Anda di halaman 1dari 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Pembelajaran Sejarah
a. Pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu proses menciptakan konsisi yang kondusif agar
terjadi interaksi komunikasi bekajar mengajar antara guru, peserta didik, dan
komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran
merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling
berhubungan. Komponen tersebut meliputi, tujuan, materi, metode, dan evaluasi
(Hosnan, 2014:18). Pembelajaran juga merupakan perubahan yang bertahan lama
dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan
dari praktik atau atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Kriteria-kriteria dari
pembelajaran itu sendiri adalah pembelajaran melibatkan perilaku, pembelajaran
bertahan lama dengan waktu, dan pembelajaran terjadi melalui pengalaman (Schunk,
2012:5).
Menurut Narwanti dan Somadi (2012:26) pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik. Tidak berbeda dengan Sanjaya (2012:26) yang menyatakan bahwa
pembelajaran adalah proses kerjasama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan
segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa
itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya
belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan
sumber belajara sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Dari uraian pengertian tentang pembelajaran yang diutarakan para ahli di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah suatu kondisi yang dibuat

commit to
13 user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

secara sadar yang pelaku utamanya adalah pendidik dan peserta didik untuk
memberikan ilmu dan pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Selain proses
transfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, juga menggali kemampuan-
kemampuan atau potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dalam prosesnya,
pembelajaran ini dapat menggunakan sesuatu yang bermanfaat untuk pembelajaran itu
sendiri, semisal sarana, sumber belajar dan lain sebagainya.

b. Sejarah
Sejarah terdiri dari kumpulan fakta yang telah dipastikan (E.H. Carr, 2014: 5).
Fakta-fakta yang tersedia bagi sejarawan ada di dalam dokumen, prasasti, dan lainnya.
Sejarawan mengumpulkan fakta-fakta tersebut untuk diolah dan menyajikannya
dengan gaya yang menarik. Dalam membuat sajian tersebut, sejarawan harus mampu
menggunakan kebijaksanaan paripurna yaitu menggunakan pemikiran sejarah yang
masuk akal dan empiris.
Definisi sejarah telah banyak dikemukakan oleh para ahli sebagai salah satu
disiplin ilmu. Sejarah berasal dari bahasa Yunani, “kistoris” yang berarti pengetahuan
yang diperoleh melalui penelitian dengan cara melihat dan mendengar. Dalam bahasa
Prancis disebut “historie”, bahasa Jerman “geschihte”, dalam bahasa Belanda disebut
“geschiedenis”, dalam bahasa Ingris “history”. Selain itu berasal dari bahasa Arab,
“syajarah” atau “syajaratun” yang artinya pohon kehidupan, silsilah, asal-usul, atau
keturunan (Isjoni, 2007: 17).
Pada dasarnya sejarah adalah ilmu pengetahuan (science). Sejarah berarti ilmu
masa lampau (the past) terkait dengan kejadian masa lampau dan aktualitas masa
lampau yang dilakukan manusia. dengan kata lain, sejarah mencakup aktivitas
kelampauan manusia di masyarakat dan bersifat unik (Suhartono, 2010: 2).
Menurut Kartodirdjo (2014: 16) pengertian sejarah dapat dibagi menjadi dua
yaitu pengertian sejarah secara subjektif dan objektif. Dalam arti subjektif yaitu
sebagian orang memaknai sejarah sebagai cerita sejarah, pengetahuan sejarah, dan
gambaran sejarah. Dengan kata lain sejarah dalam arti subjektif yaitu sebagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

konstruksi yang disusun oleh penulis sebagai uraian atau cerita. Sedangkan dalam arti
objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, yaitu proses sejarah
dalam aktualitasnya.
Menurut pandangan Kuntowijoyo (2013: 13) bahwa sejarah adalah cara untuk
memandang masa lampau. Terdapat dua sikap terhadap sejarah setelah orang
mengetahui masa lampaunya yaitu melestarikan masa lampaunya atau menolaknya.
Melestarikan masa lampau berarti menganggap masa lampau itu penuh makna. Hal ini
serupa dengan pendapat dari Sidi Gazalba (1966: 11) yang memaparkan bahwa sejarah
adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial,
yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan
tafsir dan penjelasan, yang memberi pengertian dan kepahaman tentang apa yang sudah
berlalu itu.
Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya
apabila sejarah mengkaji tentang kerja keras manusia dan pencapaian yang
diperolehnya. Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang zaman alam ruang
lingkup dan waktu tertentu (Kochhar, 2008: 3). Sedangkan Moh. Ali (1965: 7-8),
menjelaskan bahwa sejarah mengandung arti yang mengacu pada hal-hal sebagai
berikut: (1) perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam
kenyataan sekitar; (2) cerita tentang perubahan- perubahan, kejadian-kejadian, dan
peristiwa-peristiwa realitas tersebut; (3) ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-
perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut.
Salah satu manfaat utama sejarah dalam pendidikan adalah ilmu ini
berkembang dari tahap sangat dasar hingga mencapai tahap perbaikan terakhir berupa
kematangan berpikir dan kebijakan untuk bersikap skeptis (A.L. Rowse, 2015: 153).
Hal ini disebabkan karena sejarah merupakan ilmu yang paling umum dan mampu
menyatukan semua ilmu dengan pendidikan. A.L Rowse menyebut ini sebagai proses
ganda.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

c. Pembelajaran Sejarah
Mata pelajaran sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah
tentang asal usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau
berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Ditingkat sekolah menengah, sejarah di
pelajari sebagai mata pelajaran tersendiri sambil membentuk diri sebagai bagian dari
ilmu sosial (Kochar, 2008: 20- 21). Secara substantif, materi sejarah memiliki beberapa
karakteristik, yaitu; (1) mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan,
kepelaporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang
mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; (2) memuat
khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia;
(3) menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi
perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; (4) sarat dengan
ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang
dihadapi dalam kehidupan sehari- hari; (5) berguna untuk mengembangkan dan
menanamkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan
kelestarian hidup (Aman, 2011:57).
Dari karakteristik mata pelajaran sejarah diatas, dapat disimpulkan bahwa mata
pelajaran Sejarah memiliki arti penting dalam pembentukan watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pesan moral yang terkandung didalamnya, melalui
proses pembelajaran diharapkan dapat dijiwai oleh anak didik, sehingga mereka kelak
bisa menjadi benteng- benteng tangguh yang dengan nasionalismenya siap
mempertahankan negara menjadi negara besar dan berwibawa dimata dunia.
Dalam Kurikulum 2013, Mata pelajaran Sejarah di SMA bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan (1) membangun kesadaran peserta didik tentang
pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan
keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia; (2)
mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking); (3) menumbuhkan
apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; (4) menumbuhkan pemahaman peserta


didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia
melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang
akan datang; (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati
dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat dan bangsa; (6) mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan
moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa; dan (7) menanamkan
sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.
Pada dasarnya tujuan pembelajaran sejarah mampu meningkatkan daya kritis
peserta didik dan mengembangkan kemampuan berfikir sejarah dari peserta didik.
Peserta didik memiliki kesadaran waktu dan tempat, mampu memahami fakta sejarah
dengan benar dengan kata lain bahwa peserta didik tidak hanya menghapal fakta-fakta
yang ada, tetapi paham terhadap fakta tersebut.
Lebih lanjut menurut Muhammad Dimyati (1989: 91) menyatakan tujuan
umum pembelajaran ilmu sosial termasuk mata pelajaran sejarah adalah membantu
siswa untuk mengembangkan keterampilan mengambil keputusan rasional sehingga ia
dapat memecahkan persoalan pribadi dan ikut berpartisipasi sosial. Zamroni (2001: 11)
mengacu pada cakupan ilmu-ilmu sosial, arah pembelajaran ilmu-ilmu sosial adalah
mengembangkan kemampuan berfikir kritis (critical thinking) dan kesadaran serta
komitmen siswa terhadap perkembangan masyarakat, lewat pembahasan dan
pemahaman hal ihwal yang terjadi dalam masyarakat, sehingga para siswa bisa berpikir
rasional dan bertindak sesuai dengan pikiran tersebut demi untuk kebaikan dirinya dan
masyarakatnya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Sarifudin (1989: 15) bahwa pembelajaran
ilmu sosial bertujuan untuk mengembangkan (1) pengetahuan dasar atau basic
knowledge; (2) proses berfikir atau thinking process; (3) sikap, perasaan, dan kepekaan;
(4) ketrampilan. Dalam hal ini, ketrampilan meliputi ketrampilan akademis seperti
mengumpulkan, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menganalisis data dan menarik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

kesimpulan serta ketrampilan untuk bekerjasama secara aktif dalam kelompok.


Fraenkel dalam (Sarifudin, 1989: 19 - 20) membedakan ketrampilan menjadi: (a)
ketrampilan berfikir (thinking skill) yang meliputi berbagai kemampuan operasional,
seperti memaparkan, mendefinisikan, mengklasifikasi, merumuskan hipotesis,
memprediksi, membandingkan, membedakan dan menawarkan ide baru; b)
ketrampilan akademis (academicskill) seperti membaca, mengamati, menulis,
membaca peta, membuat garis besar, membuat grafik, dan membuat catatan; c)
ketrampilan meneliti (research skill) yang meliputi merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data, menganalisis data, menguji
hipotesis, menarik kesimpulan; d) ketrampilan sosial (social skill) yang meliputi:
berkomunikasi dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok
kecil dan kelompok besar, memberi tanggapan atas masalah yang dihadapi orang lain,
mendukung pendapat orang lain yang benar, dan mendukung kepemimpinan yang ada.

2. Berpikir Historis (Historical Thinking)


a. Pengertian Berpikir Historis (Historical Thinking)
Menurut Seixas (2004: 109) berpikir historis (historical thinking) berarti
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang peristiwa sejarah dan proses melalui
keterlibatan aktif dan teks sejarah. Berpikir historis (historical thinking) adalah
kemampuan berpikir yang memungkinkan siswa untuk dapat (1) membedakan masa
lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; (2) membangun pertanyaan; (3)
mencari dan mengevaluasi bukti- bukti; (4) membandingkan dan menganalisis kisah-
kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; (5)
menginterpretasikan catatan- catatan sejarah, dan (6) merekonstruksi sejarah menurut
versi siswa masing-masing. Hal ini memberikan makna bahwa belajar sejarah tidak
hanya mengetahui tentang fakta-fakta, tanggal, nama, tempat dan peristiwa yang di
sajikan, namun lebih dari itu siswa dituntut untuk memahami makna dibalik unsur-
unsur tersebut sehingga siswa mampu mengkonstruksi sejarah menurut versinya
masing-masing. Keterampilan berpikir historis melibatkan urutan peristiwa, analisis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

waktu dan tempat kejadian peristiwa dalam konteks untuk membantu dalam
pembangunan makna dan pemahaman.

Menurut Purwanta (2019:52) keterampilan berpikir historis secara sederhana


dapat diartikan sebagai seperangkat keterampilan penalaran yang harus di pelajari dan
dimiliki oleh peserta didik sebagai hasil dari proses belajar sejarah. Berdasarkan
pengertian tersebut, peserta didik tidak hanya dituntut untuk mengingat peristiwa
sejarah seperti apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa tokohnya dan bagaimana proses
terjadinya, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir mereka.

b. The Six Concept of Historical Thinking


Seixas (2004:1-9) membagi keterampilan berpikir historis kedalam 6 elemen,
yaitu :
1) Establish historical significance (keterampilan membangun arti sejarah).
Masa lalu adalah segala sesuatu yang pernah terjadi pada seseorang di waktu
lampau. Namun tidak semua kejadian pada masa lampu dapat di ingat atau dipelajari.
Tidak semua kejadian masa lalu dianggap penting, masalah penting atau tidaknya suatu
kejadian dimasa lalu tergantung pada perspektif dan tujuan. masalah penting atau
tidaknya kejadian masa lalu dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dari kelompok
ke kelompok. Pada bagian keterampilan membangun arti penting sejarah, siswa
dituntut untuk dapat:
a) Menunjukkan bagaimana suatu peristiwa itu dianggap penting.,
b) Menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut diintegrasikan ke dalam yang hal
yang lebih besar.
c) Menunjukkan bagaimana menyoroti masalah yang muncul terus-menerus.
d) Menjelaskan bagaimana pentingnya sejarah yang bervariasi dari waktu ke waktu
dan dari kelompok ke kelompok.
e) Mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan dalam arti dari waktu ke waktu
atau antara kelompok.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

2) Use primary source evidence (keterampilan menggunakan sumber dan bukti


sejarah)
Sumber sejarah adalah hal penting yang dibutuhkan dalam mencari informasi
atau data yang diperlukan, karena ketersediaan sumber sejarah merupakan syarat
mutlak untuk melukiskan masa lalu. Menggunakan atau membaca sumber sejarah
memerlukan strategi yang berbeda dari membaca biasanya yang hanya sekedar untuk
memperoleh informasi. Untuk mendapatkan arti atau makna dari dinformasi yang
disampaikan oleh sumber sejarah, maka kita perlu untuk mengkontekstualisasikan dan
membuat kesimpulan dari sumber tersebut. Pada bagian ini siswa dituntut untuk dapat:
a) Mencari sumber sejarah untuk menjawab pertanyaan sejarah
b) Merumuskan pertanyaan tentang sumber sejarah, sehingga jawaban dapat
membantu untuk menjelaskan konteks historis.
c) Menganalisis sumber sejarah untuk tujuan, nilai-nilai dan pandangan dunia
penulis.
d) Membandingkan pandangan dan kegunaan beberapa sumber sejarah
e) Menilai apa yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sumber-sumber sejarah.
f) Menggunakan sumber sejarah untuk membangun sebuah argumen atau narasi.

3) Identify continuity and change (keterampilan mengindentifikasi kesinambungan


dan perubahan)
Kesinambungan dan perubahan adalah cara utama untuk mengatur
kompleksitas masa lalu. Ada banyak hal yang terjadi pada satu waktu. Perubahan
terjadi pada tingkat yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sejarah, dan bahkan
secara serentak di berbagai aspek kehidupan. Pada bagian ini siswa dituntut untuk
dapat:
a) Menjelaskan bagaimana beberapa hal berlangsung terus-menerus dan berubah
dalam periode sejarah.
b) Mengidentifikasi perubahan dari waktu ke waktu dalam kehidupan yang
berlangsung terus menerus.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

4) Analyze cause and consequence (keterampilan menganalisis sebab dan akibat)


Pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat sangat penting dalam
pembelajaran sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu peristiwa
terjadi. Konsep kausalitas digunakan oleh sejarawan untuk menganalisa suatu peristiwa
sejarah. Pada bagian ini, siswa dituntut untuk dapat:
a) Mengidentifikasi interaksi tindakan manusia yang disengaja dan kendala pada
tindakan manusia dalam perubahan.
b) Mengidentifikasi berbagai jenis penyebab peristiwa tertentu, menggunakan satu
atau lebih sumber sejarah.
c) Mempertimbangkan penyebab yang potensial untuk peristiwa terjadi sehari-
hari.
d) Menganalisis penyebab dari peristiwa sejarah, dan mengidentifikasi jenis
peristiwa (misalnya, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain).
e) Membuat skema penyebab sutau peristiwa dan menjelaskannya.

5) Take historical perspective (keterampilan mengambil informasi)


Mengambil perspektif historis berarti memhami pranata social, budaya,
intelektual, dan emosional yang membentuk kehidupan dan tindakan orang di masa
lampau. Pada suatu titik, pelaku sejarah yang berbeda mungkin bertindak atas dasar
keyakinan dan ideologi yang saling bertentangan, sehingga memahami beragam
perspektif juga merupakan kunci untuk mengambil perspektif sejarah. Mengambil
perspektif historis menuntut pemahaman akan perbedaan besar antara kita di masa
sekarang dann masa lampau (Purwanta, 2019:63). Bagian ini menuntu siswa untuk
dapat:
a) Menggunakan bukti dan pemahaman tentang konteks historis, untuk menjawab
pertanyaan.
b) Menulis surat, catatan harian berdasarkan sumber-sumber yang ada.
membandingkan sumber primer tertulis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

6) Understanding the moral dimension of historical interpretation (keterampilan


memahami dimensi etika dari interpretasi sejarah)
Jika sejarah adalah penting, maka ada pertimbangan moral yang terlibat.
Dengan demikian, kita harus belajar sesuatu dari masa lalu untuk membantu
menghadapi masalah moral hari ini. Pada bagian ini, siswa dituntut untuk dapat:
a) Membuat penilaian tentang tindakan orang-orang di masa lalu.
b) Menggunakan kisah sejarah untuk menginformasikan keputusan tentang isu- isu
moral dan politik di masa sekarang.
c) Mengidentifikasi masalah moral hari ini.

Ofianto (2015: 65-66) berdasarkan hasil penelitiannya yang diterbitkan dalam


Jurnal Tingkap Vol. XI No. 1 Tahun 2015, membagi beberapa keterampilan berpikir
historis kedalam dua bentuk yaitu keterampilan dasar (basic skill) dan keterampilan
penelitian sejarah (historical research capabilities). Pertama, keterampilan dasar
(basic skill) terdiri dari (a) keterampilan berpikir kronologis, (b) keterampilan
mengidentifikasi kesinambungan dan perubahan, dan (c) keterampilanmenganalisis
sebab dan akibat. Kedua, keterampilan/kemampuan penelitian sejarah (historical
research capabilities) terdiri atas (a) keterampilan membangun arti penting sejarah, (b)
keterampilan merekam data/informasi/sumber sejarah, (c) keterampilan ethical
dimensions berpikir historis, (d) keterampilan merancang penelitian sejarah, dan (e)
keterampilan melaporkan hasil penelitian sejarah.
Menurut seixas (2006:8) dimensi moral (ethical dimensions) sangat penting
dalam melakukan interpretasi sejarah sebab pertama, semua catatan sejarah yang
berarti pasti melibatkan penilaian moral baik implisit atau eksplisit; kedua,
pertimbangan moral dalam sejarah dibuat lebih kompleks dengan tanggung jawab
bersama dan mendalam serta berubah dari waktu ke waktu; ketiga, sejarawan sering
berurusan dengan konflik antara poin satu dan dua sehingga menangguhkan penilaian
dalam rangka memahami perspektif pelaku sejarah dan akhirnya muncul penelitian
dengan pengamatan tentang implikasi moral hari ini, narasi dan argumentasi mereka.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

3. Bahan Ajar
a. Pengertian Bahan Ajar
Bahan ajar merupakan salah satu perangkat materi atau substansi pembelajaran
yang disusun secara sistematis, serta menampilkan secara utuh dari kompetensi yang
akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk
bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktur dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar (Mudhlofar, 2012: 128).
Menurut Andi Prastowo (2014:17), bahan ajar merupakan segala bahan(baik
informasi, alat, maupunteks) yang disusun secara sistematis yang menampilkan sosok
utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses
pembelajaran dengan tujuan untuk perencanaan dan penelaah implementasi
pembelajaran.
b. Fungsi Bahan Ajar
Fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi bagi guru
dan fungsi bagi siswa.
1) Fungsi bahan ajar bagi guru, antara lain:
a) Menghemat waktu guru dalam mengajar.
b) Mengubah peran guru dari seorang pengajar menjadi seorang fasilitator.
c) Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan interaktif.
d) Sebagai alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.
2) Fungsi bahan ajar bagi siswa, antara lain:
a) Siswa dapat belajar tanpa harus ada guru atau teman siswa yang lain.
b) Siswa dapat belajar kapan saja dan dimana saja ia kehendaki.
c) Membantu potensi siswa untuk menjadi pelajar yang mandiri.
d) Sebagai pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan
semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi.
c. Pengembangan Bahan Ajar
Hal utama yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses belajar-mengajar
adalah persiapan bahan ajar. Persiapan bahan ajar diaplikasikan dalam proses

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

pengembangan bahan ajar, Shulman dalam Agus Trianto, (2005:10). Selanjutnya Jolly
dan Bolitho dalam Tomlinson (1998:98) memaparkan tahap-tahap pengembangan
bahan ajar, yakni: (1) identifikasi kebutuhan guru dan siswa; (2) penentuan kegiatan
eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontekstual dengan mengajukan gagasan
yang sesuai dengan pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi pedagogis
melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan bahan ajar oleh
siswa; dan (7) evaluasi bahan ajar. Kemudian, Richards (2002:262) mengajukan
rancangan pengembangan bahan ajar, meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2)
pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit
pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit (dalam
Agus Trianto, 2005:10).
Rancangan tahap-tahap yang telah dimuat oleh Depdiknas, yakni: (1)
identifikasi kebutuhan, (2) pengembangan silabus, (3) penyusunan bahan ajar, dan
(evaluasi bahan ajar). Banyak teori para ahli yang dapat dijadikan dasar dalam
pengembangan bahan ajarsalah satu diantaranya adalah Taxonomi of Educatonal
Objectivesby Benjamin S. Bloom. Bloom membagi kemampuan belajar menjadi tiga
dimensiyaitu kognitif, psikomotorik dan afektif.
Berdasarkan pendapat di atas, maka bahan ajar yang dibuat harus
memperhatiakan tiga dimensi yaitu dimensi kognitif, psikomotorik dan afektive dengan
semua kategori pada masing-masing dimensi. Adapun penelitian ini akan
menggunakan penggabungan dari semua teori pengembangan bahan ajar yang dicakup
sesuai dengan keperluan dan kondisi penelitian.

d. Bahan Ajar Digital


Sepanjang literatur, bahan ajar digital atau yang biasanya disebut dengan e-
book didefinisikan sebagai teks yang berbentuk digital dan dapat diakses melalui layar
elektronik. Meskipun ide bahan ajar digital atau e-book bukanlah hal baru, namun
masih ada banyak kebingungan tentang bahan ajar digital, bahkan pada tingkat definisi
dasar tentang apa itu bahan ajar digital (Tedd, 2005). Beberapa tahun terakhir definisi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

bahan ajar digital telah menjadi subjek minat baru yang melibatkan lebih banyak
kompleksitas daripada sekedar membaca teks digital melalui layer kaca (Hughes,
2003). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan bahan ajar digital tentang
empat perspektif seperti media, konten/file, perangkat dan pengiriman. Misalnya bahan
ajar digital atau e-book didefinisikan sebagai "versi elektronik buku cetak" (Soanes dan
Stevenson, 2004; Lee, 2002) dan "versi digital buku cetak tradisional" (Reitz, 2004).
Kata online hanya digunakan oleh Gold Leaf (2003) untuk menunjukkan bahwa buku
adalah "versi online buku cetak" dan oleh Zivkovic (2005) untuk menggambarkan
ketersediaan e-book.
Definisi yang disediakan oleh Armstrong et al. (2002) adalah yang diterima
oleh banyak sarjana yaitu “setiap bagian dari teks elektronik terlepas dari ukuran atau
komposisi, tetapi tidak termasuk publikasi jurnal, tersedia secara elektronik atau
perangkat apapun baik genggam maupun yang terikat dengan meja yang mempunyai
layar”. Penyelidikan lebih lanjut telah mengungkapkan sejumlah besar definisi lain
tentang bahan ajar digital (e-book) lebih khusus lagi, istilah bahan ajar digital atau e-
book merujuk berbagai perangkat keras, peraangkat lunak dan konten (Wilson &
Landoni, 2001).
Bahan ajar digital bila dibandingkan dengan buku cetak tradisional, memiliki
potensi diantaranya penelusuran, pencarian kata kunci dalam sebuah buku dan
melintasi kumpulan buku, antarmuka pencarian yang dapat disesuaikan,
mengekstraksi, membandingkan, dan menilai relevansi dan kualitas informasi yang
disajikan. Bahan ajar digital juga memuat berbagai fitur multimedia, seperti teks,
gambar, suara, video, grafik, dan animasi. Vassiliou (2008) merangkum sifat penting
dan cukup stabil dari bahan ajar digital atau e-book yang mengacu pada objek digital
dengan konten tekstual dan atau lainnya. Pertama, pengintegrasian konsep umum
sebuah buku dengan fitur-fitur yang dapat disediakan dalam lingkungan elektronik.
Bagian kedua mengacu pada fitur yang digunakan seperti fungsi pencarian dan
referensi silang, bahan referensi, monograf, tautan hiperteks, bookmark, kamus
interaktif, sorotan, objek multimedia, dan pembuatan catatan. Dalam hal kapasitas,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

bahan ajar digital dapat menyimpan sejumlah konten buku tertentu, yang dapat diakses
secara virtual dari lokasi mana pun (Wilson, 2001).

4. Desain Pengembangan

Desain pembelajaran adalah proses sistematis, efektif, dan efisien dalam


menciptakan sistem pembelajaran untuk memecahkan masalah belajar atau
peningkatan kinerja peserta didik melalui serangkaian kegiatan identifikasi masalah,
pengembangan, dan evaluasi. Pengembangan desain tersebut dapat menggunakan
berbagai macam model-model desain pembelajaran. Dalam hal ini peneliti
memaparkan empat jenis model pengembangan, yakni ADDIE, ASSURE, Dick &
Carey, dan SAFE.
a. Model ADDIE
ADDIE merupakan singkatan dari Analyze, Design, Development,
Implementation dan Evaluation. ADDIE merupakan model yang bersifat sistematis
dengan kerangka kerja yang jelas menghasilkan produk yang efektif, kreatif, dan
efisien (ANGEL Learning, 2008: 5). Salah satu fungsinya ADDIE yaitu menjadi
pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang
efektif, dinamis dan mendukung kinerja.
ADDIE membantu menyelesaikan permasalahan pembelajaran yang kompleks
dan juga mengembangkan produk-produk pendidikan dan pembelajaran (Branch,
2009: 2). Model ADDIE menggunakan lima tahap pengembangan yakni Analysis
(Analisis), Design (Desain), Development (Pengembangan), Implementation
(Implementasi), Evaluation (Evaluasi) (Molenda, 2008: 107). Masing-masing langkah
dideskripsikan sebagai berikut:
1) Analysis (Analisis)
Tahap analisis merupakan proses mendefinisikan apa yang dipelajari oleh
peserta didik, yaitu melakukan analisis kebutuhan, mengidentifikasi kebutuhan, dan
melakukan analisis tugas. Oleh karena itu, yang dihasilkan adalah karakteristik peserta

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

didik, identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas.


2) Design (Desain)
Tahap ini dikenal dengan membuat rancangan yaitu merumuskan tujuan
pembelajaran yang Spesific, Measurable, Applicable, Realistic, dan Times (SMART).
Langkah selanjutnya menyusun tes yang didasarkan pada tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan. Kemudian menentukan strategi pembelajaran yang sesuai untuk
mencapai tujuan. Dalam tahap ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media
yang dapat dipilih. Peneliti harus mampu menentukan yang paling sesuai dengan
kebutuhannya.
3) Development (Pengembangan)
Pengembangan adalah proses mewujudkan rancangan menjadi nyata.
Lingkungan belajar yang mendukung proses pembelajaran harus disiapkan dalam tahap
ini. Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum
diterapkan (implementasi). Tahap uji coba merupakan bagian dari salah satu langkah
ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya digunakan
untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang sedang dikembangkan.
4) Implementation (Implementasi)
Implementasi merupakan langkah nyata untuk menerapkan sistem
pembelajaran yang dibuat. Pada tahap ini semua yang telah dikembangkan
dipersiapkan sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal,
jika diperlukan penataan lingkungan, maka lingkungan harus ditata sedemikian rupa.
5) Evaluation (Evaluasi)
Evaluasi adalah proses untuk melihat hasil dari sistem pembelajaran yang
sedang dibangun. Evaluasi yang terjadi pada setiap tahap di atas dinamakan evaluasi
formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan,
mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif seperti evaluasi ahli
untuk memberikan masukan terhadap rancangan yang sedang dibuat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

b. Model ASSURE
ASSURE merupakan singkatan dari Analize learners, State objectives, Selected
methods, Utilyze media and materials, Require learned and participation, Evaluate
and revision. Model ASSURE memberikan pendekatan yang sistematis untuk
menganalisis karakteristik siswa yang mempengaruhi kemampuan untuk belajar.
Analisis tersebut menyediakan informasi untuk merancang pembelajaran yang
disesuaikan agar memenuhi kebutuhan siswa. Langkah model ASSURE menurut
Smaldino, (2012: 110) sebagai berikut:

1) Analyse learners (menganalis pembelajar).


2) State learning objectives (menyatakan standar dan tujuan).
3) Select methods, media, and materials (memilih strategi, teknologi, media dan
materi).
4) Utilise media and materials (gunakan media dan bahan).
5) Require learner participation (partisipasi siswa dalam pembelajaran)
6) Evaluate/review (mengevaluasi dan merevisi).

c. Model Dick & Carey


Model Dick & Carey merupakan model desain pembelajaran yang
dikembangkan oleh Walter Dick, Lou Carey dan James O Carey. Model ini adalah
model prosedural, yaitu model yang penerapan desain pembelajaran disesuaikan
dengan langkah-langkah yang harus di tempuh secara berurutan. Model Dick & Carey
harus dimulai dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran. Menurut model ini,
sebelum merumuskan tujuan khusus yaitu performance goals, perlu menganalisis
pembelajaran serta menentukan kemampuan awal siswa terlebih dahulu. Setelah
dirumuskan tujuan khusus yang harus dicapai selanjutnya dirumuskan tes dalam bentuk
Criterion Reference Test, yang artinya tes tersebut bertujuan untuk mengukur
kemampuan. Setelah itu dikembangkan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan,
yakni skenario pelaksanaan pembelajaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan
secara optimal. Langkah akhir dari model Dick & Carey adalah evaluasi formatif dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

evaluasi sumatif. Berdasarkan hasil evaluasi, selanjutnya dilakukan umpan balik dalam
merevisi program pembelajaran (Sanjaya, 2013: 75).

d. Model SAFE
SAFE merupakan singkatan dari System Approach for Education. Langkah-
langkah dari SAFE dibagi menjadi dua tahapan. Tahapan tersebut dipaparkan sebagai
berikut (Suparman, 2012: 93-94):
1) Tahap I, Analisis Sistem:
i. Menilai kebutuhan
ii. Menentukan tujuan misi

iii. Menentukan persyaratan misi


iv. Menentukan hambatan
v. Menentukan profil misi, persyaratan, dan hambatan
vi. Melakukan analisis fungsional persyaratan dan hambatan
vii. Melakukan analisis tugas, persyaratan, dan hambatan
viii. Melakukan analisis metode, alat, persyaratan dan hambatan
ix. Membuat keputusan final tentang meneruskan atau berhenti

2) Tahap II, Sintesis Sistem:


i. Mengidentifikasi strategi perencanaan masalah;
ii. Mendesain rencana pelaksanaan untuk setiap alternative
iii. Menganalisis alternatif dari segi keefektifan dan efisiensi biaya
iv. Memilih rencana pengelolaan dan pelaksanaan
v. Menyusun rencana validasi atau tes lapangan sesuai kebutuhan
vi. Implementasi penggunaan rencana pelaksanaan
vii. Mengevaluasi proses dan produk
viii. Merevisi untuk mencapai prestasi yang dipersyaratkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

Pemilihan model ADDIE sebagai model pengembangan dalam penelitian ini


adalah karena modelnya ekstensif digunakan di bidang multimedia (Dick & Carey,
2005), berlaku untuk semua jenis pengembangan produk pendidikan karena terdiri dari
komponen yang relative sederhana sederhana (McGriff, 2000; Kaminski, 2007),
mudah digunakan dan dapat diterapkan pada kurikulum yang mengajarkan
pengetahuan, keterampilan, atau sikap (Reinbold, 3013).
Model ADDIE terkenal dengan titik awal yang baik untuk masalah yang
dibahas dalam penelitian. ADDIE tidak hanya menguntungkan desainer instruksional
tetapi juga karena menjawab pertanyaan spesifik. Model ADDIE menyajikan pengguna
dengan pendekatan desain instruksional yang menggabungkan proses lengkap dengan
langkah-langkah pengembangan yang efektif. Model ADDIE membuat program lebih
berlaku dan bermakna bagi peserta didik. Model pengembangan Analisis peserta didik
menjadi aspek penting dalam desain kursus dan merupakan bagian penting untuk siswa
ketika mereka merancang proyek multimedia. (Peterson, 2003). Model ADDIE juga
membantu memberi kejelasan kepada peserta didik karena instruksional desainer
dimulai dari memiliki konsep umum hingga informasi terperinci tentang kebutuhan
pengembangan (Gustafson & Branch, 2002)

5. Pendekatan Value Clarification Technique (VCT)


a. Pengertian
Pendekatan pembelajaran nilai (value learning) telah berkembang di negara-
negara barat, di antaranya Kohlberg yang terkenal dengan Controversial Issues, Hilda
Taba dengan pendekatan Value Inquiry Question, dan Djahiri yang mengembangkan
Value Clarification Technique (VCT). Sanjaya dalam (Taniredja, dkk., 2012: 87-88)
mengemukakan bahwa VCT merupakan teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam
diri siswa. Hall (Adisusilo, 2013: 144) juga menjelaskan bahwa VCT merupakan cara
atau proses di mana pendidik membantu peserta didik menemukan sendiri nilai-nilai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

yang melatarbelakangi sikap, tingkah laku, perbuatan serta pilihan-pilihan yang


dibuatnya.
Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa pendekatan pembelajaran VCT merupakan suatu model pembelajaran dengan
teknik yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya dalam
menemukan, mencari, dan menentukan nilai-nilai yang melatarbelakangi sikap,
tingkah laku, perbuatan serta pilihan-pilihan yang dibuatnya dalam menghadapi suatu
persoalan. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang
menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat.
b. Tujuan Pendekatan Pembelajaran VCT
VCT sebagai suatu pendekatan dalam pembelajaran sikap melakukan proses
penanaman nilai melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya pada diri
siswa untuk kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai baru yang akan ditanamkan pada
diri siswa. Menurut Hall (Adisusilo, 2013: 145), pendekatannVCT mampu mengantar
peserta didik mempunyai keterampilan atau kemampuan menentukan nilai-nilai hidup
yang tepat sesuai dengan tujuan hidupnya dan menginternalisasikannya sehingga nilai-
nilai menjadi pedoman dalam bertingkah laku atau bersikap.
Lebih lanjut, Taniredja, dkk. (2012: 88) mengemukakan bahwa tujuan
penggunaan dari pendekatan VCT dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
1) Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga
dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.

2) Menanamkan kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimiliki baik tingkat


maupun sifat yang positif maupun negatif untuk selanjutnya ditanamkan ke arah
peningkatan dan pencapaian target nilai.

3) Menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melaui cara yang rasional (logis)
dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik
siswa sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

4) Melatih siswa dalam menerima/menilai dirinya dan posisi nilai orang lain,
menerima serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan yang
berhubungan dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan VCT
bertujuan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa, menanamkan
kesadaran siswa tentang nilai-nilai, menanamkan nilai-nilai.

c. Langkah-Langkah Pembelajaran VCT


Proses pembelajaran VCT secara umum mencakup tujuh tahap atau aspek yang
biasanya digolongkan menjadi tiga tingkat. Menurut Jarolimek (Taniredja, dkk., 2012:
89-90) ketujuh tahap yang dibagi dalam tiga tingkat tersebut adalah sebagai berikut.
Tingkat 1. Kebebasan memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu:
1) Memilih dengan bebas.
2) Memilih dari berbagai alternatif.
3) Memilih setelah melakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul
sebagai akibat atas pilihannya itu.
Tingkat 2. Menghargai
Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu:
1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya.

2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan
umum.
Tingkat 3. Berbuat
Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu:
1) Adanya kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakanya
2) Mau mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

d. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Pembelajaran VCT


Menurut Djahiri (Taniredja, dkk., 2012: 91) Pendekatan pembelajaran VCT
memiliki kelebihan dalam pembelajaran afektif, yaitu:
1) Mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada ranah internal side.
2) Mampu mengklarifikasi/ menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan, selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan
makna/ pesan nilai/ moral.
3) Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa, melihat nilai
yang ada pada orang lain, dan memahami nilai moral yang ada dalam kehidupan
nyata.
4) Mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri
siswa terutama mengembangkan potensi sikap.
5) Mampu memberikan sejumlah pengalaman belajar dari berbagai kehidupan.
6) Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan memadukan berbagai nilai
moral dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang.
7) Memberi gambaran nilai moral yang patut diterima dan menuntun serta
memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

Sementara kelemahan dari penerapan model pembelajaran ini menurut


Taniredja, dkk. (2012: 91) adalah sebagai berikut.

1) Apabila guru tidak memiliki kemampuan dalam melibatkan siswa dengan


keterbukaan, saling pengertian, dan penuh kehangatan maka siswa akan
memunculkan sikap semu atau imitasi/ palsu. Siswa akan bersikap menjadi siswa
yang sangat baik, ideal, patuh dan penurut, namun hanya bertujuan untuk
menyenangkan guru atau memperoleh nilai yang baik.
2) Sistem nilai yang dimiliki dan tertanam pada guru, siswa, dan masyarakat yang
kurang atau tidak baku dapat mengganggu tercapainya target nilai yang ingin
dicapai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

3) Sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengajar, terutama memerlukan


kemampuan/ keterampilan bertanya tingkat tinggi yang mampu mengungkap dan
menggali nilai yang ada dalam diri siswa.
4) Memerlukan kreativitas guru dalam menggunakan media yang tersedia di
lingkungan, terutama yang aktual dan faktual sehingga dekat dengan kehidupan
sehari-hari siswa.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran VCT sangat cocok untuk mencapai tujuan pembentukan atau penanaman
nilai dan sikap pada diri siswa karena mampu memberikan pengalaman belajar dalam
berbagai kehidupan. Namun guru perlu memaksimalkan kemampuan dan
kreativitasnya dalam menggunakan media di lingkungan sekitar, agar siswa dekat
dengan kehidupan sehari-hari.

6. Pemikiran Etika Hamka


a. Biografi Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di sungai batang
Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, 17 Februari 1908 M/13 Muharam 1326 H
dari keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau
sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah
Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di
Mekkah, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau
(Noer, 1985:46). Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria.
Dari genealogis ini dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan yang taat
beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau
pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah
Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya (Nizar, 2008: 15-
18).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak
dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia
dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah,
Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, ia
menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.
Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al- Qur’an
langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa
ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah
desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun. Pengetahuan agama, banyak ia peroleh
dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka juga seorang
otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah,
sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Ketika Hamka mencapai usia 10 tahun,
ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab.
Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan
dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa
kebaikan dan memajukan dunia dan akhirat.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8-
15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School dan Sumatera Thwalib di
Padang Panjang dan Parabek, Engko Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin
Labay el-Yunusy. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan
menggunakan system halaqoh. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di
Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Materi pendidikan masih berorientasi pada
pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang
sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan.
Diantara metode yang digunakan yang digunakan guru- gurunya, hanya metode
pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay el Yunusy yang menarik hatinya.
Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of
knowledge), akan tetapi juga melakukan proses ‘mendidik’ (transformation of value).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingat yang cukup kuat, ia mulai
berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotius,
Ptolomaios, dan ilmu lainnya. Tatkala berusia 16 tahun, tepatnya pada tahun 1924, ia
sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa, Yogyakarta. Di Yogyakarta Hamka
mulai berkenalan dan belajar pergerakan Islam modern kepada H.O.S Tjokroaminoto,
Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhrudiin. Mereka semua
mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedong Abdi Dharmo di Pakualaman,
Yogyakarta. Dari mereka itulah Buya Hamka dapat mengenal perbandingan antara
pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Hindia Timur dan gerakan sosial
Muhammadiyah.
Setelah beberapa lama di Yogya, Buya Hamka berangkat menuju
Pekalongan menemui guru sekaligus kakak iparnya AR. St. Mansur, seorang tokoh
Muhammadiyah. Di pekalongan inilah Buya Hamka berkenalan dengan Citrosuarno,
Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo, dan mendengar tentang kiprah seorang
pemuda bernama Muhammad Roem.
Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut
mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang.
Pada akhir 1925 itu juga A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatera Barat, menjadi
mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itu Buya Hamka
menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah. Pada Februari
1927 Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah haji dan menetap
beberapa bulan di sana dan baru pada Juli 1927 pulang ke Medan.

Hamka mengawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di


Perkebunan tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
Buya Hamka juga pernah menjadi pemimpin Majalah Pedoman Masyarakat dan
terlibat dalam gerakan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Buya Hamka juga
menjabat sebagai Pemimpin Muhammadiyah di Sumatera Timur sampai jepang masuk
ke Indonesia di tahun 1942. Pada Desember 1945 Buya Hamka pindah ke Sumatera

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

Barat, dan pada bulan Mei 1946 terpilih menjadi ketua majelis Pemimpin
Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat menggantikan kedudukan S.Y. Sutan
Mangkuto. Pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Buya
Hamka terpilih menjadi Anggota Pemimpin Pusat Muhammadiyah.
Pada 1950, Buya Hamka memulai karier sebagai Pegawai Kementerian
Agama, yang kala itu menterinya dijabat oleh K.H. Wahid Hasyim. Buya Hamka
bekerja sebagai pegawai negeri golongan F, yang bertugas mengajar di beberapa
Perguruan Tinggi Islam, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam negeri (PTAIN)
Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah
di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU). Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas
Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957
hingga tahun 1958. Setelah itu beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam,
Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Pada 1959 Buya Hamka berhenti sebagai Pegawai Negeri untuk mematuhi
peraturan yang dikeluarkan oleh rezim Soekarno yang melarang pegawai golongan F
merangkap sebagai anggota salah satu partai. Pada 1975, Buya Hamka menjadi Ketua
Umum Majelsi Ulama Indonesia hingga Mei 1981. Namun, sampai akhir hanyat
hidupmya Buya Hamka tetap duduk sebagai Penasihat Pemimpin Pusat
Muhammadiyah. Hamka juga dikenal sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit.
Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
juga pernah menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Terdapat banyak sekali karya Buya Hamka baik di bidang Agama, Filsafat,
Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik Islam maupun Barat. Diantara karya-karya
Buya Hamka yang terkenal yaitu: Khatibul Ummah, Si Sabariah, Adat Minangkabau

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Kepentingan melakukan Tabligh,
Hikmat Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam, Majalah Al-Mahdi, Di Bawah Lindungan
Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau Ke Deli, Cemburu, Tashawuf
Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Islam dan Demokrasi,
Merdeka, Kenang-Kenangan hidup (terbit dalam 4 jilid), Sejarah Ummat Islam (terbit
dalam 4 jilid), Pribasi, Agama dan Perempuan, 1001 Soal Hidup, Urat Tunggang
Pancasila, Tafsir Al-Azhar.

b. Pemikiran Etika Hamka


Hamka menyebut terma etika kadang dengan istilah ilmu akhlak atau ilmu budi
pekerti, sebagaimana dia mengatakan:
“Tetapi filsafat alam itu kemudiannya dikembalikan oleh Socrates kepada
filsafat diri. Setelah engkau menengadah ke langit, sekarang sudah masanya
engkau menilik dirimu sendiri. Timbullah permulaan dari jiwa (psikologi)
dan ilmu akhlak (ilmu budi pekerti, etika)” (Hamka, 1996:6)

Istilah etika oleh hamka terkadang disamakan juga dengan istilah budi,
sebagaimana dia mengatakan “Filsafat mengatakan bahwasanya timbangan baik dan
buruk adalah budi (etika) (Hamka, 1996:183). Hamka menyamakan antara istilah etika
dan budi sebagaimana dia mengatakan :

“Ahli-ahli akhlak islam yang besar-besar di zaman dahulu memperkatakan


kenaikan budi atau keruntuhannya berpanjang lebar. Ibnu Maskawaih adalah
pembahas Ethika (budi) dari segi filsafat. (Hamka, 1993:11)

Selain itu, Hamka melihat bahwa studi etika dapat ditinjau dari tiga sudut
pandang. Pertama, dari sudut filsafat yang dilakukan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu
Arabi. Kedua, dari sudut diantara agama dan filsafat sebagaimana yang dilakukan oleh
Ibnu Hazm, seorang filosof dan ahli fiqh Andalusia. Ketiga, dari sudut tasawuf
sebagaimana yang dilakukan oleh al- Ghazali.Hamka juga menyebut etika dengan
istilah ilmu budi dan akhlak, sebagaimana dia mengatakan :
“Maka bertimpa-timpalah penyakit yang lain yang disebut di dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

pelajaran ilmu budi dan akhlak (etika) (Hamka, 1993:350).

Selain istilah-istilah sebagaimana yang telah disebut diatas, Hamka juga


menggunakan istilah fisafat Akhlak dan istilah adab (Hamka, 1956: 11). Dengan
demikian, istilah etika oleh Hamka disamakan dengan istilah ilmu budi pekerti, ilmu
akhlak, dan filsafat akhlak.

Istilah Ilmu Budi Pekerti adalah gabungan dari tiga kata, Ilmu, Budi, dan
Pekerti. Ilmu berarti pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan ) itu. Budi berarti alat batin yang merupakan perpaduan
akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Sedangkan kata “pekerti” berarti
perangai, tabiat, akhlak, dan watak serta dapat pula berarti perbuatan.
Dengan demikian dapat dipahami istilah Ilmu Budi Pekerti sebagai sebuah
pengetahuan yang membahas masalah tabiat dan perbuatan manusia dari sisi baik dan
buruk. Ini berarti ilmu budi pekerti yang dimaksud oleh Hamka itu adalah ekuevalen
dengan istilah etika.
Hamka dalam mempergunakan istilah Akhlak dan ilmu Akhlak tampaknya juga
yang dimaksud adalah etika, sebab istilah tersebut yaitu akhlak dan ilmu akhlak berarti
pengetahuan yang membahas masalah laku perbuatan baik dan buruk manusia.
Akhmad Amin misalnya menggunakan istilah Akhlaq dalam pengertian ilmu akhlak
atau etika. Dia memberi judul bukunya dengan “ Kitab al-Akhlaq” padahal yang
dimaksud dengan istilah akhlaq di dalam buku itu adalah etika, karena dalam
pembahasan isi bukunya tersebut membahas masalah-masalah etika. Hasbullah Bakry
dalam bukunya Sistematika Filsafat juga menyamakan antara istilah etika dan akhlak.
Terkait dengan arti etika yang disamakan dengan akhlak, yang berarti juga sama
dengan moral dapat dipahami dari pendapat K. Bertens. Menurutnya, etika ada yang
bermakna praksis dan ada yang bermakna refleksi. Etika yang praksis menunjuk
kepada apa yang dilakukan. Etika sebagai praksis sama dengan moral atau moralitas
(Berten, 2004:162). Sedangkan etika sebagai refleksi adalah merupakan pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

tentang moral. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku
moral (Berten, 2004: 163).
Hamka juga menggunakan istilah filsafat akhlak dalam arti etika. Istilah filsafat
akhlak dalam arti etika banyak digunakan oleh penulis Arab dalam memberi judul
buku-buku karya mereka. Etika sebagai bagian dari pembahasan filsafat adalah
merupakan bagian dari filsafat atau kearifan praktis (hikmah alamiyah). Filsafat praktis
(hikmah ‘amaliyah) adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia yang tidak
terpaksa, atau pengetahuan tentang tugas-tugas dan kewajiban manusia. Filsafat praktis
ini membahas masalah-masalah yang terkait dengan pertanyaan- pertanyaan seperti:
sebaiknya bagaimana, apa yang harus saya lakukan? Sebaliknya, apakah perbuatan ini
harusnya tidak saya lakukan?. Penganut filsafat praktis meyakini bahwa manusia
memiliki sejumlah tugas maupun kewajiban, dan akal pikiran yang dapat
menyingkapnya. Filsafat pratis terbagi menjadi tiga bagian yaitu masalah akhlak
(etika), pengaturan rumah tangga, dan masalah sosial politik. Etika (Ilmu Akhlak)
sebagai bagian dari filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah) pada umumnya di definisikan
sebagai ilmu tentang cara hidup atau bagaimana seharusnya hidup.
Etika adalah ilmu kesusilaan, masalah etika menurut Hamka berarti
pembicaraan masalah baik dan masalah buruk. Sedangkan pembicaraan masalah indah
dan jelek menjadi masalah estetika. Membicarakan masalah etika, berarti
membicarakan masalah baik dan buruk dari perbuatan manusia. Berbicara baik dan
buruk dari perbuatan manusia berarti membicarakan masalah nilai, yaitu nilai baik dan
buruk. Penilaian baik dan buru menurut Hamka dapat diketahui oleh akal manusia.
Sebagaimana dia mengatakan bahwa :
“Dengan itu pulalah dia dapat mengenal mana yang baik dan mana yang
buruk, mana yang jelek dan mana yang indah” (hamka) (1956: 182-183)
Dua kata pertama yaitu “dengan itu” pada kalimat di atas merujuk pada makna
“dengan akal”. Jadi menurutnya, etika adalah filsafat yang membicarakan masalah
yang baik dan yang buruk. Hal yang senada juga dikatakan oleh Hasbullah Bakry
dengan mendefinisikan etika hampir sama dengan Hamka. Dia mengatakan bahwa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat
pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sidi
Gazalba juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Hamka, ia menyebutkan bahwa
etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik
dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan akal.
Hamka mengingat persoalan moral dengan sangat jelas. Dia mengatakan hanya
dengan moral yang dibangun di atas keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (agama yang kuat), maka manusia dapat diselamatkan dari kehancuran dan
dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
Hamka sangat besar perhatiannya terhadap permasalahan moral. Hamka memiliki
pandangan yang sangat religius dalam hal moralitas. Pandangan religiusitas Hamka
inilah yang kemudian akan banyak mempengaruhi pandangan etikannya. Pandangan
etikannya inilah juga yang menjadi dasar keprihatinan moral untuk bangsa Indonesia
yang sangat dicintainya itu.
Etika yang dibangun oleh Hamka didasarkan di atas keyakinan agama (berbasis
tauhid) tampaknya kemudian akan banyak dapat mencegah kemerosotan moral bangsa
ini. Makna penting etika Hamka kemudian menjadi sesuatu yang sangat urgen, jikalau
bangsa ini tetap berpegang pada pancasila, terutama sila pertama dan sila kedua, yang
menjadi dasar Negara ini. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua,
Kemanusiaan yang adil dan Beradab, kedua sila ini adalah menjadi pondasi dari
moralitas bangsa. Sila pertama menegaskan bahwa moralitas bangsa Indonesia adalah
moralitas yang dibangun di atas keyakinan agama, bukan moralitas sekuler. Sila kedua
menegaskan bahwa moralitas yang dibangun berdasar pada kemanusiaan dan
peradaban.
Etika Hamka mempunyai makna yang penting bagi bangsa Indonesia yang
sedang memperbaiki moralitasnya. Pemikiran etika Hamka lebih merupakan etika yang
berbasis paham tauhid, dengan demikian, maka semua pemikiran etika Hamka lebih
merupakan usaha menjadikan beriman kepada Allah sebagai intinya. Dengan
demikian, maka sesungguhnya konsep etika Hamka dapat dimanfaatkan oleh bangsa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

Indonesia dalam rangka membangun bangsa yang bermartabat, sebagaimana bangsa-


bangsa lain. Hamka memiliki misi, yakni mengisi moralitas bangsa dengan ajaran
agama.

B. Penelitian Relevan
Lee (2005: 31-40) dalam penelitiannya “Putting Principles into Practice:
Understanding History” meneliti tentang bagaimana orang belajar sejarah di sekolah.
Hasil penelitiannya terhadap siswa-siswa menunjukkan bahwa ada tiga kunci utama
orang belajar. Kunci pertama, menekankan pentingnya prasangka siswa. Guru harus
mempertimbangkan tidak hanya dari apa yang siswa secara nyata tidak tahu, tetapi juga
apa yang mereka pikir mereka tahu. Sebagian besar kesenjangan antara apa yang kita
ajarkan dan apa yang siswa pelajari disebabkan oleh perbedaan cara pandang siswa.
Kunci kedua, menekankan pentingnya menyediakan siswa dengan struktur konseptual
dan alat-alat yang dapat digunakan untuk mengatur dan memanipulasi pengetahuan
faktual. Siswa harus memiliki dasar pengetahuan mendalam faktual, tapi ini tidak sama
dengan mengatakan bahwa mereka harus belajar semua yang ada untuk tahu tentang
topik atau serangkaian topik. Kunci ketiga, menekankan pentingnya pendekatan
metakognitif yang memungkinkan siswa untuk merenungkan dan mengendalikan
pembelajaran mereka sendiri. Hasil penelitian ini sangat penting, terkait dengan
bagaimana seharusnya siswa belajar sejarah dan bagaimana seharusnya guru mengajar
sejarah.
Winerburg (2001: vi-xix) dalam bukunya “historical thinking and other
unnatural acts charting the future of teaching the past” yang dirangkum dari berbagai
hasil penelitiannya menjelaskan tiga hal penting, yakni mengapa belajar sejarah,
tantangan bagi siswa dalam belajar sejarah, dan tantangan bagi guru dalam mengajar
sejarah. Buku ini terdiri dari tiga bagian penting. Bagian satu berisi penjelasan tentang
mengapa belajar sejarah. Bagian ini difokuskan pada jawaban akan pertanyaan apa
manfaat sejarah?, mengapa sejarah bahkan perlu diajarkan di sekolah?. Secara singkat
dijelaskan bahwa, sejarah memiliki potensi besar yang baru sebagian saja terwujud

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

untuk menjadikan kita manusia yang berprikemanusiaan, hal yang tidak dapat
dilakukan oleh semua mata pelajaran lain di sekolah. Sejarah mengajarkan kepada kita
apa yang tidak dapat kita lihat. Selain itu sejarah paling baik mengajarkan budipekerti
karena menimbulkan sikap renda hati dihadapan kemampuan kita yang terbatas di
tengah-tengah luasnya sejarah manusia. Pada bagian ini pula dijelaskan perkembangan
psikologi belajar dan mengajar sejarah. Winerburg dengan rinci memaparkan
perkembangan psikologi belajar sejarah dengan melihat cara-cara para ahli di masa lalu
melakukan penelitian tentang belajar dan mengajar sejarah.
Pada bagian dua, tantangan bagi murid. Bagian ini memaparkan temuan-temuan
terkait dengan membaca teks sejarah. Pada bagian ini, Winerburg melakukan penelitian
degan para sejarawan dan murid-murid sejarah. Dalam kaitan ini, membaca teks sejarah
berbeda dengan membaca buku pelajaran sejarah di sekolah dan teks pada umumnya
karena sejarah berhubungan dengan dokumen masa lampau. Bukan hanya sekedar
membaca tetapi dapat megetahui teks tersebut dengan baik.
Bagian tiga, tantangan bagi guru, yakni bagaimana mengajarkan sejarah dengan
pendekatan multidisiplin, menggunakan sarana multimedia yang kini sudah dapat
digunakan untuk membantu mengajar seperti film dan kaset rekaman sejarah. Bagian
ini secara khusus melihat sejarah dari berbagai macam lensa (peran perspektif ilmu
dalam pengajaran sejarah). Beberapa kelemahan dari penelitian ini antara lain adalah
terkait dengan contoh-contoh yang diberikan, kebanyakan berasal dari sejarah Amerika
Serikat dan Inggris, sehingga tidak dapat dengan serta merta digeneralisasi kepada
negara-negara yang lain.
Seixas & Peck (2004: 109-117) dalam penelitiannya “historical thinking”
dilanjutkan dengan “Benchmarks of Historical Thinking: first steps” menghasilkan
sebuah kerangka berpikir historis atau yang dikenal dengan “benchmarks of historical
thinking” yang terdiri dari: (1) establish historical significance, (2) use primary source
evidence, (3) identify countinuity and change, (4) analyze cause and consequence, (5)
take historical perspectives, dan (6) understand the moral dimension of historical

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

interpretations. Hasil ini kemudian menjadi dasar dalam pertemuan tahunan “The
Historical Thinking Project” di Toronto Canada yang sudah berlangsung sejak tahun
2006-2013, yang diikuti peserta dari berbagai negara. Terakhir pertemuan Januari 2013
membahas bagaimana “assessment of historical thinking” berdasarkan enam
kemampuan tersebut. Hasil dari berbagai penelitian baik dibadang pengajaran,
pengembangan sumber belajar, dan pendekatan dalam belajar sangat optimis dan
menantang untuk kemajuan sistem pengajan dan penilaian bidang sejarah di sekolah.
Bain (2005: 179-214) dalam penelitiannya “the thought the world was flat?”
applying the princeples of how people learn in teaching school history”meneliti
bagaimana seharusnya siswa belajar dan guru mengajar sejarah di sekolah menengah.
Penelitiannya didahului dengan reviu bagaimana pembelajaran selama ini
dilaksanakan. Penekanan pada ingatan fakta, membuat pelajaran sejarah menjadi
pembelajaran yang sangat memebosankan, kering makna. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, guru harus mengubah pandangan bahwa mengajar sejarah bisa
darisatu sumber, tetapi dalam banyak sumber. Mengajar sejarah menuntut guru dan
siswa berpikir komplek. Guru membimbing siswa untuk berpikir historis. Studi
historismeminta siswauntuk mempertimbangkanapa yang mereka ketahui, bagaimana
merekatahu itu, danseberapa yakinatauragu-ragumereka.Belajar danmengajar
sejarahmenuntutberpikir kompleksoleh para guru dansiswa.
Penelitian Sutimin, Joebagio, Sariyatun, Abidin (2018). The Development of
Deconstuctive of Learning History Model to Promote the Higher Order Thinking
Skill of University Students.Penelitian ini menyajikan model belajar sejarah
dekonstruktive untuk mempromosikan keterampilan Higher Order Thinking Skill
(HOTS) Mahasiswa. Penelitian ini menggunakan model pengembangan Thiagarajan,
Semmel, & Semmel (1974) yang dibagi kedalam empat tahap yaitu mendefinisikan,
mendesain, mengembangkan, dan menyebarkan. Hasil Temuan yaitu masalah utama
pembelajaran sejarah di tingkat mahasiswa adalah berkaitan dengan aspek berfikir
kronologis, sikap pasif siswa, dan ketersediaan alat pembelajaran. Penelitian ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

penting untuk memantau secara berkelanjutan apa yang menjadi permasalahan siswa
dalam pembelajaran sejarah yang secara bersamaan akan memberikan informasi
penting bagi guru/ tenaga pendidik untuk perbaikan pembelajaran.
Penelitian John A Levisohn (2015) yang berjudul Historical Thinking and
Its Alleged Unnaturalness tujuan penelitian adalah mengkritik dua konsep pemikiran
historis menurut Sam Wineburg, dengan alasan bahwa kita harus mengganti konsep
generik pemikiran historis dengan konsepsi yang jauh lebih tertanam dalam praktik
spesifik disiplin. Penelitian menemukan bahwa tidak sepenuhnya salah argument yang
dikemukakan oleh Sam Wineburg hal ini dikarenakan bahwa pertama, penafsiran
sejarah yang baik memang membutuhkan kepekaan terhadap “masa lalu” ; kedua, studi
tentang sejarah memang memiliki potensi untuk memanusiakan manusia yaitu belajar
tentang orang lain dapat mendorong kerendahan hati kita tentang apa yang kita pikir
kita ketahui. Namun panah kausalitas tidak bergerak hanya satu arah akan tetapi suatu
proses saling mempengaruhi.
Penelitian Tim Barnet (2001) yang berjudul Dimensions of Moral Intensity
an Ethical Decision Making: An Empirical Study. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh
Intensitas moral adalah sebuah konstruksi yang berhubungan dengan isu-isu dalam hal
persepsi moral yang dirasakan. Persepsi individu terhadap intensitas moral harus
mempengaruhi pengakuan mereka terhadap isu-isu sebagai pengarah dilema moral dan
juga harus mempengaruhi penilaian etis dan niat perilaku mengenai isu-isu. Tujuan
penelitian adalah menguji hubungan antara 4 dimensi intensitas moral dan proses
pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian menunjukkan dimensi intensitas moral
dikaitkan dengan keputusan etis individu. Konsensus sosial dan keseriusan
konsekuensi sangat berpengaruh penting pada proses pengambilan keputusan etis.
Intensitas moral berhubungan secara eksklusif dengan karakteristik masalah atau
dilema moral sebagaimana yang dirasakan oleh pembuat keputusan dan terdiri dari
beberapa dimensi, termasuk besarnya konsekuensi, konsensus sosial, kemungkinan
efek, kedekatan temporal, kedekatan, dan konsentrasi efek. Jones (1991) menunjukkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

bahwa individu yang dihadapkan dengan masalah yang dianggap memiliki tingkat
intensitas moral yang tinggi akan lebih mungkin untuk mengenali masalah ini sebagai
memiliki komponen moral, untuk melakukan penalaran etika yang canggih, untuk
membentuk niat moral, dan untuk terlibat dalam perilaku etis.
Penelitian Andreas Korber (2017) yang berjudul Historical Awarness and
Moral Dimensions. Dalam penelitian ini dakatakan bahwa orintasi sejarah tidak hanya
tentang cerdas terhadap apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang diharapkan untuk
dilakukan di masa depan, tetapi juga tentang mengasah kedua persepsi tentang aturan
dan logika standar tentang itu. Berpikir historis sebagai operasi membentuk orientasi
tersebut, oleh karena itu harus mengintegrasikan etika dimensi dan temporal serta
keterkaitan antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi moral dan
temporal dalam berpikir historis pasti saling terkait, tetapi keterkaitan itubervariasi dan
konsistensi mereka dapat ditafsirkan sebagai indicator dari berbagai tingkat berpikir
historis.
Penelitian Dwi Ramadani, Sariyatun dan Leo Agung. S (2017) yang
berjudul The Effectiveness of Bung Tomo’s Biography Module Based on VCT in
Historical Learning to Improve the Value of Patriotism. Penelitian ini bertujuan
Mendeskripsikan strategi dan efektivitas modul biografi Bung Tomo berdasarkan
nilaiTeknik Klarifikasi (VCT) dalam meningkatkan Nasionalisme dan Patriotisme
SMA. Hasil penelitian menunjukkan melalui modul biografi Bung Tomo
berdasarkanTeknik Value Clarification (VCT), siswa dapat memahami materi dan
memecahkan masalah dalam acara terstruktur. Masalah-masalah yang dikompilasi
dalam modul bersifat kontemporer dan terkait dengan biografi Bung Tomoyang akan
menjadi contoh untuk meningkatkan nilai nasionalisme dan patriotisme peserta didik.
Sementara itu, materi dalam Modulnya adalah perjuangan historis Bung Tomo.
Pemahaman siswa tentang materi dankemampuan untukmenghubungkannya dengan
isu-isu kontemporer dapatmeningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Berdasarkan
data statistikanalisis, modul biografi Bung Tomo berdasarkan Teknik Klarifikasi Nilai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

(VCT) efektif untuk meningkatkannasionalisme dan patriotisme.


Penelitan Nunuk Suryani (2010) yang berjudul VCT (Value Clarification
Technique) Learning Model Application to Improve Historical Value
Understanding. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa pembelajaran sejarah disebut
sebagai transfer nilai. Peran pendidikan sejarah sangat penting dalam pengajaran
tentang nilai-nilai, moral dan spiritual. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini akan
terbentuk nasionalisme dalam sikap siswa. Pembentukan sikap nasionalistis penting
untuk mengantisipasi tantangan global dan berbagai guncangan yang melanda
disintegrasi Indonesia baru-baru ini. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa sikap
nasionalisme dapat menghasilkan dinamika sosial di masa lalu. Pendidikan Sejarah
dapat dikatakan memiliki nilai pendidikan jika pendidikan sejarahdapat berkontribusi
membuat siswa menjadi seseorang yang memiliki sikap bijak atau memiliki nilai moral
yang luhur. Pendekatan moral adalah pendekatan yang menekankan pada nilai makna
yang terkandung dalam materi yang disajikan sejarah. Siswa harus terlibat aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Agar sejarah belajar lebih bermakna atau bernilai tinggi, guru
dapat menggunakan metode yang dapat menginternalisasi nilai-nilai di dalamnya.
Salah satunya adalah model klarifikasi nilai. Model pembelajaran klarifikasi nilai
pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada 1950-an saat mengajar di New York
University. Model pembelajaran VCT (Teknik Klarifikasi Nilai) adalah “model
pembelajaran yang membantu siswa dalam menemukan dan menentukan nilai yang
dianggap baik dalam menangani masalah melalui proses analisis nilai yang ada pada
diri siswa. Pendekatan ini akan membantu siswa memahami dan menemukan nilai /
makna peristiwa sejarah secara mendalam (makna tertinggi). Hasil temuan adalah
bahwa model VCT menghasilkan pemahaman sejarah yang lebih baik daripada model
konvensional. Siswa dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki pemahaman
tentang nilai historis yang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan emosional
rendah. Penelitian ini sangat penting dalam pemahaman model pembelajaran VCT
yang digunakan dalam pengembangan bahan ajar sejarah digital berbasis pemikiran
Hamka nantinya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
C. Kerangka berpikir

Kondisi yang diharapkan: Kondisi Awal:


1. Belum terdapat bahan ajar sejarah yang
1. Terdapat bahan ajar sejarah digital berbasis digital
2. Penggunaan bahan ajar yang interaktif 2. Masih kurangnya penggunaan bahan ajar
3. Siswa mengetahui nilai-nilai pemikiran yang interaktif
tokoh 3. Masih rendahnya pengetahuan siswa
4. Mengingkatkan keterampilan berpikir terhadap nilai-nilai pemikiran tokoh
historis 4. Masih rendahnya keterampilan siswa
dalam berpikir historis

Masalah
Solusi
1. Keterampilan berpikr historis siswa masih
rendah
Pengembangan Bahan Ajar Sejarah (digital)
2. Kurangnya bahan ajar sejarah yang
Berbasis Pemikiran Tokoh
berbasis digital
3. Kurangnya bahan ajar sejarah yang
membahasa nilai-nilai pemikiran tokoh

Model The Six Concept of Historical


Thinking
Design

Pendekatan VCT

Draft Bahan Ajar

Development

Revisi dan Penyempurnaan Produk Validasi Ahli

Uji Implementasi Uji Efektifitas Tidak Efektif

Efektif

Draft Final Bahan Ajar Sejarah Digital berbasis Pemikiran Etika Hamka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

D. Model Hipotetik

Analisis Masalah
Analisis Potensi
Analisis Siswa
Analyze Analisis Pembelajaran
Analisis Bahan Ajar
Analisis Keterampilan Berpikir Historis

kisi-kisi bahan ajar sejarah (digital)


berbasis pemikiran Etika Hamka
Design Validasi ahli
untuk meningkatkan keterampilan
berpikir historis
Revisi kisi-kisi

bahan ajar sejarah (digital)


Development berbasis pemikiran Etika Validasi ahli
Hamka untuk meningkatkan
keterampilan berpikir historis

Uji coba terbatas

Validasi kepraktisan

Implementation Uji coba diperluas

“bahan ajar sejarah digital berbasis


pemikiran etika hamka melalui
Evaluation Review model The Six Concept of Historical
thinking dengan pendekatan Value
Technique Clarification (VCT)
untuk meningkatkan keterampilan
berpikir historis”

commit to user

Anda mungkin juga menyukai