Anda di halaman 1dari 2

Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit berbeda-beda ?

Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antara lain karena:
sumber rujukan yang berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua, atau pertimbangan khusus
berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknya menggunakan jadwal imunisasi terbaru yang
direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI, karena dievaluasi secara periodik dengan
mempertimbangkan perubahan epidemiologi penyakit tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi
beredar di Indonesia dan negara tetangga serta memperhatikan anjuran dari WHO (Badan Kesehatan
Dunia),

Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?

Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal Imunisasi PPI Depkes maupun
Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab IV tentang Jadwal Imunisasi). Namun harus
dipertimbangkan pula hal-hal lain : keadaan dan riwayat bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra
atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi cacar air
sebelum umur 10 tahun). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukan
penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, apakah
boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?

Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi sesuai jadwal, berarti belum
mempunyai kekebalan terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewat jauh beberapa
tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting, karena kemungkinan tertular semakin
kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting, walaupun sudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan
dengan dokter, untuk mengejar imunisasi yang terlewatkan.

Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah perlu diimunisasi lagi ? Mengapa
perlu ?

Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT (kelas 1), dan
TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayi ternyata pada umur 5 - 7
tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih banyak dijumpai kasus difteri. Untuk
pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5 kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai
dewasa, sehingga kekebalan pada umur dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV
tentang Jadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?

Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan, demikian pula DTP,
hepatitis B dan Hib.

MMR

Sering terdengar isu di masyarakat bahwa MMR (measles, mumps, rubella) dapat menyebabkan autisme.
Isu adanya kemungkinan hubungan antara MMR dan autism timbul pada akhir 1990-an, setelah publikasi
artikel yang menyatakan ada hubungan antara virus vaksin campak dan penyakit inflamasi usus. Selain itu,
ada publikasi tentang kemungkinan hubungan antara MMR, penyakit usus, dan autism.

Vaksin MMR berguna untuk mencegah measles (campak), mumps (gondong), danrubella (campak jerman).
Campak merupakan penyakit infeksi yang amat menular dengan gejala demam tinggi, batuk pilek, mata
merah, dan ruam merah di kulit. Bila terserang campak, komplikasi yang mungkin timbul adalah infeksi
telinga, radang paru-paru, radang otak (encephalitis) yang dapat menyebabkan kejang, tuli, dan retardasi
mental pada 1-2 dari 2000 individu yang terkena. Di Indonesia pada 2011, tercatat 11.704 kasus campak,
menurun 32 persen dari tahun sebelumnya karena program imunisasi.

Penyakit gondong memberikan gejala demam, sakit kepala, dan pembengkakan pada satu atau dua sisi pipi
bagian belakang/rahang bawah. Komplikasi radang selaput otak (meningitis) dapat terjadi pada 4-6 dari 100
individu yang menderita gondong. Komplikasi lain adalah gangguan pendengaran yang biasanya permanen,
radang buah zakar (testis) yang dapat menimbulkan risiko sterilitas (mandul). Penyakit campak jerman
(rubella) menimbulkan gejala demam 2-3 hari dan bercak-bercak merah. Penyakit ini dapat menimbulkan
cacat berat pada janin, yang dikenal sebagai sindrom rubela congenital, bila mengenai ibu hamil terutama
pada hamil muda.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan autisme?


Tidak. Tidak ada bukti ilmiah antara imunisasi campak ataupun MMR dengan autisme. Berbagai penelitian
dilakukan Amerika dan di Eropa menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara MMR dan autisme.
Berbagai kajian American Academy of Pediatrics, Institute of Medicine, Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyimpulkan bahwa tidak ada bukti hubungan antara imunisasi MMR dan timbulnya
autisme. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga membentuk sebuah komisi yang
terdiri dari peneliti independen untuk mengkaji hubungan imunisasi MMR dan autism. Hasilnya adalah tidak
hubungan antara keduanya.

Bagaimana tentang publikasi yang menyatakan ada hubungan antara imunisasi MMR dan autism?
Dokter Wakefield di Inggris pada 1998 melakukan penelitian pada 12 anak yang dirujuk ke klinik karena
diare atau nyeri perut. Anak-anak tersebut mempunyai riwayat perkembangan normal, tetapi mengalami
regresi (kemunduran) untuk keterampilan tertentu. Saat diperiksa, orangtua ditanyakan tentang riwayat
imunisasi MMR (yang telah diberikan 9 tahun sebelumnya) dan hubungan antara imunisasi MMR dengan
hilangnya keterampilan tersebut. Berdasarkan data tersebut, dengan jumlah subyek yang amat sedikit,
peneliti menyatakan ada hubungan antara imunisasi MMR dan autism. Hubungan antara keduanya didasari
pada ingatan orangtua yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, bukan berdasarkan bukti ilmiah yang
obyektif. Lebih lanjut, 4 dari 12 subyek mengalami gangguan perilaku sebelum timbul gangguan saluran
cerna. Hal ini membantah teori peneliti itu sendiri yang menyatakan bahwa gangguan saluran cerna (yang
disebabkan oleh MMR) akan menimbulkan autisme. Kekurangan publikasi ini adalah kesalahan seleksi
subyek (terdapat gangguan saluran cerna sebelum timbul gangguan perilaku) dan tidak ada kelompok
control, suatu hal yang amat penting dalam penelitian. Dengan demikian publikasi tersebut tidak
digolongkan sebagai publikasi ilmiah, melainkan suatu deskripsi ingatan orangtua dari suatu kelompok anak
tertentu (bukan dari populasi anak pada umumnya) yang dirujuk ke klinik dokter tertentu. [bersambung]

Anda mungkin juga menyukai