Anda di halaman 1dari 33

Sindrom Hepatik

Keterlibatan hepar adalah fitur yang disajikan oleh sejumlah penyakit metabolisme yang
diwariskan. Kegiatan metabolik dari hepar menjangkau fungsi penting yang luas pada
metabolisme dari seluruh tubuh. Yang mengejutkan, bahwa respons terhadap cedera
terbatas, dan kelainan metabolisme bawaan terwujud sebagai sindrom hepatik umumnya
sulit dibedakan dari banyak kelainan / gangguan yang didapat, seperti infeksi,
intoksikasi, gangguan perkembangan, dan neoplasia. Pendekatan diagnosa dari penyakit
metabolik yang diwariskan yang muncul sebagai sindrom hepatik adalah dengan
mempertimbangkan empat kemungkinan presentasi, mengenali kemungkinan besar
tumpang tindih di antara mereka. Dimana presentasi yang mungkin muncul adalah:

 penyakit kuning/ ikterik;


 hepatomegali;
 hipoglikemia;
 disfungsi hepatoseluler.

Penyakit Kuning/ Ikterik/ Jaundice

Penyakit kuning disebabkan oleh akumulasi bilirubin tak terkonjugasi atau terkonjugasi,
yang dapat terjadi akibat peningkatan produksi, gangguan metabolisme, atau obstruksi
bilier. Bilirubin adalah sebuah pigmen porfirin berasal dari dari metabolisme degradatif
heme dari hemoglobin.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi murni adalah karakteristik gangguan yang


terkait dengan peningkatan produksi bilirubin. Eritrosit matur tidak memiliki
mitokondria. Mereka memperoleh hampir semua energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan gradien ion, konsentrasi nukleotida intraseluler, plastisitas membran,
besi hemoglobin dalam keadaan tereduksi, dan fungsi lainnya dari glikolisis dan pirau
heksosa monofosfat. Tidak mengherankan, defisiensi herediter yang spesifik dari setiap
dari enzim yang terlibat umumnya muncul dengan anemia hemolitik. Beberapa juga
terkait dengan gejala neurologis, seperti retardasi psikomotor berat (misalnya defisiensi
triosefosfat isomerase) atau miopati (misalnya defisiensi fosfofruktokinase) (lihat Bab
2). Hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh hemolisis adalah khas tidak terkonjugasi,
dan umumnya tidak disertai dengan bukti klinis atau biokimia dari disfungsi
hepatoseluler.

Kelainan metabolisme bawaan eritrosit yang paling umum disajikan sebagai


penyakit kuning adalah defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) terkait-X
resesif, sebuah defek dalam reaksi pertama dari shunt heksosa monofosfat. Karier dari
gen menunjukkan resistensi relatif terhadap malaria yang menyebabkan tingginya
prevalensi mutasi pada daerah di dunia di mana dia adalah endemik. Hemolisis akut
biasanya dipicu oleh penyakit penyerta atau paparan obat pengoksidasi, seperti
sulfonamid dan antimalaria, meskipun mungkin terjadi secara spontan pada periode bayi
baru lahir. Kelainan bawaan glikolisis yang paling sering muncul sebagai
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi, defisiensi piruvat kinase (PK), seperti defisiensi
G6PD, mungkin muncul pada periode baru lahir dengan anemia hemolitik nonsferositik
berat.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi juga merupakan ciri dari beberapa gangguan


primer metabolisme bilirubin. Metabolisme normal bilirubin melibatkan penyerapan
oleh hepatosit, konjugasi dengan asam glukuronat, dan ekskresi dalam empedu.
Setidaknya beberapa individu dengan sindrom Gilbert, sebuah gangguan dari
metabolisme bilirubin yang umum (3% dari itu populasi), bersifat jinak, terkait dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang persisten ringan, umumnya muncul setelah
pubertas, tampaknya memiliki defek pada penyerapan bilirubin bersamaan dengan
defisiensi parsial bilirubin UDP-glukuronosiltransferase (BGT). Tidak adanya bukti
hemolisis atau disfungsi hepatoselular adalah hal yang biasa dari kondisi ini.

Neonatal hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi berat disebabkan oleh defisiensi


BGT spesifik adalah khas untuk sindrom Crigler-Najjar. Hal ini umumnya terkait
dengan kadar bilirubin tak terkonjugasi > 500 µ mol/L tanpa adanya hemolisis, infeksi,
atau disfungsi hepatoseluler yang signifikan. Fototerapi dan transfusi tukar tidak efektif,
dan bayi yang terkena selalu mengalami kernikterus berat. Beberapa pasien yang
diklasifikasikan sebagai sindrom Crigler-Najjar tipe 2 (juga disebut sebagai Sindrom
Arias), merespons terhadap pemberian fenobarbital (4 mg/kg/hari) dengan penurunan
dramatis kadar bilirubin plasma. Pasien dengan sindrom Crigler-Najjar biasanya tidak
sulit dibedakan dari pasien dengan breastmilk jaundice, yang lebih ringan, dengan onset
lebih lambat, dan terbukti berhubungan dengan pemberian ASI.

Adalah penting untuk mengingat bahwa hiperbilirubinemia pada bayi dengan


galaktosemia klasik sering awal mulanya tidak terkonjugasi, yang dikonversi setelah
beberapa hari menjadi hiperbilirubinemia terkonjugasi dianggap sebagai karakteristik
dari penyakit ini. Bahkan di awal perjalanan penyakit, galaktosemia dikaitkan dengan
bukti signifikan dari disfungsi hepatoseluler, yang memisahkannya dari Sindrom
Crigler-Najjar. Galaktosemia dibahas lebih detail pada bagian “Disfungsi
Hepatoselular”.

Hiperbilirubinemia terkonjugasi

Hiperbilirubinemia terkonjugasi sebagai manifestasi penyakit metabolik yang


diturunkan lebih umum daripada hiperbilirubinemia tak terkonjugasi karena hal ini
melibatkan beberapa penyakit seperti, galaktosemia, tyrosinemia hepatorenal, dan
intoleransi fruktosa herediter, disfungsi hepatoseluler adalah menonjol (lihat “Disfungsi
Hepatoseluler”).

Campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi tanpa adanya


bukti lain dari disfungsi hepatoseluler atau hemolisis, dengan onset masa kanak-kanak
akhir adalah khas dari sindrom Rotor atau sindrom Dubin-Johnson disebabkan oleh
defek di ekskresi empedu glukoronida bilirubin intrahepatik. Dua kondisi ini dibedakan
dari yang lainnya oleh perbedaan pada porfirin urin. Dimana sindrom Rotor terkait
dengan peningkatan yang bermakna dari ekskresi koproporfirin I dan III di urin dengan
isomer I < 80%; sedangkan pada sindrom Dubin-Johnson, kadar koproporfirin urin
mungkin normal, tetapi isomer I menyumbang > 80% dari total (normalnya sekitar
25%).
Hepatomegali

Hepatomegali asimtomatik sering terjadi pada anak-anak, dan keputusan tentang


siapa yang harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan seberapa intensif kadang-
kadang sulit. Hepatomegali terkait dengan penyakit metabolik bawaan umumnya
persisten dan tidak nyeri. Jika hepar sangat lunak sehingga tepinya sulit dipalpasi,
pembesaran kemungkinan disebabkan oleh akumulasi dari trigliserida, yang merupakan
sebuah fitur khas dari GSD (penyakit penyimpanan glikogen) tipe I. Pada kondisi yang
ekstrim, hepar yang keras dan tepi ireguler, sering berkaitan dengan pembesaran
sederhana dari organ, adalah ciri dari sirosis hepatik, yang merupakan karakteristik dari
tyrosinemia hepatorenal (tyrosinemia herediter Tipe I). Ketika pembesaran hepar
merupakan hasil dari gangguan penyimpanan lisosom, hati biasanya tegas, tetapi bukan
keras.

Apakah lien juga membesar? Riwayat hematemesis atau adanya asites atau
distensi vena abdomen akan mengarahkan pada splenomegali yang disebabkan oleh
hipertensi portal akibat sirosis. Namun, lien dapat membesar dengan infiltrasi atau
akumulasi sel atau metabolit yang sama yang menyebabkan pembesaran hepar. Di
samping berbagi sirkulasi porta, hepar dan lien keduanya mengandung komponen
sistem retikuloendotelial (RES). Kondisi yang menyebabkan perluasan RES, baik
sebagai hasil dari proliferasi sel atau penyimpanan dalam sel RES (makrofag), biasanya
muncul dengan pembesaran klinis kedua organ. Ini adalah khas, untuk contoh, dari
banyak penyakit penyimpanan lisosom (lihat Bab 6 ).

Penyakit penyimpanan glikogen tipe III (GSD III) umumnya muncul sebagai
hepatomegali asimptomatik yang dtemukan secara kebetulan pada pemeriksaan fisik.
Lien mungkin juga membesar, tetapi splenomegali ringan dibandingkan dengan
hepatomegali. Akumulasi glikogen pada kondisi ini disebabkan oleh defisiensi enzim
debrancher yang mengubah titik cabang pada glikogen menjadi molekul linier untuk
hidrolisis lebih jauh oleh fosforilase. Pembesaran liver mungkin bermakna. Pembesaran
umumnya tegas dan tidak nyeri, dengan tepi yang tajam, rata yang mudah dipalpasi.
Pada kebanyakan pasien, hipoglikemia tidak terjadi, atau hanya terjadi setelah puasa
berkepanjangan. Namun, dalam kasus minoritas yang signifikan, itu mungkin terjadi
pada awal masa bayi dan menjadi berat sebagaimana hipoglikemia terlihat pada pasien
dengan GSD I. GSD III onset awal bayi yang berat mungkin juga terkait dengan gagal
tumbuh dan hiperlipidemia, yang lebih jauh mengaburkan diferensiasi klinis dari GSD I.
Namun, asidosis laktat dan hiperurisemia tidak terjadi, atau sangat ringan, pada pasien
dengan GSD III. Lebih-lebih lagi, kondisi ini terkait dengan ketosis selama puasa dan
dengan peningkatan moderat aminotransferase hepar (AST dan ALT), sebagai sebuah
pedoman, tidak terjadi pada GSD I. Biopsi hepar menunjukkan peningkatan glikogen
dengan fibrosis interlobular yang bervariasi, tetapi sangat sedikit lemak. Fibrosis dapat
berlangsung ke sirosis yang jelas, menghasilkan hipertensi portal dan gagal hati, namun
hal ini jarang terjadi. Pada dewasa, banyak pasien mengembangkan bukti keterlibatan
otot, termasuk kardiomiopati di beberapa kasus. Ini dicirikan dengan kelemahan otot
proksimal, menurunnya reflex tendon dalam, dan peningkatan kreatin fosfokinase
plasma (lihat Bab 2).

Pasien dengan GSD III akan menunjukkan sebuah peningkatan glukosa plasma
sebagai respon dari konsumsi galaktosa, fruktosa, atau asam amino, yang menunjukkan
bahwa glukoneogenesis masih intak. Mereka juga menunjukkan peningkatan glukosa
plasma yang signifikan sebagai respon dari pemberian glukagon dua sampai empat jam
setelah makan, tetapi mereka tidak merespon setelah 10-12 jam puasa ketika semua
glikogen linier hepatik yang dapat diakses oleh aktivitas fosforilase telah habis.
Konfirmasi diagnosis memerlukan pengukuran aktivitas enzim debrancher dari sediaan
hepar segar yang diperoleh dari biopsi.

Defisiensi fosforilase hepatik (GSD VI) sering secara klinis tidak dapat
dibedakan dari GSD III, meskipun jauh lebih jarang, dan keterlibatan otot rangka dan
jantung tidak terjadi. Defisiensi fosforilase dapat ditunjukkan secara histokimia pada
biopsi jaringan yang diperoleh.

Defisiensi fosforilase b kinase lebih umum bila dibandingkan dengan GSD VI.
Varian paling umum muncul sebagai sebuah kelainan yang ditransmisikan terkait-X
resesif. Secara klinis sering tidak bisa dibedakan dari GSD III. Namun, tidak seperti
pasien dengan GSD III, pasien dengan penyakit penyimpanan glikogen tipe ini
menunjukkan peningkatan minimal glukosa plasma sebagai respon dari glukagon
setelah puasa pada durasi berapapun. Biopsi hepar menunjukkan peningkatan glikogen,
yang mungkin terlihat lebih tersebar daripada di GSD III. Seringkali terdapat beberapa
fibrosis interlobular, meskipun sirosis jarang terjadi. Konfirmasi diagnosa terbaik
dilakukan dengan analisis enzim langsung dari hepar segar, meskipun beberapa pasien
menunjukkan defisiensi dari enzim dalam sel darah merah. Keterlibatan otot rangka
terjadi pada sebagian kecil pasien, dimana kondisi tersebut tampaknya ditransmisikan
sebagai resesif autosomal. Keterlibatan otot rangka atau miokardium saja sangat jarang
(lihat Bab 2 dan 5). Analisis mutasi juga sering bermanfaat untuk mengkonfirmasi
diagnosa.

Hipoglikemia

Kelaparan, ketakutan, cemas, iritabilitas, dan berkeringat adalah gejala awal


umum dari hipoglikemia pada pasien yang lebih tua. Kecuali jika penyebab dari gejala
adalah dikenali dan diterapi, hal ini dapat diikuti oleh gangguan dari kesadaran dengan
rasa kantuk yang berkembang dengan cepat menjadi pingsan dan koma, diikuti oleh
kejang. Presentasi istimewa didominasi oleh gangguan perilaku adalah umum. Pada
bayi yang sangat muda, tanda-tanda awal mungkin menjadi tak kentara, tidak lebih dari
iritabilitas, berkeringat, dan somnolen. Kejang mungkin menjadi indikasi dari masalah
yang pertama dikenali, dan hipoglikemia sebaiknya dipertimbangkan pada setiap bayi
yang muncul dengan kejang pertama kali. Terapi dengan glukosa intravena sebaiknya
tidak ditunda.

Diagnosis banding dari hipoglikemia dibuat lebih mudah dengan beberapa


pemahaman tentang mekanisme normal untuk mempertahankan konsentrasi glukosa
plasma normal selama puasa. Selama interval antara waktu makan, konsentrasi plasma
didukung oleh dua mekanisme umum :

 Mekanisme diarahkan pada produksi glukosa (pemecahan glikogen dan


glukoneogenesis);
 Mekanisme yang mengurangi pemanfaatan glukosa perifer dengan menyediakan
substrat energi alternatif (oksidasi asam lemak dan keton).
Hipoglikemia mungkin terjadi sebagai hasil dari defek utama atau sekunder pada
produksi glukosa (defisiensi pasokan), atau sebagai akibat dari defek oksidasi asam
lemak atau keton (pemanfaatan berlebihan).

Cara untuk meningkatkan produksi glukosa

Glikogen adalah sebuah molekul yang sangat berbobot, cabang polimer tinggi
dari glukosa. Selama makan, glikogen terbentuk dari polimerisasi glukosa, berasal
terutama dari karbohidrat dari makanan. Selama puasa, prosesnya dibalik dengan
glukosa yang dilepaskan oleh hidrolisis glikogen terkatalisasi oleh fosforilase .
Glikogen adalah sebuah bentuk sempurna dari glukosa yang tersedia langsung. Namun,
penyimpanan di hepar melibatkan penyimpanan simultan sejumlah besar air, dan jumlah
total glikogen yang bisa diakomodasi oleh karena itu, sebenarnya relatif kecil. Sebagai
hasil, dalam hanya 24-48 jam puasa, glikogen di hati menjadi benar-benar habis karena
dengan cepat diubah menjadi glukosa untuk memenuhi kebutuhan jaringan, seperti otak,
yang memiliki kebutuhan energi tinggi.
Gambar 4.1 Gambaran reaksi kunci dalam glukoneogenesis.

Berbagai enzim yang terlibat dalam reaksi kunci dari glukoneogensis adalah: 1 , laktat
dehidrogenase (LDH); 2 , kompleks piruvat dehidrogenase (PDH); 3, piruvat
karboksilase (PC); 4, alanin aminotransferase (ALT); 5 , fosfoenolpiruvat
karboksikinase (PEPCK); 6 , glukosa- 6-fosfatase.

Sintesis glukosa dari substrat non glukosa (glukoneogenesis) terjadi secara


kebetulan dengan glikogenolisis selama puasa, dan dia akhirnya mampu memasok lebih
banyak lagi glukosa untuk periode waktu yang lebih lama. Proses yang terjadi terutama
di sitosol (Gambar 4.1), secara fungsional merupakan kebalikan dari glikolisis. Salah
satu langkah pengaturan yang paling penting dalam proses ini adalah karboksilasi
piruvat untuk membentuk oksaloasetat (dikatalisis oleh piruvat karboksilase) di dalam
mitokondria. Oksaloasetat dibentuk oleh reaksi tersebut, kemudian dikonversi menjadi
fosfoenolpiruvat dalam reaksi yang dikatalisis oleh mitokondria fosfoenolpiruvat
karboksikinase (PEPCK). PEP berdifusi keluar dari mitokondria ke dalam sitoplasma
dimana PEP diubah menjadi glukosa dalam serangkaian reaksi yang mencerminkan
langkah yang sama pada glikolisis.

Oksaloasetat juga diangkut keluar dari mitokondria ke dalam sitoplasma oleh


'malat shuttle'. Oksaloasetat sitosol diubah menjadi PEP oleh PEPCK sitosol, yang
secara genetik berbeda dari isozim mitokondria. Ada beberapa bukti bahwa PEPCK
mitokondria terutama penting pada sintesis glukosa dari piruvat yang berasal dari laktat,
dan PEPCK sitosol lagi penting dalam glukoneogenesis yang melibatkan oksaloasetat
dan piruvat yang berasal dari metabolisme asam amino.

Substrat glukoneogenik penting lainnya, seperti sebagai galaktosa, fruktosa, dan


gliserol, memberi makan ke dalam proses pada langkah yang berbeda di antara PEP dan
glukosa-6-fosfat. Langkah terakhir baik pada glikogenolisis dan glukoneogenesis adalah
hidrolisis glukosa-6-fosfatase-terkatalisis dari glukosa-6-fosfat membentuk glukosa
bebas.

Aspek penting dari glukoneogenesis adalah penyesuaian yang dilakukan untuk


menyimpan dan menggunakan kembali kerangka karbon glukosa, daripada
membuangnya secara permanen sebagai akibat dari oksidasi semuanya oleh CO2 .
Proses ini, yang disebut siklus Cori (Gambar 4.2), melibatkan sintesis simultan glukosa
dari piruvat di hepar (glukoneogenesis) dan sebagian oksidasi dari glukosa ke piruvat
(glikolisis) di perifer, terutama di otot. Oksidasi parsial dari satu molekul glukosa oleh
hasil glikolisis hanya sebuah pecahan dari ATP yang bisa diturunkan dari oksidasi total
menjadi CO2 dan air . Namun, kapasitas untuk mensintesis ulang glukosa,
menggunakan energi berasal sebagian besar dari oksidasi asam lemak, lebih dari
sekedar mengkompensasi untuk ketidakefisienan relatif: kapasitas pertukaran diperluas
sebagai ganti untuk penurunan efisiensi.
Gambar 4.2 Siklus Cori

Cara untuk mengurangi penggunaan glukosa perifer

Kapasitas untuk memperoleh energi dari β oksidasi asam lemak mitokondria


adalah sebuah mekanisme penting untuk menghemat glukosa. Penyimpanan energi yang
efisiensi sebagai trigliserida jauh lebih besar dibandingkan sebagai glikogen hepar.
Lama setelah glikogen hepar telah habis oleh kelaparan, tubuh lanjut untuk mengambil
trigliserida di jaringan adiposa untuk menyediakan sebuah alternatif glukosa untuk
produksi energi. Proses ini menurunkan kebutuhan untuk produksi glukosa ke batas
minimum, menghemat untuk berbagai proses biosintetik dan untuk digunakan oleh
jaringan, seperti sel merah darah, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan energi mereka
dengan cara lainnya. Organ-organ seperti orak, yang tidak memperoleh penting jumlah
energi yang signifikan dari dari β oksidasi asam lemak dalam jaringan itu sendiri,
mengoksidasi keton yang dihasilkan oleh oksidasi asam lemak di hepar. Hubungan
antara ketogenesis hati dan pemanfaatan keton perifer ditinjau dalam Bab 3.

Selama kelaparan, peningkatan sekresi epinefrin dan glukagon merangsang


hormon-sensitif lipase di jaringan adiposa untuk merusak trigliserida menjadi asam
lemak bebas dan gliserol. Gliserol diambil oleh hati dan dikonversi menjadi glukosa
oleh glukoneogenesis (Gambar 4.1). Asam lemak diangkut ke sirkulasi terikat dengan
albumin ke jaringan seperti hati dan otot dimana mereka dibawa, diaktifkan oleh
esterifikasi dengan koenzim A, dan diangkut ke dalam mitokondria, oleh sebuah proses
yang tergantung pada ketersediaan dari karnitin. Di mitokondria, mereka menjalani
oksidasi β dengan produksi energi dalam bentuk ATP. Di hati, perantara utama proses
ini, asetil-KoA, diubah menjadi keton (3-hidroksibutirat dan asetoasetat) untuk diekspor
melalui sirkulasi ke jaringan, seperti otak, mampu meregenerasi asetil-KoA dan
menyelesaikan oksidasi senyawa untuk menghasilkan ATP. Defek penggunaan keton
ditandai dengan ketoasidosis parah yang intermiten (Bab 3).

Asam lemak bebas dan ester koenzim A mereka bersifat toksik. Ketika
mobilisasi asam lemak meningkat, atau itu kapasitas untuk β oksidasi mitokondria
terlampaui untuk alasan apapun, setiap kelebihan asam lemak diubah kembali menjadi
trigliserida, atau dioksidasi oleh sistem nonmitokondria, seperti oksidasi ω mikrosomal
dan oksidasi β peroksisomal (lihat Gambar 4.5). β Oksidasi asam lemak mitokondria
sangat bergantung pada ketersediaan jumlah karnitin yang memadai. Meskipun karnitin
disintesis secara endogen, dan umumnya jumlahnya cukup dari makanan, namun
defisiensi sekunder umum terjadi (Tabel 4.1). Belum ada gangguan utama biosintesis
karnitin yang ditemukan. Namun, defisiensi karnitin memang terjadi sebagai sebuah
hasil dari defek genetik transport selnya. Ini mungkin mengambil bentuk sebagai
defisiensi karnitin sistemik, yang dicirikan secara klinis oleh serangan berulang dari
ensefalopati menyerupai Reye dengan hipoketotik hipoglikemia atau sebagai
kardiomiopati berat. Miopati skeletal juga terjadi pada pasien dengan defek transport,
yang tampaknya terbatas pada penyerapan karnitin oleh otot.

Tabel 4.1 Penyebab defisiensi karnitin sekunder

Penurunan biosintesis
Penyakit hepar kronis
Penyakit ginjal kronis
Prematuritas ekstrim
Asupan yang tidak adekuat (gizi)
TPN berkepanjangan pada bayi prematur
Malnutrisi kalori protein berat
Malabsorpsi usus
Diet vegetarian
Peningkatan kehilangan
Disfungsi tubulus ginjal
Gagal ginjal (uremia)
Hemodialisis
Asidopati organik (PA, MMA, dll.)
Pengobatan dengan asam valproat
UCED yang diobati dengan natrium benzoat
Singkatan: TPN, nutrisi parenteral total; UCED, defek enzim siklus urea; PA, asidemia
propionat; MMA, asidemia metilmalonat.

Sumber: Lihat Pons & De Vivo (1995).

Karnitin juga menyediakan sebuah alternatif koenzim A (CoASH) dalam


esterifikasi perantara organik asam dari metabolisme asam amino. Pertukaran koenzim
A dari ester organik asil-KoA dengan karnitin membebaskan CoASH. CoASH
dibutuhkan oleh berbagai proses dalam metabolisme perantara, terutama yang berkaitan
dengan glukoneogenesis dan metabolisme amonia. Pada pasien dengan kelainan bawaan
metabolisme asam organik, seperti sebagai asidemia metilmalonik, asilkarnitin ester
terakumulasi dan diekskresikan dalam urin sehingga menyebabkan deplesi karnitin
sekunder.

Di dalam matriks mitokondria, lemak asil-KoA mengalami β- oksidasi.


Prosesnya melibatkan empat langkah enzim yang beroperasi dalam satu siklus untuk
mempersingkat rantai lemak asil-KoA oleh dua karbon dengan pelepasan satu molekul
asetil-KoA per giliran (lihat Gambar 9.11). Beberapa dari langkah dalam transport dan
oksidasi asam lemak dikatalisis oleh enzim yang memiliki substrat dengan panjang
rantai spesifik yang berbeda. Yang paling penting dari sudut pandang kelainan oksidasi
asam lemak yang diwariskan adalah langkah pertama, dikatalisis oleh empat enzim
berlemak asil-KoA dehidrogenase berbeda: asil-KoA dehidrogenase rantai sangat
panjang (VLCAD), asil-KoA dehidrogenase rantai panjang (LCAD), asil-KoA
dehidrogenase rantai menengah (MCAD), dan asil-KoA dehidrogenase rantai pendek
(SCAD).
Elektron berasal dari berbagai reaksi lemak asil-KoA dehidrogenase ditransfer
ke flavoprotein transport elektron (ETF) umum yang teroksidasi pada gilirannya oleh
reaksi yang dikatalisis oleh ETF dehidrogenase. ETF dehidrogenase mengkatalisis
transfer elektron ke koenzim Q, bagian dari Kompleks II dari rantai transpor elektron
mitokondria (lihat Gambar 9.12). Mutasi mempengaruhi jumlah fungsi dari ETF atau
ETF dehidrogenase menyebabkan defisiensi beberapa asil-KoA dehidrogenase (GA II).
Lihat juga Bab 3.

Pendekatan untuk diagnosis banding hipoglikemia

Hipoglikemia adalah sebuah masalah umum yang tidak spesifik pada neonatus
dan bayi muda yang sakit berat, tanpa memedulikan dari penyebab penyakit. Kadang-
kadang, apakah hipoglikemia adalah penyebab, atau sebuah hasil tidak spesifik dari
penyakit, sulit pada awalnya untuk ditentukan. Terlepas dari penyebabnya, koreksi
hipoglikemia tanpa penundaan setidaknya sama pentingnya dengan membuat sebuah
diagnosa spesifik. Sebagai sebuah aturan, ketika dia terkait dengan penyakit sistemik
yang parah, seperti sepsis, dia relatif mudah untuk dikontrol oleh pemberian glukosa
pada kecepatan tertentu, atau agak lebih besar dibandingkan kecepatan oksidasi glukosa
dasar normal (4–6 mg/kg/menit pada neonatus dan 3–5 mg/kg/menit pada bayi yang
lebih tua dan anak-anak). Gambar 4.3 menunjukkan ringkasan pendekatan diagnosis
hipoglikemia, yang berfokus terutama pada yang disebabkan oleh kelainan bawaan
metabolisme.

Adanya substansi sisa non glukosa di urin adalah khas untuk galaktosemia klasik
dan intoleransi fruktosa yang diwariskan (HFI) yang tidak diobati. Ini mudah ditentukan
saat pemeriksaan. Menguji beberapa tetes urin dengan reagen Benedict atau dengan
tablet Clinitest adalah positif dengan adanya glukosa, galaktosa, atau fruktosa. Namun,
mencelupkan urin yang sama dengan Clinistix biasanya negatif pada kondisi ini,
menunjukkan bahwa zat sisa adalah bukan glukosa. Kedua penyakit umumnya terkait
dengan masalah klinis lain yang menonjol. Pasien dengan galaktosemia memiliki bukti
disfungsi hepatoseluler lainnya, dan HFI terkait dengan asidosis laktat yang signifikan.
Glikosuria pada kondisi ini biasanya hilang dengan cepat setelah menghilangkan gula
dari diet. Karena itu, hasil tes negatif tidak menghilangkan kemungkinan salah satu
gangguan ini, terutama jika pasien memiliki pernah diberikan intravena glukosa untuk
lebih dari beberapa jam.

Gambar 4.3 Pendekatan diagnosis banding hipoglikemia.

Singkatan: SGA, kecil untuk usia gestasional; IDM, bayi dari ibu diabetes; HFI,
intoleransi fruktosa yang diwariskan; AA, asam amino; OA, asam organik; FFA, asam
lemak bebas; FAOD, defek oksidasi asam lemak; hGH, hormon pertumbuhan manusia;
T4, tiroksin; GSD, penyakit penyimpanan glikogen ; FDPase, fruktosa-1,6-difosfatase.

Karena hipoglikemia adalah sebuah konsekuensi metabolik sekunder yang umum dari
berbagai kelainan bawaan metabolisme asam amino dan asam organik, pemeriksaan
penunjang harus mencakup analisis asam organik urin dan asam amino dan amonia
plasma.

Defek primer pada produksi glukosa

Respon fisiologis normal terhadap penurunan produksi glukosa adalah


peningkatan β oksidasi asam lemak mitokondria dan produksi keton. Dengan demikian,
tes keton urin, pemeriksaan lainnya, memberikan indikasi tidak langsung apakah
hipoglikemia adalah hasil dari produksi glukosa yang tidak memadai atau pemanfaatan
berlebihan glukosa. Hipoglikemia disebabkan oleh pemanfaatan glukosa berlebihan
yang diinduksi insulin adalah karakteristik terkait dengan konsentrasi keton plasma dan
urin yang sangat rendah (hipoketotik hipoglikemia). Namun, pada beberapa gangguan
produksi glukosa, seperti GSD I dan defisiensi PEPCK, ketogenesis sering tersupresi,
serta kadar keton plasma dan urin meskipun meningkat, mungkin derajat hipoglikemia
juga rendah. Riwayat hubungan hipoglikemia dengan makan sering membantu di sini.
Di satu sisi, hipoglikemia hipoketotik yang berkembang dalam beberapa menit setelah
makan, terutama jika berat, adalah tipikal untuk hiperinsulinisme. Sementara itu, pasien
dengan defek pemecahan glikogen, glukoneogenesis, atau oksidasi asam lemak
cenderung mentolerir puasa jangka pendek jauh lebih baik. Pengecualian penting adalah
GSD I, dan kasus langka GSD III, yang mana hipoglikemia mungkin terjadi dalam dua
hingga tiga jam dari makan.

GSD I dapat muncul dengan hipoglikemia pada periode bayi baru lahir. Namun,
biasanya tidak sulit untuk dikontrol dan hepar mungkin tidak terlalu membesar.
Faktanya, jadwal makan normal tiap 3 jam umumnya cukup untuk menekan gejala
hipoglikemia. Bayi yang terkena biasanya menjadi perhatian pada usia tiga sampai lima
bulan saat memperpanjang interval antara menyusui, atau terkait dengan penyakit
penyerta, memicu sebuah episode berat hipoglikemia, sering digambarkan dengan
kejang atau koma. Beberapa bayi menjadi perhatian karena gagal tumbuh, dan yang lain
karena hepatomegali masif yang ditemukan secara kebetulan selama pemeriksaan fisik.
Kadang-kadang, bayi dengan GSD I dibawa ke pelayanan medis karena takipnea yang
disebabkan oleh asidosis laktat. Anak-anak yang terkena biasanya tampak pucat dengan
fasies khas yang sering dijelaskan sebagai “cherubic” karena menyerupai penampilan
boneka yang disebabkan oleh pipi yang tembam. Obesitas trunkus dan penonjolan perut
yang mencolok kontras dengan ekstremitas yang biasanya kurus. Mimisan berulang
adalah umum sebagai hasil dari defek sekunder fungsi trombosit; jumlah trombosit
biasanya normal.

Selain hipoglikemia, pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan asidosis


laktat, hiperurisemia, hipertrigliseridemia, dan hipofosfatemia. Pengukuran serial
glukosa plasma menunjukkan bahwa toleransi puasa buruk, seringkali kurang dari tiga
jam. Hipoglikemia biasanya tidak responsif dengan pemberian glukagon. Fitur dari
GSD I yang membedakan adalah peningkatan laktat plasma yang signifikan sebagai
respon terhadap glukagon. Ginjal biasanya membesar, dan disfungsi tubulus ginjal
ringan adalah umum, meskipun secara klinis jarang signifikan.

Defek dasar pada GSD I adalah defisiensi produksi glukosa dari glukosa-6-
fosfat, jalur umum terakhir untuk glikogenolisis dan glukoneogenesis (Gambar 4.1).
Varian penyakit yang paling umum (tipe Ia) disebabkan oleh defisiensi enzim
mikrosomal, glukosa-6-fosfatase. Enzim hanya diekspresikan di hati dan ginjal, dan
diagnosis definitif memerlukan analisis enzim dari satu atau jaringan lainnya, biasanya
hati. Biopsi hepar menunjukkan akumulasi glikogen masif, termasuk glikogen dengan
inti hepatosit (Gambar 4.4). Sebagai tambahan, terdapat akumulasi lemak
makrovesikuler yang nyata, tetapi biasanya tidak ada fibrosis, bukti obstruksi bilier, atau
inflamasi. Defisiensi glikosa-6-fosfatase sering didemonstrasikan secara histokimia.
Namun, diagnosa sebaiknya dikonfirmasi oleh analisis enzim spesifik pada biopsy hati
segar.
Gambar 4.4 Elektron mikrograf dari hati normal (a) dan hati pada penyakit
penyimpanan glikogen (b).

Gambar a, menunjukkan hati normal. Tampak porsi dari beberapa hepatosit normal
sekitarnya di sekitar ruang darah sinusioid. Deposit hitam (panah) di sitoplasma dari sel
hati adalah agregat glikogen. Mitokondria (m), peroksisom (p) dan retikulum
endoplasma kasar (rer) bisa juga terlihat. Catatan : prosesus sel endotel ( ∗ ) dan fenestra
(mata panah). Batang mewakili 1 μm . Gambar b , menunjukkan hati dari sebuah
pasien dengan penyakit penyimpanan glikogen tipe Ia. Penyimpanan partikel glikogen
padat elektron (G) massif menempati sitoplasma dan menggeser mitokondria dan
organel lainnya (∗) ke tepi sel. Glikogen bisa juga dapat terlihat pada nukleus (N).
Batang mewakili 1 μm . (Sumber dari dr. M. J. Phillips.)

Varian non-tipe Ia dari GSD I disebabkan oleh defisiensi transpor mikrosomal


glukosa-6-fosfat (tipe Ib), fosfat (tipe Ic), atau glukosa (tipe Id). Tipe Ib dan Ic secara
klinis tidak dapat dibedakan dari tipe Ia. Bagaimanapun mereka juga terkait dengan
neutropenia persisten, dan anak-anak dengan penyakit ini biasanya memiliki riwayat
infeksi piogenik berulang dan pyorea.

Terapi dari semua jenis dari GSD I ditujukan terutama untuk mencegah
hipoglikemia dengan pemberian sering makanan rendah lemak, mengandung sedikit
mungkin fruktosa dan galaktosa. Ini ditambah oleh konsumsi intermiten tepung maizena
mentah di siang hari dan pemberian susu formula di malam hari. Neutropenia pada
pasien dengan penyakit non-tipe Ia berespons baik terhadap pengobatan dengan faktor
perangsang koloni granulosit (G-CSF).

Hipoglikemia saat puasa dan hepatomegali yang nyata terkait dengan disfungsi
tubulus ginjal onset dini yang ditandai dengan poliuria, rakhitis hipofosfatemik, asidosis
metabolik hiperkloremik, dan retardasi pertumbuhan berat adalah khas untuk sindrom
Fanconi-Bickel. Kondisi ini disebabkan oleh mutasi pada gen GLUT2, yang mengkode
untuk pengangkut glukosa tipe hati. Aktivitas glukosa-6-fosfatase hepatik normal.

Kombinasi dari hipoglikemia, hepatomegali, dan asidosis laktat juga merupakan


ciri dari defek gluconeogenesis lainnya, seperti intoleransi fruktosa yang diturunkan,
defisiensi fruktosa-1,6-difosfatase, defisiensi PEPCK, dan terkadang defisiensi piruvat
karboksilase (PC).

Pada pasien dengan intoleransi fruktosa yang diwariskan (HFI), perkembangan


gejala jelas terkait dengan konsumsi fruktosa atau sukrosa, sering disertai dengan
muntah intraktabel, kadang-kadang cukup berat hingga mengarah pada obstruksi
pilorus. Konsumsi fruktosa sering memicu gejala hipoglikemia. Paparan
berkepanjangan lebih lanjut menyebabkan gagal tumbuh, iritabilitas kronis,
hepatomegali, distensi abdomen, edema, dan ikterik. Varian yang lebih ringan dari
penyakit ini sering terjadi. Pasien mungkin mengeluhkan gejala intoleransi glukosa
(kembung, perut tidak nyaman, diare).

Selain hipoglikemia, asidosis laktat yang nyata, hiperurisemia, dan


hipofosfatemia, terdapat juga bukti disfungsi hepatoseluler (peningkatan
aminotransferase, peningkatan kadar metionin dan tirosin plasma, waktu protrombin
dan tromboplastin parsial yang memanjang, hipoalbuminemia, hiperbilirubinemia), dan
disfungsi tubular ginjal (asidosis metabolik hiperkloremik, asiduria amonium).
Diagnosa dikonfirmasi dengan adanya defisiensi aldolase B (fruktosa-1,6-bifosfat
aldolase) di hati segar dengan fruktosa-1-fosfat dan fruktosa-1,6-bifosfat sebagai
substrat. Aktivitas kedua substrat menurun secara nyata, meskipun efek dengan
fruktosa-1-fosfat sebagai substrat lebih menonjol. Uji toleransi fruktosa pada pasien
dengan HFI berbahaya dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang dikontrol
dengan hati-hati pada pasien yang berada dalam kondisi umum yang baik. Analisis
mutasi sering bermanfaat, meskipun kegagalan menunjukan sebuah mutasi tidak
menyingkiran diagnosis penyakit ini, khususnya jika analisis berfokus pada sejumlah
kecil mutase yang umum. HFI mungkin secara klinis tidak bisa dibedakan dari kelainan
kekacauan dari sindroma glikosilasi tipe Ib yang disebabkan oleh defisiensi
fosfomanosa isomerase. Faktanya, analisis glikosilasi pola dari plasma transferin oleh
pemfokusan isoelektrik dapat menghasilkan bukti hipoglikosilasi yang identik dengan
yang terlihat pada CDG Ib (lihat Gambar 6.13). Namun, dengan diet terbatas fruktosa
beberapa minggu tidak hanya memberikan hasil perbaikan klinis yang nyata dari bayi
dengan HFI, pola pemfokusan isoelektrik juga kembali ke normal.

Defisiensi fruktosa-1,6-difosfatase mungkin juga sulit dibedakan dari GSD Ia.


Pada kedua penyakit, hepar mungkin menjadi sangat besar. Pada defisiensi fruktosa-1,6-
difosfatase, respons terhadap glukagon dipertahankan. Diagnosis definitif membutuhkan
pengukuran dari itu enzim dari biopsi hepar segar. Defisiensi PEPCK mitokondria
merupakan sebuah defek pada glukoneogenesis herediter yang sangat langka terkait
dengan hipoglikemia berat, asidosis laktat, hepatomegali, disfungsi tubulus ginjal,
hipotonia, dan perburukan fungsi hati. Biopsi hati menunjukkan steatosis
mikrovesikular dan perubahan inflamasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya
defisiensi enzim pada fibroblas yang didominasi oleh isozim mitokondria.

Penggunaan glukosa yang berlebihan

Tingkat penggunaan glukosa dapat diukur secara langsung oleh infus dari isotop
stabil berlabel glukosa, tetapi pemeriksaan ini tidak praktis kecuali di pusat aktif yang
terlibat dalam penelitian pada metabolisme glukosa. Namun, tingkat oksidasi glukosa
dapat diperkirakan secara tidak langsung dengan menentukan tingkat minimum
pemberian glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan euglikemia. Ini relatif
mudah pada neonatus yang sering menerima glukosa intravena. Pada bayi yang lebih
besar dan anak-anak, tidak adanya keton dalam urin atau turunnya kadar 3-
hidroksibutirat plasma selama hipoglikemia biasanya merupakan indikasi kuat bahwa
pemanfaatan glukosa meningkat. Peningkatan pemanfaatan glukosa (yaitu, hipoketotik
hipoglikemia) terjadi sebagai hasil dari hiperinsulinisme,hasil dari defek utama atau
sekunder pada oksidasi asam lemak. Dua situasi ini dapat dibedakan oleh pengukuran
dari asam lemak bebas pada plasma. Salah satu efek fisiologis yang paling kuat dari
insulin adalah inhibisi dari lipase sensitif hormo pada jaringan adiposa. Kadar asam
lemak bebas yang rendah selama hipoglikemia adalah sebuah indikasi kuat kadar insulin
meningkat secara tidak normal. Sebaliknya, pada pasien dengan gangguan oksidasi
asam lemak, asam lemak bebas biasanya tinggi. Satu cara untuk mengukur ini adalah
dengan menghitung rasio asam lemak bebas untuk 3-hidroksibutirat (atau 3-
hidroksibutirat + asetoasetat). Hipoglikemia hipoketotik yang disebabkan oleh
hiperinsulinisme dikaitkan dengan rasio normal (< 2,0), sedangkan yang terkait dengan
defek oksidasi asam lemak bebas biasanya meningkat ( > 3.0). Pada gangguan
glukoneogenesis, termasuk GSD I, perbandingannya juga sering meningkat sebagai
hasil dari inhibisi sekunder dari ketogenesis. Namun waktu dari hipoglikemia dan
temuan laboratorium lainnya (Tabel 4.2) biasanya membuat perbedaan dari kondisi
tersebut relatif mudah.

Tabel 4.2 Pendekatan hipoglikemia hipoketotik

Toleransi Kemungkinan Temuan laboratorium


puasa (dalam penyebab
jam)
<1 Hiperinsulinisme Rendahnya kadar FFA plasma dengan
rasio FFA/3-HOB normal; rasio
insulin/3-HOB yang tinggi; rasio
insulin/glukosa yang tinggi.
1–6 GSD Tipe 1; defek pada FFA plasma tinggi dengan
glukoneogenesis lainnya peningkatan rasio FFA/3-HOB;
asidosis laktat.
8-24 Defek oksidasi asam Kadar FFA plasma tinggi dengan rasio
lemak; defisiensi karnitin FFA/3-HOB yang sangat tinggi;
sistemik asiduria organik; kadar karnitin
plasma rendah
Singkatan: FFA, asam lemak bebas; 3-HOB, 3-hidroksibutirat; GSD, penyakit
penyimpanan glikogen.
Dalam menghadapi penurunan relatif atau absolut dalam kapasitas β oksidasi
asam lemak mitokondria, asam lemak dioksidasi oleh jalur oksidatif nonmitokondria
untuk menghasilkan asam dikarboksilat rantai sedang (panjang 6 sampai 10 karbon)
(Gambar 4.5). Hal ini terjadi ketika peningkatan fluks oksidatif asam lemak melebihi
kapasitas normal untuk β oksidasi mitokondria, atau ketika β oksidasi asam lemak
mitokondria normal terganggu. Yang pertama biasanya dikaitkan dengan ketonuria yang
nyata dan asiduria dikarboksilat rantai menengah sedang. Rasio adipat dengan 3-
hidroksibutirat dalam urin umumnya < 0,5. Sebaliknya, pasien dengan defek pada β
oksidasi asam lemak mitokondria secara khas mengalami hipoglikemia hipoketotik dan
ditandai dengan asiduria dikarboksilat rantai menengah karena peningkatan oksidasi
asam lemak nonmitokondria. Rasio adipat/3-hidroksibutirat > 0,5. Oleh karena itu, rasio
adipat/3-hidroksibutirat urin > 0,5 bersifat sugestif, meskipun bukan diagnostik dari
sebuah defek β oksidasi asam lemak mitokondria (lihat Bab 3).

Gangguan oksidasi asam lemak yang diturunkan, seperti defisiensi karnitin


sistemik dan defisiensi MCAD, sering muncul sebagai sindrom mirip Reye akut atau
berulang: muntah, lesu, mengantuk, pingsan, kejang, hepatomegali, hipoglikemia, dan
hiperamonemia. Pasien-pasien ini khususnya penting untuk dikenali karena terapinya
sederhana dan efektif. Lebih-lebih lagi, karena kelainan metabolik bersifat turun-
temurun, saudara kandung dari anak-anak yang terkena berisiko tinggi terkena dampak
yang sama.
Gambar 4.5 Ikhtisar dari metabolisme asam lemak.

Diagnosa dari defek oksidasi asam lemak biasanya dapat dikonfirmasi oleh
adanya konsentrasi asam dikarboksilat C-6 hingga C-10 (asam adipat, suberat, dan
sebasar) yang tinggi dalam urin, adanya asil-karnitin yang khas dalam plasma, dan
adanya penurunan konsentrasi karnitin bebas dalam plasma selama dekompensasi
metabolik akut. Karena kelainan asam organik sering menghilang ketika anak
tampaknya sehat, diagnosa mungkin menjadi sulit jika sampel urin dan darah tidak
diambil pada waktu pasien sedang dalam kondisi sakit akut.

Hipoglikemia adalah fenomena metabolic sekunder yang menonjol pada semua


defek β oksidasi asam lemak mitokondria . Namun, masing-masing gangguan juga
terkait dengan masalah lain yang timbul dari efek primer dan sekunder masing-masing
defisiensi enzim atau transport (Tabel 4.3). Ini dijelaskan di bab lain yang berurusan
dengan itu aspek klinis yang paling menonjol dari berbagai defek, seperti ensefalopati
akut, miopati kronis, atau kardiomiopati.

Apa yang dulu pernah disebut “hipoglikemia sensitif leusin” baru-baru ini
ditunjukkan pada banyak bayi sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh mutasi gen
glutamat dehidrogenase (GLUD1) yang mengakibatkan ketidakpekaan relatif enzim
terhadap inhibisi normal oleh GTP. Bayi dengan kondisi ini biasanya muncul pada
tahun pertama kehidupan dengan riwayat hipoketotik hipoglikemia berulang,
peningkatan kadar insulin plasma, dan hiperamonemia persisten. Anak-anak yang
terkena umumnya menunjukkan toleransi terhadap puasa. Sebaliknya, mengkonsumsi
makanan protein tinggi sering memicu serangan hipoglikemik. Kadar ammonia plasma
berkorelasi buruk dengan asupan diet protein, sering tetap tinggi meskipun pembatasan
diet protein yang agresif dan asupan karbohidrat yang tinggi. Bayi dan anak yang
terkena sering merespon pengobatan dengan diazoksida dengan baik.

Tabel 4.3 Hubungan antara defek metabolic dan manifestasi klinis defek β oksidasi
asam lemak mitokondria

Patofisiologi Efek Klinis


Akumulasi perantara oksidasi asam lemak Asiduria organik, ensefalopati
(akumulasi substrat) akut, disfungsi hepatoseluler,
aritmia jantung.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi Miopati rangka, kardiomiopati
jaringan yang sangat bergantung pada oksidasi
asam lemak untuk energi (defisiensi produk)
Kebutuhan jaringan untuk mengambil oksidasi Hipoglikemia
glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi
(kelainan metabolisme sekunder)
Penipisan karnitin sekunder (akibat akumulasi dan Hipoglikemia, hiperamonemia,
ekskresi asilkarnitin) miopati, kardiomiopati

Disfungsi Hepatoseluler

Penyakit metabolik yang diwariskan yang disajikan sebagai disfungsi


hepatoseluler akut menyajikan masalah diagnostik yang sangat menantang. Kemiripan
beberapa di antaranya dengan gangguan yang didapat, terutama infeksi virus dan
intoksikaski, begitu dekat sehingga membedakan atas dasar klinis saja nyaris mustahil.
Selain itu, disfungsi hepatoseluler, terlepas dari penyebab yang mendasarinya, dikaitkan
dengan kelainan metabolik sekunder yang seringkali sulit dibedakan dari kelainan yang
diamati pada gangguan metabolisme primer. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi
tirosin dalam plasma merupakan manifestasi metabolik nonspesifik umum dari penyakit
hati berat. Hipertirosinemia juga tipikal dari tirosinemia hepatorenal. Yang membuat
lebih membingungkan lagi, hepatorenal tirosinemia umumnya muncul pada awal masa
bayi sebagai gagal hati berat.

Salah satu cara pendekatan kategori kelainan metabolisme bawaan ini adalah
dengan mengatur mereka berdasarkan usia serangan. Penyakit metabolic yang
diwariskan dicirikan dengan penyakit hati berat mungkin muncul di awal masa bayi,
nanti di masa kanak-kanak, atau pada dewasa (Tabel 4.4 ).

Presentasi penyakit metabolik yang diwariskan dengan onset pada periode bayi
baru lahir atau awal masa bayi sebagai penyakit hepatoselular akut dicirikan pada
sebagian besar kasus kasus oleh beberapa kombinasi dari gagal tumbuh,
hiperbilirubinemia ringan hingga berat, hipoglikemia, hiperamonemia, peningkatan
aminotransferase, diatesis perdarahan, edema, dan asites. Galaktosemia klasik adalah
contoh prototipe, dan dibahas secara rinci dalam Bab 7.

Jaundice yang persisten dengan ditandai hyperbilirubinemia terkonjugasi,


tingginya aminotransferase, hepatosplenomegali, dan gagal tumbuh, sejak beberapa
minggu pertama kehidupan, seringkali merupakan indikasi pertama penyakit hati akibat
defisiensi α1 - antitripsin. Kolestasis mungkin cukup parah untuk menyebabkan tinja
acholic menyerupai pada bayi dengan atresia bilier ekstrahepatik. Bayi dengan
defisiensi α 1 - antitripsin mungkin asimptomatik sampai mereka muncul pada usia
beberapa bulan dengan sirosis, dengan hipertensi portal, distensi abdomen, asites,
pembesaran hati dan limpa yang nyata, dan perdarahan gastrointestinal bagian atas dari
varises esofagus. Meskipun sifat penyakit ini tampaknya agresif, pasien dapat bertahan
hidup selama bertahun-tahun dengan penyakit hati yang berat. Biopsi hepar
menunjukkan inklusi tipikal PAS-positif, resisten diastase dalam retikulum endoplasma
dari hepatosit. Elektroforesis konvensional dari protein plasma pada selulosa asetat
biasanya menunjukkan tidak adanya atau defisiensi yang nyata dari puncak protein alfa-
1. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya fenotipe PI Tipe ZZ pada PI typing plasma α1
-antitrypsin dengan pemfokusan isoelektrik atau elektroforesis gel agarosa dari protein
plasma. Sebagai alternatif, diagnosa dapat dikonfirmasi dengan adanya homozigositas
untuk alel PI*Z oleh amplifikasi PCR dari DNA genomik dari darah perifer.
Tabel 4.4 Penyakit metabolic yang diwariskan yang muncul sebagai disfungsi hepatoseluler berat yang ditata berdasarkan onset
usia

Penyakit Defek Fitur yang membedakan


Onset pada beberapa bulan pertama kehidupan
Galaktosemia GALT Hyperbilirubinemia berat; anemia hemolitik; koagulopati
Tirosinemia hepatorenal Fumaratasetoasetat hydrolase Koagulopati menonjol; peningkatan AFP yang ekstrim;
suksinataseton pada urin
Defisiensi LCHAD Protein trifungsional (LCHAS) ‘Hepatitis’; kardiomiopati; asiduria dikarboksilat
Defisiensi α1-antitripsin α1-antitripsin Jaundice; gagal tumbuh; hipertensi portal; perdarahan GI
HFI Adolase B Asidosis laktat; hipoglikemia; hiperurisemia
GSD tipe IV Enzim brancher glikogen Sirosis awal berat; miopati
Penyakit Wolman Asam lipase Gagal tumbuh berat; steatore; kalsifikasi adrenal
Kelainan peroksisomal Berbagai gangguan biogenesis Asidosis metabolic berat, hiperamonemia, neutropenia,
atau metabolisme peroksisomal trombositopenia, kaki berkeringat atau bau
Sindrom deplesi DNA mitokondria Deplesi mtDNA yang Disfungsi hepatoseluler berat, miopati, asidosis laktat
disebabkan oleh defisiensi
deoksiguanosin kinase
Sindrom CDG Berbagai defek pada Gagal tumbuh, diare dan muntah kronik, ± kejang, ± retardasi
biosintesis glikoprotein psikomotor (lihat Bab 6)
Onset lambat pada bayi atau awal kanak-kanak
GSD tipe III Enzim debrancher glikogen Miopati rangka
Penyakit Gaucher tipe III Glukoserebrosidase Hepatosplenomegali massif; penyimpanan sel dalam sumsum
tulang (lihat Gambar 8.5)
Penyakit Niemann-Pick tipe C Pertukaran kolesterol Penyakit neurodegeneratif; penyimpanan sel dalam sumsum
intraseluler tulang; hepatosplenomegali
Defisiensi CPT I CPT I Hipoketotik hipoglikemia; peningkatan kadar karnitin plasma
Onset saat remaja
Penyakit Wilson ATPase pengangkut tembaga ‘Hepatitis’ akut; hemolisis; gangguan neuropsikiatrik
CESD Asam lipase Hepatosplenomegaly; hiperkolesterolemia
Onset dewasa
Penyakit Niemann-Pick tipe B Asam sfingomyelinase Hepatosplenomegaly; penyimpanan sel dalam sumsum tulang;
infiltrat paru
Singkatan: AFP, alfa-fetoprotein; HFI, intoleransi fruktosa herediter; CDG, kelainan bawaan glikosilasi; CPT, karnitin
palmitoattransferase; CESD, penyakit penyimpanan ester kolesterol; GALT, galaktosa-1-fosfat uridiltransferase; GSD, penyakit
penyimpanan glikogen; LCHAD, rantai panjang 3-hidroksiasil-CoA dehydrogenase
Bayi dengan tirosinemia hepatorenal dapat muncul pada awal masa bayi dengan
gagal hati akut yang berkembang dengan cepat menjadi kematian (lihat Bab 7). Lebih
sering mereka muncul pada usia beberapa bulan dengan riwayat gagal tumbuh, dengan
episode intermiten anoreksia, iritabilitas, dan mengantuk umumnya terkait dengan
penyakit penyerta. Mereka hanya menunjukkan hiperbilirubinemia ringan. Hati
mungkin tidak terlalu membesar, tetapi biasanya keras dan ireguler saat dipalpasi,
sebuah indikasi dari cakupan dari itu fibros terjadi lebih awal di itu penyakit. Beberapa
asites adalah umum saat presentasi. Hipotonia dan refleks tendon dalam yang tersupresi
merupakan indikasi gangguan saraf perifer.

Bayi yang terkena biasanya menunjukkan anemia sedang hingga berat dan
trombositopenia. Hipoglikemia adalah hal yang umum, tetapi kadar amonia plasma
biasanya tidak terlalu tinggi. Aminotransferase mungkin meningkat sedang, tetapi
koagulopati biasanya berat dan khas terkait dengan disfibrinogenemia (waktu reptilase
lebih besar dibandingkan itu waktu trombin). Asidosis tubular renal lebih parah
dibandingkan bayi dengan galaktosemia. Ini sering terkait dengan hilangnya fosfat yang
tidak memadai karena rakhitis. Analisis asam amino plasma biasanya menunjukkan
peningkatan kadar tirosin, metionin, dan fenilalanin. Namun, kadarnya mungkin tidak
terlalu tinggi bila dibandingkan pada pasien dengan jenis penyakit hepatoseluler berat
lainnya; mereka seringkali tidak terlalu membantu dalam membuat diagnosis
tirosinemia. Tetapi kadar α- fetoprotein (AFP) plasma biasanya sangat tinggi. Faktanya,
hanya ada beberapa situasi di mana tingkat AFP yang sebanding terlihat :
hepatoblastoma, hemokromatosis neonatal, dan hepatitis virus yang sembuh adalah
yang utama. Analisis asam organik urin biasanya, meskipun tidak selalu, menunjukkan
adanya suksinataseton, berasal dari fumaratasetoasetat yang terakumulasi proksimal
pada defek enzim. Jika diagnosis tirosinemia hepatorenal diduga kuat, analisis asam
organik urin, termasuk analisis turunan oksim (lihat Bab 9), harus diulang setidaknya 3
sampai 4 kali. Diagnosis definitif dibuat dengan mengukur aktivitas fumaratasetoasetat
hidrolase (FAH) dalam leukosit, eritrosit, fibroblas, atau jaringan hati yang diperoleh
dengan biopsi. Pengobatan dengan pembatasan diet tirosin sering menghasilkan
perbaikan gejala klinis dan metabolik. Namun, kadar metionin plasma sering meningkat
melebihi 1 mmol/L selama fase awal pengobatan. Pengobatan kondisi ini telah
mengalami revolusi dengan diperkenalkannya NTBC, suatu penghambat asam p -
hidroksifenilpiruvat dioksigenase (lihat Bab 10).

Sirosis onset dini juga merupakan ciri yang menonjol dari penyakit
penyimpanan glikogen tipe IV (GSD IV). Namun, tidak seperti defisiensi α1 -
antitripsin, banyak pasien juga menunjukkan bukti keterlibatan neuromuskuler dengan
hipotonia, kelemahan, pengecilan otot, dan menurunnya refleks tendon dalam.
Faktanya, penyakit pada pasien yang muncul di kemudian hari dengan varian kondisi
yang lebih ringan ditandai dengan gejala progresif miopati skeletal, kadang-kadang
melibatkan miokardium (lihat Bab 5). Perjalanan penyakit onset awal yang tipikal
biasanya sangat agresif, dan dapat bertahan hidup lebih dari beberapa bulan adalah hal
yang luar biasa. Biopsi hati menunjukkan sirosis lanjut dan adanya ciri inklusi yang
terdiri dari glikogen abnormal pada hepatosit. Diagnosis ditegakkan dengan pengukuran
aktivitas enzim pencabang glikogen di leukosit, fibroblas, atau jaringan.

Beberapa anak dengan varian neuropatik subakut dari penyakit Gaucher (tipe 3)
hadir dalam beberapa tahun pertama kehidupan dengan hepatosplenomegali masif dan
bukti awal gagal hati kronis. Selain hepatosplenomegali masif, anak-anak yang terkena
juga menunjukkan gagal tumbuh, abdomen yang menonjol, anemia, edema, asites, dan
perdarahan diatesis karena proporsi trombositopenia yang disebabkan oleh
hipersplenisme. Kematian sering terjadi dalam beberapa tahun, sebelum perjalanan
penyakit neuropatik yang mendasari menjadi jelas. Aspirasi sumsum tulang
menunjukkan adanya penyimpanan sel tipikal (lihat Bab 6). Diagnosis ditegakkan
dengan adanya defisiensi β- glukosidase pada leukosit atau fibroblas.

Gagal tumbuh yang berat, terkait dengan diare kronis, hepatomegaly masif,
hypotonia yang nyata, dan keterlambatan perkembangan, dengan onset dalam 1–3 bulan
kehidupan adalah karakteristik dari penyakit Wolman. Kalsifikasi kelenjar adrenal,
biasanya terlihat pada radiografi polos perut atau dengan pemeriksaan ultrasonografi,
hampir patognomonik untuk penyakit pada bayi muda dengan gambaran klinis ini.
Konsentrasi kolesterol plasma meningkat. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya
defisiensi asam lipase yang menonjol pada fibroblast kulit yang dikultur. Penyakit ini
selalu berakibat fatal dalam beberapa bulan.
Diare kronis dengan gagal tumbuh, hepatomegali, disfungsi hepatoselular,
koagulopati dan hipoalbuminemia, juga merupakan karakteristik pada bayi dengan
intoleransi fruktosa herediter (HFI). Bayi dengan HFI mungkin secara klinis tidak dapat
dibedakan dari bayi dengan kelainan bawaan glikosilasi (CDG) Tipe Ib, yang
disebabkan oleh defisiensi enzim fosfomanosa isomerase (PMI). Membedakan di antara
kedua penyakit itu menjadi sulit dengan pengamatan saja karena pola pemfokusan
isoelektrik dari transferin plasma pada banyak bayi dengan HFI tidak dapat dibedakan
dari yang terlihat pada pasien dengan CDG Ib. Kelainan pada HFI dapat membaik,
umumnya dalam beberapa minggu, dengan tatalaksana pembatasan diet fruktosa.

Kondisi lain yang seringkali tidak dapat dibedakan secara klinis, setidaknya
pada awalnya adalah penyakit Wolman dengan sindrom deplesi DNA mitokondria onset
awal. Gangguan autosomal resesif ini dicirikan oleh hepatomegali, kelemahan umum
dan hypotonia yang berat, asidosis laktat persisten yang seringkali berat, ensefalopati,
dan berbagai disfungsi tubular ginjal. Hipoglikemia biasanya tidak berat atau tidak sulit
diobati. Usia onset dan perjalanan penyakit sangat bervariasi. Diagnosa didukung oleh
biopsi otot dan pewarnaan histokimia untuk sitokrom c oksidase (COX), yang khas
menunjukkan dominasi COX-negatif dari serabut otot. Penyakit ini disebabkan oleh
defisiensi deoksiguanosin kinase (dGK). Defek enzim tidak diekspresikan dalam kultur
fibroblas kulit; konfirmasi diagnosis memerlukan pengukuran aktivitas enzim di otot
atau hati, atau adanya mutasi pada gen DGUOK . Penyakit ini selalu berakibat fatal,
meskipun kelangsungan hidup hingga masa kanak-kanak menengah dapat terjadi pada
pasien dengan varian penyakit yang lebih ringan.

Onset klinis penyakit hati secara signifikan sebelum usia lima tahun pada pasien
dengan penyakit Wilson tidak biasa terjadi, meskipun tidak diketahui. Pasien dengan
kondisi ini dapat mengalami sindrom hepatik, sindrom neurologis, atau hemolisis
intravaskular berat. Beberapa pasien muncul dengan hepatitis akut, dengan penyakit
kuning, anoreksia, malaise, feses dempul, dan urin gelap. Gejala dan temuan
laboratorium rutin tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus akut. Pemulihan dapat
terjadi, dan defek yang mendasari sering kali tidak terdeteksi pada tahap ini. Tidak
adanya bukti serologis dari infeksi virus, bersama dengan adanya anemia hemolitik
ringan, harus menjadi peringatan untuk dokter untuk kemungkinan penyakit tersebut.
Beberapa pasien, biasanya remaja, datang dengan hepatitis ikterik akut yang
berkembang selama beberapa hari hingga beberapa minggu hingga gagal hati, dengan
penyakit kuning berat, koma hepatikum, koagulopati berat, asites, gagal ginjal, dan
kematian. Perjalanan penyakit dan usia pasien sering menimbulkan pertanyaan tentang
hepatitis virus berat atau intoksikasi. Namun, adanya anemia hemolitik non-imun yang
berat, yang disebabkan oleh pelepasan tiba-tiba tembaga dari sel hepar yang mati,
adalah khas untuk bentuk fulminan penyakit Wilson ini.

Presentasi sebagai ‘hepatitis aktif kronis’ mungkin terjadi di antara remaja dan
dewasa muda dengan penyakit Wilson, dengan kelelahan, malaise, anoreksia, dan
hiperbilirubinemia, dan hepatomegali yang nyeri saat dipalpasi. Kadang-kadang
penyakit ini muncul diam-diam, dengan tanda-tanda sirosis progresif lambat, termasuk
edema, ginekomastia, asites, clubbing, atau spider nevi. Beberapa pasien mungkin
memiliki tanda patognomonik cincin Kayser-Fleischer di kornea. Laboratorium
menunjukkan peningkatan aminotransferase dan γ - globulin, penurunan albumin
plasma, dan pemanjangan waktu protrombin. Biopsi hepar menunjukkan abnormalitas
khas dari hepatitis aktif kronis, dengan steatosis dan nucleus periportal terglikogenasi,
yang lebih sugestif untuk penyakit Wilson. Pemeriksaan ultrastruktural yang khas
menunjukkan kelainan mitokondria sebagai karakteristik penyakit (Gambar 4.6 ).

Gambar 4.6 Mikrograf elektron hepar pada penyakit Wilson.


Mitokondria (M) sangat besar mengandung inklusi mikrokistik ( ∗ ) dan krista yang
melebar lebih kecil pada mitokondria berukuran normal (panah). Yang terakhir
merupakan temuan abnormalitas paling konstan yang terlihat di hati dari pasien dengan
penyakit Wilson. Batang mewakili 1 mm. (Sumber dari dr. M. J. Phillips.)

Presentasi penyakit Wilson sebagai gangguan neuropsikiatri umum terjadi,


khususnya di kalangan remaja yang lebih tua dan dewasa muda. Aspek klinis presentasi
ini dibahas dalam Bab 2. Sebagian besar pasien dengan penyakit Wilson neurologis juga
menunjukkan beberapa bukti disfungsi hepar.

Konfirmasi dari diagnosa mungkin sulit. Pada penyakit Wilson, kadar tembaga
dan seruloplasmin plasma biasanya rendah. Namun, kadar tembaga mungkin normal
atau tinggi pada pasien dengan gagal hati fulminan, dan kadar seruloplasmin sering
tumpang tindih dengan pasien-pasien dengan jenis penyakit hati lainnya. Ekskresi
tembaga urin biasanya meningkat pada penyakit Wilson, khususnya setelah pemberian
penisilamin. Ini adalah dasar dari prosedur diagnostik yang banyak digunakan ketika
hasil dari pemeriksaan lainnya ambigu. Diagnosa juga difasilitasi oleh identifikasi
penyakit terkait mutasi di gen ATP7B .

Pemeriksaan Penunjang

Tes fungsi hati

Awal penyelidikan mungkin termasuk sebuah pilihan dari studi ke menilai kolestasis,
kerusakan sel hati aktif, fungsi sintetis hati, dan beberapa studi terpilih yang mungkin
ditunjukkan oleh sifat presentasi hati (Tabel 4.5 ).

Tabel 4.5 Pemeriksaan fungsi hati

Pemeriksaan untuk kolestasis Pemeriksaan untuk kelainan


metabolisme bawaan
Bilirubin terkonjugasi dan tidak Tembaga dan seruloplasmin
terkonjugasi
Alkalin fosfatase (ALP) α - fetoprotein
γ- Glutamattranspeptidase (GGT) α1 - antitripsin (fenotipe PI)
Asam empedu Asam amino plasma
Pemeriksaan untuk kerusakan sel Asam organic urin
hepar aktif
Aspartat aminotransferase (AST) Aktivitas GALT sel merah
Alanin aminotransferase (ALT) Uji berbagai enzim lisosom
Pemeriksaan untuk fungsi sintetik
Albumin
PT dan PTT
Faktor koagulasi VII, V
Amonia
Singkatan: PT, waktu protrombin; PTT, waktu tromboplastin parsial; GALT, galaktosa-
1-fosfat uridiltransferase .

Tes puasa

Puasa dengan pemantauan hati-hati adalah satu dari beberapa tes provokatif
yang masih secara luas digunakan untuk skrining defek dalam metabolisme karbohidrat
atau lemak. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi integritas glikogenolisis,
glukoneogenesis, dan oksidasi asam lemak dalam adaptasi terhadap kelaparan.

Setiap uji provokatif harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari
dekompensasi metabolik akut, yang mungkin berakibat fatal. Puasa sebagai prosedur
provokatif hanya boleh dilakukan di bawah kendali dan diawasi secara ketat. Tes
sebaiknya dilakukan ketika pasien tidak memiliki penyakit penyerta.

Dalam pemeriksaan penunjang hipoglikemia berat, atau hipoglikemia yang


terjadi hanya beberapa jam dari puasa adalah ciri dari GSD I, dimana seluruh prosedur
umumnya dapat diselesaikan hanya dalam beberapa jam. Setelah pemberian makanan
apa pun pada hari itu, diberikan infus dengan NaCl 0,9% kecepatan lambat untuk
maintenance. Glukosa darah dipantau secara berkala dengan menggunakan uji strip atau
glukometer hingga turun menjadi 2 mmol/L, hingga anak mengalami gejala (biasanya
iritabilitas, gelisah, berkeringat, atau mengantuk), atau hingga 4 - 6 jam telah berlalu,
bergantung pada usia pasien. Pada akhir puasa, sampel darah diperoleh untuk
pengukuran glukosa darah, laktat, asam lemak bebas, 3-hidroksibutirat, asetoasetat,
insulin, dan hormon pertumbuhan. Glukagon (1 mg) kemudian diberikan secara
intramuskular, dan sampel darah diperoleh pada 10, 20, dan 30 menit untuk analisis dari
glukosa dan laktat. Apabila anak menjadi bergejala parah atau menolak menyusu peroal
pada akhir pemeriksaan, maka bolus dari larutan glukosa (500 mg/kg) sebaiknya
diberikan intravena dan diikuti oleh infus glukosa berkelanjutan.

Dengan tidak adanya riwayat hipoglikemia yang jelas, atau jika riwayat
menunjukkan anak dapat mentoleransi setidaknya beberapa jam kelaparan, puasa
dimulai dari pemberian makan malam sehari sebelumnya: pada jam 22.00 untuk pasien
usia < 18 bulan dan pada jam 18.00 untuk pasien usia > 18 bulan. Darah glukosa
sebaiknya dipantau secara berkala pada malam hari. Pada jam 08.00, infus NaCl 0,9%
diberikan dan analisis awal dilakukan terhadap glukosa plasma, laktat, asam lemak
bebas, 3-hidroksibutirat, asetoasetat, amonium, dan karnitin bebas dan total karnitin.
Setelah pasien berkemih untuk pertama kalinya di pagi hari, semua urin yang keluar
selama sisa periode puasa dikumpulkan untuk analisis keton urin dan asam organik.
Kadar glukosa darah dipantau setiap jam. Ketika glukosa darah turun menjadi 2
mmol/L, anak menjadi simtomatik, atau setelah total 16 jam puasa pada anak < 18 bulan
dan 22 jam di anak > 18 bulan, yang mana darah diambil untuk analisis berulang dari
studi awal.

Uji provokatif puasa sebagai pemeriksaan untuk defek oksidasi asam lemak
pernah ditinggalkan oleh banyak pusat karena berpotensi berbahaya. Alternatif prosedur
pemeriksaan termasuk loading karnitin atau fenilpropionat ditambah dengan analisis
asilkarnitin atau fenilpropionat dalam urin. Loading dalam situasi ini dilakukan hanya
untuk memastikan bahwa pasien memiliki simpanan karnitin yang memadai, atau
sedang memproduksi jumlah fenilpropionat yang memadai di usus, untuk menghasilkan
abnormalitas khas pada urin. Pemeriksaan dari kelompok gangguan ini sangat
difasilitasi oleh pengenalan analisis MSMS tandem dari asilkarnitin plasma. Analisis
dapat dilakukan dengan beberapa tetes darah yang dicelipkan ke dalam sebuah kertas
saring, dikeringkan, dan dikirim ke laboratorium dengan peralatan dan keahlian yang
sesuai.

Anda mungkin juga menyukai