Anda di halaman 1dari 6

Khadijah binti Khuwailid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Khadijah binti Khuwailid (bahasa Arab: ‫ ) َخدِي َجة بِ ْنت ُخ َو ْيلِد‬merupakan istri pertama Nabi
Muhammad, dan merupakan satu-satunya istri beliau yang tidak beliau poligami. Sebelum
menikahi Muhammad, Khadijah telah berhasil membangun bisnisnya sendiri dan menjadi wanita
sukses. Dia disebut-sebut memiliki separuh dari keseluruhan kafilah-kafilah dagang yang berasal
dari Quraisy.[1] Dan Muhammad adalah salah satu yang bekerja sebagai pegawainya.[2]

Pada suatu hari, Khadijah mengirim sahabatnya yaitu Nafisah untuk bertanya ke Muhammad yang
saat itu belum menjadi Nabi apakah beliau punya rencana untuk menikah.[3] Muhammad
menjawabnya dengan ragu dikarenakan beliau tidak punya uang untuk menghidupi seorang istri.
Maka Nafisah pun menanyakan apakah beliau mau dengan perempuan yang mampu menunjang
ekonominya sendiri.[4] Maka Muhammad pun setuju untuk bertemu Khadijah, dan mereka
menikah tidak lama berselang.[5]

Selama 25 tahun sampai akhir hayatnya, Khadijah hidup bersama Muhammad. Pada bulan yang
sama pasca kematian Khadijah, Muhammad menikahi Saudah,[6][7] dan mulai berpoligami dengan
kemudian menikahi Aisyah,[8][9] yang lalu dilanjutkan dengan perempuan-perempuan lain yang
beliau nikahi, hingga wafatnya beliau di usia 63 tahun.[10][11]

Silsilah Keluarga
Kelahiran & kehidupan keluarga
Khadijah berasal dari golongan pembesar Mekkah. Menikah dengan Nabi Muhammad, ketika
berumur 40 tahun, manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya
saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan
wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun
memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena
suami pertama dan keduanya telah meninggal. Beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah
pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad. Khadijah dikenal sebagai wanita suci di
zamannya tatkala di antara lingkungannya sudah kotor. Dia, Khadijah r.ha betul-betul pilihan
Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi istri Nabi Muhammad.[12]

Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya, yaitu
Waraqah bin Naufal. Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat
matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan
semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat ke mana ia turun. Ternyata ia
turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku
terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa
seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan
kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat". Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan
menjadi isteri Nabi Muhammad.

Pernikahannya

Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia
merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap
menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu. Lamaran dari Khadijah
kepada Rasulullah s.a.w . Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu
Khadijah r.a. berkata: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada
dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tetapi tahu harga dirinya)

Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga.
Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim
piatu” (Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban).
Khadijah: Oh, itukah…. Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk
menutupi keperluan yang engkau maksudkan. Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan
calon isteri bagimu. (Ia berhenti sejenak, meneliti). Kemudian meneruskan dengan tekanan suara
memikat dan mengandung isyarat . Khadijah r.a: Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang
wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-
pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya.

Kepadanyalah aku hendak membawamu. khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): Tetapi
sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan
menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu. Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-
sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan
jawaban, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang
terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin
(jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud
oleh Khadijah r.a. Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang
ditinggalkan.

Ia menceritakan kepada Pamannya. Pemuda al-Amin berkata: Aku merasa amat tersinggung oleh
kata-kata Khadijah. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan
anu…. Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu. ‘Atiqah juga marah mendengar
berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung
kehormatan Bani Hasyim. Katanya: Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya.

‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: Khadijah, kalau kamu mempunyai harta
kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa
kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad? Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak
disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan
mendamaikan hati ‘Atiqah: Khadijah: Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan
sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada
Muhammad Saw. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya, kalau tidak, aku pun berjanji
tak akan bersuami hingga mati. Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah membuat ‘Atiqah terdiam.
Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. Tapi Khadijah, apakah
suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal? tanya ‘Atiqah sambil
meneruskan: Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.Ia belum tahu, tetapi katakanlah
kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum,
dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran.

Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan
karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman. ‘Atiqah
pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita
gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang
menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah: itu bagus sekali, kata Abu Thalib. Tapi kita
harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.

Khadijah yang baik dan cantik

Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan
bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan
peribadi Khadijah itu bertanya: Nafisah: Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir
mencari isteri? Muhammad SAW menjawab: Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.
Nafisah: Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau
mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu,
apakah engkau akan menolaknya?
Pemuda al-Amiin (Rasulullah Saw): Siapakah dia?, tanya Muhammad (Saw). Nafisah: Khadijah!
Nafisah berterus terang. Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan
kepadaku! Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung
menemui Khadijah (r.a), menceritakan kesediaan Muhammad Saw. Setelah Muhammad Saw
menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah (r.a),
maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua
daripadanya. Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan,
cantik, hartawan, budiman.

Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan
dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tetapi
janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah
majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka
Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara
sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan
wanita yang berkenaan. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah, Khadijah r.a diminta pendapat.
Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak
Muhammad Saw padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan
keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas.

Waraqah berujar:Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta. Sambut Khadijah ra: Kalau
ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan
kepadamu untuk menikahkan aku dengannya. Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu
Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui
bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan maskawin lima ratus
dirham. Abdullah bin Abu Quhafah (Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a), sahabat akrab Muhammad Saw
sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan
kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan
agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.

Peristiwa pernikahan Muhammad (SAW) dengan Khadijah (r.a) berlangsung pada hari Jum’at,
dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah
r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad. Waraqah bin Naufal membacakan khutbah
pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: Alhamdu Lillaah, segala puji
bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu
Ma’ad, dari keturunan Mudhar. Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga
rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim
terhadap sesama manusia.

Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-
laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta,
namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat
perginya. Akan tetapi Muhammad, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar
Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan maskawin lima ratus dirham yang akan segera
dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni
di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-
pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini.

Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di
sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada
mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.

Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah (r.a) membuka isi hati kepada suaminya dengan
ucapan: Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang
dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke
jalan mana yang engkau redhai ![13]

Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8) Alangkah
bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan
secita-cita.

Nafisah binti Munyah

Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga
mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan
Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi
Muhammad. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Dia, yang
pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang wanita untuk meminang
pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah, 'Atiqah
dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad (SAW) yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat
Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran,
kebersihan dan sifat-sifat istimewa dia ini, sehingga ia tidak memedulikan segala kritikan dan
kecaman dari keluarga dan kerabatnya. Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai
ketertarikannya kepada Nabi Muhammad mengatakan, Jika segala kenikmatan hidup diserahkan
kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku
tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor
nyamuk.

Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang
pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam. Dia turut
menenangkan hati Rasulullah, di kala kegalauan Nabi sewaktu wahyu pertama turun. Khadijah
(r.ha) berkata, Tidak demikian, tetapi bergembiralah. Maka demi Allah, Allah takkan
Mencelakakan engkau selamanya; engkau suka menyambungkan tali silaturahim, dan selalu jujur
dalam bicara, meringankan derita orang lain, menyantuni orang tak mampu, menjamu tamu, dan
menolong orang lain untuk mendapatkan haknya.[14] Sepanjang hidupnya bersama Nabi, Khadijah
begitu setia menyertainya dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua
Hira’, ia pasti menyiapkan semua perbekalan dan keperluannya. Seandainya Nabi Muhammad
agak lama tidak pulang, Khadijah akan melihat untuk memastikan keselamatan suaminya.
Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar
sehingga Beliaau pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan
gelisah, dia coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-
benar merasai tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Allah
mengkaruniakannya 6 orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqaiah,Ummi Kultsum, dan
Fatimah.

Salam dari Tuhan-nya dan Jibril

Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah, dia berkata:Jibril datang kepada Nabi, lalu
berkata:”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah,
makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-
nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang
tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.[15]

Dalam banyak kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, Khadijah pasti bersama dan membantunya,
seperti menyediakan air untuk mengambil wudhu. Nabi Muhammad menyebut keistimewaan
terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku,
ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu
semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”

Wafatnya
Khadijah telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad selama 25 tahun dan wafat dalam usia 64
tahun 6 bulan. Dia meninggal di gunung Hujun, dan dimakamkan di pemakaman dekat Mekkah.[16]
Tahun meninggalnya dikenal sebagai Amul Huzni (Tahun Dukacita).[17]

Anda mungkin juga menyukai