Anda di halaman 1dari 13

Vol. 16 No.

3, Desember 2015: 153-165

Keselarasan Lagu dengan Fungsi Pocapan dalam Pertunjukan Wayang


Lakon Sudhamala
Tatik Harpawati1
Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta

G.R. Lono L. Simatupang, Timbul Haryono, dan Sri Hastanto


Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstrak
Garap pocapan merupakan bagian dari garap catur dalam pertunjukan wayang kulit purwa.
Pocapan diiringi oleh grimingan gender di semua wilayah pathet. Penelitian ini memfokuskan
pada keselarasan lagu dengan fungsi pocapan dan kaitannya dengan makna pilihan kata sebagai
pendukung suasana yang ditampilkan dalam suatu adegan lakon Sudhamala. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan iringan yang menyertai pocapan keterkaitannya dengan fungsi pocapan dan
menganalisis kesesuaiannya dengan makna kata dan suasana yang ditampilkan dalam sebuah adegan.
Permasalahan tersebut dikaji secara tekstual dengan pendekatan struktur. Berdasarkan penelitian
disimpulkan bahwa iringan yang menyertai pocapan disesuaikan dengan wilayah pathet dan makna
kata yang dipilih. Makna kata dalam pocapan juga disesuaikan dengan suasana yang ditampilkan
dalam sebuah adegan. Antara iringan, makna kata pocapan, dan suasana dalam adegan terdapat
keselarasan untuk mendukung satu kesatuan fungsi pertunjukan secara keseluruhan dalam lakon
Sudhamala.
Kata kunci: karawitan pedalangan, pocapan, pathet, Sudhamala

Abstract
Song Harmony with Pocapan Function on the Performance of Lakon Sudhamala. Garap
pocapan is a part of garap catur in wayang kulit purwa. Pocapan uses grimingan gender accompaniment
in all pathet areas. The problem of this discussion include how the compatibility of lagu (notation) and the
function of pocapan is, as well as its relationship with the words chosen as the atmosphere support presented
in a scene of lakon Sudhamala. The discussion is supposed to describe the pocapan accompaniment related
to its function and also analyze its compatibility with the meaning of the words chosen. the two thing, then,
are observed relating to their compatibilities with the atmosphere presented in a scene of lakon Sudhamala.
The problem is analized textually with the structural approach. Based on the approach, it can be found
that pocapan accompaniment is suited to pathet areas and the meaning ofthe words chosen. The word
meaning in pocapan is also suited to the atmosphere presented in a scene. There is a harmony between the
accompaniment, the meaning of the words chosen, and the atmosphere of the scene in order to support the
function of the whole performance of lakon Sudhamala.
Keywords: music for wayang, pocapan, pathet, Sudhamala

Pendahuluan pertunjukan, seni pedalangan memiliki bahan


baku yang berupa soft material atau materi nonfisik
Seni pertunjukan wayang lazim disebut sebagai bahan dasar untuk digarap. Bahan dasar ini
pakeliran atau pedalangan. Sebagaimana seni dinamakan medium. Di jagad pedalangan, terdapat

1
Alamat korespondensi: : Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta. Jln. Ki Hadjar Dewantara, Jebres, Surakarta.
E-mail: tatwati@yahoo.com

Naskah diterima: 1 Juli 2015; Revisi akhir: 16 Agustus 2015 153


Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

empat macam medium, yaitu bahasa, suara, gerak, Pocapan berisi pencandraan yang merupakan
dan rupa. Ungkapan melalui bahasa dapat berupa narasi dalang. Pada umumnya, pocapan
dialog (ginem) atau monolog (ngudarasa) dan menceritakan peristiwa yang sudah, sedang, dan
deskripsi atau narasi dalang, meliputi janturan akan berlangsung tanpa diiringi gending sirepan
dan pocapan. Medium suara adalah bahan baku (Sumanto, 2003: 318 dan Suyanto, 2007:14), serta
yang berupa wacana, vokal dalang, maupun biasanya hanya diiringi grimingan gender, dhodhogan
karawitan pakeliran. Medium gerak merupakan dan atau keprakan (Kuwato, 2001:141). Ditinjau
gerak wayang, adapun medium rupa mencakup dari bentuknya, pocapan terdapat dua macam,
tampilan bentuk, warna, dan karakter boneka yaitu pocapan baku dan blangkon. Pocapan baku,
wayang (Suyanto, 2007). yaitu narasi yang menceritakan suatu peristiwa
Keempat medium pedalangan diolah ke berkaitan langsung dengan konteks lakon. Contoh:
dalam unsur-unsur pakeliran, yang meliputi (1) pocapan peralihan adegan, penggambaran suasana
catur terdiri atas janturan, pocapan, dan ginem; (2) batin tokoh, dan sebagainya. Pocapan blangkon,
sabet terdiri atas cepengan, tanceban, bedholan, entas- adalah narasi yang menceritakan suatu keadaan
entasan, dan solah); dan (3) karawitan pedalangan atau peristiwa berupa bahasa klise yang berlaku
terdiri atas gending-gending, tembang, sulukan, umum dan tidak berkait langsung dengan konteks
dhodhogan, dan keprakan (Sumanto, 2007). lakon. Contoh: pocapan gara-gara, abur-aburan
Antara unsur yang satu dengan unsur lainnya Gathotkaca, padupan, dan sebagainya (Suyanto,
mempunyai fungsi yang saling berkait dan saling 2007: 15). Kedua jenis pocapan itu, digunakan
mendukung, baik secara teknis maupun estetis dalang sesuai dengan kebutuhan dalam sebuah
dalam satu kesatuan bentuk sajian suatu lakon sajian lakon secara keseluruhan.
pedalangan (Suyanto, 2007). Dalam sebuah Penelitian ini memfokuskan pada keselarasan
sajian lakon, masing-masing dalang memiliki iringan dengan fungsi pocapan dan kaitannya
kemampuan yang berbeda-beda dalam mengolah dengan makna pilihan kata sebagai pendukung
unsur-unsur tersebut. Kemampuan dalang itulah suasana yang ditampilkan dalam suatu adegan
yang menjadikan berbobot atau tidaknya sebuah lakon Sudhamala. Tujuan penelitian ini adalah
sajian pakeliran. Seorang pelantun tembang (dapat mendeskripsikan iringan yang menyertai pocapan
juga dalang) dapat memancarkan rasa estetis keterkaitannya dengan fungsi pocapan dan
tentu sudah mengalami perjalanan yang cukup kesesuaiannya dengan makna kata yang dipilih.
panjang, sehingga menguasai berbagai materi Mengingat pocapan adalah bagian dari teks
garap, memiliki ketrampilan teknik vokal, mampu pertunjukan lakon Sudhamala yang memiliki
membangun pola dan keselarasan serta memiliki fungsi dalam kesatuan struktur pembentuk lakon
daya batiniah (Suyoto, Haryono, & Hastanto, maka kajian secara tekstual dipilih untuk kemudian
2015). Kajian keselarasan iringan dengan fungsi dianalisis dengan pendekatan struktur. Paradigma
pocapan difokuskan pada sajian Ki Nartasabda. tekstual memandang sebuah karya seni sebagai
Seorang dalang yang kondang pada tahun 1978- sebuah teks yang dapat dibaca, diberi makna,
1980-an. Ki Nartasabda adalah dalang yang pandai ataupun dideskripsikan strukturnya (Soedarsono,
di bidang catur, dengan menonjolkan unsur 1999: 69). Untuk dapat mengetahui fungsi pocapan
persajakan dan perumpamaan (Sumanto, 1990: dalam kesatuan lakon, perlu dilihat fungsinya
105-110). Gaya Ki Nartasabda yang menonjol, dalam kesatuan struktur.
yaitu pada pemanfaatan unsur-unsur bunyi, yang Struktur secara umum diartikan sebagai
meliputi purwakanthi swara, basa, dan sastra. cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan;
Kemunculan unsur bunyi ini sangat dominan bangunan (Shadilly, 2001: 1092). Konsep struktur
dan bervariasi dalam janturan, pocapan, dan ginem dalam tataran karya sastra diartikan keseluruhan
(Harpawati. 2005: 231). Atas dasar alasan inilah yang anasir-anasir atau bagian-bagiannya masing-
maka pocapan sajian Ki Nartasabda dipilih dalam masing berjalinan. Sementara, konsep struktur
pembahasan ini. dalam tataran sistem sastra adalah sebuah sistem

154
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

yang terdiri atas sejumlah anasir, yang di antaranya terjadi (Sumanto, 2007: 50). Fungsi pocapan ini
tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa disesuaikan dengan wilayah pathet, makna syair,
menghasilkan pembahasan dalam semua anasir- dan lagu grimingan gender.
anasir lain (Teeuw, 1984: 140-141) Struktur dalam Pembagian wilayah pathet 6 (nem), 9 (sanga)
karya sastra adalah keutuhan yang terorganisir dan manyura berpengaruh terhadap makna
(Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch, 1998: kehadiran pocapan. Dalam wilayah pathet 6
35). Keseluruhan struktur berarti masing-masing (nem), pada umumnya banyak dinarasikan
bagiannya dan sebaliknya, masing-masing bagian pocapan blangkon, demikian juga pada wilayah
berarti keseluruhan yang ini dan bukan keseluruhan pathet 9 (sanga). Akan tetapi, pada wilayah pathet
yang lain. Masing-masing unsur memiliki fungsi manyura akan banyak dinarasikan pocapan baku.
khas yang melaluinya setiap unsur dihubungkan Hal itu, terkait dengan dramatisasi lakon secara
dengan keseluruhan dan fungsi-fungsi dan keseluruhan. Pada wilayah pathet 6 (nem), dramatik
kesalingberkaitan tunduk pada proses perubahan lakon masih berkadar rendah kemudian meningkat
(Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch, 1998: 44- pada pathet 9 (sanga) dan mencapai klimaks
45). Pocapan merupakan bagian dari unsur-unsur pada pathet menyura (Sumanto, 2003:319-320).
pakeliran. Pakeliran memiliki medium lebih dari Dramatisasi pocapan dapat dilihat pada makna syair
satu atau ganda yang dapat dilihat sebagai teks, pocapan yang akan menyesuaikan dengan wilayah
yaitu berwujud bahasa, suara, rupa, dan gerak. pathet.
Bahan baku tersebut mutlak harus ada, jika tidak
ada maka dalang tidak dapat berbuat apa-apa. Teknik Penyuaraan Pocapan
Bahan baku tersebut satu dan lainnya merupakan
satu kesatuan yang utuh, saling menunjang dan Konsep dasar penyuaraan pocapan adalah
melengkapi. Masing-masing unsur mempunyai nuksma, artinya teknik dan lagu penyuaraan
arti dan fungsi sendiri-sendiri yang tidak mungkin dapat sejiwa dengan isi serta suasana pocapan yang
digantikan oleh lainnya (Murtiyoso, 2007: 3). diucapkan. Dalam menyuarakan pocapan perlu
Dapat dikatakan bahwa jalinan masing-masing mempertimbangkan ngeng atau ulon gendhing
unsur sangat erat dan apabila salah satu unsur tidak grimingan gender agar ritme, diksi, volume, dan
berfungsi maka akan mengganggu fungsi unsur- nada lagu pocapan dapat menyatu dengan ulon
unsur lainnya. Demikian juga dengan pocapan, grimingan gender (Sumanto, 2007:75-76). Lagu
yang kehadirannya terkait erat dengan fungsinya grimingan gender yang digunakan dalam pocapan
dalam sebuah kesatuan struktur pakeliran secara disesuaikan dengan wilayah pathet.
utuh. Dalam pedalangan, pathet merupakan
sistem pembagian waktu yang terkait dengan
Fungsi Pocapan lama waktu pertunjukan pada masing-masing
pathet. Pembagian itu terdiri atas pathet 6 (nem)
Pocapan memiliki fungsi secara teknik dan (berkisar antara pukul 21.00 – 24.00), pathet 9
estetik. Secara teknik, pocapan berfungsi sebagai (sanga) (berkisar antara pukul 24.00 – 03.00),
sarana untuk memberikan penjelasan kepada dan pathet manyura (berkisar antara pukul 03.00-
penonton tentang hal yang sudah, sedang, maupun 06.00). Dalam perkembangannya, pakeliran
akan terjadi. Secara estetik, pocapan berfungsi gaya Surakarta tidak lagi ketat mengikuti aturan
sebagai pendukung atau pembentuk suasana suatu tersebut (Sumanto, 2003:311-312). Dalam konteks
peristiwa (Suyanto, 2007: 15). Pocapan merupakan pertunjukan wayang, ruang atau wilayah pathet
unsur pembentuk lakon yang berperan antara dibentuk dan dipertahankan oleh suara dalang,
lain memberi gambaran setting tempat (situasi gending, dan permainan instrumen gender
kondisi tempat terjadinya peristiwa lakon), setting (Yogyakarta: genukan; Surakarta: grimingan). Pada
suasana, yaitu suasana adegan, serta deskripsi saat gending dan gamelan tidak berbunyi, ruang
peristiwa yang sudah terjadi, sedang, dan/atau akan atau wilayah pathet dibentuk dan dipertahankan

155
Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

oleh sulukan, pocapan, dan genukan atau grimingan adalah makna linguistik dan nonlinguistik.
gender (Prasetya, 2012). Dengan demikian, pocapan Secara linguistik, makna kata dapat dilihat dari
dan grimingan gender dapat digunakan untuk hubungan antara kata dengan kata, kalimat, dan
mengetahui wilayah pathet pada saat pertunjukan wacana. Makna nonlinguistik dapat diperoleh
berlangsung. dari hubungan antara kata dengan barang atau
Berdasarkan pembagian wilayah pathet, lagu hal. Makna linguistik dilihat dari susunan leksikal
grimingan gender untuk mengiringi pocapan dalam dan gramatikalnya sehingga diperoleh makna
pathet 6 (nem) adalah suasana 6 (nem) yang jatuh denotatif dan konotatif. Makna kata kadang-
pada seleh 6 (nem); pathet 9 (sanga) jatuh pada seleh kadang juga perlu dilihat berdasarkan wacana secara
1 (siji); dan pathet manyura jatuh pada seleh 3 (telu). keseluruhannya (Djajasudarma, 1993: 5). Makna
Lagu grimingan gender seperti itu dibunyikan terus, linguistik adalah lapis literer yang mempunyai
diwiletke sesuai dengan ketrampilan penggender arti harafiah. Sementara, pocapan adalah suatu
(Wawancara Jaka Rianto, 10 Nopember 2015). teks jenis sastra yang struktur kalimatnya tidak
Pocapan kadang-kadang juga diiringi bunyi mengikuti aturan baku. Teks pocapan termasuk
keprakan. Keprakan dalam pertunjukan wayang jenis teks pertunjukan yang dibuat dengan
gaya Surakarta dibedakan dengan dhodhogan. mempertimbangkan karakter khusus, di antaranya
Keprakan dihasilkan oleh bunyi keprak, yaitu menggunakan ikatan persajakan, panjang pendek
susunan empat plat logam masing-masing suku kata, pilihan kata yang berbeda dari bahasa
bernada 6, 2, 3, dan 1 yang digantungkan pada sehari-hari, mempertimbangkan guru lagu, guru
kotak wayang. Bunyi keprakan diperoleh ketika wilangan, bahkan matra dan ritme (Santosa, 2002:
dalang memegang cempala tangan atau kaki yang 20-21). Hal itu, menunjukkan bahwa makna
dipukulkan pada keprak tersebut. Sementara, bunyi cakepan (pocapan) dan lagu tidak dapat dipisahkan,
dhodhogan diperoleh dari cempala tangan yang artinya terdapat kesesuaian antara kesan rasa yang
dipukulkan pada kotak wayang (Putra, Prasetya, ditimbulkan oleh lagu dengan kesan suasana yang
& Sunyata, 2014). Keprak yang digunakan untuk dibangun oleh kalimat cakepan (pocapan) (Sudarko,
mengiringi pocapan akan dipukul dengan irama 2013: 59). Makna-makna tersebut dilihat dalam
nyisir dan apabila suasana pocapan menjelang konteks pertunjukan sebagai sebuah struktur yang
klimaks maka keprakan akan dipukul dengan mendukung makna lakon secara keseluruhan.
irama ngganter. Dhodhogan yang digunakan untuk Sebelum membahas keterkaitan fungsi
mengiringi pocapan, yaitu mengggunakan irama pocapan, pathet, makna syair, dan lagu terlebih
banyu tumetes, cempala dipukulkan ke kothak secara dahulu disajikan balungan lakon Sudhamala. Hal
tunggal dengan tekanan pelan, lirih, atau keras itu, dimaksudkan untuk melihat kedudukan
sesuai dengan suasana pocapan yang ditampilkan pocapan dalam konteks keutuhan lakon Sudhamala.
(Wawancara Sudarsono, 25 Nopember 2015).
Balungan Lakon Sudhamala
Keterkaitan Fungsi Pocapan dengan Pathet,
Makna Syair, dan Lagu Lakon Sudhamala mengisahkan Dewi Uma
yang dikutuk menjadi raseksi oleh Bhatara Guru
Bahasa pedalangan adalah bahasa seni sebagai karena telah berselingkuh. Dewi Uma dalam wujud
ungkapan jiwa atau ungkapan pengalaman jiwa. raseksi, yaitu Dewi Durga bertempat tinggal di
Dalang tidak sekedar mengucapkan kata-kata Setra Gandamayit. Dewi Durga dapat kembali ke
tetapi harus mengerti dan memahami makna kata wujud aslinya setelah diruwat oleh Sadewa, bungsu
serta tujuan kata itu diucapkan. Pada prosesnya dari Pandawa. Berikut balungan lakon Sudhamala
memang berupa hafalan tetapi kemudian dihayati sajian Ki Nartasabda.
untuk kemudian diungkapkan agar dapat Pathet Nem berisi:
menimbulkan rangsangan rasa hayatan (Sumanto, 1. Adegan Jejer Kahyangan Jonggring Saloka.
2007: 66). Makna dalam hal ini, yang dimaksud Bhatara Guru mengadakan pertemuan istana

156
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

yang dihadiri Narada, Dewa Indra, dan lain-lain. Pathet Sanga berisi:
Bhatara Guru ingin mendapatkan penjelasan 1. Adegan gara-gara. Menampilkan adegan humor
terkait dengan pertanda buruk yang dia lihat antara Petruk dan swarawati.
di langit dan bumi. Semua Dewa dimintai 2. Adegan Alas-alasan. Raden Abimnyu diikuti oleh
pendapat dan pendapat dari Naradalah yang punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
dituruti, yaitu memohon petunjuk kepada Sang Abimanyu bermimpi, Pandawa sedang bepergian
Hyang Wenang. Keterangan dari Sang Hyang tetapi Sadewa justru sedang sendiri naik perahu
Wenang, bahwa Dewi Uma, istri Bhatara Guru dan diterjang ombak besar. Abimanyu pergi ke
telah berselingkuh dengan Dewa Siwa. Bhatara Ngamarta.
Guru marah dan mengutuk Dewi Uma menjadi 3. Adegan Cakilan. Di tengah perjalanan Abimanyu
seorang raseksi bernama Dewi Durga. Tempat bertemu dengan Cakil dan mereka berperang.
tinggal Dewi Durga di Setra Gandamayit dan Cakil terbunuh. Abimanyu berperang melawan
membawahi semua makhluk halus. Dewi Durga para raksasa.
akan kembali pulih apabila telah diruwat oleh Pathet Manyura berisi:
Sadewa. 1. Adegan di Setragandamayit. Dewi Kunti prihatin
2. Adegan di tepi kolam Tirta Kamandanu. mendengar Kalantaka dan Kalanjana dapat
Sang Hyang Giripati/Guru sedang mandi dan mengalahkan anak-anak Pandawa. Dia berniat
dikelilingi para bidadari. Bhatara Citrasena dan memohon kepada Hyang widhi dan todak
Citrarata mengintip perilaku mereka. Bhatara terasa sampai di hutan Setragandamayit. Dewi
Guru mengetahui perbuatan mereka dan Durga menemuinya dan bersedia membantu
mengutuknya menjadi raksasa. Nama mereka menyelesaikan permasalahan Pandawa asal Dewi
diganti dengan Kalantaka dan Kalanjaya. Mereka Kunti mempersembahkan Sadewa kepadanya.
diharuskan mengabdi ke Hastina dan menuruti Kunti tidak setuju dan pergi meninggalkan Dewi
semua perintah Prabu Duryudana. Mereka Durga. Jin Kalika diperintah oleh Dewi Durga
bisa kembali ke wujud asalnya setelah bertemu untuk merasuki tubuh Dewi Kunti.
dengan Sadewa. 2. Adegan Ngamarta. Para Pandawa kebingungan
3. Adegan Negara Ngastina. Duryudana dihadap mencari keberadaan Dewi Kunti, Kresna datang
Durna, Sengkuni, dan Karna. Mereka menemui pandawa. Tiba-tiba mereka dikejutkan
membicarakan taktik untuk membinasakan dengan kedatangan Kunti yang sudah kerasukan
Pandawa dalam perang Bharatayuda. Di tengah- jin kalika. Kunti menculik Sadewa.
tengah pembicaraan, Kartamarma datang dan 3. Adegan hutan Setragandamayit. Jin Kalika
memberithukan adanya dua raksasa yang terpelanting dari tubuh Dewi Kunti karena
ingin menghadap Duryudana. Kedua raksasa, merasa panas. Jin Kalika merayu Sadewa agar
Kalantaka dan Kalanjana bermaksud membantu mau menjadi suaminya. Jin Kalika tidak dapat
Kurawa untuk mengalahkan Pandawa. menakhlukkan sadewa dan akhirnya melapor
Duryudana menyetujui permintaan kedua kepada Dewi Durga.
raksasa itu. Kedua raksasa berangkat mencari 4. Adegan Kahyangan. Bhatara Guru merasa
Pandawa. Secara sembunyi-sembunyi, Karna dan kasihan melihat Sadewa yang sedang diikat di
Sengkuni mengikuti mereka. bawah pohon gurda oleh jin Kalika. Bhatara
4. Adegan di medan Kurukasetra. Gathutkaca Guru merasuki tubuh Sadewa.
sedang memeriksa medan Kurukasetra. Setyaki 5. Adegan ruwat. Dewi Durga tidak berdaya di
berperang dengan Kartamarma. Gathutkaca depan Sadewa. Pada saat jin Kalika melaporkan
berperang melawan Kalantaka. bahwa Sadewa tidak mau menjadi suaminya,
5. Adegan Budhalan-Kapalan. Kedatangan raksasa Durga marah dan menemui Sadewa. Akan
Kalantaka dan Kalanjana membuat suasana jadi tetapi, ketika Durga sampai di hadapan Sadewa,
kacau, kemudian Samba dan Setyaki berniat ia melihat ada singgasana Bhatara Guru di atas
melaporkannya kepada Pandawa. kepala Sadewa, kemudian Durga menyembah

157
Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

di hadapan Sadewa. Durga memohon ampun [Berdiri tegak tidak bergerak bagaikan tugu
kepada Bhathara Guru. Sadewa yang dirasuki kencana emas, Sang Hyang Jagat Giripati, apa
Bhatara Guru mengampuni Dewi Durga dan yang dirasakan disampaikan melalui do’a dan
meruwatnya. Sadewa mengunyah kinang dan dengan cepat menembus sampai langit, sampai
meludahi mbun-mbunan Dewi Durga serta ke Awang-Awang Kumitir, mengerti dan paham
mengucapkan mantram sakti. Durga berhasil Sang Hyang Asih Prana, iya Sang Pada Wenang,
iya Sang Hyang Tunggal. Dengan tiba-tiba
diruwat dan kembali menjadi Dewi Uma.
muncul menjelma di dunia. Tersibaklah awan
Bhatara Guru keluar dari tubuh Sadewa dan pergi
di angkasa].
ke kahyangan bersama Dewi Uma. Sepeninggal
Bhatara Guru dan Dewi Uma, Pandawa datang Pocapan itu dinarasikan Ki Nartasabda dengan
menemui Sadewa. Melaksanakan pesan Bhatari iringan grimingan gender dengan lagu atau notasi
Uma, Sadewa pergi ke Prangalas menemui pada seleh 6 (nem) seperti berikut.
Begawan Tambrapeta. . . . . 3 2 1 6
6. Adegan Prangalas. Resi Tambrapeta dihadap Berdasarkan konteks dialog yang terjadi antara
kedua putrinya dan para abdi. Tiba-tiba mereka Narada dan Bhatara Guru dapat dimaknai bahwa
kedatangan Nakula, Sadewa, dan Semar. Nakula konsentrasi saat berdoa yang dilakukan Bhatara
dan Sadewa menikahi anak Resi Tambrapeta, Guru sangat tinggi hingga seakan-akan tidak
Soka dan Pradapa. Semar menikahi Nini Thowok. bergerak seperti tugu. Hal itu, membuat do’anya
Raksasa Kalantaka dan Kalanjana datang minta segera sampai dan seketika terkabulkan. Pocapan
diruwat oleh Sadewa. Sadewa berhsil meruwat dengan makna seperti itu menuansakan suasana
mereka dan kembali menjadi Dewa Citrasena hening dan diucapkan pada wilayah pathet 6
dan Citrarata. Karena berhasil meruwat mereka, (nem). Dalam wilayah ini, dramatisasi masih datar
Dewa Citrasena menganugerahi Sadewa dengan namun teknik penyuaraan nuksma dapat dirasakan
nama Raden Sudamala. dari lagu penyuaraan yang sejiwa dengan isi serta
7. Adegan Tayungan. Setelah Dewa Citrasena dan suasana pocapan yang diucapkan. Ritme, diksi,
Citrarata kembali ke kahyangan. Sadewa melihat volume, dan nada lagu pocapan dapat menyatu
Werkudara berperang melawan Dursasana. dengan ulon grimingan gender yang jatuh pada seleh
Setelah Dursasana kalah, Werkudara tayungan. 6 (nem).
Kresna mengajak werkudara mengheningkan Pocapan selanjutnya dinarasikan Ki
cipta memohon kepada jawata agar selamat tiada Nartasabda pada saat Bhatara Guru memanggil
halangan suatu apapun. Batari Uma untuk memberi hukuman karena telah
8. Tancep kayon berselingkuh.

Pocapan dalam Pathet 6 (nem) Kagyat kadora wekasan esmu glarapan jroning
penggalih, Batari Uma dupi piniji angabyantara
Bhatara Guru memohon petunjuk kepada mangarsa Sang Hyang Jagat Girinata. Kinoyak
sang Hyang Wenang karena adanya pertanda buruk denya ngrasuk busana, kekandelan tetasike,
yang terjadi di kahyangan. Sikap semedi Bhatara pinulas-pulas lelathine, kinerik alise, kinethok
Guru dan kehadiran Sang Hyang Wenang ke dunia godhege, linalar-lalar sarirane tambah jenar,
ginawe-gawe lelewane, dhasaring satunggaling
dilukiskan dalam pocapan seperti berikut.
hapsari ingkang sakedah ewahe sarwa mantesi,
Njegreg kaya tugu pratima mas, Sang Hyang Jagat gebyar-gebyar kang busana, kasorot ing bagasakara
Giripati cekake raos keclaping cipta sumundhul ngantya kaya kasireng lamun pinandeng, dangu-
ing antariksa, sumengka ing kahyangan Awang- dangu kaya musna kinedhepake, nanging kaya
awang Kumitir, tanggap anggraita Sang Hyang ngapa ta kagyating manah dupi nedya sumungkem
Asih Prana, ya Sang Pada Wenang, ya Sang Hyang pepadane Sang Hyang Jagat Girinata wekasan
Tunggal. Jleg ngejawantah, sumelaking pedhut ing tinambuhan, myat jumeneng saking palenggahan
ampak-ampak. Sang Hyang Jagat Giripati amengkeraken ingkang

158
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

garwa Batari Uma. Mula teka mangkana panguwasane yen lumampah lemah sangar kayu
pangudasmaraning panggalih Batari Uma lamun aeng dadi tawa tawar bisoa dadi ngapa.
kawijil ing lesan. [Lah inilah wujud yang sedang berbaris di
[Sangat terkejut hingga membuat hatinya Kurukasetra, raja muda di Pringgodani berjuluk
gundah, Batari Uma ketika disuruh menghadap Raden Gathotkaca, iya Raden Tetuka, Guritna,
Sang Hyang Jagat Girinata. Segera berbusana, Purbaya, Senaputra, Harimbiatmaja, dia akan
menebalkan bedaknya, memoles bibirnya, memeriksa Kurukasetra. Gathotkaca terbang
membentuk alis, mencukur jambang, melulur dan terlihat gagah tinggi besar bagaikan patung
badan agar semakin kuning, dibuat-buat polah emas bisa berbicara. Setelah selesai mengenakan
tingkahnya, pada dasarnya memang bidadari pakaian, satu persatu tidak ada yang terlupa,
yang semua tingkah polahnya luwes, bersinar segera memakai busana wasiat pemberian dewa,
pakaiannya, tersorot sinar matahari bagaikan yaitu Caping Basunanda, Kotang Antakusuma,
menyilaukan, jika dilihat tanpa berkedip, dan Tarumpah Pada Kacerma. Caping Basunanda
semakin lama seakan-akan hilang jika mata mempunyai kesaktian jika ada hujan maka tidak
dikedipkan, tetapi tidak bisa dilukiskan rasa akan kehujanan dan jika panas maka tidak akan
terkejutnya ketika akan menyembah kaki Sang kepanasan. Kotang Antakusuma dapat terbang
Hyang Jagat Girinata akhirnya kecewa, seketika di langit tiada beda dengan berjalan di darat.
berdiri sang Hyang Jagat Giripati membelakangi Tarumpah Pada Kacerna sungguh merupakan
istrinya Batari Uma. Demikianlah kata hati kulit dari walungsungan Sang Hyang Anantaboga,
Batari Uma jika dilisankan] yaitu dewanya ular. Kekuatannya jika berjalan
di tanah yang berbahaya maka menjadi netral,
Pocapan itu dinarasikan Ki Nartasabda pada pohon yang membahayakan bisa netral, tidak
wilayah pathet 6 (nem) dengan iringan grimingan bisa berbuat apa-apa].
gender dengan lagu atau notasi pada seleh 6 (nem). Kesan nuksma didapat dari ulon grimingan
Nuansa makna dalam pocapan itu adalah lukisan gender yang jatuh pada seleh 6 (nem). Suasana
rasa gundah gulana dan rasa keterkejutan seorang pathet masih datar maka makna pocapan juga
istri yang tiba-tiba dipanggil suaminya. Dramatisasi bernuansa datar, yaitu gambaran kegagahan dan
masih datar namun suasana nuksma dapat dirasakan kesaktian Gathotkaca sebagai seorang ksatria.
dan nada lagu pocapan dapat menyatu dengan ulon Nuansa makna yang terdapat dalam pocapan itu
grimingan gender yang jatuh pada seleh 6 (nem). belum menampakkan adanya dramatisasi.
Pocapan berikutnya melukiskan kegagahan Lukisan keadaan Gathotkaca masih dilanjut-
Raden Gathutkaca ketika akan berperang. kan dalam pocapan seperti berikut.
Lah punika ta warnane ingkang ndaweg pacak
baris ing Kurukasetra, raja mudha ing Pringgadani Sampat busanane wong agung ing Pringgadani gya
akekasih Raden Gathotkaca ya Raden Tetuka, cancut tali wanda, tali arane acincing, taliwanda
Guritna, Purbaya, Senaputra, Harimbiatmaja, cecawetan, ngencengake tali bebadhonge, nglengser
deniarsa anganglang Kurukasetra. Ri sang celanane, netepake jejamange, ngusap gumbala,
Gatutkaca nedya mahawan gegana ketingal miyak simbar jaja, nggedruk pratala ndedel
anggana raras glewo-glewo kaya golek kancana nggayuh ngatariksa kaya kilat thathit sumusuping
bisa ngocap. Wusnya rampung denya matrapake jaladra.
busana sawiji mbaka sawiji tan ana kang kacicir, [Lengkap pakaian Wong Agung di Pringgodani
gya ngrasuk busana wasiat peparinge dewa dan segera mengencangkan tali celana, tali
Caping Basunanda, Kotang Antakusuma miwah badhong, menurunkan celana, menata kumis,
Tarumpah Pada Kacerma. Caping Basunanda mengusap jambang, menyibak bulu dada,
daya panguwasane ana udan datan kodanan yen memukulkan kaki ke tanah dan terbang ke
panas tan kepanasan. Kotang Antakusuma sayekti angkasa bagaikan kilat yang menyusup di awan].
bangkit dirgantara tanpa beda ing dhedharatan.
Tarumpah Pada Kacerna sayekti walungsungane Pocapan itu mempunyai makna kesigapan
Sang Hyang Anantaboga dewatane sarpa, daya seorang satria yang bertugas mengamankan

159
Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

wilayahnya. Sikap sigap dan siap siaga menuansakan Makna pocapan itu melukiskan keadaan yang
makna berwibawa, pengucapan bernada datar pada serba indah dan menyenangkan. Indah jernih air
wilayah pathet 6 (nem). Nuansa nuksma diperoleh kolamnya dan serba menyenangkan tingkah laku
dari ulon grimingan gender yang jatuh pada seleh 6 serta rupa bidadari-bidadari yang menggoda Sang
(nem). Dalam pocapan itu, dramatisasi juga belum Hyang Jagat Girinata. Nuansa makna tersebut
tampak menanjak. dinarasikan padha pathet 6 (nem). Dalam pocapan
Pocapan berikut dinarasikan Ki Nartasabda itu, dramatisasi belum dibangun dan isi pocapan
pada saat menggambarkan Sang Hyang Girinata itu akan berkaitan dengan alur lakon pada saat
mandi di sebuah kolam. Sang Hyang Jagat Girinata mengutuk 2 dewa, yaitu
Akimplah-kimplah alerap-lerap balumbange Tirta dewa Citrasena dan Citrarata karena telah berani
Kamandanu, Sang Hyang Girinata anglugas raga mengintip saat Sang Hyang Jagat Girinata mandi.
nggebyur ing Tirta Kamandu namung sajuga, Kedua dewa itu dikutuk menjadi raksasa.
nanging ingkang lelados langkung kawandasa para Narasi pocapan berikutnya berisi gambaran
widadari pepingitan para hapsasri pepethingan, perilaku raksasa Kalantaka dan Kalanjana sebagai
ingkang melok-melok wadanane, rompyo- berikut.
rompyo sesinome, angudup turi gegodhege, wewek
Lah ing kana ta wau, lampahing reksasa kekalih
payudarane, ngolan-olan janggane, nanggal sepisan
wus andharat ing madyapada turut ing dhusun-
alise, kang dhemes lathine, kang arum gandane,
ngadhusun sami angangah-angah anjejarah, sarwi
waneh-waneh patrape, ana kang angujiwat sarwi
keh padesan rumangsa uripre kaya digegabah,
anjawat, ana kang saweneh ethok-ethok dhawah
kahanane kaya digerasah, raja branane jinarah-
ing balumbang, ana ing saweneh api-api glageban
rayah. Mila kathah ingkang samya ngungsi saka
ing pamrih supaya tinulungan marang S.H Jagat
padunungane sowang sowang, tambuh-tambuh
Girinata, ana saweneh ingkang nglangi wonten ing
kang jinujug. Sinigeg kang ndawek lumaksana,
sangandhaping suku, ana saweneh kang ngujiwat
nahan ta ganti kang cinarita, kang ana jroning
angawe-awe, ana saweneh kang arembyak-rembyak
puraya gung negari Ngastina, ngumandhang
rambute, awit saking drenging kawicaksanan Sang
Hyang Jagat Girinata. Sanggya para widadari malembar saindhenging jagad.
ingkang lelados siram sadaya tinimbalan wus [Lah di sana tadi, perjalanan kedua raksasa sudah
caket mangarsa. sampai ke dunia, menyusuri desa-desa, mereka
[Berombak-ombak air kolam Tirta Kamandanu, menjarah, banyak desa yang merasa hidupnya
Sang Hyang Girinata telanjang mencebur ke bagai tidak dihargai, keadaan seperti dalam
kolam Tirta Kamandanu hanya sendirian tetapi kerusuhan, harta benda dijarah. Oleh karena itu,
yang meladeni lebih dari 40 bidadari pilihan, banyak yang mengungsi dari tempat tinggalnya
yang bersinar wajahnya, subur rambut halus masing-masing, tidak tahu arah tujuan. Tidak
di pangkal dahinya, jambang seperti bunga diceritakan lagi yang sedang terjadi, kemudian
turi yang belum mekar, montok payudaranya, ganti yang diceritan, yang ada di dalam istana
dagu bagai lebah bergantung, alis bagai bulan besar negara Ngastina, tersohor di seluruh
tanggal satu, manis bibirnya, harum baunya, dunia].
apalagi tingkahnya, ada yang menggoda sambil Pocapan bermakna rusuh dan gaduh itu
menyentuh, ada sebagian yang pura-pura jatuh
dinarasikan Ki Nartasabda pada pathet 6 (nem)
di kolam, ada yang pura-pura terengah-engah
akhir sehingga dramatisasi mulai tampak menanjak
minum air kolam dengan maksud ditolong oleh
sang hyang Jagat Girinata, ada yang sebagian walaupun nada grimingan gender tetap jatuh pada
berenang di bawah kaki, ada yang menganggu seleh 6 (nem).
melambaikan tangannya, ada yang mengurai
rambutnya, agar semua itu mendapatkan Pocapan dalam Pathet 9 (sanga)
kebijaksanaan Sang Hyang Jagat Girinata.
Semua bidadari yang meladeninya diundang Wilayah pathet 9 (sanga) memiliki kadar
dan sudah berada di dekatnya]. dramatik agak menanjak dibandingkan dengan

160
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

kadar dramatik pada pathet 6 (nem). Ulon gending samya ngungsi mring Sang Hyang Rodrapati,
grimingan gender dengan lagu atau notasi jatuh sirnaning wewelak sireping kang gara-gara,
pada seleh siji seperti berikut. jumedhuling sanggya repat Panakawan.
. . . . 5 3 2 1 [Gara-gara, apakah isi gara-gara, bumi terdiam
Pocapan yang dinarasikan Ki Nartasabda bagaikan air yang yang teraduk jadi satu,
diawali dengan pelukisan suasana pergantian dari di angkasa terdengar bunyi petir, terdengar
siang ke malam hari, seperti berikut. gemuruh suara reruntuhan gunung, hancur
Sirepe Sang Hyang Arka gumantosing dalu, jroning lebur, angin lesus terus menerus, gaduh tiada
ratri dereng wonten ingkang cinarita, amung Sang henti, teraduk-aduk keluarlah api neraka
Hyang Candra kang mijil saking pertala arsa membumbung tinggi, berhamburan Sang
amerbawani jagad, dupi tatasing kamantyan Hyang Riris, bulan jatuh ke laut suaranya
dewasane Sang Hyang Arka, nengna wauta wus bergemuruh, kawah candradimuka bagaikan
ngancik gara-gara. diaduk, berhamburan tanah liat bercampur
batu, tidak lurus lagi jembatan ogal-agil, rapuh
[Memudarnya Sang Hyang Arka berganti tanduk lembu Andini, bergetar ekornya, terbuka
menjadi malam, dalam malam belum ada yang lebar mulut bathara Anantaboga, lenguhan sapi
diceritakan, hanya Sang Hyang Candra yang bagaikan membelah langit, tiang balai Marakata
muncul dari langit akan menerangi dunia, setelah berguncang, bagaikan terbelah pintu Sela
hilang wujud Sang hyang Arka, demikianlah Matangkep, seketika geger para bidadari, mereka
mulai gara-gara]. mengungsi ke tempat Sang Hyang Rodrapati,
hilangnya kegaduhan maka sirnalah gara-gara,
Nuansa makna dalam pocapan itu adalah kemudian muncul para punakawan].
lukisan perubahan suasana menjelang gelap.
Pocapan dengan makna sunyi, sepi, dan bulan Pocapan gara-gara itu menuansakan makna
mulai bersinar dalam gelap seperti itu diucapkan keadaan yang gaduh, ribut, menakutkan, dan
pada wilayah pathet 9 (sanga). Dramatisasi sudah mencekam. Dramatisasi mulai terlihat pada
terasa agak meningkat dan suasana nuksma dapat pocapan itu, yaitu adanya keadaan yang mulai
dirasakan dan nada lagu pocapan yang menyatu memuncak dan hal itu dinarasikan dalang dengan
dengan ulon grimingan gender, yang jatuh pada nuksma selaras dengan ulon grimingan gender yang
seleh 1 (siji). jatuh pada seleh 1 (siji).
Pocapan berikutnya melukiskan keadaan yang Dramatisasi juga tampak memuncak pada
terjadi pada saat gara-gara, seperti berikut. saat Ki Nartasabda menarasikan Abimanyu perang
melawan para raksasa dan berhasil membunuhnya.
Gara-gara, apa ta isine gara-gara, bawana sidhem Keadaan itu terlihat di dalam pocapan berikut.
kados banyu ning sampur lebur, ing akasa munya
gumaludhug, andhedheri ngakak gugurane Pating balingkrah kaya babatan pacing
arga, gora gurnita kagiri-giri lebur prakempita kuwandhane para drubiksa nanging sakedhaping
mangambak-ambak, santer suarane lesus lir netra sirna saking pandulu, wangsul ing ajal
pinusus, sindhung riwut magenturan, kumucak kamulane, Wauta sang Bimanyu dupi mulat
mawetu mulat mubal kababal genine Yomani, dres sirna pepalanging marg, i angawe sanggya repat
mawur Sang Hyang Riris kartika tinibeng kisma panakawan kinanthi laju lampahe sinebut sangsaya
jumlegur jugruk swarane, kawah Candradimuka sengkut, derenging cipta tan nedya kendel lamun
kaya kinebur, syuh sumamburat ngambara si dereng prapta kang sinedya, anenggih prajagung
bleg endhut si bleg daba, menceng wot ogal-agil, negari Ngamarta.
rengat sungune lembu Andini, kumitir pethite, [Berserakan bagaikan cacing, jasad para raksasa
ngablak tutuke bathara Anantaboga, pangriking tetapi sekejap mata sudah hilang dari pandangan,
sapi gumarang nganti kaya belah-belahna langit, kembali ke asal mulanya. Demikianlah Abimanyu
cagak goncang bale Marakata, kaya jebol-jebola pada saat melihat sudah hilang penghalang
kori lawang sela matangkep, sami sakala geger para jalannya, melambaikan tangan kepada para
dewa-dewi, hapsara-hapsari, widadara-widadari punakawan dan semakin dipercepat jalannya,

161
Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

dalam batin mengatakan bahwa tidak akan kontrang-kantring wayang-wuyung wewayangan.


berhenti sebelum sampai tujuan, yaitu kerajaan Anggraita kang ana kahyangan pasetran Ganda
besar Negara Ngamarta]. Manyit, jleg dewatane bekasakan anenggih batari
Durga.
Pocapan itu menuansakan makna mencekam,
yaitu adanya peperangan dan makna tergesa- [Menunduk wajah Dewi Kunti Talibrata, khusuk
gesa. Dramatisasi terlihat mulai menanjak, ulon mengheningkan cipta hanya memohon kepada
Dewa bagi kejayaan anak-anaknya. Semedi
grimingan gender yang jatuh pada seleh 1 (siji)
di tempat itu berpengaruh pada cuaca, yaitu
nuksma dengan keras lunak, tempo, dan nada suara
udara menjadi panas yang mengakibatkan seisi
dalang pada saat menarasikannya. hutan kacau. Semua makhluk halus, jrangkong
warudoyong, engklek-engklek, balung atandhak,
Pocapan dalam Pathet Manyura wewe janggitan, walaupun ada di dalam sarangnya,
gua, tanah miring, tapi mereka berlari tidak
Wilayah pathet manyura merupakan puncak tentu arah. Yang bertahta di Setra Gandamayit
dramatisasi lakon. Nuansa makna pocapan juga merasakan hal itu, yaitu Dewi Durga sebagai
mengandung dramatisasi yang meningkat atau ratu makhluk halus menampakkan diri].
memuncak. Hal itu dilukiskan dalam pocapan Pocapan yang menuansakan makna panas dan
berikut. kacau balau tersebut dinarasikan Ki Nartasabda
Wirandungan tindakira sang Bimanyu, candrane pada wilayah pathet manyura. Dramatik lakon
kaya taksaka den pidaki pethite, sapecak mangu terlihat mulai memuncak seiring dengan adanya
sapecak kendel tumulih wingking, angentosi makna panas dan kacau balau yang diakibatkan
lampahing para dasih nalika wus kapengker tebih adanya orang bersemedi di daerah kekuasaan
saka tegal pegagan, laju denya lumaksana, Sinigeg makhluk halus. Ulon grimingan gender tetap
kang lumaksana ing marga, genti ingkang cinarita jatuh pada seleh 3 (telu) dan disambung dengan
ingkang ndawek andon lelana, samarga-marga bunyi dhodhogan dan keprakan banyu tumetes tetapi
tansah eling dhateng putra-putrane. menjadi bertempo cepat pada saat pocapan hampir
Pocapan itu menuansakan makna kebim- selesai.
bangan dan kegelisahan seseorang yang melakukan Gambaran rasa panas jin Kalika pada saat
perjalanan. Pocapan dengan makna bimbang, merasuki tubuh Dewi Kunti diungkapkan dalam
ragu-ragu seperti itu diucapkan pada wilayah pocapan sebagai berikut.
pathet manyura. Dramatisasi terlihat sampai pada Raos benter Jim Kalika tunggal sajiwa lan
puncaknya dan suasana nuksma dapat dirasakan Dewi Kunti, mijil saking gua garba dewi Kunti
dan nada lagu pocapan yang menyatu dengan ulon kacepeng ing astanipun kalih kabuncang tebih,
grimingan gender, yang jatuh pada seleh 3 (telu) pagedhonganipun sampun tinampi dening para
seperti berikut. Pandawa, kaya ngapa kageting penggalih sang
. . . . ! 6 5 3 Sadewa mulat ana jim mengengeh tutuke.
Pocapan berikutnya merupakan penggambaran [Panas yang dirasakan Jin kalika pada waktu
pada saat Dewi Kunti Talibrata sedang bersemedi merasuki tubuh Dewi Kunti memaksa dia keluar
di Setra Gandamayit. dari perut Dewi Kunti, dapat dipegang dengan
kedua tangan dan dibuang jauh, dan tubuhnya
Tumungkul wadanane Dewi Kunti Talibrata, diterima para Pandawa. Betapa terkejutnya
manthering cipta tan ana kang kasuwun mring Sadewa melihat ada jin menganga mulutnya].
jawata muhung jayaning para putra. Denya
samadi ing kono maweh perbawa panas, geger Pocapan tersebut semakin memperkuat
saisine wana, sanggya para drubiksa, jarangkong dramatik lakon. Adanya nuansa rasa panas yang
warudoyong, engklek-engklek balung atandhak, dirasakan jin Kalika dan keterkejutan yang dialami
wewe janggitan lindhu, nadyan kang ana pagupone Sadewa menjadikan ketegangan permasalahan
warak, kasonging guwa lemah miring padha lakon semakin memuncak. Ulon grimingan gender

162
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

tetap pada seleh 3 (telu) dan diakhiri dengan menyala bagaikan api yang andaikan tersabet
dhodhogan dan keprakan dalam irama cepat. merang pasti akan mengeluarkan api. Dewi
Makna suasana semakin mencekam dan Durga segera menemui Sadewa tetapi betapa
dramatisasi memuncak pada pocapan berikut. terkejutnya ketika melihat di atas kepala
Sahadewa terdapat singgasana indah, yaitu
Nggramang kang ula dumung sewu teka bareng. tempat duduk Sang Hyang Jagat Girinata. Oleh
Sima singa rong ewu teka bareng, bangsane entup- karena itu, Dewi Durga lemas bagaikan kapas].
entupan sing gedhene sagerdhu, sumanding sang
Sahadewa. Parandene datan miris boten giris, Dramatisasi yang dilukiskan dalam pocapan
kapara saya tajem pepolatane nganti jelih-jelih tersebut mencapai puncaknya dan kemudian mulai
jim Kalika angundangi para sato ewadene boten menurun. Suasana itu terlihat dari nuansa makna
anjalari gigriking manah sang Sadewa. Mula pocapan, yaitu lukisan kemarahan Dewi Durga dan
teka mangkana pangudasmaraning driya lamun lukisan ketidakberdayaannya. Pocapan itu dinara-
kawijiling lesan. sikan Ki Nartasabda pada pathet manyura dengan
[Menjalarlah ular dumung yang berjumlah seribu ulon grimingan gender jatuh pada seleh 3 (telu).
dan mereka datang bersamaan. Harimau dan Dramatisasi yang sudah menurun menuju
singa berjumlah dua ribu dating bersamaan, penyelesaian konflik terlihat pada pocapan berikut.
hewan yang menyengat sebesar pohon gerdu,
Nyembah sesedhokan sang Pandya Batari Durga
tetap bersandar sang Sahadewa. Namun
dateng sang Sahadewa karana mulat bilih ingkang
demikian, tidak khawatir dan tidak takut, justru
tunggal sajiwa lan sang Sahadewa menika anenggih
semakin tajam penglihatannya sampai menjerit-
Sang Hyang Jagat Girinata. Uma umaripik
jerit jin Kalika mengundang hewan-hewan tetapi
soring Sahadewa, waneh-waneh kang ginagas
tidak membuat takut Sang Sahadewa. Demikian
reninging manah karasa blak sumilak karana enget
itu kata hatinya jika dilisankan].
warsitane Sang Hyang Jagat Girinata duk inguni,
Nuansa makna yang mengetengahkan bisa rinuwat saking kacintrakan lamun sampun
suasana kemarahan tersebut dinarasikan Ki pinanggih lawan wuragiling Pandawa, satriya ing
Nartasabda dalam wilayah pathet manyura. Ulon Bumi Retawu ingkang akekasih Raden Sahadewa
grimingan gender mengikuti wilayah pathet yang mila sumengkaning manah tan kena kinambengan
kaya-kaya anjelih sang Pandya Batari Durga.
menuansakan suasana mulai memuncak, konflik
terasa menegangkan. Pocapan selanjutnya masih [Bathari Durga berlutut menyembah Sahadewa
bernuansa penuh kemarahan tetapi sekaligus juga karena melihat bahwa yang menyatu sejiwa
mulai memudar, seperti terlihat berikut. dengan Sadewa adalah Sang Hyang Jagat
Girinata. Uma tunduk di hadapan Sahadewa,
Sang pandya Batari Durga wus nampi pradule tiada lain yang selalu dipikirkan dalam hati
jim Kalika pada sakala duka sinipi, jaja bang sudah terlihat jelas karena ingat pesan Sang
mawinga-winga, kumejot padoning lathi, netra Hyang Jagat Girinata waktu dulu, bisa ruwat
kocak ngondar-andir, kerot-kerot kanang waja, dari malapetaka apabila sudah bertemu dengan
idepnya mangala cakra, soring jangga malatu- ragil Pandawa, satria dari Bumi Retawu, yang
latu, yen ta sinabeting merang sagepel medal bernama Raden Sahadewa, mangka tiada sabar
dahanane. Nedya amrepeki sanggyaning Sadewa hatinya bagaikan mau menjerit Sang Batari
nanging kaya ngapa ngungune penggalih dupi Durga].
mulat pasundhulaning sang Sahadewa wonten
singgangsana adi, inggih menika palenggahane Pocapan tersebut diiringi ulon grimingan gender
Sang Hyang Jagat Girinata mila ngalumpruk yang jatuh pada seleh 3 (telu) dan menuansakan
kaya kapuk winastanan. makna pasrah dan bahagia. Dramatisasi sampai
pada penyelesain yang digambarkan dalam pocapan
[Bhatari Durga sudah menerima laporan dari
berikut.
jin Kalika, seketika sangat marah, dilukiskan
hati membara, lidah bergetar, mata terbelalak, Kocap kacarita nalika samana Sang Sahadewa
gigi berbunyi gemeretak, bulu mata tegak, leher kang asarira Sang Hyang Jagat Girinata gya

163
Tatik Harpawati, dkk. Lagu dan Pocapan dalam Pertunjukan Wayang

angganten, wus angganten kinecohken mbun- tersebut mulai tampak. Permasalahan lakon mulai
mbunane Bathari Durga nedya angrapal mantram dibangun dengan memunculkan berbagai konflik.
sakti. Pocapan-pocapan itu dinarasikan Ki Nartasabdu
nuksma dengan ulon gending grimingan gender yang
[Diceritakan pada waktu itu, Sang Sahadewa
jatuh pada seleh siji seperti berikut.
yang sudah manunggal dengan Sang Hyang Jagat
. . . . 5 3 2 1
Girinata segera menginang, setelah menginang
kemudian diludahkan ke ubun-ubun Bathari Ki Nartasabda pada wilayah pathet manyura
Durga dan segera mengucapkan mantram sakti]. menarasikan pocapan-pocapan dalam nuansa makna
ragu, bimbang, gelisah, panas, kacau balau, dan
Pocapan itu melukiskan keadaan sudah tenang marah. Wilayah pathet manyura merupakan
dan bahagia karena Dewi Durga berhasil diruwat, puncak dari dramatisasi lakon. Konflik lakon
yaitu dikembalikan ke wujud aslinya. Setelah itu, mencapai pada titik puncak dan akhirnya menuju
Dewi Durga berubah menjadi Dewi Uma dan peleraian. Peleraian yang dinarasikan Ki Nartasabda
kembali ke kahyangan. Ulon grimingan gender yang terlihat pada pocapan yang menuansakan makna
jatuh pada seleh 3 (telu) mengiringi Dewi Uma dan ketidakberdayaan, pasrah, dan bahagia.
Sang Hyang Jagat Girinata menuju kahyangan. Suasana nuksma yang terlihat dalam pocapan-
pocapan di wilayah pathet manyura dapat dirasakan
Penutup dengan nada lagu yang menyatu dengan ulon
grimingan gender. Ulon grimingan gender itu jatuh
Keselarasan iringan dengan fungsi pocapan pada seleh 3 (telu) seperti berikut.
dan kaitannya dengan makna pilihan kata sebagai . . . . ! 6 5 3
pendukung suasana yang ditampilkan dalam suatu Penyuaraan pocapan yang dinarasikan Ki
adegan lakon Sudhamala dapat dilihat dari wilayah Nartasabda adalah nuksma, artinya teknik dan
pathet pada saat pocapan dinarasikan. lagu penyuaraan dapat sejiwa dengan isi serta
Pocapan-pocapan yang dinarasikan Ki suasana pocapan. Dalam menyuarakan pocapan,
Nartasabda pada wilayah pathet 6 (nem) Ki Nartasabda mempertimbangkan ngeng atau
menuansakan makna suasana hening, gundah ulon gendhing grimingan gender agar ritme, diksi,
gulana, terkejut, sigap, indah, senang, rusuh, dan volume, dan nada lagu pocapan dapat menyatu
gaduh. Nuansa makna seperti itu, menandakan dengan ulon grimingan gender.
bahwa dramatisasi lakon belum tampak dan Penarasian pocapan-pocapan disesuaikan
cerita masih dalam tahap awal timbulnya dengan wilayah pathet. Dalam wilayah pathet 6
permasalahan. Akan tetapi, menjelang pergantian (nem), pada umumnya banyak dinarasikan pocapan
pathet, Ki Nartasabda menarasikan pocapan yang yang bermakna datar. Hal itu, dikarenakan dalam
menuansakan suasana rusuh dan gaduh. Hal itu, wilayah pathet 6 (nem) dramatisasi lakon baru
untuk memberi isyarat bahwa dalam wilayah pathet dibangun, artinya masih berkadar rendah. Pada
berikutnya, yaitu pathet 9 (sanga) sudah mulai wilayah pathet 9 (sanga) nuansa makna pocapan
terlihat permasalahan lakon. mulai agak meningkat, dramatisasi lakon dalam
Pocapan-pocapan yang dinarasikan Ki Nartas- pathet ini mulai terlihat. Akan tetapi, pada
abda pada wilayah pathet 6 (nem) disesuaikan de- wilayah pathet manyura akan banyak dinarasikan
ngan iringan ulon gending grimingan gender dengan pocapan yang bernuansa panas atau klimaks.
lagu atau notasi pada seleh 6 (nem) seperti berikut. Hal itu, disebabkan dramatisasi lakon mencapai
. . . . 3 2 1 6 klimaksnya pada wilayah pathet manyura, hingga
Pocapan-pocapan yang dinarasikan Ki akhirnya menuju peleraian konflik. Nuansa makna
Nartasabda pada wilayah pathet 9 (sanga) dalam wilayah pathet 6 (nem) terkesan lebih tenang
menuansakan makna gelap, sunyi, sepi, gaduh, daripada wilayah pathet 9 (sanga), dan wilayah
ribut, perang, dan mencekam. Dramatisasi lakon pathet manyura sebagai puncak penanjaan konflik
yang tercermin dalam makna pocapan-pocapan mengarah pada akhir lakon.

164
Vol. 16 No. 3, Desember 2015

Ki Nartasabda adakalanya juga menggunakan Gending Karya Ki Nartasabda”. [Laporan


iringan keprakan dan dhodhogan dalam menarasikan Penelitian]. Surakarta: STSI.
pocapan. Keprakan akan dipukul dengan irama Sudarko. (2013). Ragam Sulukan Wayang Kulit
nyisir dan apabila suasana pocapan menjelang Purwa Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul
klimaks maka keprakan akan dipukul dengan Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman.
irama ngganter. Dhodhogan yang digunakan untuk RESITAL : JURNAL SENI PERTUNJUKAN,
mengiringi pocapan, yaitu mengggunakan irama 14(1). doi:http://dx.doi.org/10.24821/resital.
banyu tumetes, cempala dipukulkan ke kothak secara v14i1.395
tunggal dengan tekanan pelan, lirih, atau keras Sumanto. (1990). “Nartasabda Kehadirannya
sesuai dengan suasana pocapan yang ditampilkan. dalam Dunia Pedalangan sebuah Biografi”.
[Thesis]. UGM: Pascasarjana.
Kepustakaan Sumanto. (2003). “Pathet Nggon Pedalangan Kuwi
Apa? Studi Awal Makna Pathet dalam Pakeli-
Djajasudarma, Fatimah. (1993). Semantik I ran Tradisi Gaya Surakarta maupun Persepsi
Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Seorang Dalang”. dalam Waridi (ed). Seni
Eresco. dalam Berbagai Wacana. Surakarata: STSI.
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. (1998). Sumanto. (2007). “Dasar-Dasar Garap Pakeliran”
Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Penerjemah J. dalam Suyanto (ed). Teori Pedalangan.
Praptadiharja & Kepler Silaban. Jakarta: PT Surakarta: ISI Press dan Saka Production.
Gramedia Pustaka Utama. Suparno, Slamet. 2007. Seni Pedalangan Gagrag
Harpawati, Tatik. (2005). “Kajian stilistika Surakarta. Surakarta: ISI Press.
Pertunjukan Wayang Kulit Ki Nartasabda Suyanto. (2007). Unsur-unsur Garap Pakeliran:
dalam Lakon Bima Sekti, Gathotkaca Catur, Sabet, Sulukan, dan Musik Pakeliran.
Sungging, dan Sawitri”. [Tesis]. Surakarta: In Suyanto, Teori Pedalangan (pp. 1-5).
STSI. Surakarta: ISI Press.
Murtiyoso, Bambang. (2007). Teori Pedalangan. Suyoto, Haryono, T., & Hastanto, S. (2015).
Surakarta: ISI Press dan Saka Production. Estetika Bawa dalam Karawitan Gaya
Prasetya, Hanggar Budi. (2012). Pathêt: Ruang Surakarta. Resital Jurnal Seni Pertunjukan, 39.
Bunyi dalam Karawitan Gaya Yogyakarta. Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Jurnal Seni & Budaya Panggung, 22(1), 67. Pustaka Jaya.
Putra, I., Prasetya, H., & -, S. (2014). Keprakan
dalam Pertunjukan Wayang Gaya Informan
Yogyakarta: Studi Kasus Pementasan Ki
Hadi Sugito.  RESITAL : JURNAL SENI Jaka Rianto (54 tahun). Dalang dan dosen Jurusan
PERTUNJUKAN, 15(2), 190-201. doi:http:// Pedalangan ISI Surakarta.
dx.doi.org/10.24821/resital.v15i2.853 Sudarsono (56 tahun). Dalang dan dosen Jurusan
Santosa. (2002). “Makna Teks Musikal Gending- Pedalangan ISI Surakarta.

165

Anda mungkin juga menyukai