Anda di halaman 1dari 12

REVIEW JURNAL 1

Identitas Jurnal :

Judul : Co-Creation of Social Entrepreneurial Opportunities with Refugees

Penerbit : Researchgate - Journal of Social Entrepreneurship

Tahun : 2019

Penulis : Aki Harima & Julia Freudenberg

 LATAR BELAKANG
Issue :
Penelitian berlatar belakang persekusi, konflik dan kekerasan di Jerman
pada akhir tahun 2016 sehingga menyebabkan 65,6 juta orang terpaksa mengungsi.
Mengintegrasikan para pengungsi ini merupakan tantangan besar bagi Jerman dan
semua negara Eropa Barat lainnya, dan mencapai tujuan ini mungkin memerlukan
pendekatan inovatif dan jangka panjang.
Sementara beberapa prakarsa kewirausahaan sosial memiliki dampak sosial
yang cukup besar, menangani kebutuhan pengungsi sangat menantang terutama
karena tiga alasan: Pertama, dibandingkan dengan migran, pengungsi merupakan
kelompok yang sangat heterogen. Pengusaha sosial, kemudian, diminta untuk
memenuhi kebutuhan yang agak beragam. Kedua, akses dan interaksi lokal dengan
komunitas pengungsi sangat terbatas. Jaringan yang dibentuk oleh pengungsi
cenderung bersifat informal, sehingga sulit bagi wirausahawan sosial untuk
mendapatkan informasi dari dan mendapatkan legitimasi dalam komunitas
pengungsi. Ketiga, pengungsi menghadapi banyak kendala bahasa, hukum dan
budaya di negara tuan rumah mereka.
Baik pemerintah maupun sektor swasta telah berusaha keras untuk
memfasilitasi integrasi sosio-ekonomi para pengungsi di Jerman. Sosial
kewirausahaan memiliki potensi untuk melengkapi dan mempercepat proses ini
dengan menjawab tuntutan para pengungsi yang belum dan mungkin tidak dapat
dipenuhi oleh aktor kelembagaan besar.
Hal-hal yang melatarbelakangi penelitian di jurnal ini dapat dilihat dari dua sisi,
yakni kontekstual dan konseptual. Berikut adalah penjelasan selengkapnya.

1.1. Kontekstual
Secara kontekstual, terdapat 1 poin utama yang melatarbelakangi penelitian ini,
yaitu:
a) Ketidakjelasam apakah, dan sejauh mana, pengusaha sosial lokal dapat
secara efisien menangani kebutuhan pengungsi dan mengembangkan
solusi bagi mereka.
b) Meskipun meningkatnya minat dalam kegiatan kewirausahaan para
pengungsi itu sendiri, sedikit pekerjaan yang telah dilakukan pada potensi
individu wirausaha pengungsi untuk berkontribusi pada inisiatif
kewirausahaan sosial yang ada dan untuk mengembangkan yang baru.

1.2. Konseptual
Secara konseptual terdapat 2 poin utama yang melatarbelakangi penelitian ini,
yaitu:
a) Social Entrepreneurship
Masih belum ada definisi umum tentang kewirausahaan social,
sementara wirausahawan sosial di seluruh dunia telah berkontribusi pada
penciptaan nilai sosial melalui aktivitas kewirausahaan mereka dan
kesuksesan mereka telah menarik banyak perhatian para peneliti dalam
beberapa dekade terakhir, seperti Zahra et al. (2009), Bacq & Janssen
(2011), Bruin dan Lewis (2015), Chell, Nicolopoulou, dan Karatas - Ozkan
(2010).
Selanjutnya berdasarkan pendekatan konstruktivis sosial oleh Zahra
et al. (2009), artikel ini memahami bahwa kewirausahaan sosial sebagai
tindakan yang tertanam dalam konteks masyarakat dan komunitas
sebagaimana dikemukakan oleh Smith dan Stevens (2010), Pret dan Carter
(2017). Dalam jurnal ini, peneliti memahami wirausahawan sosial sebagai
agen multidimensi yang berusaha mewujudkan misi sosial dengan bekerja
sama dengan orang lain.
Sementara penelitian sebelumnya berfokus pada tindakan kolektif
pengusaha sosial dengan masyarakat dan pemangku kepentingan umum
seperti dalam penelitian oleh Choi (2015), Huybrechts, Nicholls, dan
Edinger (2017), Bruin, Shaw, dan Lewis (2017), potensi pelibatan
kelompok sasaran yang kurang beruntung seperti pengungsi ke dalam
proses pengembangan bisnis sosial sebagai pelaku wirausaha belum dinilai.
Sehingga literatur ini dikaitkan dengan studi terbaru yang
menunjukkan bahwa kewirausahaan sosial dapat menjadi sarana untuk
mengintegrasikan kelompok minoritas sebagaimana diteliti oleh Anderson,
Dana, dan Dana (2006) dan mekanisme untuk mengintegrasikan orang-
orang yang kurang beruntung yang diteliti oleh de Clercq dan Honig (2011).

b) Social Entrepreneurial Opportunities


Menurut Sarasvathy et. al (2003) pengakuan peluang merupakan
bagian integral dari kewirausahaan. Beberapa faktor penentu
mempengaruhi proses ini. Misalnya, pengetahuan sebelumnya tentang
pasar, masalah pelanggan, dan cara melayani pelanggan telah terbukti
memengaruhi pengenalan peluang. Selain faktor-faktor tersebut, jaringan
sosial dan ciri-ciri pribadi seperti kreativitas dan oportunisme.
Peran pengakuan peluang dalam konteks kewirausahaan sosial
sedikit dipahami, tetapi aman untuk berasumsi bahwa itu mungkin berbeda
dari proses serupa di lingkungan komersial. Meskipun penelitian tentang
peluang kewirausahaan sosial cukup baru, namun menurut Henry (2015),
ada konsensus bahwa peluang dalam konteks ini berbeda dengan
kewirausahaan komersial. Misalnya, yang pertama terutama ditentukan oleh
misi sosial yang tujuan utamanya adalah membuat masyarakat menjadi
lebih baik. Karena tujuan utama wirausahawan sosial adalah untuk
memenuhi misi sosial mereka, pemangku kepentingan mengharapkan
wirausahawan untuk berbagi peluang dan solusi untuk mengukur dampak
social.
Dalam studi eksploratif mereka tentang pengembangan peluang
dalam kewirausahaan sosial, Corner dan Ho (2010) mengidentifikasi
tindakan kolektif sebagai salah satu karakteristik utama dari peluang
kewirausahaan sosial. Pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan dan
masyarakat dalam pengenalan peluang usaha sosial telah diakui dalam
literatur. Karena sifat kewirausahaan sosial, pengusaha harus dekat dengan
masalah sosial yang mereka tangani.
Menurut Ardichvili, Cardozo dan Ray (2003), istilah pengenalan
peluang tidak digunakan untuk menggambarkan fenomena statis tetapi
proses dinamis, sebuah perspektif yang juga telah memiliki penerapan
dalam investigasi pengakuan peluang kewirausahaan social. Roberts dan
Woods (2005) menunjukkan bahwa jika ingin mengarah pada perubahan
sosial yang transformatif, kewirausahaan sosial memerlukan tiga langkah:
(i) konstruksi peluang; (ii) evaluasi peluang; dan (iii) pengejaran peluang.
Selanjutnya oleh Perrini, Vurro, dan Costanzo (2010) memperluas
pandangan kewirausahaan sosial berbasis proses dengan membagi langkah
ketiga dari model Roberts dan Woods (2005) menjadi tiga fase, yaitu
formalisasi peluang, langkah ketika misi sosial dan nilai-nilai inti dari usaha
dibentuk, eksploitasi peluang, langkah ketika jenis model investasi dan
bentuk organisasi dan hukum dipilih, dan peningkatan peluang, langkah
ketika model bisnis direplikasi dan dengan demikian ditingkatkan untuk
memaksimalkan dampak sosial.
Namun dalam jurnal penelitian ini menerapkan model Roberts dan
Woods untuk penyelidikan, karena memungkinkan untuk menggambarkan
proses pengenalan peluang wirausahawan sosial dengan jelas. Karena data
yang dikumpulkan terutama berkaitan dengan tahap pertama dari proses,
model yang lebih baru, dengan kontribusi penting yang berkaitan dengan
tahap selanjutnya, tidak mungkin memberikan manfaat teoretis untuk
penelitian.
 METODE PENELITIAN
Adapun penelitiian ini menggunakan desain kualitatif dengan data
primer yang terdiri dari 13 wawancara mendalam dengan individu
pengusaha lokal dan pengungsi dan tiga wawancara semi-terstruktur dengan
penyelenggara akselerator. Wawancara dengan individu memiliki dua
bagian. Yang pertama berurusan dengan latar belakang pribadi dan
profesional, pengalaman kewirausahaan dan pengalaman khusus pengungsi
di negara asal dan tuan rumah. Bagian kedua dieksplorasi, antara lain,
motivasi peserta untuk berpartisipasi dalam program atau pengalaman
mereka tentang pembentukan tim dan tentang proses dalam kelompok
campuran.
Wawancara dan catatan yang disusun selama observasi dianalisis
secara terpisah oleh peneliti menggunakan MAXQDA. Pada awal proses
pengkodean, peneliti menerapkan model dari Roberts dan Woods (2005).
Pada langkah selanjutnya, peneliti menggunakan proses pengkodean
induktif dengan iterasi antara teori dan empirisme, sebuah pendekatan yang
membutuhkan pertemuan rutin. Setelah beberapa literasi, kemudian
dikembangkan kategorinya berdasarkan kesamaan logis dan level ontologis
dari setiap elemen.

 TEMUAN (Opportunity Co-Creation)


Penciptaan bersama peluang wirausaha sosial selama program RIC
mengenai tiga fase yang dijelaskan oleh Roberts dan Woods (2005): konstruksi
peluang (opportunity construction), evaluasi peluang (opportunity evaluation), dan
pengejaran peluang. (opportunity pursuit):
 Social opportunity construction
Ditemukan bahwa terdapat lima peserta lokal yang tidak memiliki
pengalaman sebelumnya tentang kewirausahaan sosial; alasan utama
mengapa mereka mendaftar ke program RIC adalah karena mereka berharap
dapat mengembangkan profil mereka dengan terlibat dalam kegiatan
kewirausahaan sosial. Sebaliknya, hanya satu peserta pengungsi yang
mengetahui konsep kewirausahaan sosial sebelum proyek dan potensinya
sebagai sarana untuk mengatasi beberapa tantangan yang dihadapi
pengungsi yang tiba di Eropa Barat. Meski menjadi wirausaha sosial
bukanlah cita-cita para peserta pengungsi, namun mereka semua
bersemangat untuk memperbaiki situasi pengungsi di Jerman saat ini.
Peserta pengungsi memainkan peran penting sebagai perwakilan
dari kelompok target dan sebagai mediator antara penduduk setempat dan
komunitas pengungsi dalam tahap konstruksi gagasan. Akibatnya, tim
campuran memulai proses pengembangan ide yang dimulai dengan dan
terus kembali ke kebutuhan kelompok sasaran.

 Social Opportunity Evaluation


Pada sesi ini tim wirausaha sosial campuran dapat menilai dan
memvalidasi ide mereka dari perspektif kelompok sasaran. Kemampuan
untuk memvalidasi ide secara instan memungkinkan tim campuran untuk
melewati langkah-langkah yang sering dibutuhkan, misalnya wawancara
dengan kelompok fokus. Alhasil, mampu mempersingkat fase evaluasi ide.
Di satu tim, peserta pengungsi kurang proaktif dibandingkan dengan
pengungsi di kelompok lain. Salah satu penjelasannya mungkin karena dia
jauh lebih muda dari peserta lain dan merasa tidak aman dengan latar
belakang kejuruan dan akademiknya. Dalam kasusnya, dia lebih merupakan
penerjemah daripada mediator proaktif. Meskipun penerjemahan juga
penting, tidak jelas apakah perlu melibatkan pengungsi sebagai salah satu
pendiri dalam tim proyek atau apakah cukup untuk mengalihdayakan fungsi
ini ke mitra eksternal.

 Social Opportunity Pursuit


Disini ditemukan bahwa memiliki pengungsi sebagai salah satu
pendiri juga memungkinkan tim untuk mengatasi tantangan terkait
legitimasi proyek. Karena tim menyertakan pengungsi dengan aspirasi
kewirausahaan, kegiatan wirausaha sosial bagi pengungsi tampak lebih
kredibel daripada tanpa keterlibatan semacam ini. Tim menghindari
menciptakan kesan bahwa inisiatif mereka terutama pendekatan top-down
untuk memecahkan masalah yang dialami para pengungsi. Kesan semacam
ini dapat berdampak buruk pada kesediaan pengungsi untuk menerima
bantuan dari luar. Sebaliknya, kontribusi individu dengan pengalaman dan
latar belakang yang sama dapat meningkatkan legitimasi inisiatif
kewirausahaan sosial. Seperti yang dijelaskan salah satu peserta,
Masalah legitimasi sangat relevan dalam konteks ini karena
beberapa alasan lain. Pertama, pengungsi cenderung menderita karena
kurangnya informasi tentang negara tuan rumah karena hambatan budaya,
bahasa dan kelembagaan. Terpaksa bermigrasi ke tanah yang tidak dikenal,
mereka tidak dapat mempersiapkan diri untuk lingkungan baru mereka.
Kedua, begitu mereka tiba, mereka seringkali terpinggirkan dan terputus
dari berbagai sumber informasi. Karena kondisi ini, mereka harus
bergantung pada jaringan informal dan dapat mengembangkan ikatan
emosional dengan individu lain di kamp pengungsian. Tim campuran dapat
membantu mengatasi beberapa tantangan ini dan berkontribusi pada rasa
saling percaya dan hormat yang muncul, yang mungkin menjadi prasyarat
penting untuk keberhasilan inisiatif sosial dalam konteks ini.
 Facilitating and Limiting Factors
Hasil menunjukkan bahwa integrasi pengungsi memiliki efek positif
pada frase pengembangan peluang dari inisiatif kewirausahaan sosial yang
menargetkan kelompok ini. Efek ini, bagaimanapun, dipengaruhi oleh tiga
rangkaian faktor yang terkait dengan dinamika internal dan eksternal, yang
dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat keterlibatan dan kinerja.
Rangkaian pertama mencakup tiga faktor utama berikut yang memengaruhi
dinamika tim: (i) berbagi misi sosial; (ii) budaya, dan (iii) keseimbangan
kekuasaan.
Perbedaan budaya tidak serta merta menyebabkan kegagalan dalam
tim campuran. Seperti dalam konteks profesional lainnya, perbedaan dan
konflik terkait semacam ini muncul ketika orang-orang yang berasal dari
berbagai negara bekerja sama secara erat. Kami menemukan bahwa
kompetensi antar budaya memainkan peran penting dalam menyelesaikan
konflik ini dan menangani masalah. Kompetensi ini penting bagi peserta
lokal dan pengungsi yang bekerja dalam tim campuran. Misalnya,
Pengungsi A dan Lokal A menekankan bahwa mereka mampu menangani
konflik antar budaya dalam tim campuran karena pengalaman mereka
sebelumnya.
Ketidakseimbangan kekuatan dalam sebuah tim dapat disebabkan
oleh kualifikasi, motivasi, atau perbedaan budaya yang berbeda dan dapat
memengaruhi sejauh mana tim dapat memanfaatkan kapasitas
kewirausahaan pengungsi. Jika peserta lokal memiliki pengaruh yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan peserta pengungsi, potensi dan
kemampuan kewirausahaan dari kelompok yang terakhir ini sebagian besar
masih belum dimanfaatkan, dan pengungsi mungkin akan berakhir.

 Co-Creating Social Entrepreneurial Opportunities With Refugees


Berikut adalah serangkaian proposisi penelitian berdasarkan temuan
empiris peneliti dan berdasarkan studi sebelumnya dalam literatur
kewirausahaan, mengusulkan model proses konstruksi peluang.
Karena peserta pengungsi bukan hanya salah satu pendiri tetapi juga
perwakilan dari kelompok sasaran, tim campuran, terutama mengingat marjinalisasi
kelembagaan kelompok ini di Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, sedekat
mungkin dengan masalah sosial. Hasil ini menyarankan dua proposisi berikut
sehubungan dengan langkah pertama, yaitu konstruksi peluang sosial:
a) RP1-a: Melibatkan pengungsi sebagai co-founder memungkinkan tim
wirausaha sosial untuk membangun peluang dengan koridor pengetahuan
yang lebih luas karena mereka dapat menggabungkan pengetahuan
pengungsi tentang masalah mereka dan pengetahuan kelembagaan lokal.
b) RP1-b: Peluang yang diciptakan oleh tim campuran pengungsi dan
penduduk lokal lebih mungkin untuk mengatasi kebutuhan dan masalah
aktual pengungsi daripada peluang yang diidentifikasi oleh pengusaha lokal
saja.

Validasi ide internal dan eksternal diperlukan dalam konteks kewirausahaan


sosial. Sebuah ide atau rencana untuk mencapai tujuan perubahan sosial tertentu
perlu, dalam kasus yang diperiksa di sini, untuk dievaluasi baik secara internal
maupun eksternal oleh para pengungsi, tetapi untuk memahami apakah solusi ini
juga layak secara ekonomi, kita juga perlu menilai permintaan dan teknis.
c) PR2-a: Pengungsi individu dengan aspirasi kewirausahaan memberikan
umpan balik langsung kepada tim kewirausahaan sosial sebagai perwakilan
dari kelompok sasaran terhadap peluang bisnis sosial, yang memungkinkan
tim untuk melewati validasi ide awal yang memakan waktu (validasi ide
internal).
d) PR2-b: Melibatkan pengungsi dalam proses pengembangan peluang sosial
memungkinkan tim campuran untuk mendapatkan akses ke komunitas
sasaran dan memvalidasi peluang (validasi ide eksternal).
e) RP2-c: Pengusaha lokal membekali tim kewirausahaan sosial dengan
pengetahuan institusional dan teknologi, yang kemudian dapat digunakan
untuk mengevaluasi/menguji kelayakan ide (validasi ide internal).
f) RP2-d: Pengusaha anggota lokal memberi tim kewirausahaan sosial akses
ke pemangku kepentingan utama dan masyarakat setempat untuk
memvalidasi kesiapan mereka untuk mendukung inisiatif mereka (validasi
ide eksternal)

Setelah wirausahawan sosial membangun dan mengevaluasi peluang,


mereka mencapai langkah ketiga, yaitu, pengejaran peluang, fase di mana tim mulai
mengubah ide mereka menjadi kenyataan. Pada tahap ini, legitimasi kelembagaan
memainkan peran penting, karena perilaku organisasi harus sesuai dengan sistem
nilai dalam masyarakat tempat mereka bertindak. Untuk mencapai keterlekatan
kelembagaan, penting bagi organisasi untuk secara proaktif memperoleh,
mempertahankan, dan memperbaiki legitimasi.
Scott (1995) berpendapat bahwa ada tiga dimensi yang menentukan
legitimasi, yaitu dimensi regulatif, normatif, dan kognitif. Berbeda dengan
pengungsi yang hanya memiliki izin tinggal sementara, pengusaha lokal tidak
menghadapi bahaya atau hambatan hukum seperti itu, misalnya saat mendaftarkan
perusahaan.
Dimensi legitimasi yang kedua adalah dimensi normatif, yang ditentukan
oleh sistem moral dan etika. Dalam dimensi ini, baik pengusaha lokal maupun
pengungsi dapat memainkan peran yang signifikan, bisnis sosial yang bertujuan
memfasilitasi integrasi pengungsi diharapkan dapat memenuhi norma sosial dan
memiliki kewajiban moral baik pengungsi maupun masyarakat lokal. Ketiga,
pengusaha pengungsi dapat berkontribusi dalam proses legitimasi jika menyangkut
dimensi kognitif. Agar prakarsa kewirausahaan sosial menjadi sah, komunitas
pengungsi perlu mengakui bahwa mereka dapat dipercaya dan membantu. Untuk
mendapatkan kepercayaan dari komunitas ini, tim wirausaha perlu memahami dan
menerima nilai, keyakinan, dan asumsi pengungsi.
g) RP3-a: Pengusaha lokal dapat membantu inisiatif sosial untuk mendapatkan
legitimasi regulatif karena mereka mengenal dan dapat menavigasi sistem
hukum di negara tertentu
h) RP3-b: Pengusaha lokal dan pengungsi dapat berbagi pengetahuan mereka
tentang sistem moral dan etika komunitas lokal dan pengungsi, sebuah
pendekatan yang kemungkinan akan meningkatkan legitimasi normatif
bisnis sosial mereka.
i) RP3-c: Pengusaha pengungsi dapat membantu membangun legitimasi
kognitif untuk tim kewirausahaan sosial, karena mereka berbagi nilai dan
kepercayaan dengan komunitas pengungsi

 SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA


Karena penelitian ini bersifat eksploratif, temuan yang disajikan di
sini bersifat tentatif. Penelitian masa depan tentang kewirausahaan sosial
perlu menyelidiki proses pengembangan bersama peluang kewirausahaan
sosial dengan kelompok rentan lainnya seperti perempuan, penyandang
disabilitas atau etnis minoritas untuk mengonfirmasi temuan kami terkait
pengungsi. Investigasi integrasi wirausaha pengungsi yang berfokus pada
negara lain dapat menjelaskan validitas model konseptual dasar yang
dikembangkan di sini. Peneliti selanjutnya yang menyelidiki kewirausahaan
pengungsi disarankan untuk meneliti potensi kerjasama dengan pengusaha
lokal untuk mengatasi hambatan kelembagaan.
 KETERBATASAN PENELITIAN
 Temuan dan model konseptual yang diajukan dalam jurnal terkait erat
dengan kondisi khusus yang diteliti.
 Terdapat negara lain di Eropa Barat yang, seperti Jerman, harus mencari
cara untuk memfasilitasi integrasi pengungsi. Karena masing-masing
negara ini, bagaimanapun, dicirikan oleh lingkungan kelembagaan yang
berbeda, terutama tentang pengungsi
 Model konseptual yang diusulkan di sini harus diverifikasi dan, mungkin,
hrus disesuaikan dengan konteks nasional atau budaya yang berbeda.
 Aspek lain yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian ini adalah
pengaturan yang disediakan oleh program RIC. Program ini dikembangkan
dalam waktu yang sangat singkat dan penyelenggara hampir tidak punya
waktu untuk mempersiapkan secara memadai untuk pergantian acara
selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai