Anda di halaman 1dari 10

KARTA RAHARJA 1(2) (2019); 55 - 64

KARTA RAHARDJA
http://ejurnal.malangkab.go.id/index.php/kr

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


Stunting PADA BALITA DI KABUPATEN MALANG
I Dewa Nyoman Supariasa1, Heni Purwaningsih2
Politeknik Kementrian Kesehatan Malang
1

2
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Malang, Jawa Timur
JL. KH Agus Salim No 7, Malang

Dikirim: 10 Oktober 2019; Direvisi: 12 November 2019; Disetujui: : 20 Desember 2019

Abstrak
Jawa Timur merupakan salah satu dari 18 provinsi yang memiliki proporsi status gizi balita pendek
dan sangat pendek dengan prevalensi tinggi (30% - <40%) dan Kabupaten Malang merupakan salah satu
dari 100 kabupaten/kota prioritas intervensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi balita stunting di Kabupaten Malang. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei
analitik Case Control dengan pendekatan retrospective yang merupakan suatu rancangan pengamatan
epidemiologis untuk mempelajari hubungan tingkat keterpaparan dengan kejadian penyakit atau
masalah kesehatan lainnya. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni-Agustus 2019. Jenis data yang
dikumpulkan meliputi tingkat pengetahuan ibu, pola asuh, ketahanan pangan rumah tangga, pelayanan
kesehatan, akses sumber air bersih, tingkat ekonomi, sosial budaya, pengasuhan balita, dan penyebab
stunting. Dikumpulkan dengan cara observasi, penimbangan, dan wawancara. Berdasarkan pengolahan
data diperoleh Pengetahuan gizi ibu balita stunting 60% tergolong kategori baik. Pola asuh balita stunting
yang kurang tepat. Ketersediaan dan ketahanan pangan dalam keluarga balita stunting sebesar 76%
tergolong kurang dan rawan pangan. Pelayanan kesehatan ibu balita stunting selama kehamilan meliputi
pemberian tablet tambah darah sebesar 98% tetapi berdasarkan hasil wawancara sebagian besar tidak
dikonsumsi. Akses sumber air bersih keluarga balita stunting sebanyak 98% berasal dari PDAM dan
sebanyak 2% berasal dari sumur tertutup. Tingkat ekonomi keluarga balita stunting sebesar 96% berada
dibawah UMR Kabupaten Malang. Sosial budaya makan keluarga balita stunting 13% memiliki pantangan
makanan saat hamil hingga menyusui. Pengasuhan balita stunting sebagian besar diasuh oleh ibu sebayak
76% dan diasuh oleh nenek atau saudara sebanyak 24%. Penyebab adanya kejadian stunting berdasarkan
faktor yang paling mempengaruhi sesuai urutan yaitu: pendapatan keluarga, pemberian ASI eksklusif,
besar keluarga, pendidikan ayah balita, pekerjaan ayah balita, pengetahuan gizi ibu balita, ketahanan
pangan keluarga, pendidikan ibu balita, tingkat konsumsi karbohidrat balita, ketepatan pemberian
MP-ASI, tingkat konsumsi lemak balita, riwayat penyakit infeksi balita, sosial budaya, tingkat konsumsi
protein balita, pekerjaan ibu balita, perilaku kadarzi, tingkat konsumsi energi balita, dan kelengkapan
imunisasi balita.

Kata Kunci: Stunting, Pendapatan Keluarga, ASI Eksklusif, Besar Keluarga

* Korespondensi Penulis © 2019 I Dewa Nyoman Supariasa dan Heni Purwaningsih


Telepon : +62-851-0646-1979 Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-
Surel : henipurwaningsih2015@gmail.com NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional. 55
I. PENDAHULUAN terjadinya stunting pada anak balita yang
berada di wilayah pedesaan dan perkotaan
Permasalahan stunting di Indonesia
adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
menurut laporan yang dikeluarkan oleh
pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian
UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta
ASI eksklusif, umur pemberian MP-ASI, tingkat
anak mengalami stunting, sehingga UNICEF
kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit
memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar
infeksi serta faktor genetik. Namun, untuk
negara dengan jumlah anak yang mengalami
status pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga,
stunting tinggi. Berdasarkan data Riskesdas
status imunisasi, tingkat kecukupan energi, dan
(2018), proporsi status gizi balita pendek dan
status BBLR tidak mempengaruhi terjadinya
sangat pendek adalah 30,8% dan Jawa Timur
stunting. Tingkat kecukupan protein dan kalsium
merupakan salah satu dari 18 provinsi dengan
di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan
prevalensi tinggi (30% - <40%) dan Kabupaten
yang signifikan sedangkan di wilayah perkotaan
Malang merupakan salah satu dari 100
tidak menunjukkan adanya hubungan. Faktor
kabupaten/kota prioritas intervensi. Menurut
yang paling mempengaruhi terjadinya stunting
data pada buku ringkasan stunting, prevalensi
pada anak balita di wilayah pedesaan maupun
stunting tahun 2013 pada balita mencapai
perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink.
27,28% dengan jumlah balita sebesar 57.372
jiwa. Penelitian lain dilakukan oleh Ni’mah &
Nadhiroh (2016) di wilayah kerja Puskesmas
Stunting merupakan indikator keberhasilan
Kali Kedinding, Surabaya menunjukkan bahwa
kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan
panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif,
masyarakat. Dampaknya sangat luas mulai dari
Pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan
dimensi ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan
pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang
dimensi bangsa yang berefek pada masa depan
berhubungan dengan kejadian stunting pada
anak. Anak usia 3 tahun yang stunting severe (-3
balita. Oleh karena itu, diperlukan program
< z ≤ - 2) pada laki-laki memiliki kemampuan
yang terintegrasi dan multisektoral untuk
membaca lebih rendah 15 poin dan perempuan
meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan
11 poin dibanding yang stunting mild (z < -2).
ibu, pengetahuan gizi ibu, dan pemberian ASI
Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia
eksklusif untuk menanggulangi kejadian stunting
(IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah
pada balita.
dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila
mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara Penelitian di Kabupaten Banyumas
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat wilayah kerja Puskesmas Kedungbanteng pada
pekerjaan yang baik, yang berakibat penghasilan balita usia 6 – 36 bulan menunjukkan bahwa
rendah (economic productivity hypothesis) dan terdapat tiga faktor yang secara bersama-sama
tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. mempengaruhi stunting anak usia enam sampai
Karena itu anak yang menderita stunting 36 bulan, yaitu penyakit infeksi. Ketersediaan
berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pangan dan sanitasi lingkungan dan yang paling
pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, dominan adalah penyakit infeksi paling sering
produktivitas dan prestasinya kelak setelah dialami adalah ISPA dan diare. Berdasarkan
dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. hasil analisis multivariat dan dikaitkan dengan
kerangka pikir UNICEF tahun 1990 dan model
Stunting adalah masalah gizi utama yang
promosi multilevel dengan pendekatan MATCH
akan berdampak pada kehidupan sosial dan
diusulkan model pengendalian faktor risiko
ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas
kejadian stunting dilakukan pemberdayaan
bahwa individu yang stunting memiliki tingkat
keluarga, terutama ibu batita terkait pencegahan
kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan
penyakit infeksi memanfaatkan pekarangan
terjadinya peningkatan penyakit. Stunting akan
sebagai sumber gizi keluarga dan sanitasi
mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi
lingkungan. Pada level masyarakat dengan
mental dan intelektual akan terganggu (Mann
peningkatan peran dan fungsi posyandu dan
dan Truswell, 2002). Hal ini juga didukung oleh
pada level pelayanan kesehatan perlu dilakukan
Jackson dan Calder (2004) yang menyatakan
intervensi peningkatan status gizi melalui
bahwa stunting berhubungan dengan gangguan
advokasi kebijakan terkait upaya pencegahan
fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko
stunting pada batita (Kusumawati, Rahardjo, &
kematian.
Sari, 2015).
Penelitian tentang stunting sudah banyak
Faktor yang berhubungan dengan status
dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh
gizi kronis pada balita tidak sama antara
Aridiyah, dkk (2015) tentang factor-faktor yang
wilayah perkotaan dan pedesaan, sehingga
mempengaruhi kejadian stunting pada anak dan
penganggulangannya perlu dilakukan
balita di perkotaan dan pedesaan. Hasil analisis
penyesuaian (Aridiyah, dkk 2015).
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi

Karta Raharja 1 (2) (2019): 55 - 64


56
Tujuan penelitian ini dilakukan 2. Entry data
untuk mencari faktor-faktor apa saja yang Kuesioner atau formulir pengumpulan
mempengaruhi kejadian stunting di Kabupaten data yang telah di cek dan validasi pengisian dan
Malang dengan 3 (tiga) lokasi yang memiliki kelengkapan data yang diperlukan, selanjutnya
perbedaan karakteristik kewilayahan yaitu dientri dengan menggunakan computer.
pegunungan, dekat perkotaan dan lokasi
3. Cleaning
dekat pantai. Adanya perbedaan karakteristik
tersebut ingin diketahui apakah faktor-faktor Sebelum dilakukan pengolahan dan analisis
yang mempengaruhi kejadian stunting memiliki data lebih lanjut, dilakukan pengecekan hasil
kesamaan atau perbedaan. data entri. Pada proses ini, kembali dilakukan
pengecekan ulang apabila ditemukan adanya
data ekstrim. Data ekstrim divalidasi ulang
II. METODE dengan melihat kembali kuesioner atau formulir
Penelitian ini adalah penelitian survei pengumpulan data yang telah di cek dan validasi.
analitik Case Control dengan pendekatan
retrospective yang merupakan suatu rancangan
4. Pengolahan data
pengamatan epidemiologis untuk mempelajari
hubungan tingkat keterpaparan dengan kejadian
penyakit atau masalah kesehatan lainnya 5. Analisis hubungan antar variabel
(Notoatmodjo, 2010). Lokasi penelitian ini akan Analisis data menggunakan software
dilakukan di 3 Kecamatan di Kabupaten Malang SPSS 16.0. Analisis univariat dilakukan untuk
yaitu Kecamatan Tajinan (mewakili daerah mengetahui distribusi frekuensi dari variabel
daratan), Pujon (mewakili daerah pegunungan), yang diteliti. Analisis bivariat menggunakan
Bantur (mewakili daerah pantai) pada bulan Juni uji statistik non parametrik dengan Chi-Square
sampai dengan bulan Agustus tahun 2019. dengan α=0,05. Jika pada tabel memiliki expected
Teknik sampling dalam penelitian ini value kurang dari 5 lebih dari 20% maka akan
menggunakan Cluster Random Sampling karena digunakan uji Fisher Exact. Analisis multivariat
populasi pada penelitian ini yaitu balita di menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dengan
Kabupaten Malang dianggap heterogen. Pada perhitungan Odds Ratio dan Confidence Interval.
penelitian ini, cluster adalah kecamatan yang
ada di Kabupaten Malang yaitu Kecamatan
Tajinan, Pujon dan Bantur. Setelah data dari
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
setiap kecamatan didapat dari setiap kecamatan A. Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Balita
kemudian sampel akan dipilih secara random Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
dari cluster tersebut. data pengetahuan gizi ibu balita normal paling
Data yang diperlukan pada penelitian banyak pada kategori cukup berjumlah 29 orang
ini adalah data status sosial ekonomi; Data (65%) dan yang paling sedikit adalah kategori
status sosial budaya; data asupan energi dan kurang berjumlah 5 orang (11%). Sedangkan
protein; penyakit infeksi; status pemberian ASI; untuk pengetahuan gizi ibu balita stunting paling
ketepatan pemberian MPASI; tinggi badan orang banyak pada kategori cukup berjumlah 17 orang
tua; kelengkapan imunisasi; hygiene sanitasi (38%) dan paling sedikit adalah kategori baik
lingkungan; kebiasaan merokok; perilaku serta kurang berjumlah 14 orang (31%). Hasil
KADARZI dan data stunting. ini menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian
tidak ada perbedaan yang signifikan antara
Adapun tahap analisis data yang dilakukan
pengetahuan gizi ibu terhadap balita yang normal
dalam penelitian analisis faktor-faktor yang
maupun yang stunting.
mempengaruhi balita stunting di Kabupaten
Malang adalah sebagai berikut: Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rahayu & Khairiyati (2014) di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka, Banjarbaru
1. Coding yang menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan
Coding dimaksudkan untuk mempermudah yang rendah memiliki resiko 5,1 kali lebih besar
pengolahan data dan proses selanjutnya melalui memiliki anak stunting. Dalam hal ini, ibu dengan
pengklasifikasian data status sosial ekonomi, Pendidikan rendah mempunyai peranan penting
status social budaya, asupan energi dan protein, dalam kejadian stunting balita umur 6 sampai 23
penyakit infeksi, lama pemberian ASI, tinggi bulan di Cempaka, Banjarbaru. Perbedaan hasil
badan orang tua dan tinggi badan balita. Coding ini tidak menjadi masalah karena pada setiap
disesuaikan dengan kategori yang telah tertulis daerah memiliki karakteristik yang berbeda-
pada definisi operasional variabel. beda. Sehingga bisa saja, berkaitan dengan
faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita


Di Kabupaten Malang
57
I Dewa Nyoman Supariasa dan Heni Purwaningsih
B. Pola Asuh itu, sistem pencernaan bayi akan mengalami
a. Riwayat Pemberian ASI gangguan, seperti sakit perut, sembelit dan
Berdasarkan hasil pengumpulan data alergi. Selain itu, seorang bayi yang diberi MP-ASI
balita, maka diperoleh riwayat pemberian ASI dini akan sulit tidur pada malam hari. (Krisnatuti,
untuk balita normal yaitu balita yang diberi dkk, 2004).
ASI eksklusif dengan jumlah 27 orang (60%)
dan tidak eksklusif dengan jumlah 18 orang
c. Perilaku Kadarzi
(40%). Sedangkan untuk balita stunting yang
mendapatkan ASI eksklusif berjumlah 30 orang Faktor-faktor yang dianalisis pada perilaku
(67%) dan tidak eksklusif 15 orang (33%). kadarzi adalah penimbangan berat badan;
pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI; balita
Menurut Hasil RISKESDAS 2018,
yang mulai makan makanan keluarga; garam
cakupan ASI Ekslusif sebesar 93.7% maka
yang digunakan oleh keluarga balita; perolehan
jika dibandingkan dengan hasil pengumpulan
kapsul Vitamin A; keluarga balita yang merokok;
data untuk ayah balita normal desa Madiredo,
keanekaragaman makanan dan pola asuh.
Jambearjo dan Rejosari dengan kategori ASI
Ekslusif sebesar 60% sehingga dibawah standar. Pada balita normal yang sering menimbang
Sedangkan untuk balita stunting desa Madiredo, berat badan di Posyandu berjumlah 43 orang
Jambearjo dan Rejosari dengan kategori ASI (95%) dan balita normal yang tidak sering
Ekslusif sebesar 67% sehingga dibawah standar. menimbang di Posyandu berjumlah 2 orang (5%).
Sedangkan untuk balita stunting jumlah balita
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih
yang sering menimbang diposyandu berjumlah
tinggi pada balita yang tidak diberi ASI Eksklusif
40 orang (89%) dan yang tidak sering melakukan
(ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita
penimbangan berjumlah 5 orang (11%).
yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan
Kam, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Balita normal yang mendapatkan ASI
Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang ekslusif berjumlah 35 orang (78%) dan yang
tidak mendapatkan kolostrum lebih berisiko tidak mendapatkan ASI eksklusif berjumlah 10
tinggi terhadap stunting. Hal ini mungkin orang (22%). Sedangkan untuk balita Stunting
disebabkan karena kolostrum memberikan efek yang mendapatkan ASI eksklusif berjumlah 40
perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang orang (89%) dan yang tidak mendapatkan ASI
tidak menerima kolostrum mungkin memiliki eksklusif berjumlah 5 orang (11%).
insiden, durasi dan keparahan penyakit yang Balita normal yang mulai makan makanan
lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi keluarga berjumlah 41 orang (91%) dan jumlah
terhadap kekurangan gizi. Selain itu, durasi 4 orang (9%) belum mulai makan makanan
pemberian ASI yang berkepanjangan merupakan keluarga. Sedangkan untuk balita stunting yang
faktor risiko untuk stunting. Penelitian lain juga mulai makan makanan keluarga berjumlah 40
menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi orang (89%) dan jumlah 5 orang (11%) belum
berhubungan dengan kejadian stunting (Kumar, mulai untuk makan makanan keluarga.
et al., 2006). Garam yang digunakan balita normal
paling banyak adalah garam halus berjumlah 42
b. Ketepatan MP-ASI orang (94%) dan yang paling sedikit digunakan
adalah garam grasak berjumlah 1 orang (2%).
Berdasarkan hasil pengumpulan data balita,
Sedangkan untuk balita Stunting garam yang
maka diperoleh ketepatan MP-ASI untuk balita digunakan dalam keluarga paling banyak adalah
normal yaitu balita yang diberi MP-ASI pada usia garam halus berjumlah 39 orang (87%) dan yang
≥6 bulan dengan jumlah 35 orang (78%) dan <6 paling sedikit digunakan adalah garam grasak
bulan dengan jumlah 10 orang (22%). Sedangkan berjumlah 1 orang (2%).
untuk balita stunting yang mendapatkan MP-ASI Data balita normal yang mendapatkan
pada usia ≥6 bulan berjumlah 38 orang (84%) vitamin A berjumlah 44 orang (98%) dan yang
dan <6 bulan sebanyak 7 orang (16%). tidak mendapatkan vitamin A berjumlah 1 orang
(2%). Sedangkan untuk balita Stunting yang
Mulai pemberian MP-ASI pada saat yang
mendapatkan vitamin A berjumlah 43 orang
tepat sangat bermanfaat bagi pemenuhan (96%) dan yang tidak mendapatkan vitamin A
kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi berjumlah 2 orang (4%).
serta merupakan periode peralihan ASI ekslusif Menurut hasil RISKESDAS 2018 proporsi
ke makanan keluarga. (Nasar, dkk, 2011). Harus perokok setiap hari pada penduduk umur ≥10
diperhatikan bahwa pemberian MP- ASI terlalu tahun untuk wilayah Jawa Timur sebesar 23,9%,
dini maka asupan gizi yang dibutuhkan oleh jika dibandingkan dengan pengumpulan data
bayi tidak sesuai dengan kebutuhannya. Selain untuk kategori balita normal dan stunting di

Karta Raharja 1 (2) (2019): 55 - 64


58
Desa Madiredo, Jambearjo dan Rejosari yang sedikit adalah kategori lebih berjumlah 1 orang
memiliki anggota keluarga perokok sebesar (2%).
masing-masing 60% dan 73% sehingga dapat Tingkat konsumsi protein balita normal
disimpulkan bahwa persentase tersebut melebihi paling banyak pada kategori normal berjumlah
standar yang ditentukan. 18 orang (40%) dan yang paling sedikit adalah
Menurut Hasil RISKESDAS 2018, susunan kategori defisit sedang berjumlah 4 orang (9%).
makanan keluarga yang beraneka ragam sebesar Sedangkan untuk tingkat konsumsi protein balita
48,1%, maka jika dibandingkan dengan hasil Stunting paling banyak pada kategori normal
pengumpulan data susunan makanan untuk berjumlah 17 orang (38%) dan paling sedikit
balita normal desa Madiredo, Jambearjo dan adalah kategori defisit ringan berjumlah 4 orang
Rejosari yang telah beraneka ragam sebesar 69% (9%).
sehingga tergolong diatas standar, sedangkan Tingkat konsumsi lemak balita normal
balita stunting sebesar 78% sehingga tergolong paling banyak pada kategori defisit berat
diatas standar. berjumlah 21 orang (47%) dan yang paling
Faktor yang mempengaruhi pola asuh sedikit adalah kategori defisit sedang berjumlah
diantaranya adalah ketepatan MP-ASI, pemberian 3 orang (7%). Sedangkan untuk tingkat konsumsi
ASI Eksklusif, dan perilaku kadarzi. Dari data lemak balita Stunting paling banyak pada
ASI Eksklusif balita normal dapat diketahui kategori defisit berat berjumlah 35 orang (78%)
bahwa balita yang mendapatkan ASI Eksklusif dan paling sedikit adalah kategori defisit sedang
sebanyak 27 responden (60%). Sedangkan untuk berjumlah 4 orang (9%).
balita stunting dapat diketahui bahwa balita Tingkat konsumsi karbohidrat balita
yang mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 30 normal paling banyak pada kategori defisit berat
responden (67%). berjumlah 23 orang (51%) dan yang paling
sedikit adalah kategori defisit ringan berjumlah 2
C. Ketersediaan Makanan dalam Keluarga orang (4%). Sedangkan untuk tingkat konsumsi
karbohidrat balita Stunting paling banyak
a. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah
pada kategori defisit berat berjumlah 23 orang
Tangga
(51%) dan paling sedikit adalah kategori lebih
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga berjumlah 1 orang (2%).
untuk balita normal terbanyak adalah kurang
Hasil kajian ini hampir sama dengan
pangan dengan jumlah 20 orang (44%) dan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati,
paling sedikit adalah rentan pangan dengan
dkk (2010) yang menunjukkan bahwa Anak
jumlah 4 orang (9%). Sedangkan untuk balita
batita yang kekurangan energi akan memiliki
stunting terbanyak adalah kurang pangan dengan
risiko 2,52 kali akan menjadi anak stunted
jumlah 22 orang (49%) dan paling sedikit
dibandingkan dengan anak yang cukup energi.
adalah tahan pangan yaitu sebanyak 2 orang
Anak batita yang kekurangan asupan protein
(11%). Hasil ini selaras dengan penelitian yang
mem-punyai risiko 3,46 kali akan menjadi anak
telah dilakukan oleh Masrin, dkk (2016) yang
stunted dibandingkan dengan anak yang asupan
menunjukkan ada hubungan yang signifikan
proteinnya cukup. Demukian pula dengan anak
antara ketahanan pangan rumah tangga dengan
yang kekurangan vitamin B2, B6 dan kekurangan
kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan di
mineral Fe dan Zn juga memiliki risiko akan
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Baduta
menjadi anak stunted.
dengan kondisi rumah tangga rawan pangan
berisiko 2,62 kali lebih besar menderita stunting
dibandingkan dengan baduta dengan kondisi D. Pelayanan Kesehatan Ibu Selama
rumah tangga tahan pangan. Kehamilan
a. Ibu Balita yang Mendapatkan TTD Saat
b. Tingkat Konsumsi Hamil
Tingkat konsumsi yang dianalisis adalah Menurut Hasil RISKESDAS 2018, capaian
yang berkaitan dengan asupan nutrisi. Asupan pemberian TTD pada Ibu Hamil adalah
nutrisi tersebut adalah tingkat konsumsi energi, 89,4% maka jika dibandingkan dengan hasil
protein, lemak dan karbohidrat. Data untuk pengumpulan data untuk pemberian TTD ibu
tingkat konsumsi energi balita normal paling hamil balita normal desa Madiredo, Jambearjo
banyak pada kategori defisit berat berjumlah dan Rejosari sebesar 93% sehingga tergolong
15 orang (33%) dan yang paling sedikit diatas standar. Sedangkan untuk pemberian TTD
adalah kategori lebih berjumlah 2 orang (4%). ibu hamil balita stunting sebesar 98% sehingga
Sedangkan untuk tingkat konsumsi energi balita tergolong diatas standar.
Stunting paling banyak pada kategori defisit
berat berjumlah 30 orang (67%) dan paling

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita


Di Kabupaten Malang
59
I Dewa Nyoman Supariasa dan Heni Purwaningsih
b. Ibu yang Mendapatkan Vitamin A Saat jongkok sebanyak 42 orang (93%) dan WC duduk
Melahirkan sebanyak 3 orang (7%).
Pada tabel 17 dapat diketahui bahwa Ketersediaan ventilasi di keluarga balita
berdasarkan hasil pengumpulan data balita, normal sebanyak 43 orang (95%) memiliki
maka diperoleh data untuk ibu balita normal ventilasi yang memadai dan yang tidak memiliki
yang mendapatkan Vitamin A saat melahirkan ventilasi memadai sebanyak 2 orang (5%).
berjumlah 34 orang (76%) dan ibu balita yang Sedangkan untuk keluarga balita stunting yang
tidak mendapatkan Vitamin A saat melahirkan memiliki ventilasi memadai berjumlah 40
berjumlah 11 orang (24%). Sedangkan untuk ibu orang (89%) dan yang memiliki ventilasi tidak
balita Stunting yang mendapatkan Vitamin A saat memadai sebanyak 5 orang (11%).
melahirkan berjumlah 38 orang (84%) dan ibu Posisi kandang hewan ternak di keluarga
yang tidak mendapatkan Vitamin A berjumlah balita normal yaitu sebanyak 28 keluarga (62%)
7 orang (16%). Pada ibu nifas kapsul vitamin memiliki kandang hewan ternak dengan jarak
A diberikan kepada ibu agar bayi yang disusui 1-15 meter dari rumah dan yang tidak memiliki
tercukupi asupan Vitamin A-nya mengingat kandang hewan ternak sebanyak 17 keluarga
bayi usia di bawah 6 bulan belum mendapatkan (38%). Sedangkan untuk keluarga balita stunting
kapsul vitamin A (Dinkes Provinsi Jambi 2004). yang memiliki kandang hewan berjumlah 28
orang (62%) dan yang tidak memiliki kandang
E. Akses Air Bersih dan Sanitasi Keluarga hewan ternak sebanyak 17 keluarga (38%).
Akses air bersih dan sanitasi keluarga Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang
memiliki peranan penting pada kesehatan baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis
anggota keluarga. Apabila air yang diperoleh penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi
kurang bersih maupun sanitasi yang tidak baik saluran pencernaan. Apabila anak menderita
maka akan menyebabkan anggota keluarga infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-
disekitarnya mudah terserang penyakit. Terlebih zat gizi akan terganggu yang menyebabkan
lagi pada bayi maupun anak-anak yang daya terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang
tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa. kekurangan zat gizi akan mudah terserang
Faktor-faktor yang dianalisis pada bagian ini penyakit, dan pertumbuhan akan terganggu
adalah pembuangan akhir sampah, sumber air (Supariasa dkk, 2002).
bersih, tempat buang air besar (BAB), ventilasi
dan posisi kendang ternak. F. Tingkat Ekonomi Keluarga Balita
Pembuangan sampah akhir pada keluarga Pendapatan keluarga untuk balita normal
balita di Kabupaten Malang. Pada balita normal, adalah di bawah UMK dengan jumlah 24 orang
pembuangan sampah akhir keluarga terbanyak (53%) dan di atas UMK dengan jumlah 21
adalah di TPA sejumlah 30 orang (67%) dan orang (47%). Sedangkan untuk balita stunting,
yang paling sedikit membuang sampah di tanah keluarga yang memiliki pendapatan di bawah
kosong sejumlah 4 orang (9%). Sedangkan UMK sebanyak 43 orang (96%) dan di atas UMK
untuk keluarga balita stunting pembuangan sebanyak 2 orang (4%).
sampah akhir keluarga terbanyak adalah di TPA
Pekerjaan ayah balita untuk balita normal
sejumlah 30 orang (67%) dan yang paling sedikit
terbanyak adalah lain-lain yaitu petani dengan
membuang sampah di tanah kosong sejumlah 3
jumlah 22 orang (49%) dan paling sedikit adalah
orang (6%).
pegawai negeri dengan jumlah 4 orang (9%).
Sumber air bersih yang digunakan oleh Sedangkan untuk pekerjaan ayah balita stunting
keluarga di Kabupaten Malang. Pada balita terbanyak adalah lain-lain yaitu buruh tani dan
normal, sumber air bersih yang digunakan oleh kuli bangunan dengan jumlah 21 orang (47%)
keluarga terbanyak adalah PDAM sejumlah 42 dan paling sedikit adalah tidak bekerja sebanyak
orang (93%) dan yang paling sedikit adalah 3 orang (7%).
sumur terbuka sejumlah 3 orang (7%). Sedangkan
Menurut Hasil RISKESDAS 2018,
untuk keluarga balita stunting, sumber air bersih
pendidikan terakhir ayah dengan kategori tamat
yang digunakan oleh keluarga terbanyak adalah
SD/sederajat (24,8%), tamat SMP/sederajat
PDAM sejumlah 44 orang (83%) dan yang paling
(26,2%), tamat SMA/sederajat (28,7%), tamat
sedikit adalah sumur tertutup sejumlah 1 orang
perguruan tinggi (17%) maka jika dibandingkan
(2%).
dengan hasil pengumpulan data untuk ayah
Tempat BAB di keluarga balita normal paling balita normal desa Madiredo, Jambearjo dan
banyak adalah WC jongkok sebanyak 42 orang Rejosari dengan kategori tamat SD/sederajat
(93%) dan lain-lain yaitu plung lap sebanyak 1 sebesar 29% sehingga diatas standar, kategori
orang (3%). Sedangkan untuk keluarga balita tamat SMP/sederajat sebesar 22% sehingga
stunting paling banyak menggunakan WC tergolong dibawah standar, kategori tamat SMA/

Karta Raharja 1 (2) (2019): 55 - 64


60
sederajat sebesar 40% sehingga tergolong diatas dan stunting dalam sehari adalah sama yaitu
standar, kategori tamat perguruan tinggi sebesar 3 kali sehari. Apabila dilihat dari frekuensinya
9% sehingga tergolong dibawah standar. maka kebanyakan balita memiliki frekuensi
Menurut Hasil RISKESDAS 2018, makan yang cukup. Selain itu, untuk faktor
pendidikan terakhir ibu dengan kategori tamat jumlah anggota keluarga balita, baik yang normal
SD/sederajat (24,8%), tamat SMP/sederajat maupun yang stunting kebanyakan adalah sama
(26,2%), tamat SMA/sederajat (28,7%), tamat yaitu 3-4 orang. Jumlah anggota keluarga tidak
perguruan tinggi (17%) maka jika dibandingkan memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting.
dengan hasil pengumpulan data untuk ibu balita Selanjutnya pada faktor pengetahuan mengenai
normal desa Madiredo, Jambearjo dan Rejosari gizi antara balita normal dengan yang stunting
dengan kategori tamat SD/sederajat sebesar juga tidak terdapat perbedaan. Hasil data
20% sehingga dibawah standar, kategori tamat menunjukkan bahwa antara keduanya paling
SMP/sederajat sebesar 47% sehingga tergolong banyak pernah mendaapatkan pengetahuan
diatas standar, kategori tamat SMA/sederajat mengenai gizi.
sebesar 20% sehingga tergolong diatas standar, Berdasarkan hasil indepth interview
kategori tamat perguruan tinggi sebesar 13% ditemukan bahwa masih banyak ibu balita yang
sehingga tergolong dibawah standar. kurang tingkat pengetahuannya, hal ini juga
Berdasarkan hasil penelitian diatas terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan
menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua ibu balita. Faktor ini kemudian menjadi terkait
menentukan tingkat penghasilan yang diperoleh. dengan banyaknya fenomena remaja yang
Pada balita stunting 96% penghasilan orang terjebak pernikahan dini sehingga meskipun
tua di bawah UMK. Penghasilan keluarga yang remaja tersebut masih pada usia sekolah, namun
rendah akan berpengaruh terhadap kemampuan pendidikannya harus terhenti karena ia menikah
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pangan. dan memiliki anak.
Penghasilan keluarga yang cukup akan lebih
mampu untuk membeli bahan-bahan makanan H. Praktek Pengasuhan Balita
yang baik dan bergizi. Ketidak cukupan konsumsi
Hal-hal yang diperhatikan dari praktek
gizi pada balita inilah yang menyebabkan anak
pengasuhan balita adalah faktor usia ibu dan
menjadi stunting.
pekerjaan ibu. Kategori usia ibu balita untuk
balita normal dengan kategori usia 19-29 tahun
G. Sosial Budaya dengan jumlah 18 orang (40%) dan usia 30-49
Faktor social budaya yang dianalisa pada tahun dengan jumlah 27 orang (60%). Sedangkan
kajian ini berkaitan dengan pantangan/mitos untuk ibu balita stunting, usia 19-29 tahun
yang dipercaya dari orang terdahulu terhadap dengan jumlah 29 orang (64%) dan usia 30-49
ibu hamil dan menyusui; frekuensi makan tahun dengan jumlah 16 orang (36%). Hasil ini
balita; jumlah anggota keluarga balita; dan menunjukkan bahwa pada balita stunting usia
pengetahuan mengenai gizi. Hasil Analisa data ibu relatif masih muda dibandingkan dengan ibu
yang berkaitan dengan pantangan pada ibu hamil pada balita yang normal. Pada ibu dengan usia
kategori normal paling banyak adalah tidak ada yang lebih muda biasanya tingkat pengetahuan
pantangan berjumlah 34 orang (76%) dan yang dalam pengasuhan masih kurang. Hal ini dapat
ada pantangan berjumlah 11 orang (24%). menjadi faktor balita menjadi stunting.
Sedangkan untuk ibu hamil kategori Stunting Pada faktor pekerjaan ibu diperoleh data
paling banyak tidak ada pantangan berjumlah untuk balita normal terbanyak adalah tidak
35 orang (78%) dan yang terdapat pantangan bekerja dengan jumlah 33 orang (73%) dan
berjumlah 10 orang (22%). Adapun untuk paling sedikit adalah lain-lain yaitu petani
pantangan pada ibu menyusui kategori normal dengan jumlah 2 orang (4%). Sedangkan untuk
paling banyak adalah tidak ada pantangan
pekerjaan ibu balita stunting terbanyak adalah
berjumlah 40 orang (89%) dan yang ada
pantangan berjumlah 5 orang (11%). Sedangkan tidak bekerja dengan jumlah 34 orang (76%)
untuk ibu hamil kategori Stunting paling banyak dan paling sedikit adalah pegawai negeri dan
tidak ada pantangan berjumlah 40 orang (89%) pegawai swasta yaitu sebanyak 2 orang (4%).
dan yang terdapat pantangan berjumlah 5 orang Berdasarkan hasil indepth interview ditemukan
(11%). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada bahwa di ketiga lokus stunting banyak ibu yang
pengaruh yang signifikan antara pantangan- tidak bekerja, namun hal ini menjadi masalah
pantang ibu hamil dan menyusui terhadap ketika praktek pengasuhan sang ibu tidak tepat,
kejadian stunting di Kabupaten Malang. seperti masih adanya intervensi pengasuhan
Adapun untuk faktor frekuensi makan dari sang nenek yang mungkin masih menganut
balita, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan kepercayaan tertentu tentang pengasuhan balita.
hasil data antara balita normal dan balita dengan
status stunting. Frekuensi makan balita normal

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita


Di Kabupaten Malang
61
I Dewa Nyoman Supariasa dan Heni Purwaningsih
I. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menurut Hasil RISKESDAS 2018, status gizi
Kejadian Stunting balita dengan kategori sangat pendek sebesar
a. Jenis Kelamin Balita 15,2%, pendek 18,4% dan normal 66,4%, maka
jika dibandingkan dengan hasil pengumpulan
Tabel 1. data untuk balita stunting desa Madiredo,
Jenis Kelamin Balita Jambearjo dan Rejosari dengan kategori sangat
pendek sebesar 69% sehingga melebihi standar,
Normal Stunting
No Kataori kategori pendek sebesar 31% sehingga tergolong
n % N % melebihi standar.
1 Laki-laki 18 40 18 40
2 Perempuan 27 60 27 60 d. Riwayat Penyakit Infeksi
Jumlah 45 100 45 100 Tabel 4.
Riwayat Penyakit Infeksi

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa Normal Stunting


berdasarkan hasil pengumpulan data balita, No Kelompok Umur (bulan)
n % N %
maka diperoleh jenis kelamin balita normal
maupun stunting berjumlah sama, untuk laki- 1 Pernah Sakit 37 82 36 80
laki berjumlah 18 orang (40%) dan perempuan 2 Tidak Pernah Sakit 8 18 9 20
27 orang (60%). Jumlah 45 100 45 100

b. Usia Balita Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa


Tabel 2. berdasarkan hasil pengumpulan data balita, maka
Usia Balita diperoleh riwayat penyakit infeksi untuk balita
normal yaitu balita yang pernah sakit dengan
Normal Stunting jumlah 37 orang (82%) dan tidak pernah sakit
No Kelompok Umur (bulan)
n % N % dengan jumlah 8 orang (18%). Sedangkan untuk
1 7-12 5 11 6 13 balita stunting yang pernah sakit berjumlah 36
orang (80%) dan tidak pernah sakit 9 orang
2 13-24 13 29 10 22
(20%).
3 25-36 8 18 10 22
Berdasarkan penelitian Masithah, dkk
4 37-48 14 31 11 25
(2005), anak balita yang menderita diare
5 49-59 5 11 8 18 memiliki hubungan positif dengan indeks
Jumlah 45 100 45 100 status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U).
Penelitian lain juga menunjukkan hal yang
sama, penyakit infeksi menunjukan hubungan
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa signifikan terhadap indeks status gizi TB/U
berdasarkan hasil pengumpulan data balita, (Neldawati, 2006). Penyakit infeksi seperti diare
maka diperoleh kategori usia balita untuk balita dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan
normal dengan kategori usia terbanyak adalah dan lingkungan yang buruk, berhubungan
37-48 bulan dengan jumlah 14 orang (31%) dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 – 12
dan usia paling sedikit adalah usia 7-12 bulan bulan (Astari, Nasoetion, dan Dwiriani 2005).
serta 49-59 bulan dengan jumlah 5 orang (11%). Penelitian lain di Libya juga menyatakan bahwa
Sedangkan untuk balita stunting, usia terbanyak penyakit diare menjadi faktor kejadian stunting
adalah 37-48 bulan dengan jumlah 11 orang pada anak dibawah 5 tahun (Taguri, et al., 2008).
(25%) dan usia paling sedikit adalah usia 7-12
bulan dengan jumlah 6 orang (13%).
e. Ketepatan Imunisasi
c. Status Gizi Balita Berdasarkan TB/U
Tabel 5.
Tabel 3. Ketepatan Imunisasi
Status Gizi Balita (TB/U)
Normal Stunting
Normal Stunting No Kelompok Umur (bulan)
No Kelompok Umur (bulan) n % N %
n % N %
1 Lengkap 45 100 39 16
1 Sangat Pendek 0 0 31 69
2 Tidak Lengkap 0 0 6 84
2 Pendek 0 0 14 31
Jumlah 45 100 45 100
3 Normal 45 100 0 0
Jumlah 45 100 45 100

Karta Raharja 1 (2) (2019): 55 - 64


62
Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa didukung oleh data pendapatan dibawah
berdasarkan hasil pengumpulan data balita, UMR Kabupaten Malang sebesar 96%.
maka diperoleh ketepatan imunisasi untuk balita 4. Pelayanan kesehatan ibu balita stunting
normal yaitu balita yang diberi imunisasi lengkap selama kehamilan meliputi pemberian
berjumlah 45 orang (100%). Sedangkan untuk tablet tambah darah sebesar 98% tetapi
balita stunting yang mendapatkan imunisasi berdasarkan hasil wawancara sebagian
lengkap berjumlah 39 orang (84%) dan tidak besar tidak dikonsumsi. Alasan tidak
lengkap sebanyak 6 orang (16%). mengkonsumsi antara lain terdapat rasa
Penelitian yang dilakukan Neldawati (2006) mual, dianggap tidak penting dan lupa
menunjukkan bahwa status imunisasi memiliki mengkonsumsi.
hubungan signifikan terhadap indeks status gizi 5. Akses sumber air bersih keluarga balita
TB/U. Milman, et al. (2005), mengemukakan stunting sebanyak 98% berasal dari PDAM
bahwa status imunisasi menjadi underlying factor dan sebanyak 2% berasal dari sumur
dalam kejadian stunting pada anak < 5 tahun. tertutup. Sanitasi rumah pada keluarga
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa status balita stunting sebesar 89% sudah memadai
imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan dan 11% belum memadai. Sanitasi rumah
yang signifikan dalam kejadian stunting pada yang diobservasi meliputi pembuangan
anak usia < 5 tahun (Taguri, et al., 2008). sampah akhir, sumber air bersih, tempat
BAB, jarak kandang hewan ternak dan
f. Hasil Uji Pengaruh Variabel terhadap ventilasi udara.
Faktor-Faktor Stunting 6. Tingkat ekonomi keluarga balita stunting
Berdasarkan hasil pengumpulan data balita, sebesar 96% berada dibawah UMR
maka diperoleh data untuk variabel yang paling Kabupaten Malang. Hal ini didukung oleh
berpengaruh pada Stunting adalah pendapatan jenis pekerjaan kepala keluarga balita
(p = 0,002), pemberian ASI ( p = 0,25), besar stunting yaitu sebesar 47% sebagai buruh
keluarga ( p = 0,029). Variabel yang menjadi tani dan kuli bangunan serta 7% tidak
faktor utama adalah pendapatan, besar keluarga, bekerja.
pendidikan ayah dan pekerjaan ayah. Sedangkan 7. Sosial budaya makan keluarga balita
untuk pemberian ASI merupakan faktor stunting 13% memiliki pantangan makanan
pelindung untuk faktor-faktor utama, sehingga saat hamil hingga menyusui, jenis pantangan
apabila faktor pelindung dilakukan maka tersebut antara lain tidak boleh makan
pendapatan, pendidikan ayah dan pekerjaan ayah pedas, konsumsi buah durian, konsumsi
tidak menjadi faktor utama penyebab Stunting ikan yang berbau amis dan bersisik.
pada balita di Kabupaten Malang. 8. Pengasuhan balita stunting sebagian besar
diasuh oleh ibu sebayak 76% dan diasuh
IV. KESIMPULAN oleh nenek atau saudara sebanyak 24%.
Berdasarkan hasil pengumpulan data
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya stunting di tiga lokus di Kabupaten SARAN
Malang, yakni Desa Madiredo Kecamatan Pujon, Penelitian tentang stunting masih perlu
Desa Jambearjo Kecamatan Tajinan, dan Desa untuk dilakukan lebih lanjut dengan jumlah
Rejosari Kecamatan Bantur, di peroleh hasil sampel dan daerah yang lebih banyak, sehingga
sebagai berikut : benar-benar dapat mewakili kondisi balita di
1. Pengetahuan gizi ibu balita stunting 60% Kabupaten Malang.
tergolong kategori baik. Pengetahuan gizi
umumnya dapat diperoleh antara lain dari
bidan desa, media sosial, ahli gizi dan kader UCAPAN TERIMA KASIH
posyandu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
2. Pola asuh balita stunting yang kurang tepat, Pemerintah Kabupaten Malang khususnya
seperti membiarkan balita bila tidak mau Badan Penelitian dan Pengembangann Daerah
makan, kurangnya ketepatan pemberian atas kepercayaan dan kesempatan yang
MP-ASI, kurang memperhatikan perilaku diberikan. Harapan kami, agar kegiatan ini dapat
kadarzi serta kurang memperhatikan memberikan manfaat dan masukan terhadap
kebutuhan gizi balita (asal kenyang). kebijakan yang hendak diambil oleh OPD di
3. Ketersediaan dan ketahanan pangan dalam Lingkungan Pemerintah Kabupaten Malang
keluarga balita stunting sebesar 76% kaitannya dengan stunting.
tergolong kurang dan rawan pangan. Hal ini

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita


Di Kabupaten Malang
63
I Dewa Nyoman Supariasa dan Heni Purwaningsih
Masithah, T., Soekirman, M. D., & Martianto,
V. DAFTAR PUSTAKA D. (2005). Hubungan pola asuh makan
dan kesehatan dengan status gizi anak
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M.
batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi dan
(2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keluarga, 29(2), 29-39.
Kejadian Stunting pada Anak Balita di
Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2016). Faktor yang
Factors Affecting Stunting on Toddlers in berhubungan dengan kejadian stunting
Rural and Urban Areas). Pustaka Kesehatan, pada balita. Media Gizi Indonesia, 10(1),
3(1), 163–170. 13–19.
Astari, L. D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C. M. Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian
(2005). Hubungan karakteristik keluarga, Makan pada Anak dan Karakteristik Lain
pola pengasuhan dan kejadian stunting dengan Status Gizi Balita 6-59 Bulan di
anak usia 6-12 bulan. Media Gizi dan Laboratorium Gizi Masyarakat Puslitbang
Keluarga, 29(2), 40-46. Gizi dan Makanan (P3GM) (Analisis Data
Sekunder Data Balita Gizi Buruk Tahun
Hidayati, L., Hadi, H., & Kumara, A. (2010).
2005) (Skripsi). Depok: FKM UI.
Kekurangan energi dan zat gizi merupakan
faktor risiko kejadian stunted pada anak usia Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian
1-3 tahun yang tinggal di wilayah kumuh Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
perkotaan Surakarta. Rahayu, A., & Khairiyati, L. (2014). Risiko
Hien, N. N. dan S. Kam. 2008. Nutritional pendidikan ibu terhadap kejadian stunting
Status and The Characteristics Related to pada anak 6-23 bulan. Penelitian Gizi Dan
Malnutrition and Children Under Five Years Makanan (The Journal of Nutrition and Food
of Age in Nghean, Vietnam. J Prev Med Public Research), 37(2), 129–136. http://dx.doi.
Health, 41(4):232-240. org/10.20473/mgi.v10i1.13-19
Kumar, Dinesh, et al. 2006. Influence of Infant Taguri, A. E. et al. (2008). Risk Factor for Stunting
Feeding Practices on Nutritional Status Among Under Fives in Libya.Public Health
of Under Five Children. Indian J Pediatr, Nutrition: 12 (8). 1411-1149
73(5):417-421. Teshome, Beka, et al. 2009. Magnitude and
Kusumawati, E., Rahardjo, S., & Sari, H. P. (2015). Determinants of Stunting in Children Under
Model pengendalian faktor risiko stunting Five Years of Age in Food Surplus Region
pada anak bawah tiga tahun. Kesmas: of Ethiopia: The Case of West Gojam Zone.
National Public Health Journal, 9(3), 249– Ethiop. J. Health Dev., 23(2):98-106.
256. Mann, J. dan Truswell, A, S. 2002. Essential of
Masrin, M., Paratmanitya, Y., & Aprilia, V. Human Nutrition. Oxford University Press.
(2016). Ketahanan pangan rumah tangga New York
berhubungan dengan stunting pada anak Jackson, A., & Calder, P. C. (2004) “ Handook
usia 6-23 bulan. Jurnal Gizi Dan Dietetik of Nutrition and Immunity (Servere
Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition Undernutrition and Immunity). M. Eric
and Dietetics), 2(3), 103–115. Greshwin, M. E. Nestel, P., & Keen, C.L., (Ed).
Humana Press. 77

Karta Raharja 1 (2) (2019): 55 - 64


64

Anda mungkin juga menyukai