Anda di halaman 1dari 108

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEGEMUKAN PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CITANGKIL KOTA CILEGON TAHUN 2018

SKRIPSI

Disusun Oleh:

ADE NORMA
NIM: 2016032001

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
SERANG - BANTEN
MARET 2018

STIKes Faletehan
STIKes FALETEHAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEGEMUKAN PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CITANGKIL KOTA CILEGON TAHUN 2018

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh:

ADE NORMA
NIM: 2016032001

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
SERANG - BANTEN
MARET 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar

Nama : Ade Norma


NIM : 2016032001
Tanda Tangan

Tanggal : 20 Mei 2018


SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Ade Norma
NIM : 2016032001
Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul:

Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan


Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Citangkil Kota Cilegon Tahun 2018

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya
akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikan surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Serang, 20 Mei 2018

Ade Norma
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Ade Norma


NIM : 2016032001
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Citangkil Kota Cilegon Tahun 2018

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat pada Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Faletehan Serang.

DEWAN PENGUJI

Penguji I : Sari Suriani, SKM, MKM ( )

Penguji II : Andiko Nugraha Kusuma, SKM, MKM ( )

Penguji III :Sri Setiawaty, SKM, MKM ( )

Ditetapkan di : Serang
Tanggal : 20 Mei 2018
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegemukan Pada


Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon Tahun 2018
telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi
Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan.

Serang, Mei 2018

Mengetahui

Ketua Program Studi


Kesehatan Masyarakat

(Fauzul Hayat, SKM,. MKM)


NIK 05.03.079

Pembimbing I

(Sari Suriani, SKM,. MKM)


NIK 05.02.062

Pembimbing II

(Wiwik )
NIK 01.12.172
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadiratAllah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi Kesehatan Masyarakat dengan
judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon Tahun 2018”.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah dibimbing dengan baik oleh para dosen
pembimbing dan mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
sebagai bentuk rasa syukur, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Andiko Nugraha Kusuma, SKM., M.KM, selaku Ketua Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan Serang.
2. Ibu Hj. Titin Nasiatin, SH., MKM, selaku Ketua Jurusan Kesehatan
Masyarakat dan Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan Serang.
3. Bapak Fauzul Hayat, SKM,MKM, selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat STIKes Faletehan Serang.
4. Ibu Dini Daningrum, SKM., MKM, selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan dan masukan untuk terselesaikan laporan ini.
5. Pihak Seksi Kesga Bidang Kesmas Dinas Kesehatan kota Cilegon yang telah
memfasilitasi penulis sehingga dapat melaksankan Praktikum Kesehtan
Masyarakat.
6. Seluruh staff dan Dosen PSKM yang memberikan motivasi dan bantuannya
sehingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan doa, dukungan
moril dan materi.
8. Suami dan anakku yang telah sabar dan setia mendampingiku. Semoga kita
selalu bersama sampai di akhirat kelak. Amin.

Laporan ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran guna perbaikan laporan ini di masa yang akan datang.

Serang, Mei 2018


Penulis
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik STIKes Faletehan, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :

Nama : Ade Norma


NIM : 2016032001
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


STIKes Faletehan Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclisive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegemukan Pada Anak Balita Di


Wilayah Kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon Tahun 2018

beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini STIKes
Faletehan berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai Hak
Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenernya.

Dibuat di : Serang
Pada Tanggal : 20 Mei 2018
Yang menyatakan

(Ade Norma)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT iii
LEMBAR PENGESAHAN iv
LEMBAR PERSETUJUAN v
KATA PENGANTAR vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
1. Tujuan Umum 5
2. Tujuan Khusus 5
D. Manfaat Penelitian 6
E. Ruang Lingkup Penelitian 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9


A. Anak Balita 9
B. Status Gizi 10
1. Definisi Status Gizi 10
2. Penilaian Status Gizi Dengan Metode Antropometri 11
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi 13
a. Umur dan jenis kelamin 13
b.Berat badan lahir 14
c. Konsumsi gizi 14
d.Aktifitas fisik 16
e. Kebiasaan makan 18
f. Kakateristik keluarga 21
g.Genetik 24
h.Status kesehatan 24
C. Kerangka Teori 26

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERSIONAL DAN


HIPOTESIS PENELITIAN 27
A. Kerangka Konsep 27
B. Definisi Operasional 28
C. Hipotesis 32

BAB IV METODE PENELITIAN 33


A. Desain Penelitian 33
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 33
C. Populasi dan Sampel 33
D. Metode Pengumpulan Data 35
E. Manajemen Data 37
F. Pengolahan 37

STIKes Faletehan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada


keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu indikator keberhasilan
pembangunan sumber daya manusia yaitu dicirikan dengan Human
Depelovemnt Indexs (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indek
Pembangunan Manusia (IPM) dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks
harapan hidup, indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah), dan indeks standar hidup layak.

Menurut United Nations Development Programme (UNDP) 2007 yang


tercantum dalam penelitian Musadat (2010) yang menyatakan Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI) pada tahun 2003, menempati urutan
ke-112 dari 174 negara. Sedangkan pada tahun 2004 menurut UNDP 2004,
Indeks pembangunan manusia Indonesia (IPMI) menempati peringkat 111 dari
177 negara. Program-program upaya kesehatan termasuk program perbaikan
gizi yang bertujuan meningkatkan status gizi masyarakat, sangat diperlukan
dalam rangka pencapaian tujuan Indeks Pembangunan Manusia (Depkes,
2005) dimana program perbaikan gizi termasuk kedalam komponen standar
hidup layak yang diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah
disesuaikan.

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2006). Kekurangan atau kelebihan zat gizi
dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan
masalah gizi (Riyadi, 2003).

Status gizi lebih merupakan kondisi dimana berat badan melebihi standar berat
badan normal. Gizi lebih dapat terjadi pada semua lapisan umur, dari mulai
bayi, balita, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Persatuan ahli gizi Rumah
Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM), mengatakan gizi lebih yang dapat
menyebabkan kegemukan dibagi dua yaitu berat badan overweight yang
berarti berat badan lebih dari 10-20% dari berat badan ideal, dan obesitas yaitu
kondisi tubuh memiliki berat badan lebih 20% berat badan ideal (Rimbawan
dan Siagian, 2004).

Dalam penelitian Rahmawati (2013) menjelaskan menurut Soegondo (2005)


prevalensi terjadinya obesitas di Amerika Serikat dalam 30 tahun terakhir
telah menjadi 2 kali lipat yaitu dari 15% menjadi 32% pada anak usia 5-14
tahun. Begitu juga di Jepang prevalensi obesitas pada anak usia 6-14 tahun
yaitu berkisar antara 5-11%. Soegondo (2005) juga menjelaskan bahwa angka
prevalensi terjadinya obesitas pada anak sekolah di Cina tidak lebih dari 10%.
Begitu juga di Malaysia berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa prevalensi obesitas mencapai angka 6,6% pada kelompok
umur 7 tahun dan 13,8% pada kelompok umur 10 tahun.

Di Indonesia prevalensi kegemukan pada balita meningkat melampui angka


kurang gizi pada balita. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2010 prevalensi kegemukan di kalangan balita di Indonesia
adalah 14,0%dimana lebih tinggi dari jumlah balita yang sangat kurus dan
kurus yakni 6% dan 7,3%. Berdasarkan kelompok umur prevalensi
kegemukan pada usia 24-35 bulan sebesar 13,1% dan pada usia 36-47 bulan
serta 48-59 bulan masing-masing 12,1% dan 12,0%. Sementara hasil
RISKESDAS 2007 menunjukan prevalensi kegemukan di Indonesia sebesar
12,2% dan pada kelompok umur 24-35 bulan prevalensinya sebesar 10,9%
dan pada kelompok 36-47 bulan serta 48-59 bulan masing-masing 11,2% dan
10.7%. Di Provinsi Banten prevalensi kegemukan pada balita 0-59 bulan
berdasarkan data RISKESDAS 2010 adalah 11,7% mengalami penurunan
yaitu dari 15,6% tahun 2007 (Riskesdas, 2010). Sedangkan Data Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 prevalensi bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 % tahun 2010 menjadi 10,2 % tahun
2013 (Riskesdas, 2013).

Di Kota Cilegon hasil Pemantauan Status Gizi di tahun 2017 prevalensi


kegemukan pada anak balita sebesar 0,7%. Dimana jumlah terbanyak dalam

STIKes Faletehan
kategori daerah perkotaan adalah di Puskesmas Citangkil yaitu 1,3% dari
jumlah penduduk balita yang ada di Kecamatan Cilegon di tahun 2017.

Sedangkan prevalensi kegemukan pada anak balita sebesar 1,3%. Dimana


jumlah terbanyak dalam kategori daerah perkotaan adalah di Puskesmas
Citangkil yaitu 0,9% dari jumlah penduduk balita yang ada di Kecamatan
Cilegon di tahun 2018

Thorpe, dkk (2004) dalam Musadat (2010), menyatakan kegemukan yang


terjadi selama masa kanak-kanak, memiliki konsekuensi medis jangka pendek,
meliputi efek yang merugikan terhadap pertumbuhan, dan konsekuensi medis
jangka panjang meliputi risiko yang lebih besar untuk terkena hipertensi,
diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit degeneratif lainnya pada masa
dewasa. Kegemukan pada masa anak-anak juga menimbulkan konsekuensi
psikososial jangka pendek dan jangka panjang seperti penurunan kepercayaan
diri, gangguan makan, dan kesehatan yang lebih rendah hubungannya dengan
kualitas hidup.

Hasil penelitian epidemiologi bahwa gizi lebih atau kegemukan memiliki


resiko relatif sebesar 5,9 kali untuk hipertensi dan 2,9 kali untuk diabetes
mellitus, dibandingkan dengan kelompok gizi normal. Hal ini membuktikan
bahwa terdapat hubungan erat antara kegemukan dan faktor resiko penyakit
kardiovaskuler seperti diabetes mellitus tipe II, dislipidemia dan hipertensi.
Bertambahnya populasi kegemukan dan obesitas dengan sendirinya akan
meningkatkan angka kesakitan dan kematian penyakit kardiovaskuler (Hariadi
& Ali, 2005).

Data lain menunjukan tidak terdapat perbedaan prevalensi balita kegemukan


pada kelompok umur anak, jenis kelamin maupun pendidikan orang tua.
Berdasarkan karakteristik permasalahan kegemukan dan obesitas sangat
dominan pada kelompok penduduk yang tinggal di perkotaan dimana status
ekonomi yang lebih baik dan tingkat pendidikan tinggi (Kemenkes RI, 2012).
Lain halnya hasil penelitian di Indonesia (Fitriarni, 2012) menyatakan
hubungan yang bermakna antara variabel berat badan lahir, pekerjaan ibu dan
pengeluaran keluarga dengan kegemukan dan obesitas.

STIKes Faletehan
Sedangkan hasil penelitian di Provinsi Sumatera Selatan (Musadat, 2013),
faktor yang mempengaruhi kegemukan adalah jenis kelamin, umur,genetik
orang tua (IMT Ayah), aktifitas fisik, kebiasaan makan buah, kebiasaan makan
makanan berlemak, konsumsi energi, dan konsumsi protein.

Penelitian serupa terhadap anak SD di Jakarta Selatan (Rahmawati, 2009),


menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian obesitas dan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia,
pendidikan orang tua, status pekerjaan orang tua, frekuensi konsumsi makanan
jajanan, frekuensi konsumsi makanan cepat saji, waktu tidur, menonton TV
dan main games, kebiasaan olahraga dan keterpaparan media.

Angka prevalensi kegemukan yang sudah ada, menjadi peringatan bagi


pemerintah dan masyarakat, bahwa kegemukan merupakan ancaman serius
bagi masyarakat Indonesia. Sasaran pemerintah Indonesia dalam strategi
operational dalam menanggulangi masalah kegemukan yaitu menahan laju
peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas pada kelompok balita, anak
usia sekolah, remaja dan dewasa dari 1% menjadi 0,5% pertahun (Kemenkes,
2012).

Dampak buruk yang bisa saja terjadi saat anak sudah terkena obesitas
antaralain; Masalah jantung, gangguan saluran pernapasan dan diabetes.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi gemuk, oleh karena itu,
perlu diteliti lebih jauh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil, Kota
Cilegon.

B. Rumusan Masalah

Masalah kegemukan pada usia dini, harus menjadi perhatian serius, mengingat
prevalensi kegemukan pada usia dini cukup tinggi. Berdasarkan hasil
Riskesdas 2010 prevalensi kegemukan sebesar 14,0% dan meningkat dari
12,2% pada tahun 2007. Di Banten hasil Pemantauan Status Gizi di tahun
2017 prevalensi kegemukan pada balita (indeks status gizi berdasarkan
BB/TB) sebesar 0,7% sedangkan hasil Pemantauan Status Gizi di tahun 2018

STIKes Faletehan
prevalensi kegemukan pada balita (indeks status gizi berdasarkan BB/TB)
sebesar 1,3%.

Kondisi kegemukan pada usia dini akan dibawa sampai dewasa, yang
berdampak terhadap peningkatan resiko penyakit degeneratif. Meningkatnya
status sosial ekonomi masyarakat saat ini, ditambah lagi dengan gaya hidup
yang kurang baik, seperti banyak tawaran makanan siap saji,dan kurangnya
aktifitas fisik cenderung meningkatkan kejadian gizi lebih.

Berdasarkan klasifikasi ekonomi Kota Cilegon dibagi menjadi 2 yaitu wilayah


perkotaan dan wilayah pedesaan. Wilayah perkotaan terdiri dari kecamatan
Purwakarta, kecamatan Cilegon, dan kecamatan Jombang sedangkan wilayah
pedesaan terdiri dari kecamatan Grogol, kecamatan Pulomerak, kecamatan
Ciwandan, kecamatan Citangkil dan kecamatan Cibeber.

Kecamatan Citangkil sebagai wilayah kerja Puskesmas Citangkil dipilih


menjadi tempat penelitian dengan pertimbangan Kecamatan Citangkil
menduduki peringkat urutan ke-2 dari 8 kecamatan dalam jumlah kasus
kegemukan pada anak balita. Disisi lain Kecamatan Citangkil merupakan
wilayah perkotaan yang menduduki urutan ke-1 dari 3 kecamatan dengan
prevalensi kegemukan pada balita melebihi angka prevalensi tingkat Kota
Cilegon.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegemukan


Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon
Tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran kegemukan pada anak balita di wilayah


kerja Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon tahun 2018.
b. Untuk mengetahui karakteristik anak balita (jenis kelamin, umur, dan
berat badan lahir) di wilayah kerja Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon
tahun 2018.

STIKes Faletehan
c. Untuk mengetahui gambaran aktifitas fisik anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon tahun 2018.
d. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan makan (konsumsi buah&
sayur, konsumsi makanan berlemak, dankonsumsi makanan/minuman
manis) anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon
tahun 2018.
e. Untuk mengetahui karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan
ibu, dan jumlah anggota keluarga) di wilayah kerja Puskesmas
Citangkil Kota Cilegon tahun 2018.
f. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik anak balita (jenis
kelamin, umur, dan berat badan lahir) dengan kegemukan pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon tahun 2018.
g. Untuk mengetahui hubungan antara aktifitas fisik anak balita dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil
Kota Cilegon tahun 2018.
h. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan makan anak balita
(frekuensi makan sayur & buah, makanan berlemak, dan
makanan/minuman manis) dengan kegemukan pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon tahun 2018.
i. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan
ibu, pekerjaan ibu, dan jumlah anggota keluarga) dengan kegemukan
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon
tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Cilegon/Puskesmas Citangkil.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi early warning dalam


mencegah kegemukan sejak dini dan menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah, khususnya di Kota Cilegon, dalam merumuskan kebijakan dan
program peningkatan edukasi dan promosi pencegahan kegemukan.

STIKes Faletehan
2. Bagi STIKes Faletehan

Dengan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan


pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil, dapat diperoleh
informasi ilmiah sebagai sumbangan kepada dunia kesehatan masyarakat
serta untuk memperkaya pengetahuan di bidang kesehatan.

Memberikan informasi kepada seluruh instansi yang terkait dan sebagai


tambahan kepustakaan dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat
dan ilmu gizi, serta dapat dapat memberikan kontribusi pengembangan
iptek dan pengayaan serta pendalaman informasi terkait, bagi masyarakat
ilmiah dan pengguna.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti


bagi penelitian sejenis, khususnya yang terkait dengan penelitian tentang
faktor-faktor penyebab kegemukan pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Citangkil.

3. Bagi peneliti

Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan dapat


menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh serta hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan sebagai sarana
untuk melatih diri melakukan penelitian.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang gizi masyarakat dimana
penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil tahun
2018, mengingat prevalensi kegemukan di kecamatan Citangkil yaitu 1,3%
dari jumlah penduduk balita yang ada di kecamatan Citangkil yang mana
merupakan urutan ke-1 untuk kategori daerah perkotaan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari-Maret tahun 2018.

Desain penelitian cross sectional, dimana variabel yang diteliti adalah


kegemukan sebagai variabel dependen, karakteristik anak (balita umur, jenis
kelamin balita, berat badan lahir), konsumsi gizi (asupan energi dan asupan

STIKes Faletehan
protein), aktifitas fisik, kebiasaan makan anak balita (konsumsi buah dan
sayur, konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi makanan/minuman manis),
karakteristik orang tua (tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, jumlah
anggota rumah tangga) sebagai variabel independen.

Untuk variabel konsumsi gizi (asupan energi dan asupan protein) ditentukan
dengan recall 1x24 jam, variabel karakteristik anak (umur, jenis kelamin
balita, dan berat badan lahir) ditentukan dengan observasi/pengambilan data
dari Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku
KIA). Sedangkan variabel lainnya, aktifitas fisik, kebiasaan makan anak balita
(konsumsi buah dan sayur, konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi
makanan/minuman manis), karakteristik orang tua (tingkat pendidikan ibu,
status pekerjaan ibu, jumlah anggota rumah tangga) ditentukan melalui
wawancara menggunakan kuesioner.

STIKes Faletehan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Balita

Balita atau anak bawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima
tahun sehingga bagi usia dibawah satu tahun juga termasuk dalam golongan
ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia dibawah satu tahun
berbeda dengan anak usia diatas satu tahun, maka anak dibawah satu tahun
tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun
dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusui sampai dengan
prasekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan
kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis
makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya.
Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan batita
merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai
konsumen aktif (Uripi, 2004).

Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang
merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan
kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi
anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi
perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang
berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada
balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan
kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang
proses tumbuh kembang (Febry &Marendra, 2008).

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-3
tahun (batita) dan anak usia prasekolah (4-5 tahun) (Uripi, 2004). Anak usia 1-
3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa
yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa
usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar.
Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang
mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya
lebih besar.Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering.

Karakteristik anak prasekolah ini mencakup perkembangan fisik dan


kemampuan motorik serta emosional anak.Perkembangan fisik yaitu hasil
tumbuh kembang fisik adalah bertumbuh besarnya ukuran-ukuran
antropometri dan gejala/tanda lain pada rambut, gigi-geligi, otot, serta jaringan
lemak, darah, dan lainnya. Sedangkan kemampuan motorik dan emosional
anak mencakup sikap anak dalam lingkungan, gerakan anggota badan, serta
kemampuan intelektual anak seperti menyebutkan nama atau bercerita
lainnya.

B. Status Gizi

1. Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang, atau


sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorpsi),
dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi, 2003).Selanjutnya
menurut Suhardjo(2003), status gizi adalah keadaan kesehatan individu-
individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan
fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan
makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri.

Menurut Almatsier (2006), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.Kekurangan atau
kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada
akhirnya menyebabkan masalah gizi.

Status gizi lebih merupakan kondisi dimana berat badan melebihi standar
berat badan normal.Gizi lebih dapat terjadi pada semua lapisan umur,
darimulai bayi, balita, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Persatuan ahli
gizi rumah sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM), mengatakan gizi lebih
yang dapat menyebabkan kegemukan dibagi dua yaitu berat badan
overweight yang berarti berat badan lebih dari 10-20% dari berat badan

STIKes Faletehan
ideal, dan obesitas yaitu kondisi tubuh memiliki berat badan lebih 20%
berat badan ideal.Overweight adalah kondisi berat badan melebihi berat
normal, sedang obesitas adalah kondisi kelebihan berat badan akibat
tertimbunnya lemak, pada pria 20% sedang pada wanita 25% (Rimbawan
& Siagian, 2004).

Penilaian status gizi secara garis besar dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari: antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik, dan penilaian status gizi secara tidak langsung
dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor
ekologi (Supariasa, dkk,2004).

2. Penilaian status gizi dengan metode Antropometri

Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak
balita mengunakan metode antropometri sebagai cara untuk menilai status
gizi. Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka dalam
penelitian ini peneliti mengunakan penilaian status gizi dengan cara
pemeriksaaan fisik yang disebut antropometri (Supariasa, dkk, 2004).

Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan


protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam
tubuh. Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat
digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa, dkk, 2004).

Adapun keunggulan antropometri adalah alatnya mudah didapat dan


mudah digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan
mudah dan obyektif, pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga
khusus profesional, juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu,
biayanya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan diakui
kebenarannya. Sedangkan kelemahan antropometri adalah tidak sensitif
untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, faktor di luar gizi
(penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan

STIKes Faletehan
spesifikasi dan sensitifitas pengukuran antropometri.Kesalahan yang
terjadi pada saat pengukuran (Supariasa, dkk,2004).

Indeks berat badan menurut umur (BB/U) mencerminkan status gizi saat
ini, karena berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak)
yang sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti infeksi otot dan
tidak cukup makan. Berat badan merupakan indikator yang sangat labil.
Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight
(Supariasa, dkk,2004).

Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa
lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap
masalah kurang gizi dalam waktu pendek.Defisit TB/U menunjukkan
ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka
panjang.Stunting merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai
pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan atau kesehatan
yang subnormal (Supariasa, dkk, 2004).

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik
untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu. Wasting secara luas digunakan untuk
menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat
badan, sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan atau penyakit berat
(Supariasa, dkk, 2004).

Penentuan status gizi dengan caraZ-skor lebih akurat. Karena hasil hitung
telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan
untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Di Indonesia
ketentuan umum penggunaan standar antropometri WHO 2005 telah
tetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan(Kepmenkes)
nomor:1995/Menkes/SK/XII/2010tanggal:30 Desember 2010, dimana
telah ditentukan kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan
indeks BB/U, (PB/TB)/U, BB/(PB/TB) yaitu sebagai berikut :

STIKes Faletehan
Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan
Indeks BB/U, (PB/TB)/U, BB/(PB/TB)
Kategori status Ambang batas
Indeks
gizi (Z-score)
Gizi Buruk < -3 SD
Berat badan menurut umur
Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
(BB/U)
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Gizi Lebih > 2 SD
Panjang badan menurut umur Sangat Pendek < -3 SD
(PB/U) atau tinggi badan Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
menurut umur (TB/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Tinggi > 2 SD
Berat badan menurut panjang Sangat Kurus < -3 SD
badan/tinggi badan Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
(BB/(PB/TB)) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gemuk > 2 SD
Sumber: Kepmenkes nomor:1995/Menkes/SK/XII/2010

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Berdasarkan studi kepustakaan yang ditemukan sebelumnya yaitu:


beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut:

a. Umur dan jenis kelamin

Umur dan jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan


kebutuhan gizi, dan akan berpengaruh terhadap status gizi, sehingga
terdapat hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan status gizi.

Hasil penelitian Fitriani (2012), menyatakan tidak ada hubungan


bermakna antara umur dan jenis kelamin dengan kejadian kegemukan
pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia pada tahun 2010. Hasil serupa
juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati
(2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan
kejadian obesitas namun ada hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan kejadianobesitaspada siswa Sekolah Dasar (SD).
Sedangkan penelitian Musadat (2010) menunjukkan bahwa ada

STIKes Faletehan
hubungan nyata antara umur dan jenis kelamin dengan kegemukan
anak 6-14 tahun.

b. Berat badan lahir

Awwal, dkk (2004) dalam Fitri (2004) mengatakan berat lahir


merupakan indikator untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,
kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial. Berat lahir
juga mencerminkan kualitas perkembangan intra uterin dan
pemeliharaan kesehatan mencakup pelayanan kesehatan yang diterima
oleh ibu selama kehamilannya.

Berat lahir adalah berat yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama
setelah lahir. Berat badan lahir dapat dibagi menjadi tiga kategori
(Sylviati, 2008) yaitu:

1) Bayi Berat Lahir Rendah jika berat < 2500 gram.


2) Bayi Berat Lahir Normal bila berat antara 2500 – 4000 gram.
3) Bayi Berat Lahir Besar bila berat badan > 4000 gram.

Dari penelitian Fitriani (2012) menunjukkan bahwa berat bayi lahir


merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara signifikan
terhadap status gizi anak indikator TB/U. Begitu juga hasil penelitian
Fitriani (2012) menyatakan ada hubungan bermakna antara berat lahir
dengan kejadian kegemukan pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia
pada tahun 2010.

c. Konsumsi gizi

Konsumsi gizi merupakan faktor yang mempengaruhi status gizi


seseorang. Masalah gizi biasanya timbul karena terjadi ketidak
seimbangan asupan zat gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup
serta seimbang, merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
tingkat kesehatan dan intelegensia manusia.

Makanan yang ideal yaitu makanan yang mengandung cukup energi


dan semua zat gizi esensial, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan
sesuai kebutuhan sehari-hari. Jumlah energi dan protein yang

STIKes Faletehan
diperlukan untuk pertumbuhan normal tergantung dari kualitas zat gizi
yang dimakan, bagaimana zat gizi diserap, dan penggunaan oleh tubuh
itu sendiri (Pudjiadi, 2003).

Asupan zat gizi untuk memenuhi kecukupan gizi seseorang,


disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Kebutuhan
gizi merupakan ukuran kebutuhan seseorang terhadap zat gizi, yang
dipengaruhi, umur, jenis kelamin, aktiftas, basal metabolic indexs.

Kebutuhan energi anak yang sehat berbeda-beda, hal ini ditentukan


atas dasar kebutuhan kalori, tingkat pertumbuhan, dan pengeluaran
energi.Kebutuhan energi berhubungan dengan konsumsi makanan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori, protein, mineral dan
vitamin sebagai zat sumber tenaga, pertumbuhan dan untuk cadangan
energi tetapi tidak berlebihan, sehingga menjadi obesitas. Ukuran
kebutuhan energi berdasar kelompok zat gizi adalah 50%-60% dari
karbohidrat 25%-35% dari lemak, dan 10%-15% dari protein.

Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik.Anak yang


kurangaktif, dapat menjadi kelebihan berat badannya atau mungkin
obesitas. Adapunanak yang sangat aktif akan membutuhkan energi
yang lebih banyak dari yangdirekomendasikan. Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi ke VIII (LIPI, 2004) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2
Angka Kecukupan Gizi 2014 Bagi Orang Indonesia
Berat Tinggi Energi Protein
Kelompok Umur badan Badan (Kkal) (g)
(Kg) (cm)
1-3 th 13 91 1125 26
4-6 th 19 112 1600 35
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG), LIPI, 2014

Kategori penilaian asupan atau konsumsi pangan bagi orang Indonesia


terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi ke X (LIPI, 2014) adalah sebagai berikut:

STIKes Faletehan
1) Kurang : Asupan/konsumsi zat gizi <80% dari AKG.
2) Cukup : Asupan/konsumsi zat gizi 80-110% dari AKG.
3) Lebih : Asupan/konsumsi zat gizi > 110% dari AKG.
Hasil penelitian Musadat (2010) menunjukkan bahwa proporsi anak
gemuk, mengkonsumsi energi dan protein dalam kategori lebih adalah
lebih banyak dibandingkan konsumsi energi dan proteinnya kategori
cukup, dan menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara konsumsi
energi perkapita dengan kegemukan anak. Hal serupa juga didapatkan
dari penelitian Fitri (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna secara statistik antara asupan energi dan protein
dengan stunting indeks status gizi TB/U.

d. Aktifitas Fisik

Menurut Adi sapoetra (2005) dalam Rahmawati (2009) aktifitas fisik


adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka yang
dihasilkan sebagai suatu pegeluaran tenaga (dinyatakan kilo-kalori),
yang meliputi pekerjaan, waktu senggang dan aktifitas sehari-hari.
Aktifitas fisik tersebut memerlukan usaha ringan, sedang atau berat
yang dapat menyebabkan perbaikan memerlukan usaha ringan, sedang
atau berat yang dapat menyebabkan perbaikan kesehatan bila
dilakukan secara teratur.

Aktifitas fisik merupakan variabel untuk pengeluaran energi, oleh


karenaitu aktifitas fisik dijadikan salah satu perilaku untuk penurunan
berat badan. Berdasarkan beberapa penelitian mengungkapkan apabila
beraktifitas fisik dengan intensitas yang cukup selama 60 menit dapat
menurunkan berat badan dan mencegah untuk peningkatan berat badan
kembali (Rahmawati, 2009).

Seperti yang tercantum dalam penelitian Musadat (2010) mengatakan


menurut Gavin (2005) anak dengan kegemukan atau overweight
biasanya kurang melakukan aktifitas. Hal yang terjadi pada anak-anak
dengan adanya sedentary life, anak-anak menghabiskan waktunya
banyak bermain dengan peralatan elektronik, mulai dari komputer,

STIKes Faletehan
televisi, hingga video game dibandingkan bermain diluar. Anak-anak
dibawah usia delapan tahun menghabiskan waktu rata-rata 2,5 jam
untuk menonton televisi, dan anak yang berusia diatas delapan tahun
menghabiskan 4,5 jam didepan telivisi atau video game. Anak-anak
yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah
menjadi gemuk daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari
atau kurang. Penelitian di Amerika pada anak-anak oleh (Hidayati,
dkk,2006), menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton
televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih
besar dari pada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari.
Sedangkan menurut Chaput, dkk (2006) dalam Musadat (2010)
menyatakan bahwa selain aktifitas menonton TV, jumlah tidur juga
berhubungan dengan kegemukan. Anak dengan tidur lebih sedikit
beresiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan.

Menurut Wardlaw & Hampl (2007) dalam Rahmawati (2009)


pendekatan awal dalam penanganan obesitas pada anak adalah dengan
menilai seberapa besar aktifitas fisik yang dilakukan. Jika seorang
anak menghabiskan banyak waktunya di kegiatan yang tidak
mengeluarkan energi banyak secara terus menerus seperti menonton
televisi atau bermain video games, maka dianjurkan untuk lebih
banyak melakukan aktifitas fisik. Pemerintah dan ahli kesehatan di
Amerika merekomedasikan untuk melakukan aktifitas fisik selama 60
menit atau lebih akan membantu anak untuk mencapai berat badan
ideal dan menjaga berat badannya di kemudian hari.

Kutipan dari www.bebeclub.co.id, menyatakan saat anak berusia 1-5


tahun, sangat disarankan untuk melakukan aktifitas fisik selama total 3
jam setiap hari. Bisa berjalan pagi, main bola, petak umpet, meloncati
bebatuan, dan lainnya yang dilakukan secara bertahap sehingga jangan
langsung memberinya aktifitas fisik selama 3 jam agar tidak kelelahan.

STIKes Faletehan
Kategori aktifitas fisik anak balita adalah sebagai berikut:

1) Anak Usia 24-35 bulan


Aktifitas fisik anak usia 24-35 bulan dapat berupa bergerak lewat
permainan-permainan fisik, termasuk gerakan berlari, melompat,
dan memanjat. Mereka juga mulai dapat dilatih untuk melakukan
gerakan motorik seperti menendang, menangkap, melempar,
memukul, dan berguling-guling. Dimana dari berbagai
sumber/literature kesehatan merekomedasikan anak balita pada
usia tersebut untuk melakukan aktifitas fisik selama 3 jam atau
lebih.

2) Anak Usia 36-59bulan

Di usia ini, anak sudah bisa melakukan banyak aktifitas. Selain


aktifitas-aktifitas seperti anak usia 24-35 bulan, anak usia ini mulai
beraktifitas fisik yang melatih kestabilan dan kemampuan
mengontrol gerakan seperti naik sepeda. Anak usia ini sudah dapat
beraktifitas fisik sekaligus belajar bersosialisasi dengan teman-
teman seusianya. Dimana dari berbagai sumber/literature
kesehatan merekomedasikan anak balita pada usia tersebut untuk
melakukan aktifitas fisik selama 3 jam atau lebih.

Hasil penelitian Musadat (2010) menunjukkan bahwa persentase


kategori anak status gizi gemuk dengan kategori aktifitas kurang lebih
besar dibandingkan pada anak status gizi gemuk dengan kategori
aktifitas cukup. Sedangkan untuk status gizi kategori tidak gemuk,
persentase anak dengan kategori aktifitas cukup lebih besar, artinya
ada hubungan nyata antara aktifitas fisik anak dengan kegemukan.

e. Kebiasaan Makan

Perilaku dan kebiasaan makan merupakan salah satu faktor penyebab


terjadinya obesitas pada seseorang. Penderita obesitas ternyata sering
berasal dari keluarga yang punya kebiasaan makan dalam porsi besar,
frekuensi sering, selalu punya persediaan makanan kecil, dan makan
diluar waktu makan (Taviano, 2005).

STIKes Faletehan
1) Konsumsi Buah dan Sayur.

Seperti dalam penelitian Musadat (2010) mengatakan menurut He,


dkk (2004) konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi
diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas. Drapeau, dkk
(2004) juga menyatakan peningkatan konsumsi buah lebih baik
dibandingkan sayuran dalam mengontrol berat badan, karena buah
lebih mudah dimakan sebagai snack sedangkan sayuran sering
dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi
seperti mentega, saus, minyak, dan keju, dan buah juga
mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa
kenyang.

Selain itu juga menurut Dr. Hendarwan Nadesul, Sayur dan buah
merupakan sumber serat terbesar sehingga konsumsi sayur dan
buah identik dengan pemenuhan akan konsumsi serat meskipun
bukan hanya terdapat pada sayur dan buah. Dalam sehari balita
membutuhkan serat kisaran 9 gram, secara kasar jika ditukar dalam
ukuran rumah tangga dalam sehari kisaran ¾ gelas sayur dan buah.

2) Konsumsi Makanan Berlemak

Makanan berlemak merupakan salah satu hal penyebab terjadinya


obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Castillon et al (2007),
terhadap orang spanyol yang berumur 29-69 tahun, menunjukkan
bahwa makanan gorengan (food fried) berhubungan positif dengan
obesitas umum karena dapat menghasilkan energi yang tinggi.

Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang


digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general
maupun centralobesity). Hal ini terjadi hanya pada subjek dimana
asupan tertinggi dan energinya berasal dari makanan gorengan.
Seseorang yang mengkonsumsi makanan gorengan lebih banyak,
berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk
mengalami kegemukan (Castillon, dkk, 2007).

STIKes Faletehan
3) Konsumsi Makanan/Minuman Manis.

Makanan dan minuman manis merupakan bentuk makanan yang


kaya energi, karena biasanya merupakan sumber karbohidrat,
sehingga berkontribusi terhadap peningkatan asupan energi
berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructose corn
syrup) berhubungan dengan apidemi obesitas. HFCS dan minuman
manis biasanya berperan pada peningkatan total energi yang
berkontribusi pada epidemic obesitas (Bray, dkk,2004).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan


bahwa urbanisasi pada negara berkembang, kuat hubungannya
dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Mekanisme
fisiolog, mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak
tubuh, hal itu dikarenakan melibatkan tingginya densitas energi
dan efek rasa lezat makanan manis.

4) Konsumsi Jeroan

Jeroan adalah organ-organ selain otot dan tulanghewan ternak yang


masih banyak dikonsumsi. Di berbagai daerah di Indonesiahampir
semua jeroan dimasak untuk makanan manusia, sebut saja
ayam.Jeroan ayam banyak diambil sebagai makanan seperti hati,
ampela, usus. Jeroan(usus, hati, babat, lidah, jantung, otak, dan
paru) banyak mengandung asam lemakjenuh (saturated fatty
acid/SFA). Jeroan mengandung 4-15 kali lebih tinggidibandingkan
dengan daging (Wikipedia 2009). Jeroan memiliki kandungan
kaloridan kolesterol yang tinggi sehingga tidak baik untuk
kesehatan. Makananberlemak tinggi, seperti jeroan dan sebagainya
dapat merangsang seseoranguntuk mengkonsumsi kalori dalam
jumlah lebih sehingga dapat memacukegemukan.

Hasil Penelitian Fajar (2009) menunjukan adanya hubungan makan


beraneka ragam dengan status gizi batita.Hasil serupa juga didapat dari
penelitian Musadat(2010) menunjukan kebiasaan makan buah,

STIKes Faletehan
kebiasaanmakan makanan berlemak, berhubungannyata dengan
kegemukan pada anak.

f. Kakateristik keluarga

1) Pendidikan ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi


rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca
persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak
dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada
faktor sosial ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan,
kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat
pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh.
Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode
penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah
gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya
(Suhardjo, 2003).

Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat


kemungkinanmakin baik tingkat ketahanan pangan keluarga,
makin baik pula pengasuhan anak,dan makin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikianjuga
sebaliknya (Depkes RI, 2004).

Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum tentu kurang


mampumenyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi
dibandingkan orang lain yang pendidikannya tinggi. Karena
sekalipun pendidikannya rendah jika orang tersebut rajin
mendengarkan penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan
gizinya akan lebihbaik. Hanya saja tetap harus dipertimbangkan
bahwa faktor tingkat pendidikan turutpula menentukan mudah

STIKes Faletehan
tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuangizi
yang mereka peroleh (Depkes RI, 2004).

Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan


ibu banyak menentukan sikap dan menghadapi berbagai masalah,
misal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit
waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari
ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat
kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka
untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan
kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.

2) Pekerjaan ibu

Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam


sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang
diterima. Semakin tinggi kedudukan secara otomatis akan semakin
tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah
uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam
keluarga (Sediaoetama, 2008).

Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang
lebih sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada
umumnya di daerahpedesaaan anak yang orangtuanya bekerja akan
diasuh oleh kakaknya atau sanaksaudaranya sehingga pengawasan
terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaikjika orang tua
tidak bekerja (Sediaoetama, 2008).

Ibu yang bekerja juga memiliki kendala dalam penyiapan makanan


di dalamkeluarga. Karena sempitnya waktu, ibu yang bekerja
terkadang menyerahkanpembuatan makanan keluarga kepada
asisten rumah tangga atau membuat makananyang cepat saji. Jika
tidak ada waktu lagi maka membeli makanan siap saji di luar.Hal
tersebut menyebabkan anak tidak dapat mengonsumsi makanan
yang sesuaidengan umurnya dan sesuai dengan kebutuhan gizi
yang diperlukan. Cawley (2004)dalam Fitriani (2012)

STIKes Faletehan
mengungkapkan hal yang sama bahwa ibu yang bekerja memiliki
waktu yang sedikituntuk memasak makanan bagi keluarga
sehingga konsumsi makanan siap saji dalamkeluarga tinggi.

3) Jumlah anggota keluarga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat


tinggal disuatu keluarga, baik berada di rumah pada saat
pencacahan maupun sementara tidakada. Anggota keluarga yang
telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota keluargayang
bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
meninggalkanrumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota
keluarga. Orang yang telah tinggaldi suatu keluarga 6 bulan atau
lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurangdari 6 bulan
tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai
anggotakeluarga (BPS).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan


terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak
yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan
pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan
untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari
bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif
lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian
anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan
(Suhardjo, 2003).

Hasil penelitian Musadat (2010) mengindikasikan bahwa tidak adanya


hubungan nyata antara pendidikan, pekerjaan orang tua dengan
kegemukan dan juga menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata
antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian kegemukan.
Sedangkan hasil penelitian Fitri (2012) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan ibu dengan
stunting yang diukur berdasarkan indeks status gizi TB/U dan tidak

STIKes Faletehan
ada hubungan secara statistik antara jumlah anggota rumah tangga
dengan stunting yang diukur berdasarkan indeks status gizi TB/U.

Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Rahmawati (2009) menyatakan


tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan
orang tua, status pekerjaan ibu dengan kejadian obesitas pada anak SD.

g. Genetik

Menurut Khomsan (2002) dalam Musadat (2010) menyatakanGenetik


mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya obesitas.
Faktor genentik anak yaitu faktor keturunan dari orang tua yang
berhubungan dengan status gizi. Anak dari orang tua dengan berat
badan normal mempunyai peluang 10 persen berkegemukan.

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu bentuk genetik,


seseorang yang IMT orang tuanya gemuk cenderung anaknya menjadi
gemuk. Anak yang salah satu orang tua mengalami obesitas, maka
kemungkinan anak mengalami gizi lebih peluangnya adalah 40% dan
peluang anak mengalami gizi lebih meningkat menjadi 80% jika kedua
orang tua obesitas.

Mahan & Escott-Stump (2004) dalam Musadat (2010) menyatakan


bahwa keturunan/genetika dan lingkungan merupakan determinan
yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pertumbuhan merupakan refleksi dari kondisi kesehatan seseorang,
sedangkan penyebab langsung seorang anak dapat tumbuh dan
berkembang secara baik adalah cukupnya masukan zat gizi serta
terbebasnya dari penyakit infeksi.

Penelitian Musadat (2010), menyatakan bahwa ada hubungan nyata


antara genetik orang tua dengan kejadian kegemukan pada anak.

h. Status kesehatan

Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting


dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang

STIKes Faletehan
mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga
mempengaruhi status gizi (Suhardjo, 2003).

Status kesehatan merupakan salah satu penyebab langsung kejadian


masalah gizi yang juga saling mempengaruhi terhadap asupan zat gizi.
Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada balita dapat
mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya dimana status
kesehatan akan mempengaruhi daya tahan tubuh balita terhadap
infeksi. Menurut Depkes RI (2005) Bahwa pada anak yang mendapat
makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan
menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak
cukup, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dan dalam keadaan
demikian akan mudah diserang infeksi.

Menurut penelitian Musadat (2010) menyatakan status kesehatan tidak


menujukan perbedaan yang nyata antara anak gemuk dengan tidak
gemuk.

STIKes Faletehan
C. Kerangka Teori

Karakteristik Anak Karakteristik


- Jenis Kelamin Keluarga
- Umur - Pendidikan Orang
tua
Pengetahua
- Pekerjaan Orang
n Gizi
tua
- Jumlah Anggota
Keluarga

Kebiasaan Makan
Anak
- Frekuensi makan
sayuran
- Frekuensi makan Kegemu
buah-buahan kan Aktifitas
- Frekuensi Fisik
makan/minuman Anak
manis
Status Genetika
Kesehatan

Gambar 2.1: Kerangka Teori modifikasi dari: Heird (2002), Gilman (2001), Simon (2008)
dalam Fitriani (2012)

STIKes Faletehan
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERSIONAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel
Independen
Karakteristik Anak
- Jenis Kelamin
- Umur

Variabel
Dependen
Kebiasaan Makan
Anak
- Konsumsi buah
dan sayuran Kegemu
- Konsumsi kan pada
makanan/ Balita
minuman manis

Karakteristik
Keluarga
- Pendidikan
Ibu/Ayah
- Pekerjaan
Ibu/Ayah
- Jumlah Anggota Gambar 3.1 : Kerangka Konsep
Keluarga
28

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Varibel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Ketegori Skala

Variabel Dependen
1. Kegemukan Adalah jika status gizi anak balita - Berat badan : Berat badan : 1. Gemuk, jika Ordinal
pada balita sesuai kelompok umur dan jenis Timbangan injak Menimbang indek BB/TB >+2SD
kelamin berdasarkan indeks digital (seca) Standar WHO 2005
BB/(PB/TB) berada dalam dengan ketelitian Tinggi Badan : 2. Tidak Gemuk, jika
kategori gemuk atau lebih dari 0.1 kg. Mengukur indek BB/TB ≤2SD
+2SD nilai rerata standar WHO - Tinggi badan : Standar WHO 2005
2005. Microtoice
dengan ketelitian
0.1 cm.
Variabel Independen
1. Umur Lamanya anak hidup sejak lahir Kuesioner Observasi/Pengambi 1. 36-59 Bulan Ordinal
hingga saat berlangsung lan data dari KMS 2. 24-35 Bulan
penelitian yang dihitung dalam atau Buku KIA.
satuan bulan dan dihitung bulan
penuh.
2. Jenis Perbedaan sex pada balita yang Kuesioner Observasi/Pengambi 1. Laki-laki Ordinal
Kelamin didapat sejak lahir. lan data dari KMS 2. Perempuan
atau Buku KIA.
3 Berat Badan Berat yang ditimbang dalam Kuesioner Observasi/Pengambi 1. Beresiko, jika Berat Ordinal

STIKes Faletehan
Lahir waktu 1 jam pertama setelah lan data dari KMS Badan Lahir > 4000gr
lahir. atau Buku KIA. dan <2500gr.
2. Tidak beresiko, jika
Berat Badan Lahir
2500-4000gr.
4 Konsumsi Energi yang dikonsumsi oleh Formrecall Wawancara dengan 1. Lebih, jika konsumsi Ordinal
energi anak balita dalam waktu 1 hari mengumpulkan data energi>110 % AKG.
konsumsi melalui 2. Cukup, jika konsumsi
recall 24 jam energi ≤110% AKG.
5 Konsumsi Protein yang dikonsumsi oleh Formrecall Wawancara dengan 1. Lebih, jika konsumsi Ordinal
protein anak balita dalam waktu 1 hari mengumpulkan data protein >110 % AKG.
konsumsi melalui 2. Cukup, jika konsumsi
recall 24 jam protein ≤110% AKG.

6 Aktifitas Kebiasaan anak sehari-hari dalam Kuesioner Wawancara 1. Kurang, jika Ordinal
fisik anak melakukan aktifitas fisik/gerakan melakukan aktifitas
balita tubuh yang dihasilkan oleh otot- fisik < 3 jam dalam
otot rangka yang dihasilkan sehari.
sebagai suatu pengeluaran tenaga, 2. Cukup, jika melakukan
misalnya bersepeda, berguling dll aktifitas fisik ≥ 3 jam
dalam sehari
7 Kebiasaan Kebiasaan makan buah dan sayur Kuesioner Wawancara 1. Kurang, jika konsumsi Ordinal
konsumsi pada sampel yang dinilai adalah buah dan sayur <5hari
buah dan berdasarkan frekuensi dan porsinya dalam seminggu.
sayur selama satu minggu. Dimana dalam 2. Cukup, jika konsumsi
1 hari membutuhkan 1 porsi atau buah dan sayur ≥ 5-
setara dengan ¾ gelas buah dan 7hari dalam seminggu.
sayur

STIKes Faletehan
8 Kebiasaan Kebiasaan seseorang Kuesioner Wawancara 1. Sering, jika konsumsi Ordinal
konsumsi makanmakanan yang banyak makanan
makanan mengandung lemak seperti, gulai berlemak>3hari
berlemak kambing, gulaibabat, ayam perminggu
dengan kulit, daging olahan, 2. Jarang, jika konsumsi
jajanan gorengan, dll dinilai makanan berlemak ≤3
berdasarkan frekuensinya dalam hari Perminggu.
satu hari, satu minggudan satu
bulan.
9 Kebiasaan Kebiasaan seseorang makan Kuesioner Wawancara 1. Sering, jika konsumsi Ordinal
konsumsi makanan yang manis seperti makanan manis >3hari
makanan/ syrup, aneka roti, sereal manis, perminggu
minuman aneka krim, mayones, dll dinilai 2. Jarang, jika konsumsi
manis berdasarkan frekuensinya dalam makanan manis ≤3 hari
satu hari, satu minggudan satu Perminggu.
bulan.
10 Pendidikan Jenjang pendidikan formal Kuesioner Wawancara 1. Rendah, jika Ordinal
Ibu tertinggi yang ditamatkan oleh mempunyai pendidikan
Ibu. ≤ Sekolah Menengah
Pertama
2. Tinggi, jika mempunyai
pendidikan > Sekolah
Menengah Pertama
(program wajib belajar
12 tahun)
11 Pekerjaan Kegiatan yang dilakukanoleh ibu Kuesioner Wawancara 1. Bekerja Ordinal
Ibu untukmenghasilkan uang. 2. Tidak bekerja

STIKes Faletehan
12 Jumlah Merupakan jumlah anggota Kuesioner Wawancara 1. Keluarga besar, jika Ordinal
Anggota keluarga yang masih hidup, baik jumlah anggota
Keluarga kandung maupun bukan keluarga> 4 orang.
kandung/anggota keluarga lain 2. Keluarga kecil, jika
yang tinggal menetap bersama jumlah anggota ≤ 4
dalam satu rumah dan makannya orang.
berasal dari satu dapur.

STIKes Faletehan
32

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara anak balita jenis kelamin anak balita dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota
Cilegon tahun 2018.
2. Ada hubungan antara anak balita umur anak balita dengan kegemukan
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon tahun
2018.
3. Ada hubungan berat badan lahir anak balita dengan kegemukan pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon tahun 2018.
4. Ada hubungan antara konsumsi energi anak balita dengan kegemukan
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon.
5. Ada hubungan antara konsumsi gizi protein anak balita dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota
Cilegon.
6. Ada hubungan antara aktifitas fisik anak balita dengan kegemukan pada
anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon.
7. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi buah dan sayuran pada anak
balita dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Citangkil Kota Cilegon.
8. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak pada anak
balita dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Citangkil Kota Cilegon.
9. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan/minuman manis
dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil
Kota Cilegon.
10. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kegemukan pada anak balita
di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon.
11. Ada hubungan pekerjaan ibu dengan kegemukan pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon
12. Ada hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan pada
anak balita di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kota Cilegon.

STIKes Faletehan
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Observasional dengan menggunakan


metode observasi, wawancara dan pengukuran antropometri. Adapun
berdasarkan waktunya jenis penelitian ini bersifat cross sectional yaitu
mengukur variabel-variabel dalam penelitian pada waktu yang sama
(Notoatmodjo, 2005).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Citangkil Kecamatan


Citangkil Kota Cilegon. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus
2018

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang tercatat di Kecamatan
Citangkil, Kota Cilegon. Di Kota Cilegon pada tahun 2018 jumlah populasi
jumlah balita secara estimasi berdasarkan data dari BPS kota Cilegon adalah
47.958 jiwa sedangkan populasi balita di Wilayah kerja Puskesmas Citangkil
adalah 5.170 jiwa yang tersebar dalam 5 Kelurahan yaitu:

1. Ciwaduk = 1.541 Jiwa


2. Ciwedus = 1.187 Jiwa
3. Bendungan = 1.021 Jiwa
4. Ketileng = 946 Jiwa
5. Bagendung = 457 Jiwa

Jumlah sampel minimal yang harus diambil untuk menggambarkan kejadian


kegemukan pada anak balita maka digunakan rumus sebagai berikut:

33
STIKes Faletehan
34

Keterangan :
n = besar sampel.
= tingkat kepercayaan uji α =5%; Z-score = 1,96
= tingkat kekuatan uji (power test) β = 20%; Z-score = 0,84
P =
P1 = Proporsi responden yang mengalami kegemukan/obesitas pada
kelompok yang beresiko.
P2 = Proporsi responden yang mengalami kegemukan/obesitas pada
kelompok yang tidak beresiko.

Tabel 4.1
Perhitungan besar sampel
Variabel Variabel ∑
P1 P2 Sumber
independen dependen sampel
Jenis
0.370 0.099 38 Rahmawati, 2009
Kelamin
Status
pekerjaan Kegemukan 0.170 0.417 53 Widhuri, 2007
ibu /Obesitas
Pendidikan
0.371 0.143 57 Prihatini, 2006
ibu
Aktifitas
0.099 0.0068 92 Musadat, 2010
fisik

Sehingga berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak


92 sampel. Untuk mengantisipasi data yang tidak lengkap atau hilang maka
ditambahkan menjadi 100 sampel yang tersebar di 5 kelurahan. Untuk
mendapatkan jumlah sampel pada tiap kelurahan digunakan metode
pengambilan sampel secara proporsi, sebagai berikut :

1. Kelurahan Samangraya = x 100 = 29.8 = 30 sampel


2. Kelurahan Tamanbaru = x 100 = 22.9 = 23 sampel
3. Kelurahan Warnasari = x 100 = 19.7 = 20 sampel
4. Kelurahan Lebakdenok = x 100 = 18.3 = 18 sampel
5. Kelurahan Deringo = x 100 = 8.8 = 9 sampel
Dalam pengambilan sampel pada tiap Kelurahan dilakukan secara Accidental
sampling. Dimana tehnik Accidental sampling yaiu teknik sampling yang

STIKes Faletehan
35

dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia


(Notoadmodjo, 2005). Pengambilan sampel akan dilakukan secara subjektif
oleh peneliti ditinjau dari sudut kemudahan, tempat pengambilan sampel, dan
jumlah sampel yang akan diambil.

Dalam penelitian ini sampel diambil dari balita yang datang dan di timbang di
posyandu wilayah kerja Puskesmas Citangkil. Adapun sampel yang diambil
harus memiliki kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Balita tersebut termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Citangkil,
Kota Cilegon.
2. Masih memiliki orang tua (kandung maupun angkat).
3. Balita usia 24-59 Bulan.
4. Balita dalam keadaan sehat (tidak sedang sakit).
5. Memiliki KMS/Buku KIA.
Sedangkan kriteria ekslusi adalah balita usia 0-23 bulan.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Sumber Data

a. Data primer dari responden


b. Data sekunder yaitu dengan melihat langsung dari Kartu Menuju
Sehat/Buku KIA, data dari Laporan Gizi Dinas Kesehatan Kota
Cilegon tahun 2017, Data dari Profil Puskesmas Citangkil tahun 2017.

2. Alat Pengumpul Data

a. Kuesioner dan Chek-list observasi untuk variabel sebagai berikut:


1) Karakteristik anak balita (umur, jenis kelamin, berat badan lahir)
2) Aktifitas anak balita.
3) Kebiasaan makan anak balita (konsumsi buah dan sayur, konsumsi
makanan berlemak dan konsumsi makanan/minuman manis).
4) Karakteristik keluarga Pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah
anggota keluarga.

b. Form Food Recall makanan 1x24 jam untuk variabel konsumsi gizi
anak balita (konsumsi energi dan protein).

STIKes Faletehan
36

c. Timbangan injak (seca) untukmengukur berat badan.


d. Microtoice untuk mengukur panjang badan/tinggi badan.

3. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dibantu dengan tenaga


kesehatan di Puskesmas Citangkil dengan cara sebagai berikut:

a. Wawancara untuk variabel sebagai berikut :

1) Konsumsi gizi (energi dan protein) pada anak balita dengan


menggunakan form food recall 1x24 jam konsumsi makanan balita
mengenai jenis makanan, waktu pemberian, konsumsi energi dan
protein. Pelaksanaan food recall 1x24 jam dilakukan sebanyak 1
kali recall.
2) Aktifitas fisik anak.
3) Kebiasaan makan anak Balita dengan menggunakan frekuensi
pangan (food frequency questionare).
4) Karakteristik Keluarga yaitu variabel pendidikan ayah, pekerjaan
ayah, dan jumlah anggota keluarga.

b. Observasi

Observasi yang dilakukan menggunakan kuesioner yaitu untuk


variabel Karakteristik anak (umur, jenis kelamin, dan berat badan
lahir).

c. Pengukuran

Pengukuran untuk variabel berat badan dan panjang badan/tinggi


badan. Berat badan diukur menggunakan timbangan injak (seca) dalam
satuan kilogram kemudian dikonversikan dalam satuan gram. Untuk
balita 24-36 bulan panjang badan diukur telentang dengan
menggunakan alat pengukur panjang badan, sedangkan Balita diatas 2
tahun diukur berdiri menggunakan microtoice. Satuan ukuran panjang
badan maupun tinggi badan dalam cm.

E. Manajemen Data

STIKes Faletehan
37

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan:

1. Editing (Pemeriksaan Data)

Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan semua pernyataan. Data


yang sudah terkumpul lalu diperiksa segera mungkin tentang isi kuesioner,
jika ada isian yang kurang jelas atau kurang dipahami dengan mudah dan
semua point yang sudah ada dalam kuesioner dapat diisi dengan baik.

2. Koding (Pemberian Kode)

Data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya


kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
komputer menggunakan program SPSS.

3. Entry (Pemasukan data dalam computer)

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan pemasukan data ke


komputer.

4. Cleaning Data Entry

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan kedalam program


komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.

F. Pengolahan

Data dianalisis dengan cara sebagai berikut:

1. Analisis univariat, dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi


frekuensi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti dengan
menggunakan tabel.

2. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua


variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu variabel independen.
Jenis variabel yang dianalisis berjenis katagorik, baik variabel dependen
atau independen, sehingga analisis yang digunakan adalah chi square, dan
korelasi kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah
p≤0,05.

Adapun rumus dari uji Kai Kuadrat (Chi Square) ini adalah:

STIKes Faletehan
38

df = (k-1)(b-1)
Keterangan :
χ2 = Chi Square
O = nilai observasi
E = nilai ekspektasi (harapan)
k = jumlah kolom
b = jumlah baris

Hasil akhir untuk mengetahui uji statistik ini adalah untuk mengetahui
apakah keputusan uji Ho ditolak atau Ho diterima (gagal ditolak). Dengan
ketentuan apabila nilai p≤alpha (0,05) maka Ho ditolak artinya ada
hubungan yang bermakna antar variabel dengan variabel independen,
namun bila nilai p>alpha maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan
yang bermakna antar variabel independen dengan variabel independen.

STIKes Faletehan
BAB V
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Citangkil merupakan salah satu dari 8 Puskesmas yang ada di Kota
Cilegon, yang terletak di Kelurahan Kebonsari Kecamatan Citangkil, tetapi
mempunyai wilayah kerja di Kecamatan Citangkil.

Luas wilayah Kecamatan Cilegon adalah 749.958 Ha, dimana 50%


wilayahnya merupakan daerah perkotaan. Kecamatan Cilegon berbatasan
langsung dengan wilayah kecamatan-kecamatan lainnya yaitu:

1. Utara : Kecamatan Jombang


2. Timur : Kecamatan Cibeber
3. Selatan : Kecamatan Mancak
4. Barat : Kecamatan Citangkil

Secara administratif Kecamatan Cilegon terdiri dari 5 (lima) Kelurahan yang


mencakup 30 RW dan 105 RT.

Tabel 5.1
Jumlah RW dan RT Menurut Kelurahan Tahun 2018
No Nama Kelurahan Jumlah RW Jumlah RT
1 Ciwaduk 9 26
2 Ciwedus 6 33
3 Bendungan 6 19
4 Ketileng 4 15
5 Bagendung 5 12
Jumlah 30 105
Sumber: Profil Puskesmas Citangkil2018

Motto Puskesmas Citangkilyaitu “Kepuasan dan Kenyamanan Anda adalah


Tujuan Kami”, dimana Visi Puskesmas Citangkiladalah “Puskesmas
Berstandart Internasional 2014” dan memiliki misi sebagai berikut:

1. Meningkatkan pemberdayaan potensi dan sumber daya organisasi.


2. Melaksanakan pelayanan kesehatan dengan pelayanan prima.

39
STIKes Faletehan
40

3. Mengembangkan peran dan fungsi puskesmas dalam melaksanakan


kemitraan dengan berbagai pihak terkait dalam meningkatkan mutu
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Program kesehatan yag dilakkukan oleh Puskesmas Citangkilterdiri dari upaya


kesehatan wajib, upaya kesehatan pengembangan dan upaya kesehatan
penunjang.

Upaya kesehatan wajib terdiri dari enam pokok program yang dikenal dengan
basic six yaitu:
1. Promosi kesehatan.
2. Kesehatan lingkungan.
3. Gizi.
4. Keluarga berencana dan kesehatan ibu dan anak.
5. Pemberantasan penyakit menular.
6. Pengobatan.

Sedangkan upaya kesehatan pengembangan meliputi:


1. Upaya kesehatan sekolah.
2. Upaya kesehatan gigi dan mulut.
3. Upaya kesehatan anak pra-sekolah.
4. Upaya kesehatan usia lanjut.
5. Upaya kesehatan kerja.
6. Upaya kesehatan reproduksi remaja.
7. Upaya perawatan kesehatan masyarakat.

Adapun upaya kesehatan penunjang meliputi:

1. Upaya laboratorium.
2. Upaya pencatatan dan pelaporan dengan SIMPUS (sistim informasi dan
manajemen puskesmas).

B. Analisis Univariat

1. Gambaran kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

STIKes Faletehan
41

Gambaran kegemukan pada anak balita dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.2
Distribusi Status KegemukanAnak Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Status Kegemukan Frekuensi Persentase %
Gemuk 44 44,0%
Tidak Gemuk 56 56,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.2 dari 100anak balita,sebanyak 44anak balita (44,0%)


mengalami kegemukandan 56anak balita (56.0%) yang mengalami
kegemukan.

2. Gambaran karakteristik anak balita (jenis kelamin, umur, dan berat badan
lahir) di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Karakteristik anak balita terdiri dari jenis kelamin, umur, dan berat badan
lahir. Gambaran sebarankarakteristik anak balita adalah sebagai berikut:

a. Jenis kelamin

Gambaran karakteristik anak balita menurut kategori jenis kelamin


dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.3
Distribusi Karakteristik Anak Balita Menurut Kategori Jenis
Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase %
Laki-laki 45 45,0%
Perempuan 55 55,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui dari 100anak balita, sebanyak 45anak


balita (45,0%) yang berjenis kelamin laki-lakidan sebanyak 55anak
balita (55,0%) yang berjenis kelamin perempuan.

b. Umur

Gambaran karakteristik anak balita menurut kategori umur dapat


dilihat pada tabel berikut ini:

STIKes Faletehan
42

Tabel 5.4
Distribusi Karakteristik Anak Balita Menurut Kategori Umur
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Umur Frekuensi Persentase %
36-59 bulan 60 60,0%
24-35 bulan 40 40,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.4, diketahui dari 100anak balita, sebanyak 60anak


balita (60,0%) termasuk kedalam kelompok umur 36-59 bulandan
sebanyak 40anak balita (40,0%) kelompok umur 24-35 bulan.

c. Berat badan lahir

Gambaran karakteristik anak balita menurut kategori berat badan lahir


dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.5
Distribusi Karakteristik Anak Balita Menurut Kategori Berat
Badan Lahir Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Kategori Berat Badan Lahir Frekuensi Persentase %
Beresiko 14 14,0%
Tidak beresiko 86 86,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.5, diketahui dari 100anak balita,sebanyak 14anak


balita (14,0%) yang termasuk kedalam kategori berat badan lahir
beresiko dan sebanyak 86anak balita (86,0%) yang termasuk kedalam
kategori berat badan lahir tidak beresiko.

3. Gambaran konsumsi gizi (energi dan protein) anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Gambaran sebaranKonsumsi gizi(energi dan protein) anak balita adalah


sebagai berikut:

a. Konsumsi energi

Gambaran konsumsi energi anak balita dapat dilihat pada tabel berikut
ini:

STIKes Faletehan
43

Tabel 5.6
Distribusi Konsumsi Energi Anak Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Kategori Konsumsi Energi Frekuensi Persentase %
Lebih 43 43,0%
Cukup 57 57,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.6, diketahui dari 100anak balita,sebanyak 43anak


balita (43,0%) mengkonsumsi energi dalam kategori lebih, dan
sebanyak 57 anak balita (57,0%) mengkonsumsi energi dalam
kategori.

b. Konsumsi protein

Tabel 5.7
Distribusi Konsumsi Protein Anak Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Konsumsi Protein Frekuensi Persentase %
Lebih 25 25,0%
Cukup 75 75,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.7 diatas, diketahui dari 100anak balita, sebanyak


25anak balita (25,0%) mengkonsumsi protein dalam kategori lebih,
dan sebanyak 75 anak balita (75,0%) mengkonsumsi protein dalam
kategori cukup.

4. Gambaran aktifitas fisik anak balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon,


Kota Cilegon tahun 2018
Tabel 5.8
Distribusi Aktifitas Fisik Anak Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Aktifitas Fisik Frekuensi Persentase %
Kurang 21 21,0%
Cukup 79 79,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

STIKes Faletehan
44

Berdasarkan tabel 5.8, diketahui dari 100anak balita, sebanyak 21anak


balita (21,0%) melakukan aktifitas fisik dalam kategori kurang dan 79anak
balita (79,0%) melakukan aktifitas fisik dalam kategori cukup.

5. Gambaran kebiasaan makan (Konsumsi buah & sayur, konsumsi makanan


berlemak, dan konsumsi makanan/minuman manis) anak balita di wilayah
kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Gambaran sebaran kebiasaan makan (konsumsi buah & sayur, konsumsi


makanan berlemak, dan konsumsi makanan & minuman manis) anak
balita adalah sebagai berikut:

a. Konsumsi buah dan sayur

Gambaran kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayur anak balita dapat


dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.9
Distribusi Kebiasaan Anak Balita Konsumsi Buah dan Sayur
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Kebiasaan Konsumsi Buah dan Sayur Frekuensi Persentase %
Kurang (<5 hari/minggu) 81 81,0%
Cukup (≥ 5-7 hari/minggu) 19 19,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.9, diketahui dari 100anak balita, sebanyak 81anak


balita (81,0%) memiliki kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayur
dalam kategori kurang (<5 hari/minggu)dan sebanyak 19anak balita
(19,0%) memiliki kebiasaan konsumsi buah dan sayur dalam kategori
cukup (≥ 5-7 hari/minggu).

b. Konsumsi makanan berlemak

Gambaran kebiasaan anak balita mengkonsumsi makanan berlemak


dapat dilihat pada tabel berikut ini:

STIKes Faletehan
45

Tabel 5.10
Distribusi Kebiasaan Anak Balita Konsumsi Makanan Berlemak
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Kebiasaan Konsumsi Makanan Frekuensi Persentase %
Berlemak
Sering (≥3 hari/minggu) 67 67,0%
Jarang (<3 hari/minggu) 33 33,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.10, diketahui dari 100anak balita, sebanyak


67anak balita (67,0%) memiliki kebiasaankonsumsi makanan
berlemak dalam kategori sering (≥3 hari/minggu) dan 33anak balita
(33,0%) memiliki kebiasaankonsumsi makanan berlemak dalam
kategori jarang (<3 hari/minggu).

c. Konsumsi makanan/minuman manis

Gambaran kebiasaan anak balita mengkonsumsi makanan/minuman


manis dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.11
Distribusi Kebiasaan Anak Balita Konsumsi Makanan/Minuman
Manis Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Kebiasaan Konsumsi Frekuensi Persentase %
Makanan/Minuman Manis
Sering (≥3 hari/minggu) 90 90,0%
Jarang (<3 hari/minggu) 10 10,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.11, diketahui dari 100anak balita, sebanyak


90anak balita (90,0%) memiliki kebiasaan konsumsi
makanan/minuman manis dalam kategori sering (≥3 hari/minggu) dan
sebanyak 10anak balita (10,0%) memiliki kebiasaan konsumsi
makanan/minuman manis dalam kategori jarang (<3 hari/minggu).

6. Gambaran karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan


jumlah anggota keluarga) di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota
Cilegon tahun 2018

STIKes Faletehan
46

Gambaran sebaran karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,


dan jumlah anggota keluarga) adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan ibu

Tabel 5.12
Distribusi Karakteristik Keluarga Kategori Pendidikan Ibu
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Pendidikan Ibu Frekuensi Persentase %
Rendah (≤ SMP) 39 39,0%
Tinggi (> SMP) 61 61,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.12, diketahui dari 100 anak balita, sebanyak 39


anak balita (39,0%) memiliki ibu dengan kategori pendidikan rendah
(≤SMP) dan sebanyak 61 anak balita (61,0%) memiliki ibu dengan
kategori pendidikan tinggi (>SMP).

b. Pekerjaan ibu

Gambaran karakteristik keluarga kategori pekerjaan ibu dapat dilihat


pada tabel berikut ini:
Tabel 5.13
Distribusi Karakteristik Keluarga Kategori Pekerjaan Ibu
Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Pekerjaan Ibu Frekuensi Persentase %
Bekerja 20 20,0%
Tidak bekerja 80 80,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.13, diketahui dari 100 anak balita, sebanyak 20


anak balita (20,0%) memiliki ibu bekerja dan sebanyak 80 anak balita
(80,0%) memiliki ibu tidak bekerja.

c. Jumlah anggota keluarga

Gambaran karakteristik keluarga kategori jumlah anggota keluarga


dapat dilihat pada tabel berikut ini:

STIKes Faletehan
47

Tabel 5.14
Distribusi Karakteristik Keluarga Kategori Jumlah Anggota
Keluarga Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilTahun 2018
Jumlah Anggota Keluarga Frekuensi Persentase %
Kecil (≤ 4 orang) 11 11,0%
Besar (> 4 orang) 89 89,0%
Jumlah 100 100%
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.14, sebagian besar keluarga balita memiliki


jumlah anggota > 4 orang (keluarga besar (> 4 orang) yaitu sebanyak
89 keluarga balita (89.0%), sedangkan 11 keluarga balita (11,0%)
beranggota kurang atau sama dengan 4 orang (keluarga kecil (≤ 4
orang).

C. Analisis Bivariat

1. Hubungan karakteristik anak balita (jenis kelamin, umur, dan berat badan
lahir) dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Hasil penelitian yang dilakukanmengenaihubungankarakteristik anak


balita (jenis kelamin, umur, dan berat badan lahir) dengan kegemukan
pada anak balitaadalah sebagai berikut:

a. Hubungan antara jenis kelamin dengan kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan kegemukan pada


anak balita adalah sebagai berikut:
Tabel 5.15
HubunganAntara Jenis Kelamin Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Jenis Status Kegemukan
Gemuk Tidak Gemuk Total Nilai P
kelamin
22 23 45
Laki-laki
(48,9%) (51,1%) (100%)
22 33 55
Perempuan 0,491
(40,0%) (60,0%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

STIKes Faletehan
48

Berdasarkan tabel 5.15, diperoleh dari 45 anak balita yang mempunyai


jenis kelamin laki-laki yang mengalami kegemukan sebanyak 22 anak
balita (48,9%) dan tidak mengalami kegemukan sebanyak 23 anak
balita (51,1%).Sedangkan dari 55 anak balita yang mempunyai jenis
kelamin perempuan yang mengalami kegemukan yaitu sebanyak 22
anak balita (40,0%) dan yang tidak mengalami kegemukan sebanyak
33 anak balita (60,0%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,491 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α 5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kegemukan
pada anak balita (nilai p>0,05).

b. Hubungan antara umurdengan kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara umur dengan kegemukan pada anak


balita adalah sebagai berikut:

Tabel 5.16
HubunganAntara Umur Dengan Kegemukan Pada Anak Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Umur Gemuk Tidak Gemuk Total Nilai P
31 29 60
36-59 Bulan
(51,7%) (48,3%) (100%)
13 27 40
24-35 Bulan 0,092
(32,5%) (67,5%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.16, diperoleh dari 60 anak balita yang berumur 36-
59 bulan yang mengalami kegemukan sebanyak 31 anak balita (51,7%)
dan tidak mengalami kegemukan sebanyak 29 anak balita
(48,3%).Sedangkan dari 40 anak balita yang berumur 24-35 bulan
yang mengalami kegemukan yaitu sebanyak 13 anak balita (32,5%)
dan yang tidak mengalami kegemukan sebanyak 27 anak balita
(67,5%).

STIKes Faletehan
49

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,092 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kegemukan pada
anak balita (nilai p>0,05).

c. Hubungan antara berat badan lahir dengan kegemukan pada anak


balita

Hasil analisis hubungan antara aktifitas fisik dengan kegemukan pada


anak balita adalah sebagai berikut:
Tabel 5.17
HubunganAntara Berat Badan Lahir Dengan Kegemukan Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Berat Badan Status Kegemukan
Gemuk Tidak Gemuk Total Nilai P
Lahir
7 7 14
Beresiko
(50,0%) (50,0%) (100%)
37 49 86
Tidak Beresiko 0,844
(43,0%) (57,0%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.17, diperoleh dari 14 anak balita yang mempunyai


berat badan lahir dalam kategori beresiko yang mengalami
kegemukandan tidak mengalami kegemukan masing-masing sebanyak
7 anak balita (50,0%). Sedangkan dari 86 anak balita yang mempunyai
berat badan lahirdalam kategori tidak beresiko yang mengalami
kegemukan yaitu sebanyak 37 anak balita (43,0%) dan yang tidak
mengalami kegemukan sebanyak 49 anak balita (57,0%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,844 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan
kegemukan pada anak balita (nilai p>0,05).

2. Hubungan konsumsi gizi (energi dan protein) anak balita dengan


kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota
Cilegon tahun 2018

STIKes Faletehan
50

a. Hubungan antara konsumsi energi dengan kegemukan pada anak balita


Hasil analisis hubungan antara konsumsi energi dengan kegemukan
pada anak balita adalah sebagai berikut:

Tabel 5.18
HubunganAntara Konsumsi Energi Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Nilai
Konsumsi Energi Gemuk Tidak Total OR
P
Gemuk
36 7 43
Lebih 31,500
(83,7%) (16,3%) (100%)
0,000 (10,466-
8 49 57
Cukup 94,806)
(15,8%) (84,2%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.18, diperoleh dari 43 anak balita yang


mengkonsumsi energi dengan kategori lebih yang mengalami
kegemukan sebanyak 36 anak balita (83,7%) dan tidak mengalami
kegemukan sebanyak 7 anak balita (16,3%).Sedangkan dari 57 anak
balita yang mengkonsumsi energi dengan kategori cukup yang
mengalami kegemukan yaitu sebanyak 8 anak balita (15,8%) dan yang
tidak mengalami kegemukan sebanyak 49 anak balita (84,2%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% ada
hubungan yang signifikan antara konsumsi energi dengan kegemukan
pada anak balita (nilai p≤0,05).

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR=31,500 yang artinya anak
balitayang mengkonsumsi energi dalam kategori lebih mempunyai
peluang 31,500 kali menjadi gemuk dibanding anak balita yang
mengkonsumsi energi dalam kategori cukup.

STIKes Faletehan
51

b. Hubungan antara konsumsi protein dengan kegemukan pada anak


balita

Hasil analisis hubungan antara konsumsi energi dengan kegemukan


pada anak balita adalah sebagai berikut:

Tabel 5.19
HubunganAntara Konsumsi Protein Dengan Kegemukan Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Konsumsi Nilai
Gemuk Tidak Total OR
Protein P
Gemuk
21 4 25
Lebih 11,870
(84,0%) (16,0%) (100%)
0,000 (3,660-
23 52 75
Cukup 38,494)
(30,7%) (69,3%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.19, diperoleh dari 25 anak balita yang


mengkonsumsi protein dengan kategori lebih yang mengalami
kegemukan sebanyak 21 anak balita (84,0%) dan tidak mengalami
kegemukan sebanyak 4 anak balita (16,0%).Sedangkan dari 75 anak
balita yang mengkonsumsi protein dengan kategori cukup yang
mengalami kegemukan yaitu sebanyak 23 anak balita (30,7%) dan
yang tidak mengalami kegemukan sebanyak 52 anak balita (69,3%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% ada
hubungan yang signifikan antara umur dengan kegemukan pada anak
balita (nilai p≤0,05).

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR=11,870 yang artinya anak
balitayang mengkonsumsi protein dalam kategori lebih mempunyai
peluang 11,870 kali menjadi gemuk dibanding anak balita yang
mengkonsumsi protein dalam kategori cukup

STIKes Faletehan
52

3. Hubungan antara aktifitas fisik dengan kegemukan pada anak balita di


wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Hasil analisis hubungan antara aktifitas fisik dengan kegemukan pada anak
balita adalah sebagai berikut:

Tabel 5.20
HubunganAntara AktifitasFisik Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Aktifitas
Gemuk Tidak Total Nilai P
Fisik
Gemuk
11 10 21
Kurang
(52,4%) (47,6) (100%)
0,533
33 46 79
Cukup
(41,8%) (58,2%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.20, diperoleh dari 21 anak balita yang melakukan


aktifitas fisik dalam kategori kurang yang mengalami kegemukan
sebanyak 11 anak balita (52,4%) dan tidak mengalami kegemukan
sebanyak 10 anak balita (47,6%).Sedangkan dari 79 anak balita yang
melakukan aktifitas fisik dengan kategori cukup yang mengalami
kegemukan yaitu sebanyak 33 anak balita (41,8%) dan yang tidak
mengalami kegemukan sebanyak 46 anak balita (44,0%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai
p=0,533 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α 5% tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur dengan kegemukan pada anak
balita (nilai p>0,05).

4. Hubungan kebiasaan makan anak balita (konsumsi buah dan sayur,


konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi makanan/minuman manis)
dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon,
Kota Cilegon tahun 2018

STIKes Faletehan
53

a. Hubungan antara kebiasaan konsumsi buah dan sayur dengan


kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara kebiasaan konsumsi buah dan sayur


dengan kegemukan pada anak balita adalah sebagai berikut:
Tabel 5.21
HubunganAntara Kebiasaan Konsumsi Buah dan Sayur Dengan
Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
CilegonTahun 2018
Kebiasan Status Kegemukan
Konsumsi Gemuk Tidak
Total Nilai P
Buah dan Gemuk
Sayur
Kurang (<5 36 45 81
hari/minggu) (44,4%) (56,6) (100%)
1,000
Cukup (≥5-7 8 11 19
hari/minggu) (42,1%) (57,9%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.21, diperoleh dari 81 anak balita yang mempunyai


kebiasaan konsumsi buah dan sayur dalam kategori kurang yang
mengalami kegemukan sebanyak 36 anak balita (44,4%) dan tidak
mengalami kegemukan sebanyak 45 anak balita (56,6%).Sedangkan
dari 19 anak balita yang dengan kategori cukup yang mengalami
kegemukan yaitu sebanyak 8 anak balita (42,1%) dan yang tidak
mengalami kegemukan sebanyak 11 anak balita (57,9%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α 5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kegemukan pada
anak balita (nilai p>0,05).

b. Hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan


kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak


dengan kegemukan pada anak balita adalah sebagai berikut:

STIKes Faletehan
54

Tabel 5.22
HubunganAntara Kebiasaan Konsumsi Makanan Berlemak
Dengan Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas CilegonTahun 2018
Kebiasan Status Kegemukan
Konsumsi Gemuk Tidak Nilai OR
Total
Makanan Gemuk P
Berlemak
Sering (≥ 3 38 29 67
5,897
hari/minggu) (56,7%) (37,5%) (100%)
0,001 (2,152-
Jarang <3 6 27 33
16,157)
hari/minggu) (18,2%) (81,8%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.22, diperoleh dari 67 anak balita yang mempunyai


kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan kategori sering yang
mengalami kegemukan sebanyak 38 anak balita (56,7%) dan tidak
mengalami kegemukan sebanyak 29 anak balita (67,0%).Sedangkan
dari 33 anak balita yang mempunyai kebiasaan konsumsi makanan
berlemak dengan kategori jarang yang mengalami kegemukan yaitu
sebanyak 6 anak balita (18,2%) dan yang tidak mengalami kegemukan
sebanyak 27 anak balita (81,8%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,001 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α 5% ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan konsumsi makanan
berlemak dengan kegemukan pada anak balita (nilai p≤0,05).

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR= 5,897 yang artinya anak
balitayang mempunyai kebiasaan konsumsi makanan berlemak dalam
kategori sering mempunyai peluang 5,897 kali menjadi gemuk
dibanding anak balita mempunyai kebiasaan konsumis makanan
berlemak dalam kategori jarang.

STIKes Faletehan
55

c. Hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan/minuman manis


dengan kegemukan pada anak balita

Tabel 5.23
HubunganKebiasaan Konsumsi Makanan/Minuman Manis
Dengan Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas CilegonTahun 2018
Status
Kebiasan
Kegemukan Nilai OR
Konsumsi Makan/ Total
Gemuk Tidak P
Minuman Manis
Gemuk
44 46 90
Sering (≥ 3
(48,9%) (51,1% (100%)
hari/minggu)
) -
Jarang <3 0 10 10
0,002
hari/minggu) (0%) (100%) (100%)
44 56 100
Total (44,0%) (56,0% (100%)
)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.23, diperoleh dari 90 anak balita yang mempunyai


kebiasaan konsumsi makanan/minuman manis dengan kategori sering
yang mengalami kegemukan sebanyak 44 anak balita (48,9%) dan
tidak mengalami kegemukan sebanyak 46 anak balita
(51,1%).Sedangkan dari 10 anak balita yang mempunyai kebiasaan
konsumsi makanan/minuman manis dengan kategori jarang yang
semuanya tidak mengalami kegemukan atau sebanyak 10 anak balita
(100%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,002 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan konsumsi
makanan/minuman manis dengan kegemukan pada anak balita (nilai
p≤0,05). Nilai OR tidak diketahui dikarenakan dari 10 anak balita yang
mempunyai kebiasaan konsumsi makanan/minuman manis dengan
kategori jarang tidak ada yang mengalami kegemukan.

STIKes Faletehan
56

5. Hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,


dan jumlah anggota keluarga) dengan kegemukan pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Hubungan antara pendidikan ibu dengan kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu dengan kegemukan


pada anak balita adalah sebagai berikut:

Tabel 5.24
HubunganAntara Pendidikan Ibu Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Pendidikan
Gemuk Tidak Total Nilai P
Ibu
Gemuk
Rendah 14 25 39
(≤SMP) (35,9%) (64,1%) (100%)
0,272
Tinggi 30 31 61
(>SMP) (49,2%) (50,8%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.24, diperoleh dari 39 anak balita yang mempunyai


ibu dengan pendidikan dalam kategori rendah yang mengalami
kegemukan sebanyak 14 anak balita (35,9%) dan tidak mengalami
kegemukan sebanyak 25 anak balita (64,1%).Sedangkan dari 61 anak
balita yang mempunyai ibu dengan pendidikan dalam kategori tinggi
yang mengalami kegemukan yaitu sebanyak 30 anak balita (49,2%)
dan yang tidak mengalami kegemukan sebanyak 31 anak balita
(50,8%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,272 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan
kegemukan pada anak balita (nilai p>0,05).

b. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kegemukan pada anak balita

Hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu dengan kegemukan pada


anak balita adalah sebagai berikut:

STIKes Faletehan
57

Tabel 5.25
HubunganAntara Pekerjaan Ibu Dengan Kegemukan Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun 2018
Status Kegemukan
Pekerjaan
Gemuk Tidak Total Nilai P
Ibu
Gemuk
12 8 20
Bekerja
(60,0%) (40,0%) (100%)
0,174
32 48 80
Tidak bekerja
(40,0%) (60,0%) (100%)
44 56 100
Total
(44,0%) (56,0%) (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.24, diperoleh dari 20 anak balita yang mempunyai


ibu bekerja yang mengalami kegemukan sebanyak 12 anak balita
(60,0%) dan tidak mengalami kegemukan sebanyak 8 anak balita
(40,0%).Sedangkan dari 80 anak balita yang mempunyai ibu tidak
bekerja yang mengalami kegemukansebanyak 32 anak balita (40,0%)
dan yang tidak mengalami kegemukan sebanyak 48 anak balita
(60,0%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=0,174 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kegemukan
pada anak balita (nilai p>0,05).

c. Hubungan jumlah anggota keluarga dengan kegemukan pada anak


balita

Tabel 5.26
Hubungan Antara Jumlah Anggota Keluarga Dengan Kegemukan
Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CilegonTahun
2018
Status Kegemukan
Jumlah Anggota
Gemuk Tidak Total Nilai P
Keluarga
Gemuk
Kecil (≤ 4 orang) 5 (45,5%) 6 (54,5%) 11 (100%) 1,000

STIKes Faletehan
58

Besar (> 4 orang) 39 (43,8%) 50 (56,2%) 89 (100%)


Total 44 (44,0%) 56 (56,0%) 100 (100%)
Sumber: Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.26, diperoleh dari 11 anak balita yang mempunyai


jumlah anggota keluarga kategori kecil yang mengalami kegemukan
sebanyak 5 anak balita (45,5%) dan tidak mengalami kegemukan
sebanyak 6 anak balita (54,5%).Sedangkan dari 89 anak balita yang
mempunyai jumlah anggota keluarga kategori besar yang mengalami
kegemukansebanyak 39 anak balita (43,8%) dan yang tidak mengalami
kegemukan sebanyak 50 anak balita (56,0%).

Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh


nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan secara statistis pada α5% tidak
ada hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan
kegemukan pada anak balita (nilai p>0,05).

STIKes Faletehan
BAB VI
PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Gambaran kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Berdasarkan tabel 5.2, gambaran kegemukan dikelompokan menjadi


gemuk dan tidak gemuk dimana status gemuk merupakan hasil dari analisa
penentuan status gizi menurut BB/TB berdasarkan tabel antropometri yang
mengacu pada standar WHO 2005. Dari kategori yang ada diketahui
proporsi kegemukan pada anak balita sebesar 44,0%, sedangkan sisanya
tidak mengalami kegemukan yaitu sebesar 56,0%.

Pada penelitian terkait oleh Rahmawati (2009) pada anak usia sekolah
dasar (8-12 tahun) dengan indikator IMT, proporsi status kegemukan
sebesar 39,0%, dan yang tidak mengalami kegemukan yaitu sebesar
61,0%. Sedangkan penelitian Musadat (2010) pada anak usia 6-14 tahun
dengan indikator BB/TB, proporsi kegemukan sebesar 12,7% dan yang
tidak mengalami kegemukan sebesar 87,3%.

Penelitian lainnya yang mendapatkan hasil prevalensi kegemukan


adalahpada penelitian Dianah (2011) tentang asupan energi sebagai faktor
utamaterhadap kegemukan pada anak baduta di propinsi Sumatera
menyebutkanproporsi baduta gemuk adalah 23,0% dengan menggunakan
indikator BB/PB. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Fitriarni
(2012) pada anak balita usia 6-23 bulan dengan indikator BB/PB, didapat
proporsi kegemukan sebesar 21,0% sedang yang tidak mengalami
kegemukan sebesar 79,0%.

Hasilpenelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian sebelumnya


Rahmawati (2009), walaupunterdapat perbedaan indikator yang
digunakan.Namun terdapat perbedaan cukup jauh dari penelitian Fitriarni
(2012), Dianah (2011) dan Musadat (2010).

59
STIKes Faletehan
60

Pada hasil penelitian ini pada kelompok usia 24-35 bulan memiliki berat
badan rata-rata 13,9 Kg, sedangkan padakelompok usia 36-59 bulan
memiliki berat badanrata-rata 19,8 Kg. Berat badan anak balita di wilayah
kerja Puskesmas Citangkillebih berat jika dibandingkan dengan rata-rata
berat badan orang Indonesia pada kelompok masing-masing umur. Rata-
rata berat badan orang Indonesia pada usia 24-35 bulan adalah 12 Kg,
sedangkan usia 36-59 bulan adalah 17 Kg.

Disisi lain hasil penelitian ini pada kelompok usia 24-35 bulan memiliki
tinggi badan rata-rata 86,74 cm, sedangkan pada usia 36-59 bulan
memiliki tinggi badan 99,9 cm. dimana tinggi badan anak balita di wilayah
kerja Puskesmas Citangkillebih pendek jika dibandingkan dengan rata-rata
tinggi badan orang Indonesia pada golongan masing-masing umur, dimana
rata-rata tinggi badan orang Indonesia pada usia 24-35 bulan adalah 90,0
cm, sedangkan usia 36-59 bulan adalah 110,0 cm.

Sehingga dapat diambil kesimpulan rata-rata anak balita di wilayah kerja


Puskesmas Citangkilmemiliki berat badan lebih berat dan tinggi badan
lebih pendek dari rata-rata orang Indonesia yang apabila di
proporsionalkan berat badan terhadap tinggi badan akan menjadi gemuk.
Rata-rata berat badan dan tinggi badan bagi orang Indonesia dapat dilihat
pada lampiran Tabel Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi Orang Indonesia.

Tingginya prevalensi kegemukan mengindikasikan bahwa pertumbuhan


pada anak terkait dengan faktor jangka panjang.Tingkat sosial ekonomi
tinggi dan status lingkungan yang baik ditemukan menjadi protektif
terhadap kegemukan.Fenomena kegemukan merupakan ancaman yang
serius karena terjadi di berbagai kelompok usia, strata ekonomi, tingkat
pendidikan, desa maupun kota. Peningkatan pendapatan pada kelompok
masyarakat terutama di perkotaan menyebabkan perubahan gaya hidup,
terutama dalam hal pola makan. Saat ini pola makan masyarakat bergeser
dari pola makan yang tadinya tinggi karbohidrat kompleks, tinggi serat,
dan rendah lemak berubah ke pola makan yang tinggi karbohidrat

STIKes Faletehan
61

sederhana, rendah serat, dan tinggi lemak, sehingga menggeser mutu


makanan kearah tidak seimbang.

2. Gambaran karakteristik anak balita (jenis kelamin, umur, dan berat badan
lahir) di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Jenis kelamin

Umur dan jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan


kebutuhan gizi, dan akan berpengaruh terhadap status gizi, sehingga
terdapat hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan status gizi.

Berdasarkan tabel 5.3, sebaran anak balita menurut jenis


kelaminsebanyak 45,0% anak balita yang mempunyai jenis kelamin
laki-lakidan 55,0% anak balita yang mempunyai jenis kelamin
perempuan, sebaran ini tidak jauh berbeda jika dilihat berdasarkan
Sensus penduduk pada tahun 2010 wilayah kecamatan Cilegon
proporsi anak balita di usia 0-59 bulan adalah sebesar 51,95 %
memiliki jenis kelamin laki-laki dan sebesar 48,05% memiliki jenis
kelamin perempuan.

Pada penelitian terkait mengenai kegemukan oleh Musadat, 2010 pada


variabel jenis kelamin proporsi anak laki-laki hampir sama dengan
anak perempuan yaitu 51,9% dan 48,1%. Hasil serupa juga didapatkan
dari Rahmawati, 2009 proporsi laki-laki lebih banyak yatu 55,7%,
sedangkan proporsi perempuan lebih sedikit yaitu 44,3%.

b. Umur

Dalam kategori umur anak balita dikelompokan manjadi 2 yaitu umur


24-35 bulan dan 36-59 bulan. Berdasarkan tabel 5.4, proporsi anak
balita kelompok umur 36-59 bulan sebanyak 60,0% ini lebih tinggi
dibanding dengan anak balita kelompok umur 24-35 bulan yaitu 40%.
Rata-rata umur adalah 40,04 bulandengan standar deviasi ±10,4 bulan.

Berdasarkan hasil Sensus penduduk pada tahun 2010 proporsi anak


balita kelompok umur 24-35 bulan 42,87% sedangkan pada usia 36-59
bulan sebesar 57,13%.

STIKes Faletehan
62

Hasil penelitian yang melibatkan balita usia 12-59 bulan oleh Fitri
(2012) mengenai stunting proporsi umur balita terbanyak terdapat pada
kelompok umur 12-36 bulan (53.3%) dibandingkan balita pada
kelompok umur 37-59 bulan (46.7%).

Pada anak balita diusia 36-59 bulan anak merupakan konsumen aktif
pada usia tersebut anak balita sudah bisa memilih makanan yang
disukai berbeda dengan anak usia 24-35 bulan rata-rata anak usia
tersebut masih mengandalkan makanan yang disediakan oleh orang tua
atau keluarganya.

c. Berat badan lahir

Masalah kegemukan dapat berawal dari masa bayi dimana berat badan
lahir juga mencerminkan kualitas pemeliharaan kesehatan mencakup
pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama kehamilannya.
Kategori berat badan lahir dikategorikan menjadi 2 yaitu kategori
beresiko jika berat badan lahir <2500 gram atau >4000 gram,
sedangakan kategori tidak beresiko jika berat badan lahir 2500-4000
gram.

Berdasarkan tabel 5.5, sebanyak 14,0% anak balitayang memiliki berat


badan lahir kategori beresiko dimana masing-masing 8,0% berat badan
lahir rendah (BBLR) dan 6,0% berat badan lahir besar sedangkan
sebanyak 86,0% anak balita yang memiliki berat badan lahir kategori
tidak beresiko. Rata-rata berat badan lahir adalah 3115,2 gram dengan
standar deviasi ±467,55 gram. Berat badan lahir terendah adalah 2150
gram dan tertinggi adalah 4300 gram.

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terkait
berat badan lahir terhadap kegemukan oleh Fitriarni (2012)
menunjukkan bahwa berat lahir anak usia 6-23 bulan sebagian besar
adalah normal (91,3%),sedangkan untuk anak yang berat lahirnya
besar sebanyak 7,4% dan untuk berat lahir rendah sebesar 1,3%. Rata-
rata berat lahir adalah 3194,38 gram dengan standar deviasi ±479,94

STIKes Faletehan
63

gram. Beratlahir terendah adalah 1000 gram dan tertinggi adalah 5500
gram.

Gambaran karakteristik anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Citangkiltahun 2018 jika dianalisis lebih lanjutproporsi anak balita yang
memiliki jenis kelamin laki-laki yang berusia 36-59 bulan dengan riwayat
berat badan lahir dalam kategori beresiko adalah sebesar 50,0% dari
jumlah keseluruhan anak balita yang memiliki berat lahir beresiko. Perlu
diketahui resiko kegemukan terjadi pada kelompok anak balita yang
memiliki jenis kelamin laki-laki, pada kelompok anak balita berusia 36-59
bulan, dan pada kelompok anak balita dengan riwayat BBLR.

3. Gambaran konsumsi gizi (energi dan protein) anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Konsumsi energi

Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik.Anak yang


kurangaktif, dapat menjadi kelebihan berat badannya atau mungkin
obesitas.Konsumsi energi juga ditentukan berdasarkan umur.

Dalam penelitian konsumsi energi dibagi menjadi 2 kategori yaitu


kategori lebih apabila konsumsi energi >110% AKG sedangkan cukup
apabila konsumi energi ≤110% AKG.Berdasarkan tabel 5.6, proporsi
anak balita yang mengkonsumsi energi lebih (>110% AKG) yaitu
sebesar 43,0%, sedangkan sebesar 57,0% mengkonsumsi energi
kategori cukup. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian mengenai
kegemukan oleh Musadat, 2010 sebagian besar 58,6%
konsumsienerginya tergolong normal sedangkan sisanya 41,4%
konsumsi energinyakategori lebih.

Berbeda dengan hasil penelitian Fitri (2012) bahwa proporsi konsumsi


energi kategori kurang (50,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan
konsumsi energi dengan kategori cukup (49,5%).

STIKes Faletehan
64

Perbedaan hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat disebabkan


oleh perbedaan tempat penelitian, jumlah sampel dan variabel
independennya.

Rata-rata konsumsienergi usia 24-35 bulan adalah 1046,86Kkal


dengan standar deviasi ±90,05 Kkal. Konsumsi energi terendah adalah
776 Kkal dan tertinggi adalah 1276 Kkal. Sedangkan pada usia 36-59
bulan rata-rata konsumsienergi adalah 1574,83Kkal dengan standar
deviasi ±334,7 Kkal. Konsumsi energi terendah adalah 1176 Kkal dan
tertinggi adalah 1923 Kkal.

b. Konsumsi protein

Kebutuhan protein sama halnya dengan konsumsi energi sangat


tergantung aktifitas fisik dan kelompok usia. Pengelompokan kategori
konsumsi protein pun sama seperti energi yaitu kategori lebih apabila
konsumsi protein >110% AKG sedangkan cukup apabila konsumi
protein ≤110% AKG Berdasarkan tabel 5.7, proporsi anak balita yang
mengkonsumsi protein lebih (>110 AKG) yaitu sebesar 25,0%,
sedangkan sebesar 75,0% mengkonsumsi protein cukup (≤110%
AKG).

Hasil penelitian terkait mengenai kegemukan oleh Musadat, 2010


sebagian besar secara umum 54,2% konsumsi protein adalah termasuk
kategori lebih, sedangkan sisanya 45,8% kedalam kategori cukup.
Berbeda dengan hasil penelitian Fitri, 2012 bahwa proporsi konsumsi
protein kategori cukup 71,2% lebih tinggi dibandingkan dengan
konsumsi protein dengan kategori kurang 28,8%.

Rata-rata konsumsiprotein usia 24-35 bulan adalah 25,38 gr dengan


standar deviasi ±5,2 gr. Konsumsi protein terendah adalah 18 gr dan
tertinggi adalah 32 gr. Sedangkan pada usia 36-59 bulan rata-rata
konsumsiprotein adalah 38,25 gr dengan standar deviasi ±7,69 gr.
Konsumsi protein terendah adalah 23 gr dan tertinggi adalah 37 gr.

Konsumsi protein berbanding lurus dengan konsumsi energi dimana


apabila konsumsi protein lebih dapat dipastikan konsumsi energinya pun

STIKes Faletehan
65

lebih, tetapi bila konsumsi energi tergolong lebih belum tentu konsumsi
proteinnya lebih.Hal ini disebabkan karena protein hanya menyumbang 4
kkal dalam 1 gram protein.

Gambaran konsumsi gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Citangkiltahun 2018 jika dianalisis lebih lanjut proporsi anak balita
mengkonsumsi protein dalam kategori lebih dengan konsumsi energi lebih
adalah sebesar96,0% dari jumlah keseluruhan anak balita yang
mengkonsumsi protein dalam kategori lebih. Sedangkan proporsi anak
balita yang mengkonsumsi energi lebih dengan konsumsi protein lebih
adalah sebesar 55,81% dari jumlah keseluruhan anak balita yang
mengkonsumsi energi lebih.Perlu diketahui bahwa resiko kegemukan
terjadi pada kelompok anak balita dengan konsumsi energi lebih dan pada
kelompok anak balita dengan konsumsi protein lebih.

4. Gambaran aktifitas fisik anak balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon,


Kota Cilegon tahun 2018

Kategori aktifitas fisik dibedakan berdasarkan umur dan dikelompokan


kedalam kategori cukup dan kurang. Pada anak usia24-35 bulan aktifitas
fisik berupa bergerak lewat permainan-permainan fisik, termasuk gerakan
berlari, melompat, dan memanjat. Mereka juga mulai dapat dilatih untuk
melakukan gerakan motorik seperti menendang, menangkap, melempar,
memukul, dan berguling-guling. Sedangkan pada kelompok anak usia 36-
59 bulan selain aktifitas-aktifitas seperti anak usia 24-35 bulan, anak usia
ini mulai beraktifitas fisik yang melatih kestabilan dan kemampuan
mengontrol gerakan seperti naik sepeda. Anak usia ini sudah dapat
beraktifitas fisik sekaligus belajar bersosialisasi dengan teman-teman
seusianya.

Anak akan dikatakan memiliki aktifitas fisik cukup bila melakukan


aktifitas yang dianjurkan minimal 3 jam dalam sehari. Berdasarkan tabel
5.8, diketahui terdapat 21,0% anak balita melakukan aktifitas kurang dari
anjuran dan 79.0% anak balita melakukan aktifitas yang cukup dalam
sehari.

STIKes Faletehan
66

Hasil tidak berbeda jauh dengan penelitian Musadat (2010), bahwa


proporsi responden melakukan aktifitas fisik cukup sebesar 32,5% sedang
responden yang kurang melakukan aktifias fisik sebesar 67,5%.

Dalam penelitian ini rata-rata anak balita usia 24-35 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Citangkilmelakukan aktifitas sebesar2,70 jam dengan standar
deviasi ±0,33 jam. Lama aktifitas terendah adalah 1 jam dan tertinggi
adalah 3 jam, sedangkan aktifitas fisik lebih dari 3 jam pada anak balita
usia 24-35 bulan sebanyak 10,5%.

Pada anak balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Citangkil
rata-rata melakukan aktifitas sebesar2,89 jam dengan standar deviasi ±0,62
jam. Lama aktifitas terendah adalah 1 jam dan tertinggi adalah 3 jam,
sedangkan pada anak balita usia 36-59 bulan sebanyak 32,7%.

Berdasarkan wawancara aktifitas fisik anak balita pada usia 24-35 bulan
paling banyak dilakukan pada pagi menjelang siang sekitar pukul 10.00
hingga 11.30 siang, sedangkan aktifitas anak balita usia 36-59 bulan di
wilayah kecamatan Cilegon paling banyak dilakukan pada sore hari sekitar
pukul 04.00 sore hingga 05.30 sore saat bermain dengan teman
sebayanya.

Aktifitas menonton TV atau bermain Video game juga tergolong tinggi


dimana rata-rata pada usia 24-59 bulan sebesar 2,8 jam dengan nilai
terendah 1 jam dan tertinggi 3 jam, sedangkan aktivitas menonton TV atau
Video game lebih dari 3 jam pada anak balita usia 24-35 bulan sebanyak
17,8%.

Proporsiberdasarkan waktu tidur pada anak balita sebesar 80,8% anak


balita usia 24-59 bulan tidur lebih dari 8jam dalam seharisedangkan
kurang dari 8 jam dalam sehari sebesar 19,2%, ini menunjukan bahwa
waktu istirahat pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Citangkilsudah cukup dimana anjuran istirahat untuk anak balita ± 8 jam.

5. Gambaran kebiasaan makan (konsumsi buah & sayur, konsumsi makanan


berlemak, dan konsumsi makanan/minuman manis) anak balita di wilayah
kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

STIKes Faletehan
67

Pada kebiasaan makan anak variabel-variabel yang diteliti kebiasaan


konsumsi buah dan sayur, kebiasaankonsumsi makanan berlemak, dan
kebiasaankonsumsi makanan/minuman manis. Kebiasaan makan ini tidak
menggambarkan kualitas atau seberapa banyak yang dikonsumsi.

Kebiasaan makan anak balita secara pengamatan sangat dipengaruhi oleh


kebiasaan makan orang tuanya, apabila orang tua mempunyai kebiasaan
makan lebih maka anak balita pun akan mengikutinya.

a. Kebiasaan konsumsi buah dan sayur

Kategorian kebiasaan konsumsi buah dan sayur dibagi menjadi dua


yaitu cukup dankurang. Kebiasaan makan buah dan sayur dikatakan
cukup jika mengkonsumsi buah dan sayur lebihdari atau sama dengan5
hari dalam seminggu, jadi apabila konsumsi buah ≥5 hari/minggu
sedangkan konsumsi sayuran <5 hari/minggu maka kategori kebiasaan
konsumsi buah dan sayur kurang, begitupun sebaliknya. Sedangkan
apabila konsumsi buah dan sayur sama-sama ≥5hari/minggu maka
dikatakan cukup.

Berdasarkan tabel 5.9, proporsikebiasaan mengkonsumsi buah dan


sayur kurang(<5 hari/minggu)anak balita yaitu 81,0% lebih tinggidari
balita yang memiliki kebiasaan makan buah dan sayur yang cukup (≥
5-7 hari/minggu) 19,0%. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Musadat (2010), bahwa proporsi responden mengkonsumsi buah dan
sayur dengan kategori cukup sebesar 39,8% dan dengan kategori
kurang sebesar 60,2%.

Kecilnya kebiasaan anak balita mengkonsumsi buah dan sayur


berdasarkan wawancara kepada ibu balita atau pengasuhnya
disebabkan karena anak balita lebih menyukai makan buah dan anak
balita kurang menyukai sayuran.

Berdasarkan hasil wawancara didapat bahwa anak balita usia 24-35


bulandi wilayah kerja Puskesmas Citangkilmengkonsumsi buah rata-
rata sebanyak4,89 hari/minggu dengan standar deviasi ±1,01 hari.
Sedangkan pada usia 36-59 bulan Rata-rata memiliki kebiasaan makan

STIKes Faletehan
68

buah adalah 5,87 hari/minggu dengan standar deviasi ±1,76 hari. Dari
hasil recall 24 jam anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Citangkilpaling banyak di konsumsi adalah jeruk, apel, pisang dan
papaya.

Dari hasil wawancara juga didapat bahwa anak balita usia 24-35
bulandi wilayah kerja Puskesmas Citangkilmengkonsumsi sayur rata-
rata sebanyak3,28 hari/minggu dengan standar deviasi ±0,95 hari.
Sedangkan pada usia 36-59 bulan rata-rata memiliki kebiasaan makan
sayuradalah 3,92 hari/minggu dengan standar deviasi ±0,99
hari.Olahan sayuran paling banyak yang disediakan orang tua adalah
sayur sop, bayam dan soto ayam.

b. Kebiasaan makan makanan berlemak

Kebiasaan makan makanan berlemak dikategorikanmenjadi dua yakni


jarang dan sering. Kebiasaan makan makanan berlemakdikategorikan
sering apabila frekuensi konsumsinya lebih dari atau sama dengan 3
hari dalamsemingu, sedangkan kebiasaan makan makanan berlemak
dikategorikan jarangapabila frekuensi konsumsinya kurang dari 3 hari
dalam seminggu.

Sebaran kebiasaan makan makanan berlemak berdasarkan tabel 5.10,


diketahui proporsi anak balita sebesar 67,0%memiliki kebiasaan sering
(≥3 hari/minggu) makan makanan berlemak dan sebesar 33,0%
memiliki kebiasaan yang jarang (<3 hari/minggu). Proporsi kebiasaan
makan makanan berlemak kategori sering jauh lebih besar dibanding
dengan kategori jarang, hasil penelitian ini sama seperti hasil
penelitian Musadat (2010), yang menyatakan proporsi kebiasaan
makan makanan berlemak dengan kategori sering 89,3% sedangkan
pada kategori jarang sebesar 11,7%.

Berdasarkan wawancara anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Citangkiltahun 2018 konsumsi makanan berlemak berasal dari
makanan gorengan, seperti ayam dengan kulit goreng tepung, orang
tua anak balita menyediakan makanan tersebut dengan tujuan agar

STIKes Faletehan
69

anak cepat kenyang. Perlu diketahui tepung terigu dalam 5 sdm atau 50
gram mengandung 175 kkal, 40 gram KH, sedangkan minyak kelapa
dalam 1 sdt mengandung 50 kkal, 5 gram lemak.

Sumber lemak lainnya berdasarkan hasil recall 1 x 24 jam berasal dari


produk susu. Produk susu dalam ½ gelas rata-rata mengandung ± 100
kalori, ± 6 gram protein dan ± 5 gram lemak.

c. Kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis

Kebiasaan mengkonsumsi makan/minumanmanis


dikategorikanmenjadi dua yakni jarang dan sering. Kebiasaan
mengkonsumsi makan/minuman manis dikategorikan sering apabila
frekuensi konsumsinya lebih atau sama dengan 3 hari dalamsemingu,
sedangkan dikategorikan jarangapabila frekuensi konsumsinya kurang
dari 3 kali dalam seminggu.

Sebaran kebiasaan mengkonsumsi makan/minuman manis berdasarkan


tabel 5.11, diketahui proporsi anak balita sebesar 90,0%memiliki
kebiasaan sering (≥3 hari/minggu) mengkonsumsi makan/minuman
manis dan sebesar 10,0% memiliki kebiasaan yang jarang (<3
hari/minggu). Proporsi anak balita yang memiliki kebiasaan sering
mengkonsumsi makanan/minuman manis jauh lebih besar dibanding
kategori jarang, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Musadat (2010), yang menyatakan bahwa proporsi kebiasaan sering
mengkonsumsi makanan/minuman manis sebesar 25,4% sedang
sisanya 74,6% termasuk kedalam kategori jarang.

Perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan perbedaan sampel yang


diteliti pada penelitian Musadat (2010), sampel yang diteliti adalah
pada kelompok umur 6-14 tahun atau usia Sekolah Dasar (SD).

Gambaran kebiasaan makan anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Citangkiltahun 2018 bila dianalisis lebih lanjut diketahui proporsi anak
balita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis
dalam kategori sering dan memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan
berlemak dalam kategori sering terdapat 81,54% memiliki kebiasaan

STIKes Faletehan
70

mengkonsumsi buah dan sayur dalam kategori kurang. Perlu


diketahuiresiko kegemukan pada anak balita terjadi pada kelompok anak
balita yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur, pada kelompok anak
balita yang sering mengkonsumsi makanan berlemak dan pada kelompok
anak balita yang sering mengkonsumsi makanan/minuman manis.

6. Gambaran karakteristik keluarga anak balita (pendidikan ibu, pekerjaan


ibu, dan jumlah anggota keluarga) di wilayah kerja Puskesmas Cilegon,
Kota Cilegon tahun 2018

Karakteristik keluarga terdiri dari pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan
jumlah anggotakeluarga.

a. Pendidikan ibu

Pendidikan ibu dikelompokan menjadi 2 yaitu rendah apabila ibu


mempunyai jenjang pendidikan yang ditamatkan ≤SMP, dan tinggi
apabila ibu mempunyai jenjang pendidikan yang ditamatkan >SMP.

Berdasarkan tabel 5.12,sebagian besar pendidikan ibu balita memiliki


jenjang pendidikan yang tinggi (> SMP) yaitu 61%, sedangkan 39,0%
ibu balita memiliki pendidikan rendah (≤ SMP).

Penelitian terkait kegemukan Musadat (2010), proporsi responden


yang mempunyai pendidikan ≤SMP sebesar 57,9% sedangkan yang
berpendidikan tamat SLTA dan perguruan tinggiterdapat sebayak
18,5% dan 5,3%. Peneitian Fitriarni(2012) tingkat pendidikan ibu pada
anak usia 6-23 bulan sebagian besar adalah tingkatpendidikan rendah
(58%), diikuti dengan tingkat pendidikan menengah (30,9%) dan
proporsiterkecil ada pada tingkat pendidikan tinggi (11,1%).

Lain halnya penelitian Rahmawati (2009), menyakatan bahwa


sebagian besar responden mempunyai jenjang pendidikan pada
kategori ≥S1 yaitu sebesar 80,3 %. Sedangkan <SI sebesar 19,7%.

Di wilayah kerja Puskesmas Citangkilsebagian besar ibu balita telah


lulus SMA/SLTA/MA yaitu sebanyak 45%, dan ibu balita yang
mempunyai jenjang pendidikan SMP/SLTP/MTs adalah sebesar 34%,

STIKes Faletehan
71

serta 16% ibu balita yang mempunyai pendidikan D3/S1. Sedangkan


ibu balita yang mempunyai pendidikan <SMP ada sebanyak 5%.Hal
tersebut menunjukkan bahwasebagian besar ibu pada anak usia 6-23
bulan pendidikannya telah tamat SMP.

Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak.Tingkat pendidikan ibu


banyak menentukan sikap dan menghadapi berbagai masalah, misal
memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare,
atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang
mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan
hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima
perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun
salah satu penjelasannya.

b. Status pekerjaan ibu

Pendidikan ibu dikelompokan menjadi 2 yaitu bekerja apabila ibu


mempunyai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, dan tidak
bekerja apabila ibu tidak bekerja atau hanya mengurus rumah tangga
saja.

Berdasarkan tabel 5.13, sebagian besar ibu balita tidak bekerja yaitu
sebanyak 80.0%, sedangkan 20,0% ibu balita yang bekerja. Penelitian
serupa dilakukan oleh Rahmawati (2009) menyatakan proporsi anak
balita dengan ibu bekerja adalah sebesar 49,12%, sedangkan 50,9%
tidak bekerja. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Fitriani (2012)
menyatakan bahwa proporsi balita dengan ibu bekerja sebesar 45,4%
sedangkan pada balita dengan ibu tidak bekerja sebesar 54,6%.

Dari hasil penelitian ini dan sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian


besar ibu pada anak balita adalah seorang ibu rumah tangga.

c. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggoa keluarga diteliti karena besar keluarga bila bertambah


maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak
menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan

STIKes Faletehan
72

relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan


demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan

Berdasarkan tabel 5.14 diatas, proporsi jumlah anggota keluarga >4


orang pada responden adalah sebesar 89.0%, sedangkan hanya 11,0%
saja beranggota kurang atau sama dengan 4 orang (keluarga kecil (≤ 4
orang). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Musadat (2010), yang menunjukkan proporsi responden dengan
jumlah anggota >4 orang adalah 61,9% dan proporsi responden dengan
jumlah anggota ≤4 orang sebersar 38,1%.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar anak balita


di wilayah kerja Puskesmas Citangkiltahun 2018 mempunyai jumlah
anggota keluarga >4 orang.

B. Analisis Bivariat

1. Hubungan antara karakteristik anak balita (jenis kelamin, umur, dan berat
badan lahir) dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Hubungan antara jenis kelamin dengan kegemukan pada anak balita

Jenis kelamin membedakan kebutuhan zat gizi seseorang.Karena


luaspermukaan dan otot tubuhnya, laki-laki lebih banyak
membutuhkan energi dibandingkan perempuan.Hasil penelitian secara
statistik pada α5% menunjukkan tidak adahubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kegemukan pada anak balita.Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya Fitriarni (2012) yang menunjukan
tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kegemukan.Namun
berbeda dengan hasil penelitian Fitri (2011), dan Musadat (2010), yang
menunjukan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kegemukan atau obesitas.

Dari hasi penelitian ini proporsi kejadian kegemukan pada anak balita
laki-laki yaitu 48,9% lebih tinggi jika dibandingkanpada anak balita
perempuan yang mengalami kegemukan yaitu sebanyak 40,0%. Hasil

STIKes Faletehan
73

yang sama diungkapkan oleh Musadat (2010), Dianah (2011), dan


Fitriarni (2012) yang menyebutkan bahwa anak laki-laki lebih banyak
yang gemuk dibandingkan anak perempuan.

Kecenderungan kegemukan terjadi pada anak laki-laki dibandingkan


denganperempuan dapat disebabkan karena perbedaan asupan
makanan.Anak laki-laki mengkonsumsi energi dan protein yang lebih
besar dibandingkan dengananak perempuan, nafsu makanpada anak
laki-laki sangat tinggi sehingga tidak ada kesulitan untuk
memenuhikebutuhan makanannya. Dicurigairesponden laki-laki
mempunyai nafsu makan yang besar sehingga
mengkonsumsimakananyang lebih banyak terutama makanan yang
mengandung energi lebihtinggi dibandingkan anak perempuan.

Berdasarkan penelitian Fitriarni (2012) analisis lebih lanjutantara jenis


kelamin dengan konsumsi Air Susu Ibu (ASI) eksklusifdidapatkan
hasil bahwa anak laki-laki yang mengonsumsi ASI eksklusif
lebihsedikit dibandingkan dengan anak perempuan. Kita ketahui
bahwa ASI eksklusifmempunyai efek protektif terhadap kegemukan
sehingga anak laki-laki dalampenelitian lebih banyak yang gemuk
dibandingkan dengan anak perempuan.

b. Hubungan antara umurdengan kegemukan pada anak balita

Berdasarkan hasil analisis kejadian kegemukan pada anak balitaumur


36-59 bulan lebih tinggi yaitu sebanyak 51,7%, dibandingkan dengan
anak balita usia 24-35 bulan yang mengalami kegemukan yaitu
sebanyak 32,5%.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan


olehKusumaningrum (2011), Rizqiya (2009), Anggraeni (2007), dan
Riyanti (2002)yang menyebutkan bahwa anak yang usianya lebih
muda berpeluang lebih besar mengalami kegemukan dibandingkan
anak yang lebih tua.

Hasil uji statistik pada α 5% menunjukantidak ada hubungan yang


signifikan antara umur dengan kegemukan pada anak balita.Ini sesuai

STIKes Faletehan
74

dengan penelitian Daryono (2003) yang tidak menemukan adanya


hubungan yang bermakna antaraumur dengan status gizi.Demikian
juga hasil penelitian Nugroho (1999) yangtidak mendapatkan
hubungan bermakna antara umur dengan kejadian obesitas.Serta
penelitian Fitri (2012) menyatakan tidak ada hubungan antara umur
dengan kejadian stunting atau gizi pendek.

Dalam perkembangan masalah kegemukan di Indonesia juga


menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan menurut kelompok umur
anak, jenis kelamin maupun pendidikan orang tua. Namun hasil yang
berdeda didapat dalam penelitian Musadat (2010) dan Widartika
dalam Rahmawati (2009) yang menemukan adanya hubungan
bermakna antara umur dengan kejadianobesitas/kegemukan. Perbedaan
ini dikarenakan perbedaan penggunaan kategori usia, dimana pada
penelitian Widartika, menggunakan kategori usia (8 tahun). Supriyatna
(2004) jugamenemukan hubungan yang bermakna antara umur dengan
kegemukan.

Tingginya kejadian kegemukan pada kelompok usia 36-59 bulan bisa


disebabkan pada usia tersebut dikenal sebagai konsumen aktif selain
mereka mengkonsumsi makanan yang disediakan oleh orangtua,
mereka juga sudah mempunyai makanan kesukaan, sehingga apabila
tidak terkontrol oleh orang tua maupun pengasuhnya jika
mengkonsumsinya berlebihan akan menyebabkan kegemukan.

c. Hubungan antara berat badan lahir dengan kegemukan pada anak


balita

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara berat badan lahir dengan


kegemukan diperoleh kejadian kegemukan pada anak balitayang
memiliki berat lahir beresiko (<2500 gr dan >4000gr) yaitu sebesar
50,0%, sedangkan pada anak balita yang memiliki berat lahir tidak
beresiko (2500-4000 gr) yang mengalami kegemukan yaitu sebesar
43,0%.

STIKes Faletehan
75

Hasil uji statistik pada α 5% disimpulkan tidak ada hubungan yang


signifikan antara berat badan lahir dengan kegemukan pada anak
balita.Hasil serupa juga didapatkan dari hasil penelitian oleh
Kusumaningrum (2011) tidak menemukan hubungan yang bermakna
antaraberat lahir dengan kegemukan pada anak usia 24-59 bulan.
Namu hasil yang berbeda di dapatkan penelitian Fitriarni (2009)
bahwa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna antara
beratlahir dengan kegemukan.Anak yang gemuk lebih banyak yang
memiliki beratlahir lebih (≥ 4000 gr).

Review gambaran karakteristik anak balita di wilayah kerja Puskesmas


Citangkiltahun 2018 jika dianalisis lebih lanjut proporsi anak balita
yang memiliki jenis kelamin laki-laki yang berusia 36-59 bulan dengan
riwayat berat badan lahir dalam kategori beresiko adalah sebesar
50,0% dari jumlah keseluruhan anak balita yang memiliki berat lahir
beresiko.

Perlu diketahui bahwa kegemukan dapat berawal dari bayi.Banyak


penelitian yang menunjukkan bahwa anak balita yang dilahirkan
dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) mempunyai resiko yang
lebih besar untuk menjadi kegemukan di masa mendatang. Hal ini
karena BBLR mempunyaimassa tubuh tanpa lemak (lean body mass)
yang lebih rendah daripada bayi yang lahir dengan berat lahir cukup.
Seperti halnya pernyataan Al-Qaoud dan Prakash (2009) menyebutkan
bahwa anak-anak yang lahir dengan berat lahir besar (4000 gr)
memiliki risiko 2,5 kali terkena obesitas/kegemukan dibandingkan
dengan berat lahir normal, sedangkan untuk bayi dengan berat badan
lahir rendah memiliki resiko terkena kegemukan dikarenakan
kesalahan penanganan bayi yaitu bayi diberi asupan protein yang
tinggi untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhannya dengan anak-
anak yang lahir dengan berat badan normal.

STIKes Faletehan
76

2. Hubungan antara konsumsi gizi (energi dan protein) anak balita dengan
kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota
Cilegon tahun 2018

a. Hubungan konsumsi energi dengan kegemukan pada anak balita

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara konsumsi energi dengan


kegemukan diperoleh kejadian kegemukan pada kategori konsumsi
lebih (>110 AKG) yaitu sebesar 83,7%, sedangkan pada anak balita
pada kategori konsumsi energi cukup (≤110 AKG) yang mengalami
kegemukan yaitu sebesar 15,8%. Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan Chi Square diperoleh nilai p=0,000 maka dapat
disimpulkan secara statistik α5% ada hubungan yang signifikan antara
konsumsi energi dengan kegemukan pada anak balita.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian dari Musadat (2010), Padmiari
dan Hadi (2003), bahwa obesitas pada kasus disebabkan konsumsi
energi yang tinggi.Hasil serupa dengan indikator status gizi yang
berbeda yaitu TB/U dikemukakan oleh Fitri (2012), Simanjuntak
(2011) bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi
dengan kejadian stunting pada balita.

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR=31,500 yang artinya anak
balitayang mengkonsumsi energi dalam kategori lebih (>110 AKG)
mempunyai peluang 31,5kali menjadi gemuk dibanding anak balita
yang mengkonsumsi energi dalam kategori (≤110 AKG). Konsumsi
energi lebih dari kebutuhan akan disimpan tubuh dalam bentuk lemak,
konsumsi yang berlebih dari waktu ke waktu akan terakumulasi
sehingga terjadi penimbunan lemak sehingga terjadilah kegemukan.

b. Hubungan konsumsi protein dengan kegemukan pada anak balita

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara konsumsi protein dengan


kegemukan diperoleh kejadian kegemukan pada kategori konsumsi
lebih (>110 AKG) yaitu sebesar 84,0%, sedangkan pada anak balita
pada kategori konsumsi protein kategori cukup (≤110 AKG)yang

STIKes Faletehan
77

mengalami kegemukansebesar 30,7%. Dari data diatas persentasenya


kejadian kegemukan anak balita yang mengkonsumsi protein kategori
lebih (>110 AKG) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak balita
yang mengkonsumsi protein dalam kategori cukup (≤110 AKG). Hasil
analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square diperoleh nilai
p=0,000 maka dapat disimpulkan secara statistik α5% ada hubungan
yang signifikan antara konsumsi protein dengan kegemukan pada anak
balita.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian dari Musadat (2010), Padmiari
dan Hadi (2003), bahwa obesitas pada kasus disebabkan konsumsi
protein yang tinggi.Hasil serupa dengan indikator status gizi yang
berbeda yaitu TB/U dikemukakan oleh Fitri (2012), Simanjuntak
(2011) bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi protein
dengan kejadian stunting pada balita.

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR=11,87yang artinya anak


balitayang mengkonsumsi protein dalam kategori lebih (>110 AKG)
mempunyai peluang 11,87kali menjadi gemuk dibanding anak balita
yang mengkonsumsi protein dalam kategori cukup (≤110 AKG).

Kegemukan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara energi yang


dikonsumsi dari semua makanan dan minuman dengan energi yang
dikeluarkan. Oleh karena itu mengkonsumsi minuman berenergi atau
semacamnya akan menyebabkan kenaikan berat badan pada anak balita,
dimana anak balita merupakan masa pertumbuhan berat badan.

Kelebihan konsumsi energi dan protein ini juga didugaketersedian sumber


energi dan proteincukup berlimpah.Sebagaimana Indonesia merupakan
daerah yangmempunyai sumber daya alam yang tinggi,sehingga akses
masyarakatterhadap pemenuhan energi dan protein dapat terpenuhi dengan
mudah.Kemudahanmengakses sumber energi dan protein dengan murah
dan mudah menjadikan masyarakatlebih mudah untuk memenuhi
kebutuhan energi danproteinnya.

STIKes Faletehan
78

ReviewKonsumsi protein berbanding lurus dengan konsumsi energi


dimana apabila konsumsi protein lebih dapat dipastikan konsumsi
energinya pun lebih, tetapi bila konsumsi energi tergolong lebih belum
tentu konsumsi proteinnya lebih.

Sumber energi dapat berasal darinasi, bubur nasi mie, roti tawar dan lain-
lain.Sedangkan sumber protein dapat berasal dari telur, ikan, daging ati
ayam/sapi, tahu tempe dan kacang-kacangan. Kemudahan tersebut
menjadikan gambaran bahwa anggota keluarga termasuk anak-anak dapat
mengkonsumsi sumber energi dan proteindalam jumlah cukup bahkan
lebih (Hardinsyah dan Tambunan 2004).

Berdasarkan hasil wawancara konsumsi energi dan konsumsi protein pada


anak balita dengan status kegemukan di wilayah kerja Puskesmas
Citangkiltertinggi berasal produk susu, dimana rata-rata anak balita
mengkonsumsi produk susu rata-rata sebanyak 3 kali dalam sehari bahkan
ada anak balita yang mengkonsumsi produk susu 5 kali dalam sehari
sementara makan makanan pokok seperti nasi dan sayur hanya sedikit.
Perlu diketahui produk susu dalam ½ gelas rata-rata mengandung ± 100
kalori, ± 6 gram protein dan ± 5 gram lemak.

Tingginya konsumsi prodak susu dikarenakan banyak anak balita


diwilayah kerja Puskesmas Citangkilyang mempunyai kesulitan makan
sehingga bagi orang tua yang kurang mempunyai kesabaran dalam
menghadapi kesulitan makan pada anak balita berinisiatif untuk
memberikan produk susu yang lebih dari anjuran. Hal ini didukung juga
dari kemungkinan bahwa kecamatan Cilegon merupakan wilayah
perkotaan yang mana dapat dikatakan bahwa masyarakat sudah
mempunyai penghasilan yang cukup sehingga daya beli terhadap bahan
makanan cukup tinggi.

Menurut www.ayahbunda.co.idsusu merupakan makanan tambahan untuk


anak balita sehingga perlu dicermati porsinya dalam mengkonsumsi
produk susu agar manfaatnya optimal. Bagi anak balita dalam

STIKes Faletehan
79

mengkonsumsi produk susu untuk memenuhi kebutuhan gizinya cukup 2


gelas atau ± 500 cc dalam sehari.

Disamping produk susu orang tua anak balita dengan kegemukan di


wilayah kerja puskesmas juga selalu menyediakan makanan energi lainnya
seperti biscuit dan roti.

3. Hubungan antara aktifitas fisik anak balita dengan kegemukan pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara aktifitas fisik dengan


kegemukan diperoleh kejadian kegemukan pada aktifitas fisik kategori
kurang yaitu sebesar 52,4%, sedangkan pada aktifitas anak balita pada
kategori cukup yang mengalami kegemukansebesar 41,8%. Dari data
diatas persentasenya kejadian kegemukan anak balita yang melakukan
aktifitas fisik kurang lebih tinggi dibandingkan dengan anak balita yang
melakukan aktifitas fisik cukup.

Hasil uji statistik pada α5% menyimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara aktifitas fisik dengan kegemukan pada anak balita.Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Dharmawan (2001)dan Rijanti
(2002) yang juga tidak menemukan adanya hubungan antara aktifitas fisik
anak dengan kejadian obesitas.

Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Musadat
(2010), Kusumajaya(2007), Daryono (2003) yang menyatakan bahwa ada
hubungan nyata antara aktifitas fisik dengan kejadian
kegemukan.Ketidaksamaan hasil penelitian ini dikarenakan sampel anak-
anak dan dewasa.

Pada anak balita masih sulit untuk menilai kecukupan aktifitas fisiknya
atau mengelompokan aktifitasnya dan memang belum ada penelitian yang
membuktikan secara pasti berapa banyak aktifitas fisik yang diperlukan
untuk mencegah kegemukan pada anak balita. Namun, waktu 3 jam setiap
hari dianggap cukup untuk kebugaran dan kesehatan.

STIKes Faletehan
80

Menurut Wardlaw&Hampl (2007) dalam Rahmawati (2009) pendekatan


awal dalam penanganan obesitas pada anak adalah denganmenilai
seberapa besar aktifitas fisik yang dilakukan. Jika seorang
anakmenghabiskan banyak waktunya dikegiatan yang tidak mengeluarkan
energibanyak secara terus-menerus seperti menonton televisi atau bermain
video games,maka dianjurkan untuk lebih banyak melakukan aktifitas
fisik.

4. Hubungan antara kebiasaan makan anak balita (kebiasaan konsumsi buah


dan sayur, kebiasaan konsumsi makanan berlemak, dan kebiasaan
konsumsi makanan/minuman manis) dengan kegemukan pada anak balita
di wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Hubungan antara kebiasaan konsumsi buah dan sayur dengan


kegemukan pada anak balita

Kebiasaan makan menurut Khumaidi (2003)adalah tingkah laku


individu atau kelompok manusia dalam memenuhikebutuhannya,
meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan.

Proporsi status kegemukan terhadap kebiasaan anak balita dalam


mengkonsumsi buah dan sayur dalam kategori kurang tidak jauh
berbeda yaitu 44,4% gemuk dan 56,6% tidak gemuk. Hasil uji statistik
pada α 5% menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan konsumsi buah dan sayur dengan kegemukan pada anak
balita.Hasil ini sejalan dengan penelitian Kusumajaya (2007) dan
Irawati(2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan nyata
antara konsumsisayuran dengan kegemukan.Namun tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Musadat (2010) yang
menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara kebiasaan makan buah
dengan kegemukan.

Hasil tersebut berbeda dengan peryataan Newby (2005) bahwa


polamakan tinggi serat, seperti sayuran, buah-buahan, dan kacang-
kacangan,berhubungan terbalik dengan IMT, kejadian overweight dan
obesitas.

STIKes Faletehan
81

Meskipun dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara


kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayur terhadap kegemukan pada
anak balita, namun perlu diketahui kurangnya konsumsi buah dan akan
berdampak pada asupan vitamin, zat besi, yodium dan zat penting
lainnya dampaknya dapat dilihat anak manjadi lebih pendek. Apabila
anak balita menjadi lebih pendek sementara asupan energi lebih dapat
menyebabkan kegemukan.

Konsumsi buah dan sayuran dapat mencegahkejadian obesitas karena


dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkankelebihan
lemak.Sehingga banyak para ahli menyarankan untuk meningkatkan
konsumsi buah dan sayur dalam program penurunan berat badan.

Sebenarnya kurangnya mengkonsumsi buah dan sayur pada anak balita


bukan hanya disebabkan anak balita tidak menyukainya.Tapi, lantaran
porsi yang dibutuhkan dalam sehari sedikit.Sedikit yang dibutuhkan
menjadikan konsumsi buah dan sayur menjadi tidak diperhatikan.

b. Hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan


kegemukan pada anak balita

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square diperoleh nilai


p=0,001 maka dapat disimpulkan secara statistik α5% ada hubungan
yang signifikan signifikan antara kebiasaan konsumsi makanan
berlemak dengan kegemukan pada anak balita.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Musadat (2010),


Kusumajaya (2007),Suryana (2002) yang menyatakan bahwa ada
hubungan nyata antara kebiasaan makan makanan berlemak dengan
kegemukan.Pada penelitian ini anak balita cenderung
banyakmengkonsumsi sumber makanan berlemak, khususnya lemak
jenuh, seperti dariminyak goreng, santan dan mentega, seperti
kebiasaan makan gorengan, krupuk/kemplang, dan lainnya.Hal ini
sesuai dengan pernyataan Purwati, dkk (2005), bahwa minyak dan
santan dapatmenyebabkan kegemukan, karena selain tinggi kalori,
lemak juga dapatdijangkau pembeliannya oleh sebagian masyarakat.

STIKes Faletehan
82

Dari uji statistik juga diperoleh nilai OR= 5,897 yang artinya anak
balitayang mempunyai kebiasaan makan makanan berlemak dalam
kategori sering mempunyai peluang 5,897 kali menjadi gemuk
dibanding anak balita mempunyai kebiasaan makan makanan berlemak
dalam kategori jarang.

c. Hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan/minuman manis


dengan kegemukan pada anak balita

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square diperoleh nilai


p=0,003 maka dapat disimpulkan secara statistik α5% ada hubungan
yang signifikan signifikan antara kebiasaan makan/minuman manis
dengan kegemukan pada anak balita. Hasil sesuai dengan penelitian
Humayrah(2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara
kebiasaanmakan/minuman manis dengan kegemukan.Namun tidak
sesuai dengan hasil penelitian Musadat (2010) menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang nyata.

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan


bahwaurbanisasi pada negara berkembang, kuat hubungannya dengan
peningkatankonsumsi makanan manis. Mekanisme fisiologi, mengapa
konsumsi makananmanis meningkatkan lemak tubuh, hal itu
dikarenakan melibatkan tingginyadensitas protein dan efek rasa lezat
makanan manis.

Kebiasaan konsumsi makanan pada anak balita tergantung dari makanan


yang disediakan oleh orang tuanya.Ketersediaan bahan makanan
merupakan penyebab langsung dalam memenuhi konsumsi gizi anak
balita.

Di kecamatan Cilegon orang tua anak balita dengan kegemukan rata-rata


tidak memberikan makanan yang bervariasi dan mereka masih berperinsip
bahwa yang terpenting anak balita makan dan tidak rewel, sehingga
apapun makanan yang disukai anak balita akan dipenuhi.

Berdasarkan hasil recall makanan selama 24 jam anak balita di kecamatan


Cilegon anak balita yang mengkonsumsi makanan jadi seperti biscuit dan

STIKes Faletehan
83

roti menjadi makanan selingan terbanyak padahal perlu diketahui


kandungan gizi pada biscuithanya 4 buah saja dan roti 1 potong sedang
sudah menyumbang ±175 kalori, 4 gram protein dan karbohidrat 40 gram.

Biscuitdan Roti bukanlah makanan sumber lemak namun apabila dalam


pembuatannya berbahan mentega bisa dijadikan sumber lemak dimana ½
sendok teh saja sudah menyumbang lemak sebanyak 7,5 gram padahal
anak balita hanya membutuhkan lemak 10%-20% dari total energi atau
11,1 gram-33,3 gram. Biscuit dan roti yang selain memiliki rasa manis
karena tinggi gula juga mengandung energi cukup tinggi. Rasa manis pada
makanan akan memberi sinyal pada otak untuk makan lebih banyak dan
makan lebih banyak merupakan satu hal yang banyak diinginkan oleh
orangtua kepada anaknya dan kenyataannya orang tua sering tidak
mengkontrol kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak dan makanan
dan minuman manis sehingga dapat menyebabkan kegemukan.

Sumber lemak lainnya yang banyak dikonsumsi pada anak balita di


wilayah kerja Puskesmas Citangkilberasal dari makanan gorengan seperti
ayam dengan kulit goreng tepung, tahu goreng dan produk susu.

5. Hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,


dan jumlah anggota keluarga) dengan kegemukan pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Cilegon, Kota Cilegon tahun 2018

a. Hubungan antara pendidikan ibu dengan kegemukan pada anak balita

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi


rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan
pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-
anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula menentukan
mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi
yang mereka peroleh. Pendidikan diperlukan agar seseorang lebih
tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa
mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).

STIKes Faletehan
84

Hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu dengan kegemukan


pada anak balita diperoleh proporsi kejadian kegemukan pada anak
balita dengan pendidikan ibu dalam kategori rendah yaitu sebesar
35,9%, sedangkan untuk pandidikan ibu kategori tinggi yang memiliki
anak balita mengalami kegemukan yaitu sebesar 49,2%.

Hasil uji statistik menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan


antara pendidikan ibu dengan kegemukan pada anak balita.Hasil
penelitian sesuai dengan hasil penelitian Musadat (2010), Rahmawati
(2009), Yuliani (2002) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara pendidikan orang tua dengan kegemukan.Namun hasilpenelitian
ini berbeda dengan hasil penelitian Nugroho (1999) yang
menemukanadanya hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan orang tua dengankejadian obesitas.

Tidak ditemukannya hubungan yang bermakna antara pendidikan


orangtua dengan kejadian kegemukan diduga karena faktor pendidikan
bukan merupakanfaktor langsung yang mempengaruhi status gizi,
tetapi pendidikan sangatberpengaruh pada tingkat
pengetahuan.Pengetahuan kesehatan dan gizimerupakan faktor yang
sangat mempengaruhi pola konsumsi makan.

b. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kegemukan pada anak balita

Di zaman modern saat ini banyak wanita yang bekerja baik itu
termasuk kedalam pekerjaan terampil maupun yang tidak terampil.
Kondisi saat ini, dalamsatu keluarga ibu yang bekerja merupakan suatu
kebutuhan untuk menopangperekonomian keluarga. Banyak alasan
yang menyebabkan ibu harus bekerjadiantaranya untuk kebutuhan
hidup sehari-hari, untuk biaya sekolah anak, dll.

Tempat kerja pun sekarang pada umumnya lebih memilih wanita


yangdipekerjakan di kantornya dikarenakan wanita memiliki sifat yang
lebih sabar,teliti dan loyal pada pekerjaannya. Hal-hal tersebut
membuat anak-anak dalamkeluarga tersebut diasuh atau diawasi oleh
asisten rumah tangga, saudara ataukakek dan neneknya.

STIKes Faletehan
85

Pengasuhan anak-anak tidaklah mudah, apalagi anak-anak tersebut


masihdalam kategori di bawah usia tiga tahun. Usia di bawah tiga
tahun merupakan usiayang rawan karena masih dalam tahap
perkembangan yang sangat pesat. Cukupsulit untuk seorang ibu
menyerahkan pengasuhan anak-anaknya kepada seorangasisten rumah
tangga, karena tidak hanya mengasuh saja tugasnya namun
jugatermasuk ke dalam penyiapan, pengolahan dan pemberian
makanan terhadapanak. Untuk penyiapan dan pengolahan makanan
anak-anak, ibu yang bekerjamenggunakan waktunya di pagi hari, tetapi
terkadang untuk penyiapan danpengolahan makanan ibu yang bekerja
juga tidak sempat melakukannya sehinggasemua diserahkan kepada
asistennya.

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu dengan


kegemukan pada anak balita diperoleh kejadian kegemukan pada anak
balita dengan ibu yang memiliki pekerjaan (bekerja) yaitu sebesar
60,0%, sedangkan untuk ibu yang tidak bekerja dan memiliki anak
balita mengalami kegemukan yaitu sebesar 40,0%. Dari data diatas
secara presentase bahwa anak balita dengan ibu bekerja lebih tinggi
dibandingkan dengan anak balita dengan ibu yang tidak bekerja.

Hasil uji statistik menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan


antara pekerjaan ibu dengan kegemukan pada anak balita.Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Rahmawati (2009), yang
menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan antara status pekerjaan
ibu terhadap kegemukan Menurut Shils Maurice E dalam Rahmawati,
(2009)menyatakan ibu bekerja ternyata dapatmemperbaiki status gizi
anak sebagai akibat meningkatnya penghasilan terutamasekali bila ibu
yang mengontrol penghasilan keluarga. Selain itu wanita juga
lebihbanyak menggunakan penghasilannya untuk pemberian makan
pada anak-anaknya.Begitu juga penelitian ini sesuai dengan Daryono
(2003) yang menunjukkan tidak adanyahubungan antara status
pekerjaan ibu dengan status gizi serta penelitian Nugroho (1999) yang

STIKes Faletehan
86

menunjukkan tidak ditemukan adanya hubungan antarapekerjaan ibu


dengan kejadian obesitas.

Berbeda dengan hasil penelitian Dianah (2011) dan Meilinasari (2001)


yang menyatakan bahwa ditemukan hubungan antara pekerjaan ibu
dengan kejadiann obesitas.Hal yang sama juga diungkapkan
olehAbdiana (2010) yang menyatakan bahwa ibu yang bekerja
memiliki resiko 1,3kali terjadinya kegemukan pada anak. Hal tersebut
dikarenakan minimnya waktuyang dimiliki oleh ibu yang bekerja
untuk menyiapkan, mengolah dan meyajikanmasakan yang
bergizi.Lucas dan Ogata (2005) menyebutkan bahwa frekuensimakan
di luar rumah seperti makanan siap saji cenderung meningkat
karenawaktu yang tersedia untuk menyiapkan makanan di rumah
sedikit.

c. Hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan pada


anak balita

Keluarga dengan banyak anak dankelahiran dekat akan menimbulkan


banyak masalah. Seharusnya, dengan lebihbanyaknya anggota
keluarga akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk.
Hal ini terjadi karena terlalu banyaknya jumlah angota keluarga
selainmenyulitkan dalam mengurusnya, juga bisa menciptakan suasana
tidak tenangdirumah, khususnya bagi keluarga yang berpenghasilan
rendah.

Berdasarkan tabel hasil analisis hubungan antara jumlah anggota


keluarga dengan kegemukan pada anak balita diperoleh proporsi
kejadian kegemukan pada anak balita dengan jumlah anggota keluarga
≤ 4 orang sebesar 45,5%, sedangkan untuk anak balita dengan anggota
keluarga >4 orang sebesar 43,8%.

Hasil uji statistik menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan


antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan pada anak
balita.Hasilpenelitian menunjukkan bahwa pada anak gemuk maupun
tidak, proporsi jumlahanggota keluarga kecil maupun besar adalah

STIKes Faletehan
87

tidak jauh berbeda.Hal ini sejalan dengan penelitian Musadat (2010),


Adiningrum (2008), yang menunjukkan tidak ada hubungan yang
nyata antarajumlah anggota keluarga dengan kejadian kegemukan.

STIKes Faletehan
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

F. Kesimpulan

Dalam penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kegemukan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas CitangkilKota
Cilegon Tahun 2018dapat disimpulkan sebagai berikut :

7. Balita di wilayah kerja Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018 yang


mengalami kegemukan sebanyak 44,0%..
8. Karakteristik anak balita di wilayah kerja Puskesmas CitangkilKota
Cilegon tahun 2018 sebagai berikut:
a. Menurut jenis kelamin ada sebanyak 45,0% anak balita yang berjenis
kelamin laki-laki.
b. Berdasarkan usia proporsi anak balita kelompok umur 36-59 bulan
sebanyak 60,0%.
c. Berdasarkan berat badan lahir ada sebanyak 14,0% anak balita yang
memiliki berat badan lahir beresiko.
9. Gambaran konsumsi gizi pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018 adalah sebagai berikut:
a. Anak balita yang mengkonsumsi energi lebih (>110 AKG) yaitu
sebesar 43,0%.
b. Anak balita yang mengkonsumsi protein lebih (>110 AKG) yaitu
sebesar 25,0%.
10. Berdasarkan aktivitas fisik sebanyak 21,0% anak balita melakukan
aktifitas fisik kurang dari anjuran.
11. Gambaran kebiasaan makan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018 adalah sebagai berikut:
a. Kebiasaan anak balita dalam mengkonsumsi buah dan sayur sebanyak
81,0% anak balita mengkonsumsi buah dan sayur dalam kategori
kurang(<5 hari/minggu).

87
STIKes Faletehan
88

b. Kebiasaan anak balita dalam mengkonsumsi makanan berlemak dalam


kategori sering (≥3 hari/minggu) sebanyak 67,0%.
c. 90,0% anak balita memiliki kebiasaan mengkonsumsi
makanan/minuman manis dalam kategori sering (≥3 hari/minggu).
12. Gambaran karakteristik keluarga anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018 adalah sebagai berikut:
a. Sebagian besar pendidikan ibu balita memiliki jenjang pendidikan
yang tinggi (> SMP) yaitu 61%.
b. Berdasarkan status pekerjaan ibu sebagian besar ibu balita tidak
bekerja yaitu sebanyak 80.0%.
d. Berdasarkan jumlah anggota keluarga proporsi jumlah anggota
keluarga >4 orang adalah sebesar 89.0%.

13. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara jenis
kelamin dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
14. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara umur
dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
15. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara berat
badan lahir dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
16. Secara statistik pada α5% ada hubungan bermakna antara konsumsi energi
dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
17. Secara statistik pada α5% ada hubungan bermakna antara konsumsi
protein dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
18. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara aktifitas
fisik dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.

STIKes Faletehan
89

19. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan
makan buah dan sayur dengan kegemukan pada anak balita di wilayah
kerja Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
20. Secara statistik pada α5% ada hubungan bermakna antara kebiasaan
konsumsi makanan berlemak dengan kegemukan pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
21. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan
mengkonsumsi makanan/minuman manis dengan kegemukan pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
22. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan
ibu balita dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
23. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara pekerjaan
ibu balita dengan kegemukan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
CitangkilKota Cilegon tahun 2018.
24. Secara statistik pada α5% tidak ada hubungan bermakna antara jumlah
anggota keluarga balita dengan kegemukan pada anak balita di wilayah
kerja Puskesmas CitangkilKota Cilegon tahun 2018.

G. Saran

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Cilegon/Puskesmas Cilegon.

a. Dalam upaya mencegah kegemukan terutama pada masa anak-anak


maka Dinas Kesehatan harus lebih sering melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap program-program yang dapat mencegah kegemukan
pada anakditandai dengan mengalokasikan anggaran untuk program
pencegahan kegemukan termasuk pada usia dini
b. Lebih memantapkan dan meningkatkan program-program yang sudah
ada yang berkaitan dengan pencegahan kegemukan sejak dini, seperti
penyuluhan gizi seimbang, ASI Ekslusif, pekan olahraga pelajar,
mengsosialisikan Pedoman UmumGizi Seimbang (PUGS) di tingkat
masyarakat dan sekolah.

STIKes Faletehan
90

c. Terus mengadakan pendidikan gizi untuk orang tua balita baik di kelas
ibu balita maupun di posyandu sehingga dapat
meningkatkanpengetahuan orang tua tentang gizi.
d. Pengadaan poster dampak dari kegemukan sebagai media penyuluhan
di lapangan (posyandu, poskesdas, polindes).

2. Bagi orang tua balita

a. Bagi orang tua baik yang bekerja maupun tidak bekerja sebaiknya
untuk lebih memperhatikan pola makan anak-anaknya dengan
memberikan makanan dengan menu gizi yang seimbang.
b. Orang tua lebih memperhatikan waktu tidur anak sehingga tidak terlalu
lama atau kurang dan tidak mengganggu aktifitasnya sehari-hari.
c. Memperhatikan aktifitas anaknya sehingga energi yang ada di
dalamtubuhnya dapat digunakan dengan baik dan benar.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti


bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan penelitian
tentang faktor-faktor penyebab kegemukan pada anak balita.

STIKes Faletehan
DAFTAR REFERENSI

Abdiana, 2010. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Adisapoetra, 2005. In: Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Almatsier, S, 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Al-Qaoud, Prakash, 2009. In:Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif


dan FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23
Bulan di Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Anggraeni, 2007. In In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Awwal et al (2004). In: Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan
Terjadinya Stunting Pada Balita (12–59 Bulan) di Sumatera (Analisis Data
Riskesdas 2010). [Tesis]. Jakarta:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, 21.

Bray GA, Nielsen SJ, Pokin BM. 2004. In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-
Faktor Yang MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di
Provinsi Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut
Pertanian Bogor, 12.

Badan Pusat Statistik (BPS). In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang
MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor, 30.

Castillon et al. 2007. Intake of fried is assosiated with obesity in the cohort
ofSpanish adults from the European prospective investigation into cancer
andnutrition dalam AJCN [terhubung berkala]. www.pediatrik.com
Diaksespada 23 Juni 2018.

91
STIKes Faletehan
92

Cawley. 2004. In : Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan


FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Damanik, Sylviati M, 2008. Klasifikasi Bayi Menurut Berat Lahir dan Masa
Gestasi. In: Sholeh Kosim, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 12.

Daryono, 2003. In:Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Keluarga Sadar Gizi


(KADARZI) Mewujudkan Keluarga Cerdas dan Mandiri. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Rencana Strategis Departemen


Kesehatan 2005-2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dharmawan, 2001. In: Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Dianah, 2011. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Dinas Kesehatan Kota Cilegon, 2018.Laporan Tahun2012 Program Perbaikan


Gizi Masyarakat. Cilegon: Seksi Perbaikan Gizi, Dinas Kesehatan Kota
Cilegon.

Drewnowski A. 2007. In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor, 12.

Escott-Stump, Mahan. (2004). In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di ProvinsiSumatera
Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian Bogor, 9.

STIKes Faletehan
93

Fajar, M. (2009).Hubungan perilaku kadarzi dengan status gizi batita (12-35


bulan) di Kelurahan Sawangan Baru Depok Tahun 2009. In: Kemenkes RI.
(2010). Info Pangan dan Gizi Media Penyalur Informasi dan Gizi, Volume
XIX.Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI.

Febry, A.B & Marendra, Z. 2008.Buku Pintar Menu Balita.Jakarta: Wahyu


Media.

Fitri, 2012.Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita
(12–59 Bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Fitriarni.2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan FaktorLainnya Dengan


Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di Indonesia Tahun
2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis]. Depok:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Gavin. (2005) In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor, 18.

Hidayati, Siti N, Irawan R, Hidayat. 2006. Obesitas pada Anak


[terhubungberkala].www.pediatrik.com Diakses pada 23 Juni 2018.

Humayrah, 2009. In:Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor.

Irawati, 2000. In:Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor.

Kemenkes, Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes, RI. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Sumatera Nomor :


1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Direktorat Bina Gizi.

Kemenkes, RI. (2012).Kebijakan dan Strategi Penanggulangan dan Pencegahan


Kegemukan dan Obesitas di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak, Direktorat Bina Gizi.

STIKes Faletehan
94

Kusumaningrum, 2011. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Lucas, B & Ogata, B. (2005).Normal Nutrition from Infancy throughAdolescence.


In: Handbook of Pediatric Nutrition (Third Edition). PatriciaQueen Samour
and Kathy King. Jones and Bartlett Publishers).

Meilinasari, 2001. In:Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Musadat, A. 2010.Analisis Faktor-Faktor Yang MempengaruhiKegemukan Pada


Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana,Institut Pertanian Bogor.

Nadesul, H. 2011. Porsi Serat Yang Sesuai Untuk Anak.[terhubungberkala]


.www2.sahabatnestle.co.id Diakses pada 15 Juli 2018.

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Nugroho, 1999. In: Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Padmiari & Hadi, 2003. In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang
MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor.

Pudjiadi, S. 2003. Ilmu Gizi Khusus Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Puskesmas Cilegon, 2018. Profil UPTD Puskesmas Citangkil2012 & Point Of


Action 2018.

Purwati, dkk, 2005. In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor.

STIKes Faletehan
95

Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat Saji(Fastfood),


danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain yang
Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Rimbawan, S A. 2004.Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya

Riyadi, H. 2003. Metode Penilaian Gizi secara Antropometri. Bogor: JurusanGizi


Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Rijanti, 2002. In: Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Riyanti, 2002. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Rizqiya, 2009. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Sediaoetama, AD, 2008.Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta:
PT. Dian Rakyat.

Simanjuntak, 2011. In: Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan
Terjadinya Stunting Pada Balita (12–59 Bulan) di Sumatera (Analisis Data
Riskesdas 2010). [Tesis]. Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Soegondo.2005. Perjalanan Obesitas Menuju Diabetes Melitus dan


PenyakitKardiovaskular. Divisi Metabolik Endokrinologi. In: Rahmawati,
Nuri. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat Saji(Fastfood),
danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain yang
Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009. [Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, 1-2.

STIKes Faletehan
96

Suhardjo. (2003). Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.

Supariasa, IDN, dkk, 2004. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

Supriyatna, 2004. In: Fitriarni. 2012. Hubungan Konsumsi Asi Eksklusif dan
FaktorLainnya Dengan Kejadian Kegemukan Pada AnakUsia 6-23 Bulan di
Indonesia Tahun 2010(Analisis Data RISKESDAS 2010) [Tesis].
Depok:Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Suryana, 2002. In: Musadat, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang


MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor.

Thorpe et al. 2004. Chilhood obesity in New York City elementary schoolstudent.
The American Journal of Public Health94(9):1496-1500 [21Desember 2009].
In: Musadat, Anwar. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang
MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi
Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,Institut Pertanian
Bogor, 2.

Taviano D. 2005. Cegah Obesitas dengan cara Gaya Hidup Sehat.


[terhubungberkala] .www.kompas.co.id Diakses pada 15 Juli 2018.

UNDP. Indonesia Human Development Report. 2003. In: Musadat, Anwar. 2010.
Analisis Faktor-Faktor Yang MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-
14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca
Sarjana,Institut Pertanian Bogor, 1.

UNDP. Indonesia Human Development Report. 2004. In: Musadat, Anwar. 2010.
Analisis Faktor-Faktor Yang MempengaruhiKegemukan Pada Anak Usia 6-
14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 1.

Uripi, V. 2004. Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta: Puspa Swara.

Wardlaw&Hampl. 2007. Perspective in Nutrition Seventh Edition. McGraw-Hill


Companies, Inc. In: Rahmawati, Nuri. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi
Makanan Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-
Faktor Lain yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD
Islam Al-Azhar Jakarta Selatan Tahun 2009. [Skripsi]. Jakarta:Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, 24.

www.bebeclub.co.id . Kebiasaan Makan Balita Penyebab Obesitas. Diakses pada


10 Agustus 2018.

STIKes Faletehan
97

www.ayahbunda.co.id. Cermati Pilihan Susu Untuk Balita.Diakses pada 16 Maret


2018.

Yuliani, 2002. In: Rahmawati, N. (2009). Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan


Cepat Saji(Fastfood), danKeterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain
yang Berhubungandengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar
Jakarta Selatan Tahun 2009.[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

STIKes Faletehan

Anda mungkin juga menyukai