Hum
TAHUN 2018
TRADISI KELISANAN DAN KEAKSARAAN AL-
QURAN DI TANAH BANJAR
Copyright© 2018
xii + 151, ukuran 15,5 x 23 cm
Penyusun :
Wardatun Nadhiroh, S.Th.I., M.Hum
Layout:
Darisman
Desain Cover :
Ityan Jauhar
Diterbitkan Oleh:
Antasari Press
Jl. A.Yani KM.4,5 Banjarmasin
Kalimantan Selatan
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN
PUBLIKASI ILMIAH
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (LP2M)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
iii
sistem baru ini. Memang, sebagai sistem baru, sejumlah
kendala masih ditemukan, seperti proses review, NIDN,
dan sebagainya. Namun, kendala-kendala itu bisa
diatasi dengan kerja sama dan kordinasi, baik pihak
LP2M dengan subdit, maupun juga dengan peneliti.
Oleh karena itu, kami menyampaikan dan
mengapresiasi atas kerja samanya ini sehingga proses
penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.
v
Sebagian besar dari penelitian ini telah memenuhi
harapan misi UIN Antasari sebagai pusat integrasi ilmu
yang berbasis lokal dan berwawasan global. Akan
datang, seiring dengan disusunnya Rencana Induk
Penelitian (RIP) di Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah
LP2M UIN Antasari, diharapkan agar visi integrasi ilmu,
lokalitas, dan globalitas ini tetap dan diharapkan lebih
maksimal disahuti oleh para peneliti. Isu integrasi ilmu
pada tahun ini hanya diangkat oleh sedikit dari
penelitian ini, sedangkan sebagian besar membidik isu-
isu lokal yang didominasi oleh isu-isu kependidikan.
Idealnya, secara teoretik, isu-isu lokal yang diangkat itu
bisa dikoneksikan dengan isu global oleh para peneliti,
sehingga isu-isu lokal tidak hanya menjadi konsumsi
orang-orang lokal, melainkan juga oleh para ilmuwan
secara global. Oleh karena itu, LP2M tetap akan
berupaya memfasilitasi keinginan ini, tidak hanya
melalui pendanaan, melainkan juga pembekalan
metodologi untuk memperkaya perspektif. Di antara
masukan reviewer terkait proposal yang diajukan
adalah masih minimnya pengetahuan tentang teori-
teori, baik dari antropologi, sosiologi, maupun sejarah,
serta minimnya pengetahuan tentang riset-riset
monomental dan mutakhir di bidangnya.
vi
Sekali lagi, kami menyampaikan apresiasi yang
sebesar-besarnya kepada para peneliti yang telah
merampungkan tugasnya ini dengan baik. Kami
menaruh harapan sebagai berikut. Pertama, tetaplah
memberikan perhatian terhadap penelitian yang
merupakan salah aspek pelaksanaan Tridharma
perguruan tinggi ini dengan mengajukan proposal dan
melakukan penelitian untuk menyahuti kepentingan
penguasaan bidang ilmu yang diajarkan, karena dosen
yang ideal adalah dosen yang meneliti, sehingga ilmu-
ilmu yang diajarkannya sebagian berbasis dari hasil
penelitiannya. Kedua, dengan rampungnya penelitian
ini, diharapkan agar hasil penelitian ini dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat sebagai
penggunanya, baik masyarakat perguruan tinggi
maupun masyarakat umumnya, dengan melakukan
diseminasi atau diskusi hasil riset, baik di kalangan
terbatas di lingkungan kampus maupun secara luas, dan
mempublikasikannya sehingga bisa dibaca secara luas,
baik dalam bentuk cetak maupun online. Begitu juga,
hasil riset ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk
pendampingan lebih lanjut dan untuk perumusan
kebijakan pemerintah.
vii
Akhirnya, semoga harapan tentang penelitian yang
berkualitas dan hasilnya yang bermanfaat secara
maksimal bagi masyarakat ini bisa terwujud secara
nyata menuju UIN Antasari yang semakin maju. Âmîn yâ
rabb al-‘âlamîn.
Wardani
viii
KATA PENGANTAR PENELITI
Peneliti,
x
DAFTAR ISI
xi
BAB IV DINAMIKA KELISANAN DAN
KEAKSARAAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI
DISKURSIF MASYARAKAT BANJAR........................... 123
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………............ 143
B. Saran ………………………………………............... 145
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
menemukan karya khusus dalam kajian al-Qur‘an
kecuali Qur‘an dalam ukuran plano, 45 cm x 63 cm
dengan tiap awal surat diberi iluminasi yang bagus
dan rapi, bertinta emas yang sudah mulai memudar,
ditemukan di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan
Selatan.1 Dalam tulisan Fathullah Munadi
disebutkan bahwa Qur‘an itu adalah Mushaf Al-
Banjari tulisan tangan Syekh Muhammad Arsyad
dengan qira‘at di sisi-sisinya.2
1
Mu’jizah, Mencari Jejak Menelusuri Sejarah: Dari Riau Ke Ternate
(Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2014).
2
Fathullah Munadi, “MUSHAF QIRAAT SYEKH MUHAMMAD
ARSYAD AL-BANJARI DALAM SEJARAH QIRAAT NUSANTARA,”
Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 9, no. 1 (2010).
3
Fathullah Munadi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam
Konteks Kajian al-Quran di Nusantara (Banjarmasin: Antasari Press,
2011), 72.
2
30 Juz, maka diadakan acara batamat Qur’an dengan
rentetan prosesnya. Tradisi batamat Qur’an ini juga
dilakukan oleh calon penganten Banjar yang akan
menikah.4
4
M. Suriansyah Ideham et al., Urang Banjar dan Kebudayaannya
(Penerbit Ombak, 2015), 72–73.
5
Alfianoor, “Ayat al-Qur’an dalam Mantra Banjar,” NALAR: Jurnal
Peradaban dan Pemikiran Islam 1, no. 1 (2017): 27–47.
3
sampai pada bacaan kata mubin dalam beberapa ayat
Surah Yasin, lalu digunakan untuk gelang bayi
sebagai penangkal agar tidak sering menangis.6
Bahkan dewasa ini seiring perubahan sosial,
maraknya pendirian rumah-rumah tahfidz al-Qur‘an
di Tanah Banjar menunjukkan bahwa al-Qur‘an
selalu hidup dalam keseharian masyarakat Banjar.
6
Alfani Daud, Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar (Pidato
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Madya llmu Sosiologi Agama pada
Fakultas Ushuluddin lAlN Antasari Banjarmasin, 2000), 10.
7
Ideham et al., Urang Banjar dan Kebudayaannya, 49–50.
4
Ketidakpunyaan aksara membuat masyarakat Banjar
―meminjam‖ atau ―memakai‖ aksara Melayu-Arab
dalam tradisi keberaksaraannya sebagaimana terlihat
dalam bahasa penulisan kitab-kitabnya. Yusliani dalam
bukunya menyatakan bahwa penggunaan huruf Arab
Melayu menjadi pengikat identitas orang Banjar,
sekaligus pengikat berbagai komunitas etnis untuk
menerima agama Islam.8 Berkat Bahasa Banjar dengan
tulisan Arab Melayu ini menempatkan Islam sebagai
agama ilmu pengetahuan. Kitab Melayu-Banjar dengan
huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad
Syamsuddin al-Banjari di abad ke-17 menjadi bukti
resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan
tulisan ilmu pengetahuan.9 Walaupun demikian, kitab
Melayu-Banjar yang secara khusus membahas terjemah
atau tafsir al-Qur‘an sejauh ini tidak ada ditemukan.
8
Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19
(Penerbit Ombak, 2016), 409.
9
Ibid.
5
Kelisanan dan Keaksaraan.10 Namun, hubungan antara
budaya lisan tersebut dan budaya tulisan sebenarnya
adalah hubungan yang relasioner bukanlah
reduksioner, karena pada akhirnya Ong lebih
melihat proses perubahan sejarah manusia
(perubahan kesadaran, berpikir, kepribadian, dan
struktur sosial) yang terjadi dalam pertemuan ini. Di
sisi lain, Walter J. Ong tidak mengelak bagaimana
kelisanan dan keaksaraan sebagai dua kekuatan
kebudayaan silih berganti memperlihatkan hasrat
mendominasi.11 Dalam teori ini akan dilihat
bagaimana dua kekuatan ini mempengaruhi
interaksi budaya masyarakat Banjar dengan al-
Qur‘an secara khusus.
10
Walter J. Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, trans. Bisri Effendi
(Yogyakarta: Gading Publishing, 2013). Xiii.
11
Ibid.
6
pekerjaan yang solipsistis, berkutat dengan diri sendiri.12
B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan fokus yang tegas terhadap
permasalahan penelitian yang diangkat, maka dalam
penelitian ini dirumuskan pokok-pokok permasalahan
sebagai berikut:
12
Ibid., 151.
7
3. Bagaimana dinamika dua tradisi tersebut dalam
bingkai tradisi diskursif al-Qur‘an di Tanah
Banjar?
C. Tujuan Penelitian
Pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah
tersebut merefleksikan tujuan-tujuan kajian ini, yaitu:
D. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran awal terkait tradisi
kelisanan dan keaksaraan al-Qur‘an di Tanah Banjar,
guna menentukan posisi kajian ini diantara lainnya,
peneliti telah memetakan kajian terdahulu menjadi 2
(dua) bagian, yaitu: pertama, pembahasan tentang kajian
al-Qur‘an di Tanah Banjar secara umum yang telah
dilakukan oleh orang Banjar sendiri ataupun selainnya,
meliputi kajian teks ataupun tradisi lisan; dan kedua,
8
kajian tentang penerapan teori kelisanan dan keaksaraan
dalam beragam bentuknya.
9
Qur‘an yang biasa dibaca oleh masyarakat Banjar,
misalnya mantra guna-guna pengikat lawan jenis iyya
kana’budu iyya kanasta’in, hatinya budu, matanya kada
kalaian (hatinya bodoh matanya tidak kemana-mana).
Iyya kana’budu iyya kanasta’in sendiri merupakan
potongan QS. al-Fatihah: 5. Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan analisis sastra lisan untuk menemukan
gambaran kebudayaan yang melatarbelakanginya. Data
dari tulisan ini akan digunakan peneliti untuk
melengkapi informasi tentang tradisi kelisanan al-
Qur‘an masyarakat Banjar.
15
Wardatun Nadhiroh, “KITAB SANJATA MU’MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan
Budaya 11, no. 1 (2018): 119–143.
10
sering dibaca. Tulisan ini merupakan kajian dari
fenomena living Qur‘an yang ada di Banjar.
16
Munadi, “MUSHAF QIRAAT SYEKH MUHAMMAD ARSYAD
AL-BANJARI DALAM SEJARAH QIRAAT NUSANTARA”; Munadi,
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam konteks kajian al-Quran di
Nusantara.
11
Mushaf Syekh Arsyad. Karya ini dapat menjadi pijakan
awal tentang tradisi keaksaraan al-Qur‘an di Tanah
Banjar, walaupun belum memberikan gambaran penuh
karena terfokus hanya pada satu tokoh, yaitu Syekh
Arsyad. Sementara fokus kajian peneliti adalah berusaha
mendapatkan gambaran secara holistik tentang
perkembangan kajian al-Qur‘an di Tanah Banjar dalam
tradisi lisan maupun tulisan.
17
Noor, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19.
12
menguji kehebatan Islam, menjadi rajah, mantra, bahkan
alat adu kesaktian.18 Kajian ini merupakan pondasi awal
peneliti untuk mengatakan bahwa tradisi keaksaraan
masyarakat Banjar adalah tradisi Arab Melayu. Namun
data ini tidak cukup untuk menemukan alasan
ketiadaan kitab atau karya-karya tentang al-Qur‘an di
Tanah Banjar padahal media tulisnya sudah tersedia,
walaupun merupakan ‗pinjaman‘.
18
Ibid., 405–416.
19
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case
Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community
(Temple University, 2014).
13
untuk memahami logika berinteraksi masyarakat Banjar
dengan al-Qur‘an, namun karena disertasi ini
diterbitkan pada tahun 2014 tentunya data penelitiannya
hanya sampai pada masa tersebut. Padahal mengingat
perubahan zaman yang sangat massive dipengaruhi
oleh perkembangan media dan pesatnya beragam
paham keagamaan yang masuk, hal ini sedikit banyak
akan sangat mempengaruhi data yang ditemukan. Oleh
karena itu, selain menelaah tentang bentuk interaksi
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an, penelitian ini juga
bermaksud menganalisis kontestasi yang terjadi antara
dua tradisi, yakni lisan dan tulisan dalam
mengakomodasi persentuhan masyarakat Banjar dengan
al-Qur‘an.
14
Islam.20 Penulis mengkaji tradisi kelisanan dan
kesusasteraan Arab Pra-Islam berdasarkan elemen-
elemen konseptual Ruth Finnegan tentang tradisi lisan
dan seni verbal, meliputi performansi, komposisi, dan
transmisi. Pada akhirnya tulisan ini menjustifikasi
bahwa tradisi sastra lisan Arab Pra-Islam lebih dominan
ketimbang sastra tulisnya.
15
upaya melestarikan dan mempertahankan eksistensi
ajaran moral yang tertuang dalam cerita pantun ke
wawacan sejalan dengan konteks Sunda saat itu.
E. Kontribusi
Temuan penelitian ini diharapkan memberikan
gambaran yang jelas dan holistik tentang kajian al-
Qur‘an di Tanah Banjar meliputi bentuk persentuhan
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an dalam tradisi lisan
16
dan tulisnya yang selama ini sangat minim data. Bagi
para pengkaji dan peminat Studi al-Qur‘an, hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan
baru dan mewarnai khazanah kajian al-Qur‘an di
Nusantara.
F. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis
penelitian campuran (mixed research) karena mengkaji
realitas interaksi masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an
sekaligus menelaah karya tulis orang Banjar yang
tersebar di masyarakat yang merekam jejak kajian al-
Qur‘an. Adapun sifat penelitian adalah kualitatif dengan
metode penulisan deskriptif analitis, mengingat fokus
penelitian adalah memperoleh gambaran yang jelas dan
bersifat holistic tentang model kajian al-Qur‘an di Tanah
Banjar dengan menampilkan data-data berupa kata-kata
tulis dan lisan dari masyarakat Banjar Kalimantan
Selatan setelah dilakukan analisis dan interpretasi data.
17
primer ini diperoleh dengan observasi dan wawancara
mendalam guna mengumpulkan informasi ataupun dari
karya-karya tulis para tokoh sebelumnya yang terlacak
memuat kajian al-Qur‘an di dalamnya, baik di bidang
Tasawuf, Fiqh, Manaqib, atau bidang lainnya. Adapun
data lain yang membahas tentang kajian al-Qur‘an
Nusantara ataupun penerapan teori kelisanan dan
keaksaraan atau informasi lainnya yang terkait akan
menjadi data sekunder.
18
diperjualbelikan ataupun disimpan oleh orang
atau lembaga tertentu, masih di dalam wilayah
Kalimantan Selatan ataupun selainnya
2. Memilah dan memisahkan data dan informasi di
dalamnya, antara karya yang menyimpan
informasi keberadaan tradisi lisan dan yang
membahas tradisi tulisnya.
3. Mendeskripsikan data dan informasi tersebut.
4. Melakukan wawancara kepada tokoh penting
untuk kroscek data tersebut sekaligus penguat
argumentasi.
5. Melakukan analisis dengan pendekatan
hermeneutika fenomenologis berlandaskan teori
kelisanan dan keaksaraan Walter J. Ong.
6. Menyusun laporan.
G. Sistematika Penulisan
Agar data yang ditemukan tersusun secara siste-
matis dalam penyajiannya, maka penulis merancang
sistematika pembahasan sebagai berikut:
19
penelitian; rumusan masalah, yang berisi butir-butir
pertanyaan yang secara eksplisit menjelaskan problem
akademis yang diteliti; tujuan penelitian, yakni
pernyataan tegas terkait fokus dan temuan penelitian
yang diharapkan; tinjauan pustaka, yang berisi uraian
akan kajian dan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, sekaligus mempertegas posisi penulis
dalam bidang penelitian ini; kontribusi, yaitu harapan
capaian baik bagi kepentingan intern penulis maupun
dunia akademik pada umumnya; metode penelitian,
yang menjelaskan jenis penelitian dan sifat penelitian,
pendekatan, sumber data, serta metode pengumpulan
data dan analisa yang digunakan dalam penelitian; dan
sistematika pembahasan, berupa gambaran isi penelitian
secara terorganisir.
20
Bab III merangkum beragam bentuk persentuhan
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an dalam tradisi lisan
dan tulisan di lapangan. Dalam bab ini nantinya
dilakukan pemetaan kajian beserta penjelasan dari
masing-masing ragam persentuhan tersebut.
21
22
BAB II
GAMBARAN UMUM TEORI KELISANAN DAN
KEAKSARAAN
22
Sastri Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An) (Jakarta: KPG, 2013), 1.
23
Ibid.
23
―lisan‖ memiliki makna ―kata-kata yang diucapkan;
berkenaan dengan kata-kata yang diucapkan; sesuatu
yang disampaikan dengan mulut (bukan dengan
surat).24 Hingga sekarang, belum ada kesadaran bahwa
sejak puluhan tahun yang lalu, kata ―lisan‖ telah
menjadi istilah dengan konotasi ―tidak beraksara‖.
Sunatri menyebutkan bahwa sebagian besar
perkampungan di pedalaman Mentawai seperti di
Maddobag, Bulukubug, dan Mongga di awal tahun 90-
an disebut sebagai masyarakat lisan karena sulitnya
akses pendidikan di sana.25
24
Pusat Bahasa (Indonesia), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 937.
25
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 2.
26
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 14–15.
24
system tulisan.27 Penggunaan konsep ini dinilai sebagai
sebuah terobosan yang besar karena selama ini kelisanan
selalu dinilai dari system nilai keaksaraan. Sebelumnya,
orang yang melek huruf atau beraksara menganggap
orang yang tidak beraksara sebagai buta huruf. Kondisi
yang dianggap sebagai suatu kekurangan, ketiadaan,
dan kelemahan.28 Anggapan ini pula yang diyakini oleh
masyarakat beraksara umumnya. Namun berdasarkan
teori Havelock, masyarakat lisan memiliki sistemnya
sendiri hingga muncullah konsep ―kelisanan dan
keaksaraan‖; orality and literacy.
27
Eric Alfred Havelock, Preface to Plato (Blackwell, 1963).
28
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 4.
29
Baca: Walter J. Ong, The Presence of the Word: Some Prolegomena
for Cultural and Religious History (Yale University Press, 1967); Walter J.
Ong, Rhetoric, Romance, and Technology: Studies in the Interaction of
Expression and Culture (Cornell University Press, 2012); Walter J. Ong,
Interfaces of the Word: Studies in the Evolution of Consciousness and
Culture (Cornell University Press, 2012).
25
atas terangkum dalam bukunya Orality and Literacy
(1982).30
30
Walter J. Ong, Orality and Literacy (Routledge, 2013); Ong,
“Kelisanan Dan Keberaksaraan (Terj. Bisri Effendi).”
31
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 4–5.
32
Ong, Orality and Literacy, 7; Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan,
9.
26
konteks dan lawan makna kata itu.33 Konsep ―oral‖ pada
dasarnya bukan menyangkut beraksara atau tidaknya
penutur suatu bahasa, namun jangkauan oral tersebut
sangat luas, mencakup segala sesuatu yang muncul dari
kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut sampai
kepada bahan ceramah dan kuliah yang dijelaskan
secara lisan. Jadi, orality adalah satu system wacana yang
tidak tersentuh huruf.34
33
Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay
World (University of California Press, 1987), 9–10.
34
Amin Sweeney, “Surat Naskah Angka Bersuara; Ke Arab Mencari
Kelisanan,” in Metodologi Kajian Tradisi Lisan, ed. Pudentia MPSS
(Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998), 83–102.
27
lisan tertentu yang disuarakan (bunyi) dengan
bermakna.35
35
Maria Matildis Banda, “TRADISI LISAN DAN KELISANAN
SEKUNDER DI ERA GLOBAL” (n.d.): 10.
36
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 15.
28
awalnya didasarkan pada ujaran lisan namun tulisan
menguncinya dalam sebuah visual selamanya.37
37
Ibid., 15–16.
38
Ibid., 19.
29
namun tidak dalam konteks tatap muka (televisi). Dialog
interaktif secara lisan dengan media radio maupun
televisi hadir sebagai bagian dari perubahan.39
30
(1859-1940)‖, Sunatri menyebutkan bahwa pencapaian
terbesar Ong adalah pembentukan ilmu noetika,
walaupun Ong tetap menyebutnya dengan Orality and
Literacy dalam judulnya.41 Untuk mendefinisikannya,
Sunatri mengutip teori Sweeney (1991: 100) bahwa
noetika adalah kajian terhadap sistem wacana yang
berwujud dalam suatu masyarakat, baik lisan ataupun
beraksara; juga lisan ataupun tertulis, untuk
membentuk, menyampaikan, menyimpan, melestarikan,
serta meraih kembali segala macam ilmu pengetahuan
yang tersimpan itu. Rangkumannya amat luas, meliputi
komposisi lisan, baik yang berbentuk istimewa maupun
bersahaja, yang melewati jajaran budaya manuskrip,
cetak, dan elektronik.42
41
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 22.
42
Ibid., 22–23.
31
Kehadiran tulisan membuat beban atas daya ingat
relatif berkurang, dibandingkan situasi dalam budaya
lisan primer, karena ilmu yang dilestarikan dapat
direkam melalui tulisan. Namun peralihan media ini
tidak melalui tahap hitam putih, karena orang
keberaksaraan masih berbicara walaupun dengan cara
dan pola pikir yang baru. Istilah oral residue (sisa-sisa
lisan) dalam tulisan memberikan kesan bahwa unsur-
unsur lisan masih ditemukan dalam gaya lisan system
beraksara, orang mengandalkan prinsip komposisi lisan
dan hasilnya dituliskan. Hal ini dalam teori Sweeney
disebut sebagai ―orientasi lisan‖.43
43
Sweeney, A Full Hearing, 270–273.
32
aspek tumpang tindih yang hanya dibedakan oleh
perspektif melihatnya.
44
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 47.
45
Havelock, Preface to Plato, 87-96, 131-132, 294–296.
33
mungkin dilakukan, karena pikiran semacam itu begitu
selesai diupayakan tidak akan bisa dimunculkan
kembali secara efektif dan hanya akan menjadi sekedar
lintasan pikiran.46
34
Tulisan membentuk apa yang disebut dengan bahasa
―bebas konteks‖ atau ―wacana mandiri‖, wacana yang
tidak bisa langsung dipertanyakan atau diperdebatkan
sebagaimana ujaran lisan karena wacana tertulis telah
terlepas dari penulisnya. Seorang pengarang dapat
didebat jika dia dapat dijangkau, tetapi pengarang buku
mana pun tidak dapat dijangkau sehingga tidak ada cara
untuk menolak suatu teks secara langsung. Sebuah teks
yang menyatakan suatu kekeliruan namun telah beradar
beredar selamanya akan menyatakan kekeliruan
tersebut. Oleh karena itu, Ong menyatakan bahwa teks
secara inheren bersifat bandel.50
50
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 117–118.
51
Ibid., 179.
35
Dalam budaya naskah dengan sifat oral-aural yang
kuat seperti itu, para pembaca menyuarakan teks yang
ditulis tangan yang diletakkan di hadapan mereka.
Sering juga pembacaan naskah merupakan kegiatan
bersama dan kadang kala diadakan dalam acara adat
istiadat ataupun ritual.52 Penyuaraan ini, membaca
lambat dengan suara keras, bahkan ketika sedang
sendirian merupakan upaya melekatkan materi bacaan
dalam ingatan.
52
Mikihiro Moriyama, “Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi
Tulisan Tangan Dan Cetakan Dalam Bahasan Sunda Pada Paruh Kedua
Abad Ke-19,”,” Konferensi Kesusastraan XV, Fakultas Sastra Universitas
Sam Ratulangi Manado (2004): 4.
53
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 182–183.
36
Terlepas dari perbedaan dua hal di atas, penelitian
ini tidak mengembangkan kebiasaan berpikir dikotomis
antara keberaksaraan dan kelisanan sebagaimana yang
digagas oleh Irene Kancades dalam bukunya Talk Fiction:
Literature and the Talk Explosion.54 Fokus penelitian ini
bermaksud mendeskripsikan beragam tradisi kelisanan
dan keaksaraan al-Qur‘an yang hidup dalam masyarakat
Banjar yang pada perkembangannya saling tumpang
tindih antara satu dan lainnya.
54
Irene Kacandes, Talk Fiction: Literature and the Talk Explosion (U
of Nebraska Press, 2001).
Banda, “TRADISI LISAN DAN KELISANAN SEKUNDER DI
55
ERA GLOBAL,” 4.
37
bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup
bermakna sebelum keberaksaraan dituliskan.56 Dalam
konteks ruang, tradisi lisan dan tulisan tidak lagi hanya
sekedar tradisi yang berbeda satu sama lainnya,
keduanya merupakan penanda adanya sebuah
diskursus yang berlangsung dalam suatu masyarakat
atau komunitas tertentu.
56
Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika Dalam Kata Dan Sketza
(Yogyakarta: Kanisius, 2006).
57
Ovamir Anjum, “Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and
His Interlocutors” 27, no. 3 (2007): 656–672.
38
Untuk melihat persoalan ini lebih jernih, apa yang
disebut oleh Redfield dengan tradisi besar dan tradisi
kecil dalam agama dapat diambil. Tradisi besar merujuk
pada bentuk ortodoksi dari ekspresi beragama, biasanya
didasarkan pada tradisi tekstual dan universal.
Sedangkan tradisi kecil adalah bentuk dari heterodoks
dari budaya pinggiran agama yang dianggap sebagai
budaya yang masuk berbagai elemen dalam praktik
tradisi besar.58
58
Ibid.
59
Ibid.
39
Islam karena masing-masing memiliki cara memahami
yang berbeda-beda, dan semuanya berinteraksi
membentuk pemahaman tentang Islam itu sendiri.
Menurut Talal, dalam memahami Islam, kita tidak
mungkin melepaskan konteks sosial yang meliputinya.60
60
TALAL ASAD, “The Idea of an Anthropology of Islam,” Qui Parle
17, no. 2 (2009): 1–30.
40
dukungan dari kekuasaan.61 Islam tidak lagi dipandang
sebagai ajaran murni yang turun dari langit, namun
Islam dipahami sebagai komunitas yang di dalamnya
ada struktur sosial, sudut pandang pemeluknya, dan
kecenderungan politik, yang mana semuanya
berinteraksi membentuk Islam itu sendiri.62
61
Anjum, “Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and His
Interlocutors.”
62
ASAD, “The Idea of an Anthropology of Islam.”
41
Segregasi pemahaman akan apa itu tradisi, yang
dipahami antara Islam tradisional yang lebih condong
pada lokalitas dengan Islam modern, yang sekarang
diasumsikan sebagai bagian Islam transnasional adalah
hal yang tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian yang
saling menihilkan. Talal Asad memandang tradisi berisi
esensi akan diskursus yang dikaitkan pada pemeluk
agama untuk memahami bahwa bentuk dan tujuan dari
apa yang mapan dari apa dijalankan dalam beragama,
memiliki sejarah.63 Diskursus agama yang dimaksudnya
selalu merupakan relasi tiga hal, yaitu masa lalu (kapan
praktek beragama itu dilembagakan dan bagaimana
pengetahuan tersebut ditransmisikan kepada generasi
setelahnya), masa depan (bagaimana praktek tersebut
bisa bertahan lama, atau bagaimana praktek tersebut
dimodifikasi atau dihilangkan), dan terakhir adalah
masa sekarang (bagaimana praktek beragama tersebut
dihubungkan dengan praktek yang lain, institusi
keagamaan, dan kondisi sosial).
63
Ibid.
42
konsepsi dari Islam masa lalu dan masa akan datang,
merujuk dari praktek keberislaman sekarang ini. Dia
melihat keberagamaan masyarakat Muslim sejatinya
tidak dipahami sebagai proses imitasi murni terhadap
masa lalu, sebagaimana dipahami oleh kalangan
ortodoks, melainkan dari apa yang dilakukan sekarang
yang dikonstruksi dari pemahaman dari masa lalu, masa
depan, dan diaplikasikan di masa sekarang.
64
Ibid.
65
Talal Asad, “Anthropological Conceptions of Religion: Reflections
on Geertz,” Man 18, no. 2 (1983): 237–259.
44
Dalam tradisi diskursifnya Talal Asad, ada lima
perspektif penting yang perlu dipahami. Pertama,
kepercayaan atau teks keagamaan. Kedua, Cultural
Brokers, dalam hal ini adalah agen atau penghubung
yang berperan dalam sebuah komunitas yang menjamin
sebuah tradisi berjalan efektif. Ketiga, sistem kognitif.
Keempat, struktur sosial. Dan terakhir adalah rakyat
biasa.66
66
Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice: Considerations in
the Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of Religion 4, no. 2
(1999): 10–20.
45
46
BAB III
PERSENTUHAN MASYARAKAT BANJAR DENGAN
AL-QUR’AN DALAM TRADISI LISAN DAN
TULISAN
67
Leo Suryadinata, Avi Nurvidya Arifin, and 2003 Ananta,
Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political
Landscape (Singapore: ISEAS, 2003); Mujiburrahman Mujiburrahman,
“HISTORICAL DYNAMICS OF INTER-RELIGIOUS RELATIONS IN
SOUTH KALIMANTAN,” JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM 11, no. 1
(July 9, 2017): 145–174.
68
Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 40.
47
Secara etnis, Banjar dianggap sebagai bagian dari
Melayu juga sekaligus bagian dari Dayak. Namun,
dalam perjumpaannya dengan Dayak, jika ada
masyarakat Dayak yang berpindah agama menjadi
Islam, maka dengan itulah dia akan berubah identitas
menjadi Banjar.69 Identitas inilah yang kemudian
membuat Banjar menjadi etnis yang menarik karena
bersentuhan dengan tradisi Dayak dan Hindu di satu
sisi dan Islam di sisi yang lain.
69
Ahmad Gaus A. F, Sang pelintas batas: biografi Djohan Effendi
(Penerbit Buku Kompas, 2009). xi-xxii.
48
Dalam tradisi masyarakat Banjar, anak-anak yang
berumur sekitar 6 atau 7 tahun sudah mulai belajar
membaca huruf-huruf al-Qur‘an (mangaji). Penyerahan
anak kepada seorang guru untuk diajar mengaji tidak
memerlukan formalitas tertentu, melainkan cukup
disampaikan maksud tersebut dan menyuruh anak
bersangkutan pergi mengaji. Anak-anak diajar satu per
satu dan anak-anak yang sudah lanjut mengajinya
diminta membantu temannya yang baru mulai mengaji.
Umumnya guru-guru mengaji di Banjar menggunakan
kitab Qa’idah Baghdadiyah (disebut juga alif-alifan),
dikenal sebagai Muqaddam (pendahuluan) al-Qur‘an,
sebagai buku pegangan guru dan murid sebelum
melangkah langsung ke kitab al-Qur‘an. Selain mengajar
mengaji, guru juga mengajarkan pokok-pokok ajaran
Islam, termasuk aspek kepercayaan (rukun iman), cara-
cara shalat dan puasa, dan beberapa doa yang perlu
dengan berpedoman pada kitab Parukunan.70
Pengajaran al-Qur‘an terus berlanjut hingga ke pondok
pesantren dan instansi pendidikan lainnya.
70
Daud, Islam dan masyarakat Banjar, 143–144; Munadi, Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks Kajian al-Quran di
Nusantara, 72–73.
49
Kajian al-Qur‘an di Tanah Banjar hadir secara
kontinu dalam bentuk pengutipan ayat-ayat al-Qur‘an
disertai dengan terjemahannya, dapat dilacak dalam
karya-karya ulama lokal awal semisal dalam Kitab Sabil
al-Muhtadin karya Syekh Arsyad al-Banjari dan Kitab al-
Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis. Jika dalam
karya-karya awal tersebut, terjemahan ayat
menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi (huruf
Arab Melayu), maka di karya-karya ulama Banjar
berikutnya sedikit banyak terjadi pergeseran
penggunaan bahasa dan aksara di dalamnya
dikarenakan menyesuaikan kepada pembacanya.
Bahkan masyarakat Banjar pernah memiliki mushaf al-
Qur‘an sendiri, yakni tulisan tangan Syekh Arsyad yang
di setiap sudutnya disisipi dengan qira‘at menunjukkan
penguasaan Syekh Arsyad terhadap Ulum al-Qur‘an,
khususnya Qira‘at. Mushaf ini terdiri atas tiga jilid yang
masing-masing memuat 10 juz. Per halaman mushaf ini
berukuran cukup besar, yaitu lebar 57 cm dan panjang
63 cm. Jilid pertama mushaf ini disimpan dalam koleksi
Museum Daerah Kalimantan Selatan di Banjarbaru,
sementara jilid kedua dan ketiga disimpan oleh
keturunan Syekh Arsyad di Dalam Pagar. Menurut Abu
Daudi, yang dikutip oleh Munadi, Syekh Arsyad
50
menulis mushaf ini pada tahun 1193 H/ 1779 M, dan
tidak diketahui waktu selesainya.71 Mushaf ini ditulis
dengan huruf Naskhi dan sesuai kaidah rasm Utsmani
berdasarkan riwayat Hafsh dari Imam Ashim dan
dilengkapi catatan qira‘at lain di tepinya
71
Munadi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks
Kajian al-Quran di Nusantara, 129.
72
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Kanisius, 1995),
175–176.
51
kehidupan sehari-hari. Seperti Yasinan, yaitu membaca
Surah Yasin secara komunal dalam malam atau waktu
tertentu di tempat yang sudah ditentukan. Yasinan ini
lebih menonjolkan fungsi sosialnya ketimbang sisi
ritualnya sebab yasinan menjadi ajang silaturrahmi dan
bercengkrama sesama tetangga, yang selama ini
disibukkan dengan kehidupannya masing-masing.
Acara ini biasanya diadakan satu kali setiap minggu, di
dalam komunitas tertentu, seperti wilayah RT atau
komplek perumahan.
52
masyarakat Kalimantan Selatan. Akan tetapi, pengajaran
tilawah dan qiraat dalam masyarakat Banjar belum
banyak berubah dari metode tradisional. Tidak banyak
masjid atau langgar sebagai pusat pembelajaran umat
Islam yang menyediakan fasilitas pembelajaran tilawah,
terutama bagi anak-anak.
53
daerah yang khusus mengatur persoalan membaca al-
Qur‘an, yaitu Banjarmasin, Hulu Sungai Utara, dan
Hulu Sungai Selatan. Bahkan di kota Banjarmasin,
seorang hafizh al-Qur‘an yang terpilih melalui seleksi
akan mendapatkan uang pembinaan dengan jumlah
yang cukup besar.74
74
Muhammad Arabi, “Penghargaan Pemerintah Kota Banjarmasin
terhadap Para Hafizh/Hafizhah Tahun 2018,” November 13, 2018.
54
menghafal al-Qur‘an memanfaatkan aplikasi berkirim
pesan.
55
al-Qur‘an dalam kehidupan sehari-hari; kedua, tradisi
lisan berkaitan dengan pembelajaran al-Qur‘an dalam
lembaga; ketiga, tradisi lisan al-Qur‘an berkaitan aspek
keindahan; dan terakhir tradisi lisan al-Qur‘an dalam
bentuk gerakan membaca.
56
menemani keseharian urang Banjar. Masyarakat ini
merasakan perlunya mangaji secara rutin, bahkan
walaupun mereka tidak memahami makna ataupun
tafsir ayatnya dan memang mereka nampaknya
tidak terlalu tertarik untuk memahami maksud dan
kandungan ayat tersebut. Dalam proses mangaji, ayat
al-Qur‘an sekedar dilafalkan saja dengan melihat
susunan huruf-huruf hijaiyah dan struktur
bahasanya, baik dengan pelan ataupun dengan suara
nyaring dan itulah, menurut mereka, salah satu
wujud nyata kedekatan mereka dengan Tuhan.
Selain itu, masyarakat Banjar juga memiliki
bacaan rutin berupa ayat-ayat tertentu semisal Surah
Yasin, ataupun ditambah dengan al-Waqiah dan al-
Mulk. Sebagai bacaan rutin, Surah Yasin dilafalkan
ketika handil ataupun arisan ibu-ibu kampung
seperti yang terjadi di Desa Matang Ginalun,
Barabai.75 Bahkan ketiga surah di atas selalu dibaca
setelah shalat Subuh di langgar kampung ini. Karena
seringnya dibaca, banyak urang Banjar cenderung
sudah hafal sehingga tidak perlu lagi melihat mushaf
al-Qur‘an ataupun buku-buku Yasin.
75
Sriyati, “Rutinitas Baca al-Qur’an di Kampung,” Agustus 2018.
57
Jika pada daerah di atas, membaca ayat-ayat al-
Qur‘an tersebut dilakukan secara komunal, maka
masih banyak juga orang Banjar yang mengamalkan
membacanya secara pribadi, khususnya Surah Yasin.
Bahkan seringkali ditemukan para orang tua Banjar
yang hanya bisa mangaji surah ini, bahkan hingga
hafal padahal dia tidak bisa membaca ayat al-Qur‘an
lainnya atau hanya membacanya melalui tulisan
latin ayat tersebut.
Bacaan rutin juga dilakukan di lembaga
pendidikan seperti sekolah menengah baik tingkat
pertama maupun tingkat atas. Bahkan, di lembaga
Pendidikan Pesantren bacaan rutin ini selalu dibaca
setiap hari dan masuk dalam jadwal keseharian
santri selama di dalam asrama. Di sekolah
menengah, tidak ada surah khusus yang dibaca,
namun dilakukan di waktu yang dikhususkan,
kebanyakan dilakukan pagi sebelum pelajaran
dimulai. Di salah satu sekolah menengah atas di
Banjarmasin, sebagaimana penuturan dari NR,76 al-
Qur‘an juga dipelajari dalam kegiatan
ekstrakurikuler bernama Kajian Studi Islam (KSI).
November 7, 2018.
58
Dalam ekstrakurikuler tersebut, al-Qur‘an tidak
lagi hanya dibaca atau sekedar mempelajari tata cara
membaca al-Qur‘an, melainkan mempelajari
kandungan pelajaran dalam al-Qur‘an. Biasanya
kegiatan ini dipimpin oleh salah seorang ustadz atau
guru pembimbing, dalam pengakuannya NR
menjelaskan bahwa saat aktif di kegiatan tersebut,
guru yang biasa membimbing kegiatan tersebut
berasal dari guru honorer yang biasa mengisi mata
pelajaran Agama Islam.77 Dalam kegiatan belajar
kandungan al-Qur‘an ini, juga bisa melibatkan pihak
luar sekolah untuk mengisi atau mengajarkan
kandungan al-Qur‘an untuk peserta kegiatan
ekstrakulikuler.
Selain di sekolah menengah pertama dan atas,
kegiatan membaca rutin juga dilakukan di pesantren
dan sekolah Islam terpadu. Di pesantren, membaca
al-Qur‘an sudah dijadikan jadwal yang rutin dalam
kegiatan santri selama di asrama, terutama di
pesantren modern. Kegiatan membaca rutin al-
Qur‘an biasanya diisi dengan membaca surah-surah
khusus seperti al-Waqi‘ah, Yasiin, dan ad-Dukhan,
77
Ibid.
59
dan biasanya dibaca setelah shalat wajib seperti
Maghrib, Isya, dan Shubuh.78
Sedangkan di sekolah Islam terpadu, kegiatan
membaca rutin al-Qur‘an selalu dilakukan di waktu
yang sudah ditentukan. Kebijakan masing-masing
sekolah berbeda dalam menentukan waktu membaca
rutin al-Qur‘an. Untuk menunjang dan
meningkatkan kemampuan membaca al-Qur‘an,
setiap sekolah juga memiliki kebijakan yang berbeda.
Ada yang memberikan kewenangan dalam
membimbing bacaan para siswa dengan
berkerjasama dengan rumah tahfizh di daerah
tersebut, selain itu ada juga yang menggunakan
metode khusus yang lazim dipakai dalam jaringan
sekolah Islam terpadu. Kerjasama ini juga
dimaksudkan untuk membuat kemampuan
menghafal para siswa juga sekalian ditingkatkan.79
Selanjutnya, ada juga bacaan al-Qur‘an rutin
masyarakat Banjar lainnya, yaitu al-Ma‘tsurat,
kumpulan fragmen-fragmen ayat al-Qur‘an yang
78
Muhammad Yunizar Ramadhani, “Persentuhan Para Santri PP.
Darul Hijrah Putri Dengan Al-Qur’an,” Oktober 2018.
79
Latifah, “Kesan Seorang Qari’ah Sebagai Pengajar al-Qur’an Di
TPA Dan Sekolah Islam Terpadu,” Agustus 2018.
60
dibaca setiap pagi dan sore.80 Pada dasarnya ini
bukan amalan asli masyarakat Banjar. Namun
dengan adanya persinggungan masyarakat Banjar
dengan gerakan Islam transnasional, dalam hal ini
adalah Ikhwanul Muslimin melalui PKS, bacaan ini
turut masuk menjadi bacaan rutin urang Banjar.
Dikarenakan masyarakat Banjar itu memiliki logika
untuk mengambil semua yang baik dan tidak
bertentangan dengan agama, sehingga bacaan ini
dengan mudahnya diterima masyarakat. Perlu
dicatat bahwa masyarakat Banjar yang
mengamalkannya pun hanya orang-orang yang
pernah atau memiliki akses dengan golongan PKS.
Demikian juga terkait amalan membaca Surah al-
Kahfi setiap Kamis malam atau malam Jum‘at yang
bahkan generasi millenial melakukannya sebagai
amalan wajib. Ini terjadi berkat dakwah melalui
sosial media, salah satunya dalam bentuk meme-
meme yang beredar di dalamnya. Jika dulunya yang
membacanya hanya kaum tua dikarenakan ayatnya
yang cukup panjang dan banyak ketimbang Surah
80
Sriyati, “Rutinitas Baca al-Qur’an di Kampung.”
61
Yasin, al-Waqi‘ah, dan al-Mulk, sekarang anak muda
pun bersemangat membacanya.
Pada akhirnya, sebagaimana disebutkan pada
bab sebelumnya bahwa perkembangan media cetak,
atau sekarang digital melalui internet akan
mempengaruhi kesadaran para pelaku kelisanan.
Dalam hal ini terlihat bahwa tradisi lisan akan saling
mempengaruhi dengan tradisi tulisan.
b. Pembacaan Ayat al-Qur‘an sebagai Amalan
untuk Kepentingan Tertentu
Tradisi lisan al-Qur‘an dengan menjadikannya
amalan untuk kepentingan tertentu sedikit berbeda
dengan tradisi mangaji secara rutin. Dalam konteks
ini, pembacaan al-Qur‘an memang dimaksudkan
untuk suatu tujuan yang mana jika hajat telah
tercapai maka pembacaan ayat tersebut akan
berakhir. Biasanya, tradisi ini dilakukan dengan
melafalkan fragmen-fragmen tertentu di waktu
tertentu dengan jumlah bacaannya juga tertentu.
Beberapa kalangan juga menyebutnya sebagai
mantra al-Qur‘an.
Setiap memasuki akhir bulan Safar, masyarakat
Banjar selalu mengadakan tradisi yaitu Arba
Mustamir, jika di daerah Jawa dikenal dengan Rebo
62
Wekasan, yaitu tradisi menyambut hari Rabu
terakhir dalam bulan Safar.81 Tradisi ini
dimaksudkan untuk menghalau banyak bala yang
dipercaya turun setiap hari Rabu terakhir di bulan
Safar. Tradisi ini dilakukan dengan membaca Yasiin
setelah shalat Dzuhur, biasanya dibaca secara
bersama-sama di masjid atau langgar, dan saat di
ayat 85 dari surah Yasiin dibaca diulang-ulang
sebanyak 313 kali. Tradisi ini masih bertahan sampai
sekarang walau tidak banyak lagi yang
melakukannya secara bersama-sama, terlebih
mereka yang bermukim di perkotaan.
Dalam menandai ritus peralihan hidup
masyarakat Banjar misalnya, ayat-ayat al-Qur‘an
tertentu pasti dibaca. Pada saat persiapan lahiran
menyambut jabang bayi ke dunia, Surah Maryam
dan atau Surah Yusuf menjadi amalan orang tua
calon jabang bayi. Diharapkan bayi yang lahir akan
cantik dan berakhlak seperti Maryam jika
perempuan dan atau tampan dan mulia seperti
Yusuf. Ketika hendak meninggal, orang Banjar akan
dibacakan Surah Yasin. Bahkan ketika sudah
63
meninggal dan hendak dimakamkan, para pelayat
membacakan Surah Yasin dan atau masing-masing
membaca satu juz dari al-Qur‘an hingga khatam. Hal
ini dimaksudkan untuk sebagai pahala untuk
mayyit.
Belum lagi beragam amalan untuk tujuan lainnya
semisal ingin kaya, bebas dari hutang bacalah ayat
Saribu Dinar, yaitu Surah al-Thalaq: 2-3 yang dibaca
tiap selesai shalat lima waktu.82 Persebaran tradisi ini
masih terjaga dengan baik, khususnya di daerah
Hulu Sungai. Adapun di Banjarmasin, karena sedikit
banyak terjadi perubahan ke arah kultur masyarakat
urban, ada beberapa tradisi lisan yang mulai hilang
semisal batamat al-Qur‘an yang dilakukan calon
mempelai perempuan. Padahal dalam keyakinan
masyarakat Banjar dahulu tradisi ini untuk
memastikan bahwa mempelai perempuan mampu
menjadi istri dan ibu yang baik dengan bisa
membaca al-Qur‘an.
Pada dasarnya, jika tradisi ini berkaitan dengan
pembacaan ayat-ayat yang panjang atau
82
Wardatun Nadhiroh, “KITAB SANJATA MU’MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan
Budaya 11, no. 1 (2018): 119–143.
64
membutuhkan pada pembacaan satu surah tertentu
al-Qur‘an, maka pembacaannya pun mengandalkan
Mushaf al-Qur‘an. Namun jika bacaan tersebut
adalah fragmen-fragmen pendek al-Qur‘an, maka
hal tersebut telah dihafalkan.
Nampak terlihat adanya proses mnemonic dan
formulawi dalam pembacaan ayat al-Qur‘an tertentu
untuk maksud tujuan tertentu yang menjadi ciri dari
kelisanan, dimana terdapat pola-pola ritmis untuk
memudahkan menghafal dan membantu mengingat
kembali (recall) ketika dibutuhkan. Namun perlu
dicatat bahwa masyarakat Banjar pada akhirnya
‗juga dipaksa‘, ketika bersinggungan dengan al-
Qur‘an, khususnya ketika harus membaca surah al-
Qur‘an yang cukup panjang, akan mengandalkan
tulisan Mushaf.
Sebagai dampak persinggungan budaya orang
Banjar yang sangat oral dengan al-Qur‘an, sebelum
Islam datang, mereka adalah penganut agama nenek
moyang yang penuh dengan jampi dan mantra
sebagai perantara untuk mencapai suatu tujuan
tertentu, maka Islam datang mengakomodirnya
melalui mantra-mantra al-Qur‘an yang memuat
65
fragmen-fragmen ayat tertentu. Salah satu contohnya
adalah mantra panah arjuna,83 seperti berikut:
83
Alfianoor, “Ayat al-Qur’an dalam Mantra Banjar.”
66
melemahkan orang maka membaca bagian dari
Surah al-Kahfi ―Wal yatallathaf …‖, mantra
memancing ―Makkanan Kasia‖, dan banyak lagi.
Dewasa ini, pembacaan mantra-mantra di atas
nampak mulai menghilang dan semakin sulit
terlacak persebarannya di kalangan masyarakat
Banjar, kecuali dapat ditemukan pada kaum Tuha
Banjar. Adapun bagi kaum muda, hal ini semakin
tidak dikenal apalagi diyakini khasiatnya.
Kehadiran aktivitas ruqyah syari‘iyah yang
semakin menjamur dan terus bertumbuh, tak
terkecuali juga turut memberikan pengaruh di Tanah
Banjar. Masyarakat Banjar banyak juga yang
mengakses kegiatan ini, ini dibuktikan setiap
kegiatan ini dilaksanakan di masjid-masjid selalu
penuh dengan jemaah yang ingin diruqyah. Bahkan
terdapat satu tempat ruqyah khusus yang tak pernah
sepi peminat, padahal tempat tersebut sudah
membuka layanan setiap hari. Kegiatan ruqyah yang
dilakukan dengan membaca al-Qur‘an dianggap
oleh masyarakat Banjar adalah hal yang sangat baik,
khususnya sebagai pengobatan alternatif pada
keadaan khusus seperti kesurupan dan kerasukan.
Ayat-ayat yang dibaca dalam proses ruqyah
67
diantaranya adalah al-Fatihah, al-Mu‘awwizatain,
Ayat Kursi, atau surah Yasiin ayat 1-9.
Pengaruh kemajuan teknologi melalui media
cetak dan digital, selain proses ruqyah, adalah
penyebab dari berubahnya tradisi mantra. Padahal
pada awalnya, mantra ini dibaca untuk tujuan
tertentu yang diyakini akan berhasil hajat
pembacanya. Dan pada term di atas lah sebenarnya,
cara kerja mantra yang seharusnya, bahwa mantra
dirapalkan dengan petunjuk khusus dan harus
diiringi keyakinan bahwa mantra itu pasti akan
berhasil sesuai keinginan pembacanya. Namun di
era modern sekarang, mantra kehilangan pamornya
karena perkembangan iptek dan kebutuhan akan
rasionalitas yang tinggi sehingga hal-hal yang
bersifat ―mistis‖ seperti mantra ini mulai
ditinggalkan. Inilah salah satu dampak dari
dominasi tulisan terhadap tradisi lisan. Terlepas dari
hal tersebut di atas, mantra al-Qur‘an menyimpan
bukti nyata dari kelisanan masyarakat Banjar
terhadap al-Qur‘an dengan pola puitis nan ritmis
serta diyakini mengandung magis.
68
2. Tradisi Lisan terkait Pembelajaran al-Qur’an dalam
Lembaga
Masyarakat Banjar dewasa ini semakin memiliki
ketergantungan kepada lembaga-lembaga pembelajaran
al-Qur‘an untuk belajar mengaji, tahsin, menghafal, dan
mempelajari al-Qur‘an. Lembaga-lembaga pembelajaran
al-Qur‘an pun semakin berkembang, tidak hanya Taman
Pendidikan al-Qur‘an (TPA) dan Pesantren saja lagi
yang secara resmi memegang peranan untuk mengajar-
kan membaca al-Qur‘an namun sekolah-sekolah biasa,
pengajian-pengajian kampng, rumah dan pondok
tahfizh, hingga tingkat universitas juga telah mengem-
bangkan program pembelajaran al-Qur‘an yang
nantinya akan bersinggungan dengan bentuk
keaksaraan al-Qur‘an itu sendiri di Banjar.
84
Sarmiji Asri, “Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan,” Oktober
2018.
70
memiliki lisensi untuk mengajarkannya.85 Terlepas
dari hal tersebut, nampaknya masyarakat Banjar
memiliki kecocokan untuk menggunakan metode
Iqra dalam mengenalkan anak-anak untuk belajar al-
Qur‘an.
71
macamnya, nampaknya metode Iqra‘ sampai saat ini
belum terkalahkan. Salah satu indikator tak
terbantahkan adalah buku Iqra masih terus
diperjualbelikan, baik merupakan cetakan asli
namun lebih banyak bajakan yang dapat ditemukan
di Gang Penatu, Banjarmasin.
73
tibyan memakai bahasa Arab sebagai pengantar,
sehingga beberapa kesempatan masih
menggunakan Iqra sebagai alat bantu. Kelas ini
dilaksanakan di pagi hari dan kemudian
dilanjutkan beberapa santri untuk masuk ke
kelas berikutnya yaitu tahfizh. Namun, bagi
anak-anak yang belum lancar membaca al-
Qur‘an, maka anak-anak biasanya diajarkan
menghafal dengan metode tulisan dan
diperdengarkan beberapa kali untuk
mempermudah anak menghafal ayat tersebut.
74
Kelas yang berikutnya adalah pesantren
khusus santriwati yang bermalam di sana
dengan metode tahfizh setoran khusus. Jadi
santriwati disediakan asrama untuk menjalankan
aktivitasnya selama menghafal al-Qur‘an di
yayasan ini. Kelas ini masih baru, sehingga
masih mencari model yang pas untuk
pelaksanaanya di lapangan.
88
Fakhrie Hanief, “Metode dan Sistem Pembelajaran al-Qur’an di
Rumah al-Qur’an Azhar Syarif,” Nopember 2018.
75
tahsin menggunakan tilawati yang terus
diperbaharui sesuai keperluan dan masukan
selama menjalankan program ini. Tilawati yang
diperbaharui sekarang sudah dijadikan menjadi
satu buku yang dipakai secara resmi dalam
rumah tahfizh ini, yang berisi tidak hanya
metode tilawati saja namun juga dilengkapi
dengan doa-doa harian, kata-kata mutiara, dan
lain-lain sebagai pelengkap pengajaran dalam
rumah tahfizh ini.
78
akan dihadapi oleh santri dan semua peraturan
dalam rumah tahfizh. Orang tua tidak hanya
aktif memperhatikan perilaku dan progress
hafalan santri, namun juga turut menjaga
motivasi dengan terus terlibat langsung dalam
proses belajar yang dilakukan selama di rumah.
Jadi peran orang tua tidak hanya membayar
biaya sekolah sebesar 75 ribu per bulan, namun
lebih menjadi pendamping guru dalam
mengawal hafalan sang anak didik.
79
meledaknya kabar seorang anak bernama Musa
yang baru berusia sangat muda bisa menghafal
Al-Qur‘an, yang menjadi pendorong
bertumbuhannya dan mulai menjamurnya
rumah-rumah tahfizh. Baik yang dikelola oleh
yayasan atau masih dikelola oleh secara pribadi.
Di Banjarmasin beserta daerah penyangganya
masih terus bertumbuhan rumah tahfizh yang
menandakan gelora penghafalan al-Qur‘an yang
terus meningkat. Namun, proses
perkembangannya tidak semudah membalik
tangan karena ada proses seleksi alam yang
diharapkan akan menyingkirkan mereka yang
tidak serius menghafal al-Qur‘an.
89
Muhammad Dzikri Nirwana, “Metode dan Sistem Pembelajaran al-
Qur’an di Rumah Tahfizh al-Banjary,” Nopember 2018.
80
yang disediakan juga mendukung seperti kue,
minuman dan buku untuk belajar al-Qur‘an,
sehngga rumah tersebut tidak lagi bisa
menampung santri yang terus berdatangan.
Kebanyakan para santri itu adalah tetangga yang
bermukim di sekitar rumah Dzikri sendiri.
81
perumahan di mana rumah tahfizh tersebut
berada.
82
Kemudian, pemilik perumahan dan rumah
tahfizh tersebut dalam peresmian Rumah
Tahfizh al-Banjary ini menjanjikan kepada setiap
santri yang berhasil menghafal 30 juz selama
belajar di sana, maka akan diberikan umrah
gratis beserta orang tua. Pemilik perumahan ini
menanggung seluruh biaya operasional secara
keseluruhan dan juga menjamin rumah bagi
guru yang hafizh al-Qur‘an 30 juz untuk didiami
dan ditugasi menjadi imam di mushalla tersebut
dan membaca ayat dalam shalat, khusus subuh,
terus bersambung mulai al- Baqarah secara
bersambung hingga 30 juz nantinya.
90
Arabi, “Penghargaan Pemerintah Kota Banjarmasin terhadap Para
Hafizh/Hafizhah Tahun 2018.”
84
dan melakukan setoran hafalan secara rutin.
Rutinitas santri dimulai sejak pagi setelah shalat
subuh menyetor hafalan baru sampai jam 8 pagi.
Setelah jam 10 pagi, dilanjutkan dengan
mengulang hafalan lama sampai zuhur. Setelah
ashar, menyetor bacaan hafalan baru sebelum
dihapal besok pagi. Setelah mencapai 30 juz,
maka siapa yang mau menamatkan maka harus
melalui tes yang sangat ketat.
87
Kehidupan santri di sini walau disediakan
asrama namun model pelaksanaan
pengajarannya tidak sama dengan pondok
pesantren modern lainnya yang waktu dan
jadwal kehidupan santri diatur sedemikian rupa.
Di pesantren ini, santri tidak banyak dibebani
jadwal yang ketat selain belajar kitab dan sekolah
sampai sore hari. Pengajian di masjid hanya diisi
dengan pembacaan maulid di hari rabu dan
kamis, selain itu ada pengajian malam senin diisi
secara bergantian oleh para asatidz di sana.
Membaca al-Qur‘an dengan lancar adalah
syarat wajib untuk setiap santri baru al Falah,
baik yang masuk kelas Tahjizi, kelas khusus bagi
mereka yang belum lancar membaca kitab
kuning, atau Kelas Wustha (SMP), bagi yang
sudah memiliki kemampuan membaca kitab
kuning yang baik. Walau bagi setiap santri
dikenalkan dengan metode Tilawati sebagai
pengajaran membaca al-Qur‘an dengan lancar di
pondok pesantren.
91
Muhammad Yusuf Sayudi, “Persiapan dan Pelaksanaan MTQ
XXXI Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,” Nopember 2018.
90
Agar dapat dipaparkan secara jelas, pada bagian ini
hanya dikhususkan untuk membahas tentang cabang
tilawah al-Qur’an karena bagian ini yang khusus
berbicara tentang tradisi lisan masyarakat Banjar yang
melakukan resepsi terhadap al-Qur‘an dari aspek
keindahan. Hal ini bukan berarti sebagai usaha
memisahkan secara dikotomis aspek kelisanan dan
keaksaraan karena pada dasarnya, sebagian para
pelantun tilawah juga mengandalkan buku panduan
sebagai pedoman bacaan seperti karya Ahmad Fathoni
tentang tuntunan praktis maqra’ qira’at mujawwad dari
rawi tertentu.92 Selain itu, cabang ini merupakan
golongan terbanyak yang diperlombakan, yaitu
sebanyak 8 (delapan) golongan. Seni baca yang
diperlombakan pun dibagi menjadi golongan tartil;
golongan tilawah anak-anak, remaja, dewasa, dan cacat
netra; dan golongan qira’at al-Qur’an mujawwad dan
murattal dewasa, serta murattal remaja.
92
Latifah, “Kesan Seorang Qari’ah sebagai Pengajar al-Qur’an di
TPA dan Sekolah Islam Terpadu.”
91
di TPA-TPA sekitar wilayah Banjarmasin dan khusus
bagi murid yang telah lancar dan bagus dalam membaca
ayat al-Qur‘an. Namun seni baca al-Qur‘an ini juga
diajarkan di masjid atau langgar, seperti di Masjid
Agung Barabai setiap Sabtu dan Minggu oleh Guru
Syarkawi. Di masjid ini, pembelajaran tilawah al-Qur‘an
terbuka untuk segala usia, hal yang tidak ditemukan di
TPA karena biasanya hanya anak-anak dan remaja yang
mengisinya. Berdasarkan wawancara dengan official
MTQ kafilah HST yang juga pegawai Kemenag
kabupaten tersebut, sesi ini banyak didatangi
masyarakat Barabai, ada yang memang bermaksud
belajar tilawah, atau hanya sekedar mendengarkan
setelah mengantarkan anak-anaknya untuk belajar.
93
menurut pengakuan Rusdiansyah, memiliki
penonton yang aktif dan terus bertumbuh hingga
sekarang sehingga Rusdiansyah berinisiatif untuk
membuat sebuah gerakan dan diberi nama sesuai
dengan nama program televisi yang diawakinya,
yaitu ―Yuk Mengaji‖.
94
metode ini bisa dipelajari dengan sangat mudah dan
memiliki standar yang baik dan jaminan yang bisa
dipertanggungjawabkan.
95
termasuk ujaran kebencian. Sehingga, gerakan ODOJ
cukup mendapatkan tempat di kalangan umat
Muslim Indonesia.93
93
Eva F. Nisa, “Social Media and the Birth of an Islamic Social
Movement: ODOJ (One Day One Juz) in Contemporary Indonesia,”
Indonesia and the Malay World 14, no. 34 (2018): 24–43.
94
Ibid.
96
anggota dari mereka yang bukan dari gerakan
Tarbiyah.
97
gerakan baru yang berbasis sama dengan ODOJ,
akan tetapi hanya berbeda dalam target bacaan yaitu
setengah juz per hari.
98
dari mereka, karena ODOJ hanyalah gerakan
membaca bukan gerakan pengajaran al-Qur‘an.
99
dalam hal pemilihan mushafnya. Masyarakat Banjar
awam memiliki kecenderungan untuk membeli
mushaf al-Qur‘an yang besar dengan rasm Imla‘i
yang dari segi kaidah tidak mengikuti Mushaf
Utsmani. Sementara masyarakat Banjar yang pernah
mengenyam pendidikan pesantren akan tahu beda
mushaf tersebut dan lebih menyukai membaca al-
Qur‘an dengan Mushaf Utsmani atau dikenal juga
dengan Mushaf Pojok. Selanjutnya, ditambah
dengan kemajuan digital sekarang, seringkali
mushaf yang digunakan sudah berbentuk aplikasi
sehingga pembacanya, khususnya mereka yang
berasal dari generasi millineal tidak perlu repot
membawa mushaf cetak ke mana-mana, cukup
menggunakan aplikasi al-Qur‘an dalam ponsel
pintar masing-masing yang pasti selalu di bawa
kemana-mana.
101
huruf dan pola. Dewasa ini rajah mulai kehilangan
pamornya seiring perkembangan teknologi dan
pengetahuan yang mengandalkan rasionalitas.
102
untuk mendorong terwujudnya generasi
Islami yang beriman, cerdas, dan berakhlak
mulia melalui pendidikan al-Qur‘an yang
diselengarakan lembaga formal di bawah
pengawasan pemerintah.
2) Perda Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010
tentang Wajib Baca Tulis al-Qur‘an bagi
Siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah,
Siswa Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah, dan Siswa Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah
Kejuruan serta Calon Pengantin yang
Beragama Islam.
3) Perda Kota Banjarmasin Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pemberantasan Buta Aksara. Perda
ini dimaksudkan untuk membangun
keaksaraan penduduk dewasa yang belum
bisa membaca, menulis atau berhitung, dan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,
sekaligus juga bahasa al-Qur‘an
104
tersebut, maka data akan dipaparkan berdasarkan
jenis pesantrennya sebagai berikut:
105
syarahnya yaitu Ash-Shawi. Kitab yang
digunakan dalam mata pelajaran ilmu tafsir dan
ushul tafsir adalah catatan sekolah pendahulu
pondok yang kemudian ditulis ulang tanpa
mencantumkan siapa yang menuliskannya.
Sedangkan untuk tingkatan Ulya, kitab yang
digunakan untuk mata pelajaran tafsir adalah
Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani.
106
Adapun mata pelajaran dan kitab yang
berkaitan dengan al-Qur‘an di pondok pesantren
al-Falah adalah:
107
2) Teks al-Qur‘an di Pesantren Khalaf
Buku yang digunakan dalam mata pelajaran
Tafsir adalah Kitab Tafsir yang sama digunakan
juga di Pondok Pesantren Gontor. Namun, titik
tekan dalam pelajaran ini adalah bukan pada
penguasaan tafsir dalam peserta didik, dalam hal
ini santri, disebabkan santri pondok pesantren
DD lebih dikuatkan pada penguasaan bahasa
asing, baik bahasa Inggris atau Arab. Setiap
tingkatan kelas, kitab yang dipergunakan juga
berbeda. Dari kelas 1 Tsanawiyah hingga kelas 3
Aliyah, semuanya memiliki buku yang berbeda
dan disesuaikan dengan kurikulum yang
diadopsi secara penuh dari pesantren Gontor.
Penggunaan kitab ini sudah berlangsung cukup
lama, dan tidak ada evaluasi dalam penggunaan
kitab, yang ada hanya evaluasi teknik mengajar
dari pengampu mata pelajaran yang dilakukan
secara rutin setiap 3 bulan.
110
Seiring kemajuan teknologi printing atau cetak,
kaligrafi al-Qur‘an akhirnya juga mendapat
sentuhannya sehingga orang tidak perlu repot lagi
menuliskannya yang tentunya juga membutuhkan
waktu yang lama. Di rumah-rumah urang Banjar yang
masih mempertahankan tradisinya, hiasan kaligrafi al-
Qur‘an biasanya menghiasi dinding ruang tamunya,
baik hasil tulisan tangan atau hanya berupa cetakan,
beserta dengan poster beberapa ulama.
111
rumah orang Banjar, dia tidak hanya dimaksudkan
sebagai pajangan estetika namun juga menyimpan nilai
magis yang akan melindungi rumah tersebut dari
bahaya.
112
sempit di tengah kota Banjarmasin ini ada beberapa
toko buku yang menyediakan khusus buku-buku
keagamaan saja. Toko buku di sini sudah beroperasi
di atas 10 tahun dan sangat dikenal terutama di
kalangan santri, sebab toko buku di sana ada yang
mengkhususkan menjual kitab-kitab yang dipakai
oleh kalangan santri di pesantren masing-masing.
Namun, seiring kemudahan akses dan hubungan
antar daerah, toko buku pun semakin bertumbuhan
di tanah Banjar.
113
Buku-buku terbitan lokal, sebagaimana buku
terbitan penerbit nasional, juga bervariasi dari sisi
muatan ideologinya. Misalnya, penerbit dan toko
buku Sahabat yang menyediakan buku-buku
keislaman dalam konteks lokal. Buku-buku yang
diproduksi dan disebarkan oleh toko buku Sahabat
adalah buku yang ditulis oleh penulis-penulis lokal
dalam bingkai keislaman yang lebih bersentuhan
dengan tradisi kaum tuha. Selain itu toko buku ini
juga memproduksi buku-buku tentang sejarah Islam
lokal seperti manakib tokoh lokal dan sejarah tokoh
Islam lokal.
114
yang tertarik dengan karya-karya yang diproduksi
oleh penerbit sekaligus toko buku ini.
115
Indonesia. Mengingat buku yang diproduksi
berkaitan dengan agama Islam menyebabkan teks al-
Qur‘an banyak muncul dan dikutip. Dalam buku
yang berbahasa Arab Melayu selain Tafsir Juz
Amma, al-Qur‘an masih memakai cara pengutipan
yang lazim dipakai oleh kitab-kitab Arab Melayu,
khususnya yang beredar di tanah Banjar seperti kitab
Risalah Amal Ma’rifah dan Sanjata Mukmin. Kutipan
seperti ini disebut sebagai cara paling praktis yang
digunakan oleh para ulama terdahulu dalam
menjelaskan teks yang mereka tulis.
118
Banjar tidak lagi cuma diperoleh dari buku dan
pengajian biasa. Tapi, juga menerima informasi dari
media sosial dan internet, termasuk informasi
keagamaan.
119
masalah dalam Islam, melalui laman pencarian
seperti Google dan Yahoo.95 Mereka yang terpapar
informasi seperti ini rata-rata tidak memiliki
kedalaman keilmuan yang bagus dalam
membedakan perbedaan pemahaman dalam al-
Qur‘an, sehingga pemahaman keagamaan mereka
sangatlah cair dan tidak terikat dalam salah satu
aliran. Mereka ini juga yang paling banyak
mengkonsumsi ayat-ayat al-Qur‘an dalam bentuk
meme yang biasanya disebarkan melalui media
sosial. Walaupun tidak dapat ditutupi, mereka yang
memiliki kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan
yang cukup, seperti lulusan pesantren juga ikut
mengakses informasi keagamaan yang tersedia di
internet.
95
Rahmatina, “Pembelajaran al-Qura’an di Sekolah Formal.”
120
dibagikan, dan dikomentari. Siapa yang paling
banyak dilike, share dan kometar, maka itulah yang
paling otoritatif.96
96
Abd. Halim, Wajah Al-Qur’an Di Era Digital (Yogyakarta: Penerbit
Sulur, 2018), 25.
121
122
BAB IV
DINAMIKA KELISANAN DAN KEAKSARAAN AL-
QUR’AN DALAM
TRADISI DISKURSIF MASYARAKAT BANJAR
123
oleh masyarakat Banjar dan alasan yang bisa
dikemukakan adalah gencarnya usaha purifikasi di
tengah masyarakat Banjar, terutama melalui praktik
tandingan fenomena ruqyah syar‘iyyah. Selain itu,
tradisi ini juga dianggap ketinggalan zaman saat
masyarakat sudah bersentuhan dengan era teknologi.
Masyarakat Banjar sendiri tidak mampu menjaga
eksistensi tradisi ini dikarenakan memang tidak ada
otoritas yang mengawakinya.
97
Asri, “Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan.”
125
tersendiri dalam kehidupan beragama masyarakat
Banjar.
126
Ijazah akan bacaan dari al-Qur‘an juga ditemukan
pada tradisi baijazah membaca al-Fatihah, yang menurut
kalangan kaum tuha adalah sesuatu yang esensial.
Menurut kalangan ini, melaksanakan shalat haruslah
dengan bacaan yang harus tersambung langsung
sanadnya kepada Rasulullah dan bacaannya sesuai
dengan tajwid dan semua hukum membaca al-Qur‘an.98
Kyai Haji Muhammad Zaini Ghani adalah salah satu
cultural broker dalam fenomena ijazah membaca al-
Fatihah ini. Perkara ijazah ini pula yang menjadi alasan
penolakan salah satu pimpinan pondok pesantren
tahfizh Darussalam terhadap kehadiran rumah-rumah
tahfizh, karena meragukan kualifikasi guru yang
mengajarkan bacaan dan hafalan al-Qur‘an di sana.
98
Amrie, “Perkembangan Ijazah dan Sanad dalam Membaca al-
Qur’an di Kalimantan Selatan.”
127
pemilik beberapa perumahan dan travel haji dan umrah
yang sukses, dibangun karena dorongan dari teks hadis
yang menyatakan balasan yang besar bagi mereka yang
melayani ahli quran.
128
Mereka mempromosikan kegiatan-kegiatan rumah
tahfizhnya melalui pengajian-pengajian yang mereka
asuh sendiri. Pengelola rumah tahfizh ini rata-rata
berusia muda, sekitar 30-50 tahun, berbeda dengan
pondok tahfizh yang rata-rata lebih tua dari mereka,
sehingga walau diragukan kemampuan menghafalnya
oleh para guru yang lebih senior dari mereka, mereka
terus berinovasi dalam pengelolaan rumah tahfizh
sampai dengan membuat metode khusus. Pengelola
rumah tahfiz memodifikasi metode yang pernah
didapatnya dari luar, dipadukan dengan
pengalamannya sendiri, sehingga bisa diterapkan dalam
rumah tahfizhnya sendiri. Bahkan salah satu
narasumber pengelola rumah tahfizh yang telah
diwawancarai menyatakan bahwa ia diminta untuk
mengelola program tahfizh di dua sekolah menengah,
satu negeri dan satu swasta.
130
Qur‘an. Sedang rumah tahfizh bergerak dalam
pendidikan penghafal al-Qur‘an. Gerakan ini juga cukup
massif di Kalimantan Selatan dalam mengkampanyekan
penghafalan al-Qur‘an. Adapun kegiatan-kegiatannya
biasanya membuat karantina al-Qur‘an yang juga
melibatkan beberapa rumah tahfizh di dalamnya,
biasanya mereka mendapatkan dukungan dari otoritas
keagamaan yang disegani oleh masyarakat Banjar.
Bahkan peran dari pemerintah dalam gerakan ini,
seperti yang dilakukan pemerintah Kota Banjarmasin,
cukup jelas. Secara khusus, pemerintah Kota
Banjarmasin memberikan tunjangan yang cukup besar
bagi para penghafal al-Qur‘an di Kota Banjarmasin. Dari
penghapal 5,10,15,20,30 juz, semuanya mendapatkan
tunjangan yang disesuaikan dengan kemampuan
hafalan penerimanya. Tunjangan ini dimaksudkan selain
sebagai bagian penghargaan juga bagian dari promosi
dan pembakar semangat masyarakat Banjarmasin untuk
menghafal al-Qur‘an.
132
saat LPTQ Kalimantan Selatan menelurkan sebuah
metode baca al-Qur‘an baru bernama al-Banjari. Akan
tetapi dalam waktu yang tidak lama, metode ini
tenggelam karena tidak memiliki dasar dan konsep yang
komprehensif dalam pengajaran al-Qur‘an, disebut-
sebut kemunculannya dihasilkan dari rangkuman Iqra.
134
kepanikan moral yang dihadapi para pemuda di tengah
kehidupan serba tidak menentu ini, membuat sebagian
remaja memilih jalan agama sebagai solusinya.
Fenomena ini sebagaimana dalam sejarahnya ODOJ
adalah bagian dari gerakan Tarbiyah yang kemudian
mendapatkan dukungan dan berhasil meraih peserta
yang cukup banyak membuat gerakan ini juga diminati
oleh masyarakat Banjar, bukan cuma mereka yang
terlibat gerakan Tarbiyah tapi juga dari kalangan yang
lain. ODOJ sebenarnya memberikan tekanan bagaimana
mengaji yang biasanya dilakukan rutin oleh masyarakat
Banjar tidak terlalu banyak dilaksanakan. Membaca al-
Qur‘an bagi masyarakat Banjar sekarang lebih banyak
dilakukan dalam sisi pendidikan, bahkan lebih dari itu
yaitu industri pendidikan.
136
didasari faktor yang sama juga dengan semakin
ditinggalkannya beberapa tradisi lisan yang sudah
jarang terpakai seperti mantra.
137
diajarkan minimal dalam empat bahasa yaitu Indonesia,
Melayu, Arab, dan Inggris.
138
Masyarakat Banjar sekarang tidak banyak lagi yang bisa
mengenali bahasa Banjar yang sebenarnya. Bahkan
menurut salah seorang sastrawan Banjar, untuk
membaca sebuah karya sastra seperti cerita pendek
dalam bahasa Banjar banyak masyarakat Banjar yang
tidak bisa memahaminya.99 Persoalan ini disebabkan
karena masyarakat Banjar sebagai penutur bahasa Banjar
sudah banyak sekali terpengaruh dengan bahasa
Indonesia yang dipergunakan dalam pergaulan baik
resmi maupun tidak resmi, sehingga masa depan bahasa
Banjar masih buram. Oleh sebab itu, kemunculan al-
Qur‘an terjemah dalam bahasa Banjar bisa dikatakan
tidak memiliki signifikansi yang besar. Sebab, keluhan
masyarakat akan ketiadaan bahasa banjar dalam tradisi
al-Qur‘an tertulis tidak banyak kita temukan, bahkan
bisa dikatakan tidak ada.
99
Muhammad Jamaluddin, “Peran dan Perkembangan Bahasa Banjar
Dewasa Ini,” Nopember 2018.
139
ditempati oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu dan
huruf Arab-Melayu (dikenal dengan istilah aksara Jawi)
sudah dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam
masyarakat Banjar sejak kerajaan Islam Banjar. Bahkan
kitab keagamaan yang beredar di masyarakat Banjar
sejak dulu hingga sekarang tidak ada yang berbahasa
Banjar, semuanya menggunakan Melayu dan sekarang
ada yang berinovasi dengan bahasa Indonesia seperti
yang dilakukan oleh Penerbit Sahabat Kandangan,
namun tetap ditulis dengan aksara Jawi. Masyarakat
Banjar sebagai penuturnya pun sudah terbiasa memakai
bahasa ini dalam tradisi keagamaan. Inilah yang
menyebabkan otoritas keagamaan tidak memandang
perlu menuliskan atau menterjemahkan karya tulisnya
ke bahasa Banjar, sebab dengan bahasa Melayu pun,
tugasnya sebagai transmitter keilmuan sudah tercapai.
141
142
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
145
secara lebih mendalam semisal fenomena rumah tahfizh
hingga gerakan baca al-Qur‘an yang semakin marak di
tanah Banjar.
146
DAFTAR PUSTAKA
147
———. Islam dan masyarakat Banjar. RajaGrafindo
Persada, 1997.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Kanisius,
1995.
F, Ahmad Gaus A. Sang pelintas batas: biografi Djohan
Effendi. Edited by Hairus Salim. Penerbit Buku
Kompas, 2009.
Halim, Abd. Wajah Al-Qur’an Di Era Digital. Yogyakarta:
Penerbit Sulur, 2018.
Hanief, Fakhrie. ―Metode dan Sistem Pembelajaran al-
Qur‘an di Rumah al-Qur‘an Azhar Syarif,‖
Nopember 2018.
Havelock, Eric Alfred. Preface to Plato. Blackwell, 1963.
Ideham, M. Suriansyah, Syarifuddin, M. Zainal Arifin
Anis, and Wajidi. Urang Banjar dan Kebudayaannya.
Penerbit Ombak, 2015.
Jamaluddin, Muhammad. ―Peran dan Perkembangan
Bahasa Banjar Dewasa Ini,‖ Nopember 2018.
Kacandes, Irene. Talk Fiction: Literature and the Talk
Explosion. U of Nebraska Press, 2001.
Koswara, Dedi, Dingding Haerudin, and Ruswendi
Permana. ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa
Dalam Khazanah Sastra Sunda Klasik: Transformasi
Dari Kelisanan (Orality) Ke Keberaksaraan (Literacy)
Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah (Kajian
Struktural-Semiotik Dan Etnopedagogi).‖ Jurnal
Penelitian Pendidikan 14, no. 2 (2016).
Latifah. ―Kesan Seorang Qari‘ah sebagai Pengajar al-
Qur‘an di TPA dan Sekolah Islam Terpadu,‖
Agustus 2018.
148
Lukens-Bull, Ronald. ―Between Text and Practice:
Considerations in the Anthropological Study of
Islam.‖ Marburg Journal of Religion 4, no. 2 (1999): 10–
20.
Moriyama, Mikihiro. ―Ketika Sastra Dicetak:
Perbandingan Tradisi Tulisan Tangan Dan Cetakan
Dalam Bahasan Sunda Pada Paruh Kedua Abad Ke-
19,‖.‖ Konferensi Kesusastraan XV, Fakultas Sastra
Universitas Sam Ratulangi Manado (2004).
Mujiburrahman, Mujiburrahman. ―HISTORICAL
DYNAMICS OF INTER-RELIGIOUS RELATIONS
IN SOUTH KALIMANTAN.‖ JOURNAL OF
INDONESIAN ISLAM 11, no. 1 (July 9, 2017): 145–
174.
Mu‘jizah. Mencari Jejak Menelusuri Sejarah: Dari Riau Ke
Ternate. Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2014.
Munadi, Fathullah. ―MUSHAF QIRAAT SYEKH
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI DALAM
SEJARAH QIRAAT NUSANTARA.‖ Al-Banjari:
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 9, no. 1 (2010).
———. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks
Kajian al-Quran di Nusantara. Banjarmasin: Antasari
Press, 2011.
Nadhiroh, Wardatun. ―AMALAN DI HARI ARBA‘
MUSTAMIR BULAN SAFAR.‖ SYAHADAH 4, no. 2
(2016): 1–20.
———. ―KITAB SANJATA MU‘MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar.‖ SUHUF Jurnal
Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya 11, no. 1 (2018): 119–
143.
149
Nirwana, Muhammad Dzikri. ―Metode dan Sistem
Pembelajaran al-Qur‘an di Rumah Tahfizh al-
Banjary,‖ Nopember 2018.
Nisa, Eva F. ―Social Media and the Birth of an Islamic
Social Movement: ODOJ (One Day One Juz) in
Contemporary Indonesia.‖ Indonesia and the Malay
World 14, no. 34 (2018): 24–43.
Noor, Yusliani. Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai
ke-19. Penerbit Ombak, 2016.
Ong, Walter J. Interfaces of the Word: Studies in the
Evolution of Consciousness and Culture. Cornell
University Press, 2012.
———. Kelisanan Dan Keberaksaraan. Translated by Bisri
Effendi. Yogyakarta: Gading Publishing, 2013.
———. Orality and Literacy. Routledge, 2013.
———. Rhetoric, Romance, and Technology: Studies in the
Interaction of Expression and Culture. Cornell
University Press, 2012.
———. The Presence of the Word: Some Prolegomena for
Cultural and Religious History. Yale University Press,
1967.
Rafiq, Ahmad. The Reception of the Qur’an in Indonesia: A
Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic
Speaking Community. Temple University, 2014.
Rahmatina, Nada. ―Pembelajaran al-Qur‘an di Sekolah
Formal,‖ Nopember 2018.
Ramadhani, Muhammad Yunizar. ―Persentuhan Para
Santri PP. Darul Hijrah Putri dengan al-Qur‘an,‖
Oktober 2018.
150
Sayudi, Muhammad Yusuf. ―Persiapan dan Pelaksanaan
MTQ XXXI Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,‖
Nopember 2018.
Sriyati. ―Rutinitas Baca al-Qur‘an di Kampung,‖
Agustus 2018.
Sunarti, Sastri. Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat
Kabar Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An).
Jakarta: KPG, 2013.
Suryadinata, Leo, Avi Nurvidya Arifin, and 2003
Ananta. Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion
in a Changing Political Landscape. Singapore: ISEAS,
2003.
Sutrisno, Mudji. Oase Estetis: Estetika Dalam Kata Dan
Sketza. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sweeney, Amin. A Full Hearing: Orality and Literacy in the
Malay World. University of California Press, 1987.
———. ―Surat Naskah Angka Bersuara; Ke Arab
Mencari Kelisanan.‖ In Metodologi Kajian Tradisi
Lisan, edited by Pudentia MPSS, 83–102. Yayasan
Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998.
Walidin, Muhammad. ―MENAPAK TILAS KELISANAN
DAN KEBERAKSARAAN DALAM
KESUSASTERAAN ARAB PRA-ISLAM.‖
TAMADDUN 14, no. 2 (2014): 257–272.
Zakiah. ―Metode Pembelajaran dan Tahfizh al-Qur‘an di
Yayasan Ummul Qur‘an,‖ Oktober 2018.
151