Anda di halaman 1dari 3

17

CERITA FIKSI

Ketamakan An Li

Di sebuah kota, hiduplah seorang saudagar kaya namun tamak yang


bernama An Li. Suatu hari An Li sedang berjalan-jalan, ia mendengar
percakapan dua penduduk desa. "Menurut cerita, di dalam hutan itu,
ada sebuah bukit sakti. Bukit itu bisa melipatgandakan kekayaan..." An
Li penasaran. Ia terus menguping sampai akhirnya ia tahu di mana letak
bukit yang dibicarakan kedua orang itu.

Tanpa membuang waktu, An Li segera pergi ke bukit sakti itu. Ia pergi


ke hutan yang terletak di tepi kota itu. Belum lama ia masuk ke hutan itu,
tiba-tiba muncullah seorang pertapa tua di hadapan An Li.

"Pertapa tua, betulkah ada bukit sakti di dalam hutan ini?" tanya An Li.
Pertapa itu langsung menjelaskan. "Bukit itu akan segera kau temukan
begitu aku pergi. Dakilah bukit itu. Disana terdapat empat tangkai mawar
biru. Kau hanya boleh memetik satu tangkai. Jangan berbalik ke mawar
yang sudah kau lewati! Ingatlah pesanku. Keserakahan akan
menghancurkanmu. Menyesal tak ada gunanya," katanya melanjutkan
lalu menghilang.

Pada saat itu juga, muncul sebuah bukit hijau di hadapan An Li.
Saudagar itu agak takut, namun ia lalu mengikuti petunjuk pertapa tua
tadi. Setelah An Li mendaki, ia menemukan setangkai mawar biru yang
tumbuh di tanah. An Li segera mendekat. Saat jemari An Li menyentuh
helai mawar biru tersebut, muncullah peri kecil. Sambil tersenyum sang
peri berkata lembut, "An Li, bila kau memetik mawar ini, hartamu akan
berlipat lima kali. Kau akan menjadi orang terkaya di kotamu."
"Ah, tanpa memetik kau pun, aku sudah menjadi orang terkaya di kota,"
An Li pun meninggalkan mawar pertama. Beberapa saat kemudian, An
Li menemukan mawar kedua. "Mawar kedua ini akan membuatmu
menjadi orang terkaya di seluruh negeri, An Li," ucap peri penjaga
mawar itu. "Huh, tanpa mawar ini pun sebentar lagi aku pasti bisa
melebihi kekayaan Kaisar Chen," jawab An Li sombong lalu melanjutkan
perjalanan.

Lalu sampailah An Li pada mawar ketiga. Muncul peri yang berkata,


"Petiklah mawar ketiga ini, An Li. Kau akan menjadi orang terkaya di
Pulau." "Mawar pertama membuatku menjadi orang terkaya di kota.
Mawar kedua membuatku menjadi orang terkaya di negeri. Mawar
ketiga ini membuatku menjadi orang terkaya di Pulau. Hahaha, berarti
mawar keempat akan membuatku menjadi orang terkaya di dunia!" ucap
An Li penuh ketamakan.

Ia lalu bertekad untuk menemukan mawar keempat. An Li berlari penuh


semangat mencari mawar keempat. Setelah mendaki cukup lama,
barulah mawar keempat itu terlihat. An Li segera mendekat. Dengan
penuh ketamakan, tangan An Li mencabut mawar itu hingga ke akar-
akarnya. Anehnya, pada saat tangannya menggenggam mawar
tersebut, warna biru mawar itu langsung berubah menjadi hitam.
Bersamaan dengan itu, muncul peri penjaga mawar keempat. Wajahnya
sangat mengerikan.

"Ingatlah An Li, ketamakan dan rasa tidak puas hanya akan


menghancurkanmu! Dengan memetik mawar ini, terlihatlah betapa
tamaknya engkau!"

Tahukah kau apa yang akan diberikan mawar ini untukmu jika kau
memetiknya?" tanya sang peri penuh kemarahan. "Aku akan menjadi
orang terkaya di dunia, kan?" tanya An Li gugup. "Tidak akan! Mawar
keempat yang terlanjur kau petik itu akan membuatmu menjadi orang
paling miskin di dunia. Hartamu akan habis! Terimalah akibat dari
ketamakanmu, An Li!" seru sang peri. Ucapan tersebut seketika
membuat An Li berada di kotanya sendiri.

"Malangnya nasib Tuan An Li. Baru tadi pagi kudengar empat kapal
dagangnya tenggelam. Kini rumah dan hartanya terbakar habis. Bahkan
kereta kudanya juga dirampok tadi siang!" sayup-sayup An Li
mendengar percakapan sekelompok penduduk kota. "Hei, lihat!
Pengemis itu mirip sekali dengan Tuan An Li!" seru seorang anak kecil
kepada temannya, saat ia melihat An Li. An Li langsung melihat dirinya
sendiri. Benar saja. Baju yang kini ini pakai sudah compang-camping.

An Li terjatuh lemas. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat itu. Andai
saja ia tidak mendengar percakapan tentang harta yang bisa
dilipatgandakan. Andai saja ia tak tamak. Memang benar apa yang
dikatakan sang pertapa tua. Tak ada gunanya menyesal. Semua ini
terjadi karena ia tak pernah puas dan bersyukur atas apa yang ia miliki.

Luthfi musyaffa irawan

7.8

Anda mungkin juga menyukai