EPIDEMIOLOGI DASAR
n=
ii
Indikator Penderitaan Rakyat 79
iii
BAB 1
ORIENTASI EPIDEMIOLOGI
Kaitan antara Ilmu Kedokteran Klinik, Ilmu Kedokteran Dasar dan
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit pada manusia sebenarnya adalah
berkat sumbangan bermacam disiplin ilmu, yaitu anatomi, histologi, fisiologi, biokimia,
fisika, biologi, patologi anatomi, patologi klinik, farmakologi, ilmu penyakit dalam, ilmu
penyakit anak, ilmu penyakit mata, dan lain sebagainya. Bila cabang ilmu ini
dicantumkan semuanya, maka akan menjadi daftar yang sangat panjang. Akan tetapi,
daftar yang panjang ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
Berbeda dengan Ilmu Kedokteran Dasar dan Ilmu Kedokteran Klinis yang menekuni
seorang individu, maka Ilmu Kesehatan Masyarakat lebih banyak berkecimpung pada
masalah kesehatan dan penyakit yang ada di masyarakat, yaitu dengan jalan
melakukan identifikasi masalah-masalah kesehatan yang ada di masyarakat secara
menyeluruh, dan kemudian mencari alternatif pemecahannya.
Pendekatan Ilmu Kedokteran Klinis lebih banyak pada usaha pengobatan individu
yang sakit. Belakangan ini Ilmu Kedokteran Klinis juga sudah mulai mengadakan
pendekatan pada individu yang sehat dalam usaha mereka untuk mendeteksi keadaan
kesakitan seawal mungkin, misalnya: mengadakan pemeriksaan secara berkala pada
wanita usia 30 tahun keatas untuk mengetahui adanya kanker mulut rahim secara dini.
Pada Ilmu Kesehatan Masyarakat, individu digantikan dengan masyarakat atau selu-
ruh penduduk pada suatu wilayah geografis, dan pendekatannya tidak semata-mata
pada anggota masyarakat yang sakit saja tetapi juga pada mereka yang sehat, yang
mempunyai risiko untuk menderita suatu penyakit. Istilah yang lazim dipakai untuk
golongan penduduk ini ialah population at risk. Penduduk yang sehat terutama yang
1
lebih terancam (risikonya untuk terkena suatu penyakit lebih besar) adalah fokus utama
seorang petugas public health yaitu untuk mencegah atau melindungi agar mereka
yang sehat tidak menjadi sakit.
Ketiga kelompok ilmu kedokteran di atas tidaklah berdiri sendiri, tetapi satu sama lain
saling berkaitan, satu sama lain saling memerlukan, dan satu sama lain saling
mendukung. Untuk menegakkan diagnosa penyakit pada seorang pasien, Ilmu
Kedokteran Klinis sangat memerlukan bantuan Ilmu Kedokteran Dasar (biologi,
anatomi, histologi, biokimia, fisiologi, mikrobiologi, dll). Selain itu juga sangat
memerlukan bantuan Ilmu Kesehatan Masyarakat, misalnya, pengetahuan tentang
distribusi penyakit di masyarakat, penduduk golongan umur yang mana saja yang lebih
banyak terkena, pada jenis kelamin yang mana, pada kelompok pekerjaan apa, pada
bulan-bulan apa biasanya penyakit tersebut banyak terjadi, bagaimana cara penularan-
nya, dan lain sebagainya. Semua informasi ini akan sangat membantu seorang dokter
klinik dalam usahanya untuk menegakkan diagnosa penyakit yang tepat pada
seorang individu. Sebaliknya, Ilmu Kesehatan Masyarakat juga sangat memerlukan
bantuan Ilmu Kedokteran Dasar dan Ilmu Kedokteran Klinis.
Beberapa contoh di bawah ini bisa menjelaskan kerja sama ketiga cabang ilmu
tersebut.
Contoh 1
Untuk mengetahui kejadian (prevalen dan insiden) sesuatu penyakit di
masyarakat, Ilmu Kesehatan Masyarakat sangat dibantu ketika harus menetap-
kan pembilang angka prevalen dan angka insiden. Pembilang kedua rate ini ialah
penduduk yang sakit. Ketika menentukan apakah seseorang dalam keadaan
sakit atau sehat, diperlukan bantuan Ilmu Kedokteran Klinik dan Ilmu Kedokteran
Dasar, yaitu ketika menegakkan diagnosa penyakit.
Contoh 2
2
bantuan ahli patologi anatomi, untuk melakukan bedah mayat dan memastikan
penyebab kematian orang yang meninggal.
Contoh 4
Ilmu Penyakit Dalam, mempelajari gejala klinis pasien yang terserang TBC,
menegakkan diagnosa, memberikan pengobatan yang tepat, tindak lanjut
(follow-up) penderita, dll.
3
sehat maupun yang sakit terutama yang datang ke rumah sakit atau praktek
penduduk sakit yang tidak datang ke swastanya. Pada umumnya bersifat
tempat-tempat pelayanan ksehatan. pasif dan hanya menunggu orang sakit
Perhatian lebih ditekankan pada usaha- datang ke tempat praktek/tempat kerja-
usaha untuk mencegah agar penduduk nya. Dewasa ini dokter klinik juga telah
yang sehat tidak menjadi sakit, dan banyak yang melakukan kegiatan-
usaha-usaha untuk deteksi dini penduduk kegiatan early detection suatu penyakit
yang sakit (early detection/active case (active case finding) dengan jalan
finding dan prompt treatment). Misalnya, melaksanakan program-program screen-
tidak semua penderita TBC akan datang ing/uji saring, misalnya: pemeriksaan
ke tempat-tempat pelayanan kesehatan. EKG pada semua penduduk umur di atas
Tidak semua penderita sifilis tampak sakit 40 tahun untuk deteksi dini penyakit
dan datang berobat. Dengan demikian, jantung koroner, pemeriksaan semua
usaha-usaha petugas public health ber- wanita umur di atas 30 tahun untuk
sifat aktif (“jemput bola”). deteksi dini kanker leher rahim, dll.
2. Menggerakkan semua lapisan ma- 2. Tidak banyak menerapkan prinsip-
syarakat dan menerapkan prinsip- prinsip manajemen, dan kegiatannya
prinsip manajemen dalam pelaksana- lebih banyak bersifat kuratif dan reha-
an usaha-usaha pencegahan primer, bilitatif.
sekunder & tersier.
3. Tempat kerja: di puskesmas, dinas 3. Tempat kerja: rumah sakit, praktek
kesehatan, perusahaan dan lain-lain. swasta dan lain-lain.
4. Alat diagnostik untuk mengetahui ma- 4. Alat diagnostik untuk mengetahui
salah kesehatan di masyarakat ialah: penyakit pasien: stetoskop, EKG alat
epidemiologi, statistik, demografi. rontgen, dll.
5. Ukuran-ukurannya: proporsi, rate, 5. Ukuran-ukurannya: tekanan darah
ratio. Misalnya: proporsi penduduk pasien, kadar gula darah, gambaran
yang mati karena kecelakaan, preva- rontgen, gambaran EKG, dll.
lence rate anak balita yang kurang gi-
zi, incidence rate kanker selama 1 thn.
6. Pengobatan bagi masyarakat di wila- 6. Pengobatan bagi pasiennya ialah
yah kerjanya ialah dengan program, dengan program pengobatan misal-
misalnya: program keluarga beren- nya: obat, bedah, fisoterapi, latihan,
cana, program penanggulangan TBC, radiasi, dll.
program pengadaan air bersih, dll.
7. Evaluasi keberhasilan program ke- 7. Evaluasi keberhasilan program pe-
sehatan masyarakat: persentase pe- ngobatannya: penurunan kadar gula
nurunan penduduk yang kurang gizi, darah, penurunan berat badan, ke-
penurunan angka insiden diare, kenai- naikan Hb, dll.
kan prevalen akseptor KB, dll.
Seperti halnya Ilmu Kedokteran Klinis yang memerlukan berbagai alat (tensimeter,
stetoskop, alat periksa jantung, dll), untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit pada
seorang pasien maka untuk mengidentifikasi masalah-masalah kesehatan yang ada di
4
masyarakat, Ilmu Kesehatan Masyarakat juga memerlukan berbagai alat atau metoda.
Salah satu dari metoda tersebut ialah epidemiologi, sedangkan metoda lainnya yaitu
demografi dan statistik.
Definisi Epidemiologi
5
2. Frost (1927) memberikan definisi sbb:
3. Plunkett & Gordon (1960), dalam bukunya: Epidemiology and Mental Illness.
Definisi yang dianut sampai dengan saat ini ialah definisi yang dikemukakan oleh
Mac Mahon dan kawan-kawan. Kalau dikaji definisi tersebut, epidemiologi mem-pelajari
penyebaran penyakit atau kejadian bukan penyakit yang terjadi pada suatu kelompok
penduduk dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan atau yang mem-pengaruhi
penyebaran penyakit tersebut. Ini berarti bahwa penyebaran suatu penyakit di
masyarakat tidaklah terjadi begitu saja secara random (acak), tetapi berbeda pada satu
kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya karena ada faktor penye-
babnya. Karena itu, distribusinya yang tidak sama ini bisa dipakai sebagai dasar untuk
mempelajari atau meneliti etiologinya. Bila faktor-faktor penyebabnya sudah diketahui
maka pencegahan atau penanggulangannya akan jauh lebih mudah.
Dari definisi yang terakhir ini (Mac Mahon, dkk.) pembahasan epidemiologi akan
dibagi menjadi dua yaitu: epidemiologi deskriptif dan epidemiologi analitik. Epi-
demiologi deskriptif mempelajari distribusi penyakit atau kejadian lainnya di masya-
rakat, sedangkan epidemiologi analitik mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi tersebut.
6
Sejarah Perkembangan Epidemiologi
Sebenarnya epidemiologi telah mulai dibahas oleh Hipocrates sekitar 2400 tahun
yang lalu, tetapi setelah itu, perkembangannya agak mandek karena dikalahkan oleh
perkembangan ilmu matematika, fisika, ilmu alam dan astronomi yang perkembangan-
nya amat pesat di kala itu. Ilmu kedokteran termasuk epidemiologi kemudian baru
berkembang dengan pesat setelah tahun 1800-an, terutama setelah diketemukannya
mikroskop. Bila dilihat sejarahnya, ada 4 tonggak penting dalam perkembangannya
seperti diuraikan di bawah ini.
Sekitar tahun 450 sebelum masehi, Hipocrates pada dasarnya telah memasukkan
unsur Ilmu Epidemiologi dalam Ilmu Kedokteran yang dia geluti, walaupun tidak
selengkap epidemiologi saat ini. Hal ini terbukti dari buku-buku kedokteran yang
ditulisnya. Dalam salah satu bukunya yang berjudul: On Airs, Waters & Places, dia
telah menghubungkan kejadian penyakit dengan lingkungan, misalnya terjadinya
penyakit yang dipengaruhi oleh arah angin, sumber air minum, curah hujan, dan lain
sebagainya. Sampai saat ini buku tersebut dianggap sebagai salah satu buku teks
epidemiologi yang pertama. Hipocrates dilahirkan tahun 460 dan meninggal tahun 355
sebelum masehi.
Setelah sekitar 2000 tahun dari tonggak I kemudian muncul suatu perkembangan
yang amat penting. Sekitar tahun 1600 kejadian kematian dan kesakitan di masyarakat
mulai dihitung. Sebelum itu tidak pernah diketahui berapa jumlah kelahiran, kematian
atau penduduk yang sakit. Pada tahun 1662 John Graunt menulis sebuah buku yang
berjudul: Natural and Political Observartions, upon the Bills of Mortality. Dalam
bukunya ini Graunt memaparkan jumlah penduduk kota London yang lahir dan mati
menurut jenis kelamin, umur, tempat tinggal, musim, dll. Dikemukakan bahwa kematian
bervariasi sesuai dengan musim. Anak umur di bawah satu tahun mempunyai angka
kematian yang tinggi. Kelahiran dengan jenis kelamin laki lebih banyak dibanding
perempuan, dll. Jaman ini dianggap sebagai tonggak kuantifikasi dan pemakaian
statistik dalam bidang kesehatan.
Pada tahun 1854, tepatnya dari tanggal 8 Juli sampai dengan 26 Agustus 1854
terjadi wabah penyakit muntah-berak di London. Pada saat itu belum diketahui bahwa
penyebab penyakit tersebut adalah Vibrio cholera. Sebelum itu, teori yang dianut ialah
bahwa penyakit ini disebabkan oleh udara buruk. John Snow, seorang dokter ahli
bius/anaestesi (lahir tahun 1813, meninggal tahun 1858), dengan jalan melakukan
analisis data kematian muntah berak pada saat wabah tersebut telah berhasil
membuktikan bahwa penyakit ini disebabkan oleh karena air minum yang tercemar dan
bukan oleh karena polusi udara/udara buruk.
Pengadaan air minum di Kota London dilaksanakan oleh beberapa perusahan air
mimun swasta, dan mereka bersaing untuk mendapatkan langganan. Karena itu
7
seringkali rumahtangga yang satu dengan rumahtangga lainnya walaupun bertetangga,
dilayani oleh perusahan air minum yang berbeda. Hampir semua perusahan air minum
di London saat itu memakai air Sungai Thames sebagai sumber. Ada yang mengambil
air agak ke hulu dan ada yang agak ke hilir. Semakin ke hilir, tingkat pencemaran air
sungai tersebut semakin tinggi. Pada waktu terjadinya wabah tersebut, sumber air
minum perusahan Southwark dan Vauxwall dalam keadaan tercemar. Seolah-olah
seperti dilakukan suatu eksperimen dimana semua rumahtangga yang dilayani oleh
kedua perusahan ini air minumnya "diisi" kuman kolera. Kejadian tidak disengaja seperti
ini kemudian disebut sebagai eksperimen alamiah.
Yang menyebabkan John Snow dan William Farr amat tertarik dengan kejadian
tersebut ialah: seandainya penyakit ini disebabkan oleh udara buruk, mengapa
penduduk yang satu kena muntah berak sedangkan yang lainnya tidak, walaupun
mereka bertetangga?. Kemudian terlihat bahwa langganan/sumber air minum mereka
ternyata berbeda. Data kematian akibat muntah berak pada waktu wabah tersebut
kemudian ditabulasi oleh John Snow sesuai dengan sumber/perusahan air minum
penduduk dan hasilnya disajikan pada Tabel 2, dimana ratio angka kematian penduduk
yang berlangganan pada Southwark & Vauxhall dan Lambeth ialah 4,2/0,5 yang berarti
risiko kematiannya sebesar 8,4 kali lebih besar.
Tabel 2
Kamatian karena muntah berak di London, 8 Juli - 26 Agustus 1854
dikelompokkan berdasarkan perusahan air minumnya*
Perusahaan air minum Jumlah penduduk yang Jumlah yang mati Mortality rate
menjadi pelanggan karena per 1000
muntah berak penduduk
Southwark & Vauxhall 98. 862 419 4,2
Lambeth 154.615 80 0,5
*
Sumber : Mac Mahon (1970)
Eksperimen alamiah lainnya yang juga sering disebut-sebut dalam buku teks ialah
kejadian penyakit kaki hitam (blackfoot disease), yaitu terjadinya gangguan pada
pembuluh darah tepi di kaki yang kemudian menyebabkan kaki mengalami gangren
(berwarna hitam dan menjadi busuk). Kejadian ini terjadi di Taiwan, yang dilaporkan
oleh Chen dan Wu (1962). Penyakit ini banyak dijumpai pada penduduk yang
mengambil air minum dari sumur artesis, dan sedikit dijumpai pada penduduk yang
mengambil air minum dari sumur dangkal. Wabah tersebut segera menghilang ketika
di daerah yang penduduknya banyak terjangkit diberikan air minum dari pipa.
Sedangkan penyebab penyakitnya sendiri baru diketahui belakangan yaitu adanya
arsen dalam air sumur artesis. Pada kejadian tersebut sebagian penduduk seolah-
olah "diberikan" arsen dan sebagian lainnya tidak.
Pada dua contoh di atas, kejadiannya terjadi tanpa disengaja (natural), dimana se-
olah-olah satu kelompok penduduk diberikan penyebab penyakit (kuman kolera, arsen)
dan kelompok penduduk lainnya tidak diberikan (eksperimen). Masih banyak contoh
lainnya, seperti peledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, serta kecelakaan ins-
talasi nuklir di Cernobil (Rusia).
8
Perkembangan penting lainnya yang perlu pula mendapat tanda khusus ialah
pemakaian epidemiologi untuk eksperimen pada manusia untuk pembuktian kausa
suatu penyakit atau untuk mencegah terjadinya penyakit, misalnya:
• Pencegahan penyakit cacar dengan vaksin oleh Jenner (tahun 1796), dima-
na satu kelompok penduduk diberikan vaksin cacar dan satu kelompok lainnya
tidak diberikan apa-apa. Angka insiden cacar pada kelompok yang mendapat
vaksin kemudian dibandingkan dengan kelompok yang tidak dapat vaksin.
Pemakaian Epidemiologi
Seperti telah diuraikan di depan bahwa epdemiologi adalah suatu ketrampilan yang
dipakai sebagai "senjata"/alat/tool bagi petugas public health seperti halnya alat EKG
bagi dokter spesialis jantung. Bila EKG dipakai untuk mengetahui ada/tidaknya kelainan
jantung seorang pasien, untuk mengetahui berat/ringannya kelainan jantung, atau
mengetahui perkembangan penyakit jantung, maka pemakaian epidemiologi bagi
petugas public health adalah seperti diuraikan di bawah ini.
9
1. Untuk mengetahui peningkatan dan penurunan kejadian suatu penyakit di ma-
syarakat
Demikian pula halnya petugas public health, yang dengan bantuan epidemiologi
akan bisa mengetahui pada siapa angka insiden/prevalen suatu penyakit dijumpai
paling tinggi (WHO), dimana paling tinggi (WHERE) dan kapan paling tinggi (WHEN).
Bila hal ini telah diketahui dengan pasti maka program kesehatan untuk mengatasi
masalah tersebut bisa dilaksanakan dengan lebih tepat. Bila salah menghitung
angka insiden, angka prevalen, proporsi, rasio, maka diagnosanya juga akan keliru,
dan akibatnya juga bisa fatal karena program kesehatan yang dilaksanakan untuk
mengatasi masalah tersebut akan salah sasaran.
10
Bila angka insiden suatu penyakit dalam 1 tahun sebesar 6 per 1000, maka ini berarti
bahwa besarnya risiko seseorang untuk menderita penyakit adalah 0,006.
Perhitungan-perhitungan seperti ini juga dipelajari dalam epidemiologi. Demikian
pula halnya ketika menghitung survival rate. Misalnya: 100 orang penderita kanker
payudara yang mendapat pengobatan dengan pembedahan. Seratus penderita ini
kemudian terus diamati, dan dihitung berapa % yang masih hidup setelah satu
tahun, berapa % hidup setelah lima tahun dan seterusnya.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa epidemiologi adalah "senjata" yang amat penting
untuk membantu mengungkapkan/mengetahui penyebab suatu penyakit. Contoh
klasik ialah: pengungkapan penyebab penyakit muntah berak oleh John Snow.
Contoh lain adalah pengungkapan penyebab AIDS pada awal tahun 1980. Pada saat
itu penyebab AIDS belum diketahui. Dari data epidemiologis di Negara Bagian
California, USA, terlihat bahwa angka insiden AIDS dijumpai lebih tinggi pada
kalangan gay dibandingkan penduduk lainnya. Data epidemiologis ini kemudian
memberi petunjuk bahwa ada kemungkinan bahwa AIDS ditularkan melalui hu-
bungan seksual. Dengan petunjuk ini, pencarian mikroorganisme penyebab (oleh
para ahli Ilmu Kedokteran Dasar) kemudian lebih difokuskan pada sperma para
pasien AIDS. Akhirnya pada pertengahan tahun 1980-an telah berhasil diidentifikasi
penyebabnya yaitu sejenis virus yang kemudian diberi nama HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Secara lebih rinci pemakaian epidemiologi untuk
mengungkapkan penyebab penyakit, terutama penyakit-penyakit non-infeksi akan
dibahas lebih lanjut dalam epidemiologi analitik.
============
11
BAB 2
KONSEP TERJADINYA PENYAKIT
PERJALANAN ALAMIAH DAN
TAHAP-TAHAP PENCEGAHANNYA
Konsep Terjadinya Penyakit
Konsep terjadinya penyakit sering pula disebut dengan istilah teori atau model
terjadinya penyakit. Karena ilmu yang kita pelajari adalah ilmu kedokteran manusia,
maka pembahasan selanjutnya dibatasi hanya pada teori atau konsep terjadinya
penyakit pada manusia saja. Dalam pembahasan tentang teori terjadinya penyakit,
istilah host, tuan rumah, hospes dan penjamu akan dipakai secara bergantian. Ketiga
istilah ini mempunyai arti yang sama. Dalam Ilmu Kedokteran Manusia, host nya adalah
manusia, sedangkan dalam Ilmu Kedokteran Hewan, host nya bisa bermacam-macam,
misalnya: anjing, kuda, kucing, dll. Ada beberapa penyakit yang host-nya binatang
tetapi bisa menular ke manusia. Penyakit seperti ini disebut zoonosis, misalnya: rabies,
anthrak, bruselosis, dll. Penyakit-penyakit ini akan dibahas dalam bab aspek
epidemiologis penyakit-penyakit infeksi. Selain host, ada pula istilah agent, yang artinya
12
penyebab penyakit. Untuk penyakit infeksi, yang menjadi agent ialah kuman
penyebabnya, misalnya vibrio kolera, mikobakterium tuberkulosa, virus HIV, dll.
Sedangkan untuk penyakit-penyakit non-infeksi yang menjadi agent misalnya:
kendaraan bermotor untuk kecelakaan lalu lintas, radiasi untuk leukemia, tembakau
untuk kanker paru-paru, rumahtangga yang tidak harmonis untuk anak yang kecanduan
obat bius, dan lain sebagainya.
Teori yang paling sederhana untuk terjadinya penyakit pada seorang individu atau
sekelompok penduduk di masyarakat, ialah seperti terlihat pada Bagan 1. Akan tetapi
kuman saja tidaklah cukup untuk timbulnya penyakit pada seorang individu atau
sekelompok penduduk di masyarakat, tetapi masih tergantung oleh faktor host-nya
sendiri misalnya daya tahan tubuh masing-masing individu (imunitas), personalitas,
komposisi gen masing-masing individu, dll. Hal ini jelas kelihatan bila sekelompok
penduduk sama-sama terinfeksi oleh sesuatu kuman. Sebagian penduduk menjadi
sakit tetapi sebagian lainnya tetap sehat. Selain itu, masih ada faktor lainnya, yakni
faktor lingkungan.
Bagan 1
Dengan demikian, kuman saja tidak bisa dikatakan sebagai penyebab tunggal untuk
terjadinya penyakit, tetapi oleh banyak faktor atau disebut pula penyebab yang
majemuk (multifactorial). Salah satu faktor yang harus ada (sine qua non), disebut
sebagai agent. Misalnya: untuk terjadinya penyakit tuberkulosa, maka kuman mikobak-
terium tuberkulosa harus ada, dan inilah agent penyakit tsb. Untuk kecelakaan lalu
lintas, kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya sebagai agent-nya.
Hubungan atau interaksi antara ketiga faktor di atas (host, agent, lingkungan) bisa
digambarkan dalam bentuk segi tiga (Bagan 2). Hubungan segi tiga tersebut populer
dengan sebutan segi tiga epidemiologi (the epidemiologic triangle).
13
Bagan 2. Model Segi Tiga
Host
Agent Lingkungan
Konsep/teori terjadinya penyakit seperti di atas disebut pula konsep ekologi. Kalau
dilihat konsep ekologi ini maka agent memang diperlukan untuk timbulnya suatu
penyakit tetapi belum cukup, sebab untuk bisa terjadinya penyakit diperlukan suatu
keadaan yang cocok, baik buat agent, lingkungan maupun host. Model ini dipakai sejak
lama. Untuk memahami, mempelajari, menganalisa atau memperkirakan gambaran
sesuatu penyakit, masing-masing komponen tersebut harus dianalisa dan dimengerti
terlebih dahulu. Perubahan pada salah satu komponen, akan menciptakan suatu kese-
imbangan baru, bisa menaikkan atau bisa pula menurunkan frekuensi sesuatu penyakit
di masyarakat. Jadi, penyakit akan terjadi bila ada ketidak seimbangan di antara
ketiga komponen tersebut. Sebagai contoh: tidak akan terjadi penyakit pada individu,
walaupun ada agent, asalkan daya tahan tubuh host cukup kuat. Pada kondisi
lingkungan yang sama, ada agent, tetapi bila daya tubuh host menurun (ada suatu
keadaan yang tidak seimbang), maka terjadi penyakit. Demikian pula halnya di
masyarakat. Ada vibrio kolera, tetapi tidak terjadi wabah selama volume air sumur
penduduk masih tinggi. Tetapi begitu volume air sumur berkurang yang akan
menyebabkan konsentrasi vibrio kolera meningkat, maka sering kali terjadi wabah.
Pada contoh ini ada ketidak seimbangan/perubahan pada faktor lingkungan. Catatan:
infeksi oleh vibrio kolera amat ditentukan oleh jumlah (dosis) kuman yang masuk ke
dalam perut.
14
malaria amat sering terjadi. Ada pula jenis nyamuk anopheles lain yang selain suka
menggigit manusia suka pula menggigit binatang antara lain kerbau dan sapi. Ketika
kerbau dan sapi populasinya berkurang, karena telah diganti dengan "kerbau dan sapi"
buatan Jepang (traktor), kejadian malaria meningkat dengan drastis. Pada contoh-
contoh ini kelihatan bahwa kejadian penyakit meningkat karena terjadinya ketidak
seimbangan faktor-faktor host, agent, lingkungan.
Bila memakai teori segitiga, seringkali agak sulit dipisahkan secara tegas antara
faktor host dan lingkungan. Misalnya kebiasaan penduduk yang berganti-ganti pasang-
an seksual adalah salah satu faktor untuk meningkatnya angka insiden dan angka
prevalen penyakit menular seksual (sifilis, gonore, AIDS, dll). Apakah hal ini termasuk
faktor host atau lingkungan?. Pada penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme (parasit, bakteri, virus, dll.), maka bakterinya sendiri adalah agent
(penyebab infeksi), dan ini terpisah dari faktor lingkungan. Namun, pada sebagian
penyakit lainnya, penyebabnya tidak spesifik seperti halnya bakteri, seperti misalnya:
penyakit jantung koroner, kanker, sisofrenia (penyakit jiwa), stroke, hipertensi, dan
sederetan penyakit lainnya. Pada penyakit-penyakit seperti ini maka agent-nya tidak
bisa dipisahkan secara jelas dengan lingkungan (merupakan bagian dari lingkungan).
Dengan demikian tinggallah interaksi antara host dan lingkungan saja. Penganut teori
roda lebih menekankan faktor lingkungan untuk terjadinya penyakit. Konsep atau model
terjadinya penyakit seperti ini digambarkan seperti Bagan 3. Pada model ini, agent
tidak lagi kelihatan secara jelas. Faktor host sering pula disebut sebagai faktor
intrinsik, dan faktor lingkungan sebagai faktor ekstrinsik.
Host (dalam hal ini manusia) merupakan pusat dari roda dengan faktor genetik
sebagai intinya. Host dikelilingi oleh faktor-faktor lingkungan (biologis, sosial, dan fisik).
Besar kecilnya masing-masing komponen pada roda tersebut bervariasi pada masing-
masing penyakit. Umpamanya: untuk penyakit-penyakit keturunan (herediter), maka inti
roda (faktor genetik) menempati proporsi yang relatif besar. Pada penyakit
campak/morbili, inti roda (faktor genetik) kurang begitu penting, tetapi tingkat imunitas
host dan lingkungan biologis memegang peranan yang penting. Pada model ini seperti
halnya Web Model, menekankan pada penyebab majemuk untuk terjadinya penyakit
tanpa memusatkan perhatian yang semata-mata hanya pada agent saja. Contoh lain:
penyakit rabies, yaitu penyakit pada binatang (anjing, kucing, kelelawar, dll), dimana
15
pada penyakit ini binatang sebagai reservoar jauh lebih penting dibandingkan virusnya
sendiri (agent penyakit).
Masih banyak sekali tanda tanya besar yang masih berkecamuk dibenak para ahli
epidemiologi sampai dewasa ini. Masih amat banyak hal-hal yang belum bisa diterang-
kan tentang peranan dari faktor host pada timbulnya sesuatu penyakit. Misalnya
mengapa pada sekelompok orang yang menderita radiasi dalam intensitas yang sama,
hanya beberapa orang saja yang menderita leukemia. Mengapa hanya beberapa saja
dari perokok-perokok berat yang akhirnya menderita kanker paru-paru.
16
• Vektor (binatang yang bisa menularkan penyakit, misalnya: nyamuk, sejenis
keong untuk sistosomiasis, lalat, dll.)
• Tumbuh-tumbuhan, binatang (misalnya anjing yang menjadi salah satu penye-
bab seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan raya di Bali).
Yang termasuk lingkungan fisik misalnya: panas, cahaya, udara radiasi, tekanan
atmosfer, kelembaban, curah hujan, iklim, arah angin, bahan-bahan kimia, dsb. Di
negara-negara yang telah mampu mengembangkan tehnologinya (negara-negara
maju), lingkungan fisik sebagian boleh dikatakan sudah bisa dikendalikan, misalnya
dengan membuat rumah atau pemukiman sedemikian rupa yang bisa terhindar dari
suhu tinggi atau kedinginan, tehnik-tehnik pembersihan air dan penanggulangan
sampah yang canggih. Di musim dingin mereka mempergunakan alat pemanas di
dalam rumah, sedangkan di musim panas memakai alat penyejuk ruangan. Dengan
demikian boleh dikatakan mereka telah mampu mengendalikan pengaruh sebagian
lingkungan fisik sehingga tidak lagi tergantung pada cuaca atau keadaan alam di luar
rumah. Tetapi masalah lingkungan lainnya kemudian muncul, misalnya: polusi udara,
lobang ozon yang semakin menganga, dan lain sebagainya.
Termasuk dalam kelompok ini ialah sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya,
sosial psikologis, dll. Sebagai contoh: keadaan sosial ekonomi masyarakat sudah
jelas akan mempengaruhi kejadian dan kematian karena penyakit-penyakit tertentu.
Keadaan politik suatu negara akan berperan pada sarana kesehatan yang disediakan
bagi masyarakatnya, terhadap lemah/ketatnya sistim pengawasan (ingat kasus biskuit
dan impor gelap sampah beracun), peraturan-peraturan dan undang-undang yang
diterapkan oleh penguasa negara di bidang kesehatan, polusi, perbaikan lingkungan,
dsb.
Konsep ini, pertama-tama dikemukakan oleh MacMahon pada tahun 1968. Dasar
pemikiran dari model ini ialah bahwa sesuatu kejadian tidak pernah disebabkan oleh
17
suatu penyebab tunggal (single isolated cause), namun merupakan hasil rangkaian
penyebab yang satu sama lain saling berkaitan sehingga merupakan jaringan. Su-
atu akibat disebabkan oleh hal-hal sebelumnya, dan ini berkaitan satu sama lain yang
akhirnya menghasilkan suatu penyakit/kejadian lain.
Faktor lain yang besar peranannya adalah keadaan ekonomi penderita sifilis yang
umumnya rendah, pelayanan kesehatan yang belum baik, jarum dan alat-alat suntik
lainnya dipakai berkali-kali untuk beberapa penderita tanpa dibersihkan atau disterilkan
dengan baik. Faktor lainnya ialah karateristik dari virusnya sendiri dan kekebalan para
penderita. Ini semua berkaitan satu sama lain, merupakan suatu rantai dang
menghasilkan suatu efek akhir berupa wabah hepatitis/ikterus. MacMahon me-
ngatakan bahwa salah satu faktor di atas termasuk virusnya sendiri tidak bisa dika-
takan sebagai penyebab tunggal atau single factor.
Dikatakan pula, walaupun rantai penularan sedemikian kompleks dan berantai serta
berkaitan satu sama lain, akan tetapi wabah atau penyakit ini bisa dicegah hanya
dengan memutuskan rantai tersebut disalah satu titik/tempat saja. Memurut
MacMahon, untuk menanggulangi sesuatu penyakit, tidak mutlak pemahaman dari
rantai tersebut harus diketahui telebih dahulu, seperti halnya pencegahan scurvy oleh
Lind. Demikian pula halnya dengan hepatitis yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan lewat suntikan tersebut. Tahun 1950 sebelum virus ini diketemukan, sudah
berhasil dilakukan cara-cara penanggulangan untuk mencegah penularannya dengan
jalan menyeterilkan jarum dan alat suntik serta dikembangkannya alat suntik disposibel
(sekali pakai). Kemudian, pada tahun 1967 Plumberg dan kawan-kawan baru
menemukan antigen spesifik untuk virus ini. Berkat penemuan tsb., penanggulangan
penyakit serum hepatitis setapak lebih maju.
Berikut ini disajikan satu contoh lainnya. Sekitar akhir tahun 1840-an, terjadi mala
petaka di Irlandia (Eropah Barat). Pada saat itu Irlandia termasuk kategori negara
miskin dengan produksi negara yang sangat rendah. Tingkat pengangguran sangat
tinggi, pertumbuhan penduduk sangat cepat. Kehidupan penduduk hanya tergantung
dari hasil pertanian, terutama kentang (belum ada industri waktu itu). Pada musim
panas tahun 1845 terjadilah musim hujan yang berkepanjangan (perobahan pada
lingkungan), dan menyebabkan munculnya sejenis hama kentang yang merusak
tanaman tersebut (faktor biologis). Panen kentang gagal total, namun keadaan politik
negara saat itu cukup membantu dimana Amerika Serikat memberikan pinjaman besar-
besaran kepada Irlandia berupa bahan makanan sehingga keadaan bisa diatasi.
Namun kemudian, situasi politik berubah karena ada perubahan pemerintahan di
Inggris. Ketika sekali lagi di tahun 1846 terjadi suatu kegagalan panen, pemerintah
Inggris tidak berusaha untuk mengatasinya. Maka terjadilah bencana. Kelaparan
18
merajalela, sanitasi perumahan sangat jorok, wabah penyakit tifus dan relapsing fever
(keduanya ditularkan oleh kutu tikus), disentri, scurvy dan malnutrisi menyebabkan
kurang lebih dua juta penduduk Irlandia selama lima tahun (1845-1850) meninggal
dunia. Ini merupakan seperempat penduduk negara tersebut saat itu. Selebihnya
meninggalkan negaranya (imigrasi ke negara-negara lain). Nah, sekarang yang mana
disebut sebagai penyebab dari kematian dua juta manusia itu? Memang betul kuman
penyebab (agent) penyakit tifus adalah sejenis riketsia. Tetapi, munculnya
mikroorganisme ini dimungkinkan oleh karena buruknya sanitasi, kelaparan yang
meluas, over crowded (penduduk tinggal berdempetan), yang menyebabkan riketsia
menular dengan cepat. Keadaan musim menyebabkan panen gagal, dan situasi
politik pada saat itu tidak berusaha mengatasi keadaan. Lalu, faktor mana yang
menjadi penyebabnya?, riketsia?, sosial-ekonomi?, sosial politik?, lingkungan fisik?.
Jawabannya: tidaklah sederhana, tidak hitam-putih, tapi karena tali-temali (web) dari
semua faktor-faktor tersebut, hanya faktor yang satu memang lebih dominan
dibandingkan faktor lainnya.
19
Contoh lain: Koran Bali Post memaparkan, sampai bulan April 1989, dari catatan
Instalasi Rawat Darurat (IRD) Rumah Sakit, 40 orang meninggal di jalan raya akibat
kecelakaan lalu lintas di Kotif Denpasar, dan 18 orang di Tabanan. Tentu saja jumlah ini
masih lebih kecil dari jumlah yang sesungguhnya, sebab masih ada lagi yang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, tetapi tidak dibawa ke IRD Rumah Sakit. Faktor
mana yang bisa dikatakan sebagai penyebabnya?. Keadaan politik negara?, yang amat
sering menjalankan peraturan terlalu lunak (soft country)?. Jalan-jalan yang terlalu
sempit?, tingkat pendidikan host?, disiplin pemakai jalan?, rambu-rambu lalu lintas?,
jumlah kendaraan yang terlalu beraneka ragam?. Lagi-lagi, jawabnya adalah: tali-temali
dari semua faktor tersebut.
Kaitan antar variabel (faktor) terhadap tingginya kecelakaan lalu lintas di Indonesia
amat tepat digambarkan atau dijelaskan dengan teori sarang laba-laba. Banyak kala-
ngan mengatakan bahwa kecelakaan lalu lintas paling banyak disebabkan oleh faktor
perilaku manusianya. Tetapi kalau terus diajukan pertanyaan, mengapa manusianya
berperilaku demikian, maka akan diperoleh suatu jalinan faktor-faktor yang saling ber-
kaitan seperti halnya sarang laba-laba. Misalnya: kecelakaan terjadi karena penduduk
menyebrang tidak di tempat penyebrangan (perilaku). Mengapa mereka tidak menye-
brang di tempat penyebrangan?, karena tempat penyebrangannya sedikit (lingkungan
fisik) dan hampir tidak ada kemungkinan untuk menyebrang berhubung “belok kiri jalan
terus”, sehingga tidak pernah ada kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyebrang
(lingkungan sosial-poilitik). Catatan: tempat penyebrangan yang lebih aman ialah pada
saat lampu merah, jembatan penyebrangan di atas jalan atau di bawah jalan
(trowongan). Mengapa “belok kiri jalan terus?”, karena kalau tidak, maka jalan akan
macet berhubung sarana jalan tidak lagi mampu menampung jumlah kendaraan yang
ada (lingkungan fisik). Mengapa sarana jalan tidak memadai, dan mengapa jumlah
kendaraan peribadi terlalu banyak?, karena negara tidak mempunyai cukup dana untuk
menambah atau memperlebar jalan (faktor sosial-ekonomi), dan kendaraan pribadi
terlalu banyak karena kendaraan umum tidak nyaman, tidak menjangkau semua tujuan
perjalanan penduduk, tidak bisa dijamin jadwalnya, dll. Mengapa negara tidak
mempunyai dana untuk meningkatkan sarana jalan dan menciptakan sistim transportasi
yang cepat, nyaman, tepat waktu, dan bisa mengangkut jumlah penumpang yang ba-
nyak (MRT=mass rapid transit). Karena disamping kemampuan untuk merencanakan
sistim transportasi yang baik memang rendah (faktor sosial-ekonomi), juga karena tidak
efisiennya pemakaian dana negara (sosial-politik).
Dari contoh di atas terlihat bahwa penganut teori web tidak banyak menonjolkan
peranan agent (kendaraannya sendiri), tetapi lebih banyak pada host dan lingkungan.
4. Model Blum
Pada Model Roda atau Web Model, faktor perilaku, lingkungan dan pelayanan
kesehatan tidak dipisahkan tetapi tercakup dalam komponen lingkungan. Pada Model
Blum, faktor perilaku dipisahkan menjadi satu komponen tersendiri. Oleh Blum
20
pelayanan kesehatan masyarakat (misalnya: kemampuan dan kemauan pemerintah
untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin) dipisahkan menjadi
satu komponen tersendiri. Besar-kecilnya panah pada Bagan-5 menunjukkan besar-
kecilnya peranan masing-masing faktor. Besar-kecilnya masing-masing faktor berbeda
untuk masing-masing negara. Untuk Negara Jepang misalnya, faktor lingkungan,
pelayanan kesehatan dan perilaku, panahnya kecil (karena tingkat pendidikan
masyarakatnya sudah tinggi, negaranya kaya dan sebagian besar faktor lingkungan
fisik dan biologis telah dapat dikendalikan), tetapi faktor genetik panahnya besar.
Dengan semakin berkembangnya bioteknologi (rekayasa genetika), di masa yang akan
datang, faktor genetikapun juga akan dapat dikendalikan. Walaupun di negara-negara
maju angka insiden dan prevalen penyakit-penyakit yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan sudah amat rendah (panahnya kecil), dan yang dijumpai dominan adalah
penyakit-penyakit genetik (panahnya lebih gemuk), sedangkan di negara-negara
berkembang sebaliknya, maka bukan berarti di negara-negara berkembang penyakit-
penyakit genetiknya lebih rendah dari negara-negara maju. Panah faktor genetik di
negara berkembang tampak lebih tipis karena penyakit-penyakit infeksi yang masih
dominan.
Model Blum diadopsi oleh Departemen Kesehatan R.I. dan dipakai sebagai dasar
dalam penyusunan Sistim Kesehatan Nasional (S.K.N.) karena lebih relevan dan lebih
mudah dipakai sebagai pedoman untuk menyusun program-programnya karena pada
Model Blum variabel pelayanan kesehatan secara jelas dipisahkan, yang tidak de-
mikian halnya pada tiga teori lainnya.
Genetik
Lingkungan
21
Catatan: Diambil dari Mosley (1984): Child Survival, Strategies for Research
Empat konsep terjadinya penyakit yang telah diuraikan di atas adalah contoh-contoh
yang diintrodusir oleh para ilmuwan. Tetapi bukanlah ilmu namanya kalau tidak terus
berkembang. Melalui berbagai penelitian, temuan-temuan baru terus bermunculan. Ada
yang menumbangkan teori lama, ada pula yang melengkapi atau mendukungnya.
Singkat kata, walaupun yang dibahas hanya empat teori tersebut di atas bukan berarti
tidak ada model lainnya. Bagan 6 adalah salah satu contoh teori terjadinya kesakitan
dan kematian pada anak yang diintrodusir oleh Mosley (1984).
Menurut definisi ini pengertian sakit mempunyai batasan yang sangat luas, bukan
cacat fisik saja tetapi juga mental dan sosial.
22
Bila perjalanan alamiah penyakit telah diketahui dengan jelas, kesulitan untuk
menentukan kapan sakit dan kapan belum akan lebih mudah untuk diatasi. Akan tetapi,
sampai saat ini masih banyak sekali penyakit-penyakit yang perjalanannya masih tidak
diketahui dengan jelas, bahkan masih gelap sama sekali. Bersama-sama dengan
cabang ilmu lainnya, epidemiologi ikut memberikan sumbangannya untuk menyingkap
tabir kegelapan ini (lihat kembali pemakaian epidemiologi di Bab 1). Bagaimana cara-
nya epidemiologi menyingkap tabir kegelapan tersebut akan dibahas pada bab-bab
berikutnya.
Secara umum, perjalanan penyakit pada manusia ada empat tahapan, yaitu fase
suseptibel atau fase peka, fase presimtomatis, fase klinis dan fase ketidak
mampuan. Pembagian menjadi 4 fase seperti ini tidak berlaku untuk semua jenis
penyakit. Misalnya: pada kecelakaan lalu lintas, fase presimtomatis tidak banyak yang
terlihat dengan jelas. Kadang-kadang ada fase presimtomatis pada kecelakaan yang
menyebabkan gegar otak atau trauma organ-organ dalam (hati, limfa, dll). Pada orang
yang gegar otak, gejala klinis kadang-kadang baru muncul beberapa jam setelah kece-
lakaan terjadi.
1. Fase Suseptibel
Pada fase ini penyakit belum terjadi, tetapi sudah muncul beberapa faktor yang
memudahkan timbulnya penyakit, misalnya: kelelahan akan memudahkan timbulnya
penyakit influenza, pneumonia, dll. Tingginya kadar kolesterol darah akan mening-
katkan kemungkinan timbulnya penyakit jantung koroner. Merokok yang banyak dalam
waktu lama akan memudahkan timbulnya penyakit-penyakit saluran nafas, penyakit
jantung koroner, ulkus peptikum, kanker paru, dan beberapa penyakit lainnya. Perilaku
seksual dengan banyak berganti-ganti pasangan akan memudahkan terjangkitnya
penyakit AIDS, dll. Faktor-faktor ini, yang memudahkan kemungkinan timbulnya
sesuatu penyakit disebut faktor risiko (risk factor). Pada fase ini faktor host, agent dan
lingkungan berinteraksi satu sama lain, dan bila keseimbangan interaksinya tergang-
gu, maka akan menghasilkan stimulus (lihat Bagan 11 dan Bagan 12).
2. Fase Presimtomatis
Pada fase ini penyakit sudah terjadi tetapi secara klinis belum tampak. Sudah
terjadi perubahan patologis, tetapi masih belum cukup untuk menimbulkan gejala klinis.
Misalnya: perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah koroner sebelum gejala klinis
penyakit jantungnya tampak. Dengan demikian, pada fase ini seseorang sudah disebut
sakit, tetapi untuk mengetahuinya diperlukan alat-alat diagnostik yang canggih teruta-
ma penyakit-penyakit non-infeksi. Pada penyakit-penyakit infeksi, terutama yang
disebabkan oleh virus, cara mengetahuinya lebih mudah yaitu dengan memeriksa ada
tidaknya antibodi, sebab tubuh manusia hampir selalu membentuk antibodi bila ada
benda asing (kuman) yang masuk ke dalam tubuh.
3. Fase Klinis
Pada fase ini, sudah ada perubahan-perubahan anatomis dan fungsional, sehing-
ga sudah memberikan gejala (sudah melewati horison klinis). Pada beberapa penyakit,
fase klinis dibagi menjadi beberapa tingkatan. Patokan yang dipakai untuk menge-
lompokkan ada bermacam-macam, antara lain berdasarkan: (a). gejala-gejalanya (b)
23
simptom, (c) fungsi, (d) lokalisasi, (e) morfologi atau tipe sel, (f) pengobatan/terafi.
Tujuan pengelompokkan seperti di atas ada dua, yaitu:
Contoh 1
Contoh 2
Tingkat 1: Dengan aktifitas fisik yang bagaimanapun, tidak ada rasa tidak enak.
Tingkat 2: Ada rasa sedikit kurang enak pada aktifitas fisik sehari-hari, namun kalau
istirahat, biasa saja.
Tingkat 3: Ada rasa kurang enak walaupun aktifitas fisiknya minimal, dalam
keadaan istirahat masih enak.
Tingkat 4: Pada aktifitas fisik yang bagaimanapun, menyebabkan rasa tidak enak,
termasuk ketika istirahat.
Perlu diingat bahwa klasifikasi terapeutik tidak selalu paralel dengan klasifikasi fung-
sional, misalnya penderita yang baru saja mendapat serangan jantung atau karditis
reumatika yang aktif, bisa tidak mempunyai gejala fisik, tetapi harus istirahat total
ditempat tidur.
24
Pengelompokkan seperti contoh-contoh di atas sangat penting dalam penelitian
epidemiologi, karena dengan pengelompokkan yang baik akan mengurangi
variabelitas dan menghasilkan suatu subgroup yang lebih homogen sehingga bisa
diperoleh suatu angka kejadian spesifik (lihat pembahasan tentang crude & specific
rate). Misalnya: untuk mengevaluasi hasil suatu percobaan obat (dalam penelitian
clinical trial), untuk membandingkan kejadian penyakit secara regional, nasional,
maupun internasional, dll. Untuk penelitian epidemiologi, diperlukan angka spesifik
(spescific rate). Untuk mendapatkan specific rate diperlukan pembilang dan penyebut
yang lebih homogen. Penelitian epidemiologi dan berbagai macam rate, akan dibahas
pada bab-bab selanjutnya.
Beberapa penyakit akan sembuh dengan baik dengan obat maupun secara spontan
tanpa obat. Akan tetapi sejumlah penyakit akan meninggalkan cacat, baik dalam waktu
yang singkat ataupun dalam dalam waktu lama, yang menyebabkan kemampuan
penderita menjadi berkurang, mulai dari yang ringan sampai berat. Banyak pula
penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan (self limiting), tetapi
banyak pula yang menyebabkan ketidak mampuan yang menetap (lihat Bagan 11).
Contoh: penyakit campak (morbili), dan demikian pula penyakit virus lainnya, sebagian
besar penderita bisa sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, hanya sebagian
kecil penderita morbili diikuti oleh kelainan neurologis yang menetap (cacat).
Penekanannya adalah pada kehilangan fungsi tubuh dan bukan pada kelainan
anatomisnya. Banyak orang yang tangannya hanya satu, tetapi satu tangannya tersebut
bisa berfungsi seperti halnya orang yang mempunyai dua tangan. Sebaliknya ada orang
yang walaupun tidak mempunyai kelainan anatomis, tetapi tubuhnya tidak berfungsi
seperti halnya orang normal.
25
pencegahan primer, sekunder dan tersier, maka janganlah melihatnya dari segi
penderita/masyarakat, tetapi harus ditinjau dari:
• tugas Anda sebagai petugas kesehatan masyarakat,
• tujuan kegiatannya.
Contoh: usaha-usaha apa saja yang bisa ditempuh dalam pencegahan sekunder
penyakit TBC?. Bila jawaban Anda: memeriksakan diri sedini mungkin, maka ini adalah
usahanya penderita. Usaha-usaha petugas kesehatan masyarakat dalam pencegahan
sekunder TBC, antara lain:
Yang termasuk dalam pencegahan primer ialah: (a) promosi kesehatan (health
promotion) dan (b) proteksi spesifik (specific protection). Pencegahan primer adalah
semua usaha pencegahan yang dilakukan jauh-jauh sebelum orang menjadi sakit,
yaitu pada fase peka atau fase suseptibel (lihat Bagan 11).
Promosi kesehatan bisa diterapkan secara umum untuk menghindarkan semua jenis
penyakit yang paling awal, misalnya:
• kampanye untuk memasak air sebelum diminum,
• kampanye tentang bahaya penyakit sifilis.
• penyediaan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan baik di rumah tinggal,
di tempat kerja, di sekolah, dll.
• penyuluhan kesehatan tentang makanan bergizi, pakaian yang bersih, istirahat
dan rekreasi yang cukup.
• konsultasi perkawinan (misalnya untuk menghindari penyakit-penyakit genetik).
• sex-education,
• peningkatan lapangan kerja, peningkatan produksi pertanian melalui panca usa-
ha tani, kredit candak-kulak untuk masyarakat berpenghasilan rendah, impres
desa tertinggal (IDT),
• menciptakan sistim transportasi untuk masyarakat umum yang masal (sekali
angkut jumlahnya banyak), nyaman, cepat, dan murah, yang sering disebut MRT
(mass rapid transit), misalnya: trem, kereta api bawah tanah, bis yang daya ang-
kutnya banyak,
26
• dan lain sebagainya.
Pencegahan spesifik adalah usaha-usaha yang diterapkan hanya untuk mencegah
penyakit-penyakit tertentu saja secara khusus, misalnya:
Pencegahan sekunder meliputi: (a) diagnosa dini (early diagnosis) dan (b) pengobat-
an tepat (prompt treatment). Dengan mengetahui adanya penyakit secara awal, maka
pengobatannya atau tindakan yang tepat bisa dilaksanakan seawal mungkin untuk
mencegah komplikasi, memperlambat perjalanannya, atau membatasi ketidak
mampuan yang mungkin timbul. Sebagian usaha pencegahan sekunder dilakukan pada
fase presimtomatis (di bawah horison klinis) yakni dengan jalan mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya penyakit dengan jalan melakukan deteksi terhadap perubahan
patologis pada tubuh yang pada fase tersebut sudah terjadi (misalnya melalui program
screening). Ada juga yang dilakukan pada fase klinis tetapi orang yang sakit belum
menyadari bahwa dirinya sakit, misalnya pencarian penderita malaria dari rumah-
kerumah dengan jalan memeriksa darah orang-orang yang sedang men-derita panas.
• Program screening berbagai penyakit (tentang screening akan pada bab se-
lanjutnya).
27
• Program penimbangan anak balita (umur dibawah lima tahun) setiap bulan di
posyandu untuk deteksi dini kurang gizi.
• Program pemeriksaan ibu hamil secara berkala untuk deteksi dini penyakit-
penyakit yang berkaitan dengan kehamilan.
• Mengharuskan wanita yang berumur di atas 35 tahun untuk melakukan
pemeriksaan pap smear untuk deteksi dini kanker leher rahim (serviks uteri).
• Program latihan pada ibu-ibu agar bisa memeriksa payudaranya secara mandiri
untuk deteksi dini kanker payudara.
Yang termasuk dalam pencegahan tersier ialah: (a) semua usaha untuk membatasi
ketidak mampuan (disability limitation), dan (b) rehabilitasi (rehabilitation). Pada
keadaan ini, penyakit sudah terjadi dan bahkan meninggalkan cacat. Dua contoh
berikut ini adalah usaha-usaha pembatasan ketidak mampuan. Contoh-contoh
lainnya bisa dilihat pada Bagan 12 sampai Bagan 20.
28
• Memberi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada manajer perusahan agar
tidak menghentikan karyawannya yang terinfeksi oleh HIV (rehabilitasi sosial).
Dari semua uraian di atas, jelas kelihatan bahwa semakin awal pencegahan
dilakukan maka biayanya akan jauh semakin murah, dan kemungkinan untuk
sembuh sempurna juga semakin besar. Untuk mencegah TBC dengan pemberian
imunisasi, biayanya hanya ratusan rupiah per orang, mengobati penderita TBC
memerlukan ratusan ribu rupiah, dan rehabilitasi penderita yang paru-parunya sudah
rusak sebagai akibat TBC akan memerlukan biaya jutaan rupiah, dan sakitnya ini akan
dibawa sampai mati. Sebagai seorang dokter, Anda akan sering dibuat frustasi ketika
penderita emfisema pulmonum (kerusakan alveolus sebagai akibat TBC) yang berkali-
kali mendatangi Anda di tempat praktek. Pasien menuntut kesembuhan, tetapi tidak
banyak yang Anda bisa perbuat.
Aspek terakhir yang dibahas dalam bab ini adalah variasi berat-ringannya penyakit
(terutama penyakit infeksi) dalam kaitannya dengan data epidemiologis dan usaha-
usaha untuk pencegahan/penanggulangannya.
Bila sekelompok penduduk terkena suatu infeksi, katakanlah oleh virus influensa,
sebagian tidak menjadi sakit, sebagian lainnya juga terkena infeksi tetapi secara klinis
tidak tampak sakit, ada yang sakit ringan, sedang, tetapi hanya sebagian kecil saja
yang sakit berat, dan amat jarang yang sampai fatal. Infeksi memberikan efek yang
sangat bervariasi pada host mulai dari yang tidak memberikan gejala-gejala sampai
gejala berat bahkan fatal. Infeksi oleh mikroorganisme (kuman) mempunyai karak-
teristiknya sendiri-sendiri. Infeksi oleh mikroorganisme yang sama ternyata mem-
berikan efek yang amat bervariasi pada sekelompok penduduk (seperti contoh influensa
di atas). Terlebih-lebih infeksi oleh jenis kuman yang berbeda. Berat ringannya
penyakit bukan saja tergantung dari kuman penyebab, tetapi reaksi dari host terhadap
kuman penyebab juga merupakan faktor penentu. Bahkan dalam satu genus yang
sama tetapi tipe yang berbeda, kuman-kuman tersebut memberikan penyakit yang
bervariasi. Misalnya, dari begitu banyaknya tipe streptokokus hemolitikus, hanya tipe A
yang menimbulkan penyakit pada manusia.
Pada contoh berikut ini digambarkan infeksi oleh tiga jenis mikroorganisme yang
berbeda dimana gambaran terjadinya penyakit juga amat berbeda-beda.
0 100
Infeksi tanpa gejala Ringan Sedang Berat Fatal
Pada Bagan 7 , terlihat bahwa bila 100 penduduk terkena infeksi oleh mikobakte-
rium tuberkulosa, sebagian besar merupakan infeksi tanpa gejala (inapparent
cases), sebagian kecil saja yang sakit ringan, sedang, dan fatal (sampai meninggal).
Hal seperti ini dikenal sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomena), yang
artinya: kasus-kasus yang tampak ke permukaan hanya sebagian kecil saja dari
29
sebagian besar kasus yang sebenarnya terjadi. Seperti kita ketahui gunung es banyak
dijumpai di daerah kutub. Gunung es yang ada dipermukaan ujungnya lancip,
sedangkan dasarnya amat lebar karena suhu air yang di bawah nol. Bagi kapal yang
berlayar di daerah tersebut, ujung gunung tidak akan berbahaya karena jelas tampak.
Yang berbahaya adalah dasarnya sebab tidak terlihat oleh awak kapal. Memakai
fenomena ini, petugas public health bisa diibaratkan sebagai awak kapal. Untuk
penyakit TBC, fenomena ini bisa dibuktikan dengan jalan melakukan test tuberkulin
pada sejumlah penduduk. Akan kelihatan bahwa tuberkulin positif yang menunjukkan
bahwa mereka telah pernah kena infeksi di masa lalu jauh lebih besar dari penduduk
yang betul-betul sakit tuberkulosis secara klinis. Contoh lain: kalau seandainya terjadi
wabah kolera, penduduk yang rektal swabnya (usap dubur) positif akan jauh lebih besar
dari pada yang tampak kolera secara klinis. Untuk kolera El Tor dikatakan 1 banding 10,
dan kolera klasik 1 banding 5. Sebagian besar infeksi oleh mikroorganis-me mengikuti
fenomena gunung es ini, misalnya: infeksi oleh virus polio, v.hepatitis, meningokokus,
demam berdarah, dll.
0 100
Infeksi tanpa gejala Ringan Sedang Berat Fatal
Infeksi oleh beberapa mikroorganisme lainnya, antara lain oleh virus morbili, seperti
terlihat pada Bagan 8 mempunyai gambaran yang berbeda dengan infeksi oleh M.
tuberkulosa. Bila 100 orang penduduk terkena infeksi oleh virus morbili, maka sebagi-
an besar akan tampak sakit secara klinis, tetapi kebanyakan hanya ringan saja dan
hanya sedikit saja yang tidak tampak sakit. Gambaran yang ditunjukkan oleh infeksi
virus rabies sangat berbeda dengan M. tuberkulosa dan Virus morbili. Hampir 100%
infeksi oleh virus rabies berakhir dengan kematian (fatal). Demikian pula halnya pada
infeksi oleh salmonela cholerasuis.
30
Untuk membasmi penyakit di masyarakat usaha penanggulangan harus ditujukan
kepada semua orang yang mempunyai potensi untuk menularkan penyakit. Di masa
lampau, sebelum konsep inapparent infection bisa dimengerti dengan baik, usaha-
usaha penanggulangan hanya dilakukan pada penderita yang tampak sakit saja,
misalnya: mengisolasi penderita, desinfeksi dari barang/pakaian penderita, bahan
muntahan atau kotorannya, karantina terhadap orang-orang yang kemungkinan bisa
menularkan. Untuk penyakit-penyakit dimana proporsi inapparent infection-nya be-
sar, maka usaha untuk membasmi penyakit di masyarakat sangat sulit, karena mereka
ini akan "tenang-tenang saja" sebab tidak merasakan dirinya sakit, namun sangat
potensial untuk menjadi sumber penularan, sehingga sangat berbahaya bagi orang lain
dan masyarakat sekitarnya. Untuk bisa mendapatkan data atau untuk mengetahui
kasus-kasus ini, harus dilakukan survei epidemiologis.
Bagi seorang dokter praktek, data tentang diri pasien adalah kunci untuk menegak-
kan diagnosa. Setelah diagnosa ditegakkan barulah bisa diberikan terafi. Bila data
tentang diri pasien keliru maka diagnosa akan salah dan terafinyapun akan keliru.
Demikian pula halnya bagi dokter public health. Kebenaran (ketepatan data) adalah
kunci untuk perencanaan program untuk menanggulangi penyakit di wilayah kerjanya.
Variasi berat-ringannya penyakit akan sangat mempengaruhi ketepatan (akurasi)
pencatatan penyakit di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Pola seperti ini akan besar manfaatnya dalam epidemiologi pada saat kita akan
mengukur kejadian penyakit di masyarakat dengan mempergunakan data/statistik pe-
nyakit di tempat-tempat pelayanan kesehatan (data sekunder) sebagai pembilang. Bila
yang dipakai hanya data di RSU/RSUP saja maka akan terjadi bias (kesalah-
an/penyimpangan), dimana penduduk sakit sedang dan ringan tidak akan terhitung.
Demikian pula sebaliknya, bila yang dipakai hanya data dari dokter/klinik swasta dan
puskesmas saja maka penduduk yang sakit berat dan fatal tidak akan terhitung.
Sedangkan penduduk dengan infeksi tidak tampak tidak mungkin terhitung bila mema-
kai data sekunder. Satu-satunya cara ialah dengan survei epidemiologis/pengamatan
langsung di rumah-rumah penduduk (survei rumahtangga).
31
Bagan 10. Variasi berat-ringannya penyakit dan
statistik/data penyakit di tempat-tempat pelayanan kesehatan
• Tidak berbuat apa-apa, karena • Tidak diobati • Dokter praktek • RSU • RSUP
tidak merasa dirinya sakit (dibiarkan) •
• Puskesmas RSUP
• Mengobati sendiri
Selain itu, ketepatan data di pusat-pusat pelayanan juga sangat dipengaruhi oleh
sosial-budaya (kepercayaan atau konsep sakit masyarakat setempat), sosial-ekonomi,
transportasi, keadaan geografis dan kemampuan pemberi pelayanan untuk
menegakkan diagnosa. Banyak orang sakit, walaupun berat/fatal, tidak datang ke
rumah sakit atau ke pusat pelayanan lainnya (sehingga tidak tercatat di sana), karena:
adanya anggapan bahwa sakitnya disebabkan black magic, atau karena tidak punya
uang, tidak ada transportasi, medan yang sulit, dll. Keadaan dimana hanya kasus-kasus
tertentu saja yang datang ke tempat pelayanan tersebut disebut pula self-selection.
Walaupun datang tetapi bila kemampuan untuk menegakkan diagnosa (karena alat
bantu yang terbatas, ketrampilan petugas yang kurang), maka diagnosa penyakit juga
menjadi keliru.
=========
Bagan 11
Riwayat perjalanan penyakit secara alamiah
(Natural history of disease)
32
Meninggal
Khronis/
Interaksi antara penyakit
faktor-faktor: menahun
Gejala penyakit sudah mulai tampak
agent, host dan
lingkungan
HORISON KLINIS
Sembuh
sempurna
Bagan 12
Perjalanan alamiah penyakit & tahap-tahap pencegahan
33
Bagan 13
Definisi public health, perjalanan alamiah penyakit dan
tahap-tahap pencegahan
34
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 14
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit TBC
35
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 15
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit sifilis
36
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 16
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan karies gigi
37
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 17
Faktor host, agent, lingkungan perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit kanker
38
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 18
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit
menular
39
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 19
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, penyakit kurang gizi
40
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 20
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, dan perjalanan alamiah, penyakit karena
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis)
41
Catatan:
1. Diambil dari Leavell & Clark (1958)
2. Tahap-tahap pencegahan penyakit ini, bisa dilihat pada Leavell & Clark:
Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
BAB 3
UKURAN KESAKITAN DAN KEMATIAN
DI MASYARAKAT
Pada Bab 1 telah dibahas perbedaan antara tugas seorang dokter klinik dan dokter
public health. Bagi seorang dokter klinik, sebelum memberikan pengobatan kepada
pasiennya dia harus menegakkan diagnosa terlebih dahulu. Ketika menegakkan
diagnosa, dia lebih sering harus memakai alat bantu, seperti misalnya alat untuk
mengukur kadar Hb pasien, tekanan darah, kadar kolesterol, keadaan jantung, dll.
Kadar Hb pasien ukurannya dalam gr %, kadar kolesterol dalam mg per 100 ml. Ini
adalah contoh ukuran-ukuran yang dipakai oleh dokter untuk menentukan apakah
pasien tersebut mempunyai masalah atau tidak. Apakah anemia, hiperkolesterolemia?
dan seterusnya. Pengobatan kemudian diberikan berdasarkan masalahnya masing-
masing.
Demikian pula halnya bagi dokter public health. Sebelum memberikan pengobatan
(yang biasanya dalam bentuk program), kepada masyarakat yang menjadi tanggung
jawabnya, dia harus menegakkan diagnosa terlebih dahulu untuk mengetahui masalah-
masalah kesehatan pada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika
menegakkan diagnosa/menetapkan masalah kesehatan masyarakat inilah dia
memerlukan ukuran atau indikator kesehatan masyarakat. Ukuran yang dipakai dalam
kesehatan masyarakat ialah rate. Ukuran untuk kesakitan disebut morbidity rate yang
dalam Bahasa Indonesianya disebut angka atau tingkat kesakitan, dan untuk
kematian disebut mortality rate (tingkat kematian).
Rate adalah proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit atau kejadian lainnya
dalam satuan waktu tertentu.
42
Jumlah kejadian (penyakit, kematian, kelahiran, dll.)
Rate = satuan waktu
Penduduk yang terancam dari kejadian tersebut
Berbeda halnya dengan dokter klinik yang hanya berurusan dengan orang yang sakit
(pembilang saja), maka petugas public health bertanggung jawab pada semua
penduduk, baik yang sakit maupun yang tidak sakit (pembilang dan penyebut dari
rate). Contoh berikut ini akan lebih memperjelas perbedaannya. Seorang dokter klinik
lazimnya menulis laporannya sbb:
"Angka insiden TBC di Propinsi "X" 9 per 1000 penduduk, dan kelompok penduduk sosial-
ekonomi rendah mempunyai angka insiden 10 kali lebih inggi dibandingkan kelompok
penduduk sosial-ekonomi menengah"
Walaupun demikian bukan berarti pembilang saja (frekuensi atau jumlah kasus)
sama sekali tidak ada artinya bagi seorang petugas public health. Ukuran yang berupa
angka absolut seperti diatas bisa juga dipakai untuk kepentingan manajemen misalnya
untuk merencanakan keperluan obat di suatu wilayah. Contoh: bila jumlah kasus TBC
yang dilaporkan oleh semua puskesmas, rumah sakit, dokter praktek swasta di
Kabupaten "X" jumlahnya 350 orang dalam satu tahun, maka data ini bisa dipakai oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten "X" untuk merencanakan kebutuhan obat TBC
dalam satu tahun. Bila 10% dari 350 kasus tersebut perlu dirawat di rumah sakit, maka
ukuran ini (angka 10%) bisa dipakai oleh kepala rumah sakit untuk merencanakan
kebutuhan tempat tidur, jumlah perawat dan keperluan lain yang perlu dipersiapkan
untuk kepentingan perawatan penderita TBC di rumah sakitnya.
Dalam bidang kesehatan masyarakat, ukuran yang paling penting ialah rate. Tetapi,
rasio dan proporsi sering pula dipakai. Rasio adalah perbandingan antara dua nilai (x :
y) dimana pembilang tidak ada di penyebut. Pada proporsi, pembilangnya tercakup
dalam penyebut: x/(x + y) dan lazimnya dinyatakan dalam persen, atau tetap dalam
pecahan, misalnya: 65% atau 0,65. Pada Tabel 3 disajikan contoh rasio dan proporsi.
Tabel 3
Jumlah pengunjung Puskesmas "A"
dari tanggal 1 Januari 1992 - 31 Desember 1992 berdasarkan jenis penyakit
Influensa 5500
Diare (penyebab tidak jelas) 1100
Tuberkulosa paru-paru 200
Bronhitis khronis 500
Morbili 300
Anemia 900
Kolera 200
43
Eksema 600
Bisul, dan sakit kulit lainnya 900
Berapa perbandingan (rasio) penderita influensa dengan penderita TBC, dan berapa
proporsi penderita influensa dari semua penderita yang berkunjung ke Puskesmas
"A"?
200 5500
Rasio TBC dengan influensa: Proporsi: x 100 = 53,9%
5500 10200
Rate adalah proporsi yang harus memenuhi beberapa ketentuan atau per-
syaratan sebagai berikut:
3. Dinyatakan dalam satuan waktu, misalnya: dalam kurun waktu tertentu (1 bulan,
1 tahun, 10 tahun, dll.), atau pada suatu saat/point waktu tertentu, misalnya:pada
tanggal 1 Juli 1992.
44
Jumlah bayi umur < 28 hari yang
Neonatal mortality meninggal dalam 1 tahun
rate (angka ke- = -------------------------------------------------------- x 1000
matian neonatus) Jumlah bayi lahir hidup
selama tahun yang sama
(c) Ukuran yang diberi nama rate, tetapi sebenarnya bukan rate
Pengertian, cara pengukuran, dan pemakaian kedua rate ini amat berbeda. Baik
angka insiden maupun angka prevalen ada yang kasar (crude), spesific, dan
adjusted. Angka kasar (crude), pembilang dan penyebutnya adalah keseluruhan
penduduk tanpa dikelompokkan menjadi subpopulasi. Misalnya: jumlah penduduk yang
terinfeksi HIV (semua umur, laki maupun perempuan, dari seluruh Indonesia) dibagi
jumlah semua penduduk Indonesia. Pada angka spesific pembilang maupun
penyebutnya telah dipilah-pilah menjadi subpopulasi tertentu. Misalnya: jumlah
penduduk laki-laki, per propinsi, per kelompok umur yang terinfeksi HIV dibagi jumlah
semua penduduk laki-laki per propinsi, per kelompok umur. Angka spesific biasanya
dikelompokkan berdasarkan variabel-variabel pada manusianya sendiri (person),
tempat (place) dan waktu (time), atau sering pula disebut: WHO, WHERE, dan WHEN.
Sedangkan adjusted rate adalah angka kasar yang telah disesuaikan.
45
Spesifik berdasarkan tempat (where) Spesifik berdasarkan tempat (where)
Spesifik berdasarkan waktu (time) Spesifik berdasarkan waktu (time)
• Adjusted incidence rate (angka insiden • Adjusted prevalence rate (angka pre-
kasar yang telah disesuaikan) valen kasar yang telah disesuaikan)
Angka insiden adalah suatu ukuran kesakitan & kematian yang dipakai untuk mengu-
kur:
Bagan 21
1/1/90 31/12/90
Kasus 1 >---------------------------------------------------------------<
Kasus 2 >------------------------------------------------<
Kasus 3 >-------------------------------<
Kasus 4 >----------------------------------------------------------<
Kasus 5 >---------------------------------------------------------<
Kasus 6 >--------------------------------------------------------<
Kasus 7 >-----------------------------------------------------------------------------<
_______________________________________________________________
500 orang 497 orang
1/1/90 31/12/90
Seandainya kita ingin mengukur angka insiden penyakit TBC selama satu tahun (1
Januari 1990 - 31 Desember 1990) dengan pengamatan langsung atau dengan
memakai data sekunder pada 500 penduduk yang at rsik (lihat Bagan 21), maka
pembilang angka insiden selama kurun waktu itu ialah 4 orang, yaitu kasus 1, 2, 4 dan
5, sedangkan kasus 3, 6, 7 tidak dihitung, karena sudah sakit sebelum 1 Januari 1990
(bukan kasus TBC yang terjadi setelah tanggal 1 Januari 1990 atau dengan kata lain
bukan kasus baru yang terjadi setelah 1 Januari 1990).
46
Penyebutnya adalah 497 orang karena penduduk inilah yang sehat (tidak menderita
TBC) pada 1 Januari 1990. Dengan kata lain, penduduk inilah yang mempunyai risiko
untuk menderita TBC terhitung sejak 1 Januari 1990. Jadi, penduduk yang sudah sakit
sebelum 1 Januari 1990 dan masih sakit pada tahun 1990, dikeluarkan dari pembi-
lang dan penyebut.
Proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada suatu saat (suatu
titik waktu tertentu)
Bila kita ingin mengetahui prevalen TBC pada tanggal 31 Desember 1990 dari 500
penduduk yang dipilih sebagai sampel, maka angka yang diperoleh (lihat Bagan 21)
ialah 4/500 x 1000 = 8 per 1000.
Seperti digambarkan pada Bagan 21, 500 penduduk yang dipilih sebagai sampel
secara khusus diamati untuk memperoleh angka insiden TBC selama satu tahun,
misalnya dari tanggal 1 Januari 1990 sampai dengan 31 Desember 1990. Pada tanggal
1 Januari 1990, 500 penduduk ini harus diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui
mereka-mereka yang sudah telah sakit TBC sebelum 1 Januari 1990. Mereka yang
dijumpai sakit pada pemeriksaan pertama (1 Januari 1990) dikeluarkan dari penga-
matan. Sisanya (yang sehat) lalu diamati sampai dengan 31 Desember 1990 (diperiksa
secara berkala, mungkin setiap bulan, setiap 3 bulan, 6 bulan atau setelah 1 tahun,
47
tergantung jenis penyakitnya dan biaya yang tersedia). Makin sering pemerik-saan
dilakukan maka ketekunan dan biaya yang diperlukan akan semakin tinggi. Pada
penyakit-penyakit yang perjalanannya pendek, cepat sembuh atau cepat meninggal,
maka pemeriksaan harus lebih sering dilaksanakan. Bila tidak, maka kasus-kasus ini
tidak akan terhitung sebagai pembilang (lihat Bagan 24). Pemeriksaan berkala
bermaksud untuk mendapatkan pembilang dari angka insiden, yaitu mereka-mereka
yang pada pemeriksaan tanggal 1 Januari 1990 tidak menderita TBC lalu terkena TBC
pada periode waktu setelah 1 Januari 1990 sampai batas akhir pengamatan (31
Desember 1990). Untuk penyakit-penyakit yang perjalanan penyakitnya panjang atau
khronis, untuk menghemat biaya maka pemeriksaan lazimnya hanya dilakukan dua kali
saja, yaitu:
• Pada awal pengamatan, dengan maksud untuk menyisihkan penduduk yang te-
lah sakit sebelumnya.
• Pada akhir pengamatan, dengan maksud untuk mengetahui jumlah penduduk
yang terkena penyakit antara 1 Januari 1990 - 31 Desember 1990.
Cara yang kedua ini disebut memakai data sekunder karena memakai data yang
dikumpulkan oleh orang lain (petugas rumah sakit, puskesmas, laboratorium, dll.), dan
data jumlah penduduk yang dikumpulkan oleh petugas pencatatan penduduk atau
petugas sensus (Biro Pusat Statistik/BPS). Sebagian penduduk yang sakit biasanya
mencari pengobatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Angka insiden bisa
diperkirakan dengan jalan memakai jumlah penduduk yang menderita suatu penyakit
tertentu yang tercatat di tempat pelayanan kesehatan sebagai pembilang. Sebagai pe-
nyebut dipakai jumlah penduduk di wilayah tersebut yang biasanya bisa didapatkan di
kantor camat atau kantor statistik setempat. Data penduduk ini seperti ini biasanya
didapatkan melalui tiga cara yaitu: (a) sensus penduduk yang umumnya dilaksanakan
10 tahun sekali, (b) registrasi penduduk yang umumnya dilakukan setiap tahun, (c)
memperkirakan jumlah penduduk pada tahun tertentu dengan memakai data sensus
dan angka pertumbuhan penduduk.
Karena baik data pembilang maupun penyebut diperoleh dari tempat lain (tidak
diukur sendiri oleh si penghitung angka insiden), maka cara ini disebut pula dengan
memakai data sekunder.
Dengan cara ini biayanya akan jauh lebih murah, tetapi angka insiden yang dipero-
leh hanya perkiraan saja karena seperti telah dijelaskan pada Bagan 10 di Bab 2
bahwa tidak semua penduduk yang sakit akan mendatangi tempat-tempat pelayanan
kesehatan. Seandainya banyak penduduk yang sakit tidak mendatangi tempat-tempat
pelayanan tersebut misalnya karena:
48
• tidak menyadari dirinya sakit/tidak merasa dirinya sakit (inapparent infection),
• mengobati sendiri penyakitnya (membeli obat di warung),
• merasa/mengetahui dirinya sakit tetapi dibiarkan saja karena tidak mempunyai
biaya untuk berobat (alasan ekonomis),
• mereka mempunyai anggapan bahwa penyakitnya tidak perlu atau tidak bisa
diobati dengan cara pengobatan modern (persepsi tentang sakit),
• jauh dari tempat pelayanan (alasan geografis),
• mencari pengobatan ke luar wilayah,
• faktor-faktor/alasan-alasan lainnya.
maka angka insiden yang diperoleh akan jauh lebih rendah dari kenyataannya. Selain
itu ketepatan data tentang diagnosa penyakit yang tersedia di tempat-tempat pela-
yanan kesehatan tersebut juga sangat tergantung dari kemampuan petugas untuk
melakukan diagnosa dan alat-alat bantu diagnosa yang tersedia.
Seperti dikemukakan di atas bahwa pembilang angka insiden ialah jumlah penduduk
yang sebelumnya tidak sakit lalu menjadi sakit pada kurun waktu tertentu. Bila angka
insiden dihitung dengan jalan memakai catatan ditempat pelayanan kesehatan,
kesulitannya ialah untuk menetapkan kapan dikatakan seseorang mulai sakit, karena
bisa jadi seseorang baru datang ke rumah sakit pada bulan Januari 1993 padahal dia
sudah kena penyakit sejak Oktober 1992. Apakah kasus seperti ini harus dihitung
sebagai insiden tahun 1993 atau 1992?. Keadaan ini juga merupakan kelemahan dari
pemakaian data sekunder. Patokan yang lazim dipakai untuk menetapkan saat
sebagai kasus baru bila memakai data sekunder ialah salah satu dari patokan-
patokan di bawah ini.
(a) Saat ketika mulai ada gejala penyakit, misalnya: panas, dan bercak-bercak pada
kulit untuk morbili, kejang untuk tetanus, batuk-batuk untuk TBC, dll. Tentu saja
gejala-gejala tersebut hanya bisa diperoleh dari anamnesa (mewawancarai
penderita atau keluarganya).
(b) Saat diagnosa ditegakkan. Sering kali seseorang datang ke puskesmas atau
rumah sakit dengan gejala-gejala penyakit yang tidak jelas dan rumah sakit
memerlukan waktu yang agak lama untuk memastikan diagnosa penyakitnya.
(c) Pada saat dilaporkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Bila angka insiden
akan dihitung dengan jalan menunggu laporan yang dikirim oleh pusat-pusat
pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, lab., dokter swasta, dll.), maka satu-
satunya jalan ialah menetapkan sebagai kasus baru ketika laporan diterima.
(d) Saat masuk rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan lainnya, walaupun diagnosa
pastinya baru diketahui belakangan.
49
Kesalahan lainnya ialah bila penduduk yang berdomisili di wilayah yang satu
mendatangi tempat pelayanan di wilayah lainnya. Dengan demikian maka mereka yang
bertempat tinggal di Wilayah "A" akan terhitung di Wilayah "B" dan demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi hal ini bisa diatasi dengan lebih mudah, yaitu dengan jalan me-
lihat alamat tempat tinggal penderita. Bila di luar wilayah, maka dikeluarkan dari pem-
bilang.
Selain cara pertama (pengamatan langsung) dan cara kedua (data sekunder), angka
insiden juga bisa diperkirakan dari besarnya angka prevalen dan rata-rata lama sakit
(durasi). Pada Bagan 23 dan 24, jelas terlihat bahwa besar kecilnya angka prevalen
tergantung dari dua faktor (variabel):
P I X d
formula 1
Bila angka insiden (I) dan rata-rata lama sakit (d) stabil dalam waktu yang lama, maka
tanda mendekati () pada formula 1 bisa dirobah menjadi tanda sama dengan (=)
seperti pada formula 2.
P = I x d formula 2
Angka insiden stabil dalam waktu yang lama artinya setiap tahun besarnya angka insiden
penyakit hampir sama (tidak terjadi kenaikan atau penurunan yang drastis). Angka insiden
penyakit bisa turun secara drastis bila dijumpai teknologi pencegahan atau pengobatan
penyakit yang efektif. Misalnya: vaksin BCG untuk mencegah TBC, penisilin untuk mengobati
sifilis. Dengan bisa disembuhkannya penderita sifilis, maka pengidap penyakit ini tidak lagi
menularkan penyakitnya pada orang lain sehingga jumlah penderita baru (insiden) menjadi
berkurang. A.I. bisa pula meningkat dengan tajam seperti halnya AIDS dan kanker paru-paru.
Rata-rata lama sakit (durasi) bisa bertambah pendek secara drastis bila dijumpai teknologi
penyembuhan penyakit yang baru. Misalnya: pada tahun 1950-an, rata-rata lama sakit TBC
50
jauh lebih panjang dari sekarang karena pada saat itu belum dijumpai obat-obat untuk pengoba-
tan TBC seperti yang ada sekarang ini.
Jadi, bila angka prevalen dijumpai tinggi, tidak selalu mencerminkan kemungkinan
penduduk menjadi sakit (insiden) juga tinggi, tetapi bisa pula karena penderita hidup
lebih lama dibandingkan di masa lalu, misalnya karena diketemukannya teknologi baru
untuk memperpanjang hidup penderita. Karena untuk mengukur angka insiden
memerlukan waktu yang lebih panjang, biaya yang lebih mahal serta usaha yang lebih
tekun, maka bila prevalen penyakit telah diketahui, insiden bisa diperkirakan dengan
memakai formula di atas, seperti contoh di bawah ini.
Rata-rata lama sakit (durasi) yaitu mulai saat 2,5 bulan 23 bulan
diagnosa ditegakkan sampai meninggal
Sumber: MacMahon, B., and Pugh, T.F.: Epidemiologic Principles and Methods, 1970
Bagan 22
51
Tabel 5. Perberdaan antara jumlah orang dan jumlah kejadian sebagai
pembilang angka insiden
Pada prinsipnya, penyebut angka insiden adalah semua penduduk yang bisa terkena
penyakit yang akan diukur angka insidennya (population at risk). Bila kita ingin
mengukur angka insiden kanker penis, tentu saja penduduk wanita tidak tepat bila
diikutkan sebagai penyebut. Untuk mengukur insiden pemakaian kontrasepsi pada
kurun waktu tertentu, maka yang dipakai sebagai penyebut adalah semua wanita yang
bisa hamil pada kurun waktu tersebut. Jadi, penduduk yang tidak terancam harus
dikeluarkan dari penyebut. Kelompok yang dianggap tidak terancam antara lain
mereka-mereka yang:
Sehubungan dengan butir (e) di atas, masalah yang muncul ialah: penduduk kapan
harus dipakai sebagai penyebut?. Apakah penduduk tanggal 1 Januari?, 1 Februari?,
10 Juli?, 15 Desember? Jelas setiap hari jumlah penduduk akan berobah. Untuk
mengatasinya, ada empat alternatif yang bisa ditempuh, seperti diuraikan di bawah ini.
52
Penduduk tanggal 1 Januari + penduduk tanggal 2 Januari
+ penduduk tanggal 3 Januari + dan seterusnya
365 (1 tahun terdiri dari 365 hari)
Cara ini tentu amat merepotkan karena harus tersedia data penduduk harian. Untuk le-
bih menyederhanakan maka bisa ditempuh alternatif nomer 2 dan nomer 3 di bawah.
Penyebut yang paling tepat dipakai untuk mengukur angka insiden ialah "tahun-
orang", karena dengan memakai "tahun-orang" maka lama pengamatan masing-masing
individu telah diperhitungkan. Bila ini yang dipilih sebagai penyebut maka informasi
(data) yang harus tersedia ialah lama pengamatan dari masing-masing penduduk
yang diamati.
Contoh: Andaikata Anda ingin mengukur insiden kanker mulut rahim pada penduduk
yang memakai pil kontrasepsi selama 5 tahun (misalnya: dari 1 Januari 1990 - 31
Desember 1994), maka semua wanita yang berminat memakai pil kontrasepsi mulai 1
Januari 1990 diperiksa terlebih dahulu mulut rahimnya untuk mengetahui apakah
mereka itu bebas (tidak menderita) kanker mulut rahim sebelumnya (sebelum mulai
memakai pil kontrasepsi). Yang dijumpai menderita kanker mulut rahim pada
pemeriksaan awal, tidak diikutkan dalam kelompok penduduk yang akan diamati atau
tidak diperkenankan memakai pil kontrasepsi. Mereka yang memenuhi syarat dan mulai
memakai pil KB sejak 1 Januari 1990 lalu diamati, diminta datang secara berkala untuk
diperiksa mulut rahimnya, untuk mengetahui seberapa banyak yang tadinya bebas dari
kanker mulut rahim, kemudian menderita penyakit ini, yaitu untuk menghitung
pembilang angka insiden. Selain diperiksa, ketika datang untuk pemeriksaan berkala
mereka juga diwawancarai, apakah masih tetap memakai pil tersebut. Bila telah
berhenti/pernah berhenti, kapan berhenti. Tentu saja tidak semua wanita yang telah
menerima pil kontrasepsi akan begitu saja tunduk untuk datang secara berkala sesuai
dengan kehendak kita. Bagi yang tidak datang, seyogyanya dikunjungi ke rumahnya.
Tentu saja tidak semua yang dikunjungi akan bisa dijumpai dialamatnya masing-
masing, terlebih-lebih di daerah perkotaan, dimana mobilitas penduduk amat tinggi.
Dari hasil wawancara tentang apakah masih tetap memakai pil atau tidak, dan bila
tidak, kapan berhenti, maka akan diperoleh data tentang lama memakai pil
kontrasepsi bagi masing-masing wanita. Data inilah yang diperlukan bila Anda akan
53
memakai women-years sebagai penyebut, yaitu data tentang lama memakai pil kon-
trasepsi dari masing-masing wanita yang diamati.
Setelah 31 Desember 1994, jumlah wanita yang menderita kanker mulut rahim
dijumlahkan, yaitu pembilang dari angka insiden, dan jumlah semua wanita yang
memakai pil kontrasepsi 1 Januari 1990 - 30 September 1994 ditabulasi. Mengapa
hanya sampai tanggal 30 September dan bukan sampai 31 Desember 1994?.
Jawabnya ialah: untuk memberi kesempatan kepada wanita yang baru mulai memakai
pil sejak 30 September 1994 untuk memakai pil selama periode waktu tertentu,
misalnya selama 3 bulan, bila mereka diminta datang untuk mengambil pil dan periksa
mulut rahimnya setiap 3 bulan. Selain itu, 1 bungkus pil kontrasepsi yang lazim
diberikan di klinik-klinik keluarga berencana di Indonesia isinya 3 siklus dan 1 siklus
untuk 1 bulan.
Jumlah women-years = (500 x 1/4 th) + (600 x 1/3 th) + (600 x 1/2 th) + (400 x 3/4 th) + (400 x 1 th) +
(500 x 1,5 th) + (500 x 2 th) + (300 x 3 th) + (400 x 4th) + (300 x 4,5 th) =
125 + 200 + 300 + 300 + 400 + 750 + 1000 + 900 + 1600 + 1350 = 6.925
women-years
Angka insiden kanker mulut rahim pada wanita pemakai pil kontrasepsi = 12/6925 x
1000 = 1,7 per 1000 women-years.
Interpretasinya: bila ada 1000 wanita memakai pil kontrasepsi, dan semuanya
memakai pil selama 1 tahun maka besarnya kemungkinan atau besarnya risiko bagi
1000 orang pemakai pil kontrasepsi untuk menderita kanker mulut rahim ialah 1,7 atau
0,0017 per orang.
54
ANGKA PREVALEN (POINT DAN PERIOD PREVALEN)
Angka prevalen dipakai untuk mengukur proporsi penduduk yang menderita suatu
penyakit pada satu titik waktu tertentu. Ukuran ini disebut point prevalen (lihat Bagan
23). Berbeda dengan angka insiden yang bermanfaat untuk mengukur kejadian
penyakit akut maupun penyakit khronis di masyarakat, maka point prevalen hanya
bermanfaat untuk mengukur kejadian penyakit khronis saja. Bila point prevalen
dipakai untuk mengukur penyakit akut yang perjalanan penyakitnya dalam waktu yang
singkat maka ukuran yang diperoleh tidak akan mencerminkan kejadian penyakit yang
sesungguhnya di masyarakat. Pada Bagan 24 terlihat bahwa bila angka prevalen
diukur pada tanggal 1 Januari 1990, penduduk yang dijumpai sedang sakit pada saat itu
hanya 1 orang. Bila diukur pada tanggal 30 April dijumpai 2 orang, dst., padahal jumlah
(insiden) penduduk yang sakit dalam satu tahun cukup banyak. Dalam keaadaan
seperti ini (peyakit akut) maka angka insiden akan lebih bermanfaat untuk dipakai
sebagai ukuran.
Bagan 23
Kasus 1 <------------------------------------------------------------------------------<
Kasus 2 <----------------------------------------------------------------
Kasus 3 <-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus 4 <-----------------------------------------------------------------------------------------
Kasus 5 <----------------------------------------
Kasus 6 <---------------------------------------------------------------------------------->
Kasus 7 <-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bila Anda ingin mengetahui proporsi penduduk yang sedang sakit pada tanggal 1
Januari 1990 (Bagan 23), maka point prevalennya ialah : 3/500 x 1000 = 6 per 1000
penduduk. Pada tanggal 30 April 1990, 5/500 x 1000 = 10 per 1000 penduduk. Pada
tanggal 15 September, 6/500 x 1.000 = 12 per 1000 penduduk, dan bila diukur pada
tanggal 31 Desember 1990 ialah 7/500 x 1.000 = 14 per 1000 penduduk. Bedanya
dengan penyebut angka insiden, maka ketika menghitung angka prevalen, semua
penduduk yang sudah sakit sebelumnya tetap diikutkan dalam penyebut. Pada penyakit
yang perjalanannya puluhan tahun, maka pada kelompok penduduk yang le-bih tua
secara otomatis angka prevalennya akan lebih tinggi karena jumlah penderita yang
kumulatif (lihat Bagan 23). Karena itu angka prevalen sama sekali tidak bisa dipakai
untuk mengukur besarnya risiko sekelompok penduduk untuk menderita suatu penyakit,
seperti halnya angka insiden, tetapi hanya dipakai untuk mengukur proporsi penduduk
yang menderita penyakit pada suatu saat (lihat juga uraian tentang penggunaan angka
insiden & prevalen).
55
Penduduk yang dipakai sebagai penyebut tentu saja harus dipilih kelompok
penduduk yang mempunyai risiko untuk menderita penyakit yang akan diukur.
Misalnya: bila ingin mengukur prevalen penyakit kanker mulut rahim, dipilih penduduk
wanita umur 30 tahun ke atas, karena penduduk wanita umur di bawah 30 tahun
mempunyai risiko yang sangat rendah untuk menderita penyakit ini.
Bagan 24
<------------<
<--------->
< ------------------->
<--------------------->
<------->
<----->
<--------->
<----> <---->
<------>
<----------> <-------->
<-------->
<--------------> <------------->
<----------------------------->
100 penderita
<--------------------------------------- 25 penderita baru ---------------------------->
56
Contoh: (lihat Bagan 25). Pada tanggal 1 Januari 1989 dilakukan pemeriksaan per-
tama terhadap 10.000 penduduk yang mempunyai risiko untuk menderita penyakit
psikosis. Pada pemeriksaan ini ada 100 orang yang menderita penyakit tersebut. Pada
pengamatan selama dua tahun yaitu sampai dengan 31 Desember 1990 dijumpai
penderita baru sebanyak 25 orang. Sebanyak 1000 orang yang diperiksa pada
pemeriksaan pertama tidak lagi bisa diamati karena pindah alamat, alamat tidak jelas,
dan alasan lainnya.
100 + 25
Angka period prevalen selama 2 tahun: ---------------------------
1/2 (10.000 + 9.000)
Selain untuk mengungkapkan etiologi penyakit, angka insiden juga dipakai oleh para
manajer (pimpinan puskesmas, kepala dinas kesehatan tingkat kabupaten, pimpinan
rumah sakit, dll) untuk merencanakan dan menilai program-programnya. Sebagai
contoh, Kepala Polisi Daerah (Kalpoda) akan memakai angka insiden kecelakaan lalu
lintas untuk merencanakan program, misalnya merencanakan langkah-langkah
operasional di lapangan (pada bulan-bulan apa, pada ruas-ruas jalan yang mana saja,
dilakukan) dan sekaligus untuk menilai keberhasilan kegiatannya tersebut setelah
dilaksanakan 1 atau 2 tahun. Seorang dokter puskesmas akan memakai angka insiden
diare dan influenza untuk merencanakan kebutuhan oralit dan obat influenza, atau me-
makai angka insiden tetanus neonatorum untuk merencanakan program latihan dukun
beranak di wilayah kerjanya.
57
Berbeda dengan angka insiden, maka angka prevalen diciptakan para ahli semata-
mata hanya untuk kepentingan manajemen (perencanaan dan evaluasi program),
terutama untuk penyakit-penyakit menahun (khronis). Seperti telah diuraikan di atas
bahwa memperoleh angka insiden jauh lebih mahal dibandingkan angka prevalen.
Untuk keperluan manajemen penyakit-penyakit khronis (program pencegahan
pengobatan, penilaian, dll), tidak perlu harus menghitung angka insiden, tetapi cukup
angka prevalen saja. Sebagai contoh: bila angka prevalen TBC di Bali = 4 per 1000
penduduk, maka perkiraan jumlah penderita TBC di Bali sekarang ialah 4/1000 x
3.000.000 = 12.000 penderita. Bila 25% dari penderita ini berhasil diketemukan dengan
jalan melakukan active case finding, 25/100 x 12.000 = 3.000 kasus. Bertolak dari
angka prevalen tersebut lalu bisa direncanakan kebutuhan obat, tenaga para medis, dll.
Setelah 5 tahun angka prevalen TBC diukur kembali, dan bila diperoleh 2 per 1.000,
berarti program yang dilaksanakan telah memberikan hasil.
Angka prevalen tidak bisa dipakai untuk mengungkapkan etiologi penyakit karena
ukuran ini tidak mencerminkan besarnya risiko sekelompok penduduk untuk menderita
suatu penyakit. Angka ini hanya menunjukkan jumlah penderita penyakit (kasus) yang
ada pada suatu populasi, pada suatu point waktu. Berikut ini dikemukakan suatu contoh
yang menunjukkan mengapa angka prevalen tidak bisa dipakai untuk mengungkapkan
etiologi penyakit (lihat Tabel 7 & Tabel 8). Selain itu, karena angka prevalen diukur
secara cross-sectional (pada satu saat), maka data tentang kejadian penyakit serta
faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya dikumpulkan pada saat yang sama.
Untuk bisa mengatakan bahwa faktor "X" adalah etiologi penyakit "Y" maka "X"
(penyebab) harus ada duluan, kemudian barulah terjadi penyakit "Y" (akibat). Hu-
bungan kausal yang berkaitan dengan waktu (tempo) disebut kriteria hubungan tempo-
ral. Karena ada-tidaknya penyakit serta faktor-faktor risiko diukur pada saat yang sama
maka dengan memakai angka prevalensi, hubungan temporal tidak bisa dipenuhi.
Kelompok Jml. penduduk pria Jml. Rate per Jml. penduduk wa- Jml. Rate per Ratio
umur yang diperiksa kasus 1000 nita yang diperiksa kasus 1000 rate
58
30-59 2.212 152 68,7 2.783 73 26,2 2,6
Pada Tabel 7 dan Tabel 8 disajikan hasil penelitian penyakit jantung koroner di kota
Framingham (U.S.A.). Pada tahun 1965 sebanyak 4.469 penduduk umur 30-62 tahun
(terdiri dari 2.024 laki-laki dan 2.445 wanita) diperiksa untuk mengetahui parevalen
penyakit jantung koroner. Hasilnya bisa dilihat pada Tabel 7. Bila angka parevalen pada
kelompok laki-laki dibandingkan dengan kelompok wanita (ratio rate), maka diperoleh
hampir 1 pada kelompok umur 30 - 44 tahun dan 2,5 pada kelompok umur 45 - 62
tahun. Pada kelompok umur 30 - 44 seolah-olah laki dan wanita mempunyai risiko yang
sama untuk menderita penyakit jantung koroner (rationya sekitar 1). Selanjutnya, yang
diketemukan sehat (tidak menderita penyakit jantung koroner) pada pemeriksaan
pertama (1965), lalu diamati (diperiksa secara berkala) sampai dengan akhir tahun
1973 untuk mengetahui kasus-kasus baru selama kurun waktu ini (besarnya angka
insiden). Hasilnya disajikan pada Tabel 8. Disini kelihatan bahwa risiko untuk menderita
penyakit jantung koroner pada laki-laki umur 30-39 tahun, 24 kali lebih besar
dibandingkan pada wanita, padahal kalau ratio angka prevalen yang dipakai, risikonya
sama (ratio = 1). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa angka prevalen tidak bisa dipakai
untuk mengetahui besarnya risiko terjadinya suatu penyakit. Hal ini berkali-kali perlu
ditekankan karena sering kali para peneliti di bidang kesehatan memakai angka
parevalen untuk menelusuri penyebab suatu penyakit atau untuk membuktikan hubu-
ngan sebab-akibat. Kelalaian yang mungkin tidak diketahui ini sering terjadi karena
mengukur prevalen jauh lebih mudah dibandingkan insiden. Prevalen hanya memer-
lukan satu kali pemeriksaan sedangkan insiden memerlukan sekurang-kurangnya dua
kali pemeriksaan.
59
• Untuk penyakit akut maupun khronis
Angka prevalen • Keperluan perencanaan & penilaian program
kesehatan di masyarakat
• Hanya untuk penyakit-penyakit khronis saja
Pada angka kasar (crude rate), baik angka insiden maupun prevalen kasar,
pembilangnya adalah jumlah kejadian total dan penyebutnya adalah penduduk total.
Pada angka spesifik (specific rate), baik angka insiden maupun prevalen spesifik,
pembilang dan penyebutnya adalah sub-kelompok penduduk.
Cause-specific mortality rate (angka kematian spesifik menurut penyebab), tahun 1990
60
Cause and age specific mortality rate (angka kematian spesifik menurut umur dan
penyebab), tahun 1990
Jumlah kematian anak umur 0-4 tahun yang disebabkan karena diare selama tahun 1990
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah penduduk umur 0-4 tahun pada pertengahan th.1990
Angka kematian spesifik menurut jenis kelamin, umur dan penyebab, tahun 1990
Jumlah kematian anak laki-laki umur 0-4 tahun yang disebabkan karena diare selama tahun 1990
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah penduduk laki-laki umur 0-4 tahun pada pertengahan th.1990
Pada Tabel 8:
• Angka 24,2, 66,2, 131,3 adalah angka insiden spesifik penyakit jantung koroner
berdasarkan umur dan jenis kelamin.
• Bila dilihat pada keseluruhan penduduk laki dan perempuan 152/2.212 adalah ang-
ka spesifik menurut jenis kelamin, tetapi bila dilihat pada penduduk laki saja, maka
152/2.212 adalah crude rate.
Untuk merencanakan suatu program, angka spesifik selalu lebih tepat atau lebih
terarah dibandingkan angka kasar, karena dari angka spesifik, diagnosa masalah
kesehatan masyarakat bisa diperoleh secara lebih spesifik. Dari angka prevalen atau
insiden spesifik akan terlihat kelompok-kelompok penduduk yang mempunyai masalah
kesehatan masyarakat. Di desa mana penyakit tersebut paling banyak dijumpai (bisa
dilihat dari angka spesifik per desa), pada umur berapa (bisa dilihat pada angka spesifik
menurut umur), pada musim-musim apa saja (bisa dilihat pada angka spesifik menurut
musim), dst. Dengan demikian maka program akan bisa lebih diarahkan pada kelompok
penduduk yang betul-betul mempunyai masalah, atau dengan kata lain target
population dari program akan lebih spesifik.
Selain itu, angka spesifik juga amat tepat bila dipakai untuk membandingkan
satu kelompok dengan kelompok lainnya, baik dalam hal untuk meneliti etiologi
penyakit (angka insiden spesifik), maupun untuk menilai keberhasilan program
kesehatan masyarakat (angka insiden atau prevalen spesifik). Misalnya: ketika meneliti
kemungkinan penyebab penyakit jantung koroner maka yang dibandingkan adalah
angka insiden laki-laki dan wanita per kelompok umur. Demikian pula halnya ketika
membandingkan insiden kanker mulut rahim pada kelompok pemakai pil kontrasepsi
dan kelompok yang tidak memakai pil, yang dibandingkan haruslah misalnya: angka
insiden spesifik menurut umur ibu, atau angka spesifik menurut keadaan sosial-
ekonominya, atau angka spesifik menurut lama pemakaian pil, dan lain sebagainya.
Kelemahannya bila memakai angka spesifik untuk tujuan perbandingan ialah terlalu
banyak angka yang harus dibandingkan. Misalnya: bila kita ingin membandingkan
insiden penyakit ulkus lambung antara laki-laki dan wanita umur 15 - 74 tahun, dan bila
umur dikelompokkan per 5 tahun (15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-40, dst), ini berarti kita
harus membandingkan 12 angka spesifik antara kelompok laki-laki dan wanita. Belum
lagi kalau kita ingin membandingkan pula angka insiden ulkus lambung menurut
pekerjaan, pendidikan, pola makanan, dll., maka kita mungkin harus membandingkan
ratusan angka spesifik hanya untuk penyakit ulkus lambung saja. Sedangkan kesulitan
61
atau kendala yang sering dihadapi ialah tidak tersedianya data untuk menghitung
angka spesifik tersebut, baik data untuk pembilang maupun data untuk penyebut.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa untuk membandingkan suatu populasi dengan
populasi lainnya atau membandingkan populasi "A" 20 tahun yang lalu dengan
sekarang, maka yang paling baik untuk dibandingkan ialah angka spesifiknya, tetapi
ada kelemahannya yaitu terlalu banyak angka dan kendalanya yaitu tidak tersedianya
data per sub-kelompok populasi. Agar kita tidak membandingkan terlalu banyak angka,
maka jalan keluar yang bisa ditempuh ialah membandingkan angka kasar, tetapi harus
disesuaikan terlebih dahulu.
Mengapa harus disesuaikan terlebih dahulu?. Angka kasar yang telah disesuaikan ini
disebut pula adjusted atau standardize rate. Membandingkan angka kasar lebih sering
mengelirukan karena besar kecilnya angka kasar amat dipengaruhi oleh komposisi
masing-masing penduduk, sementara itu komposisi setiap kelompok penduduk lebih
sering tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 9 dan Tabel 10
disajikan komposisi penduduk "A" dan "B" menurut umur. Disana terlihat bahwa
proporsi penduduk "A" yang berumur lebih tua lebih besar dibandingkan "B", yaitu 0,3
(30 %) pada penduduk "A", dan 0,1 (10 %) pada penduduk "B". Sedangkan proporsi
penduduk yang berumur lebih muda, lebih besar di penduduk "B". Dengan kata lain
penduduk "A" lebih tua dibandingkan "B".
Selain berbeda menurut umur, komposisi penduduk satu dengan yang lain juga akan
berbeda menurut jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan variabel lainnya. Bila
pola kesakitan dan kematian berbeda berdasarkan variabel-variabel tersebut (mi-
salnya tinggi atau rendah pada umur-umur tertentu), berbeda menurut jenis kelamin,
berbeda menurut status perkawinan, dan seterusnya, maka angka kasar kelompok
penduduk yang satu juga akan berbeda dengan yang lainnya, yang disebabkan oleh
perbedaan komposisi penduduknya tersebut.
Tabel 9
Proporsi penduduk "A" menurut umur, angka kematian
spesifik dan angka kematian kasar
Catatan: Crude death rate (CDR), 45/5.000 x 1.000 = 9,0 per 1.000 penduduk
Tabel 10
Proporsi penduduk "B" menurut umur, angka kematian
62
spesifik dan angka kematian kasar
Catatan: Crude death rate (CDR), 29/5.000 x 1.000 = 5,8 per 1.000 penduduk
Pada Tabel 9 dan Tabel 10 di atas terlihat bahwa walaupun angka kematian spesifik
penduduk "A" persis sama dengan penduduk "B" tetapi bila komposisi penduduk "A"
dan "B" berbeda (dalam hal ini berbeda menurut umur), maka angka kematian kasar
(crude death rate atau CDR) akan berbeda karena pola kematian tergantung variabel
umur. Seperti diuraikan di atas bahwa untuk membandingkan kelompok penduduk satu
dengan yang lain, maka yang paling tepat untuk dibandingkan ialah angka spesifiknya.
Pada Tabel 8 dan 9 di atas, bila angka spesifiknya yang dibandingkan, terlihat bahwa
situasi kematian di "A" dan "B" persis sama, tetapi bila CDR yang dibandingkan, terlihat
bahwa situasi kematian di "A" lebih tinggi dibandingkan di "B" yaitu 9,0 per 1.000 dan
5,8 per 1.000. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan komposisi penduduk "A" dan
"B" menurut umur. Agar tidak dikelirukan oleh efek perbedaan komposisi penduduk,
angka kasar harus distandarisasi atau disesuaikan terlebih dahulu.
Untuk menyesuaikan angka kasar, ada dua cara, yaitu: (a) cara langsung, dan (b)
cara tidak langsung. Seperti diuraikan di atas, tujuannya ialah : untuk menghilangkan
efek perbedaan komposisi penduduk. Cara mana yang dipilih, tergantung data yang
tersedia.
63
(adjusted rate) pada masing-masing penduduk yang akan dibandingkan (jumlah kolom
5 dan 6 dibagi jumlah kolom 2). Bila angka spesifik masing-masing penduduk sama,
maka adjusted rate nya akan sama, walaupun crude rate nya berbeda.
Untuk melakukan penyesuaian crude rate secara tidak langsung informasi (data)
yang harus tersedia ialah:
Langkah 1: Memilih (menentukan) penduduk standar. Dalam hal ini tentu harus dipilih
penduduk standar yang ada angka spesifiknya.
Langkah 4: S.R penduduk "A" dikalikan crude rate penduduk standar, sehingga
diperoleh adjusted rate penduduk "A", dan S.R penduduk "B" dikalikan crude rate
penduduk standar, diperoleh adjusted rate penduduk "B".
64
Tabel 12. Penyesuaian cara tidak langsung
7.929
S.R. petani = -------------------- = 1,28
6.195,9
2.574
S.R. non-petani = ----------------- = 0,71
3.600,7
Adjusted rate petani: 1,28 x 8,82 per 1.000 = 11,3 per 1000 penduduk
Adjusted rate non-petani: 0,71 x 8,82 per 1.000 = 6,3 per 1000 penduduk
Tabel 13. Keunggulan dan Kelemahan Crude, Specific dan Adjusted Rate
65
• Tidak dipengaruhi oleh perbedaan • Tergantung dari populasi standar
komposisi penduduk
Secara umum, kesalahan pengukuran proporsi, angka insiden dan prevalen di-
kelompokkan menjadi dua sumber, yaitu:
Sampling Error
Ketika mengukur angka insiden atau prevalen suatu penyakit di masyarakat, maka
tidaklah mungkin untuk memeriksa semua penduduk, walaupun hanya penduduk yang
at risk saja. Disamping tidak mungkin juga tidak praktis. Yang diukur selalu hanya wakil-
wakil dari populasi. Wakil-wakil ini disebut sampel, yang harus diambil sede- mikian
rupa sehingga mewakili keseluruhan populasi (sampel yang representatif).
Seandainya kita ingin mengetahui prevalen TBC di Bali, maka yang diperiksa
barangkali hanya 1000 orang sampel yang mewakili sekitar 3 juta penduduk Bali. Bila
dari 1000 sampel ini sebanyak 4 orang dijumpai menderita TBC, maka prevalen TBC
pada sampel tersebut ialah 4 per 1000. Bila dengan cara yang sama diulang mengambil
sampel sebanyak 1000, maka belum tentu yang dijumpai sakit sebanyak 4 orang.
Mungkin 3 orang atau mungkin 5. Lalu, berapa sebenarnya prevalen TBC di Bali?. Kita
tidak akan pernah mengetahui ukuran di populasi, karena memang kita tidak pernah
mengukurnya. Yang kita kerjakan ialah selalu memperkirakan ukuran pada populasi
dengan memakai ukuran yang diperoleh pada sampel. Karena itu, sudah pasti ada
perbedaan antara ukuran yang kita peroleh pada sampel dengan ukuran yang
sebenarnya di populasi. Perbedaan inilah yang disebut sampling atau random error.
Jadi, sampling error adalah perbedaan nilai yang diperoleh pada sampel dengan
nilai pada populasi. Perbedaan ini sama sekali tidak bisa dihindari, tetapi bisa
diperkecil dengan jalan memperbesar jumlah sampel, dengan syarat sampel yang
diambil telah mewakili populasi. Bahkan seandainya yang diukur adalah pada populasi
maka sampling error akan nol.
Systematic Error
Berbeda dengan sampling error yang tidak bisa dihindari, maka systematic error
(bias) sebisa mungkin harus dihindari. Systematic error adalah perbedaan antara
nilai yang diperoleh dengan nilai sebenarnya, yang disebabkan karena kesalahan
pengukuran. Pada Tabel 14 disajikan beberapa sumber kesalahan yang disebabkan
oleh karena kesalahan pengukuran yang dilakukan dengan pengukuran secara lang-
sung dan dengan memakai data sekunder dan cara-cara untuk mengatasinya/me-
ngurangi kesalahannya.
66
1 Sampel tidak • Pengamatan • Sampel penduduk at risk harus dipilih secara random
mewakili langsung dan dibuat agar mewakili misalnya secara stratified
random sampling
• Pemakaian data
sekunder • Data sekunder harus diambil dari tempat-tempat
pelayanan yang tidak eksklusif/tidak melayani
kelompok penduduk tertentu saja. Lihat kembali Bagan
10.
2 Self-selection • Pemakaian data • Pengukuran harus dilakukan dengan metode pe-
(hanya orang- sekunder ngamatan secara langsung, yaitu dengan melak-
orang tertentu sanakan survei ke rumah-rumah penduduk atau
saja yang datang mengambil sampel dari general population
ke tempat
pelayanan tsb)
3 Lost to follow-up • Pengamatan • Dengan usaha dan ketekunan yang maksimal
langsung yaitu Mencatat identitas dan alamat subyek/sampel
pada pengukuran selengkap-lengkapnya pada waktu kunjungan
angka insiden pertama agar bisa dikunjungi bila tidak datang
Memperhitungkan biaya untuk mencari/meng-
hubungi subyek yang tidak datang sejak pe-
rencanaan proyek
Memberikan biaya transportasi dan insentif lainnya
kepada subyek agar mau datang pada pemeriksaan
berikutnya
Bila dengan usaha-usaha di atas, subyek juga tidak
berhasil di follow-up, usaha terakhir ialah dengan jalan
membandingkan ciri-ciri subyek yang datang dengan yang
tidak datang, misalnya dalam hal umur, jenis kelamin, dll.
Kemudian dilakukan uji statistik apakah ciri-cirinya berbeda
secara signifikan. Bila berbeda, berarti ada kemungkinan
bias pada angka insiden yang diperoleh.
67
Sampel yang tidak mewakili populasi dan self-selection
Sebagai contoh ialah bila Anda mengukur angka insiden kurang gizi dengan
memakai anak balita yang datang ke posyandu sebagai sampel. Angka insiden kurang
gizi yang diperoleh akan lebih rendah dari angka yang sebenarnya karena biasanya
yang datang ke posyandu hanya balita yang rumahnya dekat dengan posyandu, dan
yang rumahnya dekat-dekat dengan balai banjar atau balai desa umumnya keadaan
ekonomi orang tuanya lebih baik dibanding yang rumahnya jauh dari posyandu. Yang
keadaan ekonominya lebih baik keadaan gizinya juga akan lebih baik. Disinilah sumber
bias-nya.
Demikian pula halnya bila memakai data kunjungan pasien ke dokter praktek swasta
sebagai pembilang angka insiden. Jelas, hanya orang-orang tertentu saja yang datang.
Bila kharakteristik orang-orang yang datang ciri-cirinya (mis: sosial-ekonomi,
pendidikan, dll) berbeda dengan ciri-ciri penduduk yang diwakili, dan ciri-cirinya ini ada
hubungannya dengan kejadian penyakit yang akan diukur, maka akan terjadi bias pada
angka insiden yang diperoleh. Bila hanya orang-orang tertentu saja yang datang ke
suatu tempat, baik tempat pelayanan kesehatan atau tempat lainnya dimana seolah-
olah orang-orang tersebut memilih sendiri tempat tersebut diberi istilah self-selection.
Misalnya pasien-pasien yang berkunjung ke rumah sakit swasta cendrung lebih banyak
yang tingkat sosial-ekonominya lebih tinggi, dan bila ini yang dipilih sebagai sampel
tentu saja tidak akan mewakili populasi. Bila yang dipakai sebagai responden adalah
mahasiswa yang dijumpai di perpustakaan maka akan diperoleh nilai yang tinggi pada
tingkat kebiasaan membacanya. Tingkat kebiasaan membaca yang tinggi ini belum
tentu terjadi juga pada populasi mahasiswa secara keseluruhan.
Untuk mengurangi bias pada contoh-contoh di atas tentu saja dengan mengadakan
pengukuran pada sampel yang mewakili populasi secara keseluruhan (population-
based), misalnya:
• Bila angka insiden akan diukur dengan memakai data sekunder dari tempat-
tempat pelayanan kesehatan, maka hendaknya harus dipilih tempat-tempat
pelayanan kesehatan yang umumnya dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Misalnya: dengan memilih beberapa puskesmas, rumah sakit kabupaten, rumah
sakit swasta, dokter praktek swasta, dll.
• Mengambil sampel dari daftar mahasiswa yang ada di universitas dan bukan dari
mahasiswa-mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan saja.
68
tidak bisa diketahui apakah telah terjadi kanker mulut rahim pada mereka atau tidak.
Mereka yang tidak bisa di follow-up disebut lost to follow-up atau non-partisipasi.
Untuk mengatasi masalah non-partisipasi ada beberapa tindakan yang bisa ditem-
puh, antara lain:
• Dengan usaha yang maksimal, misalnya: ketika datang pertama kali, alamat
tinggalnya dicatat dengan baik, dan bila tidak datang, dikunjungi ke rumahnya.
Tentu saja pada saat perencanaan sudah dianggarkan biaya untuk kunjungan
rumah.
• Membandingkan ciri-ciri mereka yang datang dengan yang tidak datang. Ciri-ciri
yang dibandingkan tentu saja yang ada kaitannya dengan penyakit yang diteliti.
Bila yang tidak datang misalnya lebih banyak yang umur kawinnya lebih muda,
sedangkan kanker mulut rahim amat berkaitan dengan umur kawin, maka tentu
saja akan terjadi bias pada angka insiden yang diperoleh. Agar ciri-ciri mereka
bisa dibandingkan, maka ketika pemeriksaan pertama ciri-ciri ini harus semuanya
dicatat (mis: umur berapa kawin, penghasilan, pendidikan, dan lain sebagainya).
• Melakukan asumsi ekstrim. Bila segala usaha telah ditempuh tetapi juga tidak
berhasil untuk menjumpai mereka, maka tindakan terakhir yang bisa ditempuh
ialah menganggap yang tidak datang tersebut semuanya tidak menderita penyakit
yang diteliti atau sebaliknya semuanya dianggap menderita.
Ketika menetapkan diagnosa penyakit (mis: penyakit TBC), tentu saja petugas yang
melakukan pemeriksaan tidak satu orang, terlebih lagi dalam jangka waktu yang
panjang, dan di banyak poliklinik. Bila tidak ada patokan yang jelas, bisa jadi yang satu
melakukan diagnosa TBC dengan foto rontgen, yang lain dengan pemeriksaan dahak
atau ada pula dengan biopsi. Bila ini yang terjadi maka tentu akan terjadi bias pada
angka insiden atau prevalen yang diperoleh. Untuk mengatasi masalah ini, jalan yang
bisa ditempuh antara lain:
• Membuat pedoman penetapan diagnosa dan cara pengumpulan data yang jelas,
seragam dan spesifik sehingga setiap orang yang akan memakai pedoman
tersebut mempunyai pengertian yang sama.
69
karena perbedaan fasilitas pelayanan kesehatan. Perbedaan ini akan lebih jelas
kelihatan antara negara berkembang yang fasilitas pelayanan kesehatannya masih
amat terbatas dengan negara maju, yang sudah serba lengkap.
5. Kebiasaan yang berbeda atau tempat pelayanan tersebut tidak dikenal oleh ma-
syarakat. Misalnya: pelayanan kesehatan buka pada pagi hari, sedangkan
kebiasaan masyarakat disekitarnya bekerja pada pagi hari.
1. Vital statistik
70
Di Indonesia dan demikian pula di negara-negara lainnya, ada beberapa peristiwa
kehidupan (vital events) yang terus menerus harus dicatat dan dilaporkan, dimana
pelaksanaannya telah diatur dengan undang-undang, bahkan disertai dengan sangsi
bagi petugas yang lalai melaksanakannya. Data tentang peristiwa kehidupan tersebut
disebut pula vital statistik, yang umumnya terdiri dari pencatatan kelahiran,
perpindahan penduduk, perkawinan, perceraian dan kematian. Di beberapa tempat,
seseorang yang meninggal baru boleh dikuburkan bila telah ada surat keterangan
penyebab kematian dari petugas kesehatan setempat.
Akan tetapi, sampai saat ini tingkat akurasi vital statistik di Indonesia masih sangat
rendah. Walaupun sudah ada undang-undangnya, kebanyakan kelahiran, kematian,
perkawinan, perpindahan penduduk, dll. tidak diketahui tidak dicatat serta tidak dila-
porkan oleh kelian dinas. Terlebih-lebih penyebab kematian yang amat sulit ditentu-
kan tanpa dilakukan bedah mayat. Dengan bedah mayatpun sering kali masih sulit
untuk mengetahui penyebab kematian yang pasti. Karena itu, untuk mengetahui
ukuran-ukuran kesehatan yang penting seperti misalnya angka kematian bayi
pemerintah biasanya memilih metode pengamatan langsung atau survei ke rumah-
rumah penduduk, dibandingkan memakai vital statistik.
2. Sensus penduduk
71
bahwa ketepatan angka insiden yang diperoleh dengan jalan memakai data servis
statistik, sangat tergantung dari banyak faktor seperti telah dibahas di atas.
4. Survei kesehatan
Selain Survei Rumahtangga yang dilakukan secara nasional dan bersifat umum,
banyak survei telah dilakukan di Indonesia untuk mengukur kejadian (terutama angka
prevalen) penyakit-penyakit tertentu di Indonesia, misalnya: survei malaria, TBC,
penyakit cacing, gizi, lepra, gondok, dll. Biasanya, survei-survei seperti ini tidak
dilakukan secara nasional karena selain dana yang amat terbatas, juga tidak semua
wilayah di Indonesia mempunyai masalah penyakit yang sama.
Seperti telah dibahas di atas bahwa bila mengukur rate suatu penyakit dengan
memakai data di tempat-tempat pelayanan kesehatan (data sekunder) maka kesera-
gaman cara diagnosa adalah amat penting. Agar terjadi keseragaman pencatatan dan
pelaporan penyakit di semua negara, badan kesehatan sedunia (World Health
Organization, W.H.O), menganggap perlu untuk membuat pedoman atau patokan
pengelompokkan penyakit. Masing-masing kelompok kemudian diberi kode, dan yang
dilaporkan ke W.H.O adalah kode-kode penyakit tersebut. Karena itu, bila Anda nanti
bekerja di puskesmas, setiap selesai memeriksa pasien, diagnosa yang Anda buat
harus disalin kedalam bentuk kode penyakit. Secara berkala W.H.O. memperbaharui
pengelompokan penyakit, sesuai dengan perkembangan ilmu, dan sampai saat ini
W.H.O. telah melakukan revisi sebanyak 9 kali. Pengelompokan yang sekarang masih
kita anut ialah I.C.D. IX (International Classification of Deseases IX).
72
Untuk negara-negara atau daerah-daerah yang tidak mempunyai sarana diagnostik
yang memadai, diagnosa penyakit ditetapkan berdasarkan gejala-gejalanya. Atau
disebut pula berdasarkan sindrom. Dengan cara ini diagnosa penyakit bisa dilakukan
oleh tenaga paramedis bahkan oleh kader-kader kesehatan. Hal ini amat membantu
terutama bagi negara-negara seperti kebanyakan negara di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, dimana sebagian besar pelayanan kesehatan hanya dilakukan oleh petugas pa-
ra medis atau kader kesehatan. Pelaporan penyakit dimana diagnosanya bisa dilakukan
oleh petugas awam yang diberi pelatihan sebelumnya disebut pula lay-reporting (lay
secara harfiah berarti awam).
Setiap bulan, catatan penyakit ini kemudian dikirim dari puskesmas → Dinas Kese-
hatan Kabupaten → Dinas Kesehatan Propinsi → Departemen Kesehatan di Jakarta →
W.H.O. di Geneva (Swiss). Salah satu contoh penentuan diagnosa penyakit berdasar-
kan gejala ialah sbb:
Demam disertai kulit dan mata kuning Radang hati (hepatitis) 4.7
Tabel 15
Ukuran-ukuran (indikator) yang lazim dipakai untuk menetapkan
taraf (tingkat/ status) kesehatan masyarakkat
2 Angka kematian spesifik Jumlah kematian yang disebabkan oleh suatu 100.000
menurut penyebab penyebab tertentu dalam 1 tahun penduduk
(Cause-specific death -----------------------------------------------------------
rate) Jumlah penduduk pertengahan pada
tahun yang sama
3 Angka kematian bayi Jumlah bayi umur < 13 bulan yang meninggal 1000 kelahiran
(Infant mortality rate = dalam 1 tahun hidup
IMR) -----------------------------------------------------------
Jumlah bayi yang lahir hidup dalam
tahun yang sama
Indonesia: 51
*) Malaysia: 11
Situasi tahun 1997
Thailand: 31
=================> Vietnam 38
Filipina: 36
Singapura: 5
4 Angka kematian neonatus Jumlah bayi umur 0 - 28 hari yang meninggal 1000 kelahiran
(Neonatal death rate) dalam 1 tahun hidup
---------------------------------------------------------
Jumlah kelahiran hidup dalam
73
tahun yang sama
5 Angka kematian fetus Jumlah bayi yang mati dalam kandungan (lahir 1000 lahir hidup
(Fetal death rate) mati) dalam 1 th. + lahir mati
------------------------------------------------------------
Fetus: umur kandungan Jumlah kelahiran hidup + lahir mati dalam tahun
28 minggu ke atas yang sama
6 Angka kematian ibu Jumlah ibu yang meninggal karena komplikasi 100.000
sehabis melahirkan kehamilan dan persalinan dalam 1 th. kelahiran hidup
(Maternal mortality ratio = -----------------------------------------------------------
M.M.R) Jumlah kelahiran hidup
7 Angka kematian ibu Jumlah ibu yang meninggal karena komplikasi 100.000
sehabis melahirkan kehamilan dan persalinan dalam 1 tahun kelahiran hidup
(Maternal mortality rate = -------------------------------------------------------------
M.M.R) Jumlah semua wanita (kawin atau tidak) yang
berumur 15-49 thn. pada perte-ngahan tahun
yang sama
Lanjutan Tabel 15
8 Proportionate mortality Jumlah kematian karena suatu sebab 100
ratio (P.M.R) -------------------------------------------------
Jumlah kematian total
10 Angka kelahiran kasar**) Jumlah bayi lahir hidup selama satu tahun 1000 penduduk
(Crude birth rate = CBR) Jumlah penduduk pertengahan tahun yang
sama
74
Selain tingkat kesakitan, kematian dan kelahiran, indikator yang juga sering dipakai
untuk mengukur baik-buruknya pelayanan kesehatan bagi masyarakat ialah rasio
fasilitas pelayanan per jumlah penduduk. Caranya menghitung ialah jumlah
penduduk dibagi fasilitas pelayanan. Misalnya: bila satu propinsi jumlah penduduknya 3
juta, dan di propinsi tersebut ada 300 dokter, maka rasionya ialah 1 : 10.000, yang
artinya: secara rata-rata satu orang dokter melayani 10.000 penduduk.
Contoh lainnya:
• bidan per jumlah penduduk,
• PLKB (petugas lapangan keluarga berancana) : PUS (pasangan usia subur),
• juru imunisasi per anak balita,
• puskesmas per penduduk,
• jumlah tempat tidur di rumah sakit per penduduk,
• proporsi penduduk yang telah dilayani air bersih,
• klinik KB per pasangan usia subur (PUS),
• dan lain-lainnya.
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ada empat indikator yang
lazim dipakai, dimana dua diantaranya adalah indikator kesehatan. Ke empat indikator
tersebut bila digabung, disebut pula indeks mutu hidup (quality of life index). Indikator-
indikator tersebut ialah:
75
(3) Angka kematian bayi (infant mortality rate = IMR)
Dari ke empat indikator di atas, angka kematian bayi dianggap sebagai indikator
yang paling sensitif (paling mencerminkan keaadaan yang sebenarnya). Indikator
penghasilan per kapita, sama dengan indikator pelayanan kesehatan seperti telah
diuraikan di atas, yakni sangat tergantung dari distribusinya. Apakah penghasilannya
merata pada semua penduduk, atau hanya mengelompok pada sekelompok kecil
penduduk saja. Income per capita yang besar tetapi hanya mengelompok pada
segelintir penduduk saja tidak akan lebih baik dari income per capita yang kecil tetapi
merata.
Rentangan score (nilai) masing-masing indikator ialah 0-10, dimana nilai 10 bila pen-
duduknya sangat menderita dan 0 bagi negara yang penduduknya paling tidak mende-
rita. Score masing-masing indikator kemudian dijumlahkan dan kemudian dikelompok-
kan menjadi 4, sbb:
Pada awal tahun 1990-an dimana pengukuran pada semua negara di dunia dikerjakan
oleh Population Crisis Committee, Indonesia mendapat score 64, Malaysia 40,
Denmark dan Belanda mendapat score 1.
76
====================
77