Anda di halaman 1dari 6

Outline Buku Kebencanaan di Indonesia

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi,
baik itu bencana alam maupun bencana terkait iklim. Secara geologis, posisi Indonesia dilalui oleh
pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Di samping itu, Indonesia termasuk dalam
kawasan Cincin Api Pasifik atau disebut juga Ring of Fire. Sekitar 90 persen gempa bumi terjadi
di kawasan Cincin Api Pasifik dengan 81 persen gempa di jalur Cincin Api tersebut merupakan
gempa terbesar di dunia. Tak hanya itu, Indonesia juga berada di wilayah Sabuk Alpine (Alpine
belt), dimana sebanyak 17 persen gempa bumi terbesar di dunia terjadi di kawasan Sabuk Alpine.
Sementara dari letak astronomis, Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa mengalami terpaan El
Nino dan La Nina yang menyebabkan kerentanan akan terjadinya bencana hidrometeorologi seperti
banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan.
Melihat kondisi diatas, setidaknya terdapat 12 jenis bencana di Indonesia seperti banjir,
kekeringan, tanah longsor, erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, maupun puting beliung
(BRIN, 2019). Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa
total bencana alam yang terjadi di Indonesia hingga Oktober 2022 mencapai 3.038 bencana alam.
Total kejadian tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2021 yakni sebanyak
5.402 bencana. BNPB mencatat bahwa bencana yang terjadi di Indonesia didominasi oleh banjir
dengan 1.467 kejadian, diikuti oleh cuaca ekstrim sebanyak 1.016 kejadian, dan tanah longsor
sebanyak 623 kejadian. Bencana alam umumnya terjadi di Pulau Jawa seperti Jawa Barat sebanyak
804 kejadian, Jawa Tengah sebanyak 469 kejadian, dan Jawa Timur sebanyak 387 kejadian.

Gambar 1. Sebaran Kejadian Bencana Alam (1 Januari - 31 Oktober 2022)

Sumber: BNPB, 2022

Tingginya intensitas bencana alam di Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan
sosial ekonomi masyarakat dan juga terhadap APBN. Mengingat risiko bencana alam yang dapat
terjadi kapan saja, pemerintah menyiapkan dana cadangan bencana sebagai bentuk persiapan.
Alokasi dana cadangan penanggulangan bencana dalam APBN yang dipersiapkan oleh Pemerintah
ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Perkembangan Dana Cadangan Penanggulangan Bencana Alam 2018-2023
(triliun rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan, 2022

2. Analisis Tahap Pra Bencana


Arah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana berdasarkan rencana pada saat
terdapat potensi terjadi bencana, penting untuk meningkatkan kewaspadaan agar dapat
meminimalisir risiko bencana yang mungkin saja terjadi. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana, meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini, dan
mitigasi bencana. Tahapan ini, terdiri atas: (a) Kesiapsiagaan; (b) Peringatan Dini; dan (c) Mitigasi
Bencana.
Namun, dalam prakteknya penanggulangan bencana masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan, seperti (a) Masih Lemahnya Tata Kelola dan Pembiayaan (Investasi)
Penanggulangan Bencana di Daerah; (b) Belum Optimalnya Dukungan Anggaran; (c) Belum
Terwujudnya Revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana; (d) Lambatnya Mekanisme
Proses Dana Penanggulangan Bencana; (e) Lambatnya Upaya Mitigasi dan Tanggap Darurat
Bencana; serta (f) Lemahnya Koordinasi Antar Instansi Terkait.

3. Penanganan Tanggap Darurat Bencana


Tanggapan darurat bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan sarana. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi, (1) pengkajian secara cepat dan tepat
terhadap lokasi; (2) penentuan status keadaan darurat bencana; (3) penyelamatan dan evakuasi
masyarakat terkena bencana; (4) pemenuhan kebutuhan dasar; (5) perlindungan terhadap kelompok
rentan; dan (6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana.
Gambar 3. Perencanaan Kedaruratan Kebencanaan

Sumber: BNPB, 2019

Penanggulangan bencana yang efektif dimulai dari mengenali risiko bencana yang ada melalui
Kajian Risiko Bencana (RKB) yang selanjutnya akan disusun Rencana Penanganan Kedaruratan
Bencana (RPKB) yang akan digunakan untuk kesiapsiagaan untuk mengantisipasi jika bencana
benar-benar terjadi. RPKB secara garis besar berisi metode dan pelaksanaan penyelenggaraan
bersama operasi kedaruratan multi ancaman bencana yang secara normatif menjabarkan doktrin,
prinsip, kebijakan, strategi, asumsi, pembagian peran dan tanggung jawab, garis koordinasi dan
komando, mekanisme kerja dan prioritas operasional yang akan diterapkan untuk memandu dan
mendukung penanggulangan kedaruratan yang diakibatkan bencana. RPKB bersifat kerangka kerja
yang disiapkan untuk menghadapi kedaruratan bencana yang multi ancaman dan akan menjadi lebih
spesifik ketika telah diturunkan ke dalam perencanaan kontigensi dan diturunkan ke rencana operasi
darurat bencana. Rencana kontigensi merupakan rencana turunan dari RPKB yang disusun untuk
menghadapi ancaman bencana tunggal atau bencana tunggal yang memiliki potensi
memicu/menimbulkan bencana ikutan. Sedangkan rencana operasi darurat bencana merupakan
turunan dari rencana kontigensi ketika bencana benar-benar telah terjadi, keadaan darurat bencana
telah dinyatakan oleh otoritas, dan organisasi penanganan darurat telah dibentuk. Berikut gambaran
perencanaan kedaruratan kebencanaan.
Berdasarkan capaian indikator kinerja Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, diketahui
bahwa sasaran kualitas penanganan darurat bencana mengalami peningkatan di tahun 2021
dibandingkan dari tahun sebelumnya yaitu dari 2,02% menjadi 14,35%. Namun, pada sasaran
terselamatkannya jiwa sebanyak mungkin pada saat keadaan darurat bencana mengalami penurunan
yang terlihat dari meningkatnya angka kematian penduduk akibat bencana alam per 100.000 orang
penduduk terdampak bencana secara nasional tahun 2021 menjadi 0,64 dari 0,21 di tahun
sebelumnya.
Beberapa permasalahan yang terjadi pada tanggap darurat penanggulangan bencana antara lain:
❖ Keterbatasan pendanaan
Selain dari APBN, dukungan alokasi anggaran penanggulangan bencana dari APBD juga
dibutuhkan. Namun, jika melihat pengalaman bencana alam yang terjadi selama ini, dukungan
anggaran bencana dari APBD masih terbatas. Hal tersebut membuat penanganan darurat
bencana menjadi terkendala khususnya dalam pemenuhan bantuan. Anggaran yang terbatas
juga membuat keterbatasan pemenuhan pengadaan kebutuhan peralatan tanggap darurat
bencana. Di sisi lain, panjangnya birokrasi menyebabkan sulitnya pencairan dana bencana.
❖ Permasalahan koordinasi dan kewenangan serta fungsi masing-masing institusi yang terkait.
Kurangnya koordinasi lintas sektor dan belum jelasnya kewenangan serta pembagian peran
antar instansi terutama terkait dengan pemberian bantuan serta pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat. Panjangnya proses birokrasi dalam penentuan status bencana menyebabkan tidak
maksimalnya penanganan bencana (Ombudsman, 2022).
❖ Data yang belum terintegrasi
Persoalan data yang tidak terintegrasi antara BNPB, BPBD dan instansi terkait lainnya sering
menjadi masalah utama dalam penanganan darurat bencana khususnya saat penyaluran bantuan
pada masyarakat terdampak bencana.
❖ Distribusi logistik
Ketidakmerataan pada distribusi logistik bantuan bencana merupakan hal yang sering terjadi di
berbagai daerah (LAN, 2019). Hal tersebut disebabkan belum adanya standar mekanisme pada
pengelolaan bantuan di daerah, akses yang sulit ke lokasi terdampak dan minimnya sarana dan
prasarana dalam mendistribusikan logistik ke wilayah terdampak bencana yang terisolasi.
❖ Keterbatasan jumlah dan kompetensi SDM
Keterbatasan jumlah dan kompetensi SDM khususnya dalam tanggap darurat menyebabkan
terhambatnya penyelamatan dan evakuasi masyarakat terdampak bencana, tidak meratanya
pembagian logistik pada masyarakat terdampak bencana dan menghambat pengelolaan jenis
kebutuhan masyarakat terdampak. Jumlah SDM yang terbatas salah satunya terlihat dari tidak
tercapainya pemenuhan kebutuhan minimum sumber daya pencarian dan pertolongan pada
Basarnas di tahun 2021 (sebesar 78,89%). Sebagai salah satu institusi yang berperan dalam
tanggap darurat bencana, Basarnas masih mengalami kekurangan SDM baik berupa petugas
administrasi, rescuer, anak buah kapal (ABK) maupun tenaga teknis lainnya (Basarnas, 2022).
❖ Peralatan penanggulangan bencana yang terbatas
Keterbatasan peralatan dalam penanggulangan bencana banyak terjadi pada BPBD di beberapa
daerah (LAN, 2019). Berdasarkan data Basarnas (2022), ketersediaan dan kemampuan sarana
dan prasarana saat ini belum memadai bila dibandingkan dengan luas wilayah, kondisi
geografis, dan jumlah operasi penyelamatan dan evakuasi korban.

4. Evaluasi Penanggulangan Pasca Bencana


Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007, kegiatan penanggulangan pascabencana meliputi kegiatan
rehabilitasi dan kegiatan rekonstruksi. Lebih rinci, berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 11
Tahun 2008, kegiatan rehabilitasi dan kegiatan rekonstruksi dirinci sebagai berikut:
● Kegiatan rehabilitasi meliputi: (1) perbaikan lingkungan daerah bencana, (2) perbaikan
prasarana dan sarana umum, (3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, (4)
pemulihan sosial psikologis, (5) pelayanan kesehatan, (6) rekonsiliasi dan resolusi konflik, (7)
pemulihan sosial ekonomi budaya, (8) pemulihan keamanan dan ketertiban, (9) pemulihan
fungsi pemerintahan, atau (10) pemulihan fungsi pelayanan publik.
● Kegiatan rekonstruksi meliputi: (1) pembangunan kembali prasarana dan sarana, (2)
pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, (3) membangkitan kembali kehidupan sosial
budaya masyarakat, (4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana, (4) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, lembaga usaha dan masyarakat, (5) peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya, (6) peningkatan fungsi pelayanan publik, atau (7) peningkatan pelayanan utama dalam
masyarakat.
Untuk mengukur hal tersebut, BNPB menggunakan ukuran indeks pemulihan pasca bencana
yang mengukur sekaligus mengevaluasi kinerja atau keberhasilan proses pemulihan pada tingkat
outcome. Outcome tersebut mencerminkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilaksanakan di daerah terdampak bencana oleh pemangku kepentingan yang terlibat. Lokus
perhitungan indeks tersebut berada di Prov. Sulawesi Tengah, Prov. Nusa Tenggara Barat, Prov.
Lampung dan Kabupaten Pandeglang yang merupakan representasi bencana masif di Indonesia
yang membutuhkan pembiayaan dan proses pemulihan jangka panjang.
Hasilnya, sesuai Laporan Kinerja BNPB Tahun 2021, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
di semua lokus dikategorikan “Belum Pulih”; masih di bawah garis baseline (Grafik 1). Meskipun
begitu, indeks pemulihan pascabencana tahun 2021 sudah mencapai target (Tabel 1) dan telah
menunjukkan progress yang terus naik dari tahun ke tahun untuk menuju Build Back Better & Safer,
atau jauh lebih baik dari kehidupan sebelum terjadi bencana (BNPB, 2022).
Grafik 1. Indeks Pemulihan Pascabencana 2021

Sumber: Laporan Kinerja BNPB Tahun 2021

Tabel 1. Indeks Pemulihan Pascabencana

Sumber: Laporan Kinerja BNPB Tahun 2021

Selain menggunakan APBN, pembiayaan penanggulangan bencana juga dibiayai menggunakan


dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemanfaatan dana hibah di tahun anggaran 2020 mengalami
beberapa kendala di antaranya: adanya proses gagal tender karena permasalahan terkait administrasi,
Terbatasnya mobilisasi pengadaan alat berat dan ketersediaan material konstruksi; dan Adanya
pandemi covid-19 mengakibatkan terbatasnya kegiatan monev ataupun pembatasan tenaga kerja pada
kegiatan konstruksi.

5. Penutup

Anda mungkin juga menyukai