Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MANAJEMEN BENCANA

RENCANA KONTINJENSI MENGHADAPI ANCAMAN BENCANA GEMPA


BUMI

Disusun oleh :
Kelompok 11
1. Putu Diah Wulandari (2002561125)
2. Ni Putu Diah Anggraini (2002561127)
3. I Dewa Ayu Sri Candradewi (2002561129)
4. Andi Melita Za’zahra Jati (2002561131)
5. Putu Tirtharani Chandra Devi (2002561133)
6. Izzania Zahara Nurdiansyah (2002561137)

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penanggulangan bencana merupakan komponen terpadu dari pembangunan
nasional untuk menjalankan mandat UUD 1945 terutama yang tercantum dalam alinea
ke-IV Pembukaan. Penerapan penanggulangan bencana memerlukan kontribusi aktif
bukan hanya pemerintah namun berbagai pihak seperti masyarakat, akademisi, sektor
swasta hingga kalangan media. Bentuk tanggung jawab sebagai salah satu wujud
perlindungan negara untuk warga negara antara lain memenuhi kebutuhan masyarakat
yang disebabkan oleh bencana.
Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana
adalah tanggung jawab pemerintah serta pemerintah daerah. Kemudian, Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana menyebutkan bahwa Penanggulangan Bencana dilakukan secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman, risiko serta dampak bencana.
Pada tahap pra-bencana, penanggulangan bencana mencakup berbagai kegiatan
yang dilaksanakan dalam “situasi tidak terjadi bencana” dan kegiatan yang dikerjakan
pada situasi “terdapat potensi bencana”. Salah satu kegiatan yang dilakukan pada situasi
tidak terjadi bencana yaitu perencanaan penanggulangan bencana yang tercantum dalam
Pasal 5 ayat [1] huruf a PP 21/2008. Sementara itu, kegiatan pada situasi terdapat
potensi bencana diantaranya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana.
Sesuai dengan keputusan Pasal 17 ayat (3) PP 21/2008 bahwa Perencanaan Kontinjensi
dilaksanakan pada situasi kesiapsiagaan yang menciptakan dokumen Rencana
Kontinjensi. Sedangkan pada kondisi bencana terjadi, Rencana Kontinjensi bergeser
menjadi Rencana Operasi Tanggap Darurat atau Rencana Operasi setelah melalui kaji
cepat atau rapid assessment.
Damarjati, D. (2018) dalam artikel beritanya menginformasikan bahwa pada
tanggal 28 September 2018, Palu dan Donggala diguncang gempa bermagnitudo 7,4
dengan pusat gempa ada pada kedalaman 10 km, jaraknya ada di 27 km sebelah timur
laut Donggala. Selanjutnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
mengaktivasi peringatan dini tsunami, status siaga untuk pantai Donggala barat dan
waspada untuk Donggala utara, Mamuju, dan Kota Palu bagian barat. Kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya gempa dan bencana lanjutan semakin meningkat. Salah satu
alasan dari kekhawatiran ini karena kota palu terletak pada kawasan dataran Lembah
Palu dan Teluk Palu sehingga wilayahnya terdiri dari 5 bentang alam yang berbeda
seperti pegunungan, lembah, sungai, teluk dan lautan. Sudah sepatutnya peran
Pemerintah Daerah untuk menyusun dan membuat suatu perencanaan tentang
penanggulangan bencana secara dini dan mengantisipasi dampak dari suatu kejadian
bencana. Oleh sebab itu, dibuatlah suatu Rencana Kontinjensi untuk penanggulangan
bencana.

1.2 Pengertian Rencana Kontijensi


Kontinjensi merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi namun belum tentu
benar-benar terjadi. Rencana kontinjensi adalah suatu proses perencanaan ke depan
dalam situasi tidak menentu dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan
manajerial ditetapkan sehingga dapat mewujudkan terselenggaranya penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh sehingga pada saat
terjadi bencana, setiap instansi yang terkait mampu melaksanakan tugas dan tindakan
yang diperlukan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan fungsi masing-masing.
Rencana kontinjensi terbentuk dari proses perencanaan kontinjensi.
Proses dari perencanaan kontinjensi tersebut melibatkan sekelompok orang atau
organisasi yang bekerja sama secara berkesinambungan untuk merumuskan dan
menyepakati tujuan-tujuan bersama, mendefinisikan tanggung jawab dan tindakan yang
harus diambil oleh setiap pihak. Perencanaan kontinjensi menjadi prasyarat untuk
tanggap darurat yang cepat serta efektif. Tanpa adanya perencanaan kontinjensi terlebih
dahulu maka dalam menanggapi keadaan darurat akan banyak waktu yang terbuang
dalam beberapa hari. Perencanaan kontinjensi akan membangun kapasitas instansi dan
juga sebagai dasar bagi rencana operasi tanggap darurat.
1.3 Tujuan
Penyusunan dokumen rencana kontijensi ini bertujuan sebagai landasan
operasional, strategi dan panduan dalam penanganan darurat bencana gempa bumi dan
sebagai dasar untuk mobilisasi sumber daya para pemangku kepentingan (stakeholders)
yang mengambil peran dalam penanganan darurat bencana.

1.4 Sifat Rencana Kontinjensi


Dokumen rencana kontijensi ancaman bencana gempa bumi bersifat:
a. Partisipatif yaitu dalam penyusunannya melibatkan multisektor serta multi pihak;
b. Dinamis dan selalu terbarukan.

1.5 Ruang Lingkup


Ruang lingkup rencana kontijensi menghadapi bencana gempa bumi ini
berdasarkan skenario kejadian gempa bumi berada dalam lingkup wilayah administrasi
kota Palu. Dokumen ini berisi mengenai kebijakan, strategi dan langkah-langkah
operasional dalam menghadapi situasi darurat bagi para pemangku kepentingan melalui
kesepakatan dari satu skenario kejadian bencana. Skenario kejadian tersebut
dikembangkan berdasarkan dampak yang akan terjadi kepada masyarakat dan aset atau
sumber daya daerah. Dengan begitu, para pemangku kepentingan yang ada di kota Palu
dapat mengetahui peran, tugas dan fungsi saat di situasi darurat. Hal ini juga akan
mempengaruhi pelaksanaan kegiatan tanggap darurat yang mampu lebih terpadu dan
terkoordinir dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat yang
terdampak bencana.

1.6 Proses Penyusunan


Adapun kegiatan penyusunan rencana kontijensi ini dilakukan dengan beberapa
tahapan sebagai berikut:
a. Penyamaan persepsi terhadap semua pelaku penanggulangan bencana gempa
bumi mengenai pentingnya rencana kontijensi lewat lokalatih penyusunan
rencana kontijensi.
b. Penyusunan rancangan awal dokumen kontijensi melalui lokakarya penyusunan
rencana kontijensi.
c. Pengumpulan dan updating data oleh semua pelaku penanggulangan bencana.
d. Analisa data sumber daya yang ada dibandingkan proyeksi kebutuhan
penanganan bencana saat tanggap darurat.
e. Pembahasan dan perbaikan dokumen rencana kontijensi.
f. Konsultasi publik hasil rumusan rencana kontijensi akan ditentukan kemudian,
sebagai bagian dari rencana tindak lanjut.
g. Diseminasi rencana kontijensi kepada semua para pelaku penanggulangan
bencana akan ditentukan kemudian, sebagai bagian dari rencana tidak lanjut.

1.7 Aktivasi Rencana Kontijensi


Jika bencana gempa bumi terjadi, maka rencana kontinjensi diaktivasi oleh
Pemerintah kota Palu menjadi rencana operasi setelah ada penetapan status darurat
bencana gempa bumi dan telah ditetapkan serta aktivasinya Organisasi Komando
Tanggap Darurat Bencana oleh BPBD Kota Palu. Rencana kontinjensi diaktivasi dalam
rapat penyusunan rencana operasi yang dipimpin oleh Komandan Tanggap Darurat
Bencana.
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH

2.1 Gambaran Umum Wilayah


Kota Palu merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah
395,06 km2 berada pada kawasan dataran lembah Palu dan teluk Palu. Penduduk Kota
Palu berjumlah 342,754 jiwa. Secara astronomis Kota Palu terletak pada 0°,36" - 0,56"°
Lintang Selatan dan 119°,45" - 121 °, 1" Bujur Timur. Secara administratif batas-batas
wilayah Kota Palu Sebelah Utara : Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala,
Sebelah Selatan Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi,
Sebelah Barat : Kecamatan Kinovaro dan Kecamatan Marawola Barat Kabupaten Sigi,
dan Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala; Sebelah Timur : Kecamatan Parigi
Kabupaten Parigi Moutong, dan Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala.
Wilayah Kota Palu terbagi atas 8 (delapan) kecamatan dan 46 (empat puluh
enam) kelurahan, 289 Rukun Warga, dan 1.030 Rukun Tetangga. Kecamatan terluas
adalah Kecamatan Mantikulore yaitu seluas 206,80 km2 (52,35%) dan kecamatan
terkecil adalah Kecamatan Palu Timur yaitu seluas 7,71 km2 atau hanya 1,95% dari luas
wilayah Kota Palu. Sebagian besar kelurahan berada pada dataran Lembah Palu yaitu
sebanyak 29 (dua puluh sembilan) kelurahan, sementara 17 (tujuh belas) kelurahan
lainnya berada di sepanjang pantai Teluk Palu.
Peta Administratif Kota Palu
Bencana yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya adalah bencana Gempabumi.
Bencana Gempa Bumi berkekuatan 7,7 SR terjadi tepat di koordinat 119.850 E, 0,0220
S di kedalaman 10 km. Gempa terjadi disebabkan oleh pergerakan Sesar Palu-Koro
yang merupakan sesar utama yang sangat aktif. Kerentanan bangunan merupakan
kondisi dimana terdapat faktor yang dapat menyebabkan suatu bangunan berpotensi
mengalami kerusakan sehingga tidak dapat memenuhi kinerja yang diharapkan apabila
terjadi suatu bencana.
BAB III
PENILAIAN RISIKO, PENENTUAN KEJADIAN, DAN SKENARIO KEJADIAN
BENCANA

3.1 Penilaian Risiko


Jenis model penilaian risiko gempa bumi antara lain yaitu indeks risiko, estimasi
kerugian, dan skenario kerusakan. Masing-masing bentuk model penilaian risiko
membutuhkan masukan data maupun keluaran yang berbeda. Pengguna model maupun
pengembang model dapat memilih sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Indeks risiko
bencana gempa bumi (Earthquake Disaster Risk Index, EDRI) membutuhkan masukan
data yang lebih sederhana, dibandingkan metoda kuantitatif lainnya yang membutuhkan
informasi detail. Output dari model indeks merupakan nilai risiko relatif (bukan nilai
risiko kuantitatif dalam bentuk uang). Output dari estimasi kerugian merupakan nilai
kerugian ekonomi dan kerusakan struktural. Output yang dihasilkan dari model skenario
merupakan deskripsi secara kualitatif dari kejadian yang mengikuti kejadian bencana
gempa bumi. Untuk mengembangkan model indeks, dibutuhkan jumlah data yang lebih
sedikit, dibandingkan model skenario dan model estimasi kerugian. Pada tahun 1991,
FEMA mengembangkan penilaian kerentanan terhadap gempa bumi dan dampaknya
terhadap jaringan-jaringan pendukung melalui ATC-25. Penilaian kerugian dilakukan
untuk kerugian langsung dan tidak langsung. Kerugian langsung didefinisikan sebagai
kerusakan yang dihasilkan langsung dari getaran tanah atau kerugian yang diakibatkan
oleh bahaya ikutannya misalnya akibat likuifaksi. Untuk setiap kerugian langsung,
dinilai dalam biaya penggantian konstruksi akibat kerusakan (replacement cost) yang
bervariasi antara 0 % s.d 100%. Estimasi kerusakan dapat dihasilkan dari : 1. Estimasi
intensitas getaran tanah dari model bahaya seismik 2. Inventarisasi data pada lokasi dan
tipe fasilitas yang terdampak 3. Fungsi kerentanan yang berhubungan dengan intensitas
seismic dan kondisi situs terhadap kemungkinan kerusakan yang terjadi. Beberapa
skenario gempa digunakan untuk menggambarkan beberapa kondisi kemungkinan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi bila gempa dengan magnitudo tertentu terjadi.
Magnitude yang dipilih adalah magnitude yang memiliki dampak besar/probabilitas
rendah dan dampak kecil/probabilitas lebih tinggi. Selain itu jarak dan kedalaman
sumber gempa juga menjadi pertimbangan dipilihnya skenario gempa. Metodologi
kajian ini menggunakan bantuan. Probabilitas kejadian masing-masing skenario gempa
yang dipilih akan memberikan kemungkinan kejadian dengan masing masing damage
state. Kerugian langsung dinyatakan sebagai biaya penggantian akibat kerusakan agar
kembali pada kondisi semula (kondisi 100%). Kerugian tidak langsung yang
diakibatkan oleh bencana gempa bumi pada jaringan lalu lintas adalah berupa gangguan
terhadap fungsi jalan dan jembatan, sehingga P mengakibatkan penurunan kapasitas
jalan. Gangguan lalu lintas berdampak pada pengguna jalan yang mengakibatkan
adanya perubahan waktu tempuh yang diakibatkan perubahan kapasitas jalan,
penambahan biaya operasi akibat adanya terjadi perubahan rute, serta adanya perubahan
jarak tempuh yang harus dilalui oleh pengguna jalan. Dampak lainnya adalah adanya
gangguan ekonomi akibat penurunan produksi dari wilayah yang menggunakan jalan
yang terkena dampak bencana.

3.2 Penentuan Kejadian


Gempa bumi di wilayah Kota Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018
dengan magnitudo Mw 7,5 merupakan gempa bumi yang menyebabkan kerusakan
infrastruktur yang parah dan jumlah korban jiwa yang sangat banyak. Kedua kerugian
tersebut diakibatkan oleh guncangan yang sangat kuat, likuifaksi dan tsunami akibat
longsoran. Gempa bumi ini disebabkan oleh pergeseran yang terjadi pada Sesar Palu-
Koro (PK) yang membelah Pulau Sulawesi. Secara tektonik Sulawesi dibagi menjadi
beberapa blok, yaitu: Blok Manado, Blok Sulawesi Utara, Blok Sulawesi Timur dan
Blok Makassar. Sesar PK merupakan konsekuensi dari adanya rotasi blok Sulawesi
Utara searah jarum jam relatif terhadap Blok Makassar. Rotasi searah jarum jam ini
mengakibatkan gerakan mendatar sinistral di sepanjang pertemuan kedua blok tersebut
yaitu sesar Palu-Koro-Matano. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa Sesar PK
merupakan bidang sesar sederhana dan lurus sehingga memungkinkan terjadinya
supershear rupture. Gempa bumi disebut supershear rupture bila kecepatan rupture pada
bidang gempa bumi lebih besar dari gelombang permukaan.
Data gempa yang direlokasi hiposentrumnya berada pada rentang 900 -1600 E dan
150 S 150 N. Kejadian gempa bumi terealisasi direkam tidak hanya oleh jaringan
seismik BMKG tetapi juga oleh jaringan seismik internasional. Jaringan seismik BMKG
yang digunakan sebanyak 174 dan jaringan seismik internasional sebanyak 146. Setelah
direlokasi episenter gempa bumi umumnya berpindah ke arah barat laut dengan
perpindahan maksimum sejauh 28,4 km dan perpindahan minimum sebesar 0,24 km
dari posisi sebelumnya. Adapun rata rata perpindahan episenter sebesar 6,3 km dari
posisi sebelumnya. Gambar 1(a) menunjukkan vektor relokasi dari setiap episenter
gempa bumi relatif terhadap katalog BMKG. Gambar 1(b) menunjukkan arah umum
perpindahan hiposenter ke arah barat laut. Dengan dilakukannya relokasi ini maka
hiposenter gempa yang tadinya berada di daratan leher Pulau Sulawesi bergeser lebih
mendekati pantai barat. Sebaran episenter sebelum dan sesudah relokasi hiposenter
ditunjukkan oleh Gambar 3. Hasil relokasi hiposenter menunjukkan terdapat perubahan
kedalaman yang signifikan di mana sebelum relokasi hiposenter mayoritas kedalaman
berada pada kedalaman fix depth 10 km seperti ditunjukkan oleh Gambar 3(a). Deliniasi
struktur sesar tidak bisa dilakukan jika sebaran kedalaman hampir homogen ( fix depth)
sehingga relokasi hiposenter mutlak dilakukan untuk mendeliniasi suatu struktur sesar
aktif. Adapun untuk informasi gempa bumi parameter hiposenter untuk keperluan
tanggap darurat dikirim oleh BMKG dalam waktu kurang dari 5 menit dari waktu
kejadian gempa bumi.

gambar 1. a) Vektor perpindahan episenter gempa bumi dari sebelum ke sesudah


relokasi hiposenter. b) Diagram mawar dari hasil relokasi hiposenter.
Gambar 3. Sebaran episenter gempa bumi sebelum (a) dan sesudah relokasi hiposenter
(b). Garis 1-6 merupakan penampang vertikal arah barat-timur yang digunakan untuk
merekonstruksi Sesar Palu. Lebar penampang 1-6 sebesar 0,250

3.3 Skenario Kejadian Bencana


Gempabumi terjadi pada hari Sabtu, 25 November 2017, pukul 16:14:49 WIB.
Menurut BMKG, pusat gempa bumi berada pada koordinat 1,14°LS dan 119.91° BT
dengan magnitudo 5,1 SR pada kedalaman 10 km berjarak 26 km tenggara Palu,
Sulawesi Tengah. Gempabumi berada di darat di wilayah Palu. Daerah disekitar pusat
gempa bumi didominasi oleh batuan malihan berumur Pra Tersier & batuan terobosan
berumur Tersier yang relatif solid dan resisten. Daerah Palu sendiri tersusun oleh
Batuan karbonat berumur Tersier dan endapan Kuarter yang telah mengalami pelapukan
bersifat urai, lepas, belum kompak dan memperkuat efek getaran, sehingga rawan
terhadap goncangan gempa bumi. Berdasarkan posisi sumber gempa bumi dan
kedalamannya, kemungkinan gempa bumi ini berasosiasi dengan aktivitas sesar aktif
Palu Koro di daerah Palu, Sulawesi Tengah. Gempabumi ini dirasakan sebesar III-IV
MMI di Kota Palu dan III MMI di Donggala. Hingga tanggapan ini dibuat, belum ada
laporan korban jiwa maupun kerusakan akibat gempa bumi ini. Gempa bumi ini tidak
menyebabkan tsunami, karena pusat gempa bumi berada di darat. Pada bencana tersebut
masyarakat dihimbau untuk :
1. Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan mengikuti arahan serta informasi dari
petugas BPBD setempat. Jangan terpancing oleh isu yang tidak bertanggung jawab
mengenai gempa bumi dan tsunami.
2. Masyarakat agar tetap waspada dengan kejadian gempa bumi susulan, yang
diperkirakan berkekuatan lebih kecil.
BAB IV
PENGEMBANGAN SKENARIO DAMPAK

Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang tidak dapat dihindari
bagi seluruh makhluk. Terdapat berbagai dampak yang muncul akibat gempa,
diantaranya yaitu dampak terhadap seluruh aktivitas manusia, sarana dan prasarana,
sosial, budaya hingga dampak terhadap perekonomian.
4.1 Dampak Terhadap Kependudukan
Akibat yang muncul setelah terjadi gempa di suatu daerah yaitu dampak terhadap
kependudukan daerah, dimana kemungkinan didapati penduduk yang terluka,
hilang tertimbun reruntuhan gedung hingga kematian. Selain itu, kondisi lain yang
mungkin terjadi yaitu putusnya jaringan komunikasi, hilangnya harta benda, hingga
dampak psikologis yang muncul akibat trauma pasca situasi gempa.

4.2 Dampak Terhadap Sarana dan Prasarana


Getaran yang terjadi selama gempa bumi dapat mengakibatkan runtuhnya berbagai
gedung, seperti gedung sekolah, gedung kantor, pusat perbelanjaan, hingga
kerusakan infrastruktur seperti jembatan penghubung antar desa, kecamatan
maupun kota.

4.3 Dampak Terhadap Sosial, Ekonomi, Budaya


Rusaknya lingkungan akibat gempa berdampak pada kondisi sosial masyarakat
seperti kelaparan, kesakitan dan kemiskinan. Kerugian terhadap budaya yaitu jika
mungkin terdapat destinasi wisata yang rusak akibat gempa, maka untuk sementara
waktu tempat tersebut ditutup untuk dilakukan renovasi terlebih dahulu sebelum
dibuka kembali sebagai destinasi wisata setempat.

4.4 Dampak Terhadap Status Kesehatan Masyarakat


Banyaknya korban yang terluka hingga korban jiwa berdampak pada menurunnya
status kesehatan masyarakat. Selain itu, kondisi lingkungan pengungsian yang
buruk dapat berdampak pada munculnya penyakit menular dan penyakit tular
vektor, seperti diare, demam berdarah, hepatitis hingga leptospirosis.
BAB V
PENETAPAN TUJUAN DAN STRATEGI TANGGAP DARURAT

5.1 Penetapan Tujuan


Penetapan tujuan merupakan suatu penetapan tujuan-tujuan yang hendak dicapai
dari adanya darurat bencana. Penetapan tujuan ini bertujuan untuk mengkhususkan
antara tujuan khusus dan tujuan indikatif yang akan digunakan sebagai pedoman dalam
menangani darurat bencana. Berikut merupakan tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam
rencana kontijensi bencana Gempa Bumi di wilayah Palu.
1. Memastikan penanggulangan bencana dilaksanakan secara terkoordinir dan
melibatkan semua sumber daya yang ada baik dari sebelum terjadinya bencana
hingga setelah bencana terjadi.
2. Mengerahkan semua sumber daya dan Potensi yang ada untuk dapat
dipergunakan dalam tanggap darurat penanggulangan bencana, dan bersifat
partisipasi.
3. Berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana, dan terus memantau
informasi terkini di wilayah gempa palu.
4. Meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik serta memastikan bahwa para
korban bebas dari tindakan diskriminasi
5. Memastikan semua korban manusia, dapat segera di tolong, bagi korban yang
luka-luka diberikan pengobatan, sedangkan yang meninggal dunia segera
dimakamkan.

5.2 Strategi Tanggap Darurat


Strategi tanggap darurat merupakan suatu cara spesifik yang akan dilakukan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dipaparkan di atas. Berikut merupakan strategi
tanggap darurat untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi.
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian dan
sumber daya
Pengkajian ini dilakukan guna mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan.
Dampaknya meliputi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan sarana
dan prasarana, dan gangguan pelayanan umum.
2. Melakukan pemetaan kawasan rawan
Pemetaan daerah atau kawasan rawan dilakukan untuk dapat mendeteksi daerah
atau tempat-tempat yang rawan saat terjadinya bencana. Pemetaan ini nantinya
akan mengeluarkan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gempa Bumi.
3. Penentuan status keadaan darurat bencana
Penentuan status ini ditentukan oleh pemerintah setempat. Selain itu, pemerintah
juga berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
4. Memprioritaskan kelompok rentan
Dalam hal tanggap darurat, kelompok rentan menjadi prioritas dalam hal
keselamatan dan pengobatan. Kelompok rentan yang dimaksud ialah ibu hamil,
anak-anak, balita, lansia, dan penyandang disabilitas. Selain masyarakat umum
yang memang harus diselamatkan saat terjadinya bencana, kelompok rentan
menjadi prioritas dalam penanggulangan bencana, dimulai dari saat
penyelamatan hingga pemberian pengobatan harus selalu dipantau demi
keselamatan dan kesehatan dari kelompok rentan.
5. Mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh daerah
Sumber daya yang dimiliki oleh daerah harus dioptimalkan, baik sumber daya
manusia atau sumber daya alam. Selain itu, pemanfaatan sumber daya ini
berguna untuk menjamin kebutuhan dasar korban. Dalam hal ini, pengoptimalan
sumber daya manusia yang dapat dilakukan adalah, diantaranya:
a. Sumber daya manusia berperan sebagai relawan sesuai dengan keahlian
yang dimiliki dan dibutuhkan oleh masyarakat setempat saat penanganan
darurat dan memiliki izin sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Sumber daya manusia berguna dalam mengoptimalkan manajemen data dan
juga informasi dalam hal tanggap darurat, seperti pencatatan bantuan bahan
pangan maupun bantuan medis yang diterima dan dikeluarkan (yang
diberikan kepada korban).
c. Sumber daya manusia juga berperan dalam memberikan pelayanan
keamanan dan berguna sebagai penunjuk arah untuk menjamin pemberi
bantuan selamat sampai tujuan. Selain memastikan pemberi bantuan aman,
tujuan dari sumber daya manusia juga dapat menjamin keamanan para
korban di posko agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
BAB VI
PEMANTAUAN DAN TINDAK LANJUT

6.1 Pemantauan
Setelah semua susunan kepanitiaan merancang kegiatan maka dibutuhkan
struktur komando untuk memantau dan menggambarkan dalam bentuk hirarki, rantai
komando dan rantai koordinasi antar sektor

Struktur Komando Tanggap Darurat

6.2 Tindak Lanjut


6.2.1 Simulasi Ruang dan Simulasi Lapang
Dokumen perencanaan kontinjensi ini perlu disimulasikan untuk melihat
apakah dokumen ini dapat digunakan dan untuk memastikan bahwa setiap
departemen mengetahui dan memahami tanggung jawabnya masing-masing.
Simulasi adalah peristiwa rekayasa untuk menggerakkan setiap elemen dalam
rencana kontinjensi dan memastikan elemen tersebut memahami tugasnya.
Simulasi ruang berlangsung di dalam ruangan. Gunakan skenario yang sedekat
mungkin atau mirip dengan kenyataan. Libatkan semua elemen dan peserta
aktual dalam perencanaan kontinjensi. Oleh karena itu, yang harus dihindari
dalam simulasi adalah munculnya aktor atau aktor palsu, stuntmen. Dalam
simulasi tersebut, Kepala Desa harus berperan sebagai Kepala Desa agar mereka
benar-benar memahami apa tugas dan tanggung jawabnya di bawah perencanaan
kontinjensi.
Sedangkan simulasi lapang berlangsung di luar ruangan, biasanya di lokasi
nyata. Simulasi lapang biasanya dapat menyebabkan korban cedera, kematian,
dan mengungsi
6.2.2 Evaluasi
Setelah beberapa kali percobaan simulasi ruang, kemudian dilakukan evaluasi.
Guna dari evaluasi untuk menemukan letak kelemahan dari perencanaan
kontinjensi, antara lain:
1. Adanya sektor yang masih belum memahami tentang kegiatannya
2. Kalimat yang digunakan dalam rencana sektor tidak dapat dipahami
3. Adanya sektor yang tidak mengerti kapan harusnya mulai melaksanakan
kegiatannya
4. Ada sektor yang melakukan kegiatan lebih awal dari ketentuannya

DAFTAR PUSTAKA
Al-Fath, M. F. (2021). Analisis dampak gempa bumi terhadap perekonomian
masyarakat di Desa Kekait Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat
(Doctoral dissertation, UIN Mataram).
Hartono, D. et al. (2021) ‘Analisis Sejarah, Dampak, Dan Penanggulangan
Bencana Gempa Bumi Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Sulawesi Barat’,
PENDIPA Journal of Science Education, 5(2), pp. 218–224. doi:
10.33369/pendipa.5.2.218-224.
Leopatty, H., Efendi, R., Rande, M. N., Asyhar, I. F., & Cholidani, M. (2021).
Identifikasi Tingkat Getaran Gempa di Kabupaten Sigi Berdasarkan Skenario
Shakemap Mw 6, 9 Sesar Palu Koro. Gravitasi, 20(2), 42-46.
Ramdhan, M., & Priyobudi, P. (2020). Rekonstruksi Model Bawah Permukaan
Sesar Palu Berdasarkan Hasil Relokasi Hiposenter. Jurnal Lingkungan dan
Bencana Geologi, 11(1), 1-9.
Sungkawa, D. (2016) ‘Dampak Gempa Bumi Terhadap Lingkungan Hidup’, Jurnal
Geografi Gea, 7(1). doi: 10.17509/gea.v7i1.1706.
Sulistiawan, J., Syahtaria, I., Siantur, D., Prakoso, L. Y., Saragih, H. J. R., & Bangun, E.
(2022). SINERGITAS TNI DAN BNPB DALAM PENANGGULANGAN
BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU GUNA
MENINGKATKAN PERTAHANAN NIRMILITER DALAM RANGKA
MEMPERKUAT PERTAHANAN NEGARA. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(8),
2841-2848.
Ramdhan, M., & Priyobudi, P. (2020). Rekonstruksi Model Bawah Permukaan Sesar
Palu Berdasarkan Hasil Relokasi Hiposenter. Jurnal Lingkungan dan Bencana
Geologi, 11(1), 1-9.

Anda mungkin juga menyukai