Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN MOTIF BATIK TULIS JETIS SIDOARJO

(2008-2011)

Oleh: Desty Qamariah1

Abstrak

Motif batik merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang
mengekspresikannya melalui kegiatan membatik. Sehingga motif batik
dimasukkan ke dalam unsur kesenian. Setiap motif yang dibuat pada kain batik
memiliki nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Keunikan dari motif
batik Jetis yaitu motifnya yang selalu menunjukkan hasil kekayaan alam dan
warnanya yang mencolok. Adapun alasan pemilihan judul ini, karena Sidoarjo
memiliki potensi batik yang patut diperhitungkan yang selalu memodifikasi dan
berinovasi sesuai perkembangan zaman.

Kata Kunci: Perkembangan, Motif, Batik Tulis, Jetis Sidoarjo.

Pendahuluan
Batik adalah salah satu kesenian khas Indonesia yang telah berabad-abad
lamanya hidup dan berkembang, serta memiliki nilai-nilai filosofis yang
menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Bahkan
pada tahun 2009, batik telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia asal
Indonesia oleh UNESCO. Salah satunya adalah batik Jetis Sidoarjo yang
diresmikan oleh bupati Sidoarjo, yaitu Bapak Win Hendrarso (lihat lampiran 4,
hal 193). Secara bahasa, batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu amba dan nitik
yang artinya menuliskan atau menorehkan titik-titik. Batik merupakan kain
bergambar yang dibuat secara khusus dengan cara menuliskan malam pada kain
dan pengolahannya diproses dengan cara tertentu (Asikin, 2008:10).
Sidoarjo adalah salah satu kota yang memiliki potensi batik yang patut
diperhitungkan, yang terkenal dengan nama “Kampoeng” Batik Jetis . Di
“Kampoeng” Jetis, membatik telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari dan
menjadi tradisi budaya lokal masyarakat Jetis. Buktinya sekitar 90% warga
“Kampoeng” Jetis berprofesi sebagai pengrajin batik pada tahun 1675
(Kahumas, 2011). Selain “Kampoeng” batik Jetis, ada pula beberapa desa di

Kota Sidoarjo,
1
Mahasiswa Jurusan Sejarah, FIS UM angkatan 2007
yang memproduksi batik, seperti Sekardangan dan Tulangan. Namun, dua desa
ini tidak berkembang seperti “Kampoeng” Jetis, disebabkan ketidak mampuan
memenuhi permintaan asar, hal itu dipicu karena jumlah pengrajin yang sangat
minim.
Secara umum, motif batik di Sidoarjo terdiri dari berbagai macam flora
dan fauna, seperti udang-bandeng, burung merak, burung cipret, kupu-kupu,
kembang suruh, dan lain-lain. Motif udang dan bandeng menjadi pakem batik
khas Sidoarjo, karena Sidoarjo adalah kota yang terkenal sebagai daerah penghasil
udang dan bandeng. Dimana udang dan bandeng merupakan logo dari kota
Sidoarjo. Selain itu, ada pula motif sekar jagad yang merupakan motif
berbentuk ceplok berulang yang semuanya saling merapat dan berornamen
bunga/tanaman yang banyak dipakai pada batik Sekardangan. Potensi alam juga
menjadi motif batik khas Sidoarjo, seperti pada batik Jetis yang berupa kembang
bayem, beras wutah, dan kembang tebu. Selain itu hampir semua kain batik tulis
Jetis bercorak dasar tidak lepas dari tiga corak tersebut sebagai identitas
Sidoarjo.
Seiring dengan perkembangan zaman, batik Jetis pun mengalami
perkembangan dalam segi motifnya, melalui inovasi dan improvisasi, yaitu
tanpa meninggalkan motif yang sudah ada dan memunculkan motif-motif baru
yang mengikuti perkembangan zaman dan pasar. Dimaksudkan untuk
menunjang eksistensi batik Jetis dan permintaan pasar. Hal ini merupakan
peluang pasar yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf ekonomi dari
pembatik itu sendiri.
Peranan masyarakat di Sidoarjo dalam usaha melestarikan batik Jetis
adalah membentuk paguyuban yang dinamakan dengan Paguyuban Batik Sidoarjo
(PBS) pada tanggal 16 April 2008. Ide pembentukan paguyuban ini berasal dari
kaum muda Jetis yang memiliki harapan besar kepada kelestarian batik Jetis itu
sendiri dan menjadi budaya setempat yang bisa dibanggakan. Bahkan
pemerintah juga ikut andil dalam meresmikan nama “Kampoeng” Batik Jetis
oleh Bapak Win Hendrarso, selaku bapak Bupati Sidoarjo saat itu. Peresmian itu
ditandai dengan adanya gapura “Kampoeng” batik Jetis yang dilengkapi dengan
kombinasi motif batik tulis Jetis dan ornamen canting batik.
Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, antara lain: (1) bagaimanakah
sejarah batik di Indonesia; (2) bagaimanakah sejarah batik tulis Jetis Sidoarjo;
(3)
bagaimanakah macam-macam motif tradisional dan makna batik tulis Jetis
Sidoarjo; (4) bagaimanakah perkembangan motif batik tulis Jetis Sidoarjo tahun
2008-2011; dan (5) Bagaimanakah nilai-nilai dalam batik tulis Jetis Sidoarjo.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah
(Historical Methode). Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis, rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1985:32).
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian sejarah pada
umumnya dapat dibagi menjadi lima tahap, seperti apa yang diungkapkan oleh
Kuntowijoyo (2001:91), yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik),
verifikasi (kritik sejarah/keabsahan sumber), interpretasi (analisis dan sintesis),
dan historiografi (penulisan).

Sejarah Batik di Indonesia


Secara pasti asal-usul batik di Indonesia sulit untuk dilacak, karena
mungkin bisa sampai masa purbakala. Ada beberapa pendapat bahwa batik
Indonesia secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak
abad VII yang ditulis dan dilukis pada lontar yang berisi naskah atau tulisan
agar tampak lebih menarik. Seiring perkembangannya interaksi bangsa
Indonesia dengan bangsa asing, maka mulai dikenal media batik pada kain
(Wulandari, 2011: 12).
Menurut beberapa ahli sejarah, media yang berupa kain yang digunakan
untuk membatik berasal dari India yang dibawa oleh para pedagang India yang
sedang melakukan perdagangan di Pulau Jawa. Kain mori yang digunakan untuk
bahan batik saat itu adalah hasil dari tenunan orang India sendiri (Prayitno,
2009:5).
Dalam perkembangannya perbatikan di Indonesia mulai dikembangkan
kembali pada abad XVII. Dibuktikan bahwa pada saat itu Raja Mataram sudah
memakai batik motif resmi keraton dengan aneka bentuk ragam hias yang indah
dengan nilai-nilai yang tinggi sarat dan makna simbolis. Umumnya orang
menganggap batik identik dengan masyarakat Jawa. Hal ini dibenarkan oleh
salah satu seorang putri Keraton Solo yang juga seorang penggiat seni budaya
Indonesia
Krisnina Akbar (dalam Hidayat, 2008:607) beliau mengatakan “it is a part if our
identity”.
Bahan pewarna masih berupa bahan-bahan alami, yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti pohon mengkudu, soga, nila dan pohon kunyit,
sedangkan bahan soda dibuat dari soda abu dan garam yang dibuat dari tanah
lumpur. Sampai saat ini batik masih berkembang baik di Indonesia khususnya di
daerah Pulau Jawa. Dari situlah terjadi pengaruh terhadap orang Jawa untuk
mulai mengenal batik dan dikembangkan dengan menggunakan bahan baku
yang ada di Indonesia sehingga terbentuklah batik yang memiliki ciri khas
bangsa Indonesia (Prayitno, 2009:2). Adapun mulai meluasnya kesenian batik
ini hampir di setiap wilayah Indonesia khususnya di Jawa, ialah setelah akhir
abad XVIII. Batik yang dihasilkan semuanya berupa batik tulis sampai awal
abad XX. Setelah itu muncul batik cap yang baru dikenal setelah Perang Dunia I
selesai atau sekitar tahun 1920 (Wulandari, 2011: 16).
Sejarah Batik Jetis Sidoarjo

Berdasarkan hasil wawancara batik tulis tradisional Sidoarjo yang berpusat


di Jetis telah ada sejak tahun 1675, setahun setelah Masjid Jami’ dibangun. Pada
saat itu, seseorang yang masih keturunan raja dikejar-kejar penjajah dan lari ke
Sidoarjo. Sayangnya sampai sekarang belum ada siapa sebenarnya dan dari
kerajaan mana pria yang menyamar sebagai pedagang, yang dikenal dengan
nama Mbah Mulyadi. Makamnya masih ada di masjid yang kini sedang dipugar.
Bersama pengawalnya, Mbah Mulyadi mengawali berdagang di “Pasar Kaget”
yang dikenal dengan nama pasar Jetis. Untuk mengembangkan seni batiknya,
Mbah Mulyadi memberikan pelatihan pengajian dan keterampilan membatik (lihat
lampiran 4, hal 191). Adapun bukti kuat dari hasil wawancara dengan bapak
Huda selaku ketua Paguyuban “Kampoeng” Jetis bahwa:
Sejarah Batik Jetis ada sejak tahun 1675, dimulai dari kedatangan
Mbah Mulyadi seorang raja Islam keturunan raja Kediri yang
dikejar oleh tentara belanda yang melarikan diri ke Sidoarjo.
Mbah Mulyadi mendirikan suatu komunitas menyamar sebagai
pedagang sebagai alat komunikasi antara manusia dengan manusia
maka dia membentuk suatu komunitas, yaitu semacam pasar
kaget dimana
disitu tempatnya orang berkumpul. Disitulah Mbah Mulyadi
mempengaruhi orang-orang untuk mengajar ngaji, mendirikan
masjid, mengajar keterampilan-keterampilan membatik karena batik
identik dengan warga yang memerintah di daerahnya. (transkrip
wawancara dengan bapak Huda tanggal 21 Maret 2012 lampiran
2, no 1, hal 157)
Sehingga penelusuran akan sejarah dari keberadaan Jetis kurang begitu
jelas. Karena dari beberapa wawancara dengan tokoh-tokoh batik, hanya bapak
Huda saja yang mengetahui dari para sumber-sumber lisan. Jadi, batik Jetis
sudah berdiri sejak tahun 1675.

Macam-Macam Motif dan Makna Batik Tulis Jetis di Sidoarjo

Ada tiga motif khas batik Jetis antara lain: beras wutah, kembang tebu,
dan kembang bayem.Beras wutah artinya beras yang tumpah, dimana sidoarjo
berlimpah ruah makanan pokok dan penghasil beras terbesar sehingga harus di
ekspor ke luar kota atau pulau. Motif kembang tebu sebagai penggambaran
Sidoarjo yang dulunya memiliki ratusan hektar perkebunan tebu sebagai bahan
baku sejumlah pabrik gula. Sedangkan kembang bayem sebagai ekspresi
banyaknya tumbuhan bayem di Sidoarjo terutama daerah Tulangan merupakan
penghasil sayur-mayur termasuk bayem.
Sebelum mengalami perkembangan, motif batik Sidoarjo termasuk motif
batik tradisional. Dimana batik tradisional adalah batik yang memiliki corak
dan gaya motif terikat oleh aturan-aturan tertentu dan dengan isen-isen yang
sudah ditentukan dan tidak mengalami perkembangan atau biasa dikatakan
sudah pakem.

Perkembangan Motif Batik Tulis Jetis di Sidoarjo Tahun 2008-2011

Seiring dengan perkembangan pada tahun 2008-2009 motif beras wutah,


kembang bayem dan kembang tebu tidak hanya dijadikan motif saja tapi lebih
banyak digunakan sebagai background atau dasar. Ketiga motif ini termasuk motif
geometris. Desain motif yang terdiri dari bidang, titik dan garis memenuhi unsur
keselarasan, yaitu berbentuk dari garis diagonal atau miring, menggambarkan sifat
dinamis dan memiliki irama atau rhytm yang merupakan pengulangan unsur
bentuk, garis, dan warna secara berulang. Motif ini berkembang setelah
paguyuban “Kampoeng” batik Jetis diresmikan, yaitu tahun 2008. Ide ini
dibentuk oleh para pengrajin, agar konsumen tidak mengalami kebosanan.
Adapun motif batik Jetis lainnya yang berkembang pada tahun 2008-
2009, antara lain: motif udang-bandeng, motif cipretan , motif mahkota, motif
keong, Untuk motif 2009-2010 diantaranya: motif sandang pangan, motif
cecekan, motif daun sirih, dan motif kangkung, motif pecah kopi, motif merico
bolong, motif daun-daunan, sedangkan motif yang berkembang pada tahun
2010-2011 kebanyakan motif yang bersifat kontemporer. Batik kontemporer,
yaitu batik yang dibuat seseorang secara spontan tanpa menggunakan pola,
tanpa ikatan atau bebas, sifatnya lebih condong ke seni lukis. Batik kontemporer
banyak dikembangkan oleh desainer baik untuk mencari terobosan-terobosan
baru dalam mengembangkan batik dan mode pakaian yang didesain. Motif batik
jetis kontemporer, antara lain: motif bola takraw, motif cocok, motif pecah
beling, motif sisik ikan, motif kotak-kotak, motif bunga dan daun, motif tikar,
motif parang khas Jetis, motif iris-iris jahe, motif kembang pacar, motif iris-iris
tempe, motif satwa laut, motif kolaborasi, motif capung, motif kupu-kupu, motif
naga, dan motif bambu runcing.

Nilai-Nilai dalam Batik Jetis Sidoarjo

Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terdapat dalam Batik Jetis Sidoarjo,
antara lain:
a. Nilai Seni. Batik Jetis yang sangat bervariasi, baik dari bahan, proses
pembuatannya, maupun motifnya yang sekarang berkembang dengan pesat
dan banyak diproduksi. Batik Jetis bisa digunakan sebagai pakaian adat,
pakaian resmi, pakaian seragam, pakain harian maupun lenan rumah tangga.
b. Nilai budaya. Hal ini dapat kita lihat dalam sehelai kain batik Jetis yang
dihiasi dengan perpaduan antara motif, ornament, warna, dan corak sehingga
akan dihasilkan sebuah karya seni yang juga memiliki nilai manfaat sebagai
penutup raga.
c. Nilai Historis. Sejarah batik Jetis juga berasal pada zaman Kerajaan Islam
dibawa oleh Mbah Mulyadi seorang raja Islam keturunan raja yang dikejar
oleh tentara Belanda yang melarikan diri ke Sidoarjo. Mbah Mulyadi
mendirikan suatu komunitas menyamar sebagai pedagang sebagai alat
komunikasi antara manusia dengan manusia maka dia membentuk suatu
komunitas, yaitu semacam pasar kaget dimana di sana tempatnya orang
berkumpul. Disitulah Mbah Mulyadi mempengaruhi orang-orang untuk
mengajar ngaji, mendirikan masjid, mengajar keterampilan-keterampilan
membatik karena batik identik dengan warga yang memerintah di daerahnya.
d. Nilai Ekonomis. Dimana pengrajin batik akan mendapatkan uang atau imbalan
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana
keberadaan batik di kampung tersebut memberikan lapangan pekerjaan bagi
para pengrajin. Untuk memenuhi permintaan pasar sebagai eksistensi batik
itu sendiri sehingga motif tidak ketinggalan zaman.
e. Nilai Pendidikan dan Filosofis. Upaya nilai pendidikan dan filosofis
khususnya pada batik Jetis dapat dilakukan dengan membawa batik ke
sekolah baik dalam bentuk pelajaran intrakulikuler ataupun ekstrakulikuler.
Dengan upaya tersebut generasi muda khususnya pelajar menjadi mengenal
batik secara lebih mendalam. Agar dapat mengetahui dan mempelajari
proses pembuatan batik, jenis-jenis motif, dan corak batik Jetis Sidoarjo,
berarti ikut dalam melestarikan budaya batik. Pengetahuan keanekaragaman
motif-motif batik Jetis sebelum adanya improvisasi telah membuktikan bahwa
budaya para leluhur sangat terampil. Pameran batik Jetis yang digelar perlu
lebih menekankan pada pengenalan nilai sejarah batik, tidak hanya
pengenalan sekilas tentang kain batik saja tanpa ada tidak lanjut yang lebih
mendalam. Jangan sampai aset budaya yang tak ternilai harganya hilang
bersama hilangnya kepedulian kita untuk nguri-uri budaya sendiri. Dengan
usaha- usaha tersebut boomingtrend batik tidak akan luntur seiring
bergantinya trend busana.
Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan motif
batik Jetis Sidoarjo, berkembang karna adanya improvisasi dan inovasi dari
setiap pengrajin dan permintaan pasar, sehingga motif tradisional batik Jetis
berkembang menjadi motif kontemporer.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut: 1) Bagi para pengrajin batik tulis, agar supaya
dapat mengembangkaan dan melestarikan bentuk dasar motif batik khas Jetis
dengan keaslian ciri khas dari ragam hias dan warnanya 2) Bagi Dinas
Pariwisata dan Paguyuban “Kampoeng” batik Jetis Sidoarjo hendaknya dapat
melengkapi sarana dan prasarana yang kurang lengkap dalam menunjang
kegiatan perbatikan dan memberikan pembinaan-pembinaan serta pelatihan pada
sentra-sentra batik yang telah ada serta memantau perkembangan kelestarian
kerajinan batik Jetis Sidoarjo dalam mempertahankan ciri ragam hiasnya. Tidak
lupa pula memperkenalkan batik Jetis Sidoarjo ke daerah lainnya supaya
keberadaannya dapat dikenal 3) Bagi sekolah, batik Jetis Sidoarjo dapat
disosialisasikan di sekolah-sekolah dengan belajar mengenal batik Jetis dan
sekaligus mencoba membuat batik 4) Bagi pemerintah kota Sidoarjo, tetap
mendukung pelestarian batik Jetis Sidoarjo. Agar terus eksis dan menjadi salah
satu icon Sidoarjo dengan serangkaian kegiatan pameran, pelatihan, agar
semakin bertambah wawasan dari para pengrajin-pengrajin batik Jetis 5) Bagi
para peneliti selanjutnya yang ingin membahas tentang batik Jetis Sidoarjo,
supaya meneliti secara pasti tentang sejarah batik Jetis dan perkembangan
industrinya. Karena kedua hal terebut belum ada pada penelitian ini.
Daftar Rujukan

Asikin, Saroni. 2008. Ungkapan Batik di Semarang. Semarang: Citra Prima


Nusantara

Gootschalk, L. 1973. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto.


Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang


Budaya
Kahumas. 2011. Batik Jetis Terus Menggeliat. Online, (http://batik
Jetis_artikel.html) di akses pada tanggal 16 November 2011.

Hidayat, Komaruddin, dkk. 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali


Masa Depan Bangsa. Jakarta: PT. Mizan Publikasi

Wulandari, Ari. 2011. Batik Nusantara. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Prayitno, Teguh. 2009. Mengenal Produk Nasional Batik dan Tenun. Semarang:
PT. Sinduar Press

Wawancara bapak Nurul Huda 21 Maret 2012

Anda mungkin juga menyukai