NIM : 21051334052
Profesi nutrisionist atau dietisien merupakan profesi diperlukan oleh masyarakat dalam hal
pengolahan diet dalam memperoleh status gizi yang idea. Nutrisionist atau dietisien merupakan
salah satu tenaga kesehatan dalam bidang gizi pada masyarakat, pelayanan asuhan gizi serta
melakukan manajemen penyelenggaraan makanan. Profesi ini berperan dalam pemberian
asuhan gizi mulai dari assessmen gizi, memberikan diagnosa gizi, merancang intervensi gizi,
hingga tahap monitoring dan evaluasi gizi. Selain itu, nutritionist atau dietisien dapat berperan
sebagai konselor gizi, pemanajemenan penyelenggaraan makanan, pengelola program gizi,
pengembangan produk alternatif yang bermanfaat bagi masyarakat, dan masih banyak lagi.
Pada saat melaksanakan peran dalam menangani pasien atau masyarakat, nutrisionist atau
dietisien dapat berkolaborasi dengan tenaga pelayanan kesehatan yang lainnya. Nutrisionist
atau dietisien yang bertugas di rumah sakit dapat berkolaborasi dengan dokter, perawat, serta
apoteker. Dalam pelaksanaan kolaborasi di dalam sebuah kasus, nutritionist memberikan
diagnosis gizi dan intervensi gizi untuk pasien sesuai diagnosis medis serta kesepakatan dengan
dokter yang mananganinya. Data pengukuran tes lab pasien yang dilakukan perawat secara
berkala akan menjadi patokan nutritionist dalam memberikan intervensi gizi dan melakukan
monitoring evaluasi gizi dari hasil intervensi yang diberikan. Nutrisionist atau dietisien dengan
apoteker (pegawai bidang farmasi) dapat berdiskusi tentang interaksi obat pasien dengan
makanan yang akan dikonsumsi agar dapat lebih mengoptimalkan pasien dalam penyerapan
obat tanpa khawatir interaksi dengan makanan. Keempat profesi tersebut dapat saling
berkolaborasi dengan berdiskusi dan berkomunikasi dalam melakukan penanganan terbaik
untuk pasien.
Pada lingkup yang lebih luas lagi, nutritionist atau dietisien dapat berkolaborasi dengan dokter,
perawat, farmasi, psikolog/psikiater, pendidik di bidang kesehatan masyarakat, serta pekerja
sosial di masyarakat. Nutritionist atau dietisien dapat berkolaborasi dengan psikolog ketika
mendapati pasien yang mengalami gangguan psikis, misalnya pasien mengalami anorexia
disorder, bulimia, binge eating, depresi, dll. Psikolog akan berusaha untuk menyembuhkan
gangguan psikisnya, kemudian nutritionist atau dietisien akan memperbaiki status gizi pasien
tersebut. Kolaborasi nutritionist atau dietisien dengan psikolog/psikiater dapat juga terjadi di
lingkup rumah sakit jiwa, dimana semua pasiennya mengalami gangguan psikis. Dalam kasus
tersebut, nutritionist maupun dietisien diperlukan untuk menjaga status gizi setiap pasien agar
tetap normal.
Praktik kolaborasi Interprofesional yang ideal bagi seorang nutritionist atau dietisien lebih
banyak terjadi dalam lingkup rumah sakit yang mengharuskan nutritionist maupun dietisien
bekerja sama bersama tenaga kesehatan yang lain seperti dokter, perawat, apoteket/tenaga
farmasi, psikolog/psikiater dalam menangani pasien. Agar kolaborasi Interprofesional dapat
berjalan dengan berhasil dan mencapai tujuan akhir, masing-masing profesi harus memiliki
kompetensi yang dimiliki harus ideal sesuai perannya. Begitu juga dengan profesi nutritionist.
Seorang nutritionist atau dietisien harus memiliki kompetensi dasar agar praktik kolaborasi
Interprofesional ideal tercipta dengan baik. Kompetensi yang harus dimiliki yaitu
profesionalitas; mampu mengambangkan diri; melakukan komunikasi secara efektif; mampu
mengelola informasi dengan baik; memiliki landasan ilmiah ilmu gizi, pangan, biomedik,
humaniora, dan kesehatan masyarakat; memiliki ketrampilan gizi masyarakat, penyelenggaraan
makanan, dan clinical nutrition; mampu mengelola permasalahan gizi dan dapat
memberdayakan masyarakat; serta memiliki jiwa kreatif dan inovatif. Beberapa kompetensi
tersebut perlu dimiliki oleh nutritionist atau dietisien agar menciptakan kolaborasi
Interprofesional yang ideal. Selain itu, dalam pelaksanaan kolaborasi Interprofesional ideal,
masing-masing profesi perlu menerapkan beberapa hal seperti kejelasan peran setiap profesi,
kepercayaan dan keyakinan antar anggota, kemampuan mengatasi kesulitan, kemampuan
untuk mengatasi perbedaan pribadi, serta kepemimpinan kolektif yang dapat meningkatkan
keberhasilan kolaborasi Interprofesional secara ideal.