Anda di halaman 1dari 4

Dokumen ini merupakan tanggapan dari Santi Kusumaningrum (Direktur PUSKAPA) sebagai salah satu

narasumber atas berbagai pertanyaan yang diterima pada pelaksanaan Webinar Perluasan Makna Kerentanan
dalam Pandemi COVID-19 yang diselenggarakan oleh Bappenas bekerja sama dengan KOMPAK dan PUSKAPA
pada Selasa 19 Mei 2020.

Bagaimana bantuan sosial kepada kelompok rentan dapat disalurkan dengan baik (tepat sasaran)?

Secara prinsip, menyalurkan bantuan secara tepat adalah bentuk keadilan selain juga dituntut sebagai akuntabilitas.
Sudah banyak pembelajaran yang bisa kita acu untuk meminimalisir ketidaktepatan sasaran. Di antaranya,
meminimalisir exclusion dan inclusion error di dalam pangkalan data program bantuan. Pangkalan data harus sebisa
mungkin melingkupi mereka yang memenuhi syarat menerima bantuan dan tidak menyertakan mereka yang
sebetulnya tidak berhak. Ini tergantung dari penjangkauan program, mulai dari pendataan, verifikasi, validasi,
sampai distribusi. Juga, dapat menguat bila didukung basis data dasar penduduk yang lengkap dan akurat.
Teknisnya, saya yakin Bappenas dan Kementerian Sosial serta sekarang KemendesPDTT sudah amat menguasai
karena bukan hal baru. Tetapi, saya ingin juga mengajak kita semua untuk adil sejak memikirkan program bantuan.
Artinya, ketika program bantuan mendefinisikan siapa yang berhak tersebut. Untuk itulah pertimbangan berbagai
bentuk kerentanan di samping kemiskinan menjadi penting. Semuanya ada di dalam masukan kebijakan ini.
Tentunya harus diikuti dengan upaya pendataan dan penjangkauan yang lebih inklusif, mulai dari pendekatannya
hingga eksekusinya.

Bagaimana bentuk kolaborasi untuk dapat segera menjangkau masyarakat miskin dan rentan?

Seperti yang sudah dibahas oleh para penanggap, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Tangan pemerintah pusat
dan daerah terbatas dalam menjangkau warganya. Kalau program bantuan serius untuk inklusif (menjangkau yang
rentan) dan responsif (cepat dan tepat), maka kolaborasi dengan lembaga masyarakat sipil, terutama yang di akar
rumput, harus dibangun sejak perencanaan. Banyak organisasi pendamping di komunitas, seperti PEKKA
(Perempuan Kepala Keluarga), misalnya, atau organisasi pendamping warga berkebutuhan khusus, yang tahu persis
di mana warga yang rentan berada dan bagaimana menjangkau mereka. Di tahap perencanaan, mereka sudah bisa
memberikan masukan tentang karakteristik warga rentan dan lingkungan untuk memitigasi berbagai tantangan yang
mungkin timbul. Memasangkan mereka dengan fasilitator program serta relawan desa akan menguatkan penyaluran
serta mekanisme respon program-program bantuan. Jangan lupa untuk menyertakan semua pembekalan penting
tentang protokol kesehatan dan keselamatan serta kepekaan dan inklusi sosial pada semua yang akan terlibat.
Bagaimana definisi kerentanan yang berbeda-beda dapat lebih mudah dipahami?

Dalam masukan kebijakan ini, kami menggunakan kerangka konseptual PUSKAPA tentang kerentanan, menimbang
data-data yang ada, serta melihat beberapa pemikiran teoritis tentang eksklusi atau penyisihan sosial dan
ketidakadilan. Masukan kebijakan yang dimaksud mengusulkan definisi kerentanan sebagai berikut:

“Kerentanan adalah kondisi yang secara tidak proporsional dialami individu tertentu akibat ketiadaan akses karena
kemiskinan, keterpencilan, atau keterbatasan mobilitas, ketimpangan kualitas layanan publik, dan penyisihan
berbasis usia, disabilitas, dan identitas sosial seperti gender, agama, etnis, dan seksual.”

Kerangka konseptual tentang kerentanan yang kami gunakan adalah seperti ini:
Masukan kebijakan ini memandang kerentanan sebagai sesuatu yang aktif yang menyebabkan individu atau sebuah
kelompok terdiskriminasi atau menyempit kesempatannya dalam kesehatan, pendidikan, ekonomi, perlindungan,
dan secara sosial maupun politik.

Secara sederhana, jangan berhenti di mengatasi ketimpangan akses, karena masih ada masalah ketimpangan layanan
dan sistem serta diskriminasi.

Bagaimana layanan pencatatan kelahiran dapat dilakukan di daerah 3T selama masa pandemi?

Perlu diketahui bahwa sebelum pandemi pun pencatatan kelahiran sesaat (segera setelah lahir) dan sewaktu masih
menemui banyak tantangan. Layanan keliling dan terpadu yang selama ini cukup efektif mengungkit cakupan
pencatatan kelahiran pasti terdampak oleh pandemi ini. Sementara, layanan daring, meskipun ada, mungkin masih
sulit dijangkau oleh warga di daerah 3T dengan akses internet yang terbatas. Yang harus diperkuat adalah layanan di
tingkat desa melalui layanan adminduk berbasis kewenangan desa (LABKD) yang saat ini juga mulai terbangun di
beberapa wilayah. Meskipun layanan masih manual, pencatatan segera setelah peristiwa kelahiran sangat penting
untuk dilakukan dan disimpan secara aman untuk nantinya segera ditindaklanjuti oleh fasilitator LABKD ke layanan
dukcapil terdekat atau di kabupaten.
Bagaimana mekanisme pendataan, integrasi data adminduk dengan DTKS dan pembaruan data kelompok
rentan dapat dilakukan di masa pandemi?

DTKS sebagai sumber rujukan data program dan bantuan masih memiliki beberapa keterbatasan yang dapat diatasi
bila kita mengoptimalkan data adminduk sebagai sumber rujukan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kinerja
program. Namun, data adminduk pun masih memiliki banyak keterbatasan. Apabila pemerintah serius ingin menata
ulang data, maka harus dimulai dari pembenahan data adminduk sebagai data dasar yang saat ini telah memenuhi
lebih dari 95% cakupan nomor induk kependudukan (NIK). Hampir lengkapnya NIK merupakan modal besar, meski
bukan satu-satunya. Selain harus diikuti dengan pelengkapan berbagai komponen data lain dan pemutakhiran
dinamis sesuai dengan peristiwa penting kehidupan tiap warga, sistem data adminduk harus setidaknya dapat
dibagipakai secara terbatas, aman, dan sewaktu-waktu dengan sektor sosial dan kesehatan secara horizontal, dan
antarwilayah administrasi secara vertikal.

Pandemi semacam ini dapat terjadi lagi di masa depan. Dengan demikian, sekarang adalah momentum yang tepat
bagi pemerintah bersama-sama merumuskan kembali kebijakan bagipakai data adminduk secara lebih sederhana,
terdesentralisasi, dan tetap mengedepankan perlindungan data pribadi warganya.

Beberapa langkah teknis yang kami juga usulkan dalam masukan kebijakan ini termasuk:
- Manfaatkan hasil pendataan sasaran respon COVID untuk memperbaiki DTKS dan data adminduk.
Libatkan Kemdagri terutama dukcapil di dalam semua upaya respon COVID sejak awal.
- Sebisa mungkin, upayakan penggunaan data konsolidasi bersih terkini dari dukcapil di setiap wilayah
respon sebagai dasar pemadanan data awal. Ini tentunya harus seimbang dan realistis sesuai kebutuhan
cepat respon.
- Dalam jangka menengah, mulai kembali mekanisme koordinasi lintas sektor untuk percepatan kelengkapan
data adminduk dan pengembangan statistik hayati melalui pelaksanaan Perpres 69/2019.
- Fokuskan sumber daya dan anggaran yang memadai untuk perbaikan sistem data adminduk yang
memungkinkan mekanisme bagipakai yang aman dan sewaktu dapat terjadi.
- Khusus untuk anak, laksanakan Protokol Tata Kelola Data Anak yang sudah diterbitkan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19.
- Saat ini, KemendesPDTT tengah memperkuat mekanisme pendataan di lapangan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek kerentanan. Di beberapa wilayah, relawan desa mulai bekerja sama
dengan fasilitator adminduk yang ada di desa dan telah dilatih mengenai pendataan kelompok rentan.

Bagaimana pemerintah menanggapi gugatan yang diajukan oleh masyarakat yang tidak mendapat bantuan
sosial?

Pertanyaan ini lebih tepat ditanggapi oleh pemerintah. Saya hanya ingin ikut menekankan pentingnya mekanisme
aduan dan tanggapan yang efektif di semua program bantuan. Mekanisme yang baik adalah yang juga
mempertimbangkan berbagai karakteristik dan kebutuhan khusus warga rentan agar saluran aduan juga inklusif.

Bagaimana respons kebijakan pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi berbagai kelompok
rentan?

Saat ini, pemerintah sudah sangat terbuka untuk mempertimbangkan perluasan definisi kerentanan di berbagai
program bantuan. Setelah pemerintah teryakinkan, maka pekerjaan rumah berikutnya adalah membantu pemerintah
mengestimasi kebutuhan di tengah keterbatasan berbagai data, menganalisis risiko spesifik setiap kelompok rentan
menggunakan bukti ilmiah, serta menuangkannya dalam desain program.

Bagaimana tanggapan terkait kebijakan herd immunity?

Saran saya singkat, simak ilmu pengetahuan dan bukti ilmiah. Herd immunity adalah konsep dasar dalam
pendekatan kesehatan masyarakat, di mana misalnya 90-95% anggota masyarakat yang sudah divaksinasi akan
melindungi sisanya yang belum bisa divaksin karena usia atau kondisi tertentu. Jadi jelas, dalam konteks
coronavirus, terlalu awal untuk kita bisa bicara soal, apalagi membangun, herd immunity.

Untuk informasi tambahan, silakan hubungi Marsha Habib, manajer komunikasi PUSKAPA melalui
marsha@puskapa.org

Anda mungkin juga menyukai