.

Kecuali itu, ekspeditur juga harus bertanggung jawab


atas ekspeditur antara (tussen-expediteur), yang jasanya
diperguna- kannya (Pasal 89 KUHD). Tanggung jawab
ekspeditur seperti ditentukan dalam Pasal 89 KUHD ini
sifatnya lebih luas dari- pada tanggung jawab seorang
pemegang kuasa menurut Pasal 1803 KUHPerdata yang
berbunyi sebagai berikut: “Si pemeg- ang kuasa bertanggung
jawab untuk orang yang telah ditunjuk sebagai penggantinya
dalam melaksanakan tugasnya, bila:
a. dia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang
lain sebagai penggantinya;
b. kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebu-
tan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya
un- tuk itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak
mam- pu. Dan selanjutnya. Perbedaan yang besar ialah
Pasal 89 KUHD tanpa syarat, sedangkan Pasal 1803
KUHPerdata dengan syarat.
8. Ekspeditur Tidak Tetap
Di samping adanya ekspeditur sebagai pengusaha yang
bersifat tetap, dalam praktek ada ekspeditur yang tidak tetap
(insidentil). artinya dia bertindak sebagai ekspeditur hanya
kadang kala saja. Ekspeditur macam ini tidak diatur dalam
KUHD. Sesuai (analogi) dengan kedudukan komisioner in-
sidentil, yang diatur dalam Pasal 85-a KUHD, maka bagi ek-
speditur insidentil juga berlaku ketentuan-ketentuan bagi
ekspeditur tetap, yang diatur dalam Pasal 86 sampai den-
gan Pasal 90 KUHD.
9. Hubungan Penerima dengan Perjanjian Ekspedisi
Kalau penerima telah menerima barang muatan, atau
dia menolak untuk menerimanya, karena ada kerusakan atau
kekurangan, maka. dia tidak hanya bersangkutan dengan per-
janjian pengangkutan saja, tetapi juga dengan perjanjian eks-
pedisi, sejauh dapat diketahui dari dokumen-dokumen yang
ada. Dia harus membayar uang angkutan, bila ditentukan de-
mikian dalam perjanjian (Pasal 491 KUHD).

Penerima mempunyai hak sendiri yang bersangkutan


dengan perjanjian ekspedisi dan juga dengan perjanjian pen-
gangkutan. Hak sendiri yang dimiliki oleh penerima inilah
yang menjadi dasar ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 KUHD.
Dalam hal ini kesulitan hanya ada, bila penerima tidak meng-
gunakan haknya. Pada pengangkutan dengan konosemen, ke-
sulitan itu tidak akan terjadi, sebab di sini hanya pemegang
konosemen sajalah yang berhak bertindak dalam penuntutan
kepada pengangkut.
10. Kewajiban penerima terhadap Penyelenggaraan Urusan
Pengirim sebagai pemberi kuasa memberi perintah ke-
pada ekspeditur yang selanjutnya harus dilaksanakan oleh ek-
speditur. Termasuk tugas ekspeditur ialah menerima barang-
barang dari pengangkut yang selanjutnya diserahkan kepada
penerima, yang pada umumnya bukan si pengirim. Biasanya
si penerima adalah pihak pembeli dalam perjanjian jual-beli
yang dibuatnya lebih dulu, sedangkan si pengirim adalah si
penjual.
Dengan penyerahan barang-barang oleh ekspeditur
tersebut kepada penerima, maka beralihlah hak milik atas
barang-barang tersebut. Kalau hak milik sudah beralih sebe-
lum barang diserahkan, maka ekspeditur mulai saat itu harus
menjadi penyelenggara urusan (zaakwaarneming) terhadap
barang-barang untuk kepentingan si penerima. Terhadap pe-
nyelenggaraan urusan untuk kepentingannya ini penerima
wajib memberi honorarium, (Pasal 1357 KUH Perdata den-
gan cara mengganti semua uang muka yang telat dikeluarkan
ekspeditur, dan untuk ini ekspeditur mempunyai hak retensi.
Mengenai penyelenggaraan urusan (zaakwaarneming)
sendiri, tidak menimbulkan hak atas provisi (Pasal 1358
KUH Perda- ta). Dengan ini penerima tidak secara otomatis
terikat pada perjanjian ekspedisi.
11. Hak Gugat Ekspeditur Terhadap Pengangkut
Kalau seorang pengangkut melakukan perbuatan mela-
wan hukum dan menurut Pasal 91 KUHD dia bertanggung
jawab atas kerugian itu, maka hak apa yang dapat dipergu-
nakan oleh ekspeditur terhadap pengangkut yang bersangku-
tan. Kalau ekspeditur menutup perjanjian pengangkutan atas
nama pengirim, maka pengirim dapat langsung menuntut
ganti kerugian kepada pengangkut. Tetapi bila ekspeditur me-
nutup perjanjian pengangkutan atas namanya sendiri, maka
hanya ekspeditur yang berhak menuntut ganti kerugian dan
bukan pengirim, sebab pengirim tidak mempunyai hubungan
kontraktuil dengan pengangkut. Karena ekspeditur berbuat
atas tanggungan pengirim, maka orang dapat berkata:
kerugian barang-barang tidak mengenainya, jadi, dia tidak
mempunyai kepentingan terhadap tun-tutan ganti rugi. Orang
juga dapat berkata: pengirim tidak ada hubungan kontraktuil
dengan pengangkut, jadi dia tidak bisa menuntut ganti rugi
berdasar perjanjian pengangkutan, tetapi dapat menuntut
berdasarkan perbuatan melawan hukum, pada mana dia harus
dapat mem- buktikan sifat melawan hukumnya perbuatan
pengangkut.

Kesulitan persoalan ini ditambah pula, bila dalam per-


janjian pengang-kutan itu tidak jelas benar, apakah ekspedi-
tur berbuat atas namanya pengirim atau atas namanya sendi-
ri. Mengenai soal ini praktek membutuhkan penyelesaian
yang praktis. Untung juga, ada keputusan pengadilan Hofs-
Graven- hage 26 Januari 1967, di mana ditetapkan bahwa
kepada eks- peditur yang berbuat atas namanya sendiri diberi
hak khusus untuk menuntut ganti kerugian. Kepentingan atas
tuntutan- nya itu merupakan suatu jasa servis bagi pemberi
kuasanya untuk memasukkan ganti kerugian. Kalau dia
bertanggung jawab atas kerugian itu, maka disitulah letak
kepentingannya. Penyelesaian ini dapat dipakai juga bagi
seorang pengangkut yang bertindak sebagai ekspeditur bagi
suatu transport yang bersambungan dengan trayeknya sendiri.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM
PENGANGKUTAN UDARA

A. Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengeta-
huan menyebabkan manusia terus mendayagunakan sumberdaya
alam di udara untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dan peng-
hidupan manusia yang salah satunya adalah kegiatan jasa
angkutan udara.54
Transportasi udara niaga dewasa ini mengalami perkemban-
gan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari banyak perusahaan atau
maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan ke berba-
gai rute penerbangan baik domestik maupun internasional, sampai
dengan tahun 2012 terdapat 19 perusahaan atau maskapai pener-
bangan yang beroperasi dengan menggunakan pesawat terbang
sebanyak lebih dari 340.55 Perusahaan-perusahaan yang melayani
jasa penerbangan niaga diantaranya Garuda Indonesia, Sriwijaya
Air, Batik Air, Lion Air dan lain-lain. Perkembangan dan pertum-
buhan industri penerbangan tersebut tidak terlepas dari peningka-
tan jumlah pengguna jasa transportasi udara.

Berdasarkan data statistik Badan Pusat Statistik mencatat jum-

54 E. Suherman, 2000, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961-1995),


Bandung Mandar Maju, hal. 174.
55 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/12/20/penumpang-pesawat-penerbangan-domes-
tik-januari-oktober-2018, Diakses tanggal 7 Maret 2019.
lah penumpang pesawat udara untuk penerbangan domestik pada
Oktober 2018 meningkat 6,85% menjadi 8,11 juta orang dan juga
tumbuh 7,85% dibanding Oktober tahun sebelumnya. Demikian
pula secara kumulatif periode Januari-Oktober tahun ini tumbuh
6,98% menjadi 78,63 juta orang dibanding periode yang sama
2017.Sementara jumlah penumpang untuk penerbangan interna-
sional pada Oktober tahun ini tumbuh 3,36% menjadi 1,54 juta
orang, namun jika dibanding Oktober tahun lalu tumbuh 14,07%.
Demikian pula secara kumulatif untuk periode Januari-Oktober
tumbuh 7,8% menjadi 14,9 juta orang dari periode yang sama ta-
hun lalu 13,84 juta orang.56. Ada beberapa alasan konsumen
meng- gunakan jasa transportasi udara, diantaranya untuk
kepentingan bisnis, kepentingan pariwisata, dan berbagai urusan
lainnya. Dili- hat dari aspek penyelenggaraan penerbangan
terdapat dua bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan
komersil dan penerban- gan bukan komersil. Penerbangan
komersil atau niaga merupakan bentuk transportasi udara yang
mengenakan biaya bagi penggu- nanya. Jenis penerbangan ini
dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga
berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.

Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi


menguntungkan bagi para pengguna jasa transportasi udara (pe-
numpang dan pemilik kargo) karena akan banyak pilihan. Peru-
sahaan-perusahaan tersebut bersaing untuk menarik penumpang
sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah
atau menawarkan berbagai bonus. Namun di sisi lain, dengan ta-
rif yang murah tersebut sering menurunkan kualitas pelayanan
(service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah akan

56 Ibid.
menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan (maintenance)
pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan
akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan
dan perlindungan konsumen57.
Menjamurnya maskapai penerbangan dalam kurun waktu
10 tahun terakhir di satu sisi memberikan implikasi positif bagi
masyarakat pengguna jasa penerbangan, yaitu banyak pilihan
atas operator penerbangan dengan berbagai ragam pelayanannya.
Di samping itu, banyaknya maskapai penerbangan telah mencip-
takan iklim yang kompetitif antara satu maskapai penerbangan
dengan maskapai penerbangan lainnya yang pada ujungnya mela-
hirkan tiket murah yang diburu masyarakat secara antusias. Na-
mun, kompetisi ini pada sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran
bahwa harga tiket murah akan berdampak pada kualitas layanan,
khususnya layanan atas perawatan pesawat. Kekhawatiran
tersebut muncul akibatnya sering terjadinya kecelakaan pesawat
terbang58.

Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga ter-


dapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusa-
haan atau maskapai penerbangan dan pihak pengguna jasa atau
konsumen.Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu
perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian
yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersi-
fat keperdataan maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban
yang harus dilaksanakan dan dipenuhi, yang biasa dikenal dengan
istilah “ prestasi”.

57 E. Saefullah Wiradipradja, 2006, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang


Menurut Hukum Udara Indonesia,Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta hal. 5-6.
58 Wagiman, 2006, Refleksi dan Implemantasi Hukum Udara: Studi Kasus Pesawat Adam Air,

Hukum Pengangkutan 81
Indonesia
,Jur- nal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta, hal. 13.

82 Hukum Pengangkutan
Indonesia
Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara
lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh
dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan
yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya
kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan
penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lain-
lain. Sedangkan ke- wajiban penumpang adalah membayar
ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, menjaga
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya,
melaporkan jenis-jenis barang yang dibawa terutama barang-
barang yang berkategori berbahaya, mentaati ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan pengangkut yang berkenaan dengan
pengangkutan.Hak dan kewajiban para pihak tersebut bi- asanya
dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangku- tan.

Secara teoritis, perjanjian pengangkutan merupakan suatu


perikatan dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman
membawa orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain
sedangkan pihak lainnya, menyanggupi untuk membayar ongko-
snya59. Ketentuan tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di
dalam kegiatan pengangkutan atau transportasi udara, dalam hal
ini pengangkut atau maskapai penerbangan berkewajiban un-
tuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai
di tempat tujuan secara tepat waktu, dan sebagai konpensasi dari
pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan
penerbangan mendapatkan bayaran sebagai ongkos
penyelenggaraan pengang- kutan dari penumpang. Dalam praktik
kegiatan transportasi udara niaga sering kali pengangkut tidak
memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat
dikatakan telah melakukan wanprestasi. Beberapa kasus atau
fakta yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
59 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya, Bandung, hal. 69.
wanprestasi oleh pengangkut adalah tidak memberikan keselama-
tan dan keamanan penerbangan kepada penumpang yaitu, berupa
terjadinya kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang
meninggal dunia dan/atau cacad, penundaan penerbangan atau
“delay”, keterlambatan, kehilangan atau kerusakan barang bagasi
milik penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, informasi
yang tidak jelas tentang produk jasa yang ditawarkan dan lain-
lain.

Sebagaimana terungkap dari hasil penelitian dan pantauan


Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) tercatat sekitar
tujuh maskapai penerbangan yang kerap dikeluhkan konsumen.
Ketujuh maskapai tersebut adalah Air Asia, Lion Air, Garuda,
Adam Air (sudah ditutup), Sriwijaya Air, dan terakhir Batavia Air
(sudah ditutup).60
Bentuk-bentuk pengaduan konsumen yang disampaikan
antara lain, yakni penundaan jadwal penerbangan tanpa pember-
itahuan, kehilangan barang di bagasi, tiket hangus, tempat duduk,
menolak booking lewat telepon, serta pengaduan lainnya seperti
barang di bagasi ditelantarkan, pembatalan tiket (refund), sikap
pramugari, keamanan dan kebersihan. Setiap kecelakan penerban-
gan selalu menimbulkan kerugian bagi penumpang yang tentu
saja melahirkan permasalahan hukum, khususnya berkenaan
dengan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut
(car- rier) terhadap penumpang dan pemilik barang baik sebagai
para pihak dalam perjanjian pengangkutan maupun sebagai
konsumen, selain itu persoalan lain bagi konsumen adalah adanya
keterlam- batan pelaksanaan pengangkutan udara yang terkadang
melebihi batas toleransi. Tidak ada upaya hukum yang dapat
dilakukan ter- hadap permasalahan tersebut61.

60 http://www.majalahkonstan.com, diakses tanggal 7 Maret 2019.


Hukum Pengangkutan 83
Indonesia
61 Ridwan Khairandy, 2006, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai In-

84 Hukum Pengangkutan
Indonesia
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan apabila
terjadi peristiwa atau keadaan yang menimbulkan kerugian bagi
penumpang maka pengangkut bertanggung jawab untuk meng-
ganti kerugian yang dialami penumpang, akan tetapi dalam pelak-
sanaannya konsumen atau penumpang mengalami kesulitan untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya upaya
pemberdayaan konsumen yang menggunakan jasa transportasi
udara oleh berbagai pihak yang kompeten. Pada prinsipnya kegia-
tan pengangkutan udara merupakan hubungan hukum yang bersi-
fat perdata akan tetapi mengingat transportasi udara telah menjadi
kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur
tangan pemerintah dalam kegiatan pangangkutan udara yaitu
menentu- kan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang
berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga
kepentingan konsumen pengguna jasa transportasi udara
terlindungi.

Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah


harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum
perjanjian Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), akan tetapi oleh
undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang
bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam
hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu meletakkan berbagai
kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh
disingkirkan dalam perjanjian62.

Berkenaan dengan hal tersebut menurut Sri Redjeki


Hartono63 negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar
kepentingan-

strumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta,
hal. 20-21.
62 R. Subekti, Op-cit., hal. 71.
63 Sri Redjeki Hartono,2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang, hal. 132.
kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam
keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, negara mem-
punyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam
memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan me-
nyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur
sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi
pelanggaran oleh siapapun pelaku ekonomi. Perangkat peraturan
dapat meliputi pengaturan yang mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1. Menjaga keseimbangan semua pihak yang kepentingan-
nya berhadapan
2. Memberikan sanksi apabila memang sudah terjadi seng-
keta dengan cara menegakkan hukum yang berlaku
3. Menyiapkan lembaga penyelesaian sengketa dan hukum
acaranya.
Selama ini dikenal ada beberapa model hukum perlindun-
gan konsumen, Pertama adalah memformulasikan perlindungan
konsumen melalui proses legislasi (undang-undang); kedua mel-
akukan pendekatan secara holistik, yaitu bahwa secara khusus ada
undang-undang yang mengatur masalah perlindungan konsumen,
sekaligus menjadi “payung” undang-undang sektoral yang berdi-
mensi konsumen; selanjutnya bahwa undang-undang perlindun-
gan konsumen adalah undang-undang tersendiri yang dipertegas
lagi dalam undang-undang sektoral.64

Pemerintah sejak tanggal 20 April 1999, telah mengeluarkan


instrumen perundang-undangan yang mempunyai dimensi untuk
melindungi masyarakat/konsumen, yaitu dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kon-
64 Gunawan Widaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Grame-

Hukum Pengangkutan 85
Indonesia
dia Pustaka Utama, Jakarta, hal. Ix.

86 Hukum Pengangkutan
Indonesia
sumen, di dalam undang-undang ini diatur banyak hal diantaranya
hak dan kewajiban konsumen, juga hak dan kewajiban produsen.
Kehadiran undang-undang perlindungan konsumen diharapkan
dapat menciptakan kegiatan usaha perdagangan yang fair tidak
hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung
untuk kepentingan konsumen, baik selaku pengguna, peman-
faat maupun pemakai barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh
pelaku usaha65.

Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak


semata-mata memberikan perlindungan kepada konsumen saja
tetapi memberikan perlindungan kepada masyarakat (publik) pada
umumnya, mengingat setiap orang adalah konsumen. Undang-
undang ini secara mendasar memberikan keseimbangan dalam
beberapa hal, yaitu:
1. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen mengenai:
a) Harmonisasi mengenai pelaku usaha dengan konsumen,
keduanya saling membutuhkan yang satu tidak mungkin
memutuskan hubungan dengan pihak lain;
b) Menyamakan persepsi bahwa masing-masing sisi mem-
punyai hak dan kewajiban yang seimbang.
2. Menyadarkan masyarakat bahwa ada hak-hak sendiri yang
da- pat dipertahankan dan dituntut kepada pihak lain
mengenai:
a) Tata cara menyelesaikan sengketa, termasuk hukum aca-
ranya;
b) Apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan
baik oleh pelaku usaha maupun oleh konsumen;
c) Informasi apa saja yang harus diberikan oleh pelaku usa-
ha kepada konsumen, demikian juga sebaliknya.
65 Ibid.
2. Menyadarkan kepada pelaku usaha dan konsumen bahwa
kedudukan mereka adalah seimbang dengan tidak saling
membebani satu terhadap yang lain.
Pada dasarnya hubungan antara produsen dan konsumen
merupakan hubungan yang bersifat ketergantungan, produsen
membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen
sebagai pelanggan, dan sebaliknya konsumen kebutuhannya
sangat bergantung dari hasil produksi produsen, saling
ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan
hubungan yang ber- sifat terus-menerus dan berkesinambungan
sepanjang masa sesuai dengan tingkat ketergantungan akan
kebutuhan yang tidak terpu- tus-putus, Jadi hubungan hukum
akan tetap terus ada sepanjang masing-masing pihak saling
membutuhkan.66

Secara teoritis hubungan hukum menghendaki adanya keseta-


raan diantara para pihak, akan tetapi dalam praktiknya hubungan
hukum tersebut sering berjalan tidak seimbang terutama dalam
hubungan hukum antara produsen dan konsumen, hal inipun ter-
jadi dalam hubungan hukum antara konsumen atau penumpang
dengan pengangkut pada transportasi udara niaga, dimana kon-
sumen atau penumpang tidak mendapatkan hak-haknya dengan
baik. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu perlindungan hu-
kum bagi konsumen dalam kegiatan penerbangan. Unsur terpent-
ing dalam perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan udara
serta jenis-jenis angkutan lainnya adalah unsur keselamatan ang-
kutan dan tanggung jawab pengangkut67.

66 Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, hal. 81.
67 E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung,
hal. 163.
Hukum Pengangkutan 87
Indonesia
Suatu sistem perlindungan hukum bagi konsumen jasa ang-
kutan udara adalah suatu sistem yang terdiri dari peraturan pe-
rundang-undangan dan prosedur yang mengatur semua aspek,
baik langsung maupun tidak langsung mengenai kepentingan dari
konsumen jasa angkutan udara, perlindungan konsumen merupa-
kan perlindungan hukum total akan memberikan perlindungan
pada penumpang mulai dari taraf pembuatan pesawat udara sam-
pai pada saat ia telah selamat sampai di tempat tujuan, atau kalau
mengalami kecelakaan, sampai ia atau ahli warisnya yang berhak
memperoleh ganti rugi dengan cara yang mudah, murah dan
cepat. Unsur-unsur perlindungan konsumen jasa angkutan udara
secara lengkap meliputi berbagai aspek antara lain aspek
keselamatan; aspek keamanan; aspek kenyamanan; aspek
pelayanan; aspek per- tarifan dan aspek perjanjian angkutan
udara. Dalam menentukan pertanggungjawaban perusahaan
penerbangan tentunya harus mengacu pada ketentuan-ketentuan
yang berlaku, sehingga dapat ditentukan pihak-pihak yang
bertanggung jawab, hal-hal yang da- pat dipertanggungjawabkan,
bentuk-bentuk pertanggungjawaban, besar ganti kerugian dan
lain-lain.

Pada kegiatan penerbangan komersil atau transportasi udara


niaga terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan tang-
gung jawab pengangkut udara terhadap penumpang baik yang
ber- sumber pada hukum nasional maupun yang bersumber pada
hu- kum internasional. Ketentuan hukum nasional yang secara
khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan saat ini adalah
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dan
beberapa peraturan pelaksananya. Sedangkan ketentuan yang
secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersial
domestik ada- lah Luchtvervoer Ordonantie (Stbl. 1939:100) atau
Ordonansi 1939 yang biasa disingkat OPU 1939.
Di dalam OPU ini ditegaskan tentang tanggung jawab pen-
gangkut. Sedangkan ketentuan hukum internasional yang terkait
erat dengan kegiatan penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa
1929. Selain itu, masih ada lagi peraturan perundang-undangan
yang substansinya sangat terkait dengan kegiatan penerbangan
nia- ga, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlind- ungan Konsumen. Sebab dalam kegiatan penerbangan
komersial terdapat hubungan hukum antara produsen dan
konsumen.

Produsen dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai


pen- erbangan yang bertindak sebagai pelaku usaha, sedangkan
kon- sumennya adalah para penumpang yang menggunakan jasa
trans- portasi udara yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindun- gan Konsumen diatur mengenai hak dan kewajiban
pelaku usaha dan konsumen. Selama ini hak dan kewajiban para
pihak dalam kegiatan transportasi udara sering tidak berjalan
secara seimbang, di mana konsumen berada di posisi yang lemah
dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan posisi pelaku usaha
yang posisi lebih kuat.Padahal seharusnya posisi para pihak
haruslah seimbang dan sejajar, karena pada prinsipnya mereka
saling membutuhkan dan bersifat ketergantungan.

B. Transportasi Pengangkutan Udara

1. Bentuk-Bentuk Angkutan Udara Niaga


Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1995 Tentang Angkutan Udara, dinyatakan angkutan udara
adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara
untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu
perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara
yang lain atau beberapa bandar udara. Dalam penyelangga-
raan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu pertama,
angkutan udara niaga dan kedua, angkutan udara bukan
niaga.
Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk
umum dengan memungut pembayaran. Sedangkan angkutan
udara bukan niaga ciri terpenting adalah tidak untuk kepent-
ingan umum melainkan untuk keperluan-keperluan yang ber-
sifat khusus misalnya dinas-dinas kenegaraan dan
kepentingan militer. Kegiatan angkutan udara dilakukan oleh
perusahaan angkutan udara, yaitu perusahaan yang
mengoperasikan pe- sawat udara untuk digunakan
mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut
pembayaran.

Selanjutnya dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor


40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara membagi bentuk-
bentuk kegiatan pengangkutan udara, menjadi dua yaitu an-
gkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, secara
lengkap dinyatakan
a. Kegiatan angkutan udara terdiri atas :
1) angkutan udara niaga; dan
2) angkutan udara bukan niaga.
b. Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a, meliputi :
1) angkutan udara niaga berjadwal; dan
2) angkutan udara niaga tidak berjadwal.
Penerbangan komersial atau angkutan udara niaga adalah
usaha pengangkutan dari penumpang-penumpang, barang-
barang dan pos atau kegiatan keudaraan lainnya dengan me-
mungut bayaran. Ada beberapa penggolongan kegiatan
pener- bangan komersial atau niaga, yaitu sebagai berikut:
a. Penerbangan teratur (scheduled operation), yaitu pener-
bangan berencana menurut suatu jadwal perjalanan pe-
sawat-pesawat yang tetap dan teratur;
b. Penerbangan tidak teratur (non scheduled operation),
yai- tu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-
pesawat secara tidak berencana;
c. Penerbangan suplementer, yaitu penerbangan-penerban-
gan dengan pesawat-pesawat berkapasitas 15 orang dan
sifatnya suplementer dari penerbangan teratur ke tidak
teratur;
d. Penerbangan kegiatan keudaraan (aerial work), yaitu pe-
nerbangan-penerbangan yang bukan bertujuan untuk
pengangkutan penumpang, barang atau pos melainkan
untuk kegiatan udara lain dengan memungut bayaran
antara lain untuk kegiatan-kegiatan penyemprotan, pe-
motretan, servey udara, dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan komersial atau niaga
berjadwal pada umumnya sebagai berikut :
a. Penerbangan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain
atau sebaliknya dengan rute penerbangan yang telah
ditetapkan;
b. Penerbangan dilakukan secara seri, lebih dari 1 (satu)
kali penerbangan, secara terus-menerus atau sedemikian
rupa seringnya sehingga dapat dikatakan sebagai
penerbangan Teratur (regular);
c. Penerbangan tersebut terbuka untuk umum guna men-
gangkut penumpang dan/atau barang dengan memungut
bayaran atas jasa angkutan tersebut;
d. Penerbangan dilakukan berdasarkan jadwal penerbangan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu terlepas apakah ter-
sedia penumpang atau tidak, penerbangan tetap dilang-
sungkan;
e. Penerbangan jenis ini dimaksudkan untuk melayani
masyarakat yang telah mengutamakan nilai waktu dari
pada nilai uang;
f. Perusahaan penerbangan diperbolehkan memasang iklan;
g. Penjualan tiket terbuka untuk umum secara individu.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan tidak berjadwal secara
umum, yaitu sebagai berikut:
a. Penerbangan dilakukan untuk mengangkut barang,
orang, dan atau pos ke seluruh wilayah Republik
Indonesia den- gan tidak ada pembatasan rute
penerbangan tertentu se- cara tetap;
b. Penerbangan tidak dilakukan sesuai dengan daftar per-
jalanan terbang/ jadwal penerbangan;
c. Penjualan karcis atau surat muatan udara secara
sekaligus untuk seluruh kapasitas pesawat udara
tersebut;
d. Penumpangnya merupakan suatu rombongan dan bukan
merupakan penumpang umum yang dihimpun oleh pen-
carter atau biro perjalanan (travel beureau);
e. Pesawat udara pengangkut penumpang, barang dan pos
dari suatu tempat langsung ke tempat tujuan dengan
tidak
diperkenankan menurunkan dan atau menaikkan pe-
numpang dalam perjalanan;
f. Perusahaan penerbangnya tidak diperkenankan mema-
sang iklan di surat kabar, majalah, maupun media massa
lainnya;
g. Tarif angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemer-
intah yang telah ditetapkan terlebih dahulu;
h. Jenis pengangkutan ini dimaksudkan untuk melayani
masyarakat yang lebih mengutamakan nilai waktu dari
pada nilai uang.
Penerbangan komersil dilihat dari segi wilayah operasi
penerbangannya dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Penerbangan domestik (nasional), yaitu penerbangan
antar pelabuhan udara di wilayah Indonesia dengan
menggunakan pesawat udara yang beregistrasi
Indonesia,
b. Penerbangan internasional, adalah penerbangan dari
pelabuhan udara Indonesia dengan atau tanpa melakukan
transit di pelabuhan udara Indonesia atau sebaliknya den-
gan tujuan pelabuhan udara negara lain.
Penerbangan internasional dilihat dari aspek perusahaan
penerbangannya dikategorikan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu
:
a. Penerbangan internasional yang dilakukan oleh pesawat
udara asing (registrasi asing);
b. Penerbangan internasional yang dilakukan oleh pesawat
udara nasional (registrasi nasional).
2. Pihak-pihak dalam Pengangkutan Udara
a. Pihak Penumpang
Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri un-
tuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut
atau semua orang/badan hukum pengguna jasa angkutan,
baik angkutan darat, udara, laut dan kereta api. Ada be-
berapa ciri penumpang:68
1) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pen-
gangkutan;
2) Membayar biaya angkutan;
3) Pemegang dokumen angkutan.
E. Suherman menyatakan bahwa dalam penerban-
gan teratur (schedule) defenisi penumpang adalah setiap
orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh
pengang- kut berdasarkan suatu perjanjian angkutan
udara dengan atau tanpa bayaran . Di dalam draft
convention September 1964 pernah dirumuskan tentang
defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa
penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam
pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota
awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari.
Dengan defenisi tersebut, maka jelaslah semua yang
termasuk awak pesawat sebagai pegawai pen- gangkut
tidak tergolong sebagai penumpang, sedangkan pegawai
darat pengangkut yang turut serta atau diangkut dengan
pesawat udara baik untuk keperluan dinas pada
perusahaan penerbangannya maupun untuk kepentingan
pribadi dianggap sebagai penumpang biasa .
68 Abdulkadir Muhammad, 2007, Op-cit, hal. 168.
b. Pihak Pengangkut
Pengangkut pada umumnya adalah orang yang
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan
menurut Abdulkadir Muhammad69 pengangkut memiliki
dua arti, yaitu seba- gai pihak penyelenggara
pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk
menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan pada
arti yang pertama masuk dalam sub- jek pengangkutan
sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk
dalam kategori objek pengangkutan. Pen- gangkut
memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya terbatas atau
dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan
juga perusahaan-perusahaan yang melaksanakan angku-
tan penumpang atau barang.

Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut


muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyer-
ahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan
menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengang-
kut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan
perpindahan tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan
yang tidak dapat ditinggalkan antara lain, yaitu sebagai
berikut:
1) Menyelenggarakan pengangkutan dengan aman,
selamat dan utuh;
2) Pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat
pada waktunya:
69 Ibid, hal. 47.
3) Diselenggarakan dengan tidak ada perubahan ben-
tuk.
Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri un-
tuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau
penumpang. Pengangkut dapat berstatus Badan Usaha
Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, Badan
Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bi-
dang jasa pengangkutan niaga. Ada beberapa ciri dan
karakteristik pengangkut yaitu sebagai berikut:
1) Perusahaan penyelenggara angkutan;
2) Menggunakan alat angkut mekanik;
3) Penerbit dokumen angkutan.
Dalam Konvensi Guandalajara 1961, pengangkutan
udara dinamai contracting carier dan actual carier seba-
gaimana dinyatakan pada artikel 1 huruf b. Contacting
carier adalah ”a person who as principal makes an
agree- man for carriage governed by the Warsaw
Convention with passengger on consignor or with a
person on behalf of the passengger or consignor”70.
Contracting Carrier adalah pengangkut yang
mengadakan perjanjian angkutan den- gan penumpang
atau pengirim barang, sedangkan actu- al carrier adalah
pengangkut yang atas dasar kuasa dari pengangkut
pertama melaksanakan perjanjian angkutan udara
tersebut.

Sedangkan E. Suherman mendefenisikan pengang-


kut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian
70 Muazzin, 2001, “Tanggung Jawab Pangangkut Udara Terhadap Kerugian Penumpang
dan Pihak Ketiga di Permukaan Bumi”, Jurnal Kanun No. 29 Edisi Agustus, Banda
Aceh, hal. 403.
pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim
atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan
dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penump-
ang/pengirim barang71. Dalam penyelenggaraan kegiatan
angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah
perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut
juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menye-
butnya operator penerbangan.
c. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pen-
gangkutan Udara
Dalam perjanjian pengangkutan terdapat hak dan
kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan dengan
baik. Hak dan kewajiban timbul karena adanya
hubungan hukum diantara para pihak. Berikut
dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan
penumpang pada transportasi udara.
1) Hak Pengangkut pada Angkutan Udara
Secara umum hak pengangkut adalah menerima
pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau pen-
girim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan.
Akan tetapi di dalam ordonansi pengangkutan Udara
1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai berikut:
a) Pada Pasal 7 ayat (1), Setiap pengangkut barang ber-
hak untuk meminta kepada pengirim untuk mem-
buat dan memberikan surat yang dinamakan “surat
muatan udara”. Setiap pengirim berhak untuk mem-
inta kepada pengangkut agar menerima suratterse-
but.
71 E Suherman, Op-cit., hal. 79.

Hukum Pengangkutan 97
Indonesia
b) Pasal 9, Bila ada beberapa barang, pengangkut
berhak meminta kepada pengirim untuk membuat
beberapa surat muatan udara.
c) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia
menolak untuk menerima barang-barang atau untuk
membayar apa yang harus dibayarnya, atau bila ba-
rang-barang tersebut disita, pengangkut wajib meny-
impan barang-barang itu di tempat yang cocok atas
beban dan kerugian yang berhak.
Dan pada ayat (2) Pengangkut wajib memberitahu-
kan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga
kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau
telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan
itu dan sebab-sebabnya. Di samping hak-hak yang diatur
dalam OPU tersebut di atas, masih ada hak-hak yang lain
dari pengangkut seperti hak untuk menolak pelaksanaan
atau mengangkut penumpang yang tidak jelas identitasn-
ya. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam tiket pesawat
yang menyatakan bahwa hak pengangkut untuk menyer-
ahkan penyelenggaraan atau pelaksanaan perjanjian ang-
kutan kepada perusahaan penerbangan lain, serta men-
gubah tempat-tempat pemberhentian yang telah
disetujui.
2) Kewajiban Pengangkut pada Pengangkutan Udara
Secara umum kewajiban pengangkut adalah me-
nyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang
beserta bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baikn-
ya hingga sampai di tempat tujuan. Akan tetapi di dalam
OPU 1939 ditegaskan kewajiban pengangkut pada trans-
portasi udara, yaitu sebagai berikut:
a) Pasal 8 ayat (3), Pengangkut harus menandatan-
gani surat muatan udara segera setelah barang-
barang diterimanya.
b) Pasal 16 ayat(2), Bila barang sudah tiba di
pelabuhan udara tujuan, pengangkut berkewa-
jiban untuk memberitahu kepada penerima ba-
rang, kecuali bila ada Perjanjian sebaliknya.
c) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang,
bila ia menolak untuk menerima barang-barang
atau untuk membayar apa yang harus dibayarn-
ya atau bila barang-barang tersebut disita, pen-
gangkut wajib menyimpan barang-barang itu di
tempat yang cocok atas beban dan kerugian
yang berhak.
d) Pasal 17 ayat (2), Pengangkut wajib memberita-
hukan kepada pengirim, dan dalam hal ada pe-
nyitaan, juga kepada penerima, secepat-
cepatnya dengan telegram atau telepon, atas
beban yang berhak tentang penyimpanan itu
dan sebab- sebabnya.
Menurut Lestari Ningrum72 ada beberapa kewajiban
pokok pengangkut udara, yaitu sebagai berikut:
a) Mengangkut penumpang dan/atau barang serta
menerbitkan dokumen angkutan sebagai imba-
lan haknya memperoleh pembayaran biaya ang-
kutan;
b) Mengembalikan biaya angkutan yang telah
diba- yar oleh penumpang dan/atau pengirim
barang
72 Lestari Ningrum, 2004, Op-cit., hal. 151.
jika terjadi pembatalan pemberangkatan pe-
sawat udara niaga;
c) Dapat menjual kiriman yang telah disimpan
(bu- kan karena sitaan) yang karena sifat dari
barang tersebut mudah busuk, yang lebih dari
12 (dua belas) jam setelah pemberitahuan tidak
diambil oleh penerima kiriman barang;
d) Bertanggung jawab atas kematian atau lukanya
penumpang yang diangkut, musnah, hilang atau
rusaknya barang yang diangkut, keterlambatan
angkutan penumpang dan/atau barang apabila
terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pen-
gangkut.
3) Hak Penumpang Pada Angkutan Udara
Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan
udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tem-
pat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk
atau dimaksudkan dalam perjanjian angkutan udara yang
bersangkutan73.Di samping itu juga penumpang atau ahli
warisnya berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian
yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan
pener- bangan atas pesawat udara yang bersangkutan.
Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima
dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang,
mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh
keamanan dan kese- lamatan selama dalam proses
pengangkutan dan lain-lain.
73 Ibid, hal. 26.
4) Kewajiban Penumpang pada Angkutan Udara
Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan
udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban
sebagai berikut:
a) Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan
sebaliknya;
b) Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pen-
gangkut udara atau dari pegawai-pegawainya
yang berwenang untuk itu;
c) Menunjukkan tiketnya kepada pegawai-
pegawai pengakut udara setiap saat apabila
diminta;
d) Tunduk kepada peraturan-peraturan pengang-
kutan udara mengenai syarat-syarat umum
per- janjian angkutan muatan udara yang
disetujuin- ya;
e) Memberitahukan kepada pengangkut udara ten-
tang barang-barang berbahaya atau barang- ba-
rang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi
tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk
pula barang-barang terlarang yang ada pada di-
rinya.
Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajiban-
nya itu, maka sebagai konsekuensinya pengangkut udara
berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara
itu. Disamping itu juga apabila penumpang yang
melalai- kan kewajibannya itu kemudian menimbulkan
kerugian sebagai akibat perbuatannya itu, maka ia
sebagai penump- ang harus bertanggung jawab atas

Hukum Pengangkutan 10
Indonesia
kerugian tersebut.

10 Hukum Pengangkutan
Indonesia
C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Penum-
pang Transportasi Udara

1. Aspek Keselamatan Penerbangan


Tujuan utama kegiatan penerbangan komersil adalah
keselamatan penerbangan. Aspek ini berkaitan erat dengan
perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa transpor-
tasi udara niaga, dalam konteks ini maka semua perusahaan
penerbangan wajib untuk mengantisipasi segala kemungki-
nan yang dapat mencelakakan penumpangnya, oleh karena
itu setiap perusahaan penerbangan komersil dituntut untuk
me- nyediakan armada pesawatnya yang handal dan selalu
dalam keadaan layak terbang.

Keselamatan penerbangan berkaitan erat dengan fisik pe-


sawat terbang serta aspek pemeliharaan (maintence) sehingga
terpenuhi persyaratan teknik penerbangan, selain itu aspek
keselamatan penerbangan juga berkenaan erat dengan faktor
sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan penerban-
gan. Keselamatan penerbangan merupakan hasil keseluruhan
dari kombinasi berbagai faktor, yaitu faktor pesawat udara,
personil, sarana penerbangan, operasi penerbangan dan
badan-badan pengatur penerbangan74.

2. Aspek Keamanan Penerbangan


Secara fisik aspek keamanan merupakan suatu aspek
yang paling terasa oleh konsumen pengguna jasa angkutan
udara di samping aspek kecelakaan pesawat udara.75
Keamanan pen-

74 E.Suherman, 2000, Op-cit., hal. 169.


75 Ibid.
erbangan maksudnya adalah aman dari berbagai gangguan,
baik secara teknis maupun gangguan dari perampokan, per-
ampasan dan serangan teroris. Dalam aspek keamanan ini
perusahaan penerbangan wajib menjamin keamanan selama
melakukan penerbangan.

3. Aspek Kenyamanan selama penerbangan


Dalam aspek kenyamanan dalam penerbangan, terkan-
dung makna bahwa perusahaan penerbangan komersil wa-
jib memberikan kenyamanan kepada penumpangnya. Aspek
kenyamanan penerbangan berkaitan erat dengan kelengkapan
pesawat udara seperti tempat duduk, kelengkapan fasilitas,
pengatur suhu udara, fasilitas Bandar udara dan lain-lainnya.

4. Aspek Pelayanan
Bisnis angkutan udara merupakan salah satu bentuk per-
dagangan jasa, sehingga pelayanan merupakan salah satu
indi- kator sering dijadikan pilihan para calon konsumen,
sehubun- gan dengan hal tersebut aspek pelayanan dalam
transportasi udara berkaitan erat dengan prosedur pembelian
tiket pesawat dan prosedur penentuan tempat duduk
(boarding pass). Dalam konteks ini perusahaan penerbangan
harus mengatur dengan baik masalah penentuan tempat
duduk bagi penumpang se- hingga tidak terjadi tempat duduk
yang double yang tentunya sangat merugikan konsumen.

5. Aspek Penentuan Tarif atau Ongkos Penerbangan


Secara sempit tarif merupakan kombinasi dari macam-
macam komponen biaya dalam penyelenggaraan pengangku-
tan udara niaga. Dalam sistem penyelenggaraan transportasi
udara niaga terdapat beberapa faktor yang sangat berperan
dalam penentuan tarif angkutan, yaitu sistem angkutan udara,
kompetisi dan tarif wajar.76Sistem angkutan udara sistem
yang berdasarkan pada kebijakan pokok mengenai angkutan
udara, yang kemudian menjabarkan kebijakan tersebut dalam
ben- tuk pengaturan mengenai “airline system” di Indonesia,
struk- tur rute-rute penerbangan dan pembinaan industri
angkutan udara. Masalah tarif perlu diatur tidak
membebankan kon- sumen.

6. Aspek Perjanjian Angkutan Udara


Salah satu unsur terpenting dalam rangka memberikan
perlindungan konsumen pengguna jasa transportasi udara
niaga adalah menyangkut aspek perjanjian pengangkutan.
Dalam konteks ini perusahaan penerbangan berkewajiban
untuk memberikan tiket penumpang sebagai bukti terjadi
perjanjian pengangkutan udara. Dalam prakteknya tiket atau
dokumen perjanjian pengangkutan udara telah disiapkan oleh
perusahaan dalam bentuk yang telah baku atau biasa dikenal
dengan perjanjian standard. Berkenaan dengan telah bakunya
dokumen pengangkutan tersebut maka harus adanya jaminan
bahwa adanya keseimbangan hak dan kewajiban diantara
para pihak, baik pengangkut maupun penumpang.

7. Aspek Pengajuan Klaim


Dalam kegiatan penerbangan sering kali terjadinya risiko
kecelakaan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang,

76 Ibid, hal. 195.


sehubungan dengan hal tersebut diperlukan perlindungan
konsumen bagi penumpang, yaitu adanya prosedur penyele-
saian atau pengajuan klaim yang mudah, cepat dan memuas-
kan.77 Prosedur yang mudah berarti bahwa penumpang atau
ahli warisnya yang sudah jelas haknya, tidak perlu menem-
puh prosedur yang berbelit dan rumit dalam merealisasikan
hak-haknya. Sedangkan prosedur yang murah berarti para
penumpang atau ahli waris yang mengalami kecelakaan tidak
perlu mengeluarkan biaya-biaya yang mahal untuk menyele-
saikan ganti rugi. Penyelesaian sengketa yang cepat
mengand- ung makna bahwa prosedurnya tidak memakan
waktu yang lama, dalam kaitan ini dapat menggunakan
penyelesaian seng- keta di luar pengadilan, sebab biasanya
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memakan
waktu yang lama.

8. Aspek Perlindungan Melalui Asuransi


Pada umumnya perusahaan penerbangan mengasuran-
sikan dirinya terhadap risiko-risiko yang kemungkinan akan
timbul dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangannya,
antara lain mengasuransikan risiko tanggung jawab terhadap
penumpang. Di samping asuransi yang ditutup oleh perusa-
haan penerbangan tersebut, di Indonesia dikenal juga
asuransi wajib Jasa Raharja. Dalam asuransi ini yang
membayar adalah penumpang sendiri, sedangkan perusahaan
penerbangan han- yalah bertindak sebagai pemungut saja.
77 Ibid, hal. 201.
10 Hukum Pengangkutan
Indonesia
BAB V
TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT
ATAS KERUGIAN DALAM
TRANSPORTASI UDARA

A. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum


Pengang- kutan
Dalam hukum pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran
dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu 78:
1. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based
on fault atau liability based on fault principle);
2. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable
presumption of liability principle);
3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict
liabil- ity, absolute liability principle).
Berikut dipaparkan mengenai ketiga prinsip pertanggung-
jawaban pengangkut tersebut di atas;
Pertama, prinsip tanggun gjawab atas dasar kesalahan (the
based on fault atau liability based on fault principle). Dalam aja-
ran ini bahwa dalam menentukan tanggung jawab pengangkutan
di dasarkan pada pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan
pengangkut adalah pihak yang dirugikan atau penggugat. Dalam
hukum positif Indonesia, prinsip ini dapat menggunakan pasal

78 K. Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Raja Grafindo
Persada,
Jakarta, hal. 46.
1365 BW, yang sangat terkenal dengan pasal perbuatan melawan
hukum (onrecht matigedaad). Menurut konsepsi pasal ini meng-
haruskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu per-
buatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu antara
lain:
a. adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
b. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya;
c. adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Makna dari “perbuatan melawan hukum,” tidak hanya
perbua-
tan aktif tetapi juga perbuatan pasif, yaitu meliputi tidak berbuat
sesuatu dalam hal yang seharusnya menurut hukum orang yang
harus berbuat. Penetapan ketentuan pasal 1365 BW ini memberi
kebebasan kepada penggugat atau pihak yang dirugikan untuk
membuktikan bahwa kerugian itu timbul akibat perbuatan mel-
anggar hukum dari tergugat. Sedangkan aturan khusus mengenai
tanggung jawab pengangkut berdasarkan prinsip kesalahan bi-
asanya ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-
masing jenis pengangkutan.

Prinsip yang kedua, yaitu prinsip tanggungjawab atas dasar


praduga (rebuttable presumption of liability principle), menurut
prinsip ini tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat
mengemu- kakan hal-hal yang dapat membebaskan dari
kesalahan. Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip
yang pertama, hanya saja beban pembuktian menjadi terbalikyaitu
pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah.

Dalam KUH Dagang, prinsip tanggung jawab atas dasar pra-


duga bersalah dapat ditemukan dalam Pasal 468 yang
menyatakan:
”Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut un-
tuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut
dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.
Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak
menyerahkan se- luruh atau sebagian barangnya atau
karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan
bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau
sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu
kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau
dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu
cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim.
Ia bertanggung jawab atas tindakan orang yang
dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya
dalam pengangkutan itu”.
Prinsip yang ketiga, prinsip tanggung jawab mutlak (no fault,
atau strict liability, absolute liability principle). Menurut prinsip
ini, bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam hal ini
tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak
adanya kes- alahan atau tidak melihat siapa yang bersalah atau
suatu prinsip per- tanggungjawaban yang memandang kesalahan
sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataannya ada atau tidak ada. Pengangkut tidak mungkin
bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang
menimbulkan kerugian bagi penumpang atau pengirim barang.
Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat pengangkut
bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena
peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pen- gangkutan. Dalam
perundang-undangan mengenai pengangkutan prinsip tanggung
jawab mutlak tidak diatur.Hal ini tidak mungkin diatur karena
alasan bahwa pengangkut yang berusaha di bidang jasa angkutan
tidak perlu dibebani dengan risiko yang terlalu berat. Namun
tidak berarti para pihak tidak boleh menggunakan prinsip
ini dalam perjanjian pengangkutan, hal tersebut berdasarkan asas
perjanjian yang bersifat kebebasan berkontrak79.
Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan
perun- dang-undangan yang mengatur tentang kegiatan
penerbangan atau transportasi udara niaga. Instrumen hukum
tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan; Or- donansi Penerbangan 1939 atau
OPU 1939; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
tentang Angkutan Udara; Peraturan Pemer- intah Nomor 3
Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Setelah dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-


undangan di atas maka dapat dinyatakan materi hukum yang
berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap penumpang ada-
lah menyangkut penentuan tanggung jawab perusahaan pengang-
kutan udara terhadap penumpang, penentuan ganti kerugian, dan
upaya hukum bagi penumpang yang mengalami kerugian. Secara
lengkap substansi atau materi hukum tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Tanggung Jawab Perusahaan Pengangkutan Udara Sebagai
Pengangkut
Materi pokok dalam kajian tentang pengangkutan udara
niaga baik penerbangan internasional maupun nasional ada-
lah menyangkut tanggung jawab pengangkut bila terjadi
kerugian yang dialami oleh pengguna jasa transportasi udara
niaga, yaitu penumpang, pemilik bagasi, pengirim atau pen-
erima kargo dan juga kerugian yang dialami pihak ketiga.
Ke-

11 Hukum Pengangkutan
Indonesia
79 Abdulkadir Muhammad, 2007, Op-cit., hal. 41.

Hukum Pengangkutan 11
Indonesia
mungkinan kerugian yang mungkin dialami oleh pengguna
jasa transportasi udara antara lain: kematian atau cacad atau
luka-luka, kehilangan, musnah, rusaknya barang, serta keter-
lambatan penerbangan.
Titik sentral dalam pembahasan mengenai tanggung
jawab pengangkut adalah menyangkut prinsip tanggung
jawab yang diterapkan. Ada beberapa bentuk prinsip
tanggung jawab pengangkut yang dikenal dalam kegiatan
pengangkutan, yang masing-masing berbeda satu dengan
lainnya, baik itu cara pembebanan pembuktian, besarnya
ganti kerugian dan lain- lain. Penggunaan prinsip tanggung
jawab pengangkut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Dalam hukum pengangkut terdapat tiga prinsip atau aja-


ran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu se-
bagai berikut :
a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based
on fault atau liability based onfault principle);
b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable
presumption of liabilityprinciple);
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict
liabil- ity, absolute liabilityprinciple).
Pembedaan prinsip tanggung jawab pengangkut tersebut
pada umumnya didasarkan atau diletakkan pada pembeba-
nan pembuktian, yaitu pihak mana yang harus membuktikan
adanya unsur kesalahan. Dalam pembuktian dikenal beberapa
prinsip yaitu pembuktian oleh pihak yang menggugat, atau
oleh pihak yang digugat (pembuktian terbalik). Pembicaraan
mengenai tanggung jawab pengangkut akan membicarakan
ruang lingkup tanggung jawab, persyaratan kapan
pengangkut bertanggung jawab, pihak yang membuktikan
kesalahan, be- saran ganti rugi, mekanisme klaim,
mekanisme pembayaran ganti rugi.
2. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Keamanan dan Kes-
elamatan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 tujuan terselenggaranya penerbangan adalah
un- tuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang
selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan
berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat dengan mengutamakan dan melindungi
penerbangan nasion- al, menunjang pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas, seba- gai pendorong, penggerak,
dan penunjang pembangunan na- sional serta mempererat
hubungan antar bangsa. Selanjutnya dalam Pasal 53,
dinyatakan dilarang menerbangkan pesawat udara yang dapat
membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan
barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan
ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang
lain. Dari kedua ketentuan tersebut di atas sangat jelas bahwa
masalah keamanan dan keselamatan penerbangan harus
mendapat perhatian yang serius oleh perusahaan pen-
erbangan.

Pengertian keamanan dan keselamatan penerbangan


adalah suatu kondisi untuk mewujudkan penerbangan di-
laksanakan secara aman dan selamat sesuai dengan rencana
penerbangan. Keamanan penerbangan adalah keadaan yang
terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari
gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum.
Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud
dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan
prosedur operasi dan persyaratan kelayakan teknis terhadap
sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya.
Keamanan dan keselamatan penerbangan meliputi aspek
pengaturan, pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan
rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan
pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengopera-
sian bandar udara serta personil penerbangan.

Dalam rangka untuk menciptakan keamanan dan kes-


elamatan penerbangan pemerintah memiliki Program Penga-
manan Penerbangan Sipil, sebagaimana diatur di dalam Pasal
3, yang menyatakan:
(1) Menteri menetapkan program pengamanan penerbangan
sipil.
(2) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana di-
maksud dalam ayat (1) meliputi :
a. program pengamanan bandar udara; dan
b. program pengamanan perusahaan angkutan udara.
(3) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), meliputi petunjuk
pelaksanaan dan prosedur dalam rangka keamanan dan
keselamatan penerbangan, keteraturan dan efisiensi pen-
erbangan sipil dari tindak gangguan melawan hukum.
Salah satu upaya untuk menciptakan keamanan dan kes-
elamatan penerbangan adalah menyangkut aspek Kehandalan
Operasional Pesawat Udara, yang meliputi:
a. Standar kelayakan udara;
b. Rancang bangun pesawat udara;
c. Pembuatan pesawat udara;
d. Perawatan pesawat udara;
e. Pengoperasian pesawat udara;
f. Standar kebisingan pesawat udara;
g. Ambang batas gas buang pesawat udara;
h. Personil pesawat udara.
Selain aspek pesawatnya, aspek lain yang sangat vital
dan penting untuk menciptakan keamanan dan keselamatan
pen- erbangan juga menyangkut Pelayanan Navigasi
Penerbangan dan Pengoperasian Bandar Udara, yaitu
meliputi:
a. Pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara
selama dalam pengoperasian;
b. Pengendalian ruang udara;
c. Membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan pe-
sawat udara dan/atau membantu penelitian penyebab ke-
celakaan pesawat udara;
d. Penyediaan dan/atau pembinaan personil;
e. Penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan
prasarana navigasi penerbangan.
Dalam melakukan ketersediaan navigasi penerbangan
perlu memperhatikan beberapa aspek antara lain: perkem-
bangan teknologi;. sumber daya manusia yang profesional;
ketentuan-ketentuan internasional; efektivitas dan efisiensi;
kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya; keandalan
sarana dan prasarana pelayanan navigasi penerbangan;
ketera- turan, kesinambungan dan kelancaran arus lalu lintas
udara.
Keamanan dan keselamatan penerbangan, dikaitkan den-
gan perlindungan konsumen yang menggunakan jasa trans-
portasi udara merupakan salah satu bentuk hak konsumen
yang paling penting dan mendasar.
Sebagaimana diatur pada Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyata- kan Hak Konsumen adalah: hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Hak konsumen ini harus dipenuhi oleh
perusahaan pengang- kutan udara. Sebab alasan utama calon
penumpang melaku- kan perjanjian pengangkutan udara
adalah karena adanya ja- minan keamanan dan keselamatan,
hal tersebut telah berlaku umum dalam hukum pengangkutan
bahwa tanggung jawab atau kewajiban pengangkut adalah
memberikan atau menjaga keamanan dan keselamatan selama
dalam perjalanan dan juga hal itu merupakan salah satu
obyek yang diperjanjikan.

Persoalan keamanan dan keselamatan penerbangan


berkaitan erat dengan aspek fisik dari alat yang digunakan
sebagai sarana pengangkut, oleh karena itu perusahaan pen-
erbangan wajib untuk menyediakan alat angkut yang memen-
uhi standar keamanan dan keselamatan dan juga melakukan
pemeliharaan atau (maintence) terhadap pesawat udaranya,
selain itu aspek keamanan dan keselamatan penerbangan juga
berkenaan dengan personil atau sumber daya manusia yang
mengoperasikan pesawat penerbangan. Dalam hal ini perusa-
haan penerbangan wajib untuk hanya mempekerjakan tenaga
kerja yang memiliki kecakapan dan keahlian khusus di
bidang penerbangan.
Dalam sistem pemerintah di Indonesia institusi yang
berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
keamanan dan keselamatan penerbangan ini adalah Menteri
Perhubungan yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Di-
rektorat Jenderal Perhubungan Udara.Mengingat pentingnya
keamanan dan keselamatan penerbangan maka pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.Pera-
turan ini secara khusus mengatur tentang keamanan dan kes-
elamatan penerbangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001, juga me-


nentukan langkah-langkah dalam pengamanan penerbangan,
diantaranya prosedur pengamanan di bandar udara, prosedur
pemeriksaan penumpang dan barang, yaitu sebagai berikut:
a. Prosedur dan mekanisme pemeriksaan keamanan di
bandara
Sebagai langkah untuk menciptakan keamanan pen-
erbangan maka sebelum dilakukan penerbangan terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan di bandar
udara, antara sebagai berikut:
Setiap orang, barang, kendaraan yang memasuki sisi
bandar udara, wajib melalui pemeriksan keamanan (PP
3/2001 Ps.52), personil pesawat udara, penumpang, ba-
gasi, kargo dan pos yang diangkut dengan pesawat udara
wajib melalui pemeriksaan keamanan (PP 3/2001 Ps 53
ayat 1). Dimana pemeriksaan keamanan dapat dilakukan
dengan atau tanpa menggunakan alat bantu (PP 3/2001
Ps 53 ayat 2) .
Sedangkan terhadap bagasi dari penumpang yang
batal berangkat dan/ atau bagasi yang tidak bersama pe-
miliknya, wajib dilakukan pemeriksaan keamanan ulang
untuk dapat diangkut dengan pesawat udara (PP 3/2001
Ps. 55). Apabila kargo dan pos yang belum dapat
diangkut oleh pesawat udara disimpan di tempat khusus
yang dise- diakan di bandar udara (PP 3/2001 Ps. 56 ayat
1), dima- na tempat penyimpanan kargo dan pos harus
aman dari gangguan yang membahayakan keamanan dan
keselama- tan penerbangan (PP 3/2001 Ps. 56 ayat 2).

Untuk kargo yang berupa kantong diplomatik


yang bersegel diplomatik, tidak boleh dibuka (PP
3/2001 Ps. 57 ayat 1). Dalam hal terdapat dugaan yang
kuat kantong diplomatik dapat membahayakan
keamanan dan kes- elamatan penerbangan,
perusahaan angkutan udara da- pat menolak untuk
mengangkut kantong diplomatik (PP 3/2001 Ps. 57
ayat 2) , Kesemua pelaksanaan ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku (PP 3/2001 Ps.57
ayat 3).

Apabila bahan dan/atau barang berbahaya yang akan


diangkut dengan pesawat udara wajib memenuhi keten-
tuan pengangkutan bahan dan/ atau barang berbahaya
(PP 3/2001 Ps.58 ayat 1). Dimana perusahaan angkutan
udara wajib memberitahukan kepada kapten penerbang
bilamana terdapat bahan dan/ atau barang berbahaya
yang diangkut dengan pesawat udara (PP 3/2001 Ps. 58
ayat 2) . Sedangkan untuk bahan dan/ atau barang ber-
bahaya yang belum dapat diangkut, disimpan pada tem-
pat penyimpanan yang disediakan khusus untuk peny-
impanan barang berbahaya (PP 3/2001 Ps. 58 ayat 3),
Apabila pada waktu penempatan di pesawat udara terjadi
kerusakan pada kemasan, label atau marka, maka bahan
dan/ atau barang berbahaya dimaksud harus diturunkan
dari pesawat udara (PP 3/2001 Ps. 58 ayat 4).
Persyaratan untuk agen pengangkut yang menangani
bahan dan/ atau barang berbahaya yang akan diangkut
dengan pesawat udara harus mendapatkan pengesahan
dari perusahaan angkutan udara (PP 3/ 2001 Ps. 59 ayat
1) , Dimana ke- wajiban agen pengangkut, harus
melakukan pemeriksaan, pengemasan, pelabelan dan
penyimpanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (PP
30/2001 Ps. 59 ayat 3).

Bagi penumpang pesawat udara yang membawa


sen- jata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada
peru- sahaan angkutan udara (PP 3/2001 Ps.60 ayat 1),
Dimana senjata yang diterima oleh perusahaan angkutan
udara untuk diangkut, disimpan pada tempat tertentu di
pe- sawat udara yang tidak dapat dijangkau oleh
penumpang pesawat udara (PP 3/2001 Ps.60 ayat 2),
Untuk memudah- kan dalam pendataan pemilik senjata
diberi tanda terima sebagai tanda bukti penerimaan
senjata oleh perusahaan angkutan udara (PP 3/2001
Ps.60 ayat 3). Adapun kewa- jiban perusahaan angkutan
udara bertanggung jawab atas keamanan senjata yang
diterima sampai dengan diserah- kan kembali kepada
pemiliknya di bandar udara tujuan (PP 3/2001 Ps.60 ayat
3) .
Apabila ada sesuatu yang membahayakan keamanan
dan keselamatan penerbangan penyelenggara bandar
udara atau perusahaan angkutan udara wajib melaporkan
kepada kepolisian dalam hal mengetahui adanya barang
tidak dikenal yang patut diduga dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan (PP 3/2001
Ps.61 ayat 1).
b. Prosedur dan mekanisme penertiban penumpang, barang,
dan kargo dalam rangka untuk menciptakan keamanan
dan keselamatan dalam penerbangan, maka dilakukan
penertiban penumpang, barang dan kargo yang diangkut
pesawat udara sipil. Mekanisme dan prosedur pemerik-
saan sebagai berikut:80
Bagi penumpang :
1) Penumpang, awak pesawat udara dan bagasi harus
diperiksa sebelum memasuki daerah steril dan sisi
bandara.
2) Nama dalam tiket harus sama dengan identitas pe-
numpang
3) Penumpang transit dan transfer dilakukan pemerik-
saan, kabandara atau administrator bandara dapat
melakukan pemeriksaan di dalam pesawat udara
4) Check-in counter dibuka 2 jam sebelum jadwal dan
batas waktu check-in 30 menit sebelum jadwal ke-
berangkatan
5) Perusahaan angkutan udara dapat menolak men-
gangkut penumpang yang dapat membahayakan
kes- elamatan penerbangan

80 http://www.dephub.go.id.
6) Hanya calon penumpang yang mempunyai tiket dan
para pemegang izin yang syah diizinkan masuk dae-
rah check-in dimana tiket dan izin masuk
dicocokkan dengan orang yang bersangkutan
7) Pemeriksaan secara fisik dan atau menggunakan alat
bantu, pemeriksaan dengan alat bantu harus
diselingi pemeriksaan fisik secara acak
8) Setiap yang dicurigai harus diperiksa secara fisik
9) Penumpang transfer harus diperiksa ulang sebelum
memasuki ruang tunggu, penumpang transit yang
keluar dan kembali ke ruang tunggu harus diperiksa
10) Penumpang pesawat udara yang mendarat karena
kerusakan teknis atau alasan operasional harus di-
periksa
11) Anak dibawah umur 8 tahun harus disertai pengan-
tar atau orang yang bertanggung jawab baik awak
pe- sawat atau orang dewasa lain
12) Wanita hamil tua (8 bulan) harus disertai surat keter-
angan dokter
13) Orang sakit yang tidak dapat berjalan sendiri harus
disertai dengan surat dokter dan pengantar
14) Jenasah harus disertai surat keterangan dari instansi
kesehatan
15) Orang gila harus dikawal
16) Tahanan atau deportee harus dikawal
17) Pengangkut harus menolak calon penumpang yang
tidak memenuhi ketentuan
18) Pengangkut dapat menolak calon penumpang yang
mabuk, buron atau dicurigai berdasarkan informasi
petugas berwenang.
Untuk bagasi:
1) Bagasi harus diperiksa sebelum diserahkan di
tempat check in (KM 14/1989 Ps. 3)
2) Bagasi harus dilengkapi identitas
pemilik(KM14/1989 Ps.4)
3) Bagasi yang ditolak dengan alasan keamanan pen-
erbangan tidak dibenarkan untuk diangkut(KM
14/1989 Ps.5)
4) Senjata api, senjata tajam serta benda lain yang
dapat dipakai sebagai alat untuk mengancam atau
memak- sakan kehendak dilarang dimasukkan atau
ditempat- kan di dalam kabin pesawat udara (KM14
Ps. 6)
5) Kargo dan kiriman pos harus diperiksa sebelum
dimasukkan ke gudang atau pesawat udara (KM
14/1989 Ps.7)
6) Pemeriksaan pos perlu memperhatikan kelancaran
pengirimannya (KM 14/1989 Ps. 7 ayat 2
7) Pemeriksaan pengangkutan barang-barang berba-
haya harus memperhatikan ketentuan yang berlaku
(KM 14/1989 Ps.8)
8) Bagasi yang telah diperiksa harus disegel dengan la-
bel sekuriti
9) Pengangkut harus menolak bagasi yang tidak
disegel atau segel rusak
10) Kondisi bagasi yang kurang baik harus
diberitahukan untuk diperbaiki
11) Pengangkut harus menyediakan blanko identitas ba-
gasi kabin
12) Bagasi dan bagasi kabin yang termasuk jenis barang
berbahaya dapat diangkut sepanjang memenuhi per-
aturan pengangkutan barang berbahaya yang berlaku
13) Barang berbahaya dilarang disimpan dalam bagasi
atau bagasi kabin maupun dipakai pada badan
14) Senjata api, senjata tajam berukuran lebih dari 5 cm
atau benda lain yang dapat dipergunakan sebagai
senjata harus diserahkan kepada pengangkut dengan
bukti tanda terima
15) Pengangkut mencatat jumlah bagasi yang telah di-
periksa
16) Pengangkut harus memberikan bukti tanda terima
bagasi
17) Label bagasi (stiker) harus terbuat dari bahan yang
kuat dan tidak mudah lepas
18) Bagasi milik calon penumpang yang batal berangkat
atau tidak melanjutkan penerbangan dan tidak mem-
beritahukan kepada pengangkut dilarang diangkut
kecuali atas persetujuan penumpang.
19) Bagasi milik penumpang yang batal berangkat di-
larang diangkut kecuali telah diperiksa dan disertai
bukti kenal diri
20) Bagasi yang tidak diangkut bersama dengan pemi-
liknya dapat diangkut apabila telah diperiksa
21) Jumlah bagasi kabin maksimum 2 koli
22) Ukuran, berat bagasi serta kebutuhan penumpang
se- lama penerbangan ditentukan pengangkut
23) Pengawasan bagasi kabin dilakukan pengangkut
24) Bagasi kabin yang melampaui ukuran dan berat
harus diangkut sebagai bagasi
Bagi Awak pesawat :
1) Semua awak pesawat udara harus diperiksa sebelum
memasuki daerah steril dan sisi bandara.
2) Awak pesawat udara diberikan prioritas pemeriksaan
Prosedur dan langkah-langkah di atas merupakan suatu
upaya untuk menciptakan keamanan dan keselamatan pen-
erbangan. Aspek berikutnya yang berkaitan erat dengan kea-
manan dan keselamatan penerbangan adalah menyangkut
personil penerbangan. Personil penerbangan adalah personil
pesawat udara dan personil pelayanan keamanan dan kes-
elamatan penerbangan yang tugasnya secara langsung mem-
pengaruhi keamanan dan keselamatan pesawat udara.

Personil pesawat udara adalah personil penerbangan


yang memiliki sertifikat kecakapan untuk bertugas sebagai
personil operasi pesawat udara dan personil penunjang
operasi pesawat udara. Personil pelayanan keamanan dan
keselamatan pener- bangan adalah personil penerbangan
yang memiliki sertifikat kecakapan tertentu yang tugasnya
secara langsung mempen- garuhi kegiatan pelayanan
keamanan dan keselamatan pener- bangan..Kapten Penerbang
adalah awak pesawat udara yang ditunjuk dan ditugasi untuk
memimpin suatu misi penerban-
gan serta bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan
penerbangan selama pengoperasian pesawat terbang dan/atau
helikopter yang dari segi teknis berfungsi normal.
Dalam Pasal 77 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2001 dirinci lagi mengenai personil penerbangan, yaitu
terdiri dari :
1) Personil pesawat udara;
2) Personil pelayanan keamanan dan keselamatan
penerban- gan.
Selanjutnya dinyatakan personil pesawat udara meliputi :
1) Personil Operasi Pesawat Udara; yang terdiri dari Pener-
bang; Juru Mesin Pesawat Udara; Juru Navigasi Pesawat
Udara.
2) Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara, terdiri dari :
Personil Ahli Perawatan Pesawat Udara; Personil Penun-
jang Operasi Penerbangan; Personil Kabin.
Sedangkan Personil Pelayanan Keamanan dan
Keselama- tan Penerbangan meliputi :
1) Personil pelayanan navigasi penerbangan;
2) Personil pelayanan pengoperasian bandar udara; dan
3) Personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusa-
haan angkutan udara.
Masing-masing personil penerbangan wajib memiliki
sertifikat kecakapan yang sah dan masih berlaku
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 78 Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Ta- hun 2001, dimana sertifikat kecakapan
diberikan oleh Menteri
dengan memperhatikan : usia, sehat jasmani dan rohani serta
lulus uji kecakapan dan ketrampilan.
Selain menentukan keharusan memiliki sertifikat
kecaka- pan bagi para personil penerbangan, peraturan
pemerintah ini juga menentukan Kewajiban Personil
Penerbangan, yaitu
a) Mematuhi ketentuan sesuai dengan sertifikat kecakapan
yang dimiliki;
b) Mempertahankan kecakapan dan kemampuan yang dimi-
liki;
c) Mematuhi ketentuan pemeriksaan kesehatan secara
berkala.
Adapun personil penerbangan yang akan melaksanakan
tugas diwajibkan :
a) Memiliki sertifikat sesuai dengan tugas yang akan dilak-
sanakan;
b) Dalam keadaan kondisi sehat jasmani dan rohani;
c) Cakap dan mampu untuk melaksanakan tugas.
Dalam dunia penerbangan, masalah keamanan dan kes-
elamatan oleh pemerintah selaku regulator dan pengawas
pen- erbangan, masalah ini dijadikan indikator untuk
menentukan kinerja suatu perusahaan penerbangan.
3. Tanggung Jawab Perusahaan Pengangkutan Udara Terhadap
Penumpang
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 pen-
gangkut memiliki beberapa tanggung jawab terhadap pe-
numpang, sebagaimana diatur dalam Pasal 140-147:
Pasal 140
(1) Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengang-
kut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakat-
inya perjanjian pengangkutan.
(2) Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberi-
kan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna
jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pen-
gangkutan yang disepakati.
(3) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang
dan dokumen muatan.
Pasal 141
(1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian pe-
numpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau
luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara
di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan
dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya,
pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan
dalam undang-undang ini untuk membatasi tang-
gung jawabnya.
(3) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian an-
gkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk
mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti
kerugian yang telah ditetapkan.
Ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
di atas hanya menentukan bentuk-bentuk tanggung jawab
pengangkut sedangkan persyaratan untuk dapat dipertang-
gungjawabkan, cara penerapannya dan besaran ganti rugin-
ya tidak diatur (diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor :PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Udara). Bentuk tanggung jawab
perusahaan pengangkutan udara terdiri dari tanggung jawab
terhadap pe- numpang karena meninggal dunia, cacat tetap
atau luka-luka penumpang yang diakibatkan kejadian
angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun
pesawat udara.

Dalam hukum pengangkutan tanggung jawab ini dike-


nal dengan tanggung jawab terhadap penumpang. Tanggung
jawab berikutnya adalah tanggung jawab terhadap barang.
Ba- rang dalam kegiatan pengangkutan udara terdiri dari
barang kiriman (cargo), barang yang dibawah pengawasan
penump- ang atau yang dikenal bagasi tangan yang
diletakkan di kabin pesawat, dan barang bawaan penumpang
yang dititipkan atau dibawah pengawasan pengangkut atau
yang dikenal bagasi tercatat, sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal-pasal:
Pasal 143
Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian ka-
rena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila
penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang
di- pekerjakannya.
Pasal 144
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
dider- ita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang,
mus- nah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan
angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam
pengawasan pengangkut.
Pasal 145
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
dider- ita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim
hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh
kegiatan ang- kutan udara selama kargo berada dalam
pengawasan pen- gangkut.
Berikutnya adalah adanya tanggung jawab karena keter-
lambatan sebagaimana diatur dalam Pasal 146-147:
Pasal 146
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
dider- ita karena keterlambatan pada angkutan
penumpang, ba- gasi, atau kargo, kecuali apabila
pengangkut dapat mem- buktikan bahwa keterlambatan
tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis
operasional.
Pasal 147
(1) Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terang-
kutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dengan memberikan kompensasi kepada pe-
numpang berupa:
a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa mem-
bayar biaya tambahan; dan/atau
b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya
transportasi apabila tidak ada penerbangan lain
ke tempat tujuan.
Selanjutnya dari ketiga bentuk tanggung jawab tersebut,
adanya perbedaan prinsip tanggung jawab pengangkut udara
yang dianut,yaitu prinsip tanggung jawab mutlak terbatas
(strict liability) dan prinsip tanggung jawab berdasarkan pra-
duga bersalah (rebuttable presumption of liability principle).
Prinsip tanggung jawab mutlak mengandung makna pen-
gangkut akan dikenakan tanggung jawab mutlak tanpa meli-
hat ada atau tidak adanya kesalahan dari pengangkut, perusa-
haan pengangkut udara harus membayar ganti apabila terjadi
kerugian yang dialami penumpang. Dikatakan terbatas karena
adanya pembatasan atau limitatif jumlah besarnya ganti rugi
yang harus dibayar oleh perusahaan penerbangan.Tanggung
jawab mutlak terbatas ini hanya berlaku bagi kematian, cacat
tetap atau luka-lukanya penumpang dan tanggung jawab ter-
hadap musnah, rusak atau hilangnya barang.

Sedangkan tanggung jawab terhadap keterlambatan ber-


laku prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah
(re- buttable presumption of liability principle). Hal itu
berdasarkan rumusan kata-kata adanya unsur kesalahan dari
pengangkut. Artinya bahwa pengangkut akan bertanggung
jawab apabila keterlambatan terbukti merupakan kesalahan
pengangkut.

Dianutnya dua prinsip tanggung jawab pengangkut


dalam sistem hukum positif nasional di dalam bidang
hukum pen-
gangkutan udara ini tentunya ada alasan-alasan yang melan-
dasinya, yaitu:
a. Kerugian yang diderita akibat keterlambatan lebih kecil
jika dibandingkan akibat penumpang meninggal dunia,
cacat tetap atau luka-luka.
b. Kelambatan merupakan pelanggaran kewajiban yang
tim- bul dari perjanjian pada derajat kedua artinya
kewajiban tersebut dipenuhi tetapi tidak sebagaimana
mestinya dibanding dengan kerugian akibat penumpang
menin- ggal dunia atau luka-luka, kerugian akibat
kelambatan lebih sering terjadi dalam pengangkutan
udara, sehingga terlalu memberatkan pengangkut bila
prinsip tanggung jawab mutlak yang diterapkan.81
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 ketentuan
tentang Tanggung Jawab Pengangkut termuat di dalam bab
III, bab ini merupakan inti atau pokok-pokok dari peraturan
ini. Ketentuan mengenai bentuk tanggung jawab perusahaan
ang- kutan udara diatur di dalam Pasal 24, yang menyatakan:
(1) Pengangkut bertanggungjawab untuk kerugian sebagai
akibat dari luka atau cedera lain pada tubuh, yang
diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang
menim- bulkan kerugian itu ada hubungannya dengan
pengang- kutan udara dan terjadi di dalam pesawat
terbang atau se- lama melakukan suatu tindakan dalam
hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat
terbang.
(2) Bila luka tersebut mengakibatkan kematian,maka sua-
mi atau istri korban, anak-anaknya atau orang tua yang
menjadi tanggungannya, dapat menuntut ganti rugi yang
81 E. Saefullah, 2006, Op-cit., hal. 180.
dinilai sesuai dengan kedudukan dan kekayaan mereka
yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan.
Menurut ketentuan Pasal 24 OPU di atas ada dua bentuk
tanggung jawab pengangkut udara, yaitu tanggung jawab ter-
hadap kematian dan tanggung jawab terhadap luka-luka yang
dialami penumpang. Pasal ini menganut prinsip bahwa pen-
gangkut selalu bertanggung jawab terhadap kerugian yang di-
alami penumpang yang mengalami luka-luka atau cidera lain
pada tubuh, atau meninggal dunia asalkan syarat-syaratnya
terpenuhi, yaitu: adanya kecelakaan (ongeval) yang terjadi,
kecelakaan tersebut harus ada hubungannya dengan pengang-
kutan udara, kecelakaan ini harus terjadi di dalam pesawat
ter- bang atau selama melakukan tindakan dalam hubungan
den- gan naik ke atau turun dari pesawat terbang.

Selanjutnya dalam pasal ini ditentukan pihak-pihak yang


dapat melakukan penuntutan jika meninggalnya penumpang
yaitu suami atau isteri dari si penumpang, anak-anaknya atau
orang tuanya, yang menjadi tanggungan si korban meninggal.
Ketentuan ini bersifat limitatif artinya menutup kemungkinan
pihak lain untuk mengajukan gugatan. Sedangkan menurut
Konvensi Warsawa 1929, para pihak yang dapat melakukan
penuntutan adalah ahli waris yang sah dari korban yang men-
inggal dunia. Dengan demikian, ketentuan menurut ordonan-
si lebih sempit jika dibandingkan dengan Konvensi Warsawa.

Meskipun peraturan telah menentukan tanggung jawab


pengangkut, akan tetapi diperlukan beberapa persyaratan
yang harus terpenuhi, agar dapat dilaksanakan. Persyaratan-
persyaratan tersebut antara lain:
a. Kerugian disebabkan adanya kecelakaan ( accident)
b. Kecelakaaan tersebut terjadi di dalam pesawat (on board
the aircraft)
c. Atau terjadi pada saat naik atau turun pesawat
(embarkasi atau disembarkasi)

B. Upaya Hukum yang Ditempuh Penumpang yang


Mengalami Kerugian dalam Transportasi Udara.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, selain menentukan hak dan kewajiban pelaku usaha,
hak dan kewajiban konsumen, juga mengatur tentang upaya hu-
kum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang mengalami keru-
gian akibat perbuatan pelaku usaha.
Dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia
upaya-upaya atau sarana-sarana yang dapat dilakukan dalam
memperjuangkan hak-hak masyarakat, yaitu dapat ditempuh den-
gan cara penerapan sanksi-sanksi hukum bagi pihak yang melang-
gar hukum, baik sanksi yang bersifat administratif maupun sanksi
pidana, selain itu dapat juga dilakukan dengan mengajukan gu-
gatan perdata kepada pengadilan, atau melakukan penyelesaian
perkara melalui jalur non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa di
luar pengadilan melalui perantara pihak-pihak lain yang memang
keberadaannya telah diatur dalam peraturan perundang-undan-
gan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, seperti yang di atur dalam Pasal 45
yang menyatakan, setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan seng- keta antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pen- gadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen di luar pen- gadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang, bersengketa.

Selanjutnya dalam Pasal 46 dinyatakan, gugatan atas pelang-


garan pelaku usaha dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang
dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; sekelompok kon-
sumen yang mempunyai kepentinyan yang sama; lembaga per-
lindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan kon-
sumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya; pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga


perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah se-
bagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d
diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut menge-
nai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan peratu-
ran pemerintah.
Ketentuan Pasal 46 di atas menentukan pihak-pihak yang da-
pat mengajukan gugatan kepada para pelaku usaha yang telah
mer- ugikan kepentingan konsumen, pihak-pihak tersebut yaitu
sebagai berikut:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum
atau yayasan
d. Pemerintah dan/atau instansi
Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan diatur dalam Pasal
47, yang menyatakan penyelesaian sengketa konsumen di luar
pen- gadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan ter- tentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali
atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
konsumen. Ketentu- an Pasal 47 ini mengatur tentang
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dalam
kehidupan sehari-hari dikenal dengan sebutan penyelesaian
sengketa alternative (alternative disputes so- lution) contohnya
mediasi, arbitrase, atau melalui lembaga yang di bentuk
pemerintah yang khusus menyelesaikan sengketa kon- sumen,
yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen seperti yang di
atur dalam Pasal 49 Pemerintah membentuk Badan Penyelesa- ian
Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan.

Upaya hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor


8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di atas juga da-
pat diterapkan atau digunakan oleh konsumen yang dirugikan oleh
pelaku usaha penerbangan. Dalam praktik penerbangan komersil
kerugian-kerugian yang dialami penumpang antara lain adanya
ke- terlambatan penerbangan (delay), kehilangan barang, dan
adanya kecelakaan pesawat yang berakibat kematian atau luka-
luka. Tim- bulnya kerugian-kerugian konsumen tersebut
diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan pelaku usaha penerbangan
dalam hal ini Maskapai penerbangan.

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa banyak terdapat kasus-


kasus yang merugikan konsumen, diantaranya adanya keter-
lambatan penerbangan, kehilangan barang bagasi. Kasus-kasus
tersebut secara hukum tentunya hal tersebut harus dipertanggung-
jawabkan. Sebab keterlambatan, kehilangan barang merupakan
bentuk pelanggaran tidak terpenuhinya hak dan kewajiban yang
tertuang dalam dokumen perjanjian maupun pelanggaran atas ke-
tentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis formal
adanya kasus-kasus kerugian yang dialami oleh penumpang,
dapat dinyatakan bahwa pengangkut atau perusahaan penerbangan
telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1995, Ordo- nansi Pengangkutan Udara 1939, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada Pasal 4,


dinyatakan Hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta menda-
patkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas ba-
rang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen se-
cara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan kon-
sumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perun- dang-undangan lainnya.
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 di
atas, jika dikonstruksi pada kegiatan transportasi udara niaga ber-
jadwal nasional, yaitu sebagai berikut: konsumen dalam hal ini
pe- numpang berhak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
ditawarkan oleh perusahaan penerbangan, secara contrario berarti
perusahaan pen- erbangan memiliki kewajiban untuk memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan kepada penumpang.

Pasal 4 tersebut di atas mengandung makna bahwa konsumen


dapat menggunakannya dalam menuntut haknya sebagai penump-
ang atau konsumen dalam transportasi udara. Selanjutnya dalam
hal terjadi keterlambatan penerbangan itu berarti perusahaan telah
melalaikan kewajibannya, yaitu tidak memberikan kenyamanan
ke- pada konsumen. Padahal kewajiban perusahaan penerbangan
ada- lah memberikan informasi yang jelas perihal adanya
penundaan keberangkatan kepada penumpang, baik itu informasi
penyebab keterlambatan maupun lamanya waktu tunggu, dan
selama waktu tunggu penumpang berhak mendapatkan fasilitas
pelayanan, sean- dainya tidak menunggu perusahaan penerbangan
wajib mengali- hkan dengan penerbangan dengan pesawat lain
apabila penyebab keterlambatan berkaitan dengan masalah teknis
pesawat yang telah disediakan sebelumnya.

Selanjutnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen me-


nentukan kewajiban pelaku usaha, sebagaimana ditentukan pada
Pasal 7, yang menyatakan:
Kewajiban pelaku usaha adalah: memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggu- naan, perbaikan dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan keten- tuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan peman- faatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan; mem- beri
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha di atas berlaku
juga dalam kegiatan transportasi udara niaga, sebab perusahaan
penerbangan merupakan pelaku usaha atau produsen. Dengan
demikian, apabila penumpang mengalami kerugian misalnya ba-
rang-barang yang dibawanya hilang, rusak atau musnah atau men-
galami keterlambatan maka kewajiban perusahaan penerbangan
adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian ke-
pada penumpang.
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga dia-
tur tentang tanggung jawab pelaku usaha, yaitu pada Pasal 19,
yang menyatakan:
i. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian kon-
sumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
ii. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawa- tan kesehatan dan/atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
iii. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
iv. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adan-
ya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.
v. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membukti-
kan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan kon-
sumen.
Selain adanya pengaturan tentang hak dan kewajiban kon-
sumen dan pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 juga menentukan tata cara penyele-
saian sengketa konsumen.
Pengaturan tentang penyelesaian sengketa dapat ditafsirkan
sebagai upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penumpang.
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada
Pasal 45 dinyatakan:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung-
jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kon-
sumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.
Dalam penjelasan Ayat (2) dinyatakan: Penyelesaian
seng- keta konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini
tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para
pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk
meng-
gunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
ber- sengketa.Yang dimaksud dengan penyelesaian secara
damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa
melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa
konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat dikemukakan
bahwa konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha
dapat melakukan gugatan.Penyelesaian sengketa konsumen
dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan atau mela-
lui jalur pengadilan. Dikaitkan dengan konsumen transpor-
tasi udara niaga, maka pasal tersebut juga dapat diberlakukan
yaitu bahwa para penumpang yang dirugikan oleh perusahaan
penerbangan dapat mengajukan gugatan terhadap perusahaan
penerbangan. Penyelesaian sengketanya dapat ditempuh
mela- lui pengadilan atau di luar pengadilan. Mengenai
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan diatur dalam
Pasal 48 yang men- yatakan: “penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadi- lan mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.

Sedangkan mengenai para pihak yang dapat mengajukan


gugatan di atur pada Pasal 46 yang menyatakan:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris
yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentin-
gan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berben-
tuk badan hukum atau yayasan, yang dalam angga-
ran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tu-
juan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah mel-
aksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarn-
ya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lem- baga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan
umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan di atas secara jelas dapat dike-
mukakan bahwa penumpang pada transportasi udara niaga
termasuk dalam kategori konsumen yang dapat mengajukan
gugatan terhadap perusahaan penerbangan, sebagaimana din-
yatakan dalam Pasal 23, pelaku usaha yang menolak dan/atau
tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat
mela- lui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen.
2. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa di luar pen-
gadilan, diatur pada Pasal 47 yang menyatakan:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
dise- lenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai ben- tuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.
Dalam memilih penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa model pe-
nyelesaian sengketa, diantaranya melalui Alternatif Resolusi
Masalah (ARM) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,
atau melalui Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-
lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui.
3. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK)
BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki
fung- si sebagai “institusi yang menyelesaikan permasalahan
kon- sumen diluar pengadilan secara murah, cepat dan
sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah
dan kota di se- luruh Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri
dari perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku
usaha. Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang
dikonsumsi akan da- pat memperoleh haknya secara lebih
mudah dan efisien mela- lui peranan BPSK.
Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk men-
dapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang
sejajar baik untuk konsumen maupun pelaku usaha. Dalam
menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK
memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas ke-
benaran laporan dan keterangan dari para pihak yang
berseng- keta.Tagihan, hasil test lab dan bukti-bukti lain oleh
konsumen dan pengusaha dengan mengikat penyelesaian
akhir.
Tugas-tugas utama BPSK :
a. Menangani permasalahan konsumen melalui media-
si, konsiliasi atau arbitrasi;
b. Konsultasi konsumen dalam hal perlindungan kon-
sumen;
c. Mengontrol penambahan dari bagian-bagian
standarisasi;
d. Memberikan sanksi administrasi terhadap pengusa-
ha yang menyalahi aturan;
Tata Cara Penyelesaian Sengketa melalui BPSK
Konsiliasi: BPSK membentuk sebuah badan sebagai
pasif fasilitator; Badan membiarkan yang bermasalah
untuk menyelesaikan masalah mereka secara
menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan
jumlah kompensasi. Ketika sebuah penyelesaian dicapai,
itu akan dinyata- kan sebagai persetujuan rekonsiliasi
yang diperkuat oleh keputusan BPSK. Penyelesaian
dilaksanakan paling lama 21 hari kerja. Mediasi: BPSK
membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang
aktif untuk memberikan petunjuk, nasehat dan saran
kepada yang bermasalah. Badan ini membiarkan yang
bermasalah menyelesaikan
permasalahan mereka secara menyeluruh untuk bentuk
dan jumlah kompensasinya. Ketika penyelesaian dicapai,
itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi yang
diperkuat oleh keputusan BPSK. Penyelesaian dilaksana-
kan paling lama 21 hari kerja.
Arbitrase: Yang bermasalah memilih badan CDSB se-
bagai arbiter dalam menyelesaikan masalah konsumen.
Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan terse-
but menyelesaikan permasalahan mereka; BPSK mem-
buat sebuah penyelesaian final yang mengikat.
Penyelesa- ian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21
hari kerja paling lama. Apabila kedua belah pihak tidak
puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak
dapat menga- jukan keluhan kepada pengadilan negeri
dalam 14 hari setelah penyelesaian di informasikan.
Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban
memberikan penyele- saian dalam 21 hari kerja; Jika
kedua belah pihak tidak puas pada keputusan
pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan
kesempatan untuk mendapatkan se- buah kekuatan
hukum yang cepat kepada pengadilan tinggi dalam
jangka waktu 14 hari. Pengadilan Tinggi badan
pengadilan berkewajiban memberikan penyelesa- ian
dalam jangka waktu 30 hari.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No- mor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, terdapat beberapa Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di berbagai daerah antara
lain di Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota
Makasar. Konsumen peng-
guna jasa transportasi udara, apabila mengalami kerugian
dapat menyelesaikannya melalui lembaga BPSK
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan setiap
konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat
menggugat pelaku usaha melalui BPSK di tempat domisili
konsumen atau pada BPSK yang terdekat.
4. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Lembaga Perlind-
ungan Konsumen Swadaya Masyarakat( LPKSM)
Proses penyelesaian sengketa melalui LPKSM menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dipilih de-
ngan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dalam prosesnya
para pihak yang bersengketa/bermasalah bersepakat memilih
cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya
ditu- angkan dalam bentuk kesepakatan (Agreement) secara
tertulis, yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak dan peran
LPKSM hanya sebagai mediator, konsiliator dan arbiter.
Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada peraturan
yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
serta un- dang-undang lainnya yang mendukung.

Ketentuan yang mengakui keberadaan LPKSM dapat


dite- mukan pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, yang menyatakan:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewu-
judkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memer-
lukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengadu-
an konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan kon-
sumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlind-
ungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana di-
maksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagi konsumen yang mengalami kerugian dalam meng-
gunakan jasa transportasi udara dapat menyelesaikan seng-
ketanya melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat tersebut, sesuai dengan domisili penumpang
yang bersangkutan. Salah satu Organisasi yang bergerak di
bidang pemberdayaan konsumen, yang merupakan bentuk
dari Lem- baga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI). Organisasi ini aktif memberikan advokasi bagi
konsumen.
5. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Pasal 48, penyelesaian sengketa konsumen melalui pen-
gadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum
yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal
45. Apabila konsumen atau penumpang transportasi udara
yang ingin melakukan gugatan terhadap perusahaan pen-
erbangan melalui jalur pengadilan maka konsumen yang
bersangkutan harus memenuhi ketentuan dan prosedur ber-
perkara di pengadilan. Adapun langkah-langkah yang harus
disiapkan antara lain:
a. Menyusun gugatan
b. Mempersiapkan alat bukti atau dokumen yang ber-
hubungan pengangkutan udara, misalnya tiket pe-
sawat
c. Membuat rincian kerugian yang dialami
d. Menyusun kronologis atau proses dari mulai
pembel- ian tiket, check in, boarding pass,
menunggu di bandar udara pemberangkatan hingga
tiba di bandar udara tujuan.
Sedangkan dasar hukum yang digunakan antara lain:
a. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yaitu tentang perbuatan melawan hukum yang men-
imbulkan kerugian;
b. Ordonansi Pengangkutan Udara 1939;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pe-
nerbangan;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang
Keamanan Dan Keselamatan Penerbangan;
f. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Ta-
hun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Ang- kutan Udara.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat,


Laut- dan Udara, Citra Aditya Bakti, Bandung.
, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,
Band- ung.
, 2004, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
, 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan
Niaga di Indonesia, dalam Perspektif Hukum Bisnis di
Era Globalisasi Ekonomi, Penerbit Genta Press,
Yogyakarta.
Ahmad Ichsan, 1993, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta.
Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta.
E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut
dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan
Nasional, Liberty, Yogyakarta.
, 2006, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap
Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol 25, Jakarta.
E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara,
Pener- bit Alumni, Bandung.
, 2000, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan
Makalah 1961-1995), Mandar Maju, Bandung.
Gunawan Widaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang
Perlind- ungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Gray, G. E. and Hoel, L. A. (ed), 1992, Public Transportation,
Pren- tice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
J Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari
Undang- Undang, Bagian Pertama, PT Citra
AdityaBakti, Bandung,
Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata dalam
Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan
Internasion- al, Raja Grafindo Persada, Bandung.
Muchtarudin Siregar, 1978, Beberapa Masalah Ekonomi dan
Managemen Pengangkutan, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Purwosutjipto, HMN. 2003, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Da-
gang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Penerbit Djam-
batan, Jakarta.
Purba, Hasim. 2005, Hukum Pengangkutan Di Laut. Pustaka
Bang- sa Press, Medan.
Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang
Indone- sia ,Jilid I, Gama Media,Yogyakarta.
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya, Bandung.
Rustian Kamaluddin, 2003, Ekonomi Transportasi: Karekteristik,
Teori dan Kebijakan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Suatu
Pengantar, Liberty, Jakarta.
Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di
Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang
dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta.
Sri Redjeki Hartono, 1999. Pengangkutan dan Hukum Pengangku-
tan Darat, Seksi Hukum Dagang FH Universitas Dipon-
egoro, Semarang.
, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar
Maju, Bandung.
, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang.
Wiwoho Soedjono, 1995, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia
dan Perkembangannya, Penerbit Cipta, Jakarta.

Jurnal :

Adnandaka Nurvigya, Alfian Nanung Pradana dan Rizki Nur An-


nisa, “Menelaah Waktu Terjadinya Resiko (Kehilangan /
Kerusakan Barang) dalamPraktik Proses Pengangkutan
Laut”, JurnalGema, Thn XXVII/50/Pebruari-Juli 2015.
Glenn Biondi, Analisis Yuridis Keabsahan Kesepakatan Melalui
Surat Elektronik (E-Mail) Berdasarkan Hukum Indone-
sia, Jurnal Hukum dalam https://media.neliti.com/media/
publications/164959-ID-none.pdf
Krisnadi Nasution, “Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut
Terhadap Penumpang Bus Umum”, Jurnal Mimbar Hu-
kum, Vol. 26 No. 1, Februari 2014.
Muazzin, 2001, “Tanggung Jawab Pangangkut Udara Terhadap
Kerugian Penumpang dan Pihak Ketiga di Permukaan
Bumi”, Jurnal Kanun No. 29 Edis iAgustus, Banda Aceh.
Ridwan Khairandy, “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi
Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Kon-
sumen Angkutan Udara”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25,
2006.
Tri Margono, “Aspek-Aspek Biaya dalam Jasa Informasi”, Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 2, Nopember 2000.
Wagiman, 2006, “Refleksi dan Implemantasi Hukum Udara: Studi
Kasus Pesawat Adam Air”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
25, 2006.

Peraturan perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)


Kitab Undang-Undang Hukum Dagang(WvK)
Konvensi Warsawa 1929
Konvensi Roma 1952
Protokol Hague 1955
Konvensi Guandalajara 1961
Protokol Guatemala 1971
Ordonansi Penerbangan Udara 1939 tentang Pengangkutan Udara
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kon-
sumen
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 ten-
tang Pelayaran.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Ke-
celakaan Penumpang
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009
tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai
Serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Ba-
rangKedandari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Di-
tunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabu-
han Bebas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhanan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan
dan Keselamatan Penerbangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
tentang Kenavigasian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010
tentang Angkutan di Perairan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010
tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
tentang Angkutan Multimoda.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan;
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 ten-
tang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 37 /PMK.010 /2008 tentang
Besaran Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan
Kecelakaan Penumpang Alat Angkut Penumpang Umum
di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut, dan
Udara.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 ten-
tang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Internet :

https://hukumtransportasi2015.wordpress.com/2015/05/08/sis-
tematika-buku-ajar-hukum-pengangkutan-karya-melki-
anus-e-n-benu-s-h-m-hum-ongoing/. Diaksestanggal 7
Maret2019
http://www.majalahkonstan.com, diaksestanggal 7 Maret 2019
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/12/20/penump-
ang-pesawat-penerbangan-domestik-januari-okto- ber-
2018, Diaksestanggal 7 Maret 2019
http://abdulhakimkusumanegara.blogspot.com/2015/05/ruang-
lingkup-pengangkutan-pada-umumnya.html, Diakses
Tanggal 7 Maret 2019, Pukul 22.34 WIB.
http://soegeng-poernomo.blogspot.com/2015/05/perjanjian-pen-
gangkutan.html, DiaksesTanggal 7 Maret 2019, Pukul
23.01 WIB
http://nugrahaningtyasputriutami.blogspot.com/2015/04/resume-
buku-ajaran-hukum-pengangkutan.html. Diakses tanggal
7 Maret 2019, Pukul 23.38 WIB
TENTANG PENULIS

Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum, lahir di


Magetan Jawa Timur, 26 Juli 1974,
Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah di
kota kelahi- rannya. Menyelesaikan
Pendidikan Sarjana Hukum (1999) di
Fakultas Hukum Unmer Madiun, Magister
Hukum S2 (2004) di Pro- gram Pascasarjana
Universitas Brawijaya Ma- lang dan saat ini
sedang studi di Program
Doktoral S3 di Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Selain aktif mengajar di kampus Universitas Merdeka
Madiun juga sangat aktif dalam bidang penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat yang dibiayai oleh DP2M Dikti serta menulis
buku dan artikel pada jurnal-jurnalilmiah.
Buku yang sudah diterbitkan: Pengantar Hukum Adat Indone-
sia (2016), Hukum Waris Adat (2016), Cita Hukum Pancasila,
Rag- am Paradigma Hukum Berkepribadian Indonesia (Bunga
Rampai) (2016), Hukum Kontrak dan Perkembangannnya (2016),
Hukum dan Teknologi (2017), Hukum Perseroan Terbatas (2017),
Hukum Kehutanan (2017), Hukum Agraria Indonesia (2017),
Filsafat Hu- kum Paradigma Modernisme Menuju Post
Modernisme (2018), Hukum Koperasi, Usaha Potensial dan
UMKM (2018).
TENTANG PENULIS

Hilman Syahrial Haq, S.H., LLM. Lahir di


Mataram, 22 September 1983. Pendidikan Se-
kolah Dasar dan Menengah di kota kelahiran-
nya, Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hu-
kum (2005) di Fakultas Hukum Universitas
Mataram, Magister Hukum S2 (2005) di Pro-
gram Pascasarjana Universitas Gajah Mada
Yogyakarta dan saat ini sedang studi di Pro-
gram Doktoral S3 di Sekolah Pascasarjana Universitas Muham-
madiyah Surakarta. Selain aktif mengajar di kampus Universitas
Muhammadiyah Mataram (UMMAT) juga sangat aktif dalam pe-
nelitian dan menulis artikel pada jurnal-jurnal ilmiah. Penelitian
yang dihasilkan antara lain: Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di
Jawa Berbasis KolaboratifHolistik (2016), Perkawinan Merarik
dan Tradisi Selabar Masyarakat Sasak (2016), Konflik Hukum
Lokal dengan Hukum Nasional dalam Perkawinan Merarik dan
Waris Adat di Masyarakat Sasak (2017). Artikel publikasi ilmiah
antara lain : Mengukuhkan Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem
Hukum Indonesia (Studi Terhadap BSD Sebagai Mediasi
Komunitas di Desa Sintung Lombok Tengah) (Prosiding
Konfrensi Nasional APPPTM Ke-4 Palembang 2016),
Mengukuhkan Eksistensi Hu- kum Adat dalam Sistem Hukum
Indonesia (Studi Terhadap Pengembangan Kelembagaan Mediasi
Komunitas) (Jurnal Yustisia Merdeka, 2016), Keadilan Berhati
Nurani (Sebuah Tawaran Rule Breaking Bagi Hakim dengan
Pendekatan Legal Pluralism) (Prosid- ing Konfrensi Nasional
AFHI Ke-6 Bandung 2017), Local Law
Conflict with National Law in Marriage of Lombok (IOSR Journal
Of Humanities And Social Science Vol. 23, Issue 7, Ver.5 2018),
dan Menakar Potensi Konflik Pilkada Serentak (Jurnal Yustisia
Merde- ka 2018).
Catatan: ................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.. .............................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.... ...........................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
...... .........................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
........ .......................................................................................................
................................................................................................................
...............................................................................................................
........... ....................................................................................................
...............................................................................................................
................................................................................................................
.............. .................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................ ...............................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.................. .............................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.................................................. .............................................................
................................................................................................................
Catatan: ................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.. .............................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.... ...........................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
...... .........................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
........ .......................................................................................................
................................................................................................................
...............................................................................................................
........... ....................................................................................................
...............................................................................................................
................................................................................................................
.............. .................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................ ...............................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.................. .............................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
.................................................. .............................................................
................................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai