Anda di halaman 1dari 166

Wardatun Nadhiroh, S.Th.I., M.

Hum

TRADISI KELISANAN DAN KEAKSARAAN


AL-QURAN DI TANAH BANJAR

TAHUN 2018
TRADISI KELISANAN DAN KEAKSARAAN AL-
QURAN DI TANAH BANJAR
Copyright© 2018
xii + 151, ukuran 15,5 x 23 cm

Penyusun :
Wardatun Nadhiroh, S.Th.I., M.Hum

Layout:
Darisman
Desain Cover :
Ityan Jauhar

Diterbitkan Oleh:
Antasari Press
Jl. A.Yani KM.4,5 Banjarmasin
Kalimantan Selatan
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN
PUBLIKASI ILMIAH
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (LP2M)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN

Al-hamd li Allâh, dengan memanjatkan puji dan


syukur ke hadirat Allah Swt., proses penelitian 2018
yang dilengkapi dengan sistem Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (Litapdimas) ini bisa
berjalan dengan baik dan lancar, dari proses seleksi,
pelaksanaan penelitian, hingga pelaporan. Kami
menyambut baik dan mengapresiasi setinggi-tingginya
atas kinerja para pihak yang terlibat dalam proses ini,
baik admin, reviewer, pejabat terkait, maupun para
peneliti yang melaksanakan tugasnya dengan baik.

Tahun 2018 ini merupakan tahun pertama


pelaksanaan penelitian dengan sistem online melalui
Litapdimas, yang memang menjadi program unggulan
subdit penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama. Sebagai perpanjangan tangannya, LP2M
berupaya untuk menerapkan harapan-harapan dari

iii
sistem baru ini. Memang, sebagai sistem baru, sejumlah
kendala masih ditemukan, seperti proses review, NIDN,
dan sebagainya. Namun, kendala-kendala itu bisa
diatasi dengan kerja sama dan kordinasi, baik pihak
LP2M dengan subdit, maupun juga dengan peneliti.
Oleh karena itu, kami menyampaikan dan
mengapresiasi atas kerja samanya ini sehingga proses
penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.

Pada tahun pelaksanaan penelitian pada 2018 ini,


tercatat 57 proposal yang masuk, dan 46 di antaranya
dinyatakan lulus dan diterima untuk dibiayai dari dana
penelitian yang seluruhnya berasal BOPTN. Pada awal
pelaksanaan ini, meski masih pada tahap percobaan,
LP2M berupaya untuk memenuhi standar pelaksanaan
penelitian yang baik. Dalam proses seleksi, misalnya,
LP2M telah melakukan cek plagiasi dengan aplikasi
berbayar (Quetext) demi menjamin terciptanya iklim
akademis di UIN Antasari yang bebas dari plagiasi,
termasuk dalam hal penelitian. Upaya ini seiring dengan
akan diprosesnya peraturan rektor tentang pencegahan
dan penanggulangan plagiasi di kampus ini. Dalam
proses seleksi juga, LP2M telah menerapkan double blind
review, di mana setiap proposal dibaca tanpa mengetahui
nama pengusul oleh dua orang reviewer. Review
iv
dilakukan pada dua tahap, yaitu review substantif
tentang isi proposal yang dilakukan oleh reviewer
nasional dan reviewer internal, serta review afirmatif
yang terkait dengan pertimbangan nilai-nilai strategis
proposal, seperti dari aspek signifikansi proposal dari
kesesuaiannya dengan program strategis UIN, track
record peneliti, nilai etis, dan sebagainya, yang direview
oleh reviewer afirmatif dari pejabat terkait. Untuk
mengontrol kualitas, baik secara substantif maupun
administratif, LP2M juga telah dan akan tetap
melakukan kordinasi dengan berbagai pihak terkait,
termasuk dengan peneliti, seperti dengan sosialisasi dan
pengarahan.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 ini


mengangkat tema-tema yang beragam dari pengusul
fakultas-fakultas di UIN Antasari. Sebagian besar
penelitian ini mengangkat tema pendidikan Islam,
sedangkan sebagian kecilnya mengangkat tema-tema
beragam, seperti hukum dan ekonomi Islam, psikologi
Islam, tafsir, sejarah, paham dan gerakan radikal, dan
keperpustakaan. Isu tentang integrasi ilmu juga
diangkat dari penelitian tahun ini.

v
Sebagian besar dari penelitian ini telah memenuhi
harapan misi UIN Antasari sebagai pusat integrasi ilmu
yang berbasis lokal dan berwawasan global. Akan
datang, seiring dengan disusunnya Rencana Induk
Penelitian (RIP) di Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah
LP2M UIN Antasari, diharapkan agar visi integrasi ilmu,
lokalitas, dan globalitas ini tetap dan diharapkan lebih
maksimal disahuti oleh para peneliti. Isu integrasi ilmu
pada tahun ini hanya diangkat oleh sedikit dari
penelitian ini, sedangkan sebagian besar membidik isu-
isu lokal yang didominasi oleh isu-isu kependidikan.
Idealnya, secara teoretik, isu-isu lokal yang diangkat itu
bisa dikoneksikan dengan isu global oleh para peneliti,
sehingga isu-isu lokal tidak hanya menjadi konsumsi
orang-orang lokal, melainkan juga oleh para ilmuwan
secara global. Oleh karena itu, LP2M tetap akan
berupaya memfasilitasi keinginan ini, tidak hanya
melalui pendanaan, melainkan juga pembekalan
metodologi untuk memperkaya perspektif. Di antara
masukan reviewer terkait proposal yang diajukan
adalah masih minimnya pengetahuan tentang teori-
teori, baik dari antropologi, sosiologi, maupun sejarah,
serta minimnya pengetahuan tentang riset-riset
monomental dan mutakhir di bidangnya.

vi
Sekali lagi, kami menyampaikan apresiasi yang
sebesar-besarnya kepada para peneliti yang telah
merampungkan tugasnya ini dengan baik. Kami
menaruh harapan sebagai berikut. Pertama, tetaplah
memberikan perhatian terhadap penelitian yang
merupakan salah aspek pelaksanaan Tridharma
perguruan tinggi ini dengan mengajukan proposal dan
melakukan penelitian untuk menyahuti kepentingan
penguasaan bidang ilmu yang diajarkan, karena dosen
yang ideal adalah dosen yang meneliti, sehingga ilmu-
ilmu yang diajarkannya sebagian berbasis dari hasil
penelitiannya. Kedua, dengan rampungnya penelitian
ini, diharapkan agar hasil penelitian ini dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat sebagai
penggunanya, baik masyarakat perguruan tinggi
maupun masyarakat umumnya, dengan melakukan
diseminasi atau diskusi hasil riset, baik di kalangan
terbatas di lingkungan kampus maupun secara luas, dan
mempublikasikannya sehingga bisa dibaca secara luas,
baik dalam bentuk cetak maupun online. Begitu juga,
hasil riset ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk
pendampingan lebih lanjut dan untuk perumusan
kebijakan pemerintah.

vii
Akhirnya, semoga harapan tentang penelitian yang
berkualitas dan hasilnya yang bermanfaat secara
maksimal bagi masyarakat ini bisa terwujud secara
nyata menuju UIN Antasari yang semakin maju. Âmîn yâ
rabb al-‘âlamîn.

Banjarmasin, 10 November 2018

Wardani

viii
KATA PENGANTAR PENELITI

Segala puja dan puji serta syukur terpanjatkan ke


haribaan ilahi Rabbi, shalawat serta salam terhatur
kepada junjungan alam, Nabi Muhammad Saw., para
sahabat serta semua pengikut beliau hingga yaumil
qiyamah.

Alhamdulillah, akhirnya penelitian ini dapat


diselesaikan sesuai jadwal yang ditetapkan, dan
kemudian dipublikasikan dalam bentuk buku dan
dinikmati oleh khalayak pembaca.

Diselesaikannya penelitian ini tidak dapat


dilepaskan dari bantuan berbagai pihak. Karenanya, di
sini peneliti menghaturkan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang terlibat secara
langsung atau pun tidak langsung dalam penyelesaian
penelitian ini. Mereka itu antara lain:

1. Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., selaku Rektor UIN


Antasari Banjarmasin.

2. Dr. Wardani, M.Ag. selaku kepala pusat penelitian


dan penerbitan UIN Antasari Banjarmasin beserta
segenap jajarannya di pusat penelitian dan
penerbitan.
ix
3. Para narasumber yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk berbagi informasi terkait kajian al-
Qur‘an di tanah Banjar.

4. Ahmad Rafiq, Ph.D sebagai penasehat penelitian


sekaligus reviewer yang telah memberikan banyak
masukan dalam penelitian ini.

5. Kak Supri yang telah bersedia menjadi Asisten


Peneliti sekaligus kawan diskusi yang telah banyak
membantu mengembangkan penelitian ini.

Demikian kata pengantar penelitian ini diakhiri


dengan pengharapan bahwa hasil penelitian dapat
bermanfaat bagi segenap pembaca. Wassalam.

Banjarmasin, November 2018

Peneliti,

Wardatun Nadhiroh, M.Hum

x
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLIT iii


KATA PENGANTAR PENELITI ix
DAFTAR ISI xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………….......... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian ……………………...…………... 8
D. Tinjauan Pustaka …………………………………... 8
E. Kontribusi …………………………...……………... 16
F. Metode Penelitian ………………….……………… 17
G. Sistematika Penulisan …………………..………… 19

BAB II GAMBARAN UMUM TEORI KELISANAN


DAN KEAKSARAAN
A. Definisi Kelisanan dan Keaksaraan ……………… 23
B. Ciri-ciri Kelisanan dan Keaksaraan ……………… 33
C. Tradisi Lisan dan Keaksaraan al-Qur‘an dalam
Ruang dan Makna ………………………………..... 37

BAB III PERSENTUHAN MASYARAKAT BANJAR


DENGAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI LISAN
DAN TULISAN
A. Masyarakat Banjar dalam al-Qur‘an ………...…… 47
B. Bentuk Kelisanan al-Qur‘an Masyarakat Banjar… 55
C. Bentuk Keaksaraan al-Qur‘an Masyarakat Banjar 99

xi
BAB IV DINAMIKA KELISANAN DAN
KEAKSARAAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI
DISKURSIF MASYARAKAT BANJAR........................... 123
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………............ 143
B. Saran ………………………………………............... 145

DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 147

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Data sejarah merekam bahwa karya tulis awal


tentang kajian al-Quran baik berupa terjemahan ataupun
tafsir lokal di Tanah Banjar sangat minim ditemukan.
Padahal Suku Banjar yang mendiami sebagian besar
Pulau Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan
merupakan pemeluk Islam yang religius. Berdasarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah pemeluk
Islam di Kalimantan Selatan mencapai 3.505.846 jiwa
atau sekitar 96, 67%.

Karya selain al-Quran dalam tradisi masyarakat


Banjar pada nyatanya malah cukup banyak ditemukan,
seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad
Arsyad, Ad-Durun an-Nafis karya Syekh Muhamaad
Nafis al-Banjari, Asrar as-Shalah dan Amal Ma’rifah karya
Abdurrahman Siddiq, Parukunan Jamaluddin karya
Fatimah Abdul Wahab Bugis, dan lain-lain. Hasil
pelacakan Mu‘jizah menemukan bahwa banyak sekali
naskah dalam bahasa Arab Melayu di Tanah Banjar
yang penyebarannya sangat massif namun tidak

1
menemukan karya khusus dalam kajian al-Qur‘an
kecuali Qur‘an dalam ukuran plano, 45 cm x 63 cm
dengan tiap awal surat diberi iluminasi yang bagus
dan rapi, bertinta emas yang sudah mulai memudar,
ditemukan di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan
Selatan.1 Dalam tulisan Fathullah Munadi
disebutkan bahwa Qur‘an itu adalah Mushaf Al-
Banjari tulisan tangan Syekh Muhammad Arsyad
dengan qira‘at di sisi-sisinya.2

Minimnya karya tulis tentang al-Qur‘an di Tanah


Banjar bukan berarti menunjukkan ketiadaan
perhatian masyarakat Banjar terhadap al-Qur‘an.
Faktanya, masyarakat Banjar sudah terbiasa
berinteraksi dengan al-Qur‘an sejak kecil. Menginjak
usia enam atau tujuh tahun, anak-anak mereka
dibiasakan belajar mengaji baik di rumah seorang
guru mengaji, di masjid, atau Tempat Pendidikan Al-
Qur‘an (TPA).3 Jika berhasil menamatkan bacaannya

1
Mu’jizah, Mencari Jejak Menelusuri Sejarah: Dari Riau Ke Ternate
(Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2014).
2
Fathullah Munadi, “MUSHAF QIRAAT SYEKH MUHAMMAD
ARSYAD AL-BANJARI DALAM SEJARAH QIRAAT NUSANTARA,”
Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 9, no. 1 (2010).
3
Fathullah Munadi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam
Konteks Kajian al-Quran di Nusantara (Banjarmasin: Antasari Press,
2011), 72.

2
30 Juz, maka diadakan acara batamat Qur’an dengan
rentetan prosesnya. Tradisi batamat Qur’an ini juga
dilakukan oleh calon penganten Banjar yang akan
menikah.4

Selain itu, dalam lingkup studi al-Qur‘an, budaya


Banjar juga mengenal mantra yang diambil dari
fragmen-fragmen al-Qur‘an, seperti mantra untuk
membuat orang rindu kun fayakun hatab dua bidang, hakun
kada hakun amun hati sudah rindang (kun fayakun atap dua
susun, mau tidak mau, kalau di hati sudah rindu),
mantra agar ikan memakan umpan saat memancing wal
yatallathaf wa la yusy’iranna bikum ahada, umpannya tatap,
iwaknya ada.5 Belum lagi amalan sehari-hari orang Banjar
yang juga diambil dari ayat-ayat al-Qur‘an, diamalkan
sebagai jimat pelindung diri, agar murah rejeki, memikat
jodoh, menyembuhkan yang sakit serta tujuan lainnya.
Adapun surah yang paling populer dibaca adalah Surah
Yasin karena berfungsi menangkal makhluk halus yang
biasa mengganggu. Bahkan ada yang disebut dengan
Tali Mubin, yaitu benang hitam yang dibuhul setiap kali

4
M. Suriansyah Ideham et al., Urang Banjar dan Kebudayaannya
(Penerbit Ombak, 2015), 72–73.
5
Alfianoor, “Ayat al-Qur’an dalam Mantra Banjar,” NALAR: Jurnal
Peradaban dan Pemikiran Islam 1, no. 1 (2017): 27–47.

3
sampai pada bacaan kata mubin dalam beberapa ayat
Surah Yasin, lalu digunakan untuk gelang bayi
sebagai penangkal agar tidak sering menangis.6
Bahkan dewasa ini seiring perubahan sosial,
maraknya pendirian rumah-rumah tahfidz al-Qur‘an
di Tanah Banjar menunjukkan bahwa al-Qur‘an
selalu hidup dalam keseharian masyarakat Banjar.

Nampaknya al-Qur‘an di Tanah Banjar hidup


dalam tradisi lisan ketimbang tradisi tulis.
Penelusuran awal ini menemukan adanya
ketidakberimbangan tradisi tersebut. Namun hal ini
dapat dipahami mengingat masyarakat Banjar yang
mendiami Kalimantan Selatan adalah kelompok
etnis yang tidak memiliki aksara dalam sistem
budayanya. Masyarakat Banjar adalah masyarakat
penutur yang bergantung pada sastra lisan atau
tradisi lisan. Perjumpaan masyarakat Banjar dengan
aksara yaitu aksara Arab Melayu dimulai sejak abad
ke-16 bersamaan dengan masuknya Islam di
Kesultanan Banjar.7

6
Alfani Daud, Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar (Pidato
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Madya llmu Sosiologi Agama pada
Fakultas Ushuluddin lAlN Antasari Banjarmasin, 2000), 10.
7
Ideham et al., Urang Banjar dan Kebudayaannya, 49–50.

4
Ketidakpunyaan aksara membuat masyarakat Banjar
―meminjam‖ atau ―memakai‖ aksara Melayu-Arab
dalam tradisi keberaksaraannya sebagaimana terlihat
dalam bahasa penulisan kitab-kitabnya. Yusliani dalam
bukunya menyatakan bahwa penggunaan huruf Arab
Melayu menjadi pengikat identitas orang Banjar,
sekaligus pengikat berbagai komunitas etnis untuk
menerima agama Islam.8 Berkat Bahasa Banjar dengan
tulisan Arab Melayu ini menempatkan Islam sebagai
agama ilmu pengetahuan. Kitab Melayu-Banjar dengan
huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad
Syamsuddin al-Banjari di abad ke-17 menjadi bukti
resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan
tulisan ilmu pengetahuan.9 Walaupun demikian, kitab
Melayu-Banjar yang secara khusus membahas terjemah
atau tafsir al-Qur‘an sejauh ini tidak ada ditemukan.

Ketika suatu masyarakat penutur bertemu dengan


budaya tulisan niscaya akan mengalami ‗pertarungan‘,
hal ini sebagaimana disebutkan Bisri Effendy dalam
―Pengantar Edisi Indonesia‖ buku Walter J.Ong,

8
Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19
(Penerbit Ombak, 2016), 409.
9
Ibid.

5
Kelisanan dan Keaksaraan.10 Namun, hubungan antara
budaya lisan tersebut dan budaya tulisan sebenarnya
adalah hubungan yang relasioner bukanlah
reduksioner, karena pada akhirnya Ong lebih
melihat proses perubahan sejarah manusia
(perubahan kesadaran, berpikir, kepribadian, dan
struktur sosial) yang terjadi dalam pertemuan ini. Di
sisi lain, Walter J. Ong tidak mengelak bagaimana
kelisanan dan keaksaraan sebagai dua kekuatan
kebudayaan silih berganti memperlihatkan hasrat
mendominasi.11 Dalam teori ini akan dilihat
bagaimana dua kekuatan ini mempengaruhi
interaksi budaya masyarakat Banjar dengan al-
Qur‘an secara khusus.

Dalam tradisi lisan dan tradisi teks, kondisi kata-


kata berada dalam kondisi yang sangatlah berbeda.
Kata dalam tradisi lisan tidak akan berdiri sendiri,
Perkataan lisan akan selalu terkait dengan konteks.
Sementara itu, kata-kata sendirian dalam teks.
Dalam menyusun kata-kata sebuah teks, orang yang
menjadi penulis itupun sendirian. Menulis adalah

10
Walter J. Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, trans. Bisri Effendi
(Yogyakarta: Gading Publishing, 2013). Xiii.
11
Ibid.

6
pekerjaan yang solipsistis, berkutat dengan diri sendiri.12

Maka menarik untuk dikaji bagaimana masyarakat


Banjar yang tradisi awalnya adalah masyarakat penutur
di satu sisi dan di sisi lain menjadi audiens dihadapkan
dengan tradisi teks dimana mereka sebagai penulis
sekaligus pembaca dalam bingkai kajian al-Qur‘an.
Kajian ini memberikan justifikasi mengapa kajian al-
Qur‘an di Tanah Banjar sangat sedikit ditemukan. Di sisi
lain, tarik-menarik antara tradisi kelisanan dan
keaksaraan masyarakat Banjar ini tentunya akan
mempengaruhi arah kajian al-Qur‘an yang terus
berkembang di Tanah Banjar.

B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan fokus yang tegas terhadap
permasalahan penelitian yang diangkat, maka dalam
penelitian ini dirumuskan pokok-pokok permasalahan
sebagai berikut:

1. Apa saja tradisi kelisanan al-Qur‘an di Tanah


Banjar?
2. Apa saja tradisi keaksaraan al-Qur‘an di Tanah
Banjar?

12
Ibid., 151.

7
3. Bagaimana dinamika dua tradisi tersebut dalam
bingkai tradisi diskursif al-Qur‘an di Tanah
Banjar?

C. Tujuan Penelitian
Pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah
tersebut merefleksikan tujuan-tujuan kajian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui tradisi kelisanan al-Qur‘an di


Tanah Banjar;
2. Untuk mengetahui tradisi keaksaraan al-Qur‘an
di Tanah Banjar;
3. Untuk mengetahui dinamika dua tradisi tersebut
dalam bingkai tradisi diskursif al-Qur‘an di
Tanah Banjar.

D. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran awal terkait tradisi
kelisanan dan keaksaraan al-Qur‘an di Tanah Banjar,
guna menentukan posisi kajian ini diantara lainnya,
peneliti telah memetakan kajian terdahulu menjadi 2
(dua) bagian, yaitu: pertama, pembahasan tentang kajian
al-Qur‘an di Tanah Banjar secara umum yang telah
dilakukan oleh orang Banjar sendiri ataupun selainnya,
meliputi kajian teks ataupun tradisi lisan; dan kedua,

8
kajian tentang penerapan teori kelisanan dan keaksaraan
dalam beragam bentuknya.

Dalam ranah pertama, karya Alfani Daud, Islam dan


Masyarakat Banjar dan Beberapa Ciri Etos Budaya
Masyarakat Banjar telah mengindikasikan bahwa ayat-
ayat al-Qur‘an telah menjadi bagian tak terpisahkan
dalam keseharian orang Banjar, sebagai amalan
pelindung dan jimat dengan beragam fungsi.13 Pada
tahapan ini, terlihat sangat jelas bahwa yang dimaksud
Alfani dalam bukunya tersebut menyinggung tentang
tradisi kelisanan masyarakat Banjar dalam berinteraksi
dengan al-Qur‘an. Sementara itu, isyarat keberadaan
tradisi teks terkait al-Qur‘an secara khusus tidak
ditemukan dalam karya ini.

Selanjutnya masih membicarakan tradisi lisan


masyarakat Banjar dalam bentuk interaksinya dengan al-
Qur‘an, Alfiannor secara khusus mengulas tentang
mantra Banjar yang menggunakan fragmen ayat al-
Qur‘an pada tulisannya yang berjudul ―Ayat al-Qur‘an
dalam Mantra Banjar‖.14 Di dalamnya, penulis
memberikan contoh sejumlah mantra dari fragmen al-
13
Alfani Daud, Islam dan masyarakat Banjar (RajaGrafindo Persada,
1997); Daud, Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar.
14
Alfianoor, “Ayat al-Qur’an dalam Mantra Banjar.”

9
Qur‘an yang biasa dibaca oleh masyarakat Banjar,
misalnya mantra guna-guna pengikat lawan jenis iyya
kana’budu iyya kanasta’in, hatinya budu, matanya kada
kalaian (hatinya bodoh matanya tidak kemana-mana).
Iyya kana’budu iyya kanasta’in sendiri merupakan
potongan QS. al-Fatihah: 5. Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan analisis sastra lisan untuk menemukan
gambaran kebudayaan yang melatarbelakanginya. Data
dari tulisan ini akan digunakan peneliti untuk
melengkapi informasi tentang tradisi kelisanan al-
Qur‘an masyarakat Banjar.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh peneliti sendiri


terhadap Kitab Sanjata Mu’min karya Husin Qadri, yang
di dalamnya memuat amalan bacaan keseharian orang
Banjar yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur‘an,
shalawat, dan wirid-wirid.15 Tulisan ini mengulas
tentang jejak rekam tradisi kelisanan al-Qur‘an yang
sudah dibukukan dalam sebuah kitab amalan. Di
dalamnya dibahas tentang arti penting amalan bagi
orang Banjar dan contoh amalan ayat al-Qur‘an yang

15
Wardatun Nadhiroh, “KITAB SANJATA MU’MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan
Budaya 11, no. 1 (2018): 119–143.

10
sering dibaca. Tulisan ini merupakan kajian dari
fenomena living Qur‘an yang ada di Banjar.

Adapun tulisan yang mengindikasikan adanya


tradisi keaksaraan al-Qur‘an di Tanah Banjar adalah
karya Fathullah Munadi, Mushaf Qira’at Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Sejarah Qira’at
Nusantara dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam
Konteks Kajian al-Qur’an di Nusantara.16 Tulisan
pertamanya yang dimuat dalam Jurnal Al-Banjari Edisi
Januari 2010 tersebut berbicara tentang realitas sejarah
al-Qur‘an melalui praktek qira‘at Syekh Arsyad yang
dilacak melalui mushaf tulisan tangannya. Dalam
menganalisis mushaf Syekh Arsyad ini, Fathullah
menggunakan pendekatan filologis dan
menghubungkan temuannya tersebut dengan konteks
qira‘at Nusantara. Sementara pada bukunya yang
diterbitkan Antasari Press Tahun 2011, Fathullah
mengulas kajian al-Qur‘an Syekh Arsyad dalam konteks
yang lebih luas. Penulis menganalisis kajian al-Qur‘an
Syekh Arsyad melalui 4 (empat) karyanya, yaitu Sabilal
Muhtadin, Tuhfatur Raghibin, Kanzul Ma’rifah, dan

16
Munadi, “MUSHAF QIRAAT SYEKH MUHAMMAD ARSYAD
AL-BANJARI DALAM SEJARAH QIRAAT NUSANTARA”; Munadi,
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam konteks kajian al-Quran di
Nusantara.

11
Mushaf Syekh Arsyad. Karya ini dapat menjadi pijakan
awal tentang tradisi keaksaraan al-Qur‘an di Tanah
Banjar, walaupun belum memberikan gambaran penuh
karena terfokus hanya pada satu tokoh, yaitu Syekh
Arsyad. Sementara fokus kajian peneliti adalah berusaha
mendapatkan gambaran secara holistik tentang
perkembangan kajian al-Qur‘an di Tanah Banjar dalam
tradisi lisan maupun tulisan.

Karya lainnya yang juga menyinggung tradisi


keaksaraan masyarakat Banjar, walaupun tidak khusus
membahas kajian al-Qur‘an adalah Islamisasi Banjarmasin
(Abad ke-15 sampai ke-19) karangan Yusliani Noor.17 Di
dalam bukunya ini, Yusliani menyatakan bahwa Bahasa
Melayu-Banjar adalah bahasa komunikasi sekaligus
bahasa ilmu pengetahuan yang digunakan dalam
berbagai kitab, sementara penggunaan huruf Arab yang
dikenal dengan huruf Melayu-Arab menjadi pengikat
identitas orang Banjar sekaligus pengikat berbagai
komunitas etnis untuk menerima agama Islam.
Masyarakat Banjar menganggap bahwa huruf Arab dan
angka Arab memiliki nilai yang sakral yang dapat
menangkis serangan gaib dari kelompok yang ingin

17
Noor, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19.

12
menguji kehebatan Islam, menjadi rajah, mantra, bahkan
alat adu kesaktian.18 Kajian ini merupakan pondasi awal
peneliti untuk mengatakan bahwa tradisi keaksaraan
masyarakat Banjar adalah tradisi Arab Melayu. Namun
data ini tidak cukup untuk menemukan alasan
ketiadaan kitab atau karya-karya tentang al-Qur‘an di
Tanah Banjar padahal media tulisnya sudah tersedia,
walaupun merupakan ‗pinjaman‘.

Ahmad Rafiq dalam disertasinya The Reception of the


Quran in Indonesia: A Case Study of the Place of the Quran
in a Non-Arabic Speaking Community menyatakan bahwa
model resepsi masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an
didapat melalui proses dual apropriasi, dimana mereka
mengidealkan contoh masyarakat Muslim awal dengan
meletakkannya pada konteks lokal mereka.19 Pada
akhirnya, sering kali dalam proses resepsi terhadap al-
Qur‘an, masyarakat Banjar tidak terlalu memperdulikan
kandungan maknanya asalkan tindakan tersebut
sebagaimana dicontohkan oleh role model mereka.
Penelitian ini pada dasarnya menjadi pijakan peneliti

18
Ibid., 405–416.
19
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case
Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community
(Temple University, 2014).

13
untuk memahami logika berinteraksi masyarakat Banjar
dengan al-Qur‘an, namun karena disertasi ini
diterbitkan pada tahun 2014 tentunya data penelitiannya
hanya sampai pada masa tersebut. Padahal mengingat
perubahan zaman yang sangat massive dipengaruhi
oleh perkembangan media dan pesatnya beragam
paham keagamaan yang masuk, hal ini sedikit banyak
akan sangat mempengaruhi data yang ditemukan. Oleh
karena itu, selain menelaah tentang bentuk interaksi
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an, penelitian ini juga
bermaksud menganalisis kontestasi yang terjadi antara
dua tradisi, yakni lisan dan tulisan dalam
mengakomodasi persentuhan masyarakat Banjar dengan
al-Qur‘an.

Selanjutnya, dalam ranah kedua, kajian tentang


penerapan teori kelisanan dan keaksaraan ini banyak
ditemukan dalam menganalisis manuskrip atau karya
sastra. Dalam hal ini, peneliti hanya memberikan
sampel. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad
Walidin dalam tulisannya yang berjudul Menapak Tilas
Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kesusasteraan Arab Pra-

14
Islam.20 Penulis mengkaji tradisi kelisanan dan
kesusasteraan Arab Pra-Islam berdasarkan elemen-
elemen konseptual Ruth Finnegan tentang tradisi lisan
dan seni verbal, meliputi performansi, komposisi, dan
transmisi. Pada akhirnya tulisan ini menjustifikasi
bahwa tradisi sastra lisan Arab Pra-Islam lebih dominan
ketimbang sastra tulisnya.

Tulisan kedua berjudul Nilai-nilai Pendidikan Karakter


Bangsa dalam Khazanah Sastra Sunda Klasik: Transformasi
dari Kelisanan (Orality) ke Keberaksaraan (Literacy) Carita
Pantun Mundinglaya di Kusumah (Kajian Struktural-
Semiotik dan Etnopedagogi) ditulis oleh Dedi Koswara,
Dingding Haeruddin, dan Ruswendi Permana.21 Para
penulis menyatakan bahwa transformasi yang terjadi
dari kelisanan Carita Pantun Mundinglaya di Kusumah
(CPMK) ke keberaksaraannya ada pada tataran bentuk
formal, sementara tataran isi cerita tetap sama.
Transformasi ini secara semiotik dimaknai sebagai

Muhammad Walidin, “MENAPAK TILAS KELISANAN DAN


20

KEBERAKSARAAN DALAM KESUSASTERAAN ARAB PRA-


ISLAM,” TAMADDUN 14, no. 2 (2014): 257–272.
21
Dedi Koswara, Dingding Haerudin, and Ruswendi Permana, “Nilai-
Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Khazanah Sastra Sunda Klasik:
Transformasi Dari Kelisanan (Orality) Ke Keberaksaraan (Literacy) Carita
Pantun Mundinglaya Di Kusumah (Kajian Struktural-Semiotik Dan
Etnopedagogi),” Jurnal Penelitian Pendidikan 14, no. 2 (2016).

15
upaya melestarikan dan mempertahankan eksistensi
ajaran moral yang tertuang dalam cerita pantun ke
wawacan sejalan dengan konteks Sunda saat itu.

Dari dua contoh tulisan di atas, nampaknya


penerapan teori kelisanan dan keaksaraan terhadap
manuskrip atau karya sastra sangat bersinggungan
dengan kondisi masyarakat tempat tradisi itu lahir
sehingga segala pertarungan dan transformasinya tidak
bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat pemiliki tradisi. Oleh karena itu, pada
ranah ini, kajian terdahulu sangat memberikan
wawasan mengenai arah penelitian yang akan dilakukan
peneliti nantinya. Perkembangan tradisi kelisanan dan
keaksaraan al-Qur‘an di Tanah Banjar akan tergambar
dengan baik pada akhirnya jika peneliti dapat
memahami dan merekonstruksi perubahan struktur
sosial-budaya masyarakat Banjar terkait kesadaran dan
pola pikirnya.

E. Kontribusi
Temuan penelitian ini diharapkan memberikan
gambaran yang jelas dan holistik tentang kajian al-
Qur‘an di Tanah Banjar meliputi bentuk persentuhan
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an dalam tradisi lisan

16
dan tulisnya yang selama ini sangat minim data. Bagi
para pengkaji dan peminat Studi al-Qur‘an, hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan
baru dan mewarnai khazanah kajian al-Qur‘an di
Nusantara.

F. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis
penelitian campuran (mixed research) karena mengkaji
realitas interaksi masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an
sekaligus menelaah karya tulis orang Banjar yang
tersebar di masyarakat yang merekam jejak kajian al-
Qur‘an. Adapun sifat penelitian adalah kualitatif dengan
metode penulisan deskriptif analitis, mengingat fokus
penelitian adalah memperoleh gambaran yang jelas dan
bersifat holistic tentang model kajian al-Qur‘an di Tanah
Banjar dengan menampilkan data-data berupa kata-kata
tulis dan lisan dari masyarakat Banjar Kalimantan
Selatan setelah dilakukan analisis dan interpretasi data.

Sumber data penelitian ini terbagi dua, yaitu data


primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang diperoleh dari sumber-sumber primer yang
memuat informasi utama berkenaan dengan tradisi lisan
maupun tulis kajian al-Qur‘an di Tanah Banjar. Data

17
primer ini diperoleh dengan observasi dan wawancara
mendalam guna mengumpulkan informasi ataupun dari
karya-karya tulis para tokoh sebelumnya yang terlacak
memuat kajian al-Qur‘an di dalamnya, baik di bidang
Tasawuf, Fiqh, Manaqib, atau bidang lainnya. Adapun
data lain yang membahas tentang kajian al-Qur‘an
Nusantara ataupun penerapan teori kelisanan dan
keaksaraan atau informasi lainnya yang terkait akan
menjadi data sekunder.

Penelitian ini menggunakan pendekatan herme-


neutika fenomenologis yang menjadikan teori kelisanan
dan keaksaraan Walter J. Ong sebagai pijakan
analisisnya. Hal ini diperlukan untuk menampilkan data
kajian al-Qur‘an secara lisan dan tertulis yang
ditemukan di Tanah Banjar itu secara apa adanya
dengan interpretasi se-objektif mungkin. Karena pada
dasarnya, masalah yang diangkat dalam penelitian ini
bersifat memaparkan realitas di dalam masyarakat.

Adapun langkah pengumpulan dan analisis data


penelitian ini dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan,
yaitu:

1. Menelusuri seluruh karya yang merekam jejak


kajian al-Qur‘an di Banjar, baik itu yang resmi

18
diperjualbelikan ataupun disimpan oleh orang
atau lembaga tertentu, masih di dalam wilayah
Kalimantan Selatan ataupun selainnya
2. Memilah dan memisahkan data dan informasi di
dalamnya, antara karya yang menyimpan
informasi keberadaan tradisi lisan dan yang
membahas tradisi tulisnya.
3. Mendeskripsikan data dan informasi tersebut.
4. Melakukan wawancara kepada tokoh penting
untuk kroscek data tersebut sekaligus penguat
argumentasi.
5. Melakukan analisis dengan pendekatan
hermeneutika fenomenologis berlandaskan teori
kelisanan dan keaksaraan Walter J. Ong.
6. Menyusun laporan.

G. Sistematika Penulisan
Agar data yang ditemukan tersusun secara siste-
matis dalam penyajiannya, maka penulis merancang
sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan, yang terbagi dalam tujuh


subbab, yaitu latar belakang masalah, yakni peneliti
memaparkan argumentasi pemilihan tema dan
menjelaskan problem akademis yang melatarbelakangi

19
penelitian; rumusan masalah, yang berisi butir-butir
pertanyaan yang secara eksplisit menjelaskan problem
akademis yang diteliti; tujuan penelitian, yakni
pernyataan tegas terkait fokus dan temuan penelitian
yang diharapkan; tinjauan pustaka, yang berisi uraian
akan kajian dan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, sekaligus mempertegas posisi penulis
dalam bidang penelitian ini; kontribusi, yaitu harapan
capaian baik bagi kepentingan intern penulis maupun
dunia akademik pada umumnya; metode penelitian,
yang menjelaskan jenis penelitian dan sifat penelitian,
pendekatan, sumber data, serta metode pengumpulan
data dan analisa yang digunakan dalam penelitian; dan
sistematika pembahasan, berupa gambaran isi penelitian
secara terorganisir.

Bab II berisi gambaran umum tentang teori kelisanan


dan keberaksaraan yang kemudian didudukkan dalam
bingkai tradisi diskursif al-Qur‘an. Dengan meng-
hadirkan uraian ini, diharapkan mampu mengantarkan
pembaca untuk memahami kerangka umum pola kajian
al-Qur‘an dalam budaya Banjar sehingga pemahaman
untuk materi di bab-bab selanjutnya lebih mudah
dilakukan.

20
Bab III merangkum beragam bentuk persentuhan
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an dalam tradisi lisan
dan tulisan di lapangan. Dalam bab ini nantinya
dilakukan pemetaan kajian beserta penjelasan dari
masing-masing ragam persentuhan tersebut.

Bab IV akan berbicara tentang kontestasi tradisi lisan


dan tulisan sebagai dampak persinggungan masyarakat
Banjar dengan al-Qur‘an serta peran aksara Jawi sebagai
aksara pengetahuan masyarakat Banjar. Baru setelahnya
dapat disimpulkan bagaimana rasionalitas beragama
masyarakat Banjar dibangun terhadap al-Qur‘an.

Bab V berisi kesimpulan yang merupakan jawaban


dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah
di bab I dan saran-saran yang lebih bersifat dorongan
akademis ditujukan untuk peneliti selanjutnya,
khususnya yang mengambil tema penelitian tentang
kajian al-Qur‘an yang berkembang di Kalimantan
Selatan.

21
22
BAB II
GAMBARAN UMUM TEORI KELISANAN DAN
KEAKSARAAN

A. Definisi Kelisanan dan Keaksaraan

Kata ―lisan‖ dalam bahasa Melayu awalnya


merupakan kata pinjaman dari kata Arab yang
bermakna ―lidah‖ dan ―bahasa‖, sebagaimana juga
istilah tongue dalam bahasa Inggris yang juga bermakna
―bahasa‖. Terdapat juga konotasi ―lisan‖ yang
mengandung arti ―dengan suara‖.22 Hingga awal abad
ke-20, definisi ini masih dipertahankan. Sunatri
menyebutkan bahwa dalam kamus Klinkert (1983),
―lisan itu mengandung makna ―tong, tongval, taal;
dengan lisan, mondeling‖ (lidah, dialek, bahasa; dengan
lisan, diucapkan dengan suara).23

Dalam perkembangan selanjutnya, kata ―lisan‖


dalam bahasa Melayu/Indonesia mempe-roleh makna
yang lebih luas dari kata oral dalam bahasa Inggris.
Bahkan dalam kamus resmi bahasa Indonesia, kata

22
Sastri Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An) (Jakarta: KPG, 2013), 1.
23
Ibid.

23
―lisan‖ memiliki makna ―kata-kata yang diucapkan;
berkenaan dengan kata-kata yang diucapkan; sesuatu
yang disampaikan dengan mulut (bukan dengan
surat).24 Hingga sekarang, belum ada kesadaran bahwa
sejak puluhan tahun yang lalu, kata ―lisan‖ telah
menjadi istilah dengan konotasi ―tidak beraksara‖.
Sunatri menyebutkan bahwa sebagian besar
perkampungan di pedalaman Mentawai seperti di
Maddobag, Bulukubug, dan Mongga di awal tahun 90-
an disebut sebagai masyarakat lisan karena sulitnya
akses pendidikan di sana.25

Dalam bahasa Inggris, ada istilah literature (sastra,


kepustakaan) yang pada dasarnya berarti ―tulisan‖,
mencakup sekumpulan bahan tertulis. Namun tidak ada
konsep khusus untuk menyebut warisan yang murni
lisan, seperti dongeng lisan tradisional, peribahasa, doa,
ungkapan berformula, atau produksi oral lain.26

Pada tahun 1963, Eric Havelock mulai menggunakan


istilah orality untuk membedakan system lisan dari

24
Pusat Bahasa (Indonesia), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 937.
25
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 2.
26
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 14–15.

24
system tulisan.27 Penggunaan konsep ini dinilai sebagai
sebuah terobosan yang besar karena selama ini kelisanan
selalu dinilai dari system nilai keaksaraan. Sebelumnya,
orang yang melek huruf atau beraksara menganggap
orang yang tidak beraksara sebagai buta huruf. Kondisi
yang dianggap sebagai suatu kekurangan, ketiadaan,
dan kelemahan.28 Anggapan ini pula yang diyakini oleh
masyarakat beraksara umumnya. Namun berdasarkan
teori Havelock, masyarakat lisan memiliki sistemnya
sendiri hingga muncullah konsep ―kelisanan dan
keaksaraan‖; orality and literacy.

Selanjutnya, Walter J. Ong dalam karya-karyanya


The Presence of the Word (1967), Rhetoric, Romance and
Technology (1971), dan Interfaces of the Word (1977)
melakukan kajian mendalam terhadap kelisanan dan
keaksaraan ini.29 Semua pendapat dan temuannya di

27
Eric Alfred Havelock, Preface to Plato (Blackwell, 1963).
28
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 4.
29
Baca: Walter J. Ong, The Presence of the Word: Some Prolegomena
for Cultural and Religious History (Yale University Press, 1967); Walter J.
Ong, Rhetoric, Romance, and Technology: Studies in the Interaction of
Expression and Culture (Cornell University Press, 2012); Walter J. Ong,
Interfaces of the Word: Studies in the Evolution of Consciousness and
Culture (Cornell University Press, 2012).

25
atas terangkum dalam bukunya Orality and Literacy
(1982).30

Ong menjelaskan tentang pentingnya sifat lisan


bahasa. Meskipun manusia berkomunikasi dalam
banyak cara yang tak terhitung dengan menggunakan
seluruh inderanya, khusunya penglihatan dan
pendengaran, namun terdapat beberapa komunikasi
bukan lisan yang juga kaya, seperti gerak tubuh
(gesture). Komunikasi dengan menggunakan artikulasi
suara menempati tempat yang paling utama dalam cara
manusia berhubungan satu sama lain.31 Ong
memperlihatkan betapa unggulnya sifat lisan semua
bahasa dengan menjelaskan bahwa dari sekitar 3000
bahasa yang ada di dunia hanya 78 bahasa yang
menghasilkan tulisan sastra.32

Kata oral (lisan) dewasa ini digunakan dalam dua


cara yang berbeda. Pertama, sebagai lawan dari kata
tertulis dan kedua, sebagai lawan beraksara, dan
konotasi kedua istilah ini sangat bergantung pada

30
Walter J. Ong, Orality and Literacy (Routledge, 2013); Ong,
“Kelisanan Dan Keberaksaraan (Terj. Bisri Effendi).”
31
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 4–5.
32
Ong, Orality and Literacy, 7; Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan,
9.

26
konteks dan lawan makna kata itu.33 Konsep ―oral‖ pada
dasarnya bukan menyangkut beraksara atau tidaknya
penutur suatu bahasa, namun jangkauan oral tersebut
sangat luas, mencakup segala sesuatu yang muncul dari
kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut sampai
kepada bahan ceramah dan kuliah yang dijelaskan
secara lisan. Jadi, orality adalah satu system wacana yang
tidak tersentuh huruf.34

Ong membagi orality (kelisanan) ini menjadi dua,


yaitu kelisanan primer dan kelisanan sekunder.
Kelisanan primer digunakan untuk menyebut kelisanan
suatu budaya yang sepenuhnya tidak tersentuh
pengetahuan apa pun mengenai tulisan atau cetakan.
Kemampuan mengingat adalah kunci utama kelisanan
primer untuk menyimpan, menyampaikan, dan
mengulang kembali. Pembicara dan pendengar berada
dalam satu ruangan yang sama (situasi tatap muka),
tempat, dan waktu terbatas untuk mendengarkan tradisi

33
Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay
World (University of California Press, 1987), 9–10.
34
Amin Sweeney, “Surat Naskah Angka Bersuara; Ke Arab Mencari
Kelisanan,” in Metodologi Kajian Tradisi Lisan, ed. Pudentia MPSS
(Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998), 83–102.

27
lisan tertentu yang disuarakan (bunyi) dengan
bermakna.35

Adapun kelisanan sekunder adalah suatu kelisanan


baru yang disokong oleh budaya teknologi tinggi masa
kini semisal telepon, radio, televisi, dan alat elektronik
lainnya yang keberadaan dan fungsinya tergantung
pada tulisan dan cetakan. Budaya lisan primer sekarang
nyaris tidak ada karena semua budaya mengenal tulisan
dan memiliki pengalaman mengenai efeknya. Namun
dalam level yang berbeda, banyak budaya dan
subbudaya, bahkan dalam suasana teknologi tinggi
mempertahankan sebagian besar pola pikir kelisanan
primer.36 Hal yang terjadi dalam tradisi kelisanan al-
Qur‘an di tanah Banjar.

Tulisan membuat ―kata-kata‖ tampak menyerupai


benda karena dia merupakan tanda nyata yang
mengalamatkan kata pada pemecah sandi; ―kata-kata‖
yang tertera di dalam teks dan buku dapat dilihat dan
juga disentuh. Namun kata-kata tertulis hanyalah residu
sementara tradisi lisan tidak memiliki residu. Kata-kata

35
Maria Matildis Banda, “TRADISI LISAN DAN KELISANAN
SEKUNDER DI ERA GLOBAL” (n.d.): 10.
36
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 15.

28
awalnya didasarkan pada ujaran lisan namun tulisan
menguncinya dalam sebuah visual selamanya.37

Budaya lisan mampu menghasilkan performa verbal


yang kuat dan indah serta bernilai artistik dan
kemanusiaan yang tinggi akan hilang begitu tulisan
telah menguasai kesadaran. Namun tanpa tulisan,
kesadaran manusia untuk mencapai potensi tertingginya
melalui hasil karya-karya indah dan kuat tidak akan
terjadi. Dalam pengertian ini, kelisanan perlu
menghasilkan dan ditakdirkan untuk menghasilkan
tulisan. Keaksaraan mutlak diperlukan bukan hanya
untuk perkembangan sains, tetapi juga sejarah, filsafat,
pemahaman analitis atas sastra atau seni, hingga
menjelaskan bahasa (termasuk ujaran lisan) itu sendiri.38

Relasi antara kelisanan dan keberaksaraan diperkuat


oleh teknologi dan media komunikasi. Penyampaian
tradisi lisan (misalnya dongeng) yang terbatas pada
situasi tatap muka secara langsung, dalam ruangan
terbatas, dan waktu terbatas, berubah. Kelisanan dapat
terjadi tanpa tatap muka (radio), pembicara tidak
melihat pendengar tetapi pendengar melihat pembaca

37
Ibid., 15–16.
38
Ibid., 19.

29
namun tidak dalam konteks tatap muka (televisi). Dialog
interaktif secara lisan dengan media radio maupun
televisi hadir sebagai bagian dari perubahan.39

Terkait relasi ini, Ong menyatakan bahwa kelisanan


bukanlah hal ideal, dan tidak pernah demikian.
Mendekati kelisanan secara positif bukan berarti
menganjurkannya sebagai kondisi permanen untuk
budaya mana saja. Keaksaraan membuka peluang bagi
kata dan bagi eksistensi manusia yang tak terbayangkan
tanpa tulisan. Budaya-budaya lisan saat ini menghargai
tradisi lisan mereka dan meratapi hilangnya tradisi ini,
tetapi tak pernah dijumpai atau mendengar budaya lisan
yang tidak ingin mencapai keaksaraan secepat mungkin.
Kelisanan dapat menghasilkan karya-karya di luar
jangkauan orang-orang melek aksara, misalnya Odyssei.
Kelisanan juga tak pernah sepenuhnya hilang: membaca
suatu teks berarti melisankannya. Baik kelisanan
maupun keaksaraan dari kelisanan diperlukan bagi
evolusi kesadaran.40

Dalam bukunya ―Kelisanan dan Keberaksaraan


dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau
39
Maria Matildis Banda, “Teori Modal Dalam Pewarisan Tradisi
Lisan,” Sastra, Budaya, dan Perubahan Sosial (2016): 40.
40
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 264.

30
(1859-1940)‖, Sunatri menyebutkan bahwa pencapaian
terbesar Ong adalah pembentukan ilmu noetika,
walaupun Ong tetap menyebutnya dengan Orality and
Literacy dalam judulnya.41 Untuk mendefinisikannya,
Sunatri mengutip teori Sweeney (1991: 100) bahwa
noetika adalah kajian terhadap sistem wacana yang
berwujud dalam suatu masyarakat, baik lisan ataupun
beraksara; juga lisan ataupun tertulis, untuk
membentuk, menyampaikan, menyimpan, melestarikan,
serta meraih kembali segala macam ilmu pengetahuan
yang tersimpan itu. Rangkumannya amat luas, meliputi
komposisi lisan, baik yang berbentuk istimewa maupun
bersahaja, yang melewati jajaran budaya manuskrip,
cetak, dan elektronik.42

Noetika merupakan pendekatan ideal untuk wacana


mana saja karena tidak terikat dengan praduga atau
asumsi dari budaya asing, melainkan pelaksanaan kajian
yang mengandalkan suatu situasi yang spesifik pada
budaya yang dikaji, dalam hal ini adalah kelisanan dan
keaksaraan terkait al-Qur‘an di tanah Banjar.

41
Sunarti, Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat Kabar
Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An), 22.
42
Ibid., 22–23.

31
Kehadiran tulisan membuat beban atas daya ingat
relatif berkurang, dibandingkan situasi dalam budaya
lisan primer, karena ilmu yang dilestarikan dapat
direkam melalui tulisan. Namun peralihan media ini
tidak melalui tahap hitam putih, karena orang
keberaksaraan masih berbicara walaupun dengan cara
dan pola pikir yang baru. Istilah oral residue (sisa-sisa
lisan) dalam tulisan memberikan kesan bahwa unsur-
unsur lisan masih ditemukan dalam gaya lisan system
beraksara, orang mengandalkan prinsip komposisi lisan
dan hasilnya dituliskan. Hal ini dalam teori Sweeney
disebut sebagai ―orientasi lisan‖.43

Orientasi lisan berarti kecenderungan untuk


menggunakan, secara tidak sengaja, ciri-ciri yang
biasanya diasosiasikan dengan komposisi verbal tidak
beraksara. Orientasi demikian merujuk pada 1)
penggunaan kelaziman yang berfungsi dalam komposisi
lisan untuk mencapai komunikasi yang efektif
sementara jika digunakan dalam komposisi beraksara
tidak diperlukan; 2) ketidakmampuan memanfaatkan
kemungkinan baru yang ditawarkan oleh keaksaraan.
Kedua hal ini pada akhirnya akan memperlihatkan

43
Sweeney, A Full Hearing, 270–273.

32
aspek tumpang tindih yang hanya dibedakan oleh
perspektif melihatnya.

B. Ciri-ciri Kelisanan dan Keaksaraan


Dalam budaya lisan primer, ungkapan ―mencari
kata‖ merupakan frasa kosong, tidak memiliki makna
sama sekali. Tanpa tulisan, kata-kata tidak memiliki
kehadiran visual, bahkan ketika objek-objek yang
diwakili bersifat visual. Kata-kata adalah suara. Kata
tersebut bisa ―dipanggil‖ berulang kali, namun tak
dapat ―dicari karena ia tidak memiliki fokus ataupun
jejak (metafora visual, menunjukkan ketergantungan
pada tulisan), bahkan jalur lintasan.44 Dalam budaya ini,
proses mnemonic dan formula akan sangat membantu
dalam mempertahankan dan memunculkan kembali
pemikiran dengan cermat. Pikiran menjelma dalam pola-
pola ritmis, pengulangan atau antitesa, dan formula
lainnya yang begitu didengar akan mudah muncul di
pikiran ataupun untuk disimpan dan dipanggil
kembali.45 Pada akhirnya, memikirkan sesuatu dengan
istilah yang tidak formulawi, tidak berpola, tidak
mnemonic hanya kan menjadi pemborosan waktu jika

44
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 47.
45
Havelock, Preface to Plato, 87-96, 131-132, 294–296.

33
mungkin dilakukan, karena pikiran semacam itu begitu
selesai diupayakan tidak akan bisa dimunculkan
kembali secara efektif dan hanya akan menjadi sekedar
lintasan pikiran.46

Struktur dan komposisi lisan kerap mengandalkan


pragmatika atau kenyamanan penuturnya sementara
struktur tulisan mengandalkan sintaksis atau
pengorganisasian wacana itu sendiri. Hal ini terkait
dengan ketergantungan tradisi lisan dengan formula
untuk memacu ingatan.47 Pengetahuan dalam tradisi
lisan harus terus-menerus diulang (recall), kalau tidak
dia akan hilang. Namun persentuhan dengan tulisan
membuat cara menyimpan pengetahuan tidak hanya
melalui formula hafalan melainkan dalam teks tertulis. 48

Bagi sebuah budaya lisan, mempelajari atau


mengetahui berarti mencapai identifikasi komunal yang
akrab dan empatik dengan yang diketahui, atau dengan
kata lain ―menghayatinya‖.49 Sementara tulisan
memisahkan antara yang mengetahui dengan yang
diketahui, dengan kata lain terjadi ―objektivitas‖.
46
Ong, Orality and Literacy, 53.
47
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 55–57.
48
Ibid., 34.
49
Havelock, Preface to Plato, 145–146. 145-146.

34
Tulisan membentuk apa yang disebut dengan bahasa
―bebas konteks‖ atau ―wacana mandiri‖, wacana yang
tidak bisa langsung dipertanyakan atau diperdebatkan
sebagaimana ujaran lisan karena wacana tertulis telah
terlepas dari penulisnya. Seorang pengarang dapat
didebat jika dia dapat dijangkau, tetapi pengarang buku
mana pun tidak dapat dijangkau sehingga tidak ada cara
untuk menolak suatu teks secara langsung. Sebuah teks
yang menyatakan suatu kekeliruan namun telah beradar
beredar selamanya akan menyatakan kekeliruan
tersebut. Oleh karena itu, Ong menyatakan bahwa teks
secara inheren bersifat bandel.50

Pendengaran (hearing) bukan penglihatan (sight)


telah mendominasi dunia puitis lama dengan banyak
cara signifikan, bahkan jauh sebelum tulisan ada. Dalam
masyarakat yang menyimpan sisa kelisanan, tulisan
hanya sekedar pelengkap bagi pendengaran dan
berfungsi hanya untuk mendaur ulang kembali
pengetahuan ke dunia lisan seperti yang terjadi dalam
ceramah maupun pembacaan sastra.51

50
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 117–118.
51
Ibid., 179.

35
Dalam budaya naskah dengan sifat oral-aural yang
kuat seperti itu, para pembaca menyuarakan teks yang
ditulis tangan yang diletakkan di hadapan mereka.
Sering juga pembacaan naskah merupakan kegiatan
bersama dan kadang kala diadakan dalam acara adat
istiadat ataupun ritual.52 Penyuaraan ini, membaca
lambat dengan suara keras, bahkan ketika sedang
sendirian merupakan upaya melekatkan materi bacaan
dalam ingatan.

Tulisan menyusun kembali kesadaran, artinya


bahwa kesadaran manusia ditransformasikan ketika
budaya kelisanan diambil alih oleh budaya
keberaksaraan. Hal yang sama juga dapat dikatakan
ketika cetakan menggantikan tulisan tangan: cetakan
memperkuat dan mentransformasi efek-efek tulisan atas
pikiran dan perasaan manusia. Tulisan memindah kata-
kata dalam dunia suara ke ruang visual namun cetakan
mengunci kata-kata tersebut dalam posisi dan
strukturnya di ruang itu secara lebih mutlak.53

52
Mikihiro Moriyama, “Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi
Tulisan Tangan Dan Cetakan Dalam Bahasan Sunda Pada Paruh Kedua
Abad Ke-19,”,” Konferensi Kesusastraan XV, Fakultas Sastra Universitas
Sam Ratulangi Manado (2004): 4.
53
Ong, Kelisanan Dan Keberaksaraan, 182–183.

36
Terlepas dari perbedaan dua hal di atas, penelitian
ini tidak mengembangkan kebiasaan berpikir dikotomis
antara keberaksaraan dan kelisanan sebagaimana yang
digagas oleh Irene Kancades dalam bukunya Talk Fiction:
Literature and the Talk Explosion.54 Fokus penelitian ini
bermaksud mendeskripsikan beragam tradisi kelisanan
dan keaksaraan al-Qur‘an yang hidup dalam masyarakat
Banjar yang pada perkembangannya saling tumpang
tindih antara satu dan lainnya.

C. Tradisi Lisan dan Keaksaraan al-Qur’an dalam


Ruang dan Makna

Tradisi lisan merujuk kepada segala bentuk warisan


dan tradisi yang lahir dalam sesuatu kelompok
masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk
perantaraan lisan. Ia merupakan satu cara masyarakat
menyampaikan sejarah lisan, kesusteraan, perundangan
dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa
sistem tulisan.55 Tradisi lisan dipandang sebagai ruang
ekspresi lisan dan wacana sebelum ditulis dalam tradisi
tulisan. Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang

54
Irene Kacandes, Talk Fiction: Literature and the Talk Explosion (U
of Nebraska Press, 2001).
Banda, “TRADISI LISAN DAN KELISANAN SEKUNDER DI
55

ERA GLOBAL,” 4.

37
bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup
bermakna sebelum keberaksaraan dituliskan.56 Dalam
konteks ruang, tradisi lisan dan tulisan tidak lagi hanya
sekedar tradisi yang berbeda satu sama lainnya,
keduanya merupakan penanda adanya sebuah
diskursus yang berlangsung dalam suatu masyarakat
atau komunitas tertentu.

Untuk melihat lebih dalam persoalan tradisi lisan


dan keaksaraan al-Qur‘an dalam masyarakat Banjar,
penelitian ini akan menggunakan tawaran Talal Asad
tentang Discursive Tradition (Tradisi Diskursif). Talal
melihat ada permasalahan yang sangat krusial ketika
memandang bahwa Islam sebagai tradisi atau cara
hidup yang merujuk pada kehidupan yang telah
dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dalam
hal ini diyakini bahwa tradisi secara ontologi adalah
lawan dari rasionalitas dan negosiasi karena tradisi
dianggap sebagai bagian replika dari masa lalu yang
tidak bisa diganggu gugat.57

56
Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika Dalam Kata Dan Sketza
(Yogyakarta: Kanisius, 2006).
57
Ovamir Anjum, “Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and
His Interlocutors” 27, no. 3 (2007): 656–672.

38
Untuk melihat persoalan ini lebih jernih, apa yang
disebut oleh Redfield dengan tradisi besar dan tradisi
kecil dalam agama dapat diambil. Tradisi besar merujuk
pada bentuk ortodoksi dari ekspresi beragama, biasanya
didasarkan pada tradisi tekstual dan universal.
Sedangkan tradisi kecil adalah bentuk dari heterodoks
dari budaya pinggiran agama yang dianggap sebagai
budaya yang masuk berbagai elemen dalam praktik
tradisi besar.58

Akan tetapi, Talal Asad menawarkan hal yang baru


dalam memandang persoalan Islam sebagai tradisi,
yaitu menawarkan term tradisi diskursif, dimana dalam
antropologi Islam, Talal menginginkan sebuah tradisi itu
terbuat dari diskursus dalam perilaku pelaku agama
tersebut antara ortodoksi yang bersifat tekstual dengan
praktek di lapangan yang bisa berubah-ubah.59

Talal memandang bahwa memahami masyarakat


Muslim bukanlah sesuatu yang mudah, sebab
kompleksitas masyarakat Muslim tidak sama dengan
pemahaman masyarakat gerejawi. Masyarakat Muslim
tidak bisa disamakan pemahamannya tentang agama

58
Ibid.
59
Ibid.

39
Islam karena masing-masing memiliki cara memahami
yang berbeda-beda, dan semuanya berinteraksi
membentuk pemahaman tentang Islam itu sendiri.
Menurut Talal, dalam memahami Islam, kita tidak
mungkin melepaskan konteks sosial yang meliputinya.60

Konteks sosial dalam kajian tradisi diskursif ini


terkait sudut pandang insider dan outsider yang masing-
masing akan mempertajam pemahaman pada Islam itu
sendiri. Dinamika antar perbedaan, yang mana ini
merujuk pada persoalan diskusi yang terus menerus dan
berimbang antar perbedaan pandangan dalam Islam itu
sendiri baik yang ortodoks atau tidak, akan
menghasilkan upaya saling negosiasi yang akan
membawa Islam tanpa ada klaim representasi tunggal di
dalamnya. Adapun tentang pemahaman soal kekuasaan
dan ortodoksi, di mana dalam persoalan ini, Talal
memandang bahwa tidak akan ada ortodoksi dalam
bingkai ajaran, akan tetapi yang ada hanyalah ortodoksi
dalam bingkai kekuasaan, membuat ajaran literal dalam
ortodoksi akan menjadi pusat apabila mendapatkan

60
TALAL ASAD, “The Idea of an Anthropology of Islam,” Qui Parle
17, no. 2 (2009): 1–30.

40
dukungan dari kekuasaan.61 Islam tidak lagi dipandang
sebagai ajaran murni yang turun dari langit, namun
Islam dipahami sebagai komunitas yang di dalamnya
ada struktur sosial, sudut pandang pemeluknya, dan
kecenderungan politik, yang mana semuanya
berinteraksi membentuk Islam itu sendiri.62

Memandang Islam sebagai bagian dari tradisi


diskursif akan menghasilkan sudut pandang yang tidak
lagi menganggap Islam sebagai agama monolitik. Islam
dilihat akan kekayaan ekspresi keagamaan di dalamnya
yang terus menerus menyesuaikan antara ajaran (teks)
dan praktiknya. Islam juga tidak akan lagi dipandang
sebagai agama yang diklaim representasi diri dari satu
golongan saja. Perbedaan praktik dan ekspresi
keberagamaan yang ada dalam Islam akhirnya akan
terus mengalami pembentukan kembali untuk
menyesuaikan dengan perubahan zaman. Pada
akhirnya, Islam tidak akan lagi dipandang dalam diskusi
Islam lokal atau transnasional, semuanya dalam
proporsi yang sama dalam memahami teks dan ajaran
agama.

61
Anjum, “Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and His
Interlocutors.”
62
ASAD, “The Idea of an Anthropology of Islam.”

41
Segregasi pemahaman akan apa itu tradisi, yang
dipahami antara Islam tradisional yang lebih condong
pada lokalitas dengan Islam modern, yang sekarang
diasumsikan sebagai bagian Islam transnasional adalah
hal yang tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian yang
saling menihilkan. Talal Asad memandang tradisi berisi
esensi akan diskursus yang dikaitkan pada pemeluk
agama untuk memahami bahwa bentuk dan tujuan dari
apa yang mapan dari apa dijalankan dalam beragama,
memiliki sejarah.63 Diskursus agama yang dimaksudnya
selalu merupakan relasi tiga hal, yaitu masa lalu (kapan
praktek beragama itu dilembagakan dan bagaimana
pengetahuan tersebut ditransmisikan kepada generasi
setelahnya), masa depan (bagaimana praktek tersebut
bisa bertahan lama, atau bagaimana praktek tersebut
dimodifikasi atau dihilangkan), dan terakhir adalah
masa sekarang (bagaimana praktek beragama tersebut
dihubungkan dengan praktek yang lain, institusi
keagamaan, dan kondisi sosial).

Talal Asad menjelaskan bahwa tradisi diskursif


dalam Islam secara sederhana adalah diskursus dalam
masyarakat Muslim itu sendiri yang akan menjadikan

63
Ibid.

42
konsepsi dari Islam masa lalu dan masa akan datang,
merujuk dari praktek keberislaman sekarang ini. Dia
melihat keberagamaan masyarakat Muslim sejatinya
tidak dipahami sebagai proses imitasi murni terhadap
masa lalu, sebagaimana dipahami oleh kalangan
ortodoks, melainkan dari apa yang dilakukan sekarang
yang dikonstruksi dari pemahaman dari masa lalu, masa
depan, dan diaplikasikan di masa sekarang.

Walaupun demikian, diskursus tradisi diskursif


Talal masih memandang perlu pada eksistensi
ortodoksi, berkaitan dengan relasi kuasa dalam
ortodoksi itu sendiri. Sebagaimana dipahami dalam
logika ortodoksi, masyarakat Muslim harus memiliki
kuasa untuk menjadikan praktek keberislaman yang
dijalankan oleh mayoritas masyarakat Muslim. Kuasa
inilah yang kemudian disebut oleh Abdullah Laroui
sebagaimana dikutip Talal sebagai ―tradisi itu
dikonstruksi‖, bahwa terjadinya tradisi karena adanya
proses relasi kuasa dalam menjadikan tradisi tersebut.
Pemahaman akan homogenitas praktek keagamaan
pada akhirnya tidak dipandang sebagai bagian dari
keniscayaan, akan tetapi lebih pada adanya kontrol antar
tradisi dalam kehidupan masyarakat Muslim, yang
biasanya dipengaruhi oleh ekonomi dan politik. Dalam
43
hal ini, Talal menegaskan bahwa cara memandang
tradisi sekarang telah dipengaruhi oleh kekuatan sosial
kapitalisme, yang mengorganisasikan ingatan dan hasrat
untuk menciptakan kondisi sosial yang didorong dari
hasrat dan penghapusan akan ingatan.64

Selanjutnya, Talal juga menjelaskan bahwa jika ingin


memahami akan keberagamaan maka kita bisa
melalukan dua langkah berikut, yaitu menganalisis
sistem pemaknaan yang melekat pada simbol
keagamaan dan menelisik relasi akan sistem tersebut
pada struktur sosial dan proses psikologis. Dari sinilah
pemahaman akan simbol keagamaan atau praktek
keagamaan dipahami melalui analogi kata-kata yang
disirkulasi dari pemaknaan.65 Dapat dipahami
kemudian bahwa simbol keagamaan yang ada dalam
keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari relasi pada
simbol-simbol non religius yang melingkarinya dan
proses pemaknaan dari kuasa otoritatif. Oleh karena itu
dari dua hal inilah simbol keberagamaan bisa menjadi
simbol karena merupakan produk dari kekuasaan dan
kekuatan historis yang khas.

64
Ibid.
65
Talal Asad, “Anthropological Conceptions of Religion: Reflections
on Geertz,” Man 18, no. 2 (1983): 237–259.
44
Dalam tradisi diskursifnya Talal Asad, ada lima
perspektif penting yang perlu dipahami. Pertama,
kepercayaan atau teks keagamaan. Kedua, Cultural
Brokers, dalam hal ini adalah agen atau penghubung
yang berperan dalam sebuah komunitas yang menjamin
sebuah tradisi berjalan efektif. Ketiga, sistem kognitif.
Keempat, struktur sosial. Dan terakhir adalah rakyat
biasa.66

Interaksi masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an


adalah bagian dari tradisi diskursif. Al-Qur‘an tidak lagi
hanya dimaknai sebagai sebuah kitab suci atau wahyu
ilahi. Akan tetapi banyak kultur masyarakat Banjar yang
memaknai al-Qur‘an lebih dari sekedar kitab bacaan
wajib umat Islam. Tradisi dalam masyarakat Banjar pun
sebagaimana dijelaskan di atas, bukanlah sesuatu yang
berasal dari masa lalu, akan tetapi pemaknaan yang
diambil dari masa lalu, masa depan dan praktek masa
sekarang. Beragam tradisi yang tumbuh dari al-Qur‘an
dalam masyarakat Banjar membuktikan bahwa itu
adalah bagian dari eksistensi identitas keberislaman
mereka.

66
Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice: Considerations in
the Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of Religion 4, no. 2
(1999): 10–20.

45
46
BAB III
PERSENTUHAN MASYARAKAT BANJAR DENGAN
AL-QUR’AN DALAM TRADISI LISAN DAN
TULISAN

A. Masyarakat Banjar dan al-Qur’an

Kalimantan Selatan adalah provinsi tertua di antara


5 (lima) provinsi lainnya di Pulau Kalimantan wilayah
bagian Indonesia. Dari segi etnis, kebanyakan
penduduknya adalah etnis Banjar, atau disebut juga
urang Banjar, yang merupakan etnis terbesar kesepuluh
di Indonesia.67 Identitas orang Banjar dibentuk dalam
sentuhan dua identitas lainnya yang pada akhirnya
memperkaya identitas masyarakat Banjar tersebut, yaitu
agama dan etnis. Dari sisi sejarah, Banjar merupakan
hasil transformasi Kerajaan Hindu ke Kesultanan Islam.
Sejak masa itu, Banjar selalu diasosiasikan secara positif
dengan Islam dan menjadi Muslim.68

67
Leo Suryadinata, Avi Nurvidya Arifin, and 2003 Ananta,
Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political
Landscape (Singapore: ISEAS, 2003); Mujiburrahman Mujiburrahman,
“HISTORICAL DYNAMICS OF INTER-RELIGIOUS RELATIONS IN
SOUTH KALIMANTAN,” JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM 11, no. 1
(July 9, 2017): 145–174.
68
Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 40.

47
Secara etnis, Banjar dianggap sebagai bagian dari
Melayu juga sekaligus bagian dari Dayak. Namun,
dalam perjumpaannya dengan Dayak, jika ada
masyarakat Dayak yang berpindah agama menjadi
Islam, maka dengan itulah dia akan berubah identitas
menjadi Banjar.69 Identitas inilah yang kemudian
membuat Banjar menjadi etnis yang menarik karena
bersentuhan dengan tradisi Dayak dan Hindu di satu
sisi dan Islam di sisi yang lain.

Persentuhan inilah membuat Banjar memiliki


kekayaan tradisi seperti badudus dan manyanggar banua.
Tradisi yang awalnya sangat kental dengan tradisi
Hindu kemudian terus bertransformasi menjadi tradisi
baru yang diwarnai dengan nilai-nilai keislaman di
dalamnya. Dalam tahap negosiasi, unsur Islam semakin
mengental dalam tradisi masyarakat Banjar. Ini bisa
dibuktikan pada hampir seluruh tradisi yang ada
sekarang selalu terlihat sisi Islamnya. Kebanyakan
diantaranya berupa tradisi al-Quran. Al-Quran sebagai
kitab suci umat Islam tidak mungkin bisa terelakkan
bersentuhan dengan masyarakat Banjar.

69
Ahmad Gaus A. F, Sang pelintas batas: biografi Djohan Effendi
(Penerbit Buku Kompas, 2009). xi-xxii.

48
Dalam tradisi masyarakat Banjar, anak-anak yang
berumur sekitar 6 atau 7 tahun sudah mulai belajar
membaca huruf-huruf al-Qur‘an (mangaji). Penyerahan
anak kepada seorang guru untuk diajar mengaji tidak
memerlukan formalitas tertentu, melainkan cukup
disampaikan maksud tersebut dan menyuruh anak
bersangkutan pergi mengaji. Anak-anak diajar satu per
satu dan anak-anak yang sudah lanjut mengajinya
diminta membantu temannya yang baru mulai mengaji.
Umumnya guru-guru mengaji di Banjar menggunakan
kitab Qa’idah Baghdadiyah (disebut juga alif-alifan),
dikenal sebagai Muqaddam (pendahuluan) al-Qur‘an,
sebagai buku pegangan guru dan murid sebelum
melangkah langsung ke kitab al-Qur‘an. Selain mengajar
mengaji, guru juga mengajarkan pokok-pokok ajaran
Islam, termasuk aspek kepercayaan (rukun iman), cara-
cara shalat dan puasa, dan beberapa doa yang perlu
dengan berpedoman pada kitab Parukunan.70
Pengajaran al-Qur‘an terus berlanjut hingga ke pondok
pesantren dan instansi pendidikan lainnya.

70
Daud, Islam dan masyarakat Banjar, 143–144; Munadi, Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks Kajian al-Quran di
Nusantara, 72–73.

49
Kajian al-Qur‘an di Tanah Banjar hadir secara
kontinu dalam bentuk pengutipan ayat-ayat al-Qur‘an
disertai dengan terjemahannya, dapat dilacak dalam
karya-karya ulama lokal awal semisal dalam Kitab Sabil
al-Muhtadin karya Syekh Arsyad al-Banjari dan Kitab al-
Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis. Jika dalam
karya-karya awal tersebut, terjemahan ayat
menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi (huruf
Arab Melayu), maka di karya-karya ulama Banjar
berikutnya sedikit banyak terjadi pergeseran
penggunaan bahasa dan aksara di dalamnya
dikarenakan menyesuaikan kepada pembacanya.
Bahkan masyarakat Banjar pernah memiliki mushaf al-
Qur‘an sendiri, yakni tulisan tangan Syekh Arsyad yang
di setiap sudutnya disisipi dengan qira‘at menunjukkan
penguasaan Syekh Arsyad terhadap Ulum al-Qur‘an,
khususnya Qira‘at. Mushaf ini terdiri atas tiga jilid yang
masing-masing memuat 10 juz. Per halaman mushaf ini
berukuran cukup besar, yaitu lebar 57 cm dan panjang
63 cm. Jilid pertama mushaf ini disimpan dalam koleksi
Museum Daerah Kalimantan Selatan di Banjarbaru,
sementara jilid kedua dan ketiga disimpan oleh
keturunan Syekh Arsyad di Dalam Pagar. Menurut Abu
Daudi, yang dikutip oleh Munadi, Syekh Arsyad

50
menulis mushaf ini pada tahun 1193 H/ 1779 M, dan
tidak diketahui waktu selesainya.71 Mushaf ini ditulis
dengan huruf Naskhi dan sesuai kaidah rasm Utsmani
berdasarkan riwayat Hafsh dari Imam Ashim dan
dilengkapi catatan qira‘at lain di tepinya

Masyarakat Banjar tidak hanya bersentuhan dengan


al-Qur‘an melalui sisi pendidikan, namun juga dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk ritus kehidupan
masyarakat Banjar, Alquran biasa digunakan dalam
upacara keagamaan dalam masyarakat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Dhavamony, bahwa ritus dalam upacara
keagamaan bisa bermakna empat hal. Pertama, tindakan
magis, seperti mantra dan rajah. Kedua, tindakan
religius, seperti bacaan shalat dan bacaan doa sehari-
hari. Ketiga, ritual konstitutif, seperti pengangkatan
Sultan dan lain-lain. Keempat, ritual faktif, seperti
sebagai pelindung diri baik kebal atau pelindung secara
mental.72

Selain sebagai bagian dari ritus kehidupan


masyarakat Banjar, al-Qur‘an juga bersentuhan dalam

71
Munadi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks
Kajian al-Quran di Nusantara, 129.
72
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Kanisius, 1995),
175–176.

51
kehidupan sehari-hari. Seperti Yasinan, yaitu membaca
Surah Yasin secara komunal dalam malam atau waktu
tertentu di tempat yang sudah ditentukan. Yasinan ini
lebih menonjolkan fungsi sosialnya ketimbang sisi
ritualnya sebab yasinan menjadi ajang silaturrahmi dan
bercengkrama sesama tetangga, yang selama ini
disibukkan dengan kehidupannya masing-masing.
Acara ini biasanya diadakan satu kali setiap minggu, di
dalam komunitas tertentu, seperti wilayah RT atau
komplek perumahan.

Dalam sejarah Kalimantan Selatan, posisi al-Qur‘an


dalam kehidupan masyarakat Banjar juga cukup dekat,
terutama dalam sejarah keikutsertaan MTQ. Sejak tahun
70-an, Kalimantan Selatan dikenal sebagai lumbung qari
yang terbaik di Indonesia. Namun, sebagaimana
penuturan MAA,73 memasuki tahun 90-an, predikat
tersebut cukup diragukan sebab sejak itu hingga
sekarang tidak banyak lagi qari atau qari‘ah Banjar yang
bisa berprestasi bagus, baik di kancah Nasional seperti
MTQ atau STQ, atau di kancah Internasional.
Pendidikan tilawah yang sangat lemah dianggap sebagai
penyebab predikat lumbung qari tercerabut dari

Muhammad Abduh Amrie, “Perkembangan Ijazah dan Sanad dalam


73

Membaca al-Qur’an di Kalimantan Selatan,” November 9, 2018.

52
masyarakat Kalimantan Selatan. Akan tetapi, pengajaran
tilawah dan qiraat dalam masyarakat Banjar belum
banyak berubah dari metode tradisional. Tidak banyak
masjid atau langgar sebagai pusat pembelajaran umat
Islam yang menyediakan fasilitas pembelajaran tilawah,
terutama bagi anak-anak.

Dengan munculnya fenomena Musa di salah satu


acara di televisi nasional, atensi masyarakat Kalimantan
Selatan atau urang Banjar menjadi kembali bergairah.
Rumah tahfizh menjamur dengan sangat suburnya.
Pondok-pondok tahfizh menjadi semakin diminati oleh
masyarakat yang sebelumnya sangat kecil minatnya.
Anak-anak yang ingin menjadi penghafal al-Qur‘an juga
semakin bertambah banyak, bahkan kalangan orang tua
pun tidak kalah untuk turut serta menghafal al-Qur‘an.

Pengajaran al-Qur‘an yang dulunya sangat


tradisional sekarang sudah dipenuhi dengan berbagai
metode dan model yang membantu masyarakat dalam
belajar membaca al-Qur‘an. Bahkan hampir setiap
kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, memiliki
peraturan daerah (perda) yang mengatur soal
kemampuan masyarakatnya dalam membaca Alquran.
Tercatat ada tiga daerah yang memiliki peraturan

53
daerah yang khusus mengatur persoalan membaca al-
Qur‘an, yaitu Banjarmasin, Hulu Sungai Utara, dan
Hulu Sungai Selatan. Bahkan di kota Banjarmasin,
seorang hafizh al-Qur‘an yang terpilih melalui seleksi
akan mendapatkan uang pembinaan dengan jumlah
yang cukup besar.74

Gairah ini sebenarnya tidak menutup masalah yang


masih ada dalam masyarakat Banjar, yaitu kemampuan
membaca al-Qur‘an pasca melewati usia sekolah
menengah pertama yang sangat menurun. Dengan
gairah belajar al-Qur‘an yang semakin meninggi
sekarang ini seiring tersedianya berbagai pilihan metode
baca al-Qur‘an yang sangat variatif diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan tersebut.

Generasi millennial masyarakat Banjar yang


bersentuhan dengan al-Qur‘an secara konvensional,
dalam tradisi dan kehidupan sehari-hari, juga
bersentuhan melalui gadget yang ada dalam kehidupan
mereka sendiri. Beberapa ada yang mengadakan
persebaran ayat al-Qur‘an melalui platform media sosial,
bahkan juga yang mengajak masyarakat untuk

74
Muhammad Arabi, “Penghargaan Pemerintah Kota Banjarmasin
terhadap Para Hafizh/Hafizhah Tahun 2018,” November 13, 2018.

54
menghafal al-Qur‘an memanfaatkan aplikasi berkirim
pesan.

Kehidupan yang semakin tanpa batas ini, membuat


persentuhan masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an
semakin terbuka luas. Bahkan tidak bisa lagi
dikendalikan oleh otoritas keagamaan yang selama ini
menjadi sumber persentuhan masyarakat dengan al-
Qur‘an. Internet dan media sosial menyediakan fasilitas
yang mudah dan disukai oleh kebanyakan generasi
millennial termasuk masyarakat Banjar.

Persentuhan masyarakat Banjar dari yang paling


awal hingga sekarang, sangatlah bervariatif. Dari model
rajah dan mantra hingga fenomena rumah tahfiz,
masyarakat Banjar terus bersentuhan dengan kitab suci
umat Islam ini dengan berbagai model.

B. Bentuk Kelisanan al-Qur’an Masyarakat Banjar


Bagian ini mendeskripsikan bentuk-bentuk persen-
tuhan orang Banjar dengan al-Qur‘an secara lisan,
sebagaimana telah disinggung di atas, untuk kemudian
akan dianalisis kecenderungan masyarakat Banjar
terhadap al-Qur‘an itu sendiri. Temuan tentang tradisi
lisan masyarakat Banjar yang terkait al-Qur‘an akan
dibagi menjadi 4 (empat) kategori. Pertama, tradisi lisan

55
al-Qur‘an dalam kehidupan sehari-hari; kedua, tradisi
lisan berkaitan dengan pembelajaran al-Qur‘an dalam
lembaga; ketiga, tradisi lisan al-Qur‘an berkaitan aspek
keindahan; dan terakhir tradisi lisan al-Qur‘an dalam
bentuk gerakan membaca.

1. Tradisi Lisan al-Qur’an Masyarakat Banjar dalam


Kehidupan Sehari-hari

Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang selalu


berusaha mengamalkan al-Qur‘an dalam setiap tindakan
mereka. Beragam bacaan dan amalan al-Qur‘an selalu
mereka baca dengan keyakinan, yang bahkan seringkali
mengabaikan konteks kandungan maknanya. Pada
bahasan ini, ditemukan tiga bentuk tradisi lisan al-
Qur‘an yang berkembang dalam masyarakat Banjar,
walaupun sebagian mulai hilang dan digantikan oleh
tradisi yang baru.

a. Pembacaan Ayat al-Qur‘an sebagai Bacaan Rutin


Sebagaimana banyak dijumpai di berbagai
daerah di Kalimantan Selatan, beragam ayat al-
Qur‘an menjadi suatu bacaan rutin orang Banjar,
dibaca secara personal ataupun bersama-sama secara
komunal. Tradisi mangaji misalnya, dimana
seseorang melafalkan ayat-ayat al-Qur‘an telah lama

56
menemani keseharian urang Banjar. Masyarakat ini
merasakan perlunya mangaji secara rutin, bahkan
walaupun mereka tidak memahami makna ataupun
tafsir ayatnya dan memang mereka nampaknya
tidak terlalu tertarik untuk memahami maksud dan
kandungan ayat tersebut. Dalam proses mangaji, ayat
al-Qur‘an sekedar dilafalkan saja dengan melihat
susunan huruf-huruf hijaiyah dan struktur
bahasanya, baik dengan pelan ataupun dengan suara
nyaring dan itulah, menurut mereka, salah satu
wujud nyata kedekatan mereka dengan Tuhan.
Selain itu, masyarakat Banjar juga memiliki
bacaan rutin berupa ayat-ayat tertentu semisal Surah
Yasin, ataupun ditambah dengan al-Waqiah dan al-
Mulk. Sebagai bacaan rutin, Surah Yasin dilafalkan
ketika handil ataupun arisan ibu-ibu kampung
seperti yang terjadi di Desa Matang Ginalun,
Barabai.75 Bahkan ketiga surah di atas selalu dibaca
setelah shalat Subuh di langgar kampung ini. Karena
seringnya dibaca, banyak urang Banjar cenderung
sudah hafal sehingga tidak perlu lagi melihat mushaf
al-Qur‘an ataupun buku-buku Yasin.

75
Sriyati, “Rutinitas Baca al-Qur’an di Kampung,” Agustus 2018.

57
Jika pada daerah di atas, membaca ayat-ayat al-
Qur‘an tersebut dilakukan secara komunal, maka
masih banyak juga orang Banjar yang mengamalkan
membacanya secara pribadi, khususnya Surah Yasin.
Bahkan seringkali ditemukan para orang tua Banjar
yang hanya bisa mangaji surah ini, bahkan hingga
hafal padahal dia tidak bisa membaca ayat al-Qur‘an
lainnya atau hanya membacanya melalui tulisan
latin ayat tersebut.
Bacaan rutin juga dilakukan di lembaga
pendidikan seperti sekolah menengah baik tingkat
pertama maupun tingkat atas. Bahkan, di lembaga
Pendidikan Pesantren bacaan rutin ini selalu dibaca
setiap hari dan masuk dalam jadwal keseharian
santri selama di dalam asrama. Di sekolah
menengah, tidak ada surah khusus yang dibaca,
namun dilakukan di waktu yang dikhususkan,
kebanyakan dilakukan pagi sebelum pelajaran
dimulai. Di salah satu sekolah menengah atas di
Banjarmasin, sebagaimana penuturan dari NR,76 al-
Qur‘an juga dipelajari dalam kegiatan
ekstrakurikuler bernama Kajian Studi Islam (KSI).

Nada Rahmatina, “Pembelajaran al-Qur’an di Sekolah Formal,”


76

November 7, 2018.

58
Dalam ekstrakurikuler tersebut, al-Qur‘an tidak
lagi hanya dibaca atau sekedar mempelajari tata cara
membaca al-Qur‘an, melainkan mempelajari
kandungan pelajaran dalam al-Qur‘an. Biasanya
kegiatan ini dipimpin oleh salah seorang ustadz atau
guru pembimbing, dalam pengakuannya NR
menjelaskan bahwa saat aktif di kegiatan tersebut,
guru yang biasa membimbing kegiatan tersebut
berasal dari guru honorer yang biasa mengisi mata
pelajaran Agama Islam.77 Dalam kegiatan belajar
kandungan al-Qur‘an ini, juga bisa melibatkan pihak
luar sekolah untuk mengisi atau mengajarkan
kandungan al-Qur‘an untuk peserta kegiatan
ekstrakulikuler.
Selain di sekolah menengah pertama dan atas,
kegiatan membaca rutin juga dilakukan di pesantren
dan sekolah Islam terpadu. Di pesantren, membaca
al-Qur‘an sudah dijadikan jadwal yang rutin dalam
kegiatan santri selama di asrama, terutama di
pesantren modern. Kegiatan membaca rutin al-
Qur‘an biasanya diisi dengan membaca surah-surah
khusus seperti al-Waqi‘ah, Yasiin, dan ad-Dukhan,

77
Ibid.

59
dan biasanya dibaca setelah shalat wajib seperti
Maghrib, Isya, dan Shubuh.78
Sedangkan di sekolah Islam terpadu, kegiatan
membaca rutin al-Qur‘an selalu dilakukan di waktu
yang sudah ditentukan. Kebijakan masing-masing
sekolah berbeda dalam menentukan waktu membaca
rutin al-Qur‘an. Untuk menunjang dan
meningkatkan kemampuan membaca al-Qur‘an,
setiap sekolah juga memiliki kebijakan yang berbeda.
Ada yang memberikan kewenangan dalam
membimbing bacaan para siswa dengan
berkerjasama dengan rumah tahfizh di daerah
tersebut, selain itu ada juga yang menggunakan
metode khusus yang lazim dipakai dalam jaringan
sekolah Islam terpadu. Kerjasama ini juga
dimaksudkan untuk membuat kemampuan
menghafal para siswa juga sekalian ditingkatkan.79
Selanjutnya, ada juga bacaan al-Qur‘an rutin
masyarakat Banjar lainnya, yaitu al-Ma‘tsurat,
kumpulan fragmen-fragmen ayat al-Qur‘an yang

78
Muhammad Yunizar Ramadhani, “Persentuhan Para Santri PP.
Darul Hijrah Putri Dengan Al-Qur’an,” Oktober 2018.
79
Latifah, “Kesan Seorang Qari’ah Sebagai Pengajar al-Qur’an Di
TPA Dan Sekolah Islam Terpadu,” Agustus 2018.

60
dibaca setiap pagi dan sore.80 Pada dasarnya ini
bukan amalan asli masyarakat Banjar. Namun
dengan adanya persinggungan masyarakat Banjar
dengan gerakan Islam transnasional, dalam hal ini
adalah Ikhwanul Muslimin melalui PKS, bacaan ini
turut masuk menjadi bacaan rutin urang Banjar.
Dikarenakan masyarakat Banjar itu memiliki logika
untuk mengambil semua yang baik dan tidak
bertentangan dengan agama, sehingga bacaan ini
dengan mudahnya diterima masyarakat. Perlu
dicatat bahwa masyarakat Banjar yang
mengamalkannya pun hanya orang-orang yang
pernah atau memiliki akses dengan golongan PKS.
Demikian juga terkait amalan membaca Surah al-
Kahfi setiap Kamis malam atau malam Jum‘at yang
bahkan generasi millenial melakukannya sebagai
amalan wajib. Ini terjadi berkat dakwah melalui
sosial media, salah satunya dalam bentuk meme-
meme yang beredar di dalamnya. Jika dulunya yang
membacanya hanya kaum tua dikarenakan ayatnya
yang cukup panjang dan banyak ketimbang Surah

80
Sriyati, “Rutinitas Baca al-Qur’an di Kampung.”

61
Yasin, al-Waqi‘ah, dan al-Mulk, sekarang anak muda
pun bersemangat membacanya.
Pada akhirnya, sebagaimana disebutkan pada
bab sebelumnya bahwa perkembangan media cetak,
atau sekarang digital melalui internet akan
mempengaruhi kesadaran para pelaku kelisanan.
Dalam hal ini terlihat bahwa tradisi lisan akan saling
mempengaruhi dengan tradisi tulisan.
b. Pembacaan Ayat al-Qur‘an sebagai Amalan
untuk Kepentingan Tertentu
Tradisi lisan al-Qur‘an dengan menjadikannya
amalan untuk kepentingan tertentu sedikit berbeda
dengan tradisi mangaji secara rutin. Dalam konteks
ini, pembacaan al-Qur‘an memang dimaksudkan
untuk suatu tujuan yang mana jika hajat telah
tercapai maka pembacaan ayat tersebut akan
berakhir. Biasanya, tradisi ini dilakukan dengan
melafalkan fragmen-fragmen tertentu di waktu
tertentu dengan jumlah bacaannya juga tertentu.
Beberapa kalangan juga menyebutnya sebagai
mantra al-Qur‘an.
Setiap memasuki akhir bulan Safar, masyarakat
Banjar selalu mengadakan tradisi yaitu Arba
Mustamir, jika di daerah Jawa dikenal dengan Rebo

62
Wekasan, yaitu tradisi menyambut hari Rabu
terakhir dalam bulan Safar.81 Tradisi ini
dimaksudkan untuk menghalau banyak bala yang
dipercaya turun setiap hari Rabu terakhir di bulan
Safar. Tradisi ini dilakukan dengan membaca Yasiin
setelah shalat Dzuhur, biasanya dibaca secara
bersama-sama di masjid atau langgar, dan saat di
ayat 85 dari surah Yasiin dibaca diulang-ulang
sebanyak 313 kali. Tradisi ini masih bertahan sampai
sekarang walau tidak banyak lagi yang
melakukannya secara bersama-sama, terlebih
mereka yang bermukim di perkotaan.
Dalam menandai ritus peralihan hidup
masyarakat Banjar misalnya, ayat-ayat al-Qur‘an
tertentu pasti dibaca. Pada saat persiapan lahiran
menyambut jabang bayi ke dunia, Surah Maryam
dan atau Surah Yusuf menjadi amalan orang tua
calon jabang bayi. Diharapkan bayi yang lahir akan
cantik dan berakhlak seperti Maryam jika
perempuan dan atau tampan dan mulia seperti
Yusuf. Ketika hendak meninggal, orang Banjar akan
dibacakan Surah Yasin. Bahkan ketika sudah

Wardatun Nadhiroh, “AMALAN DI HARI ARBA’ MUSTAMIR


81

BULAN SAFAR,” SYAHADAH 4, no. 2 (2016): 1–20.

63
meninggal dan hendak dimakamkan, para pelayat
membacakan Surah Yasin dan atau masing-masing
membaca satu juz dari al-Qur‘an hingga khatam. Hal
ini dimaksudkan untuk sebagai pahala untuk
mayyit.
Belum lagi beragam amalan untuk tujuan lainnya
semisal ingin kaya, bebas dari hutang bacalah ayat
Saribu Dinar, yaitu Surah al-Thalaq: 2-3 yang dibaca
tiap selesai shalat lima waktu.82 Persebaran tradisi ini
masih terjaga dengan baik, khususnya di daerah
Hulu Sungai. Adapun di Banjarmasin, karena sedikit
banyak terjadi perubahan ke arah kultur masyarakat
urban, ada beberapa tradisi lisan yang mulai hilang
semisal batamat al-Qur‘an yang dilakukan calon
mempelai perempuan. Padahal dalam keyakinan
masyarakat Banjar dahulu tradisi ini untuk
memastikan bahwa mempelai perempuan mampu
menjadi istri dan ibu yang baik dengan bisa
membaca al-Qur‘an.
Pada dasarnya, jika tradisi ini berkaitan dengan
pembacaan ayat-ayat yang panjang atau

82
Wardatun Nadhiroh, “KITAB SANJATA MU’MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan
Budaya 11, no. 1 (2018): 119–143.

64
membutuhkan pada pembacaan satu surah tertentu
al-Qur‘an, maka pembacaannya pun mengandalkan
Mushaf al-Qur‘an. Namun jika bacaan tersebut
adalah fragmen-fragmen pendek al-Qur‘an, maka
hal tersebut telah dihafalkan.
Nampak terlihat adanya proses mnemonic dan
formulawi dalam pembacaan ayat al-Qur‘an tertentu
untuk maksud tujuan tertentu yang menjadi ciri dari
kelisanan, dimana terdapat pola-pola ritmis untuk
memudahkan menghafal dan membantu mengingat
kembali (recall) ketika dibutuhkan. Namun perlu
dicatat bahwa masyarakat Banjar pada akhirnya
‗juga dipaksa‘, ketika bersinggungan dengan al-
Qur‘an, khususnya ketika harus membaca surah al-
Qur‘an yang cukup panjang, akan mengandalkan
tulisan Mushaf.
Sebagai dampak persinggungan budaya orang
Banjar yang sangat oral dengan al-Qur‘an, sebelum
Islam datang, mereka adalah penganut agama nenek
moyang yang penuh dengan jampi dan mantra
sebagai perantara untuk mencapai suatu tujuan
tertentu, maka Islam datang mengakomodirnya
melalui mantra-mantra al-Qur‘an yang memuat

65
fragmen-fragmen ayat tertentu. Salah satu contohnya
adalah mantra panah arjuna,83 seperti berikut:

Panahku panah Arjuna


Kupanahakan ka gunung, gunung runtuh
Kupanahakan ka laut, laut karing
Kupanahakan ka burung, burung jatuh
kupanahakan kapada ….. (nama)
rabah rubuh imannya ….. (nama)
walakat fatanna sulaimanu wa al-qaina ala kursihi
jasadan summa anaf’

Fragmen walakat fatanna sulaimanu wa al-qaina ala


kursihi jasadan summa anaf’ merupakan fragmen al-
Qur‘an pada Surah Shad: 34 yang berbunyi:

َ‫سليمانََوألقيناَعلىَ ُكرسِ ِّي َِهَجس ًداَ ُث َّمََأناب‬


ُ َ‫وَلقدََفت َّنا‬

Mantra ini merupakan usaha pemaknaan al-


Qur‘an dari orang Banjar berdasarkan pengetahuan
mereka didasarkan adanya kemiripan bunyi antara
kata ―walaqad‖ dengan ―walakat‖ yang dalam
pemahamaan mereka berarti melekat erat. Masih
banyak lagi mantra-mantra Banjar yang memuat
fragmen al-Qur‘an seperti ketika hendak

83
Alfianoor, “Ayat al-Qur’an dalam Mantra Banjar.”

66
melemahkan orang maka membaca bagian dari
Surah al-Kahfi ―Wal yatallathaf …‖, mantra
memancing ―Makkanan Kasia‖, dan banyak lagi.
Dewasa ini, pembacaan mantra-mantra di atas
nampak mulai menghilang dan semakin sulit
terlacak persebarannya di kalangan masyarakat
Banjar, kecuali dapat ditemukan pada kaum Tuha
Banjar. Adapun bagi kaum muda, hal ini semakin
tidak dikenal apalagi diyakini khasiatnya.
Kehadiran aktivitas ruqyah syari‘iyah yang
semakin menjamur dan terus bertumbuh, tak
terkecuali juga turut memberikan pengaruh di Tanah
Banjar. Masyarakat Banjar banyak juga yang
mengakses kegiatan ini, ini dibuktikan setiap
kegiatan ini dilaksanakan di masjid-masjid selalu
penuh dengan jemaah yang ingin diruqyah. Bahkan
terdapat satu tempat ruqyah khusus yang tak pernah
sepi peminat, padahal tempat tersebut sudah
membuka layanan setiap hari. Kegiatan ruqyah yang
dilakukan dengan membaca al-Qur‘an dianggap
oleh masyarakat Banjar adalah hal yang sangat baik,
khususnya sebagai pengobatan alternatif pada
keadaan khusus seperti kesurupan dan kerasukan.
Ayat-ayat yang dibaca dalam proses ruqyah

67
diantaranya adalah al-Fatihah, al-Mu‘awwizatain,
Ayat Kursi, atau surah Yasiin ayat 1-9.
Pengaruh kemajuan teknologi melalui media
cetak dan digital, selain proses ruqyah, adalah
penyebab dari berubahnya tradisi mantra. Padahal
pada awalnya, mantra ini dibaca untuk tujuan
tertentu yang diyakini akan berhasil hajat
pembacanya. Dan pada term di atas lah sebenarnya,
cara kerja mantra yang seharusnya, bahwa mantra
dirapalkan dengan petunjuk khusus dan harus
diiringi keyakinan bahwa mantra itu pasti akan
berhasil sesuai keinginan pembacanya. Namun di
era modern sekarang, mantra kehilangan pamornya
karena perkembangan iptek dan kebutuhan akan
rasionalitas yang tinggi sehingga hal-hal yang
bersifat ―mistis‖ seperti mantra ini mulai
ditinggalkan. Inilah salah satu dampak dari
dominasi tulisan terhadap tradisi lisan. Terlepas dari
hal tersebut di atas, mantra al-Qur‘an menyimpan
bukti nyata dari kelisanan masyarakat Banjar
terhadap al-Qur‘an dengan pola puitis nan ritmis
serta diyakini mengandung magis.

68
2. Tradisi Lisan terkait Pembelajaran al-Qur’an dalam
Lembaga
Masyarakat Banjar dewasa ini semakin memiliki
ketergantungan kepada lembaga-lembaga pembelajaran
al-Qur‘an untuk belajar mengaji, tahsin, menghafal, dan
mempelajari al-Qur‘an. Lembaga-lembaga pembelajaran
al-Qur‘an pun semakin berkembang, tidak hanya Taman
Pendidikan al-Qur‘an (TPA) dan Pesantren saja lagi
yang secara resmi memegang peranan untuk mengajar-
kan membaca al-Qur‘an namun sekolah-sekolah biasa,
pengajian-pengajian kampng, rumah dan pondok
tahfizh, hingga tingkat universitas juga telah mengem-
bangkan program pembelajaran al-Qur‘an yang
nantinya akan bersinggungan dengan bentuk
keaksaraan al-Qur‘an itu sendiri di Banjar.

a. Pembelajaran al-Qur‘an di TPA


Di Kalimantan Selatan dan daerah-daerah
lainnya, ada dua lembaga yang menaungi
pendidikan al-Qur‘an, yaitu LPTQ (Lembaga
Pengembangan Tilawati al-Qur‘an yang dibentuk
secara resmi dan dijalankan oleh pemerintah dan
LPP TKA/TPA BKPRMI (Lembaga Pembinaan
Pengembangan Taman Kanak-kanak al-Qur‘an/
Taman Pendidikan al-Qur‘an Badan Komunikasi
69
Pemuda dan Remaja Mesjid Indonesia) yang
memang merupakan lembaga independen tanpa
supervisi dari pemerintah. Dari kedua lembaga ini,
di Kalimantan Selatan, masyarakat Banjar lebih
mengenal BKPRMI karena system pendidikannya
yang jelas dan terukur dibanding LPTQ. Jika LPTQ
mengandalkan metode tilawati dalam pembelajaran
al-Qur‘an, maka BKPRMI menggunakan metode
Iqra.84

Pada dasarnya, pamor LPTQ yang berada di


bawah naungan pemerintah mulai menurun seiring
dengan masuknya metode Iqra‘. Alasan lainnya
adalah mereka tidak menjalankan fungsinya sebagai
pembina pendidikan al-Qur‘an di masyarakat dan
hanya mengharapkan guru langgar untuk
mengakomodir pendidikan al-Qur‘an tersebut.
Apalagi salah satu narasumber pengajar al-Qur‘an
yang juga seorang qariah menyatakan bahwa
pengajar metode tilawati tidak mengetahui metode
tilawati sebenarnya bahkan kebanyakan belum

84
Sarmiji Asri, “Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan,” Oktober
2018.

70
memiliki lisensi untuk mengajarkannya.85 Terlepas
dari hal tersebut, nampaknya masyarakat Banjar
memiliki kecocokan untuk menggunakan metode
Iqra dalam mengenalkan anak-anak untuk belajar al-
Qur‘an.

Secara keseluruhan, ada sekitar 500an unit TPA


di Kalimantan Selatan. Sebanyak 80% di antaranya
menggunakan metode pembelajaran Iqra‘ dan 20%
sisanya menggunakan beragam metode seperti
metode tilawati, tibyan, tombak alam, dan lain-lain.
Hal ini dikarenakan jenjang Iqra‘ sangat jelas, dari
metode Iqra‘ jilid 1-6, munaqasyah, dan wisuda.
Kemasan yang terukur inilah yang membuat
BKPRMI sebagai lembaga yang menaunginya lebih
dikenal, terlebih berkat syiar mereka melalui festival
lima tahunan, yaitu FASI (Festival Anak Sholeh
Indonesia), BKPRMI semakin memperkuat posisinya
di tengah masyarakat Indonesia.86

Walaupun di era kontemporer sekarang, metode


pembelajaran al-Qur‘an masih sudah sangat
berkembang di Kalimantan Selatan dengan beragam
85
Latifah, “Kesan Seorang Qari’ah sebagai Pengajar al-Qur’an di
TPA dan Sekolah Islam Terpadu.”
86
Asri, “Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan.”

71
macamnya, nampaknya metode Iqra‘ sampai saat ini
belum terkalahkan. Salah satu indikator tak
terbantahkan adalah buku Iqra masih terus
diperjualbelikan, baik merupakan cetakan asli
namun lebih banyak bajakan yang dapat ditemukan
di Gang Penatu, Banjarmasin.

b. Pembelajaran al-Qur‘an di Pondok dan Rumah


Tahfizh
Pondok/Rumah Tahfizh sekarang menjadi
alternatif yang sangat menggiurkan bagi para orang
tua untuk menitipkan anak-anaknya menghafal al-
Qur‘an. Berbeda dengan pesantren dimana anak-
anak mereka harus hidup dan tinggal di dalamnya,
bahkan seringkali jarak pesantrennya yang cukup
jauh sehingga membuat orang tua jarang bertemu
anaknya, pondok/rumah tahfizh tidak seketat
pesantren dalam system pembelajarannya. Jika
pesantren dianggap sebagai tempat pembelajaran
beragam ilmu agama, maka pondok/rumah tahfizh
hanya menyediakan satu tujuan, yaitu lancar
mengaji dan menghafal al-Qur‘an.
Secara umum, sebelum menghafalkan al-Qur‘an,
anak-anak atau seseorang yang hendak menjadi
hafizh al-Qur‘an harus memperbaiki bacaan dan
72
makharij al-hurufnya (tahsin) baru setelah dinyatakan
lulus memulai hafalannya. Cara untuk
menghafalkan al-Qur‘annya pun beragam. Berikut
akan disajikan data beberapa Rumah Tahfizh yang
telah diakui, sebagian besar di Banjarmasin dan satu
di Amuntai.
1) Yayasan Tahfizh Al-Qur‘an ―Ummul Qura‖
Banjarmasin87
Yayasan ini membawahi 5 tingkat
pembelajaran yaitu Kelompok Belajar, Taman
Kanak-Kanak (TK), Tahfizh, Pesantren Tahfizh
(khusus santriwati), dan Tahsin dan Tahfizh
untuk dewasa. Semua tingkatannya
menggunakan metode tibyan yang dicampur
dengan model Iqra sebagai alat mempermudah
pembelajaran. Adapun metode tahfizh masih
menggunakan metode setoran.

Kelompok Belajar dan Taman Kanak-Kanak


menggunakan metode tibyan sebagai pengantar
pengajaran al-Qur‘an pada anak-anak. Namun,
dalam pelaksanaannya ada kendala karena anak-
anak tidak penutur bahasa Arab, karena metode

Zakiah, “Metode Pembelajaran dan Tahfizh al-Qur’an di Yayasan


87

Ummul Qur’an,” Oktober 2018.

73
tibyan memakai bahasa Arab sebagai pengantar,
sehingga beberapa kesempatan masih
menggunakan Iqra sebagai alat bantu. Kelas ini
dilaksanakan di pagi hari dan kemudian
dilanjutkan beberapa santri untuk masuk ke
kelas berikutnya yaitu tahfizh. Namun, bagi
anak-anak yang belum lancar membaca al-
Qur‘an, maka anak-anak biasanya diajarkan
menghafal dengan metode tulisan dan
diperdengarkan beberapa kali untuk
mempermudah anak menghafal ayat tersebut.

Kelas tahfizh adalah kelas bebas, yaitu,


semua orang bebas masuk tidak dibatasi secara
khusus namun yang kebanyakan santrinya
adalah anak-anak hingga remaja setingkat
menengah atas. Kelas ini menggunakan metode
setoran dan hanya bagi mereka yang sudah
lancar membaca al-Qur‘an saja. Jika belum, maka
akan digunakan metode yang sudah dijelaskan
di atas. Kelas ini menjadi kelas favorit dalam
yayasan ini karena cukup menyedot antusias
warga untuk menyekolahkan anaknya dalam
menghafal al-Qur‘an.

74
Kelas yang berikutnya adalah pesantren
khusus santriwati yang bermalam di sana
dengan metode tahfizh setoran khusus. Jadi
santriwati disediakan asrama untuk menjalankan
aktivitasnya selama menghafal al-Qur‘an di
yayasan ini. Kelas ini masih baru, sehingga
masih mencari model yang pas untuk
pelaksanaanya di lapangan.

Yang terakhir, kelas tahsin dan tahfizh bagi


dewasa. Kelas ini kebanyakan diisi oleh para
orang tua dari para santri yang bersekolah di
yayasan ini dan beberapa masyarakat sekitar
yayasan. Diadakan dua kali seminggu masing-
masing bagi bapak-bapak dan ibu-ibu. Kelas ini
belum terlalu familiar dalam yayasan ini, karena
diadakan hanya untuk menampung aspirasi dari
para orang tua santri yayasan saja.

2) Rumah al-Qur‘an Azhar Syarif Banjarmasin88


Rumah tahfizh ini berdiri sejak 2015, dan
dikelola secara mandiri dan bantuan dari
donator tetap. Rumah tahfizh ini dalam program

88
Fakhrie Hanief, “Metode dan Sistem Pembelajaran al-Qur’an di
Rumah al-Qur’an Azhar Syarif,” Nopember 2018.

75
tahsin menggunakan tilawati yang terus
diperbaharui sesuai keperluan dan masukan
selama menjalankan program ini. Tilawati yang
diperbaharui sekarang sudah dijadikan menjadi
satu buku yang dipakai secara resmi dalam
rumah tahfizh ini, yang berisi tidak hanya
metode tilawati saja namun juga dilengkapi
dengan doa-doa harian, kata-kata mutiara, dan
lain-lain sebagai pelengkap pengajaran dalam
rumah tahfizh ini.

Dalam program tahfizh ini memakai metode


rubu’ yaitu metode yang membagi setiap juz Al-
Qur‘an menjadi 5 halaman untuk setiap
menghafal. Para santri yang sudah masuk dalam
program tahfizh akan dikelompokkan dalam
sebuah halaqah yang berisi maksimal 15 orang
dan dipimpin setiap guru pembimbing. Setiap
santri akan menyetorkan hafalannya berurutan
dalam kelompok tersebut. Setelah memenuhi
jumlah hafalan dalam kelompok tersebut,
sebelum naik ke tingkatan setelahnya maka
setiap santri akan diuji oleh kawan-kawannya
sesama santri. Pasca melewati tes dari teman-
temannya, santri kemudian akan menghadapi
76
ujian hafalan dari koordinator yang lebih ketat
dari guru pembimbingnya dalam menjaga
hafalannya. Jika sudah diizinkan oleh
koordinator guru, baru santri dibolehkan naik ke
tingkat setelahnya. Namun dalam setiap minggu,
santri dibolehkan melakukan akselarasi hafalan,
menambah hafalan tanpa harus melewati tes
seperti dijelaskan di atas, walau masih dalam
pengawasan guru pembimbing. Sedangkan Al-
Qur‘an yang dipakai dalam rumah tahfizh ini
adalah Mushaf al-Fatan yang biasa dijual toko
buku besar.

Pengajar yang direkrut adalah mereka yang


sudah melewati tes ketat yang dilakukan oleh
pengurus dan Pembina rumah tahfizh ini.
Selama perjalanan rumah tahfizh ini hingga
sekarang semakin diminati oleh masyarakat
karena kualitas dari para santri dari rumah
tahfizh ini sudah bisa dilihat oleh masyarakat.
Sebelumnya, para orang tua santri cukup banyak
yang komplain yang didasari pada agak
lambatnya perkembangan atau kecepatan yang
hafalan yang didapat oleh anak-anak mereka.
Pengurus rumah tahfizh masih mempertahankan
77
bahwa dengan system yang dikelola oleh mereka
akan memperoleh hasil yang cukup bisa
diandalkan untuk kualitas dari bacaan dan
hafalan.

Dalam proses pengajaran, santri tidak hanya


dibekali soal hafalan dan tahsin selama dalam
rumah tahfizh, namun juga dibekali fiqh
keseharian dan hafalan doa lainnya untuk
menunjang ibadah santri kemudian hari.
Pengurus dan Pembina rumah tahfizh memang
berharap selama pengajaran al-Qur‘annya dari
para santri baik, maka itu juga akan menunjang
pengamalan agama yang baik pula. Oleh sebab
itu, para santri tidak cuma dikontrol dalam
persoalan hafalan dan bacaan al-Qur‘an saja,
namun juga mencakup kontrol akhlak dan
perilaku sehari-hari selama di dalam rumah
tahfizh.

Rumah tahfizh ini dikelola secara mandiri


oleh pembina dan pengurusnya yang juga
melibatkan peran serta santri dan terutama orang
tua. Setiap pendaftaran santri baru, orang tua
sudah dijelaskan secara rinci dan detail apa yang

78
akan dihadapi oleh santri dan semua peraturan
dalam rumah tahfizh. Orang tua tidak hanya
aktif memperhatikan perilaku dan progress
hafalan santri, namun juga turut menjaga
motivasi dengan terus terlibat langsung dalam
proses belajar yang dilakukan selama di rumah.
Jadi peran orang tua tidak hanya membayar
biaya sekolah sebesar 75 ribu per bulan, namun
lebih menjadi pendamping guru dalam
mengawal hafalan sang anak didik.

Santri terus diawasi secara ketat oleh guru


pembimbing dan diberikan penilaian secara
berkala untuk melihat progress belajar santri.
Setiap ada penurunan yang dialami santri akan
dievaluasi secara ketat oleh pembina dan
pengurus untuk melihat faktor yang mendasari
terjadinya penurunan hafalan santri, untuk
diperbaiki agar rumah tahfizh ini terus
berkembang.

Perkembangan dan pertumbuhan rumah


tahfizh di Banjarmasin dan sekitarnya
disebabkan mulai melejitnya program televisi
yang berjudul ―Hafiz Indonesia‖. Pasca

79
meledaknya kabar seorang anak bernama Musa
yang baru berusia sangat muda bisa menghafal
Al-Qur‘an, yang menjadi pendorong
bertumbuhannya dan mulai menjamurnya
rumah-rumah tahfizh. Baik yang dikelola oleh
yayasan atau masih dikelola oleh secara pribadi.
Di Banjarmasin beserta daerah penyangganya
masih terus bertumbuhan rumah tahfizh yang
menandakan gelora penghafalan al-Qur‘an yang
terus meningkat. Namun, proses
perkembangannya tidak semudah membalik
tangan karena ada proses seleksi alam yang
diharapkan akan menyingkirkan mereka yang
tidak serius menghafal al-Qur‘an.

3) Rumah Tahfizh Al-Banjary Banjarmasin89


Rumah tahfizh ini didirikan secara tidak
sengaja dengan diawali membuka pengajaran al-
Qur‘an secara gratis yang dilakukan oleh Dr.
Dzikri Nirwana, M. Ag. di rumahnya sendiri
secara mandiri. Seiring berjalannya waktu,
jumlah santri yang belajar al-Qur‘an di rumah
pribadi tersebut terus bertambah karena fasilitas

89
Muhammad Dzikri Nirwana, “Metode dan Sistem Pembelajaran al-
Qur’an di Rumah Tahfizh al-Banjary,” Nopember 2018.

80
yang disediakan juga mendukung seperti kue,
minuman dan buku untuk belajar al-Qur‘an,
sehngga rumah tersebut tidak lagi bisa
menampung santri yang terus berdatangan.
Kebanyakan para santri itu adalah tetangga yang
bermukim di sekitar rumah Dzikri sendiri.

Ketika rumah tidak bisa menampung jumlah


santri, pengajaran al-Qur‘an akhirnya
dipindahkan ke langgar yang dekat dengan
komplek rumah Dzikri. Karena pengajaran al-
Qur‘an ini menarik minat dari pemilik komplek
perumahan tempat Dzikri tinggal, beliau
mengusulkan untuk pengajaran al-Qur‘an
tersebut dipindah ke mushalla yang berada
dalam komplek perumahan tersebut, dan
menjamin secara pribadi seluruh biaya
operasional tempat belajar al-Qur‘an tersebut.
Saat menjamurnya rumah tahfizh di wilayah
Banjarmasin dan sekitarnya, pemilik komplek
tersebut mengusulkan untuk mengubah status
rumah belajar al-Qur‘an tersebut menjadi Rumah
Tahfizh. Berdirilah rumah Tahfizh yang
kemudian diberi nama sesuai dengan

81
perumahan di mana rumah tahfizh tersebut
berada.

Seiring berjalannya waktu, santri yang


mengikuti pembelajaran al-Qur‘an terus
bertambah sehingga mushalla tersebut tidak bisa
lagi menampung. Oleh karena itu, sampai
sekarang rumah tahfizh ini menggunakan
beberapa ruang di rumah pemilik perumahan
dan saudaranya. Jumlah santri yang semula terus
bertambah itu kemudian berhenti dan berangsur-
angsur berkurang saat rumah tahfizh ini mulai
memberlakukan peraturan yang ketat. Santri
yang sering bolos dengan berbagai alasan terus
memutuskan untuk berhenti dan tidak lagi
melanjutkan belajar al-Qur‘an di rumah tahfizh
ini. Sekarang santri rumah tahfizh berjumlah
puluhan walaupun belum mencapai angka
seratus. Meski dengan angka biaya yang sangat
murah, hal ini ternyata belum mampu
memancing masyarakat untuk terlibat di
dalamnya, terutama masyarakat sekitar
perumahan tersebut.

82
Kemudian, pemilik perumahan dan rumah
tahfizh tersebut dalam peresmian Rumah
Tahfizh al-Banjary ini menjanjikan kepada setiap
santri yang berhasil menghafal 30 juz selama
belajar di sana, maka akan diberikan umrah
gratis beserta orang tua. Pemilik perumahan ini
menanggung seluruh biaya operasional secara
keseluruhan dan juga menjamin rumah bagi
guru yang hafizh al-Qur‘an 30 juz untuk didiami
dan ditugasi menjadi imam di mushalla tersebut
dan membaca ayat dalam shalat, khusus subuh,
terus bersambung mulai al- Baqarah secara
bersambung hingga 30 juz nantinya.

Rumah Tahfizh ini setelah mengganti


statusnya, mulai memakai metode Ummi yang
dikenal sebagai metode yang beredar di Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (JSIT) selama ini.
Pengurus rumah tahfizh ini menganggap bahwa
metode ini cukup sukses dan bisa memberikan
kontrol yang bagus pada santri untuk
mendukung proses berjalannya rumah tahfizh
ini. Alasan yang lain adalah hampir seluruh guru
yang bekerja di sana sudah tersertifikasi pengajar
metode tersebut. Selain proses belajar dan
83
mengajar yang belum rapi dan masalah
sertifikasi pengajar, metode Ummi saat dipakai
hingga sekarang cukup memberikan hasil yang
bagus. Setiap santri di sini dijamin oleh pemilik,
baju dan peralatan belajar Al-Qur‘an di sini
termasuk mushaf yang dipakai.

4) Pondok Tahfizh al-Ihsan Banjarmasin90


Pondok Pesantren al-Ihsan ini membagi dua
pendidikannya secara mendasar. Pertama,
pendidikan khusus keagamaan dan kedua
adalah pendidikan tahfizh. Jadi para santri yang
menempuh pendidikan tahfizh, hanya akan
menjalani hariannya sebagai penghapal al-
Qur‘an tanpa disibukkan dengan persoalan
pelajaran agama lainnya. Rutinitas yang
dilaksanakan oleh santri tahfizh diatur untuk
menghafal al-Qur‘an secara rutin dan ketat
dalam halaqah yang dibagi saat masuk menjadi
santri.

Santri akan dibagi ke dalam halaqah yang


setiap halaqah hanya berisi maksimal 15 orang

90
Arabi, “Penghargaan Pemerintah Kota Banjarmasin terhadap Para
Hafizh/Hafizhah Tahun 2018.”

84
dan melakukan setoran hafalan secara rutin.
Rutinitas santri dimulai sejak pagi setelah shalat
subuh menyetor hafalan baru sampai jam 8 pagi.
Setelah jam 10 pagi, dilanjutkan dengan
mengulang hafalan lama sampai zuhur. Setelah
ashar, menyetor bacaan hafalan baru sebelum
dihapal besok pagi. Setelah mencapai 30 juz,
maka siapa yang mau menamatkan maka harus
melalui tes yang sangat ketat.

Tes bagi yang sudah menyelesaikan 30 juz


diadakan berjenjang. Dimulai dari setoran per
juz perhari, naik ke 3 juz per hari dan 5 juz
perhari, terus 10 juz perhari hingga 30 juz
perhari. Ini dilakukan secara bertahap sampai
selesai juz 30, hingga bisa menghafal 30 juz
dalam satu hari. Dalam pondok tahfizh al-Ihsan
ini, para santri akan menerima ijazah hafalan
yang diterima dari pimpinan pondok yaitu Ust.
H. Lutfi, disebut-sebut ijazah yang diterima
adalah dari jalur Timur Tengah dan India atau
Asia Selatan. Fenomena ijazah setelah selesai
menghafal 30 juz agak jarang ditemui sekarang,
tidak semua pondok pesantren tahfizh yang
memakai ini sebagai bagian dari pengakuan
85
selesai menghafal 30 juz. Walau masih ada yang
melakukannya, tapi aktor yang menganggap
ijazah hafalan sebagai hal perlu juga semakin
sedikit.

c. Pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren


Pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren di
Kalimantan Selatan terbagi menjadi tiga kegiatan,
yaitu membaca, menghafal al-Qur‘an, dan mengkaji
tafsir al-Qur‘an. Untuk menggambarkan pesantren
di Kalimantan Selatan, peneliti hanya mengambil
sampel saja. PP. Ibnul Amin Pamangkih, PP.
Darussalam Martapura dan PP. Al-Falah Banjarbaru
untuk merepresentasikan Pesantren Salaf, PP. Darul
Hijrah sebagai sampel Pesantren Khalaf/modern.
Untuk mendeskripsikan masing-masing
kekhasan pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren
tersebut, maka data akan dipaparkan berdasarkan
jenis pesantrennya sebagai berikut:
1) Pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren Salaf
Pada pesantren Salaf di atas, tiga kegiatan
berkaitan dengan pembelajaran al-Qur‘an di atas
terlaksana secara rutin walaupun dengan porsi
dan materi yang berbeda. PP. Ibnul Amin
misalnya, karena menekankan pendidikannya
86
pada penguasaan kitab kuning sehingga
pembelajaran al-Qur‘an hanya sampai pada
membaca al-Qur‘an dan mempelajari tajwid
sejak kelas persiapan hingga kelas tiga dan
porsinya sangat kecil dibanding materi yang lain
semisal Fiqh, Bahasa Arab, dan Tauhid. Kajian
tafsir pun hanya didapat ketika kelas empat
dengan kitab tafsir yang diajarkan adalah Tafsir
Jalalain. Tadarus al-Qur‘an dilakukan setiap
malam Jum‘at disertai dengan pembacaan tahlil.
Bahkan di kelas Takhassus, materi al-Qur‘an
sudah tidak diberikan lagi. Hal yang sama juga
terjadi di PP. Darussalam, persentuhan dengan
al-Qur‘an hanya terjadi melalui mata pelajaran
yang disediakan pondok pesantren.
Sedikit berbeda dengan PP. Al-Falah
Banjarbaru. Pondok pesantren ini adalah pondok
pesantren salafi yang mencoba menjembatani
model salafi dan model sekolah negeri. Karena
itu pesantren ini membuka kelas untuk kejar
paket C sebagai jembatan agar para santrinya
bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih
tinggi, walau masih mempertahankan model
pesantren salafinya.

87
Kehidupan santri di sini walau disediakan
asrama namun model pelaksanaan
pengajarannya tidak sama dengan pondok
pesantren modern lainnya yang waktu dan
jadwal kehidupan santri diatur sedemikian rupa.
Di pesantren ini, santri tidak banyak dibebani
jadwal yang ketat selain belajar kitab dan sekolah
sampai sore hari. Pengajian di masjid hanya diisi
dengan pembacaan maulid di hari rabu dan
kamis, selain itu ada pengajian malam senin diisi
secara bergantian oleh para asatidz di sana.
Membaca al-Qur‘an dengan lancar adalah
syarat wajib untuk setiap santri baru al Falah,
baik yang masuk kelas Tahjizi, kelas khusus bagi
mereka yang belum lancar membaca kitab
kuning, atau Kelas Wustha (SMP), bagi yang
sudah memiliki kemampuan membaca kitab
kuning yang baik. Walau bagi setiap santri
dikenalkan dengan metode Tilawati sebagai
pengajaran membaca al-Qur‘an dengan lancar di
pondok pesantren.

Metode pengajaran masih menggunakan


metode lawas, guru membaca secara detail
dengan sesekali menjelaskan, sedangkan santri
88
mendengarkan sambil memberikan tanda baris
dalam kitab yang dimilikinya.

2) Pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren Khalaf


Setiap santri pondok pesantren Darul Hijrah
puteri selalu menghadapi tes baca al-Qur‘an
yang dilakukan bersamaan dengan tes masuk
pondok pesantren. Dari hasil tes baca al-Qur‘an
inilah kemudian anak-anak diklasifikasikan
sesuai kemampuan membacanya untuk
menerima bimbingan membaca al-Qur‘an
dengan menggunakan metode Iqra‘. Seluruh
santri dibimbing oleh ustadzah-ustadzah sampai
mempunyai kemampuan membaca al-Qur‘an
setiap sore atau malam setelah isya disesuaikan
dengan pembimbing masing.
Adapun untuk amalan yang dibaca setiap
hari dalam rutinitas pondok pesantren setiap
setelah ashar membaca Surah ad-Dukhan dan
setelah isya dibacakan adalah al muluk.
Kemudian rutinitas santri yang bersentuhan
dengan al-Qur‘an adalah pembelajaran klub seni
baca al-Qur‘an yang bagian dari ekstrakurikuler
pondok pesantren. Namun, setiap santri baru
bisa mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler
89
jika sudah memiliki ijazah tanda lulus lancar
baca al-Qur‘an di awal masuk.

3. Tradisi Lisan terkait Aspek Keindahan al-Qur’an


Al-Qur‘an pada dasarnya tidak hanya ada untuk
dibaca dan dipahami maknanya, namun resepsi al-
Qur‘an dalam tradisi lisan akan berkenaan dengan
pelantunan ayat-ayat al-Qur‘an dengan indah dan ritmis
sebagai bentuk kesadaran umat Islam akan keindahan
susunan ayat al-Qur‘an itu sendiri. Inilah yang
mendasari adanya seni baca al-Qur‘an dalam bentuk
tilawah dan tartil.

Baru-baru ini, LPTQ Provinsi Kalimantan Selatan


dan Pemerintah Daerah bekerjasama melaksanakan
MTQ Nasional XXXI Tingkat Provinsi Kalimantan
Selatan di Kota Tanjung, Kabupaten Tabalong pada
tanggal 02-08 November 2018. Ada 7 cabang lomba yang
diperlombakan, yaitu cabang tilawah al-Qur’an, hifzh al-
Qur’an, tafsir al-Qur’an, fahm al-Qur’an; syarh al-Qur’an,
khath al-Qur’an, dan musabaqah makalah al-Qur’an.91

91
Muhammad Yusuf Sayudi, “Persiapan dan Pelaksanaan MTQ
XXXI Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,” Nopember 2018.

90
Agar dapat dipaparkan secara jelas, pada bagian ini
hanya dikhususkan untuk membahas tentang cabang
tilawah al-Qur’an karena bagian ini yang khusus
berbicara tentang tradisi lisan masyarakat Banjar yang
melakukan resepsi terhadap al-Qur‘an dari aspek
keindahan. Hal ini bukan berarti sebagai usaha
memisahkan secara dikotomis aspek kelisanan dan
keaksaraan karena pada dasarnya, sebagian para
pelantun tilawah juga mengandalkan buku panduan
sebagai pedoman bacaan seperti karya Ahmad Fathoni
tentang tuntunan praktis maqra’ qira’at mujawwad dari
rawi tertentu.92 Selain itu, cabang ini merupakan
golongan terbanyak yang diperlombakan, yaitu
sebanyak 8 (delapan) golongan. Seni baca yang
diperlombakan pun dibagi menjadi golongan tartil;
golongan tilawah anak-anak, remaja, dewasa, dan cacat
netra; dan golongan qira’at al-Qur’an mujawwad dan
murattal dewasa, serta murattal remaja.

Seni baca al-Qur‘an, baik tilawah maupun tartil


kebanyakan diajarkan secara langsung oleh para qari‘
dan qari‘ah berpengalaman kepada murid-muridnya.
Pembelajaran seni baca al-Qur‘an ini biasanya dilakukan

92
Latifah, “Kesan Seorang Qari’ah sebagai Pengajar al-Qur’an di
TPA dan Sekolah Islam Terpadu.”

91
di TPA-TPA sekitar wilayah Banjarmasin dan khusus
bagi murid yang telah lancar dan bagus dalam membaca
ayat al-Qur‘an. Namun seni baca al-Qur‘an ini juga
diajarkan di masjid atau langgar, seperti di Masjid
Agung Barabai setiap Sabtu dan Minggu oleh Guru
Syarkawi. Di masjid ini, pembelajaran tilawah al-Qur‘an
terbuka untuk segala usia, hal yang tidak ditemukan di
TPA karena biasanya hanya anak-anak dan remaja yang
mengisinya. Berdasarkan wawancara dengan official
MTQ kafilah HST yang juga pegawai Kemenag
kabupaten tersebut, sesi ini banyak didatangi
masyarakat Barabai, ada yang memang bermaksud
belajar tilawah, atau hanya sekedar mendengarkan
setelah mengantarkan anak-anaknya untuk belajar.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa minat


masyarakat Banjar terhadap seni baca indah al-Qur‘an
cukup tinggi, baik yang mempelajari maupun hanya
mendengarkannya saja. Ditambah lagi bahwa dalam
setiap pelaksanaan acara-acara resmi, lantunan tilawah
al-Qur‘an oleh para qari‘ dan qari‘ah pasti menghiasi
pembukaan acara dan telah menjadi tradisi yang masih
bertahan hingga kini. Hal ini menjadi kehormatan dan
kebanggaan tersendiri bagi para qari‘ dan qari‘ah
tersebut atau bahkan keluarganya, selain juga
92
mendapatkan nantinya mendapatkan income yang
merupakan plus-plus dari aktivitas ini. Akhirnya tidak
heran, bagi mereka yang memiliki minat besar terhadap
seni baca ini akan belajar dan berlatih secara serius
hingga terkadang dibimbing secara privat oleh guru
yang merupakan qari’ dan qari’ah senior yang telah
diakui kehebatannya dalam melantunkan ayat al-
Qur‘an.

4. Tradisi Lisan terkait Gerakan Membaca al-Qur’an

a. Gerakan ―Yuk Mengaji‖


Gerakan yang dipelopori oleh Rusdiansyah
M.Pd.I sejak 2014 lalu ini merupakan sebuah
program televisi di TVRI daerah Kalimantan Selatan,
yang dilaksanakan sebagai bagian dari kerjasama
antara TVRI Kalimantan Selatan dengan IAIN
Antasari (sebelum berubah status menjadi UIN) di
tahun 2007. Program ini terus dijalankan sampai
tahun 2012 hingg vakum selama dua tahun dan
kembali diaktifkan oleh Rusdiansyah atas
permintaan pribadi untuk mengisi program tersebut.

Sejak tahun 2014, Rusdiansyah menjalankan


program ini selama seminggu satu kali penayangan
dan bersifat tayangan langsung. Program ini,

93
menurut pengakuan Rusdiansyah, memiliki
penonton yang aktif dan terus bertumbuh hingga
sekarang sehingga Rusdiansyah berinisiatif untuk
membuat sebuah gerakan dan diberi nama sesuai
dengan nama program televisi yang diawakinya,
yaitu ―Yuk Mengaji‖.

Dari program televisi yang terus bertahan hingga


sekarang, Rusdiansyah membuat metode mengaji al-
Qur‘an dan mulai menyebarkannya kepada mereka
yang berminat, khususnya bagi pembelajar al-Qur‘an
yang tidak terikat pada lembaga atau metode yang
khusus. Melalui metode tajwid yang
dikembangkannya bersama Fakhrie Hanief sebagai
rekan, Rusdiansyah terus menyebarkan metodenya
dari pertemuan ke pertemuan yang diselenggarakan
melalui jaringan pertemanan, khususnya
pertemanan sesama alumni MTQ di berbagai daerah.

Rusdiansyah hingga sekarang terus


mengembangkan metode tajwid yang dia asuh
tersebut untuk dapat digunakan secara massal,
terutama di daerah Kalimantan Selatan dan Tengah.
Metode tajwid ini sebenarnya tidak banyak berbeda
dengan metode yang lain. Akan tetapi menurutnya,

94
metode ini bisa dipelajari dengan sangat mudah dan
memiliki standar yang baik dan jaminan yang bisa
dipertanggungjawabkan.

Metode tajwid ini nampaknya masih harus


menempuh jalan yang panjang untuk menjadi
metode yang dapat dipakai secara massal, karena
persaingannya dengan metode yang sudah mapan
diakui Rusdiansyah bukanlah hal yang mudah.
Kepercayaan masyarakat pada metodenya memang
belum banyak didapat, karena peredaran metode ini
masih terbatas pada kalangan yang cukup kecil dan
metode ini belum terlalu matang untuk di-launching
sebagai sebuah metode mengaji al-Qur‘an yang
komprehensif karena yang menonjol di metode ―yuk
mengaji‖ ini hanya metode tajwid saja, belum
teraplikasi pada metode membaca yang lebih baik.

b. Gerakan ―One Day One Juz‖ Kalimantan Selatan


Menurut Eva F. Nisa dalam artikelnya, gerakan
―One Day One Juz‖ yang lebih dikenal dengan
ODOJ, adalah gerakan yang dikembangkan sebagai
bagian dari dakwah online yang melawan dari hal-
hal yang merusak dalam media online, seperti
pornografi online dan propaganda terorisme,

95
termasuk ujaran kebencian. Sehingga, gerakan ODOJ
cukup mendapatkan tempat di kalangan umat
Muslim Indonesia.93

Tercatat dalam artikel tersebut juga hingga tahun


2015 saja, keanggotaan dari gerakan ini sudah
mencapai 150.000 orang. Gerakan ini berkembang di
kalangan anggota yang tergabung gerakan Tarbiyah,
gerakan dakwah yang familiar sejak tahun 1970an
terutama di kalangan kampus negeri, sejak Bhayu
Subrata di tahun 2004 mempromosikan gerakan
ODOJ melalui sms dan blog.94

ODOJ mulai berhasil menyedot banyak anggota


sejak tahun 2013, karena mengadopsi aplikasi
Whatsapp sebagai medium dalam meraih anggota
dan menyebarkan berita tentang kegiatannya.
Keberhasilan ODOJ juga didorong dengan adanya
dukungan dari Ustadz Fatah Yasin yang
mempublikasikan apa yang telah dilakukan oleh
ODOJ yang awalnya adalah bagian dari gerakan
Tarbiyah menjadi tersebar dan banyak meraih

93
Eva F. Nisa, “Social Media and the Birth of an Islamic Social
Movement: ODOJ (One Day One Juz) in Contemporary Indonesia,”
Indonesia and the Malay World 14, no. 34 (2018): 24–43.
94
Ibid.

96
anggota dari mereka yang bukan dari gerakan
Tarbiyah.

Gerakan ini sangat cair, sebab tidak terlalu


mengkhususkan daerah pada awalnya, namun
pengelompokan daerah akhirnya menjadi penting
saat isu ―kopdar‖ (Kopi Darat), istilah yang
digunakan oleh masyarakat digital untuk bertemu
secara fisik, semakin diminati. Di Banjarmasin,
peserta ODOJ ini pada awalnya berjumlah ribuan,
sekarang mungkin berkurang. Menurut pengakuan
TY, masuk ke gerakan ODOJ adalah bagian dari
usahanya untuk merubah diri ke jalan yang lebih
baik, atau akrab dengan istilah ―hijrah‖.

Bagi kalangan milllenial, ODOJ adalah bagian


dari eksistensi diri dalam rangka hijrah. Jadi ODOJ
juga bagian yang sama seperti jilbab panjang dan
besar untuk perempuan dan celana cingkrang untuk
laki-laki. Gerakan ODOJ yang diikuti oleh TY selama
dua tahun tersebut, ditinggalkannya karena
keteteran mengejar target bacaan mengaji yang
diberikan, yakni satu juz per hari. Dalam
perkembangannya karena alasan tersebut,
muncullah suatu yang berusaha mengembangkan

97
gerakan baru yang berbasis sama dengan ODOJ,
akan tetapi hanya berbeda dalam target bacaan yaitu
setengah juz per hari.

Menurut TY, kebanyakan yang bergabung


bersama ODOJ adalah kalangan perempuan, dan
alasannya hampir serupa yakni ingin merubah diri
menjadi lebih baik. Kepanikan moral yang
dihasilkan dari modernitas akhirnya menggiring
pada masyarakat Muslim tidak puas atas
keberagamaannya selama ini dan keinginan untuk
berubah lebih baik itu menjadi mengebu-gebu, yang
mana ini kebanyakan terjadi di kalangan
perempuan. Dengan berusaha membaca al-Qur‘an
satu juz perhari, TY mengambarkan bahwa dirinya
sudah melakukan hal yang baik. Walah TY sadar
bahwa kekurangannya dalam membaca al-Qur‘an
tidak berkurang tapi bagi TY sudah merasa cukup
dengan membaca al-Qur‘an semampu dirinya. Inilah
kritik paling tajam tertuju pada gerakan ODOJ,
termasuk dari kalangan sendiri, yaitu pengawasan
akan standarisasi pembacaan al-Qur‘an tidak bisa
dijamin oleh gerakan ODOJ, karena menurut
otoritasnya mengatakan bahwa itu bukanlah tugas

98
dari mereka, karena ODOJ hanyalah gerakan
membaca bukan gerakan pengajaran al-Qur‘an.

C. Bentuk Keaksaraan al-Qur’an Masyarakat Banjar

Jika sebelumnya telah dibahas persentuhan


masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an secara lisan, maka
pada bahasan ini dikhususkan untuk kajian tentang
keaksaraan terkait al-Qur‘an. Seperti pembahasan
tentang kelisanan, sub bahasan juga dibagi menjadi 4
(empat) kategori, yaitu tradisi tulis al-Qur‘an dalam
kehidupan sehari-hari, tradisi tulis terkait pembelajaran
al-Qur‘an dalam lembaga, dan tradisi tulis terkait aspek
keindahan, dan tradisi tulis melalui persebaran teks al-
Qur‘an.

1. Tradisi Tulis al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-


hari
a. Tulisan al-Qur‘an berkaitan Bacaan Rutin
Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada
bahasan terdahulu, masyarakat Banjar dalam
kesehariannya bersinggungan dengan al-Qur‘an
mengandalkan mushaf al-Qur‘an, buku Yasin, dan
al-Ma‘tsurat. Mushaf al-Qur‘an dapat ditemukan
dengan mudah di toko-toko buku atau kitab di
Pasar. Pada dasarnya ada perbedaan yang signifikan

99
dalam hal pemilihan mushafnya. Masyarakat Banjar
awam memiliki kecenderungan untuk membeli
mushaf al-Qur‘an yang besar dengan rasm Imla‘i
yang dari segi kaidah tidak mengikuti Mushaf
Utsmani. Sementara masyarakat Banjar yang pernah
mengenyam pendidikan pesantren akan tahu beda
mushaf tersebut dan lebih menyukai membaca al-
Qur‘an dengan Mushaf Utsmani atau dikenal juga
dengan Mushaf Pojok. Selanjutnya, ditambah
dengan kemajuan digital sekarang, seringkali
mushaf yang digunakan sudah berbentuk aplikasi
sehingga pembacanya, khususnya mereka yang
berasal dari generasi millineal tidak perlu repot
membawa mushaf cetak ke mana-mana, cukup
menggunakan aplikasi al-Qur‘an dalam ponsel
pintar masing-masing yang pasti selalu di bawa
kemana-mana.

Pemanfaatan aplikasi digital untuk al-Matsurat


juga sudah banyak dilakukan, namun nampaknya
orang Banjar lebih menyenangi versi cetaknya
karena bentuknya yang kecil dan praktis, tidak
menyulitkan untuk dibawa kemana-mana. Alasan
lainnya tentunya kaum Tuha Banjar masih ada yang
gaptek. Selain itu, walaupun aplikasi dalam ponsel
100
pintar juga sama praktis, namun banyak hal terjadi
jika ponsel selalu digunakan, khususnya baterai
yang dipakai menunjang bersamaan dengan aplikasi
lainnya.

Selain itu, temuan menarik lainnya adalah


bertahannya buku-buku Yasin yang biasanya dicetak
untuk mengenang seseorang Banjar yang telah
meninggal. Pencetakan buku Yasin atas nama orang
yang telah meninggal tersebut diharapkan akan
memberikan amal jariyah bagi para penggunanya
ketika mereka membaca Surah Yasin dan doa-doa di
dalamnya. Tradisi ini masih banyak ditemukan di
daerah Hulu Sungai. Sampai saat ini, aplikasi digital
belum akan mampu menggerusnya, mengingat
tujuan pencetakannya yang tidak akan terpenuhi jika
dalam bentuk digital.

b. Tulisan al-Qur‘an untuk Kepentingan Tertentu


Dalam masyarakat Banjar, al-Qur‘an dituliskan
untuk kepentingan tertentu dalam bentuk rajah.
Rajah ini dimaksudkan untuk beragam maksud dan
tujuan, berkaitan dengan kekuatan ataupun
pengobatan. Seringkali ayat al-Qur‘an yang ditulis
adalah Ayat Kursi, tentunya dengan beragam bentuk

101
huruf dan pola. Dewasa ini rajah mulai kehilangan
pamornya seiring perkembangan teknologi dan
pengetahuan yang mengandalkan rasionalitas.

Masyarakat Banjar sering membuat buku


kumpulan Yasiin, beberapa surah yang lazim dibaca
masyarakat seperti al-Waqi‘ah dan al-Muluk, dan
beberapa doa penting seperti doa Haul, Tahlil dan
doa-doa lainnya, yang biasanya dibagikan saat acara
tahlilan 40 hari. Maksud masyarakat membuat buku
tersebut biasanya dicantumkan di bagian bawah
cover buku, agar setiap orang yang memakai buku
tersebut bisa mendoakan dan menjadi amal jariah
untuk mayit.

c. Peraturan Daerah tentang Pendidikan al-Qur‘an


Demi menjamin terselenggaranya pendidikan
agama dan al-Qur‘an yang baik, sejak tahun 2009
silam, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan
Pemerintah Daerah Kota Banjarmasin telah
mengeluarkan peraturan daerah secara khusus
terkait hal ini. Berikut peraturan daerah tersebut:

1) Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3


Tahun 2009 tentang Pendidikan al-Qur‘an di
Kalimantan Selatan. Perda ini dimaksudkan

102
untuk mendorong terwujudnya generasi
Islami yang beriman, cerdas, dan berakhlak
mulia melalui pendidikan al-Qur‘an yang
diselengarakan lembaga formal di bawah
pengawasan pemerintah.
2) Perda Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010
tentang Wajib Baca Tulis al-Qur‘an bagi
Siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah,
Siswa Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah, dan Siswa Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah
Kejuruan serta Calon Pengantin yang
Beragama Islam.
3) Perda Kota Banjarmasin Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pemberantasan Buta Aksara. Perda
ini dimaksudkan untuk membangun
keaksaraan penduduk dewasa yang belum
bisa membaca, menulis atau berhitung, dan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,
sekaligus juga bahasa al-Qur‘an

Dari isi perda di atas, nampak sekali bahwa


pemerintah Kalimantan Selatan khususnya Kota
Banjarmasin sangan konsen terhadap pendidikan
baca tulis aksara al-Qur‘an.
103
2. Tradisi Tulis terkait Pembelajaran al-Qur’an pada
Lembaga
a. Pembelajaran al-Qur‘an di TPA
Di pembahasan sebelumnya telah disinggung
bahwa TPA di seputaran Kalimantan Selatan
menggunakan metode Iqra‘ yang dikembangkan
oleh BKPRMI dalam pengajaran al-Qur‘an. Oleh
karena itu, teks yang beredar di dalamnya adalah
Iqra‘ Jilid 1-6 serta mushaf al-Qur‘an itu sendiri,
selain itu ada juga pemakaian buku metode Tilawati
di TPA.

b. Pembelajaran al-Qur‘an di Pondok dan Rumah


Tahfizh
Pada dasarnya, teks yang beredar di masing-
masing pondok tahfizh berbeda, namun secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perbedaan
ini hanya terletak pada metode yang dikembangkan
dan buku panduannya. Adapun untuk kitab lainnya
belum tersentuh.

c. Pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren


Untuk mendeskripsikan masing-masing ke-
khasan pembelajaran al-Qur‘an di Pesantren

104
tersebut, maka data akan dipaparkan berdasarkan
jenis pesantrennya sebagai berikut:

1) Teks al-Qur‘an di Pesantren Salaf


Telah dijelaskan di atas bahwa dalam PP.
Ibnul Amin penekanan pendidikan berada pada
penguasaan kitab kuning. Teks yang beredar
seputar al-Qur‘an pun hanya buku Tajwid dan
Tafsir Jalalain. Adapun di PP. Darussalam,
tradisi teks terkait al-Qur‘an lebih kompleks
karena lebih banyak kitab yang dipelajari. Santri
awaliyah akan bersentuhan dengan kitab Doa‘,
Tajwid Malayu, Tajwid Al-Qur‘an, dan Risalah
Jamal (Mata Pelajaran Khat). Selain dari
penggunaan kitab Baghdadiyah dan Juz Amma
sebagai pengantar pelajaran al-Qur‘an di
pondok. Semuanya dimasukkan sebagai mata
pelajaran di pondok pesantren. Kitab Tajwid
Malayu dan Tajwid Al-Qur‘an adalah khulasah
dari kitab yang dipelajari pendahulu pondok
pesantren Darussalam saat menuntut ilmu di
Mekkah, salah satunya Madrasah Shaulathiyah.

Santri tingkatan Wustha mempelajari ilmu


tafsir, ushul tafsir, Tafsir Jalalain beserta

105
syarahnya yaitu Ash-Shawi. Kitab yang
digunakan dalam mata pelajaran ilmu tafsir dan
ushul tafsir adalah catatan sekolah pendahulu
pondok yang kemudian ditulis ulang tanpa
mencantumkan siapa yang menuliskannya.
Sedangkan untuk tingkatan Ulya, kitab yang
digunakan untuk mata pelajaran tafsir adalah
Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani.

Pendahulu pondok yang disebut sebagai


penulis buku tersebut adalah KH. Anang
Sya‘rani Arief dan KH. Kasyful Anwar.
Sayangnya, tidak semua kitab tersebut
menyebutkan sumber kitab utama. Metode
penulisan kitab tersebut adalah tanya jawab dan
semacam catatan penulisnya yang tidak semua
juga mencantumkan namanya sebagai penulis.
Teknik penulisan tanya jawab dan catatan ini
sangat memudahkan para santri dalam belajar
dan bersentuhan dengan keilmuan Al-Qur‘an
yang selama ini berbentuk kitab-kitab tebal dan
deskriptif.

106
Adapun mata pelajaran dan kitab yang
berkaitan dengan al-Qur‘an di pondok pesantren
al-Falah adalah:

a) Kelas Tahjizi, kitab yang dipakai adalah


Tilawati sebagai pengajaran al-Qur‘an
dan kitab tajwid, terjemahan bahasa
melayu dari kitab Hidayatusshibyan.
Tafsir dan Ushul Tafsir belum dipelajari
di kelas ini.
b) Kelas Wustha, kitab yang dipakai dalam
pengajaran Al-Qur‘an dan Tajwid adalah
Hidayatul Mustafid dan Fathul Athfal.
Untuk mata pelajaran tafsir adalah
Jalalain digandeng dengan Shawi sebagai
syarah. Sedangkan Ushul Tafsirnya
memakai Ilmu Tafsir dan Fadhailul
Khabir.
c) Untuk kelas Ulya, pengajaran al-Qur‘an
dan tajwid tidak ada lagi, yang ada hanya
kitab Marah Labid sebagai kitab yang
digunakan dalam pelajaran Tafsir dan
Ushul Tafsirnya memakai Itqan dan
Nubjatul Itqan sebagai syarah.

107
2) Teks al-Qur‘an di Pesantren Khalaf
Buku yang digunakan dalam mata pelajaran
Tafsir adalah Kitab Tafsir yang sama digunakan
juga di Pondok Pesantren Gontor. Namun, titik
tekan dalam pelajaran ini adalah bukan pada
penguasaan tafsir dalam peserta didik, dalam hal
ini santri, disebabkan santri pondok pesantren
DD lebih dikuatkan pada penguasaan bahasa
asing, baik bahasa Inggris atau Arab. Setiap
tingkatan kelas, kitab yang dipergunakan juga
berbeda. Dari kelas 1 Tsanawiyah hingga kelas 3
Aliyah, semuanya memiliki buku yang berbeda
dan disesuaikan dengan kurikulum yang
diadopsi secara penuh dari pesantren Gontor.
Penggunaan kitab ini sudah berlangsung cukup
lama, dan tidak ada evaluasi dalam penggunaan
kitab, yang ada hanya evaluasi teknik mengajar
dari pengampu mata pelajaran yang dilakukan
secara rutin setiap 3 bulan.

Guru yang mengampu mata pelajaran tafsir


sudah dipilih melalui rapat dewan guru melalui
divisi pengajaran di dalam struktur pelaksanaan
pondok pesantren. Setiap guru juga memiliki
kitab pegangan khusus dalam mengampu mata
108
pelajaran tafsir. Setiap guru pengampu mata
pelajaran dievaluasi oleh dewan guru yang lain
dalam setiap rapat rutin evaluasi dewan guru
yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Dalam
rapat tersebut, guru lain akan memberikan
catatan dari cara penyampaian atau metode
pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut
dalam mengampu mata pelajaran tafsir. Kritik
dan saran yang masuk lebih banyak
mengomentari soal metode mengajar, hampir
tidak ada yang menyentuh pada materi tafsir
yang akan disampaikan kepada santri, karena
tradisi yang dijaga adalah penguasaan bahasa.
Jadi, materi tafsir hanyalah pengantar bagi santri
sebagai penerima pengetahuan untuk
meningkatkan penguasaan mereka pada bahasa
asing.

Potensi guru untuk memasukkan ideologi


dalam materi pelajaran tafsir sangat kecil
kemungkinannya. Sebab materi yang
disampaikan cukup banyak, sehingga jika
memasukkan materi tambahan selain apa yang
dituliskan dalam buku adalah sesuatu yang akan
menyita waktu yang akan berdampak pada tidak
109
tercapainya batas materi yang ada di dalam
kurikulum tafsir. Peran guru akhirnya cuma
sebagai media pengantar pengetahuan kepada
murid, sehingga kontrol pengetahuan kepada
santri masih bisa dibilang minim.

Kitab yang digunakan adalah cetakan dari


pondok pesantren Gontor, yang disusun oleh
salah satu pengajar pondok pesantren Gontor.
Informasi yang didapat dalam eksplorasi kitab,
hanya didapatkan dari mendalami isi kitab
tersebut.

3. Tradisi Tulis terkait Aspek Keindahan


Jika berbicara tentang tulisan al-Qur‘an yang indah,
maka pasti akan langsung teringat pada kaligrafi sebagai
seni menulis indah al-Qur‘an. Dengan ukiran yang
membuat takjub mata, ayat-ayat al-Qur‘an ditulis
dengan indah dan dihiasi dengan beragam dekorasi di
sekelilingnya. Membuat kaligrafi al-Qur‘an memerlukan
ketelatenan dan kehati-hatian karena dituliskan dengan
tangan menggunakan tinta yang akan merusak
keindahannya jika ditemukan ukiran yang tidak
sempurna.

110
Seiring kemajuan teknologi printing atau cetak,
kaligrafi al-Qur‘an akhirnya juga mendapat
sentuhannya sehingga orang tidak perlu repot lagi
menuliskannya yang tentunya juga membutuhkan
waktu yang lama. Di rumah-rumah urang Banjar yang
masih mempertahankan tradisinya, hiasan kaligrafi al-
Qur‘an biasanya menghiasi dinding ruang tamunya,
baik hasil tulisan tangan atau hanya berupa cetakan,
beserta dengan poster beberapa ulama.

Walaupun teknologi printing telah maju,


nampaknya masyarakat Banjar masih menyukai
kaligrafi al-Qur‘an yang asli buatan tangan. Salah satu
buktinya adalah lomba khat al-Qur‘an yang merupakan
cabang lomba dalam MTQ XXXI Tingkat Nasional
Provinsi Kalimantan Selatan kemaren tidak sepi dari
pesertanya.

Selain memuat nuansa estetis, kaligrafi al-Qur‘an ini


memiliki nilai ekonomis karena diperjualbelikan oleh
penulisnya. Ayat-ayat yang dituliskan biasanya adalah
Ayat Kursi, Surah al-Ikhlas, Surah al-Fatihah, ataupun
fragmen-fragmen al-Qur‘an yang diyakini orang Banjar
memiliki kekuatan tersendiri, misalnya untuk
menangkal bala. Ketika kaligrafi ini dipajang di dalam

111
rumah orang Banjar, dia tidak hanya dimaksudkan
sebagai pajangan estetika namun juga menyimpan nilai
magis yang akan melindungi rumah tersebut dari
bahaya.

Kaligrafi al-Qur‘an juga sering kali menjadi


ornament dinding di masjid atau langgar di sekitaran
daerah Kalimantan Selatan, khususnya masjid-masjid
besar di ibukota kabupatennya. Dan yang semakin
banyak ditemukan adalah kaligrafi fragmen ayat al-
Qur‘an berbentuk sticker yang ditempel pada bagian
belakang mobil, motor, laptop, atau tempat-tempat
lainnya. Ini membuktikan bahwa persentuhan
masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an dalam tradisi tulis,
khususnya kaligrafi, tidak hanya sekedar mengapresiasi
estetika huruf al-Qur‘an namun telah menghidupkannya
dalam keseharian mereka.

4. Tradisi Tulis terkait Penyebaran Teks al-Qur’an

a. Penyebaran Teks melalui Toko Buku


Kemunculan toko buku yang mengkhususkan
pada teks-teks keagamaan adalah fenomena yang
tidak asing dalam masyarakat Banjar. Gang Penatu
adalah bagian yang penting dalam persebaran buku
keagamaan di masyarakat Banjar, sebab di gang

112
sempit di tengah kota Banjarmasin ini ada beberapa
toko buku yang menyediakan khusus buku-buku
keagamaan saja. Toko buku di sini sudah beroperasi
di atas 10 tahun dan sangat dikenal terutama di
kalangan santri, sebab toko buku di sana ada yang
mengkhususkan menjual kitab-kitab yang dipakai
oleh kalangan santri di pesantren masing-masing.
Namun, seiring kemudahan akses dan hubungan
antar daerah, toko buku pun semakin bertumbuhan
di tanah Banjar.

Toko buku yang menjual buku keagamaan tidak


lagi cuma di gang penatu saja, tapi sudah semakin
banyak menyebar dan sudah berupa toko yang lebih
modern. Ketersediaan buku tidak hanya berupa
kitab-kitab saja, tapi juga menyentuh buku-buku
keagamaan, tergantung sekali pada model toko
buku. Kehadiran toko buku modern biasanya
menyediakan buku keislaman yang lebih beragam,
baik nasional hingga internasional, sedangkan lokal
cuma mendapatkan porsi yang sangat sedikit. Untuk
toko lokal, biasanya lebih banyak menyediakan buku
yang lebih segmented.

113
Buku-buku terbitan lokal, sebagaimana buku
terbitan penerbit nasional, juga bervariasi dari sisi
muatan ideologinya. Misalnya, penerbit dan toko
buku Sahabat yang menyediakan buku-buku
keislaman dalam konteks lokal. Buku-buku yang
diproduksi dan disebarkan oleh toko buku Sahabat
adalah buku yang ditulis oleh penulis-penulis lokal
dalam bingkai keislaman yang lebih bersentuhan
dengan tradisi kaum tuha. Selain itu toko buku ini
juga memproduksi buku-buku tentang sejarah Islam
lokal seperti manakib tokoh lokal dan sejarah tokoh
Islam lokal.

Di tengah minimnya minat baca masyarakat


Banjar, toko buku ini terus bertahan dengan
konsistensinya dalam memproduksi karya-karya
lokal baik yang berbahasa Indonesia dan Arab
Melayu. Toko ini sebenarnya menyasar konsumen
yang cukup segmented, yaitu mereka yang akrab
dengan tradisi kaum tuha dan berasal dari Banjar,
walau terus berkurang secara jumlah karena pada
dasarnya mereka yang akrab dengan tradisi ini tidak
terlalu banyak lagi. Sementara kalangan anak muda,
yang berasal dari tradisi ini sudah tidak banyak lagi

114
yang tertarik dengan karya-karya yang diproduksi
oleh penerbit sekaligus toko buku ini.

Buku-buku yang dihasilkan toko buku ini


sebenarnya bisa dibagi ke dalam beberapa varian.
Pertama, sejarah lokal. Buku-buku yang terkait
dalam tema ini adalah buku-buku manakib para
datu yang ada di sekitar Kalimantan Selatan. Kedua,
buku keislaman lokal. Buku-buku ini biasanya
adalah karangan ulama-ulama lokal yang menulis
buku yang biasanya disampaikan dalam majelis
ta‘lim yang mereka asuh, seperti Cahaya Asmaul
Husna dan Simpanan Berharga, atau buku-buku
karangan ulama lokal yang sudah terkenal seperti
buku karangan Kyai Haji Muhammad Zaini Ghani
atau lebih akrab dengan panggilan guru Sekumpul.
Ketiga, buku atau kitab yang umum beredar di
masyarakat, boleh karena dipakai di banyak
pesantren atau majelis ta‘lim, seperti Tafsir Juz
Amma, Maraqiy al-Ubudiyah atau Kitab Mujarrabat.

Dari ketiga kategori yang diterbitkan toko buku


ini, buku yang diproduksi memang tidak hanya
terbatas pada kitab yang berbahasa latin, tapi lebih
banyak beraksara Arab Melayu dengan bahasa

115
Indonesia. Mengingat buku yang diproduksi
berkaitan dengan agama Islam menyebabkan teks al-
Qur‘an banyak muncul dan dikutip. Dalam buku
yang berbahasa Arab Melayu selain Tafsir Juz
Amma, al-Qur‘an masih memakai cara pengutipan
yang lazim dipakai oleh kitab-kitab Arab Melayu,
khususnya yang beredar di tanah Banjar seperti kitab
Risalah Amal Ma’rifah dan Sanjata Mukmin. Kutipan
seperti ini disebut sebagai cara paling praktis yang
digunakan oleh para ulama terdahulu dalam
menjelaskan teks yang mereka tulis.

Selain toko Sahabat yang menyediakan kitab-


kitab lokal, belum ada ditemukan penerbit lain yang
menyediakan atau memproduksi kitab lokal, kecuali
penerbitan yang tidak resmi seperti Majelis taklim
yang memproduksi buku-buku yang diajarkan
dalam majelis ta‘lim sendiri, seperti Majelis Syukri
Unus Martapura. Akan tetapi untuk persebaran
kitab-kitab yang dipakai dalam pembelajaran seperti
Pesantren, biasanya disediakan oleh koperasi dalam
pesantren itu sendiri atau toko buku di luar wilayah
pesantren. Toko-toko buku atau kitab yang seperti
ini bisa ditemukan di wilayah Martapura dan
Banjarmasin.
116
Kitab yang beredar melalui toko buku atau
koperasi ini, karena sangat jelas menyasar segmen
yang kecil, secara otomatis jarang sekali
menyediakan buku-buku selain yang dipakai oleh
para santri. Kitab yang dipakai oleh santri adalah
yang bisa dipakai dan digunakan dalam masyarakat
Banjar, seperti Tafsir Jalalain dan Syarah ash-Shawi.
Hal ini dikarenakan adanya keyakinan bahwa
nantinya para santri inilah yang akan
mengajarkannya di tengah masyarakat. Selain itu,
terdapat kitab-kitab tipis yang berkaitan dengan
pelajaran santri seperti Tajwid, Ilmu Tafsir, Ushul
Tafsir, Tafsir, Baghdadiyah, dan lain-lain. Hal ini
juga dapat ditemukan di pesantren modern, seperti
PP. Darul Hijrah. Kajian al-Qur‘an di pesantren
modern lebih banyak hadir dalam bentuk bahasan-
bahasan singkat di buku-buku pelajaran saja.
Kalaupun santri bisa mengakses buku selain
pelajaran yang ada dalam pesantren, maka itu
kebanyakan bersifat perseorangan.

Akan tetapi, ada yang menarik di PP.


Darussalam Martapura, yaitu buku pelajaran di sana
adalah buku yang dihasilkan dari catatan atau
ringkasan yang diterima oleh guru mereka di
117
Mekkah, namun dalam buku tersebut tidak ada
diberikan penjelasan siapa yang membuat catatan
atau ringkasan dari kitab tersebut. Menurut
informasi yang didapat, buku atau kitab tersebut
dicatat oleh salah satu dari Kyai Haji Anang Sya‘rani
Arief atau Kyai Haji Kasyful Anwar.

Akses buku-buku keislaman yang memuat ayat


al-Qur‘an di dalamnya dan memiliki haluan
ideologis bisa didapatkan masyarakat Banjar dari
toko-toko buku kecil yang memang menjual buku-
buku berhaluan ideologis seperti tahriri atau
tarbiyah. Tafsir dan buku-buku tentang al-Qur‘an
pun tersedia di toko buku seperti itu. Toko buku
―Yuk Hijrah‖ adalah salah satu contoh yang menjual
buku segmen ideologis tertentu.

b. Al-Qur‘an dalam Wajah Digital


Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang
cukup responsif dalam berhadapan dengan
teknologi. Mereka cukup akrab dengan
perkembangan teknologi informatika, termasuk
teknologi internet dan media sosial. Sebagaimana
masyarakat yang sudah terpapar dengan teknologi,
maka informasi yang didapatkan oleh masyarakat

118
Banjar tidak lagi cuma diperoleh dari buku dan
pengajian biasa. Tapi, juga menerima informasi dari
media sosial dan internet, termasuk informasi
keagamaan.

Jika dilacak lebih jauh akan arus informasi


keagamaan dalam wajah digital, ditemukan dua
model arus informasi. Pertama, melalui software,
seperti Maktabah Syamilah. Aplikasi ini memudahkan
masyarakat Banjar khususnya mereka yang masih
belajar dalam mencari kitab-kitab utama dalam
kajian al-Qur‘an. Namun memang perlu
digarisbawahi adalah software tersebut merupakan
buatan mereka yang beraliran Wahabi, sehingga
perlu kehati-hatian dalam mengakses buku atau
kitab di dalamnya. Akses terhadap software ini,
cukup terbatas sebab semua kitab yang ada di
dalamnya adalah berbahasa Arab, sehingga yang
bisa mengakses software ini adalah mereka yang
memiliki kemampuan berbahasa Arab saja.

Kedua, melalui internet dan media sosial.


Menurut penuturan NR, selama bersekolah
menengah atas, dia dan teman-temannya kerap
diminta mencari ayat atau dalil tentang suatu

119
masalah dalam Islam, melalui laman pencarian
seperti Google dan Yahoo.95 Mereka yang terpapar
informasi seperti ini rata-rata tidak memiliki
kedalaman keilmuan yang bagus dalam
membedakan perbedaan pemahaman dalam al-
Qur‘an, sehingga pemahaman keagamaan mereka
sangatlah cair dan tidak terikat dalam salah satu
aliran. Mereka ini juga yang paling banyak
mengkonsumsi ayat-ayat al-Qur‘an dalam bentuk
meme yang biasanya disebarkan melalui media
sosial. Walaupun tidak dapat ditutupi, mereka yang
memiliki kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan
yang cukup, seperti lulusan pesantren juga ikut
mengakses informasi keagamaan yang tersedia di
internet.

Dalam persoalan ini, Abdul Halim menuliskan


dalam bukunya berjudul ―Wajah al-Quran di Era
Digital‖, disamping sifatnya yang egaliter, al-Qur‘an
yang tampil dalam wajah meme di media sosial
memunculkan masalah yaitu absennya otoritas
dalam persebaran meme. Akhirnya, pesan-pesan
meme tersebut akan diuji sejauh mana ia disebarkan,

95
Rahmatina, “Pembelajaran al-Qura’an di Sekolah Formal.”

120
dibagikan, dan dikomentari. Siapa yang paling
banyak dilike, share dan kometar, maka itulah yang
paling otoritatif.96

Inilah yang juga dihadapi masyarakat Banjar saat


bersentuhan dengan meme al-Qur‘an, yang mereka
temui di media sosial atau aplikasi berkirim pesan
seperti Whatsapp. Pesan yang disampaikan tunggal
dan sangat jelas, sehingga tidak ada ruang
perbedaan penafsiran di dalamnya. Yang menjadi
masalah lainnya adalah dikuasainya ranah media
sosial dan internet oleh kalangan tekstualis.
Penafsiran keagamaan yang dikonsumsi oleh
masyarakat Banjar juga dipengaruhi oleh keadaan
ini. Dikarenakan konsumsi internet yang cukup
tinggi di kalangan masyarakat Banjar
mengakibatkan penafsiran agama mereka semakin
banyak terpengaruh dan tercampur dengan
penafsiran tekstualis yang menguasai ranah digital
dewasa ini.

96
Abd. Halim, Wajah Al-Qur’an Di Era Digital (Yogyakarta: Penerbit
Sulur, 2018), 25.

121
122
BAB IV
DINAMIKA KELISANAN DAN KEAKSARAAN AL-
QUR’AN DALAM
TRADISI DISKURSIF MASYARAKAT BANJAR

Tradisi kelisanan dan keaksaraan dalam bingkai al-


Qur‘an di tanah Banjar ini berkelindan dengan berbagai
hal, diantaranya persoalan tradisi, agen, ideologi,
jaringan persebaran dan lain-lain. Menulis tradisi ini
adalah bagian dari merekam bagaimana pergerakan
tradisi kelisanan dan keaksaraan dalam bingkai al-
Qur‘an. Al-Quran yang sudah melekat lama dalam
kehidupan masyarakat Banjar sudah bertransformasi
dalam berbagai bentuk dan fungsinya masing-masing.

Al-Qur‘an yang bertransformasi dalam bingkai


kelisanan dalam masyarakat Banjar cukup
mendominasi. Ini disebabkan masyarakat Banjar yang
dikenal sebagai masyarakat penutur, oleh sebab itu lebih
dekat dengan kultur kelisanan. Bentuk paling awal yang
bisa dilacak adalah mantra. Tradisi ini menjadi
persentuhan pertama masyarakat Banjar dengan al-
Qur‘an. Sekarang tradisi ini sudah banyak ditinggalkan

123
oleh masyarakat Banjar dan alasan yang bisa
dikemukakan adalah gencarnya usaha purifikasi di
tengah masyarakat Banjar, terutama melalui praktik
tandingan fenomena ruqyah syar‘iyyah. Selain itu,
tradisi ini juga dianggap ketinggalan zaman saat
masyarakat sudah bersentuhan dengan era teknologi.
Masyarakat Banjar sendiri tidak mampu menjaga
eksistensi tradisi ini dikarenakan memang tidak ada
otoritas yang mengawakinya.

Kelisanan yang paling bertahan dan paling banyak


bersentuhan dengan masyarakat Banjar adalah ceramah
agama atau pengajian. Beberapa pengajian masyarakat
Banjar menggunakan tafsir al-Qur‘an sebagai
pengantarnya. Walaupun kebanyakan memang masih
menggunakan tafsir standar seperti Tafsir Jalalain yang
di beberapa pengajian juga ditambahkan dengan
syarahnya, namun sudah ada juga yang menggunakan
tafsir modern seperti Tafsir al-Mishbah. Penceramah
yang memakai kitab ini mengaku, ingin memberikan
penafsiran yang meneduhkan bukan penafsiran yang
kaku. Walau pengajian kitab tafsir di tanah Banjar masih
banyak yang memakai kitab Jalalain, tapi menurut SA,
kitab tersebut hanya sebagai panduan bukan sebagai
bacaan, sebab setelah dibaca ayat beserta tafsirannya,
124
maka lanjutannya adalah penjelasan dari penceramahlah
yang lebih mendominasi materi ceramah.97 Oleh karena
itu, metode penyampaiannya pun masih tidak banyak
berubah yaitu Bandongan, jemaah pengajian menyimak
saja apa yang disampaikan oleh penceramah. Peran
penceramah masih vital di dalam model ini, karena
materi pengajian diserahkan secara penuh kepada
penceramah.

Selanjutnya, tradisi diskursif dalam kelisanan al-


Qur‘an di tanah Banjar bisa dilihat dari fenomena
kemunculan Rumah Tahfizh misalnya, di dalamnya
terkandung tradisi lisan dan tulisan yang saling
mewarnai dalam proses penyelenggaraan rumah tahfizh
tersebut. Pada dasarnya, rumah tahfizh adalah sebuah
tradisi baru yang masuk di antara masyarakat Banjar
dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca
meledaknya fenomena Musa di salah satu televisi
swasta. Eksistensinya di Banjar merupakan ―lawan
tanding‖ atas keberadaan pondok tahfizh tradisional
yang selama ini bertahan sekian lama dalam kehidupan
masyarakat Banjar dan telah memberikan warna

97
Asri, “Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan.”

125
tersendiri dalam kehidupan beragama masyarakat
Banjar.

Pondok tahfizh yang masih mempertahankan


disiplin dan model setoran hafalan yang lama, sekarang
diuji dengan kehadiran rumah tahfizh yang
memodifikasi hampir seluruh tradisi pondok tahfizh
dan yang paling sering ditawarkan sebagai nilai plus-
plusnya adalah kecepatan dan kemudahan dalam
menghafal. Ijazah yang diterima oleh seorang santri
hafizh dari pondok tahfiz dalam waktu yang lama sudah
mulai digantikan dengan anak-anak yang masih muda
sudah memiliki hafalan yang sama.

Pondok Tahfizh al-Jihad misalnya, di tengah


keadaan seperti itu, mereka tetap mempertahankan
sistem setoran yang berlapis yang sangat ketat tersebut.
Untuk naik tingkat ke juz berikutnya, harus melalui
ujian yang berat. Selain itu, pondok-pondok tahfizh
masih bertahan dengan ijazah yang bagi kalangan
pondok tersebut adalah sesuatu yang sangat sakral.
Tidak hanya persoalan legalitas akan hafalan saja, ijazah
yang didapatkan adalah bagian dari transmisi legalitas
bacaan yang bagi masyarakat Banjar adalah hal yang
sangat sakral.

126
Ijazah akan bacaan dari al-Qur‘an juga ditemukan
pada tradisi baijazah membaca al-Fatihah, yang menurut
kalangan kaum tuha adalah sesuatu yang esensial.
Menurut kalangan ini, melaksanakan shalat haruslah
dengan bacaan yang harus tersambung langsung
sanadnya kepada Rasulullah dan bacaannya sesuai
dengan tajwid dan semua hukum membaca al-Qur‘an.98
Kyai Haji Muhammad Zaini Ghani adalah salah satu
cultural broker dalam fenomena ijazah membaca al-
Fatihah ini. Perkara ijazah ini pula yang menjadi alasan
penolakan salah satu pimpinan pondok pesantren
tahfizh Darussalam terhadap kehadiran rumah-rumah
tahfizh, karena meragukan kualifikasi guru yang
mengajarkan bacaan dan hafalan al-Qur‘an di sana.

Akan tetapi, pengelola rumah tahfizh masih


bertahan dan tetap melaksanakan programnya dengan
berbagai kendala yang dihadapi. Rumah tahfizh di
Kalimantan Selatan rata-rata dibangun dari bantuan
donasi yang dikeluarkan oleh dana-dana pribadi mereka
yang bercukupan. Pondok Tahfiz al-Banjary misalnya,
walau diawali dari rumah belajar al-Qur‘an yang
kemudian diakuisisi oleh salah satu pengusaha kaya

98
Amrie, “Perkembangan Ijazah dan Sanad dalam Membaca al-
Qur’an di Kalimantan Selatan.”

127
pemilik beberapa perumahan dan travel haji dan umrah
yang sukses, dibangun karena dorongan dari teks hadis
yang menyatakan balasan yang besar bagi mereka yang
melayani ahli quran.

Teks hadis ini juga yang hampir selalu digunakan


oleh seluruh rumah tahfizh untuk menggalang dana
operasional mereka. Kegiatan penggalangan dana
seperti ini cukup massif di masyarakat bahkan baru-
baru ini mendatangkan ustadz terkenal asal Pekanbaru
bernama ustadz Abdusshamad, yang sangat familiar di
kalangan masyarakat Banjar. Kegiatan penggalangan
dana tersebut juga dilakukan dengan melaksanakan
program-program khusus hafalan al-Qur‘an, seperti
paket menghafal al-Qur‘an selama liburan atau
Ramadhan dengan mengambil dana yang cukup besar
hingga jutaan. Keadaan ini sangat kontras dengan
keadaan pondok tahfizh yang sangat jarang melakukan
pengumpulan dana seperti yang dilakukan oleh rumah
tahfizh. Pondok tahfizh masih bertahan dengan
pengumpulan dana yang sangat sederhana yang biasa
dilakukan oleh pondok pesantren lainnya.

Para pengelola rumah tahfizh sendiri telah menjadi


bagian dari cultural broker fenomena rumah tahfizh.

128
Mereka mempromosikan kegiatan-kegiatan rumah
tahfizhnya melalui pengajian-pengajian yang mereka
asuh sendiri. Pengelola rumah tahfizh ini rata-rata
berusia muda, sekitar 30-50 tahun, berbeda dengan
pondok tahfizh yang rata-rata lebih tua dari mereka,
sehingga walau diragukan kemampuan menghafalnya
oleh para guru yang lebih senior dari mereka, mereka
terus berinovasi dalam pengelolaan rumah tahfizh
sampai dengan membuat metode khusus. Pengelola
rumah tahfiz memodifikasi metode yang pernah
didapatnya dari luar, dipadukan dengan
pengalamannya sendiri, sehingga bisa diterapkan dalam
rumah tahfizhnya sendiri. Bahkan salah satu
narasumber pengelola rumah tahfizh yang telah
diwawancarai menyatakan bahwa ia diminta untuk
mengelola program tahfizh di dua sekolah menengah,
satu negeri dan satu swasta.

Antusias warga menyambut fenomena rumah


tahfizh ini cukup tinggi. Ada beberapa hal yang
mendorong fenomena ini diterima dengan sangat
antusias. Pertama, dorongan teks keagamaan, yaitu teks
hadis tentang orang tua yang akan mendapatkan jatah
masuk surga tanpa dihisab jika anaknya hafal al-Qur‘an
menjadi dasar para orang tua suka mendaftarkan anak-
129
anaknya pada program rumah tahfizh. Dari orang tua
yang memang sanggup membayar tinggi untuk
mendapatkan rumah tahfizh yang bisa menjamin
anaknya bisa menghafal dengan waktu yang cepat,
sampai pada orang tua yang ingin sekali memasukkan
anaknya di rumah tahfizh yang paling dekat dengan
rumah dengan alasan kemudahan tranportasi.

Kedua, gengsi antar orang tua. Walaupun hal ini


memang tidak bisa dilihat secara jelas, akan tetapi
menurut pengakuan dari salah satu pengelola rumah
tahfizh, seiring semakin populernya fenomena rumah
tahfizh, akhirnya rumah tahfizh menjadi salah satu
penanda gengsi orang tua, baik dari sisi jumlah hafalan
sang anak dan waktu mencapainya; dan atau rumah
tahfizh yang dipilih berdasarkan kualitasnya. Persoalan
ini menjadi bagian yang paling mencuat dalam
fenomena hafalan al-Qur‘an ini.

Ketiga, dorongan iklan atau anjuran dari pemerintah


atau otoritas keagamaan. Dalam hal ini ada perbedaan
antara gerakan tahfizh atau menghafal al-Qur‘an dengan
rumah tahfizh. Gerakan penghafal al-Qur‘an ini
biasanya digerakkan oleh beberapa yayasan yang
mengklaim diri mereka bergerak dalam bidang al-

130
Qur‘an. Sedang rumah tahfizh bergerak dalam
pendidikan penghafal al-Qur‘an. Gerakan ini juga cukup
massif di Kalimantan Selatan dalam mengkampanyekan
penghafalan al-Qur‘an. Adapun kegiatan-kegiatannya
biasanya membuat karantina al-Qur‘an yang juga
melibatkan beberapa rumah tahfizh di dalamnya,
biasanya mereka mendapatkan dukungan dari otoritas
keagamaan yang disegani oleh masyarakat Banjar.
Bahkan peran dari pemerintah dalam gerakan ini,
seperti yang dilakukan pemerintah Kota Banjarmasin,
cukup jelas. Secara khusus, pemerintah Kota
Banjarmasin memberikan tunjangan yang cukup besar
bagi para penghafal al-Qur‘an di Kota Banjarmasin. Dari
penghapal 5,10,15,20,30 juz, semuanya mendapatkan
tunjangan yang disesuaikan dengan kemampuan
hafalan penerimanya. Tunjangan ini dimaksudkan selain
sebagai bagian penghargaan juga bagian dari promosi
dan pembakar semangat masyarakat Banjarmasin untuk
menghafal al-Qur‘an.

Perubahan yang sama juga dapat ditemukan dalam


tradisi membaca al-Qur‘an di Banjar, yang mana
perkembangannya bahkan lebih radikal dibanding
dengan yang dihadapi pondok tahfizh. Metode
Baghdadi hampir punah, kecuali di pesantren
131
Darussalam Martapura yang masih memakai metode ini
hingga sekarang. Sedangkan, pondok pesantren salafi
yang lain yaitu Al-Falah malah menjadi pusat
perkembangan metode Tilawati, walau bukan menjadi
pelajaran di pondok pesantren, sedikit berbeda dengan
Darussalam yang memasukkan metode Baghdadi
sebagai bagian kurikulum pendidikan dasarnya.

Metode baca al-Qur‘an yang lain seperti Ummi dan


Tibyan masih terus berkembang dengan massif
mengandalkan jaringan sekolah-sekolah Islam terpadu
yang terus dibuka. Metode Iqra yang selama ini diawaki
oleh BKPRMI masih terus bertahan walau terus
mendapatkan tantangan yang keras dengan kehadiran
metode-metode yang lain. Dalam BKPRMI pun sekarang
tidak bisa lagi mewajibkan setiap unit TPA di bawahnya
untuk menggunakan Iqra sebagai satu-satunya metode
pengajaran, sebab sudah ada metode lain yang juga
dipakai dalam unit di bawah naungan BKPRMI sendiri.
Mereka tidak bisa mewajibkan karena ada unit yang
memakai metode lain dan dianggap berhasil juga
mendapatkan hasil lebih baik ketimbang Iqra.

Pada tahun 90-an, BKPRMI Kalimantan Selatan


sebenarnya juga pernah menghadapi situasi yang sama,

132
saat LPTQ Kalimantan Selatan menelurkan sebuah
metode baca al-Qur‘an baru bernama al-Banjari. Akan
tetapi dalam waktu yang tidak lama, metode ini
tenggelam karena tidak memiliki dasar dan konsep yang
komprehensif dalam pengajaran al-Qur‘an, disebut-
sebut kemunculannya dihasilkan dari rangkuman Iqra.

Metode-metode baca al-Qur‘an yang baru,


sebagaimana disebutkan di atas masuk di tengah-tengah
masyarakat Banjar dibawa oleh model-model Islam
selain NU dan Muhammadiyah. Metode ummi
misalnya, masuk dan menyebar melalui Jaringan
Sekolah Islam Terpadu yang berwarna Ikhwanul
Muslimin dan Tibyan dibawa oleh mereka yang sekolah
di Arab Saudi dalam hal ini Salafi. Perkembangan
keduanya terus mencoba meruntuhkan dominasi Iqra
dalam pengajaran al-Qur‘an. Kekurangan BKPRMI
dalam menghadapi persoalan ini adalah karena terlalu
banyak unit yang dibawahi menimbulkan dua persoalan
utama, yaitu pertama kekurangan guru yang
bersertifikasi metode Iqra. Ini menyebabkan metode Iqra
tidak bisa dijalankan secara maksimal dan hasilnya tidak
lagi bisa diukur dengan baik. Kedua, kelanjutan setelah
santri diwisuda menamatkan al-Qur‘an. Keadaan ini
sangat kurang direspon oleh BKPRMI sebagai badan
133
yang bertanggung jawab atas unit-unit di bawahnya.
Bahkan, perda-perda mengaji di daerah seakan
melempem karena wadah mengaji anak-anak seumur
sekolah menengah tidak tersedia lagi sehingga banyak
dijumpai kasus remaja Banjar yang hendak masuk
universitas tidak lolos saat tes mengaji karena calon
mahasiswa tersebut tidak memiliki kualifikasi mengaji
al-Qur‘an yang baik.

Kondisi ini kemudian mendapatkan tekanan yang


keras sejak meledaknya fenomena Musa di salah satu
televisi Indonesia. Rumah tahfizh hadir sebagai bagian
menjawab keresahan masyarakat tersebut dan dianggap
sebagai solusi ampuh menanggapi meledaknya atensi
masyarakat yang mengeser paradigm dari membaca
menjadi menghafal al-Qur‘an. Oleh sebab itu,
masyarakat sekarang tidak lagi ingin membaca al-
Qur‘an saja tapi juga menghafal karena berbagai alasan
yang dijelaskan di atas.

Dalam perkembangan selanjutnya, kalangan


pemuda khususnya para remaja juga bersentuhan
dengan fenomena ODOJ (One Day One Juz). Fenomena
ini akrab di kalangan pemuda, terutama perempuan,
yang ingin mengubah dirinya lebih baik. Adanya

134
kepanikan moral yang dihadapi para pemuda di tengah
kehidupan serba tidak menentu ini, membuat sebagian
remaja memilih jalan agama sebagai solusinya.
Fenomena ini sebagaimana dalam sejarahnya ODOJ
adalah bagian dari gerakan Tarbiyah yang kemudian
mendapatkan dukungan dan berhasil meraih peserta
yang cukup banyak membuat gerakan ini juga diminati
oleh masyarakat Banjar, bukan cuma mereka yang
terlibat gerakan Tarbiyah tapi juga dari kalangan yang
lain. ODOJ sebenarnya memberikan tekanan bagaimana
mengaji yang biasanya dilakukan rutin oleh masyarakat
Banjar tidak terlalu banyak dilaksanakan. Membaca al-
Qur‘an bagi masyarakat Banjar sekarang lebih banyak
dilakukan dalam sisi pendidikan, bahkan lebih dari itu
yaitu industri pendidikan.

Membaca al-Qur‘an bagi masyarakat Banjar,


sekarang lebih banyak masuk pada ritual atau bagian
dari acara khusus. Mangaji bersama-sama tidak banyak
lagi dilakukan terutama bagi mereka yang berusia
lanjut. Rutinitas dan aktivitas masyarakat modern
sekarang ini lebih banyak menyita waktu dan tenaga
sehingga membuat waktu dan tenaga untuk membaca
al-Qur‘an tidak tersedia dengan cukup. Acara rutin atau
khusus seperti yasinan atau maarwah juga cuma
135
membaca salah satu surah dari al-Qur‘an saja sehingga
saat teks kemuliaan penghapal al-Qur‘an terus didorong
oleh para cultural broker, seperti kyai, ustadz dan
pemerintah, maka direspon dengan sangat cepat oleh
masyarakat Banjar, yang menganggap sebagai
penebusan dosa.

Pergeseran ini membuat masyarakat Banjar


bersentuhan dengan model Islam yang selama ini belum
pernah dihadapinya sebelumnya, seperti Wahabi,
Gerakan Tarbiyah, Salafi dan model Islam seperti HTI
dan lain-lain. Yang mana semuanya ini membawa
konsekuensi sendiri, yakni membuat masyarakat Banjar
memikirkan ulang beberapa tradisi yang selama ini
dijalankan oleh masyarakat Banjar, sehingga banyak
tradisi masyarakat Banjar mengalami konstruksi ulang
atau kehilangan daya untuk dilaksanakan, karena terus
menerus dibenturkan dengan ajaran yang datang dari
model Islam yang lebih puritan.

Hal yang sama sebenarnya terjadi pada tradisi


keberaksaraan masyarakat Banjar pada al-Qur‘an.
Banyak faktor yang terlibat dan tidak sesederhana saat
masyarakat Banjar memulainya dengan wafak. Yang
kemudian mulai ditinggalkan oleh masyarakat Banjar,

136
didasari faktor yang sama juga dengan semakin
ditinggalkannya beberapa tradisi lisan yang sudah
jarang terpakai seperti mantra.

Kemunculan internet juga memberikan pengaruh


pada persentuhan masyarakat Banjar dengan al-Qur‘an,
karena informasi keagamaan yang didapat tidak lagi
bersumber dari kitab yang dipelajari dan otoritas
keagamaan yang selama ini ada. Munculnya fenomena
meme dan ceramah via youtube dan lain-lain, yang lebih
banyak dikuasai oleh kalangan literalis, menjadikan al-
Qur‘an dan tafsirannya yang dikonsumsi masyarakat
Banjar juga lebih banyak bernuansa literal dan miskin
pada perbedaan pandangan.

Selanjutnya, kajian al-Qur‘an dari sisi keilmuan di


Banjar malah memiliki sisi yang paradoks. Sejauh ini,
walaupun masyarakat Banjar mengenal pengajaran al-
Qur‘an sejak level paling bawah atau paling dini, al-
Qur‘an dalam masyarakan Banjar sudah diperkenalkan
sebagai bagian dari bahasa asing. Bahasa yang
dipergunakan dalam pengajaran al-Qur‘an baik ilmu al-
Qur‘an, tajwid, hingga tafsir tidak ada yang
diperkenalkan kepada masyarakat Banjar memakai
bahasa nativenya, yaitu bahasa Banjar. Semuanya

137
diajarkan minimal dalam empat bahasa yaitu Indonesia,
Melayu, Arab, dan Inggris.

Ketiadaan peran bahasa Banjar sebenarnya bisa


dimaklumi, sebab otoritas yang memiliki tanggung
jawab dalam menjaga dan mengembangkan bahasa
Banjar tidak pernah mengadakan usaha untuk
memperkenalkan bahasa Banjar dengan baik. Bahasa
Banjar sebagai bahasa tutur atau lisan sampai sekarang
tidak bisa digunakan secara penuh dalam bahasa tulis
atau pengantar keilmuan karena kemiskinan kosakata,
tapi kaya akan sinonim. Oleh sebab itu, bahasa Banjar
masih bisa dipergunaka sebagai penjelasan dalam
pengantar keilmuan, namun untuk digunakan secara
penuh akan banyak mendapatkan kesulitan karena
kekurangannya dalam kosakata.

Otoritas keagamaan dari ulama kampung (tuan guru


langgar) hingga Kyai yang sudah memiliki pengajian
besar dan juga termasuk intelektual dari sekolah dasar
hingga kampus yang mengajarkan al-Qur‘an dengan
berbagai bentuknya tidak bisa mempergunakan bahasa
banjar secara penuh, terutama dalam tulisan. Selain
disebabkan permasalahan kealfaan tugas dari otoritas
kebahasaan, terdapat juga peran dari penutur.

138
Masyarakat Banjar sekarang tidak banyak lagi yang bisa
mengenali bahasa Banjar yang sebenarnya. Bahkan
menurut salah seorang sastrawan Banjar, untuk
membaca sebuah karya sastra seperti cerita pendek
dalam bahasa Banjar banyak masyarakat Banjar yang
tidak bisa memahaminya.99 Persoalan ini disebabkan
karena masyarakat Banjar sebagai penutur bahasa Banjar
sudah banyak sekali terpengaruh dengan bahasa
Indonesia yang dipergunakan dalam pergaulan baik
resmi maupun tidak resmi, sehingga masa depan bahasa
Banjar masih buram. Oleh sebab itu, kemunculan al-
Qur‘an terjemah dalam bahasa Banjar bisa dikatakan
tidak memiliki signifikansi yang besar. Sebab, keluhan
masyarakat akan ketiadaan bahasa banjar dalam tradisi
al-Qur‘an tertulis tidak banyak kita temukan, bahkan
bisa dikatakan tidak ada.

Kitab-kitab yang dipergunakan dalam pengajaran,


juga dalam ilmu al-Qur‘an, tidak ada yang memakai
bahasa Banjar sebenarnya bisa dimaklumi. Dikarenakan
sejak awal Islam masuk ke tanah Banjar hingga
sekarang, tidak dikenal tradisi yang mempergunakan
bahasa Banjar sebagai bahasa keilmuan, posisinya telah

99
Muhammad Jamaluddin, “Peran dan Perkembangan Bahasa Banjar
Dewasa Ini,” Nopember 2018.

139
ditempati oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu dan
huruf Arab-Melayu (dikenal dengan istilah aksara Jawi)
sudah dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam
masyarakat Banjar sejak kerajaan Islam Banjar. Bahkan
kitab keagamaan yang beredar di masyarakat Banjar
sejak dulu hingga sekarang tidak ada yang berbahasa
Banjar, semuanya menggunakan Melayu dan sekarang
ada yang berinovasi dengan bahasa Indonesia seperti
yang dilakukan oleh Penerbit Sahabat Kandangan,
namun tetap ditulis dengan aksara Jawi. Masyarakat
Banjar sebagai penuturnya pun sudah terbiasa memakai
bahasa ini dalam tradisi keagamaan. Inilah yang
menyebabkan otoritas keagamaan tidak memandang
perlu menuliskan atau menterjemahkan karya tulisnya
ke bahasa Banjar, sebab dengan bahasa Melayu pun,
tugasnya sebagai transmitter keilmuan sudah tercapai.

Buku yang beredar di masyarakat Banjar, termasuk


dalam kajian keagamaan, sekarang tidak lagi homogen,
akan tetapi sangat beragam. Persentuhan masyarakat
Banjar dengan model-model Islam yang lain, selain
disebabkan karena kemudahan transportasi dan akses
internet, sebagaimana dijelaskan di atas berdampak
pada pemahaman akan Islam dari masyarakat Banjar
yang sangat cair. Sehingga, teks al-Qur‘an yang selama
140
ini dipakai dalam tradisi masyarakat Banjar, juga lebih
banyak bercampur baur antara yang literal dengan yang
tidak, atau dengan berbagai macam model keberislaman
baru.

Pada akhirnya, tradisi diskursif masyarakat Banjar


terhadap al-Qur‘an lebih banyak didominasi oleh tradisi
lisan yang juga masih akan terus bertransformasi walau
juga tidak meninggalkan keaksaraannya dalam bentuk
kitab dan teks yang diajarkan pada lembaga-lembaga
pendidikan dan disokong oleh kemajuan teknologi.
Peran agen dan institusi sangat signifikan dalam
mewarnai tradisi diskursif keislaman masyarakat Banjar
yang hadir di setiap lini kehidupan beragamanya
dikarenakan ketergantungan masyarakat Banjar
kebanyakan terhadap para cultural broker ini.

141
142
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil temuan penelitian ini, ada beberapa hal


penting yang perlu digarisbawahi, yaitu

1. Tradisi kelisanan al-Qur‘an di Tanah Banjar dibagi


menjadi 4 (empat) kategori. Pertama, tradisi lisan al-
Qur‘an dalam kehidupan sehari-hari seperti tradisi
mangaji, Yasinan, dan baamalan tertentu; kedua,
tradisi lisan berkaitan dengan pembelajaran al-
Qur‘an dalam lembaga, yaitu penggunaan metode
Iqra‘, Qira‘ati, Ummi, dan Tibyan dalam pembacaan
al-Qur‘an, pangajian kitab tafsir atau Ilmu Tafsir di
pondok pesantren dan majelis ta‘lim, serta
menghafal al-Qur‘an di pondok pesantren dan
rumah tahfizh; ketiga, tradisi lisan al-Qur‘an
berkaitan aspek keindahan melalui seni tilawah dan
tartil yang diperlombakan dalam MTQ, dan terakhir
gerakan membaca al-Qur‘an seperti Yuk Mengaji
dan ODOJ.

2. Adapun tradisi keaksaraan al-Qur‘an di Tanah


Banjar mengambil bentuk dalam 4 (empat) kategori.
143
Pertama, tradisi tulis al-Qur‘an dalam kehidupan
sehari-hari semisal mushaf al-Qur‘an, buku Yasin,
dan Ma‘tsurat yang sangat mudah didapat ataupun
wafak, namun perkembangan teknologi turut
memberikan warna melalui aplikasi al-Qur‘an digital
hingga Al-Ma‘tsurat digital; kedua, tradisi tulis
terkait pembelajaran al-Qur‘an dalam lembaga hadir
dalam bentuk karya dan kitab-kitab tafsir yang
menjadi acuan pembelajaran di lembaga baik di
pesantren dan majelis ta‘lim; ketiga, tradisi tulis
terkait aspek keindahan mengambil bentuk kaligrafi
al-Qur‘an; dan terakhir tradisi tulis melalui
persebaran teks al-Qur‘an di kitab-kitab yang dijual
di toko buku hingga dalam bentuk digital.

3. Dinamika kelisanan dan keaksaraan al-Qur‘an


membentuk tradisi diskursif al-Qur‘an di Tanah
Banjar karena berkelindan dengan berbagai hal,
diantaranya persoalan tradisi, agen, ideologi,
jaringan persebaran dan lain-lain. Menulis tradisi ini
adalah bagian dari merekam bagaimana pergerakan
tradisi kelisanan dan keaksaraan dalam bingkai al-
Qur‘an. Al-Quran yang sudah melekat lama dalam
kehidupan masyarakat Banjar sudah bertransformasi
dalam berbagai bentuk dan fungsinya masing-
144
masing. Sebagai contoh misalnya, tradisi mangaji
yang turun temurun dilakukan masyarakat Banjar
hadir dalam kemasan baru berbentuk gerakan
seperti Yuk Mengaji dan ODOJ. Begitu juga dengan
program menghafal al-Qur‘an yang dulu hanya
ditawarkan oleh pondok pesantren dalam jangka
waktu yang lumayan lama kini mendapatkan
popularitasnya melalui persebaran rumah tahfizh
dengan metode hafalannya masing-masing
memastikan anak didiknya mampu menghafal al-
Qur‘an dalam jangka waktu yang lumayan cepat.
Bahkan dukungan pemerintah Kalimantan Selatan
turun memastikan masyarakatnya untuk dapat
membaca, tulis, hingga menghafal al-Qur‘an sangat
mempengaruhi dinamika tradisi diskursif al-Qur‘an
di Tanah Banjar.

B. Saran

Mengingat penelitian ini lebih banyak bersifat


pemetaan sehingga ulasan-ulasan di dalamnya belum
terlalu mendalam. Untuk itu sangat terbuka
kemungkinan untuk penelitian-penelitian selanjutnya
yang masih mengangkat tema kajian al-Qur‘an di Tanah
Banjar untuk kembali menyoroti permasalahan tersebut

145
secara lebih mendalam semisal fenomena rumah tahfizh
hingga gerakan baca al-Qur‘an yang semakin marak di
tanah Banjar.

146
DAFTAR PUSTAKA

Alfianoor. ―Ayat al-Qur‘an dalam Mantra Banjar.‖


NALAR: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam 1, no. 1
(2017): 27–47.
Amrie, Muhammad Abduh. ―Perkembangan Ijazah dan
Sanad dalam Membaca al-Qur‘an di Kalimantan
Selatan,‖ Nopember 2018.
Anjum, Ovamir. ―Islam as a Discursive Tradition: Talal
Asad and His Interlocutors‖ 27, no. 3 (2007): 656–672.
Arabi, Muhammad. ―Penghargaan Pemerintah Kota
Banjarmasin terhadap Para Hafizh/Hafizhah Tahun
2018,‖ Nopember 2018.
Asad, Talal. ―Anthropological Conceptions of Religion:
Reflections on Geertz.‖ Man 18, no. 2 (1983): 237–259.
ASAD, TALAL. ―The Idea of an Anthropology of Islam.‖
Qui Parle 17, no. 2 (2009): 1–30.
Asri, Sarmiji. ―Eksistensi TPA di Kalimantan Selatan,‖
Oktober 2018.
Bahasa (Indonesia), Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Banda, Maria Matildis. ―Teori Modal Dalam Pewarisan
Tradisi Lisan.‖ Sastra, Budaya, dan Perubahan Sosial
(2016): 40.
———. ―TRADISI LISAN DAN KELISANAN
SEKUNDER DI ERA GLOBAL‖ (n.d.).
Daud, Alfani. Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat
Banjar. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar
Madya llmu Sosiologi Agama pada Fakultas
Ushuluddin lAlN Antasari Banjarmasin, 2000.

147
———. Islam dan masyarakat Banjar. RajaGrafindo
Persada, 1997.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Kanisius,
1995.
F, Ahmad Gaus A. Sang pelintas batas: biografi Djohan
Effendi. Edited by Hairus Salim. Penerbit Buku
Kompas, 2009.
Halim, Abd. Wajah Al-Qur’an Di Era Digital. Yogyakarta:
Penerbit Sulur, 2018.
Hanief, Fakhrie. ―Metode dan Sistem Pembelajaran al-
Qur‘an di Rumah al-Qur‘an Azhar Syarif,‖
Nopember 2018.
Havelock, Eric Alfred. Preface to Plato. Blackwell, 1963.
Ideham, M. Suriansyah, Syarifuddin, M. Zainal Arifin
Anis, and Wajidi. Urang Banjar dan Kebudayaannya.
Penerbit Ombak, 2015.
Jamaluddin, Muhammad. ―Peran dan Perkembangan
Bahasa Banjar Dewasa Ini,‖ Nopember 2018.
Kacandes, Irene. Talk Fiction: Literature and the Talk
Explosion. U of Nebraska Press, 2001.
Koswara, Dedi, Dingding Haerudin, and Ruswendi
Permana. ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa
Dalam Khazanah Sastra Sunda Klasik: Transformasi
Dari Kelisanan (Orality) Ke Keberaksaraan (Literacy)
Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah (Kajian
Struktural-Semiotik Dan Etnopedagogi).‖ Jurnal
Penelitian Pendidikan 14, no. 2 (2016).
Latifah. ―Kesan Seorang Qari‘ah sebagai Pengajar al-
Qur‘an di TPA dan Sekolah Islam Terpadu,‖
Agustus 2018.

148
Lukens-Bull, Ronald. ―Between Text and Practice:
Considerations in the Anthropological Study of
Islam.‖ Marburg Journal of Religion 4, no. 2 (1999): 10–
20.
Moriyama, Mikihiro. ―Ketika Sastra Dicetak:
Perbandingan Tradisi Tulisan Tangan Dan Cetakan
Dalam Bahasan Sunda Pada Paruh Kedua Abad Ke-
19,‖.‖ Konferensi Kesusastraan XV, Fakultas Sastra
Universitas Sam Ratulangi Manado (2004).
Mujiburrahman, Mujiburrahman. ―HISTORICAL
DYNAMICS OF INTER-RELIGIOUS RELATIONS
IN SOUTH KALIMANTAN.‖ JOURNAL OF
INDONESIAN ISLAM 11, no. 1 (July 9, 2017): 145–
174.
Mu‘jizah. Mencari Jejak Menelusuri Sejarah: Dari Riau Ke
Ternate. Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2014.
Munadi, Fathullah. ―MUSHAF QIRAAT SYEKH
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI DALAM
SEJARAH QIRAAT NUSANTARA.‖ Al-Banjari:
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 9, no. 1 (2010).
———. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks
Kajian al-Quran di Nusantara. Banjarmasin: Antasari
Press, 2011.
Nadhiroh, Wardatun. ―AMALAN DI HARI ARBA‘
MUSTAMIR BULAN SAFAR.‖ SYAHADAH 4, no. 2
(2016): 1–20.
———. ―KITAB SANJATA MU‘MIN Sebuah Bentuk
Tafsir Awam Di Tanah Banjar.‖ SUHUF Jurnal
Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya 11, no. 1 (2018): 119–
143.

149
Nirwana, Muhammad Dzikri. ―Metode dan Sistem
Pembelajaran al-Qur‘an di Rumah Tahfizh al-
Banjary,‖ Nopember 2018.
Nisa, Eva F. ―Social Media and the Birth of an Islamic
Social Movement: ODOJ (One Day One Juz) in
Contemporary Indonesia.‖ Indonesia and the Malay
World 14, no. 34 (2018): 24–43.
Noor, Yusliani. Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai
ke-19. Penerbit Ombak, 2016.
Ong, Walter J. Interfaces of the Word: Studies in the
Evolution of Consciousness and Culture. Cornell
University Press, 2012.
———. Kelisanan Dan Keberaksaraan. Translated by Bisri
Effendi. Yogyakarta: Gading Publishing, 2013.
———. Orality and Literacy. Routledge, 2013.
———. Rhetoric, Romance, and Technology: Studies in the
Interaction of Expression and Culture. Cornell
University Press, 2012.
———. The Presence of the Word: Some Prolegomena for
Cultural and Religious History. Yale University Press,
1967.
Rafiq, Ahmad. The Reception of the Qur’an in Indonesia: A
Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic
Speaking Community. Temple University, 2014.
Rahmatina, Nada. ―Pembelajaran al-Qur‘an di Sekolah
Formal,‖ Nopember 2018.
Ramadhani, Muhammad Yunizar. ―Persentuhan Para
Santri PP. Darul Hijrah Putri dengan al-Qur‘an,‖
Oktober 2018.

150
Sayudi, Muhammad Yusuf. ―Persiapan dan Pelaksanaan
MTQ XXXI Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,‖
Nopember 2018.
Sriyati. ―Rutinitas Baca al-Qur‘an di Kampung,‖
Agustus 2018.
Sunarti, Sastri. Kelisanan Dan Keberaksaraan Dalam Surat
Kabar Terbitan Awal Di Minangkabau (1859–1940-An).
Jakarta: KPG, 2013.
Suryadinata, Leo, Avi Nurvidya Arifin, and 2003
Ananta. Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion
in a Changing Political Landscape. Singapore: ISEAS,
2003.
Sutrisno, Mudji. Oase Estetis: Estetika Dalam Kata Dan
Sketza. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sweeney, Amin. A Full Hearing: Orality and Literacy in the
Malay World. University of California Press, 1987.
———. ―Surat Naskah Angka Bersuara; Ke Arab
Mencari Kelisanan.‖ In Metodologi Kajian Tradisi
Lisan, edited by Pudentia MPSS, 83–102. Yayasan
Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998.
Walidin, Muhammad. ―MENAPAK TILAS KELISANAN
DAN KEBERAKSARAAN DALAM
KESUSASTERAAN ARAB PRA-ISLAM.‖
TAMADDUN 14, no. 2 (2014): 257–272.
Zakiah. ―Metode Pembelajaran dan Tahfizh al-Qur‘an di
Yayasan Ummul Qur‘an,‖ Oktober 2018.

151

Anda mungkin juga menyukai