Anda di halaman 1dari 5

Nama :Tias Sulistiawati

NIM :044793596

Prodi :Manajemen

Matkul : Manajemen

Ali Muharam, Mengembangkan Empati dan Memanusiakan Karyawan

Sulit dipungkiri, banyak pengusaha sukses yang lahir dari keterbatasan. Kesulitan
dan kepahitan hidup menempa mereka menjadi lebih struggle, ngotot, dan pantang
menyerah. Dan, itulah sikap yang dibutuhkan untuk meraih keberhasilan.

Kisah Ali Muharam, pengusaha muda yang sukses mengorbitkan Makaroni Ngehe,
jajanan ngehits kaum milenial, adalah contohnya. Sosok Founder dan CEO
Makaroni Ngehe yang berhasil mengembangkan bisnisnya yang didirikan pada
Maret 2013 hingga menjadi 32 cabang tersebar di wilayah Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timurserta memiliki sekitar 500 karyawan ini juga datang
dari keluarga sangat sederhana.
Mulanya, Ali tidak lebih dari seorang anak muda lulusan SMA yang tengah
mencari jati diri. Tidak memiliki bekal keterampilan dan bahkan tidak punya
modal bisnis, ia hanya ingin mengubah nasib. Cita-citanya sederhana: keluar dari
lingkaran setan, setelah melalui kepahitan demi kepahitan dalam perjalanan
hidupnya.
“Saya pernah mencoba jadi penulis, tapi waktu itu karier saya sebagai penulis
sangat anjlok. Hal ini menjadi mata rantai kesulitan hidup saya terus berulang,”
ungkapnya mengenang masa-masa berat dalam hidupnya.
Ketika di tengah kebimbangan mencari sumber penghasilan, sang ibu menawarkan
berjualan makaroni jenis makanan yang selalu disuguhkan ketika Lebaran dan
menjadi cirikhas menu keluarga di kampungnya (Tasikmalaya). “Ternyata setelah
diperkenalkan, banyak orang yang mengekor ikut berjualan,” ungkap Ali. Tahun
2008, ia pun memutuskan serius menggeluti bisnis makanan makaroni.
Seperti lazimnya bisnis baru, Ali juga menghadapi masa-masa struggle yang cukup
menantang. Dengan dibantu oleh sang ibu yang tak hentinya memberi semangat, ia
antusias memulai bisnis makanan.
Sayangnya, tak lama kemudian ibunda tercinta kembali kepada Sang Khalik karena
sakit. “Padahal, saat itu posisi saya masih merangkak, jualan dengan gerobak,
belum seperti sekarang,” kata Ali yang mengaku saat itu sedih dan putus asa,
kehilangan semangat hidup. Baginya, sang ibunda adalah sumber inspirasi
sekaligus penyemangat hidupnya.
Beruntung, kepedihan itu tidak berlarut-larut. Ketika dalam kepedihan mendalam,
Ali bertemu seseorang yang membutuhkan bantuan. “Saya memberikan uang ke
orang tersebut dan orang itu terlihat sangat berterima kasih dan terus-menerus
mendoakan saya. Hati saya membuncah senang. Dari situ saya berpikir bahwa
esensi kebahagiaan yang sebenarnya adalah jika kita bisa membuat orang lain
bahagia, kita akan merasa lebih bahagia,” tuturnya.
Ali sampai pada satu kesimpulan, bahwa untuk merasa bahagia itu bukan berusaha
membahagiakan diri sendiri, melainkan harus membahagiakan orang lain.
Pelajaran hidup ini dibawanya dalam melanjutkan pengembangan bisnis dan dalam
mengasah sifat kepemimpinannya.
“Saya harus memberi contoh sebelum menyuruh. Ketika menyuruh karyawan
melakukan sesuatu, saya juga harus memahami tugas yang didelegasikan tersebut.”
Ali Muharam, Founder dan CEO Makaroni Ngehe.
Berbekal semangat baru, Ali memutuskan membuka gerai di Jakarta dari modal
pinjaman sebesar Rp 20 juta. Mengapa membuka gerai? Karena, ia ingin
mempekerjakan orang lain. Ia ingin membagi kebahagiaan bersama yang lain.
Namun, karena modal terbatas, banyak hal yang ia kerjakan sendiri, mulai dari
belanja di Tasikmalaya, memanggul barang-barang belanjaan sendiri, memasak,
hingga menunggui dagangan dengan tidur di gerai sendiri. “Tidak mengapa, karena
waktunya lama,” ujarnya.
Gerainya pun mulai ramai. “Dari awalnya hanya mendapat keuntungan puluhan
ribu rupiah per hari, kemudian berkembang ratusan ribu per hari, hingga akhirnya
mencapai jutaan per hari,” katanya senang.
Setahun kemudian, ketika membuka cabang ke-6, Ali mulai mengajak teman-
temannya untuk membantu mengelola keuangan, operasional, gudang, belanja, dsb.
Meskipun masih relatif tradisional, ia sudah mulai mencoba membuka kantor dan
menyusun struktur organisasi perusahaan. “Sekarang sih sudah mulai tertata secara
profesional,” ungkapnya bangga.
Bagi Ali yang mengandalkan pengalaman di lapangan tanpa mentor khusus yang
membimbingnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu berempati
kepada anak buah. “Kebetulan karena saya pernah berada di posisi sebagai orang
yang tidak punya apa-apa, tidak punya pertolongan dari siapa pun dan tidak punya
tempat untuk berlindung, dan saya juga pernah menjadi karyawan, saya tahu
rasanya seperti apa berada di bawah yang membuat saya bisa lebih sensitif dan
peka terhadap emosi karyawan,” tuturnya.
Menurutnya, pemimpin yang baik adalah yang berhasil memanusiakan karyawan.
Ibarat sedang mendidik seorang anak, bisnis ataupun karyawannya harus diberi
yang terbaik. Intinya, seorang pemimpin harus bisa menuntun sebelum menuntut.
“Saya harus memberi contoh sebelum menyuruh. Ketika menyuruh karyawan
melakukan sesuatu, saya juga harus memahami tugas yang didelegasikan tersebut,”
katanya.
Menjadi seorang pemimpin perusahaan di usia muda memang jauh lebih
menantang. Namun, yang pasti, masalah kesejahteraan karyawan itu nomor satu,
dari hal terkecil misalnya jam kerja, juga kebahagiaan mereka. “Ketika kami
berhasil menyentuh area tersebut, presentase berhasil akan lebih besar ketimbang
hanya memperhatikan berjalannya bisnis tapi miskin perhatian di SDM,” ia
menandaskan.
Ali bersyukur lahir dari keluarga yang serba terbatas sehingga terbiasa bekerja
keras. “Waktu kecil ayah saya pengepul rongsokan, saya sering diajak ke tempat
pengepul barang itu,” katanya mengenang.
Sejak kecil sudah melihat kerasnya kehidupan, ia pun punya kecenderungan
mencari uang sendiri. “Saya pernah jualan kresek di pasar untuk bisa mendapatkan
uang tambahan, karena waktu itu keadaan ekonomi sangat sulit sekali,” ungkapnya.
Belajar dari pengalaman dan kepahitan masa lalu itulah, kini ia mengaku sangat
hati-hati dalam mengelola usaha, terutama terkait uang. Misalnya, untuk membuka
cabang, ia mengandalkan cash flow, tidak meminjam bank ataupun pemodal lain.
Dalam mengelola gerai, Ali mencoba mendelegasikan ke GM Area. Intinya, ia
tidak ingin menjadi superman, melainkan superteam. Semua harus dikerjakan
bersama, saling mengisi dan sling amelengkapi.
Dengan pendekatan seperti itu, Makaroni Ngehe dapat bertahan meski dihajar
pandemi. Dari segi pendapatan ia mengaku memang ada penurunan. Namun, Ali
optimistis, bisnis akan terus melaju kencang. Ia siap berada di barisan depan. (*)
https://swa.co.id/swa/trends/management/ali-muharam-mengembangkan-empati-
dan-memanusiakan-karyawan

Pertanyaan
Berdasarkan kasus di atas, maka analisalah:

Skor
1. Apa yang Anda ketahui mengenai kepemimpinan? Kaitkan jawaban 25
Anda dengan
Teori.
2. Bagaimana kepemimpinan yang dilakukan Founder dan CEO 25
Makaroni Ngehe?
Berikan analisa Anda.
3. Bagaimana pengelolaan usaha yang dilakukan Ali Muharam? Berikan 25
analisa Anda.
4.Pada kasus ini, bagaimana Sang Founder mengembangkan empati dan 25
memanusiakan karyawan? Berikan analisa Anda

Jawaban :
1. Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mengarahkan dan
memengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang orang dam kelompok.
Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan
yang akan dipimpin. Kepemimpinan juga melibatkan pembagian
kekuasaan(power). Pemimpin mempunyai power yang lebih besar
dibandingkan dengan yang dipimpin.
Terlihat dari cara ali memimpin dia mengutamakan kerja tim dari pada harus
melakukannya sendiri. Karena dia tidak mau menjadi supermen melainkan
superteam. Semua dilakukan bersama,saling mengisi dan saling melengkapi.
2. Kepemimpinan yang dilakukan ali adalah dengan memberi contoh sebelum
memerintah. Sebagai contoh ia ketika memerintah karyawan melakukan
sesuatu, pemimpin juga harus memahami tugas yang didelegasikan tersebut.
Ali juga memiliki gaya kepemimpinan yang baik dimana dia mampu
berempati kepada anak buahnya.
3. Pengelolaan usaha yang dilakukan ali ialah dengan selalu belajar dari sebuah
pengalaman, kegagalan dan kepahitan masa lalu juga senantiasa berhati-hati
dalam mengelola usaha, terutama terkait uang. Seperti, saat untuk membuka
cabang ia lebih menganbdalkan cash flow, tidak meminjam bank atau
pemodal lain.
4. Ali sebagai founder dan CEO mengembangkan empati dan rasa
kemanusiaanya kepada karyawan dengan cara mengedepankan masalah
kesejahteraan karyawan menjadi nomor satu. Misal: jam kerja juga
kebahagiaan mereka. “ ketika kami berhasil menyentuh area tersebut,
presentasi berhasil akan lebih besar ketimbang hanya memperhatikan
berjalannya bisnis tapi miskin perhatian di SDM” kata Ali.

Anda mungkin juga menyukai