Untitled
Untitled
Contoh Kasus :
Sekolah Menengah Atas A yang masih memakai kurikulum KTSP ingin mengadakan
psikotes penjurusan terhadap murid kelas 10 untuk menentukan jurusan apa yang akan para
murid ambil ketika naik kelas 11. Salah satu guru sekolah A menghubungi seorang psikolog
yang kemudian mengadakan pertemuan lebih lanjut. Dalam pertemuan tersebut guru dari
sekolah A dan sang Psikolog membahas mengenai kesepakatan waktu dan tanggal psikotes,
tempat pelaksanaan, waktu penerimaan laporan hasil psikotes, biaya layanan psikotes, dan
mekanisme pembayaran. Setelah kedua pihak sepakat untuk bekerja sama dan kertas
kesepakatan ditandatangani. Sebelum melaksanakan psikotes, psikolog dan timnya
meng-survey sekolah A, dan sebelum mereka survey lokasi, pihak sekolah A harus sudah
melunasi 25% dari biaya yang telah disepakati kepada psikolog. Dua Minggu setelah
pelaksanaan psikotes, laporan hasil psikotes telah selesai dibuat dan diserahkan kepada pihak
sekolah A. Satu bulan berlalu setelah pemberian hasil psikotes, pihak sekolah A tidak
kunjung melunasi sisa 75% dari pembayaran. Karena kesal, psikolog pun menyebarkan
kepada rekan-rekan psikolog nya agar tidak menerima permintaan jasa layanan psikologi oleh
sekolah A. Seminggu kemudian psikolog tersebut mengurus masalah pembayaran tersebut
kejalur hukum. Dua hari setelah pengajuan ke jalur hukum dilakukan, sekolah A membayar
lunas sisa pembayaran. Lima hari kemudian, pihak sekolah A kebingungan karena mendapati
surat dari kepolisian mengenai pembayaran jasa layanan psikologi. Pihak sekolah yang
kebingungan, akhirnya menghubungi sang Psikolog untuk meminta penjelasan dan
pencabutan pengaduan