Anda di halaman 1dari 14

Asuransi Barang Milik Negara Sebagai Upaya Perlindungan Aset

Negara Terhadap Bencana

Abstrak
Dalam rangka upaya perlindungan terhadap aset negara dari bencana alam maupun non alam,
diperlukan suatu kebijakan yang akan mampu melindungi aset negara dalam hal ini berupa
Barang Milik Negara (BMN) sehingga dapat meminimalkan risiko yang disebabkan oleh bencana.
Kebijakan yang telah dilakukan pemerintah terhadap perlindungan BMN dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang
Milik Negara yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Penerapan asuransi BMN
bertujuan untuk menjamin keberlangsungan layanan umum dan keberlangsungan tugas dan
fungsi operasional pemerintah, dengan mempercepat rehabilitasi/rekonstruksi fasilitas umum
berupa gedung dan bangunan yang rusak akibat bencana, sehingga dapat mempercepat
pemulihan tugas dan layanan pemerintah yang terganggu. Dana hasil klaim asuransi BMN
digunakan untuk membiayai rehabilitasi/rekonstruksi BMN yang terkena risiko/bencana
sehingga hal tersebut diharapkan dapat mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi
gedung dan bangunan yang rusak, serta diharapkan dapat mengurangi beban APBN.

Kata Kunci: Asuransi, Belanja Negara, Anggaran Negara, Barang Milik Negara
JEL Classification: G22, H50, H61, H82

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terletak di Pacific ring of fire atau wilayah dengan
banyak aktivitas tektonik sehingga negara ini harus terus menghadapi risiko bencana alam
(natural disaster) seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir, dan tsunami. Selain potensi
bencana yang diakibatkan oleh alam, ditinjau dari aspek demografis memperlihatkan bahwa
populasi penduduk Indonesia memiliki potensi yang dapat memicu bencana yang diakibatkan
oleh ulah manusia (man made disaster), termasuk juga bencana yang disebabkan oleh kegagalan
teknologi. Berdasarkan definisi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana disebutkan bawah bencana merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Berdasarkan dari definisi tersebut maka bencana pada dasarnya
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu alam, nonalam, dan manusia. Sebagai contoh bencana yang
disebabkan oleh alam adalah gempa bumi yang terjadi di Palu dengan kerugian mencapai
Rp18,48 triliun dan Lombok dengan kerugian mencapai Rp12,15 triliun pada tahun 2018
berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
termasuk dalam hal ini adalah kerugian terhadap aset-aset negara, swasta, maupun masyarakat.
Berdasarkan data dari BNPB, peta indeks rawan bencana di Indonesia tersaji dalam gambar
sebagaimana di bawah berikut:

1
Gambar 1
Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun 1815 - 2012

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia,
dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic
arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa – Nusa Tenggara, dan Sulawesi, yang sisinya
berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Berdasarkan kondisi tersebut maka sangat berpotensi serta sekaligus rawan bencana seperti
letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia,
lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986). Selain bencana yang
disebabkan oleh alam, bencana juga dapat disebabkan oleh nonalam seperti kebakaran gedung
atau bangunan yang disebabkan oleh ulah atau kelalaian manusia. Contoh atas kejadian ini adalah
kebakaran gedung Kejaksaan Agung yang terjadi pada 22 Agustus 2020 yang lalu dengan potensi
kerugian sebesar Rp161 miliar sesuai dengan nilai buku saat ini seperti yang disampaikan oleh
Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Dengan potensi terjadinya bencana yang diakibatkan oleh
alam maupun nonalam, maka negara harus terus menjaga kemampuan fiskal untuk penanganan
bencana mulai dari pencegahan, penanganan kedaruratan, rehabilitasi, hingga rekonstruksi
wilayah yang terdampak bencana. Dampak kerugian atas bencana yang terjadi dibebankan
kepada pemerintah baik itu melalui APBN maupun APBD sehingga akan sangat berpengaruh
terhadap kondisi keuangan negara. Dengan beban pemerintah tersebut maka, perlu upaya
terstruktur untuk memperkecil kerugian yang timbul akibat bencana yaitu salah satunya dengan
mengimplementasikan sistem asuransi untuk Barang Milik Negara (BMN).
Pengasuransian BMN sebelumnya telah diamanatkan pada Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dimana dalam Pasal 45
disebutkan bahwa Pengelola Barang dapat menetapkan kebijakan asuransi atau pertanggungan
dalam rangka pengamanan Barang Milik Negara tertentu dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan negara. Atas dasar Peraturan Pemerintah tersebut maka Menteri
Keuangan selaku Pengelola Barang menyusun peraturan terkait dengan asuransi Barang Milik

2
Negara melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian
Barang Milik Negara yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Sedangkan dari sisi
penganggaran, sesuai dengan Peraturan Dirjen Anggaran Nomor PER-5/AG/2020 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA yang merupakan
peraturan teknis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.02/2019 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA, disebutkan bahwa pengasuransian
BMN dilakukan dalam rangka pengamanan BMN khususnya di daerah rawan bencana dengan
tetap memperhatikan kondisi keuangan negara. Pengasuransian BMN dialokasikan dalam
belanja pemeliharaan dan klaim atas bencana dalam bentuk uang ditampung dalam PNBP
Kementerian/ Lembaga. Dana yang berasal dari penerimaan atas klaim asuransi dalam bentuk
uang tersebut akan digunakan untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi BMN akibat
bencana alam tersebut.
Dengan melihat potensi bencana alam maupun kemungkinan bencana nonalam serta
amanat yang telah di atur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri,
serta Peraturan Direktur Jenderal, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk melihat
apakah penerapan kebijakan Asuransi BMN sudah berjalan dengan tepat maupun memberikan
alternatif solusi atas kebijakan pengasuransian BMN pada Kementerian Negara/Lembaga.
Berdasarkan hal tersebut maka, terdapat pertanyaan dalam penelitian yang akan dijawab dalam
kajian ini yaitu:
1. Bagaimana implementasi pengasuransian BMN pada Kementerian Negara/Lembaga?
2. Apakah kebijakan pengasuransian BMN sudah tepat dilaksanakan oleh Kementerian
Negara/Lembaga?
3. Apakah solusi rekomendasi yang dapat diberikan atas implementasi kebijakan
pengasuransian BMN?
Penelitian ini dilakukan untuk melihat implementasi pengasuransian BMN pada
Kementerian Negara/Lembaga dan hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi rekomendasi
masukan atas implementasi pengasuransian BMN.

2. Tinjauan Pustaka
2.1. Manajemen Risiko
Risiko didefinisikan sebagai kejadian yang merugikan, atau risiko adalah bagi analis
investasi dan, risiko adalah penyimpangan hasil yang diperoleh dari yang diharapkan. Apapun
definisi risiko, setidaknya mencakup dua aspek penting, yaitu aspek probabilitas/kemungkinan
dan aspek kerugian/dampak. Menurut Philip Best (2004) menyatakan bahwa, risiko adalah
kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan beberapa
definisisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa risiko merupakan ketidakpastian akan
terjadinya sesuatu kerugian dimasa yang akan datang. Atas risiko yang akan yang berpotensi
akan uncul tersebut, maka diperlukan manajemen risiko agar dapat mengendalikan risiko yang
kemungkinan akan terjadi. Proses manajemen risiko dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Identifikasi Risiko
Proses ini merupakan langkah awal dalam memulai identifikasi dengan melakukan
analisis pada karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional dan juga risiko dari
produkdan kegiatan usaha. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko adalah membuat

3
daftar risiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin serta menganalisisnya secara aktif agar
tidak timbul risiko yang berlebihan.
b. Pengukuran Risiko
Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap selanjutnya adalah pengukuran risiko,
pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar (tolok ukur) untuk memahami signifikansi dari
akibat (kerugian) yang akan ditimbulkan oleh terwujudnya suatu risiko, baik secara individual
maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan usaha. Lebih lanjut pemahaman yang akurat
tentang signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan
berhasil. Metode pengukuran ini dapat bersifat kualitatif, kuantitatif atau kombinasi antara
keduanya.
c. Pemantauan Risiko
Pada tahapan ini dilakukan dengan cara mengevaluasi pengukuran risiko yang terdapat
pada suatu kegiatan serta kondisi efektivitas proses manajemen risiko. Dalam proses ini perlu
menyiapkan sistem dan prosedur yang efektif untuk mencegah terjadinya gangguan dalam
proses pemantauan risiko. Hasil pemantauan itu dapat digunakan untuk menyempurnakan
proses manajemen risiko yang ada.
d. Pengendalian Risiko
Tahap ini dilakukan untuk melihat kemungkinan penyempurnaan tahap analisis risiko
yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan. Pengendalian risiko dilakukan atas dasar hasil
evaluasi pengukuran risiko yang terdapat pada seluruh produk dan aktivitas yang telah
direncanakan. Metode pengendalian risiko harus mempertimbangkan analisis terhadap besarnya
potensi kerugian serta pertimbangan atas manfaat yang didapat serta biaya yang dikeluarkan.

2.2. Asuransi
Menurut Danarti (2011 , p. 6) Asuransi atau yang dalam bahasa Belanda “verzekering”
memiliki arti yaitu pertanggungan. Secara praktiknya, terdapat dua pihak yang terlibat dalam
asuransi yaitu pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak yang lainnya akan
mendapat penggantian suatu kerugian, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu
peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan
terjadinya. Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Ketentuan Umum Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar
bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Berdasarkan definisi yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi
adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada usaha tertentu, dimana didasari
oleh aturan-aturan hukum yang didalamnya telah dijelaskan bahwa berdasarkan perjanjian

4
kedua belah pihak yaitu Tertanggung (Nasabah) kepada Penanggung (Pihak Asuransi) apabila
terjadi kerugian tertanggung yang berkepentingan akan merasa aman dari ancaman tersebut,
sebab jika kerugian itu betul-betul terjadi penanggunglah yang akan menggantinya. Selain itu,
asuransi juga merupakan upaya pemindahan risiko (transfer of risk) dari satu pihak kepada
perusahaan asuransi dengan membayar kompensasi (premi) yang nilainya jauh lebih kecil
daripada nilai obyek yang dipertanggungkan yang bertujuan untuk mengembalikan posisi
keuangan tertanggung ke tingkat yang sama seperti sesaat sebelum kerugian terjadi misalnya
kecelakaan/kerusakan/kehilangan.
Terkait dengan asuransi terhadap risiko bencana, terdapat penjelasan perbedaan antara
asuransi tradisional dengan asuransi yang memberikan perlindungan dari bencana alam yaitu:
a. Asuransi Tradisional
Asuransi yang memberikan perlindungan, dimana Tertanggung membayar premi
asuransi yang nantinya dapat digunakan untuk meminimalisir dampak ekonomi yang terkadi
akibat risiko yang disebutkan dalam polis asuransi.
b. Asuransi Katastropik
Asuransi yang memberikan perlindungan dari bencana alam seperti gempa bumi, banjir,
angin topan, dan bencana buatan manusia seperti kerusuhan atau serangan teroris. Peristiwa
probabilitas rendah dan biaya tinggi ini umumnya dikecualikan dari polis asuransi pemilik rumah
standar.

2.3. Barang Milik Negara


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, disebutkan bahwa Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. Barang Milik Negara meliputi:
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah; dan
b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah
Barang sebagaimana dimaksud di atas meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Terkait dengan dengan pengelolaan Barang Milik Negara, Menteri Keuangan selaku
bendahara umum negara adalah Pengelola Barang Milik Negara sedangkan Menteri/Pimpinan
Lembaga selaku pimpinan Kementerian/Lembaga adalah Pengguna Barang Milik Negara.

2.4. Government Budget Constraint


Budget constraint adalah kendala pengeluaran atau investasi yang disebabkan
keterbatasan ukuran pendapatan. Dengan kata lain, budget constraint dapat diartikan sebagai
penghasilan atau pendapatan yang dihasilkan dan digunakan untuk membeli barang atau jasa
yang dibutuhkan. Semakin tinggi penghasilan yang dimiliki, maka akan semakin banyak pula
kombinasi barang atau jasa yang akan digunakan, hal ini juga berlaku sebaliknya. Namun, yang

5
harus di catat, bahwa ada skala prioritas dalam hal pemenuhan kebutuhan yang dihadapkan
dengan teori budget constraint. Sehingga dalam penggunaan anggaran harus memilih salah satu
yang menjadi kebutuhan yang paling penting. Sedangkan government budget constraint adalah
identitas akuntansi yang menghubungkan pilihan otoritas moneter atas pertumbuhan uang atau
suku bunga nominal dan pilihan otoritas fiskal untuk pengeluaran, perpajakan, dan pinjaman
pada suatu waktu tertentu. Ketika pinjaman menjadi sumber pembiayaan fiskal, government
budget constraint juga dapat berfungsi untuk menghubungkan pilihan antara penerapan
kebijakan moneter dan fiskal yang dilakukan saat ini dengan memperhatikan variabel kebijakan
moneter dan fiskal yang diharapkan di masa yang akan datang. Dimensi antarwaktu ini membuat
beberapa kemungkinan atas dampak yang akan terjadi dari penetapan kebijakan ekonomi makro,
karena kebijakan yang dilakukan saat ini atau di masa yang akan datang diharapkan dapat
dilakukan penyesuaian agar anggaran pemerintah dapat terpenuhi.

2.5. Kebijakan Asuransi BMN


Penerapan asuransi BMN secara teknis telah di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara yang kemudian diubah
menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang
Milik Negara dimana penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) merupakan peraturan
turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dalam PMK Nomor 97/PMK.06/2019 terdapat beberapa perubahan dari PMK
sebelumnya dengan perbandingan sebagai berikut:
Tabel 1
Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengasuransian BMN

No Uraian PMK 247/2016 PMK 97/2019


1 Subyek Satker dan Perusahaan Asuransi Pengguna Barang dan Konsorsium
ABMN
2 Obyek Gedung Bangunan, Jembatan, Alat Gedung Bangunan
Angkutan dan BMN ditentukan
Pengelola
3 Lokasi Daerah Rawan Bencana Seluruh Wilayah dengan Kriteria
Berdampak Pada Pelayanan
Masyarakat dan Penyelenggaraan
TUSI Pemerintahan
4 Polis Tidak Ditentukan Asuransi Barang Milik Negara
5 Perils Tidak Ditentukan Seluruh Jenis Bencana Alam/Non
Alam
6 Tarif Tidak Ditentukan Satu Tarif Asuransi BMN
7 Pengadaan Pengadaan Jasa Secara Umum Penunjukan Langsung
8 Ganti Kerugian Barang dan Uang Uang

Pelaksanaan pengasuransian Barang Milik Negara akan melibatkan konsorsium Barang Milik
Negara dengan tujuan pembentukan konsorsium tersebut yaitu:
a. Pembentukan konsorium untuk risiko yang sulit ditempatkan, khusus, dan nilai
pertanggungan besar;
b. Menggalang, menumbuhkan, dan mengembangkan industri asuransi nasional;
c. Kerjasama dan kebersamaan industri asuransi Indonesia;

6
d. Menghilangkan persaingan dan menjaga standar pelayanan.

2.6. Proses Penganggaran Asuransi BMN


Proses perencanaan penganggaran Asuransi BMN, diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 208/PMK.02/2019 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L
dan Pengesahan DIPA yang secara teknis diatur dalam Peraturan Dirjen Anggaran Nomor PER-
5/AG/2020 tentang Petunjuk Teknis dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA dimana
disebutkan bahwa, dalam rangka mengamankan BMN khususnya di daerah rawan bencana, dapat
dilakukan pengasuransian BMN sesuai dengan kondisi keuangan negara dengan mempedomani
Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pengasuransian BMN. Pengasuransian BMN dialokasikan
dalam belanja pemeliharaan dalam output layanan perkantoran. Sementara itu, penerimaan
klaim atas bencana dalam bentuk uang ditampung dalam PNBP Kementerian/Lembaga.
Kementerian/lembaga dapat menggunakan dana yang berasal dari penerimaan atas klaim
asuransi dalam bentuk uang tersebut untuk rehabilitasi dan rekonstruksi BMN akibat bencana
alam secara langsung tanpa meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat sesuai
ketentuan peraturan per-undang-undangan.
Dalam rangka untuk proses pencairan atas klaim asuransi BMN, maka
Kementerian/Lembaga perlu melakukan revisi anggaran terlebih dahulu karena atas klaim
tersebut akan mengakibatkan perubahan anggaran belanja yang bersumber dari penerimaan
atas klaim asuransi BMN yang bersifat menambah pagu anggaran belanja Kementerian/Lembaga.
Proses revisi anggaran tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
117/PMK.02/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2020 yang secara teknis
diatur dalam Peraturan Dirjen Anggaran Nomor PER-8/AG/2020 tentang Petunjuk Teknis Tata
Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2020 yang menjadi Kewenangan Direktorat Jenderal
Anggaran, Pembantu Pengguna Anggaran, dan Kuasa Pengguna Anggaran. Kemudian setelah
dilakukan revisi anggaran maka, alokasi belanja negara yang bersumber dari penerimaan atas
klaim asuransi BMN digunakan untuk membiayai rehabilitasi dan/atau rekonstruksi
gedung/bangunan yang rusak setelah mendapat konfirmasi berdasarkan sistem informasi atau
dari KPPN setempat atas penerimaan setoran dimaksud telah masuk ke rekening kas negara.
Kegiatan rehabilitasi dan/atau rekonstruksi gedung/bangunan yang rusak beserta alokasi
pendanaannya yang berasal dari penerimaan atas klaim asuransi BMN dapat dilakukan
antartahun setelah mendapat persetujuan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai Persetujuan Kontrak Tahun Jamak oleh Menteri Keuangan.

2.7. Penerapan Asuransi Bencana di Beberapa Negara


Beberapa negara telah menerapkan beberapa model penanganan bencana yang dapat
dikaji dalam upaya menjadi benchmark untuk penerapan asuransi bencana di Indonesia.
Mengutip dari model penanganan bencana yang dilakukan oleh beberapa negara yang dilakukan
Sunarsip (2007), terdapat tiga negara yang dapat dijadikan sebagai benchmark yaitu Turki,
Kanada, dan Jerman yang melibatkan asuransi dalam upaya penanggulangan bencana dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 2
Penanganan Bencana Dibeberapa Negara

7
• Turki menetapkan model penanganan bencana yang tersentralisasi, yang
dikenal dengan National Disaster Management System.
• Pihak-pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana antara lain:
pemerintah, militer, palang merah, universitas, dan organisasi non
Turki
pemerintah.
• Pada tahun 1999, Turki mengubah pendekatan pengelolaan penanggulangan
bencana dengan menetapkan sistem emergency penanggulangan bencana
yang modern dan lebih terdesentralisasi.
• Terdapat dua jenis kerugian akibat bencana yang ditanggung asuransi, yakni
kebakaran dan tornado. Sedangkan jumlah kerugian yang dibayarkan
Kanada tergantung pada tipe dari rumah yang dipertangungkan serta lokasinya.
• Untuk bencana berupa kebakaran, Kanada telah membuat suatu special
coverage insurance sebagai tambahan terhadap asuransi standar.
• Jerman memiliki undang-undang perlindungan terhadap bencana banjir
(tahun 2004) yang didalamnya mengatur tentang larangan untuk mendirikan
bangunan serta melakukan aktivitas ekonomi lainnya di daerah-daerah yang
Jerman rawan bencana banjir.
• Pengalaman Jerman dalam menaggulangi risiko kerugian akibat bencana
yang besar menunjukkan perlunya bantuan yang cukup dari pemerintah,
akibat terbatasnya kecukupan dana yang dapat disediakan pihak swasta.
Sumber: Sunarsip, dkk (2007)

3. Metodologi Penelitian
Metode penelitian tentang Asuransi Barang Milik Negara Sebagai Upaya Perlindungan
Aset Negara Terhadap Bencana, dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif,
yaitu suatu metode yang mengamati dan menganalisis bagaimana penerapan asuransi barang
milik negara sudah dapat secara optimal melindungi aset negara dari risiko bencana termasuk
juga dari sisi penganggarannya. Berdasarkan pendekatan dengan menggunakan metode
kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, data dan informasi yang diperoleh selanjutnya
diorganisir dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran terkait dengan sasaran penelitian.
Dengan demikian, pengolahan data dan informasi yang diperoleh dengan cara tersebut dapat
diistilahkan dengan metode deskriptif analitis.
Menurut Winarno Surachmad (2009:139), “Metode deskriptif tidak terbatas hanya
sampai pada pengumpulan data, tetapi meliputi: analisis dan interprestasi tentang arti data itu,
membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu.” Dalam hal ini, peneliti menggali
data secara langsung dari narasumber tanpa memberikan suatu “perlakuan” seperti pada
penelitian eksperimen. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang fenomena
perilaku seseorang dalam pengembangan kegiatannya dan menempatkan peneliti sebagai
instrumen utama dalam penelitian kualitatif.

4. Hasil Analisis dan Pembahasan


4.1. Beban APBN untuk Pengasuransian seluruh BMN
Pengasuransian BMN telah diamanatkan mulai tahun 2014 sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dimana dalam Pasal 45 disebutkan bahwa Pengelola Barang dapat menetapkan kebijakan

8
asuransi atau pertanggungan dalam rangka pengamanan Barang Milik Negara tertentu dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara, pengadaan
perusahaan asuransi yang akan menanggung klaim asuransi BMN dapat dilakukan dengan
penunjukan langsung dan di tahun 2019 dibentuk konsorsium asuransi yang akan menanggung
proses klaim asuransi BMN. Besaran premi yang disepakati dengan konsorsium asuransi BMN
adalah sebesar 1,96 persen dari nilai BMN yang dipertanggungkan dan hanya untuk gedung atau
bangunan yang dapat diasuransikan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118/KMK.6/2020 rincian jumlah
dan nilai BMN yang dapat diasuransikan pada tahun 2020 beserta penghitungan perkiraan
jumlah premi yang akan dibayarkan melalui APBN adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Perkiraan Kebutuhan Anggaran Pembayaran Premi Asuransi BMN

No Jenis Gedung/Bangunan Jumlah Nilai


1 Gedung/Bangunan Kantor 58.038 unit Rp128,4 triliun
2 Gedung/Bangunan Kesehatan 5.549 unit Rp17,6 triliun
3 Gedung/Bangunan Pendidikan 38.193 unit Rp41,6 triliun
Total 101.780 unit Rp187,6 triliun
Tarif Premi 1,96 persen
Pembayaran Premi Rp368,6 miliar
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

Berdasarkan tabel di atas, total jumlah BMN yang dapat diasuransikan adalah sebanyak
101.780 unit gedung/bangunan dengan total nilai sebesar Rp187,6 triliun yang tersebar
diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan data tersebut, dengan tarif
premi sebesar 1,96 persen dari nilai BMN yang dipertanggungkan, maka apabila seluruh BMN
diasuransikan, alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk pembayaran premi adalah sebesar
Rp368,6 miliar yang harus disiapkan setiap tahun. Apabila seluruh BMN diasuransikan, hal yang
perlu diperhatikan kembali adalah bagaimana kondisi keuangan negara apakah memungkin
untuk menerapkan hal tersebut sehingga government budget constraint akan menjadi salah satu
hal yang akan dipertimbangkan apabila pembayaran premi murni hanya dari APBN.

4.2. Pengasuransian BMN pada Kementerian Negara/Lembaga


Proses pengasuransian BMN pada Kementerian Negara/Lembaga secara garis besar
yaitu:
a. Usulan oleh Satuan Kerja (Satker) kepada Pengguna Barang (Pimpinan tertinggi K/L);
b. Penghitungan nilai aset yang akan diasuransikan;
c. Pengadaan perusahaan asuransi dengan metode penunjukan langsung kepada konsorsium
asuransi BMN.
d. Pengguna aset memelihara BMN yang dimiliki selama masa pengasuransian BMN.
e. Mengajukan klaim apabila BMN yang diasuransikan terdampak bencana.
f. Menghitung nilai klaim BMN yang terdampak bencana.

9
g. Konsorsium asuransi BMN membuat klaim pembayaran langsung kepada Bendahara Umum
Negara dan diterima oleh K/L berupa PNBP setelah izin penggunaan PNBP disetujui oleh
Menteri Keuangan.
h. Pengguna BMN melakukan revisi anggaran atas PNBP yang bersumber dari klaim asuransi
BMN.
i. Setelah proses revisi anggaran selesai, K/L dapat segera melakukan proses perbaikan BMN
yang terdampak bencana.
Implementasi asuransi BMN baru dimulai tahun 2019 dengan pilot project oleh
Kementerian Keuangan dengan melibatkan konsorsium asuransi BMN dengan Standar Polis
Asuransi BMN (Polis ABMN) yang disusun khusus dengan mengadaptasi beberapa polis asuransi
standar yang sudah ada (property all risks) untuk perlindungan dari berbagai bencana.
Pemerintah dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan
telah merencanakan implementasi asuransi BMN secara bertahap. Pada tahun 2020, asuransi
BMN akan diimplementasikan oleh 10 Kementerian Negara/Lembaga, kemudian 20 Kementerian
Negara/Lembaga pada tahun 2021, 40 Kementerian Negara/Lembaga pada tahun 2022, dan
seluruh Kementerian Negara/Lembaga pada tahun 2023. Sesuai dengan yang bersumber dari
data Business Intelligence Direktorat Jenderal Anggaran tahun anggaran 2019 sampai dengan
2020, sesuai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) pada Akun
523113 yang digunakan untuk Belanja Asuransi Gedung dan Bangunan dengan penjelasan sesuai
dengan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-211/PB/2018 tentang
Kodefikasi Segmen Akun pada Bagan Akun Standar yaitu digunakan untuk mencatat biaya premi
asuransi gedung dan bangunan atas risiko yang dipertanggungjawabkan untuk gedung dan
bangunan tersebut sesuai dengan perjanjian dan untuk mencatat biaya lain-lain terkait
pengasuransian BMN dimaksud sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
pengasuransian Barang Milik Negara. Berdasarkan informasi tersebut, maka data yang dapat
disajikan adalah sebagai berikut:
Tabel 4
Alokasi Anggaran pada Akun Belanja Asuransi Gedung dan Bangunan
Pagu 2019 Pagu 2020
No Kementerian/Lembaga
(Rp) (Rp)
1 DPR - 105.954.000
2 KEMENHAN - 389.403.000
3 KEMENKEU 1.771.923.000 22.000.000.000
4 KEMENSOS - 246.303.000
5 KEMEN PPN/BAPPENAS - 270.000.000
6 LEMHANNAS - 18.981.000
7 BMKG - 145.000.000
8 KPU - 147.000.000
9 BPKP - 267.540.000
10 KEMENDAG - 378.071.000
11 DPD - 20.000.000
12 LKPP - 72.000.000
13 BNPT - 280.000.000
TOTAL 1.771.923.000 24.340.252.000

10
Sumber: Business Intelligence Direktorat Jenderal Anggaran

Pada tahun anggaran 2019, alokasi pada RKA-K/L untuk asuransi BMN hanya pada
Kementerian Keuangan dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,77 miliar, sedangkan di tahun
anggaran 2020 sudah terdapat 13 K/L yang mengalokasikan anggaran untuk pembayaran premi
asuransi BMN dengan total alokasi anggaran sebesar Rp24,34 miliar. Sebagai contoh lebih rinci
untuk Kementerian Keuangan yang menjadi pilot project penerapan asuransi BMN, untuk tahun
anggaran 2019 terdapat 1.360 BMN yang diasuransikan dengan nilai aset sebesar Rp10,84 triliun
dan tahun anggaran 2020 terdapat 1.337 yang diasuransikan dengan nilai aset sebesar Rp10,74
triliun. Secara lebih rinci, berdasarkan nilai aset dan tarif premi, maka kewajiban pembayaran
premi dan alokasi dalam RKA-K/L adalah sebagai berikut:
Tabel 5
Alokasi Anggaran Premi Asuransi Kementerian Keuangan TA 2019-2020
Tarif Kewajiban Alokasi DIPA
Nilai Aset
Tahun Premi Pembayaran Premi Pembayaran Premi
(Rp)
(%) (Rp) (Rp)
2019 10.840.000.000.000 1,96 21.300.600.000 1.771.923.000

2020 10.738.182.982.101 1,96 21.100.529.560 22.000.000.000


Sumber: Kementerian Keuangan

Di tahun 2019, Kementerian Keuangan hanya mengalokasikan anggaran untuk


pembayaran premi asuransi BMN sebesar Rp1,77 miliar karena kerjasama dengan konsorsium
asuransi BMN baru disepekati di bulan Desember sehingga hanya memiliki jangka waktu selama
satu bulan untuk masa pertanggungan atas BMN yang diasuransikan. Sedangkan untuk tahun
2020, alokasi pada RKA-K/L sebesar Rp22,00 miliar dengan kewajiban pembayaran premi
sebesar Rp21,10 miliar.

4.3. Penggunaan Anggaran dari Klaim Asuransi BMN


Salah satu contoh Kementerian Negara/Lembaga yang telah mengajukan klaim atas
asuransi BMN adalah Kementerian Keuangan yang mengajukan klaim tersebut di tahun 2020 ini.
Kementerian Keuangan telah mengajukan izin penggunaan PNBP kepada Menteri Keuangan
selaku Bendaha Umum Negara agar PNBP atas klaim asuransi BMN yang diterima dapat
digunakan untuk memperbaiki gedung/bangunan yang terkena bencana. Setelah izin
penggunaan PNBP diterima, Kementerian Keuangan akan melakukan revisi anggaran berupa
tambahan pagu yang bersumber dari PNBP sebesar nilai klaim yang dibayarkan oleh konsorsium
asuransi BMN. Sebagai informasi tambahan, klaim asuransi BMN yang diterima dalam bentuk
PNBP, hanya dapat digunakan di tahun berjalan atau dengan kata lain tidak dapat digunakan di
tahun yang akan datang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi/konstruksi
BMN yang terkena bencana apabila proses klaim baru dibayarkan di akhir tahun karena sangat
mungkin terjadi apabila bencana terjadi di akhir tahun.
Kembali ke contoh kasus pada Kementerian Keuangan, terdapat tujuh kantor
Kementerian Keuangan yang terkena bencana di tahun 2020 dengan estimasi penghitungan
penggantian baru selesai untuk tujuh kantor oleh pihak konsorsium asuransi BMN sehingga
terhadap enam kantor tersebut diperkirakan biaya penggantian yang akan diterima adalah
sebesar Rp588,35 juta. Pada tahun 2020, terdapat kejadian bencana alam berupa banjir yang

11
menimpa daerah Jabodetabek sehingga menyebabkan kerusakan pada beberapa kantor
Kementerian Keuangan dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 6
Estimasi Awal Nilai Klaim Ganti Rugi Asuransi BMN
Nilai Klaim Ganti Rugi
No Satuan Kerja
(Rp)
1 KPP Pratama Bekasi Selatan 35.405.667
2 KPP Pratama Bekasi Utara 2.334.816
3 KPP Pratama Cibitung 118.703.970
4 KPP Pratama Cibinong 1.196.276
5 Pusdiklat Bea dan Cukai 74.455.517
6 BPIB Cempaka Putih 356.257.530
Total 588.353.776
Sumber: Kementerian Keuangan

Sampai dengan bulan April 2020 telah diajukan klaim asuransi pada tujuh satuan kerja
yang terdampak banjir di wilayah Jabodetabek. Terkait klaim tersebut, saat ini masih dalam
proses penentuan nilai ganti rugi. Namun demikian pihak asuransi telah menyampaikan estimasi
awal perhitungan ganti rugi pada enam satuan kerja yang terdampak banjir tersebut, sementara
satu satuan kerja lainnya, yaitu Kantor Pusat Bea dan Cukai belum disampaikan estimasi nilai
kerugiannya sehingga angka estimasi klaim asuransi BMN adalah sebesar Rp588,35 juta. Dengan
pembayaran premi sebesar Rp21,10 miliar di tahun 2020, penggunaan klaim asuransi BMN yang
diterima oleh Kementerian Keuangan berdasarkan atas angka estimasi adalah sebesar Rp588,35
juta.

5. Simpulan dan Rekomendasi


5.1. Simpulan
Kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka pengasuransian BMN ini bertujuan
untuk pengamanan BMN, kepastian keberlangsungan pemberian pelayanan umum, kelancaran
tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan, serta mengurangi beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah berpandangan penerapan asuransi BMN menjadi suatu
hal yang sangat penting karena sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana
yang tinggi, dimana Indonesia sudah beberapa kali menghadapi beragam bencana yang
menimbulkan banyak kerugian ekonomi termasuk kerugian BMN. Selama ini hampir seluruh
biaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana ditanggung oleh pemerintah, sehingga sangat
membebani APBN. Oleh karena itu, asuransi BMN merupakan suatu kebutuhan penting sebagai
bagian dari mitigasi risiko bencana. Penerapan asuransi BMN bukan didasarkan atas
memberikan rasa aman atas BMN, tetapi berdasarkan kekhawatiran pada kerugian yang dialami
apabila total premi yang dibayarkan lebih besar dari pada besaran klaim yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi.
Kebutuhan anggaran untuk membayar premi asuransi terbilang cukup besar, dengan
total nilai seluruh aset BMN berupa Gedung/Bangunan yaitu sebesar Rp187,6 triliun maka,

12
anggaran yang harus disediakan melalui APBN untuk membayar premi tersebut adalah sebesar
Rp368,6 miliar setiap tahunnya dengan asumsi nilai aset di tahun 2020. Pengasuransian BMN
dapat dilakukan dalam rangka pengamanan BMN khususnya di daerah rawan bencana dengan
tetap memperhatikan kondisi keuangan negara.
Pada proses setelah menerima klaim asuransi BMN, penerimaan yang bersumber dari
klaim atas asuransi BMN akan tercatat sebagai PNBP yang kemudian penerimaan tersebut akan
digunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga untuk melakukan rehabiltasi atau renovasi atas
BMN berupa gedung/bangunan yang terkena bencana. Proses penggunaan PNBP yang
bersumber dari klaim asuransi BMN harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan terlebih
dahulu untuk mendapatkan status sebagai Satuan Kerja (Satker) pengguna PNBP. Perlu
dipertimbangkan bahwa, PNBP yang diterima harus digunakan seluruhnya di tahun berkenaan
dan tidak dapat digunakan di tahun yang akan datang, sehingga klaim asuransi yang diterima di
akhir tahun akan sulit dapat direalisasikan mengingat proses rehabilitasi maupun renovasi
gedung/bangunan memerlukan proses yang tidak sebentar.

5.2. Rekomendasi
Kondisi keuangan negara perlu diperhatikan mengingat biaya premi yang cukup besar,
sehingga asuransi BMN dapat diterapkan di daerah yang hanya masuk kategori rawan bencana
di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga tidak seluruh BMN berupa gedung/bangunan diasuransikan
dengan pertimbangan yaitu level risiko bencana berada pada level risiko sedang hingga tinggi.
Penerapan asuransi bencana perlu terus didorong untuk segera merealisasikan pooling
fund bencana dengan tujuan untuk meringankan beban APBN serta melakukan sinergi dengan
alokasi terkait penanggulangan bencana yang sudah ada seperti asuransi BMN pada Kementerian
Negara/Lembaga, cadangan bencana untuk dana siap pakai, dan cadangan penanggulangan
bencana, sehingga biaya yang diperlukan untuk penanganan bencana dapat bersumber dari dana
yang dikelola khusus untuk bencana.

Daftar Pustaka

Ahdi, D. (2015). Perencanaan Penanggulangan Bencana Melalui Pendekatan Manajemen Risiko.


Jurnal Unitri Vol 5.
Boulatov, A., & Stephan, D. (2013). The Risk Sharing Implications of Disaster Insurance Funds.
Journal of Risk and Insurance, 80, 37-64.
Direktorat Jenderal Anggaran. (2020, Desember). Retrieved from Business Intelligence DJA:
http://www.bi.anggaran.depkeu.go.id/
Eric, M. L., & James, M. N. (2010). Government Budget Constraint. ResearchGate.
Humas DJKN. (2014, November 17). Berita DJKN. Retrieved from Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/
Humas DJKN. (2018, Februari 1). Berita DJKN. Retrieved from Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/
Ma, S., & Jian, J. (2018). Discrete Dynamical Pareto Optimization Model in The Risk portfolio for
Natural Disaster Insurance in China. Nat Hazards, 90, 445-460.

13
Negara, F. S. (2017). Esai Keuangan Negara: Sumbangsih Pemikiran Untuk Negeri. Yogyakarta:
Diandra Kreatif.
Picard, P. (2008). Natural Disaster Insurance and the Equity-Efficiency Trade-Off. The Journal of
Risk and Insurance, 75, 17-38.
Sanjaya, A. W. (2020, Januari 15). Berita Media DJKN. Retrieved from Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/
Siswanto, A. D. (2014). Analisis Kemampuan Bayar Masyarakat Dalam Program Asuransi
Bencana. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 18 No.1, 15-34.
Sudiarto, T. D. (2016). Asuransi Kebencanaan dalam Perekonomian. Jurnal Universitas
Paramadina, 1498-1516.
Sunarsip, Iqbal, M., & Viverita. (2007). Menggagas Keterlibatan Asuransi Dalam Penanggulangan
Bencana.

14

Anda mungkin juga menyukai