Anda di halaman 1dari 1

M A B D A`

Mabda` dalam bahasa Arab, adalah suatu bentuk (shighat) masydar mimy dari kata bada`a - yabda`u - bad'an - wa
mabda`an, yang artinya memulai. Menurut istilah mabda` berarti pemikiran yang mendasar yang diatasnya dibangun
pemikiran-pemikiran yang lain.
Bila ada orang yang berkata: "mabda`ku adalah kejujuran" maka yang dimaksud adalah bahwa asas tiap-tiap
perbuatanku adalah kejujuran. Begitu pula jika seseorang mengatakan bahwa mabda`nya adalah menepati janji, maka yang
dimaksud adalah bahwa asas mu'amalahnya adalah menepati janji. Dan demikian seterusnya. Hanya saja banyak orang
terbiasa menggunakan istilah mabda` untuk pemikiran-pemikiran cabang yang diantaranya dapat dibangun pemikiran-
pemikiran cabang lainnya, dan menganggapnya sebagai mabda`-mabda` karena pemikiran-pemikiran cabang tersebut
dianggap sebagai pemikiran yang mendasar. Oleh karena itu mereka menganggap kejujuran, berbuat baik kepada tetangga,
tolong-menolong, masing-masing sebagai mabda`, dan lain sebagainya.
Dari sinilah mereka menetapkan/menjadikan akhklak, ekonomi, sosiologi sebagai suatu mabda`. Yang mereka
maksud adalah adanya pemikiran-pemikiran tertentu tentang ekonomi yang menjadi dasar bangunan bagi pemikiran-
pemikiran ekonomi lainnya; atau pemikiran-pemikiran tertentu tentang undang-undang yang menjadi dasar dan pokok
bangunan yang melahirkan pemikiran-pemikiran lain dalam bidang undang-undang.
Dan Sebenarnya pemikiran-pemikiran tersebut bukan merupakan suatu mabda`, melainkan sekedar kaidah-kaidah
atau pemikiran-pemikiran saja. Sebab mabda` adalah pemikiran yang mendasar. Sedangkan pemikiran-pemikiran tersebut
bukanlah pemikiran yang mendasar, melainkan pemikiran cabang, kendati diatasnya dibangun pemikiran lain namun tetap
tidak berarti menjadikannya sebagai pemikiran yang mendasar. Pemikiran-pemikiran itu tetap statusnya sebagai pemikiran
cabang; walaupun diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran yang lain, atau dapat memancarkan pemikiran-pemikiran baru,
selama pemikiran-pemikiran tersebut bukan merupakan pemikiran yang mendasar, akan tetapi terpancar dari pemikiran-
pemikiran lain, ataupun secara keseluruhan terpancar dari suatu pemikiran yang mendasar.
Dengan demikian, kejujuran, menepati janji, tolong-menolong atau yang selain itu adalah pemikiran-pemikiran
cabang, bukan pemikiran yang mendasar. Sebab pemikiran-pemikiran itu diperoleh dari suatu pemikiran yang mendasar dan
juga karena pemikiran-pemikiran itu bukan merupakan asas. Kejujuran adalah cabang dari suatu asas. Bagi kaum muslimin
kejujuran adalah suatu hukum syar'iy yang diambil dari Al-Qur'an, sedangkan dalam pandangan orang-orang di luar Islam
kejujuan merupakan satu sifat yang baik yang dapat memberikan manfaat, yang diambil dari pemikiran Kapi-talisme.
Oleh karena itu, suatu pemikiran tidaklah dikategorikan sebagai suatu mabda`, kecuali jika pemikiran itu adalah
pemikiran yang mendasar, yang memancarkan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran yang mendasar adalah pemikiran yang
sama sekali tidak didahului oleh pemikiran lainnya. Dan pemikiran yang mendasar ini hanya terbatas pada pemikiran yang
menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Tidak ada pemikiran lain yang lebih mendasar dari pemikiran
itu. Sebab, pemikiran tersebut adalah dasar dari kehidupan. Seorang manusia apabila memperhatikan dirinya sendiri, akan
menemukan bahwa dirinya adalah seorang manusia yang hidup dalam bagian alam semesta (bumi). Jika dia tidak
menemukan suatu pemikiran tentang dirinya, kehidupan, alam semesta, dari segi keberadaan dan penciptaannya, maka
tidak mungkin ia mendapatkan satu pemikiran yang menjadi dasar bagi kehidupannya. Hidupnya akan terus berlangsung
tanpa dasar (prinsip), mengambang, berubah-ubah coraknya dan labil, selama tidak ia temukan suatu pemikiran yang
mendasar itu, atau belum mendapatkan suatu pemikiran yang menyeluruh tentang dirinya sendiri, kehidupan, dan alam
semesta.
Dari sini dapat dipahami bahwa pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan adalah
satu-satunya pemikiran yang mendasar. Dan inilah yang disebut aqidah. Hanya saja aqidah ini tidak mungkin dapat
memancarkan berbagai pemikiran dan tidak akan dapat dibangun diatasnya pemikiran-pemikiran lain, kecuali jika aqidah
tersebut berupa pemikiran, yakni sesuatu yang diperoleh melalui proses pemikiran. Adapun apabila aqidah itu ditelan begitu
saja (dogmatis) maka aqidah tidak akan menjadi suatu pemikiran, dan tidak dapat dikatakan sebagai suatu pemikiran yang
menyeluruh, meskipun bisa saja ia disebut sebagai aqidah. Oleh karena itu, seseorang harus memperoleh pemikiran yang
menyeluruh tersebut melalui jalan aqal. Dengan kata lain harus merupakan hasil proses pemikiran akal. Dengan cara inilah
akan diperoleh suatu aqidah yang bersifat aqliyah (dibangun berdasarkan akal). Dari sinilah terpancar dan dapat dibangun
berbagai macam pemikiran, berupa pemecahan problematika kehidupan manusia yang merupakan seperangkat hukum
yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Ketika telah terwujud suatu aqidah aqliyah, dan terpancar darinya hukum-hukum yang dapat memecahkan
problematika kehidupan, maka terbentuklah suatu mabda`. Dengan demikian definisi mabda` adalah aqidah aqliyah yang
terpancar darinya nizham. Dari sini dapat diketahui, bahwa Islam adalah suatu mabda`, sebab dia adalah aqidah aqliyah
yang darinya terpancar sistem, yaitu hukum-hukum syara' yang dapat memecahkan problematika kehidupan. Begitu pula
halnya komunisme dan kapitalisme merupakan mabda`, karena mereka berupa aqidah aqliyah yang diatasnya dibangun
pemikiran-pemikiran yang dapat memecahkan problematika kehidupan.
Berdasarkan hal ini dapat pula dijelaskan, bahwa nasionalisme bukanlah suatu mabda`, demikian pula patriotisme,
Nazisme, dan eksistensialisme. Karena masing-masing idea tersebut bukan merupakan aqidah aqliyah, tidak dapat
memancarkan sistem dan tidak dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran yang dapat memecahkan problematika
kehidupan.
      
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Anda mungkin juga menyukai