Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 2

MATA KULIAH :
MANAJEMEN

OLEH :
NAMA : REFKY ARDI PRATAMA
NIM : 043103808
Ali Muharam, Mengembangkan Empati dan Memanusiakan Karyawan

Sulit dipungkiri, banyak pengusaha sukses yang lahir dari keterbatasan. Kesulitan dan kepahitan
hidup menempa mereka menjadi lebih struggle, ngotot, dan pantang menyerah. Dan, itulah sikap
yang dibutuhkan untuk meraih keberhasilan.

Kisah Ali Muharam, pengusaha muda yang sukses mengorbitkan Makaroni Ngehe,
jajanan ngehits kaum milenial, adalah contohnya. Sosok Founder dan CEO Makaroni Ngehe
yang berhasil mengembangkan bisnisnya yang didirikan pada Maret 2013 hingga menjadi 32
cabang tersebar di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta memiliki
sekitar 500 karyawan ini juga datang dari keluarga sangat sederhana.
Mulanya, Ali tidak lebih dari seorang anak muda lulusan SMA yang tengah mencari jati diri.
Tidak memiliki bekal keterampilan dan bahkan tidak punya modal bisnis, ia hanya ingin
mengubah nasib. Cita-citanya sederhana: keluar dari lingkaran setan, setelah melalui kepahitan
demi kepahitan dalam perjalanan hidupnya.
“Saya pernah mencoba jadi penulis, tapi waktu itu karier saya sebagai penulis sangat anjlok. Hal
ini menjadi mata rantai kesulitan hidup saya terus berulang,” ungkapnya mengenang masa-masa
berat dalam hidupnya.
Ketika di tengah kebimbangan mencari sumber penghasilan, sang ibu menawarkan berjualan
makaroni jenis makanan yang selalu disuguhkan ketika Lebaran dan menjadi ciri khas menu
keluarga di kampungnya (Tasikmalaya). “Ternyata setelah diperkenalkan, banyak orang yang
mengekor ikut berjualan,” ungkap Ali. Tahun 2008, ia pun memutuskan serius menggeluti bisnis
makanan makaroni.
Seperti lazimnya bisnis baru, Ali juga menghadapi masa-masa struggle yang cukup menantang.
Dengan dibantu oleh sang ibu yang tak hentinya memberi semangat, ia antusias memulai bisnis
makanan.
Sayangnya, tak lama kemudian ibunda tercinta kembali kepada Sang Khalik karena sakit.
“Padahal, saat itu posisi saya masih merangkak, jualan dengan gerobak, belum seperti sekarang,”
kata Ali yang mengaku saat itu sedih dan putus asa, kehilangan semangat hidup. Baginya, sang
ibunda adalah sumber inspirasi sekaligus penyemangat hidupnya.
Beruntung, kepedihan itu tidak berlarut-larut. Ketika dalam kepedihan mendalam, Ali bertemu
seseorang yang membutuhkan bantuan. “Saya memberikan uang ke orang tersebut dan orang itu
terlihat sangat berterima kasih dan terus-menerus mendoakan saya. Hati saya membuncah
senang. Dari situ saya berpikir bahwa esensi kebahagiaan yang sebenarnya adalah jika kita bisa
membuat orang lain bahagia, kita akan merasa lebih bahagia,” tuturnya.
Ali sampai pada satu kesimpulan, bahwa untuk merasa bahagia itu bukan berusaha
membahagiakan diri sendiri, melainkan harus membahagiakan orang lain. Pelajaran hidup ini
dibawanya dalam melanjutkan pengembangan bisnis dan dalam mengasah sifat
kepemimpinannya.
“Saya harus memberi contoh sebelum menyuruh. Ketika menyuruh karyawan melakukan
sesuatu, saya juga harus memahami tugas yang didelegasikan tersebut.”
Ali Muharam, Founder dan CEO Makaroni Ngehe.
Berbekal semangat baru, Ali memutuskan membuka gerai di Jakarta dari modal pinjaman
sebesar Rp 20 juta. Mengapa membuka gerai? Karena, ia ingin mempekerjakan orang lain. Ia
ingin membagi kebahagiaan bersama yang lain.
Namun, karena modal terbatas, banyak hal yang ia kerjakan sendiri, mulai dari belanja di
Tasikmalaya, memanggul barang-barang belanjaan sendiri, memasak, hingga menunggui
dagangan dengan tidur di gerai sendiri. “Tidak mengapa, karena waktunya lama,” ujarnya.
Gerainya pun mulai ramai. “Dari awalnya hanya mendapat keuntungan puluhan ribu rupiah per
hari, kemudian berkembang ratusan ribu per hari, hingga akhirnya mencapai jutaan per hari,”
katanya senang.
Setahun kemudian, ketika membuka cabang ke-6, Ali mulai mengajak teman-temannya untuk
membantu mengelola keuangan, operasional, gudang, belanja, dsb. Meskipun masih relatif
tradisional, ia sudah mulai mencoba membuka kantor dan menyusun struktur organisasi
perusahaan. “Sekarang sih sudah mulai tertata secara profesional,” ungkapnya bangga.
Bagi Ali yang mengandalkan pengalaman di lapangan tanpa mentor khusus yang
membimbingnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu berempati kepada anak buah.
“Kebetulan karena saya pernah berada di posisi sebagai orang yang tidak punya apa-apa, tidak
punya pertolongan dari siapa pun dan tidak punya tempat untuk berlindung, dan saya juga pernah
menjadi karyawan, saya tahu rasanya seperti apa berada di bawah yang membuat saya bisa lebih
sensitif dan peka terhadap emosi karyawan,” tuturnya.
Menurutnya, pemimpin yang baik adalah yang berhasil memanusiakan karyawan. Ibarat sedang
mendidik seorang anak, bisnis ataupun karyawannya harus diberi yang terbaik. Intinya, seorang
pemimpin harus bisa menuntun sebelum menuntut. “Saya harus memberi contoh sebelum
menyuruh. Ketika menyuruh karyawan melakukan sesuatu, saya juga harus memahami tugas
yang didelegasikan tersebut,” katanya.
Menjadi seorang pemimpin perusahaan di usia muda memang jauh lebih menantang. Namun,
yang pasti, masalah kesejahteraan karyawan itu nomor satu, dari hal terkecil misalnya jam kerja,
juga kebahagiaan mereka. “Ketika kami berhasil menyentuh area tersebut, presentase berhasil
akan lebih besar ketimbang hanya memperhatikan berjalannya bisnis tapi miskin perhatian di
SDM,” ia menandaskan. 
Ali bersyukur lahir dari keluarga yang serba terbatas sehingga terbiasa bekerja keras. “Waktu
kecil ayah saya pengepul rongsokan, saya sering diajak ke tempat pengepul barang itu,” katanya
mengenang.
Sejak kecil sudah melihat kerasnya kehidupan, ia pun punya kecenderungan mencari uang
sendiri. “Saya pernah jualan kresek di pasar untuk bisa mendapatkan uang tambahan, karena
waktu itu keadaan ekonomi sangat sulit sekali,” ungkapnya.
Belajar dari pengalaman dan kepahitan masa lalu itulah, kini ia mengaku sangat hati-hati dalam
mengelola usaha, terutama terkait uang. Misalnya, untuk membuka cabang, ia
mengandalkan cash flow, tidak meminjam bank ataupun pemodal lain.
Dalam mengelola gerai, Ali mencoba mendelegasikan ke GM Area. Intinya, ia tidak ingin
menjadi superman, melainkan superteam. Semua harus dikerjakan bersama, saling mengisi dan
sling amelengkapi.
Dengan pendekatan seperti itu, Makaroni Ngehe dapat bertahan meski dihajar pandemi. Dari segi
pendapatan ia mengaku memang ada penurunan.  Namun, Ali optimistis, bisnis akan terus
melaju kencang. Ia siap berada di barisan depan. (*)

https://swa.co.id/swa/trends/management/ali-muharam-mengembangkan-empati-dan-
memanusiakan-karyawan

Pertanyaan
Berdasarkan kasus di atas, maka analisalah:
Skor
1. Apa yang Anda ketahui mengenai kepemimpinan? Kaitkan jawaban Anda dengan 25
Teori.
2. Bagaimana kepemimpinan yang dilakukan Founder dan CEO Makaroni Ngehe? 25
Berikan analisa Anda.
3. Bagaimana pengelolaan usaha yang dilakukan Ali Muharam? Berikan 25
analisa Anda.
4. Pada kasus ini, bagaimana Sang Founder mengembangkan empati dan 25
memanusiakan karyawan? Berikan analisa Anda

Jawab :

1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain yaitu bawahan atau karyawan yang akan
dipimpin dan juga kepemimpinan melibatkan pembagian kekuasan ,pemimpin
mempunyai kekuasaan lebih besar dengan yang di pimpin.

Menurut cerita suskses ali muharam sangat berkaitan dengat teori Study the university of
Michigan pada studi tersebut menumakan gaya yang berfokus pada karyawan (employed
centered) merupakan hal yang lebih efektif dibandingkan dengan berfokus pada kegiatan
produksi, dalam penelitian tersebut berpendapat bahwa kebanyakan pemimpin yang
efektif mempunyai hubungan baik dengan karyawan dan dalam proses pengambilan
keputusan cenderung bergantung pada kelompok,bukan individu.

2. Kepemimpinan yang dilakukan CEO Makaroni Ngehe adalah berfokus kepada


memanusiakan karyawannya,Ali Ngehe menganggap bahwa memberikan yang terbaik
untuk perusahaan dan karyawan adalah yang terbaik,selain itu menjadi pemimpin yang
baik harus bisa memberikan motivasi kepada keryawan agar mampu menyelesaikan tugas
dengan kerjasama.
3. Ali Muharam yang mmembangun bisnisnya dengan modal pengalaman,awalnya cukup
kesulitan karena melakukan segala sesuatunya dengan sendiri,seperti
berbelanja,memasak,dll.Tetapi keyakinannya akan keberhasilannya dan prinsip nya yang
mengembangkan empati dan memanusiakan karyawan membuatnya sampai di titik ini.
Belajar dari pengalaman dan kepahitan masa lalu itulah, kini ia mengaku sangat hati-hati
dalam mengelola usaha, terutama terkait uang. Misalnya, untuk membuka cabang, ia
mengandalkan cash flow, tidak meminjam bank ataupun pemodal lain.

4. Dengan memotivasi karyawan agar mampu bekerjasama adalah salah satu cara
pendeketan yang cukup efektif yang bisa dilakukan dengan demikian karyawan tidak
merasa melakukan semua pekerjaan secara individu tetapi masing masing karyawan
harus bisa saling melengkapi.

Anda mungkin juga menyukai