Anda di halaman 1dari 5

Pesantren, Santri dan Tantangan Melek Digital

Tubagus Agnia – Al Mahsyar Generation 1517

Teknologi digital menjadi sebuah keharusan manusia dalam mengikuti zaman yang makin
berkembang. Sarana yang mempermudah hidup manusia bersosial dan memenuhi
kebutuhannya tersebut membuat kita tidak punya pilihan selain belajar dan menjadikan
teknologi sebagai kebutuhan dalam kehidupan. Bagaimana tidak, teknologi informasi bisa
membuka mata manusia untuk hidup dalam dunia baru, interaksi baru, marketplace baru, dan
jaringan bisnis dunia tanpa batas. Perkembangan teknologi yang disebut internet, mampu
menyulap pola hidup masyarakat dalam berbagai aspek, baik sosial, budaya, ekonomi bahkan
politik.

Perkembangan teknologi informasi internet membuat banyak dampak positif dalam


kehidupan bermasyarakat. Adanya teknologi informasi internet bisa merubah gaya hidup
yang cenderung primitif menjadi modern. Manusia bisa mengakses berita, informasi, artikel,
lowongan pekerjaan, dan apapun dalam sekejap, dimanapun dan kapanpun. Teknologi
informasi internet juga membuka peluang bisnis dalam dunia baru, yakni dunia digital.
Banyak orang yang menggunakan media digital sebagai basis bisnis besar yang memiliki
pasar yang luas. Dalam dunia pendidikan, teknologi juga membantu mempermudah lembaga
untuk bisa mengakumulasi nilai, menghimpun data dan memberi informasi kepada peserta
didik. Hal ini membuat lembaga pendidikan di Indonesia mau tidak mau harus mengikuti
perkembangan digital agar mudah dalam menjalankan operasional lembaga.

Namun, pendidikan di Indonesia punya budaya yang kental berintegrasi dengan agama.
Agama menjadi salah satu hal wajib yang dipelajari oleh semua peserta didik. Bahkan, di
Indonesia banyak sekali lembaga yang menitikberatkan pendidikannya dalam pendidikan
agama, khususnya agama islam sebagi mayoritas di Indonesia atau kita sering menyebutnya
pesantren.
Konsep pendidikan didalam Islam menurut (Suwito, 2004) memandang bahwa manusia
dilahirkan dengan membawa potensi lahiriah yaitu:1) potensi berbuat baik terhadap alam, 2)
potensi berbuat kerusakan terhadap alam, 3) potensi ketuhanan yang memiliki fungsi-fungsi
non fisik. Ketiga potensi tersebut kemudian diserahkan kembali perkembangannya kepada
manusia. Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan dan keagamaan yang
melakukan kegiatan sepanjang hari guna berusaha melestarikan, mengajarkan dan
menyebarkan agama Islam serta melatih parasantri untuk siap dan mampu mandiri (Subhan,
2012).

Pesantren memiliki kultur pendidikan yang berbeda, pesantren lebih menitik beratkan agama
sebagai hal wajib dikuasai oleh peserta didiknya yang disebut santri. Pesantren sangat
membatasi santrinya untuk bebas mengakses teknologi informasi internet. Hal ini membuat
santri sulit beradaptasi dalam kehidupannya setelah selesai mengeyam pendidikan. Dampak
negatif teknologi menjadi faktor utama mengapa pesantren sangat membatasi santrinya untuk
mengakses teknologi informasi internet dan media sosial. Di lingkup pesantren, perempuan
dan laki-laki dibatasi interaksinya, namun di media sosial hal itu tidak mungkin terjadi.
Pesantren menggembleng pendidikan agama kepada santrinya, agar menjalankan segala yang
diperintahkan Tuhan dan menjauhi segala larangannya. Hal ini berbenturan dengan akses
yang sangat bebas ketika menggunakan teknologi informasi internet. Belum lagi kejahatan-
kejahatan seperti peredaran narkoba, penyesatan ideologi, perdagangan illegal dan lain
sebagainya yang sekarang bisa sangat mudah dilakukan. Sistem pesantren yang sangat
memegang teguh ajaran agama, tidak ingin santri-santrinya keluar dari ajaran agama yang
diyakini apalagi melakukan perbuatan kriminal yang bisa mencoreng nama lembaga dan
agama.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan, disiplin ilmu agama menjadi pondasi utama dalam
menjaga kultur yang diwariskan para pendahulu. Hal ini membuat pesantren membatasi
banyak hal terhadap santrinya. Pembatasan terhadap akses teknologi informasi internet yang
dilakukan pesantren, akan sangat mempengaruhi daya pikir, kreatifitas dan inovasi santrinya.
Jika dibandingkan dengan peserta didik yang berada disekolah umum, mereka cenderung
bisa terus kreatif dan inovatif lewat informasi dan bacaan yang mereka temui dalam
kesehariannya. Tidak sedikit anak-anak sekolah umum yang sudah memiliki kemampuan
digital yang bisa dimanfaatkan menjadi penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun memang secara akidah, pengetahuan agama, dan kemampuan praktek spiritualnya
berbeda jauh dengan yang mengeyam pendidikan di pesantren. Bisa dibilang orang-orang
yang mengeyam pendidikan pesantren akan kuat secara akidah dan pengetahuan agama, tapi
kurang melek dalam kemampuan digital, sedangkan yang non-pesantren adalah sebaliknya.

Transformasi Pesantren

Dalam perkembangan teknologi digital, pesantren harus memanfaatkan peradaban digital


sebagai sarana dakwah keagamaan yang bisa menebar kebermanfaatan. Sudah seharusnya
pesantren secara lembaga dan sumber dayanya melek bahwa teknologi digital bisa
menghasilkan feedback positif terhadap lembaga. Pesantren juga harus mempunyai formulasi
khusus dalam memberdayakan santrinya agar bisa mengakses teknologi digital tanpa harus
melanggar peraturan yang sudah dijalankan dari sejak dulu. Formulasi khusus ini harus
mengelaborasi kebutuhan digital santri dan kultur disiplin ilmu yang sudah ada di pesantren.
Dengan begitu, santri bisa bersaing secara nalar, kreatifitas dan inovasi dengan yang non
pesantren. Jika ini berhasil, peserta didik cetakan pesantren justru punya value lebih. Dengan
pengetahuan agama yang kuat, daya spiritualitas yang tinggi dengan diiringi kemampuan
digital yang baik dan mampu berdaya saing.

Dengan transformasi sistem yang ada, para santri di pesantren juga dapat mengakses
tambahan informasi secara digital baik berupa berita , jurnal, kitab berbentuk pdf, kamus
online, ebook maupun informasi yang bersifat audio visual yang tentunya hal ini berpengaruh
besar terhadap santri dan pesantren. Santri juga dapat menambah cakrawala ilmu, mengaji
dan mengkaji isu-isu sosial kontemporer dan mengaitkan-nya dengan dalil-dalil yang
bersumber dari Al Quran, Hadis dan kitab–kitab kuning, sehingga santri bisa menemukan
jalan keluar dari berbagai masalah yang timbul dimasyarakat. Santri juga bisa berdakwah dan
menyebarkan nilai-nilai positif kepada masyarakat lewat sosial media yang ada.

Pesantren yang cenderung konservatif dalam sistem pendidikannya, harus betul-betul


mengetahui kebutuhan zaman yang akan dihadapi kedepannya, dengan mempertahankan
nilai-nilai budaya dan spiritualitas yang sudah ditinggalkan oleh para pendahulu. Pesantren
akan menjadi lembaga yang menarik bagi orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya
ketika pesantren mampu menyeimbangkan antara aspek keagamaan dan kebutuhan
perkembangan zaman.

Menjadi Santri Berdaya

Di sisi lain dari transformasi sistem lembaga pesantren, sebagai peserta didik, santri juga
harus sadar bahwa sistem pendidikan pesantren membuatnya harus berlari mengejar
ketertinggalan informasi dan kesadaran digital dari yang lain. Menjadi santri harus bisa
memanfaatkan waktu sebaik mungkin, karena sistem kedisiplinan pesantren itu sangat tinggi,
maka manajemen waktu santri harus sangat diperhatikan. Melek digital bukan berarti hanya
paham sekadar bermain sebagai pengguna media sosial saja, tapi harus paham akan peluang,
manfaat dan efeknya. Pengguna media sosial yang tidak memahaminya hanya akan menjadi
pasar dari orang-orang yang berhasil membaca peluang dan mampu menganalisa manfaat
yang akan terjadi ketika ia melakukan pemberdayaan digital. Santri harus paham akan hal
itu. Dengan begitu, santri bisa belajar, berdakwah, bersosial dengan mudah dan membuka
peluang mencari pundi-pundi rupiah lewat teknologi digital.

Pasca selesai mengenyam pendidikan di pesantren, santri akan memiliki waktu yang cukup
untuk memaksakan diri mengejar literasi yang belum ia dapatkan di pesantren. Waktu-waktu
inilah yang harus dipergunakan dengan baik oleh santri untuk mendapat segala hal yang
belum didapatkan di pesantren. Dengan akidah yang kuat, mental yang baja, kemauan akan
ilmu yang tinggi, santri akan dapat terus berkembang dan bisa bersaing dalam bidangnya
masing-masing.
Sebagai penutup, mari kita sedikit menilik santri yang berhasil melek digital dan
memanfaatkan teknologi digital. Habib Husein Ja’far Al-Hadar contohnya, seorang santri
Bangil Pasuruan Jawa Timur, kini menjadi pendakwah yang cara penyampaiannya sangat
renyah, enak didengar dan terkenal menjadi pendakwah dengan toleransi yang tinggi.
Pemanfaatan media digital sebagai sarana dakwahnya juga sangat produktif. Lewat berbagai
platform seperti instagram, youtube, dan tiktok ia menyampaikan isi kepalanya lewat diskusi-
diskusi kecil. Selain untuk kebutuhan eksistensial, media digital juga bisa menjadi pundi -
pundi pahala jika dimanfaatkan dengan baik oleh penggunanya. Kita juga bisa melihat Ustadz
Abdul Shomad, Ustadz Adi Hidayat yang menjadikan media sebagai salah satu sarana
dakwah yang efektif.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang punya andil besas dalam mencetak generasi
gemilang, harus bisa menjadi garda terdepan yang melek akan perkembangan zaman tapi tak
lupa akan nilai-nilai luhur yang diwariskan. Santri tidak boleh lagi hanya dipandang sebagai
calon ustadz yang tidak mengetahui hal lain selain urusan agama. Santri harus berpendidikan
tinggi, berwawasan luas dan bisa membaca peluang dan tantangan zaman. Melek digital
adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang santri dalam menjawab
peradaban dimasa yang akan datang. Kemampuan itu harus dibarengi dengan akidah yang
kuat, pengetahuan agama yang hebat dan bisa menebar manfaat bagi masyarakat.

Bahan bacaan :

1. Abdulloh Hamid. 2021. Literasi Digital Santri Milenial. Jakarta. Kompas Gramedia.
2. Subhan, A. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20: Pergumulan
Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana.
3. Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih. Yogyakarta: Belukar.
4. https://urupedia.id/2022/esai/urgensi-antusiasme-peradaban-pesantren-dalam-
literasi-digital-era-millenial.html

Anda mungkin juga menyukai