Anda di halaman 1dari 3

Essay Interprofesional Collaboration

Nama : Cindy Dwi Arianti

Kelas : S1 Gizi 2021 B

NIM : 21051334052

Kolaborasi Interprofesional didefinisikan sebagai bentuk kerjasama antar sejumlah


tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang profesi yang berbeda dengan pasien, keluarga
pasien, dan masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dengan
tujuan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang terbaik dan berkualitas di seluruh
tatanan pelayanan kesehatan. Penerapan praktik kolaborasi Interprofesional memiliki manfaat
bagi pasien dan masyarakat, seperti dapat mengurangi komplikasi penyakit pasien, lama rawat
pasien di rumah sakit, mengantisipasi adanya konflik diantara tenaga kesehatan dengan pihak
keluarga pasien, mengurangi ternover atau resignnya tenaga kerja, mengurangi kesalahan
klinis, dan mengurangi angka kematian. Selain itu kolaborasi Interprofesional dapat
meningkatkan hasil kesehatan bagi pasien dengan penyakit kronis, perawatan pasien, dan
meningkatkan keselamatan pasien.

Keberhasilan praktik kolaborasi Interprofesional dapat dipengaruhi oleh adanya beberapa


faktor, yang pertama yaitu dukungan institusi, mencakup adanya kebijakan pemerintah, SOP
yang jelas, protokol terstruktur, dan manajemen praktek yang terstruktur. Kedua yaitu budaya
kerja yang meliputi cara berkomunikasi, solusi dari adanya konflik, dan proses pengambilan
keputusan. Ketiga, lingkungan yang mencakup fasilitas yang memadai serta pendanaan dalan
jangka panjang. Selain faktor tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang
ikut berkontribusi terhadap pelaksanaan praktik di lapangan. Dalam salah satu jurnal penelitian
mengungkapkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi praktik kolaborasi, yaitu interaksi
Interprofesional, adanya hirarki, pemahaman peran, lingkungan puskesmas, budaya organisasi,
mekanisme koordinasi dan komunikasi, lingkungan fisik, manajemen staf, dan kebijakan
pemerintah. Untuk menghindari kesalahpahaman atau miss komunikasi antar profesi dalam
pelaksanaan parktik kolaborasi interprofesional, diperlukannya penerapan beberapa hal, yaitu
kejelasan peran setiap profesi, kepercayaan dan keyakinan antar anggota, kemampuan
mengatasi kesulitan, kemampuan untuk mengatasi perbedaan pribadi, serta kepemimpinan
kolektif. Jadi kesimpulannya, praktik kolaborasi Interprofesional ialah kerjasama dari sejumlah
tenaga kesehatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang memiliki bermanfaat bagi
pasien. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan serta
menerapkan beberapa hal dalam mengantisipasi adanya kesalahpahaman agar dapat
meningkatkan keberhasilan kolaborasi Interprofesional.

Profesi nutrisionist atau dietisien merupakan profesi diperlukan oleh masyarakat dalam hal
pengolahan diet dalam memperoleh status gizi yang idea. Nutrisionist atau dietisien merupakan
salah satu tenaga kesehatan dalam bidang gizi pada masyarakat, pelayanan asuhan gizi serta
melakukan manajemen penyelenggaraan makanan. Profesi ini berperan dalam pemberian
asuhan gizi mulai dari assessmen gizi, memberikan diagnosa gizi, merancang intervensi gizi,
hingga tahap monitoring dan evaluasi gizi. Selain itu, nutritionist atau dietisien dapat berperan
sebagai konselor gizi, pemanajemenan penyelenggaraan makanan, pengelola program gizi,
pengembangan produk alternatif yang bermanfaat bagi masyarakat, dan masih banyak lagi.
Pada saat melaksanakan peran dalam menangani pasien atau masyarakat, nutrisionist atau
dietisien dapat berkolaborasi dengan tenaga pelayanan kesehatan yang lainnya. Nutrisionist
atau dietisien yang bertugas di rumah sakit dapat berkolaborasi dengan dokter, perawat, serta
apoteker. Dalam pelaksanaan kolaborasi di dalam sebuah kasus, nutritionist memberikan
diagnosis gizi dan intervensi gizi untuk pasien sesuai diagnosis medis serta kesepakatan dengan
dokter yang mananganinya. Data pengukuran tes lab pasien yang dilakukan perawat secara
berkala akan menjadi patokan nutritionist dalam memberikan intervensi gizi dan melakukan
monitoring evaluasi gizi dari hasil intervensi yang diberikan. Nutrisionist atau dietisien dengan
apoteker (pegawai bidang farmasi) dapat berdiskusi tentang interaksi obat pasien dengan
makanan yang akan dikonsumsi agar dapat lebih mengoptimalkan pasien dalam penyerapan
obat tanpa khawatir interaksi dengan makanan. Keempat profesi tersebut dapat saling
berkolaborasi dengan berdiskusi dan berkomunikasi dalam melakukan penanganan terbaik
untuk pasien.

Pada lingkup yang lebih luas lagi, nutritionist atau dietisien dapat berkolaborasi dengan dokter,
perawat, farmasi, psikolog/psikiater, pendidik di bidang kesehatan masyarakat, serta pekerja
sosial di masyarakat. Nutritionist atau dietisien dapat berkolaborasi dengan psikolog ketika
mendapati pasien yang mengalami gangguan psikis, misalnya pasien mengalami anorexia
disorder, bulimia, binge eating, depresi, dll. Psikolog akan berusaha untuk menyembuhkan
gangguan psikisnya, kemudian nutritionist atau dietisien akan memperbaiki status gizi pasien
tersebut. Kolaborasi nutritionist atau dietisien dengan psikolog/psikiater dapat juga terjadi di
lingkup rumah sakit jiwa, dimana semua pasiennya mengalami gangguan psikis. Dalam kasus
tersebut, nutritionist maupun dietisien diperlukan untuk menjaga status gizi setiap pasien agar
tetap normal.

Praktik kolaborasi Interprofesional yang ideal bagi seorang nutritionist atau dietisien lebih
banyak terjadi dalam lingkup rumah sakit yang mengharuskan nutritionist maupun dietisien
bekerja sama bersama tenaga kesehatan yang lain seperti dokter, perawat, apoteket/tenaga
farmasi, psikolog/psikiater dalam menangani pasien. Agar kolaborasi Interprofesional dapat
berjalan dengan berhasil dan mencapai tujuan akhir, masing-masing profesi harus memiliki
kompetensi yang dimiliki harus ideal sesuai perannya. Begitu juga dengan profesi nutritionist.
Seorang nutritionist atau dietisien harus memiliki kompetensi dasar agar praktik kolaborasi
Interprofesional ideal tercipta dengan baik. Kompetensi yang harus dimiliki yaitu
profesionalitas; mampu mengambangkan diri; melakukan komunikasi secara efektif; mampu
mengelola informasi dengan baik; memiliki landasan ilmiah ilmu gizi, pangan, biomedik,
humaniora, dan kesehatan masyarakat; memiliki ketrampilan gizi masyarakat, penyelenggaraan
makanan, dan clinical nutrition; mampu mengelola permasalahan gizi dan dapat
memberdayakan masyarakat; serta memiliki jiwa kreatif dan inovatif. Beberapa kompetensi
tersebut perlu dimiliki oleh nutritionist atau dietisien agar menciptakan kolaborasi
Interprofesional yang ideal. Selain itu, dalam pelaksanaan kolaborasi Interprofesional ideal,
masing-masing profesi perlu menerapkan beberapa hal seperti kejelasan peran setiap profesi,
kepercayaan dan keyakinan antar anggota, kemampuan mengatasi kesulitan, kemampuan
untuk mengatasi perbedaan pribadi, serta kepemimpinan kolektif yang dapat meningkatkan
keberhasilan kolaborasi Interprofesional secara ideal.

Anda mungkin juga menyukai