Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN MANAJEMEN BENCANA

“PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA”

Nama : Selpi
NIM : 191447228
Dosen Pengampu : Yuliana HS, S.Sos., M.Si

POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN PANGKAL PINANG
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN BELITUNG
AGUSTUS 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala petunjuk-Nya sehingga makalah
dengan judul “Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Indonesia” dapat terselesaikan
dengan baik dan lancar. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung penyusunan makalah baik secara moral, material dan spiritual. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen
Bencana.
Serta makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan lebih lanjut
mengenai “Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Indonesia”. Demikian
penulisan makalah ini saya buat, semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya,
dan pembaca pada umumnya. Penyusun mohon maaf jika dalam penulisan
terdapat kesalahan. Tidak lupa penyusun menantikan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan makalah yang akan datang.

Tanjungpandan, Agustus 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN....................................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3. Tujuan...........................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................4
2.1. Bencana........................................................................................................................4
2.1.1 Pengertian Umum Bencana...................................................................................4
2.1.2 Jenis-Jenis dan Faktor Penyebab Bencana............................................................8
2.1.3 Manajemen Bencana.............................................................................................9
2.1.4 Paradigma Penanggulangan Bencana.................................................................14
2.1.5 Pengembangan Kapasitas dalam Manajemen Bencana......................................18
2.1.6 Potensi Sumber Daya Lokal dalam Penanggulangan Bencana...........................21
2.2. Peran Pemerintah dalam Upaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana.........23
BAB III.....................................................................................................................................25
PENUTUP.................................................................................................................................25
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................25
3.2. Saran...........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu
sesuatu hal yang berada di luar kontrol manusia, oleh karena itu, untuk
meminimalisir terjadinya korban akibat bencana diperlukan kesadaran dan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana. Kesadaran dan kesiapan menghadapi
bencana ini idealnya sudah dimiliki oleh masyarakat melalui kearifan lokal daerah
setempat, karena mengingat wilayah Indonesia merupakan daerah yang mempunyai
resiko terhadap bencana.
Akhir – akhir ini bencana alam yang terjadi terus - menerus setiap hari
melanda Indonesia bagian tengah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat tepatnya di
pulau lombok adalah gempa bumi. Berdasarkan nilai kerugian dan frekuensi
kejadian bencana gempa bumi terlihat adanya peningkatan yang cukup berarti.
Kejadian bencana gempa bumi sangat dipengaruhi oleh faktor alam dikarenakan
pulau lombok berada diantara dua pembangkit gempa dari utara dan selatan, dari
utara terdapat struktur geologi sesar naik flores sedangkan daari selatan terdapat
zona subduksi lempeng indo-australia. Disamping itu gempa bumi sering terjadi di
lombok tahun – tahun sebelumnya diantaranya tahun 1956, 1970, 1972, 1978, 1979,
2000, dan 2016, dikarenakan lombok sering terjadi gempa bumi sehingga dibentuk
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Penanggulangan bencana merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional, yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat
maupun sesudah terjadinya bencana. Seringkali bencana hanya ditanggapi secara
parsial oleh pemerintah. Bahkan bencana hanya ditanggapi dengan pendekatan
tanggap darurat (emergency response) (Depkominfo, 2007: 12).
Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi fokus rekontruksi dan rehabilitasi dari pasca bencana. Jaminan
pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan
sesuai dengan standar pelayanan harus segera diupayakan, hal ini untuk
mengantisipasi korban yang lebih banyak. Pemulihan kondisi dari

1
dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
anggaran dan belanja negara yang memadai dan siap pakai dalam rekontruksi dan
rehabilitasi seharusnya menjadi jaminan bagi korban bencana.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan bencana
diharapkan akan semakin baik, karena pemerintahan dan pemerintah daerah
menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan dalam penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana dilakukan secara terarah mulai pra bencana, saat tanggap
darurat dan pasca bencana.
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka
BNPB) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
BPBD yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22
Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional
dan Lembaga Asing Non Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya
penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana.
Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengambil judul
“Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Indonesia”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
rumusan masalah pada makalah ini adalah “Bagaimana Penyelenggaraan

2
Penanggulangan Bencana di Indonesia?”.
.

1.3. Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui Bagaimana Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana
2.1.1 Pengertian Umum Bencana
Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara normatif
maupun pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Pengertian bencana dalam
Kepmen Nomor 17/kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai berikut :
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar. Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO
(2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan
ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan
atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari
luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003) yang dikutip
Wijayanto (2012), Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap

4
masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik
oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak
yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya
dengan sumber daya yang ada. Lebih lanjut, menurut Parker (1992)
dalam dikutip Wijayanto (2012), bencana adalah sebuah kejadian yang
tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk
pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang
memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan
untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas.
Menurut Coburn, A. W. dkk. 1994. Di dalam UNDP mengemukakan
bahwa : Bencana adalah Satu kejadian atau serangkaian kejadian yang
member meningkatkan jumlah korban dan atau kerusakan, kerugian harta
benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan penting atau sarana kehidupan
pada satu skala yang berada di luar kapasitas norma.
Sedangkan Heru Sri Haryanto (2001 : 35) Mengemukakan bahwa:
Bencana adalah Terjadinya kerusakan pada pola pola kehidupan normal,
bersipat merugikan kehidupan manusia, struktur sosial serta munculnya
kebutuhan masyarakat.
Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa pengertian bencana
diatas, bahwa pada dasarnya pengertian bencana secara umum yaitu suatu
kejadian atau peristiwa yang menyebabkan kerusakan berupa sarana prasana
maupun struktur sosiak yang sifatnya mengganggu kelangsungan hidup
masyarakat.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana adalah rencana yang
memuat kebijakan dan strategi serta pilihan tindakan untuk mencapai
sasaran penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat nasional dalam
kurun 5 tahun.
Penyusunan RENAS PB dilaksanakan dengan mengasumsikan
beberapa kondisi dasar lingkungan perencanaan. Asumsi ini diambil untuk
memberikan ruang penyesuaian terhadap berbagai kemungkinan perubahan
sistem yang sedang terjadi antara lain revisi Undang-undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Reformasi (Penguatan)
Sistem Ketahanan Bencana, serta Penanganan Darurat Bencana Non-alam

5
Covid-19.
Kerangka perencanaan RENAS PB dibentuk dari beberapa dokumen.
Dokumen-dokumen tersebut adalah Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024, Rencana Induk
Penanggulangan Bencana (RIPB) periode 2020-2044, serta analisa akar
masalah bencana Indonesia. Kerangka perencanaan ini tetap memperhatikan
berbagai komitmen internasional yaitu Sendai Frameworks for Disaster Risk
Reduction (SFDRR-Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko
Bencana), dan Sustainable Development Goals (SDGs-Tujuan-tujuan
Pembangunan Berkelanjutan).
RENAS PB merupakan salah satu perwujudan tanggung jawab
Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. RENAS PB
berfungsi untuk menyelaraskan kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana
hingga pemerintah dapat mewajibkan pelaksanaaan RENAS PB kepada para
pelaku penanggulangan bencana.
RENAS PB ditujukan untuk seluruh institusi terkait penanggulangan
bencana pada tingkat pusat atau pun daerah, pemerintah mau pun non
pemerintah. Dalam posisi ini, RENAS PB menjadi rujukan bagi komitmen
negara untuk melindungi bangsanya melalui, penyediaan sumberdaya, serta
kesatuan tindak bagi seluruh institusi terkait penyelenggaraan
penanggulangan bencana di tingkat pusat. Selain itu RENAS PB juga dapat
menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk memfasilitasi peningkatan
ketahanan daerah sekaligus memberikan dasar bagi pemerintah daerah
menyusun perencanaan penanggulangan bencana nya sendiri. Oleh
karenanya penyusunan RENAS PB melibatkan 28 kementerian/lembaga dan
berbagai institusi non (RENAS PB) - 2020-2024 pemerintah di tingkat pusat
di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Penanggulangan bencana berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;

6
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup;
h. ilmu pengetahuan dan teknologi;
i. gotong royong; dan
j. partisipasi.
Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana adalah :
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdayaguna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif;
i. nonproletisi;
j. kemandirian;
k. kearifan lokal
l. koordinasi;
m. membangun; dan
n. berkelanjutan.
Penanggulangan bencana bertujuan untuk :
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan;
c. memberikan perlindungan terhadap lingkungan, lahan produksi, cagar
budaya serta keanekaragaman hayati;
d. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan;
e. membangun dan meningkatkan koordinasi, partisipasi, dan kemitraan;
f. meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana;
g. membentuk ketangguhan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan,
kesadaran, dan komitmen serta prilaku dan budaya sadar bencana;
h. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat serta mencegah

7
timbulnya bencana sosial dan bencana non alam; dan
i. meminimalisasi dampak bencana alam, bencana non alam serta bencana
sosial.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap
meliputi:
a. prabencana;
b. saat keadaan darurat; dan
c. pascabencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan resiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis resiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi
terjadinya bencana meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.

2.1.2 Jenis-Jenis dan Faktor Penyebab Bencana


Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
A. Jenis-jenis Bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang Nomor 24

8
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yaitu:
a) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor;
b) Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal
teknologi,gagal modernisasi. dan wabah penyakit;
c) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat.
d) Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang
diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoprasian, kelalaian dan
kesengajaan, manusia dalam penggunaan teknologi dan atau
insdustriyang menyebabkan pencemaran, kerusakan bangunan,
korban jiwa, dan kerusakan lainnya.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Bencana
Terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya bencana, yaitu : (1)
Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan tanpa ada
campur tangan manusia. (2) Faktor non-alam (nonnatural disaster)
yaitu bukan karena fenomena alam dan juga bukan akibat perbuatan
manusia, dan (3) Faktor sosial/manusia (man-made disaster) yang
murni akibat perbuatan manusia, misalnya konflik horizontal, konflik
vertikal, dan terorisme.
Secara umum faktor penyebab terjadinya bencana adalah karena
adanya interaksi antara ancaman (hazard) dan kerentanan
(vulnerability). Ancaman bencana menurut Undang-undang Nomor 24
tahun 2007 adalah “Suatu kejadian atau peristiwa yang bisa
menimbulkan bencana”. Kerentanan terhadap dampak atau risiko
bencana adalah “Kondisi atau karateristik biologis, geografis, sosial,
ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
masyarakat untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan

9
menanggapi dampak bahaya tertentu” (MPBI, 2004:5).

2.1.3 Manajemen Bencana


Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut Nurjanah (2012:42) sebagai Proses
dinamis tentang bekerjanya fungsi-fungsi manajemen bencana seperti
planning, organizing, actuating, dan controling. Cara kerjanya meliputi
pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan tanggap darurat dan pemulihan.
Manajemen bencana menurut (University British Columbia) ialah
proses pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama
(common value) untuk mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan)
untuk menyusun rencana dan menghadapi baik bencana potensial maupun
akual.
Adapun tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai berikut:
1) Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan
harta benda dan lingkungan hidup;
2) Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan
penghidupan korban;
3) Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/
pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke
daerah baru yang layak huni dan aman;
4) Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/
transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk
mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena
bencana;
5) Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut;
6) Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
Secara umum manajemen bencana dapat dikelompokkan menjadi 3

10
tahapan dengan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan mulai dari pra
bencana, pada saat tanggap darurat, dan pasca bencana.

11
Gambar 2.1 Manajemen Bencana

Sumber :UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

1. Tahap Pra Bencana (mencangkup Kegiatan pencegahan, mitigasi,


kesiapsiagaan, dan peringatan dini).
a. Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika
mungkin dengan meniadakan bahaya). Misalnya : Melarang pembakaran
hutan dalam perladangan, Melarang penambangan batu di daerah yang
curam, dan Melarang membuang sampah sembarangan.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat
dilakukan melalui a) pelaksanaan penataan ruang; b) pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan c)
penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern (UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat 2
tentang Penanggulangan Bencana).2
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Beberapa bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat dilakukan antara
11
lain:
a) penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana;
b) pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; c)
penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; d)
pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat; e) penyiapan lokasi evakuasi; f) penyusunan data akurat,
informasi, dan pemutakhiran prosedur tentang tanggap darurat bencana; dan
g) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.3
d. Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau Upaya untuk
memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera
terjadi. Pemberian peringatan dini harus : Menjangkau masyarakat
(accesible), Segera (immediate), Tegas tidak membingungkan (coherent),
Bersifat resmi (offical)
2. Tahap saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan bantuan darurat dan
pengungsian
a. Tanggap Darurat (response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana. Beberapa aktivitas yang dilakukan pada tahapan
tanggap darurat antara lain: a) pengkajianyang dan tepat terhadap
lokasi, kerusakan, dan sumberdaya; b) penentuan status keadaan darurat
bencana; c) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; d)
pemenuhan kebutuhan dasar; e) perlindungan terhadap kelompok
rentan; dan f) pemulihan dengan segera prasaran dan sarana vital ( UU
Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 48 tentang Penaanggulangan Bencana).

12
b. Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar berupa : Pangan, Sandang, Tempat tinggal
sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih.
3. Tahap pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery)
Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi. Beberapa kegiatan yang terkait dengan
pemulihan adalah
a) perbaikan lingkungan daerah bencana;
b) perbaikan prasarana dan sarana umum;
c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d) pemulihan sosial psikologis;
e) pelayanan kesehatan;
f) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g) pemulihan sosial ekonomi budaya, dan
h) pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui
kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana
dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan
resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan
keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan

13
pemulihan fungsi pelayanan publik.

c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta
langkah- langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan
berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua
prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan
maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi
masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas
program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah
kepentingan masyarakat kita berharap berkurangnya korban nyawa dan
kerugian harta benda. Dan yang terpenting dari manajemen bencana ini
adalah adanya suatu langkah konkrit dalam mengendalikan bencana
sehingga korban yang tidak kita harapan dapat terselamatkan dengan
cepat dan tepat dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat
dilakukan dengan secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis
masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan
proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk
lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang
berbentuk peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen
bencana. Yang tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini
adalah sosialisasi kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana.

2.1.4 Paradigma Penanggulangan Bencana


Berbagai pandangan tentang bencana berkembang dari waktu ke
waktu, terkait dengan tingkat pemahaman terhadap kejadian bencana, yaitu:
1. Pandangan Konvensional

14
Pandangan ini menganggap bahwa bencana merupakan takdir dari
Tuhan Yang Maha Esa. Bencana dianggap sebagai takdir (musibah atau
kecelakaan). Karena dianggap sebagai takdir berupa musibah/kecelakaan,
menurut pandangan ini bencana tidak dapat diprediksi karena tidak
menentu datangnya dan tidak dapat dihindari serta dapat dikendalikan.
Menurut pandangan ini pula, masyarakat adalah korban yang berhak
menerima bantuan dari pihak luar.
2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Pandangan ini mengemukakan tentang bencana berdasarkan ilmu
pengetahuan alam yang menganggap bahwa bencana sebagai unsur
lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia. Bencana
dipandang sebagai kekuatan alam yang luar biasa. Dalam periode ini
mulai dipahami bahwa bencana merupakan proses geofisik, geologi dan
hydro-meterology. Dari aspek ilmu pengetahuan alam, pandangan ini
memang berkembang dan menganggap semua bencana adalah peristiwa
alamiah yang tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab
terjadinya bencana.
3. Pandangan Ilmu Terapan
Perkembangan ilmu alam murni mulai bervariasi dengan
berkembangnya ilmu-ilmu terapan. Pandangan ilmu terapan melihat
bencana didasarkan pada besarnya ketahanan atau tingkat kerusakan
akibat bencana. Pandangan ini melatarbelakangi oleh ilmu-ilmu teknik
sipil bangunan/konstruksi. Pengkajian bencana lebih ditujukan pada
upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk
memperkecil kerusakan.
4. Pandangan Progresif
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga
berkembang sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap
bencana sebagai bagian yang biasa dan selalu terjadi dalam
pembangunan. Artinya, bencana merupakan masalah yang tidak pernah
berhenti dalam proses pembangunan. Peran pemerintah dan masyarakat
dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.5
5. Pandangan Ilmu Sosial

15
Pandangan ini memfokuskan pada sisi manusianya, bagaimana
sikap dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman bahaya
adalah fenomena alam, akan tetapi bahaya itu tidak akan berubah menjadi
bencana jika manusianya siap atau tanggap. Besarnya bencana tergantung
pada perbedaan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi bahaya atau
ancaman bencana.
6. Pandangan Holistik
Pendekatan ini menekankan pada adanya bahaya, kerentanan dan
risiko serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan
risiko. Gejala alam dapat menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan
harta benda. Bahaya jika bertemu dengan kerentanan dan
ketidakmampuan masyarakat akan menjadi risiko bencana. Risiko
bencana akan berubah menjadi bencana, jika ada pemicu kejadian.
Selain berkembang pandangan tentang bencana, juga berkembang
paradigma tentang tindakan/cara untuk menanggulangi bencana, yakni:
1) Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini berkaitan dengan pandangan konvensional yang
menyatakan bahwa bencana itu takdir ilahi sehingga masyarakat
dipandang sebagai korban dan penerima bantuan. Paradigma ini
memfokuskan pada saat kejadian bencana melalui pemberian bantuan
darurat (relief) berupa evakuasi/pertolongan korban, bantuan pangan,
penampungan, dan layanan kesehatan. Tujuan utamanya adalah untuk
meringankan penderitaan korban, mencegah meluasnya kerusakan dan
segera mempercepat pemulihan.
2) Paradigma Mitigasi
Paradigma ini memfokuskan pada pengenalan daerah rawan
ancaman bencana dan pola perilaku individu.masyarakat yang rentan
terhadap bencana. Tujuan utama mitigasi terhadap ancaman bencana
dilakukan antara lain melalui pembuatan struktur bangunan, sedangkan
mitigasi terhadap pola perilaku yang rentan dilakukan antara lain
melalui relokasi permukiman, peraturan-peraturan bangunan dan
penataan ruang.
3) Paradigma Pembangunan

16
Paradigma ini memfokuskan pada faktor penyebab dan proses
terjadinya kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat di berbagai aspek
non-struktural misalnya pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas
hidup, pemilikan lahan, akses terhadap modal, dan inovasi teknologi.
4) Paradigma Pengurangan Risiko
Paradigma ini memfokuskan pada analisis risiko bencana,
ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka mengelola dan
mengurangi risiko dan
juga mengurangi terjadinya bencana. Hal ini dilakukan secara bersama-
sama oleh semua pihak (stakeholder) melalui pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan untuk pergeseran pardigma, terdapat empat hal fundamental
yang berubah atas paradigma awal dalam penanggulangan bencana,
diantaranya:
a) Dari Tanggap Darurat menjadi Kesiapsiagaan.
Tanggap darurat sampai hari ini memang penting dilakukan dan
memang dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana. Tidak cukup
berhenti di sini semata. Ada bencana, ada proses pertolongan, kemudian
selesai. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana menyiapkan
masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi bencana, mengurangi
dampak risiko yang akan dahapinya, serta mengelola pengetahuan
menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat sehingga tahan dan
tangguh dalam mengahadapi bencana yang menimpa. Jadi, bukan hanya
tanggap darurat tetapi juga keseluruhan manajemen risiko dan
pembangunan.
b) Dari Sentralistik menjadi Otonomi Daerah
Pemerintah menyadari bahwa kejadian bencana haruslah
direspon secara cepat dan tepat. Penanganan selama ini yang semuanya
diurus oleh pemerintah pusat, maka banyak terjadi keterlambatan dalam
memberikan pertolongan dan bantuan. Di sinilah muncul paradigma
baru , yakni penanganan bencana bisa dilaksanakan melalui pemerintah
daerah yang bersifat otonom.

17
c) Dari Pemerintah Sentris menjadi Partisipatori
Kemampuan pemerintah tidaklah cukup besar, untuk
menggelontorkan anggarannya guna membantu begitu banyak korban
bencana yang terjadi hampir secara bersamaan dan berkesinambungan.
Oleh karenanya, peran serta masyarakat
lokal, nasional, maupun internasional dibutuhkan guna membantu
memulihkan korban bencana tersebut. Inilah yang disebut dengan
pergeseran paradigma dari pemerintah sentris menjadi partisipatori.
Karena dengan adanya demokratisasi serta otonomi daerah
penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab pemerintah bersama
dengan masyarakat.
d) Dari Kemurahan menjadi Hak Dasar
Awalnya, pemerintah menyangka bahwa membantu korban
bencana adalah sebuah kemurahan hati semata. Padahal ini adalah
anggapan salah, sedangkan yang benar adalah bahwa membantu korban
bencana itu memang karena hal itu merupakan hak dasar dari setiap
warga negara Indonesia. Maka, tak salah jika disebutkan bahwa
perlindungan merupakan bagian dari hak dasar, dan pengurangan risiko
adalah bagian dari pembangunan.

2.1.5 Pengembangan Kapasitas dalam Manajemen Bencana


Risiko bencana merupakan besarnya kerugian atau kemungkinan
hilangnya (jiwa, korban, kerusakan, dan kerugian ekonomi) yang
disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu.
Untuk mengurangi bahaya atau anacaman bencana serta kerentanan yang
berpotensi menimbulkan bencana, maka perlu adanya peningkatan
kapasitas untuk mencegah, mengurangi, dan menanggulangi risiko
bencana.
Pengembangan Kapasitas berkaitan dengan program atau kegiatan
meningkatkan kapasitas masyarakat tangguh dalam menghadapi ancaman
bencana. Sasaran akhirnya adalah masyarakat harus mampu
mengantisipasi, siap siaga menghadapi bencana, mampu menangani
kedaruratan (minimal mampu menolong diri sendiri/keluarga) dan mampu

18
bangkit kembali dari dampak bencana. Atau lebih tepatnya tujuan akhir
dari pengembangan kapasitas ini adalah pembentukan masyarakat tangguh
bencana. Untum menuju masyarakat tangguh bencana tersesbut dapat
dilakukan melalui beberapa program/kegiatan, antara lain :
a. Sosialisasi penanggulangan bencana melalui media massa.
b. Pelatihan manajemen bencana (pencegahan, penanganan dan
pemulihan).
c. Kepedulian terhadap cara-cara mitigasi yang dapat diterapkan dan
keikutsertaan masyarakat dalam program kesiapan/kesiapsiagaan
menghadapi bencana.
Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dalam merespons
persoalan bencana di Indonesia, termasuk untuk mengatasi berbagai
permasalahan dalam penanggulangan bencana. Kebijakan tersebut
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan program
penanggulangan bencana. Secara umum kebijakan nasional
penanggulangan bencana dituang dalam Undang- Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan
dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, serta Peraturan Presiden
Nomor 08 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Pada tingkat pusat pemerintah telah membentuk lembaga yang
mempunyai tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana
yaitu BNPB. BNPB adalah lembaga non kementerian yang memiliki tugas
pokok penanggulangan bencana pada tingkat nasional, sedangkan pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan oleh BPBD.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 12 tentang
Penanggulangan Bencana menjelaskan bahwa BNPB mempunyai tugas,
sebagai berikut :
1. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap

19
darurat, rehabilitasi dan rekontruksi secara adil dan setara.
2. Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan.
3. Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada
masyarakat.
4. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap
saat dalam kondisi darurat bencana.
5. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional. Mempertanggungjawabkan penggunaan
anggraan yang diterima dari Anggaraan Pendapatan Belanja Negara
(APBN).
6. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
7. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD).
Dalam tugas tersebut, BNPB menyelenggarakan fungsi
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Pasal 13 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu : (1) Perumusan
dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien. (2)
Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh. Sedangkan pada Pasal 18 ayat (2),
pemerintah daerah membentuk BPBD, yang terdiri dari : (a) Badan pada
tingkat provinsi yang dipimpin oleh pejabat setingkat di bawah gubernur,
dan (b) Badan pada tingkat kabupaten/kota yang dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah bupati/walikota.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 21 tentang
Penanggulangan Bencana, BPBD mempunyai tugas : (a) Menetapkan
pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan
BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi
secara adil dan setara, (b) Menetapkan standardisasi serta kebutuhan

20
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan
perundang-undangan, (c) Menyusun, menetapkan dan menginformasikan
peta rawan bencana, (d) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap
penanganan bencana, (e) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada wilayahnya, (f) Melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam
kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (g)
Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang atau barang, (h)
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
APBD, dan (i) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

2.1.6 Potensi Sumber Daya Lokal dalam Penanggulangan Bencana


Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah. Di
balik semberdaya alam yang melimpah, di dalamnya juga menyimpan
potensi bencana karena terletak di sirkum Pasifik dan sirkum
Mediteranian. Adanya pergeseran antara dua lempengan tersebut akan
menimbulkan bencana alam. Bencana alam akan menimbulkan berbagai
dampak yang dapat mengganggu kelangsungan hidup. Dampak bencana
sangat banyak, meliputi kerugian ekonomi, fisik, sosial, dan lingkungan.
Kegiatan pemulihan atau recovery pascabencana memerlukan dukungan
dari semua pihak. Dukungan bisa dalam bentuk moril maupun materil.
Indonesia terkenal dengan perilaku gotong royong dalam berbagai
hal. Gotong royong pada dasarnya adalah proses sukarela berbagi ide,
pengorganisasian masyarakat, pengumpulan bahan, kontribusi keuangan,
dan memobilisasi tenaga untuk melaksanakan kegiatan sosial dan budaya
(Bintarto,1983). Gotong royong berakar pada budaya Jawa pedesaan dan
mengacu pada prinsip saling membantu antartetangga di masyarakat.
Gotong royong dijiwai dengan nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung
jawab, solidaritas, berbagi, penguatan, dan tepo seliro. Hal tersebut
tersebut seperti tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Gotong royong sangat berperan dalam kegiatan pemulihan
pascabencana. Gotong royong bisa melewati batas-batas birokrasi dan

21
dapat secara efektif serta efisien dalam menyelesaikan suatu keperlaun atau
hajat. Kegiatan gotong royong cukup membantu masyarakat terdampak
bencana. Gotong royong juga dirasa sangat penting dalam kebencanaan.
Penanggulangan bencana yang besar memerlukan anggaran yang
besar dan terkadang persediaan dari pemerintah bisa jadi kurang memadai.
Melalui kearifan lokal maka jiwa gotong royong perlu dibangkitkan untuk
menghadapi bencana. Potensi rawan bencana yang telah dideteksi oleh
lembaga ilmiah hendaknya diperkuat oleh jiwa gotong royong masyarakat
untuk membuat prasarana dan prosedur mitigasi dalam menghadapi
bencana. Gotong royong memerlukan komitmen dan pengalaman dalam
hal manajemen menghadapi bencana.
Perencanaan dalam menghadapi bencana memerlukan kebijakan
daerah ddaalam menghadapi bencana alam yang kokoh. Selain dengan
regulasi, konsolidasi SDM, dan memompa jiwa gotong royong, juga
dibutuhkan perangkat tekonolog informasi. Dalam hal ini, teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG) sangat berguna untuk membantu mengantisipasi
bencana serta perencanaan yang cepat dalam hal tanggap darurat saat
terjadi bencana alam. Di negara maju, SIG sering digunakan untuk
mengatasi bencana polusi, potensi pergerakan tanah, dan mencari wetland
(lahan basah) untuk mengatasi bencana kekeringan. Pada prinsipnya SIG
adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki
informasi spasial atau bereferensi keruangan.
Rekonstruksi pascabencana memerlukan keterlibatan masyarakat
secara aktif karena selama ini masih belum maksimal ( Mawarni, 2010).
Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi
bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya, seperti rumah
tinggal, rumah sakit, puskesmas, dan tempat pelayanan publik lainnya.
Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pada pascabencan
kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal masyarakat sehingga
diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat dalam rekonstruksi
pascabencana, misalnya dalam bentuk gotong royong. Dan sebenarnya
sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif, meskipun solusi
tetap datang dari luar, mengingat budaya lokal yang menjunjung

22
musyawarah dan gotong royong.
Penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui tiga tahap mulai
dari prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Penanggulangan
bencana dapat memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di daerah
tersebut. Pada saat pra bencana masyarakat akan mengantisipasi dengan
memberikan peringatan tentang bencana yang akan terjadi. Kemudian pada
saat terjadi bencana masyarakat akan saling membantu sama lain, dan
masyarakat lainnya menyalurkan bantuan berupa sandang, pangan dan
papan. Adapun pada pascabencana mereka akan melakukan gotong royong
sehingga sumber daya manusia di suatu daerah tertentu berfungsi dengan
baik.

2.2. Peran Pemerintah dalam Upaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana


Dengan berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana didalamnya
menjelaskan beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pendanaan, kelembagaan
pelaksana, pelaksana, sampai yang terakhir pemantauan dan evaluasi. Berikut ini
penjelasannya secara lebih detail:
a. Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (JITU PASNA)
Pada tahap yang pertama saat bencana sudah berakhir akan ada
yang dinamakan dengan pengkajian kebutuhan pasca bencana. pengkajian
Kebutuhan Pasca Bencana ini dengan melihat dampak, akibat, dan
pengurangan resiko bencana dari berbagai sektor yang ada. Dengan
berpedoman pada Perka BNPN Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana bahwa didalamnya menyebutkan
pengkajian terbagi dari berbagai sektor seperti sektor infrastuktur,
ekonomi, sosial, dan beberapa sektor lainnya dengan harapan pengurangan
resiko bencana.
Selanjutnya, dilakukan suatu perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan menyesuaikan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Perencanaan ini juga dilakukan
untuk membentuk pengertian antara pemerintah pusat dan daerah sebagai

23
pemangku kepentingan lainnya karena mereka juga yang akan
bertangggung jawab terhadap prioritas dan pendaan program rehabilitasi
dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan. Sebagaimana hal tersebut
nantinya tertuang ke dalam suatu dokumen Rencana Aksi Pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana.
b. Rencana Aksi Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana
Penyusunan dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(RENAKSI) dilaksanakan pada akhir masa tanggap darurat dan masa
pemulihan awal dengan memperhatikan: Hasil pengkajian kebutuhan pasca
bencana; Penentuan prioritas; Pengalokasian sumberdaya dan waktu
pelaksanaan; Dokumen rencana kerja pemerintah baik pusat maupun
daerah; dan Dokumen perencanaan pembangunan terkait lainnya.
Dalam Rencana Aksi terbagi menjadi 6 (enam) aspek yaitu
Pembangunan manusia; Perumahan dan permukiman; Infrastruktur;
Perekonomian; Sosial; dan Lintas sektor. Selain itu di dalam rencana aksi
juga memuat kondisi wilayah bencana dan prioritas program dan dana
yang dibutuhkan.
Selanjutnya Terkait dengan pendanaan program. Sumber
pendanaan utama penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah :
APBD Kabupaten/Kota untuk bencana skala Kabupaten/Kota. APBD
Provinsi untuk bencana skala Provinsi, dan APBN untuk bencana skala
Nasional. Jika tidak mencukupi Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
meminta bantuan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah (pusat) untuk
pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dokumen tersebut ditetapkan oleh Kepala Badan disertai
persetujuan oleh Bupati di Tingkat kabupaten, Gubernur untuk tingkat
Provinsi, maupun Presiden sehingga program yang telah diprioritaskan
dapat dilaksanakan.
c. Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
dilaksanakan oleh perangkat Kementerian/Lembaga dan atau Satuan Kerja
Perangkat daerah (SKPD) di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota. Dalam
proses pelaksaan ini seluruh elemen wajib berkoordinasi dengan BNPB

24
dan BPBD bersama Kementrian Lembaga dan SKPD baik Lembaga
Internasional, lembaga asing non pemerintah dan atau lembaga non
pemerintah yang terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi.
d. Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Pemantaun dan Evaluasi untuk hasil Rehabilitasi dan
Rekonstruksi dilakukan oleh koordinasi antara BNPN dan atau BPBD
dengan melibatkan SKPD teknis serta masyarakat. Untuk laporan hasil
program sendiri, dilakukan oleh kepala SKPD. Adapun Prinsip
pemantauan dan evaluasi mengacu pada: a) Dokumen RENAKSI yang
telah ditetapkan Kepala BNPB atau Kepala BPBD; dan b) Tujuan
pembangunan daerah dan nasional sebagaimana ditetapkan dalam
dokumen perencanaan daerah dan nasional.

25
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara normatif maupun
pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Risiko bencana merupakan besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa,
korban, kerusakan, dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh bahaya tertentu di
suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Untuk mengurangi bahaya atau anacaman
bencana serta kerentanan yang berpotensi menimbulkan bencana, maka perlu adanya
peningkatan kapasitas untuk mencegah, mengurangi, dan menanggulangi risiko
bencana.
Penanggulangan bencana yang besar memerlukan anggaran yang besar dan
terkadang persediaan dari pemerintah bisa jadi kurang memadai. Melalui kearifan
lokal maka jiwa gotong royong perlu dibangkitkan untuk menghadapi bencana.
Perencanaan dalam menghadapi bencana memerlukan kebijakan daerah ddaalam
menghadapi bencana alam yang kokoh. Selain dengan regulasi, konsolidasi SDM, dan
memompa jiwa gotong royong, juga dibutuhkan perangkat tekonolog informasi.
Dalam hal ini, teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat berguna untuk
membantu mengantisipasi bencana serta perencanaan yang cepat dalam hal tanggap
darurat saat terjadi bencana alam. Di negara maju, SIG sering digunakan untuk
mengatasi bencana polusi, potensi pergerakan tanah, dan mencari wetland (lahan
basah) untuk mengatasi bencana kekeringan. Pada prinsipnya SIG adalah sistem
informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial atau
bereferensi keruangan.
Dengan berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana didalamnya menjelaskan beberapa
tahapan mulai dari perencanaan, pendanaan, kelembagaan pelaksana, pelaksana,

26
sampai yang terakhir pemantauan dan evaluasi.
3.2. Saran
1. Bagi Masyarakat
Perlu adanya peningkatan pengetahuan dasar masyarakat tentang pengurangan
risiko bencana, agar masyarakat dapat berkontribusi secara nyata dalam
penanggulangan bencana banjir khususnya di daerahnya masing-masing.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan diantaranya:
a. Key person /relawan dalam membangun manajemen bencana berbasis
masyarakat merupakan sukarelawan yang menjaga koordinasi dan
komunikasi manajemen bencana di wilayahnya sehingga kelompok atau
forum akan aktif bekerjasama.
b. Relawan penanggulangan bencana membangun jejaring antar wilayah,
komunitas, stakeholder untuk memperkuat kemampuan masyarakat dalam
manajemen bencana, dan membangun kebijakan – kebijakan lokal untuk
upaya mitigasi maupun adaptasi.
2. Bagi Pemerintah
Perlu dikembangkan kerjasama dengan stakeholder lain dalam pengurangan
resiko bencana sehingga dapat berjalan optimal dan berkelanjutan, berwawasan
lingkungan hidup dan berkeadilan. Beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah:
a. Sosialisasi dan pembinaan masyarakat oleh BPBD dalam manajemen bencana
berbasis masyarakat
b. Kerjasama multi pihak (masyarakat, kelompok, swasta dan pemerintah)
dalam manajemen bencana berbasis masyarakat.
c. Peningkatan pengetahuan dna kapasitas masyarakat dalam manajemen
bencana
d. Pembinaan dan peningkatan kapasitas oleh pemerintah kepada kelompok dan
masyarakat dalam pegelolaan manajemen bencana berbasis masyarakat.
e. Pelibatan masyarakat dalam membangun manajemen bencana berbasis
masyarakat
f. Pengelolaaan lingkungan sesuai dengan tataruang yang sesuai dengan kondisi
lingkungan.
g. Pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dalam pengelolaan
manajemen bencana.

27
h. Penanaman pohon untuk kegiatan reboisasi dan menambah cadangan air
bawah tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad. 1984. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.

Barri, Adhitya. 2009. Muhammadiyah dan Kesiapsiagaan Bencana. Bandung. Risalah


MDMC.

BPS Klaten. 2013. Kecamatan Cawas Dalam Angka Tahun 2013.

Mustofa, Bisri dan Inung Sektiawan. 2010. Kamus Lengkap Geografi. Yogyakarta: Panji
Pustaka.

Nurjannah, dkk. 2011. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta

Nugraha, Khrisma,dkk. 2009. PASTI. Jakarta: UNESCO Office.

28

Anda mungkin juga menyukai