Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa,kami telah menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang kami susun berjudul “Ciri Ciri Berfikir Filsafat” makalah ini berisi pemaparan
tentang berbagai ciri berfikir secara filosofis yang ada didalam kehidupan. Makalah ini tidak
akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankan kami
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang secara langsung maunpun tidak hingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Semoga bantuan yang diberikan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini
secara langsung maupun tidak langsung, mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kami menyadari bahwa dalam menulis makalah ini, masih jauh dari sempurna,mengingat
keterbatasan kemampuan kami . Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan
sangat berguna bagi penulisan makalah selanjutnya, semoga makalah ini dapat berguna,
khusunya bagi kami dan umumnya dapat memperluas pengetahuan bagi pembaca.
Penulis
Table of Contents
DAFTAR ISI
Selain mempunyai ciri diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5 prinsip penting
dalam berfilsafat, yaitu :
1. Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri (congkak).
2. Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap kebenaran.
3. Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam mencari jawabannya.
4. Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap intelektual secara tertulis
maupun lisan.
5. Bersikap terbuka.
2.3. Beberapa Metode Berfikir Filsafat
Para filsuf dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir filsafati, dalam
proses mencari kebenaran. Mereka mampu menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk
menngungkap misteri kehidupan manusia. Bahkan tidak hanya manusia yang menjadi objek
pemikiran, tetapi meliputi segala yang ada dan mungkin ada. (tuhan, alam semesta,
manusia). Pola pemikiran dalam metode berfikir (berfilsafat) berawal dari titik pangkal dan
dasar kepastian, seperti logika konsepsional dan intuisi, seperti penalaran (induktif) dan
penalaran (deduktif).
Beberpa metode berfikir (berfilsafat) yang telah dirumuskan oleh Dr. Anton
Bakker dalam buku yang berjudul metode-metode filsafat antara lain dijelaskan sebagai
berikut:
1. Metode Intuitif (Plotinus dan Henri Bergson)
2. Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)
3. Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)
4. Metode Eksperimental (David Hume)
5. Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)
6. Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)
7. Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang lebih di banding dengan
makhluk ciptaan Allah yang lain. Misalnya perbedaan manusia dengan hewan, manusia
diberi anugerah berupa akal pikiran yang bisa digunakan untuk bernalar, sedangkan hewan
tidak dianugerahi akal pikiran. Hal itulah yang mengakibatkan derajat manusia lebih tinggi
dibanding dengan makhluk yang lain.
Kemampuan bernalar pada manusia menyebabkan manusia mampu mengembangakan
ilmu pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-Nya. Sedangkan karena binatang tidak
memiliki nalar, maka binatang tidak bisa mengembangkan pengetahuannya, hanya untuk
kelangsungan hidupnya (survival). Karena setiap orang diberi anugerah berupa kemampuan
untuk bernalar, maka sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk berfikir secara
filsafati. Hanya saja yang membedakan orang yang satu dengan yang lain adalah apakah
orang itu berusaha melakukan kegaiatan berfikir dengan mengunakan penalaran atau tidak.
Misalnya saja orang gila, maka dia tidak bisa menggunakan akalnya untuk berfikir secara
nalar.
Contoh lain yang sangat sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah
muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga
mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat
berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan
sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang
menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak
sekali bunga melati. Yang kedua, misalnya setelah bunga mawar tersebut dicermati ternyata
warnanya sangat unik, dan bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang
biasanya. Hal tersebut akan menjadi karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan
hanya akan bisa dijelaskan oleh ahli botani/tanaman. Ketika kita mengamati dan timbul
pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita, maka berarti kita telah menggunakan penalaran kita.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Adapun ciri-ciri penalaran :
a. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Maksudnya penalaran
merupakan suatu proses berpikir logis dalam artian kegiatan berpikir menurut suatu
pola tertentu, atau logika tertentu.
b.Bersifat analitik dari proses berpikirnya. Artinya penalaran merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan
berpikir bersifat logis dan analitik. Atau dapat disimpulkan cara berpikir yang tidak termasuk
penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik.
Aristoteles menegaskan bahwa “setiap orang menurut kodratnya memiliki hasrat
ingin tahu” (Melia, 2010). Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar
kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Cara itu
disebut logika. Oleh karena itu berfikir filsafati dapat dialakukan oleh manusia dengan cara
menggunakan logika. Menurut saya, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Logika
digunakan untuk menarik suatu kesimpulan dari suatu analisis dengan benar. Logika juga
menjadi sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu
berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak
boleh lebih besar daripada satu.
Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang
meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling
kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas
utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut
logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah
arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.
Dalam logika Thales (Haris, 2012), air adalah arkhe alam semesta, yang menurut
Aristoteles disimpulkan dari:
- Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
- Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
- Air jugalah uap
- Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Sejak saat Thales mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan.
Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran
dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara
khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan
dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih
diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Selanjutnya muncul
tokoh-tokoh logika modern, kemudian logika berkembang terus menerus hingga sekarang.
Metode yang ditempuh agar bisa berfikir secara logis atau berfikir dengan
menggunakan logika adalah dengan dengan cara melakukan anlisa dan sintesa. Analisa
merupakan kegiatan untuk merinci atau memeriksa sesuatu. Dalam kegiatan analisa ini ada
dua hal yang bisa ditmpuh, yaitu: (1) menguji istilah dari segi penggunaannya, bisa
denganmelakukan pengamatan terhadap contoh-contoh penerapan istilah yang dimaksud.
Dalam hal ini seseorang memahami suatu kata atau istilah secara ekstensif. Misalnya
seseorang ingin memahami kata atau istilah “keberanian”. Dari segi ekstensi, dia
mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana kata ini digunakan, sejauh mana kata
“keberanian” menggambarkan realitas tertentu, bagaimana “keberanian” dikomparasikan
dengan sifat atau trait lainnya dari “yang ada”, dan sebagainya. Untuk menjelaskan makna
suatu kata atau istilah, orang tersebut juga bisa melakukannya dengan mendefinisikan kata
atau istilah itu secara langsung. (2) menyingkapkan makna kata dengan menganalisa sifat-
sifat kata atau istilah tersebut.
Sedangkan sintesa merupakan lawan dari analisa. Sintesa ialah mengumpulkan
semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan baru. Dengan
metode sintesa ini akan memungkinkan seorang untuk mengumpulkan semua pengetahuan
yang dapat diperoleh sehingga dapat menyusun suatu pandangan baru terhadap hal-hal yang
diamati.
Adapun cara yang dapat dialakukan untuk penarikan kesimpulan dengan
menggunkan logika ada dua macam (The Liang Gie, 2000: 21), yaitu :
1. Logika Induktif
Logika induktif yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai
kasus yang bersifat khusus.
Contoh 1:
Kambing mempunyai mata
Gajah mempunyai mata
Kucing mempunyai mata
Burung mempunyai mata
Jadi”semua binatang itu mempunyai mata”.
Contoh 2:
Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
Buncis ini (adalah) putih
Jadi “semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih”
2. Logika Deduktif
Logika deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan kesimpulan yang
bersifat khusus dari kasus yang bersifat umum.
Contoh 1:
Semua logam dipanasi memuai
Seng termasuk logam
Jadi “seng dipanasi pasti memuai”
Contoh 2:
Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
Jadi “Buncis ini (adalah) putih.”
Baik logika induktif dan logika deduktif, dalam proses penalarannya
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Adapun cara
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar itu adalah berdasrkan rasio dan pengalaman.
Kaum yang mengembangkan rasio dikenal dengan nama kaum rasionalisme, sedangkan
mereka yang mengembangkan pengalaman disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut
anggapannya jelas dan dapat diterima. Pengalaman tidak membuahkan prinsip dan justru
sebaliknya, hanya dengan pengetahuan prisip yang dapat dilewat penalaran rasional itulah
maka kita dapat mengerti kejadian. Kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan di dapat lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat
pengalaman yang kongkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah
kongkrit dan dapat dinyatakan lewat tanggapan panca indera manusia sebagai contoh langit
mendung diikuti dengan turunnya hujan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Menyeluruh
b. Mendasar
c. Spekulatif
3. Cara berfikir filsafati adalah dengan menggunakan logika, karena logika dapat menjadi
sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
menggunkan logika kita juga bisa menarik kesimpulan dari suatu analisis dengan benar.
Metode yang digunakan untuk dapat berfikir secara logis ada dua, yaitu analisa dan sintesa.
Sedangakan cara penarikan kesimpulan dengan logika ada dua macam, yaitu:
a. Logika induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
yang bersifat khusus.
b. Logika deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan kesimpulan yang bersifat khusus
dari kasus yang bersifat umum.
2.3. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yangterdapat dalam
makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dansaran dari teman-teman semua
agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hal. 52.
Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor, Tarmizi.—
ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.
Alkhawaritzmi.(2009). Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.
Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.
[1] Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 52.
[2]Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor,
Tarmizi.—ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.
[3]Alkhawaritzmi.(2009). Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.
Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.