Anda di halaman 1dari 81

Handout

EPIDEMIOLOGI DASAR

n=

Dewa Nyoman Wirawan

Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat (MIKM)


Pascasarjana, Universitas Udayana
Denpasar, 2013
DAFTAR ISI
Halaman

Bab 1. Orientasi Epidemiologi 1

Kaitan antara Imu Kedokteran Klinik, Ilmu Kedokteran Dasar 1


dan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Ruang Lingkup Epidemiologi 5
Definisi Epidemiologi 5
Sejarah Perkembangan Epidemiolgi 7
Pemakaian Epidemiologi 10

Bab 2. Konsep Terjadinya Penyakit, Perjalanan 13


Alamiah dan Tahap-tahap Pencegahannya
Konsep Terjadinya Penyakit 13
Perjalanan Alamiah Penyakit 23
Tahap-tahap Pencegahan Penyakit 26
Variasi Berat-Ringannya Suatu Penyakit dalam Kaitannya 30
dengan Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat

Bab 3. Ukuran Kesakitan dan Kematian di Masyarakat 44

Rasio, Proporsi, Rate 45


Angka Insiden 49
Angka Prevalen 57
Penggunaan Angka Insiden dan Angka Prevalen 59
Angka Kasar dan Angka Spesifik 62
Angka Kasar yang Disesuaikan (Adjusted Rate) 64
Sumber Kesalahan (Error) Pengukuran Proporsi dan Rate 68
Sumber Data Kesakitan dan Kematian di Indonesia 73
Pengelompokan (Klasifikasi) Penyebab Penyakit 75
Indikator Pelayanan Kesehatan Masyarakat 77
Indikator Kesejahteraan Masyarakat 78

ii
Indikator Penderitaan Rakyat 79

iii
BAB 1
ORIENTASI EPIDEMIOLOGI
Kaitan antara Ilmu Kedokteran Klinik, Ilmu Kedokteran Dasar dan
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit pada manusia sebenarnya adalah
berkat sumbangan bermacam disiplin ilmu, yaitu anatomi, histologi, fisiologi, biokimia,
fisika, biologi, patologi anatomi, patologi klinik, farmakologi, ilmu penyakit dalam, ilmu
penyakit anak, ilmu penyakit mata, dan lain sebagainya. Bila cabang ilmu ini
dicantumkan semuanya, maka akan menjadi daftar yang sangat panjang. Akan tetapi,
daftar yang panjang ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:

(1) Ilmu Kedokteran Dasar, misalnya: biologi,anatomi, fisiologi,


patologi anatomi, mikrobiologi, farmakologi, dll.
(2) Ilmu Kedokteran Klinis, misalnya: Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu
Penyakit Saraf, Ilmu Penyakit Kandungan, dll.
(3) Ilmu Kesehatan Masyarakat

Ilmu Kesehatan Masyarakat mempunyai banyak nama. Karena orientasi cabang


ilmu ini adalah kepada masyarakat, maka sering pula disebut Community Medicine atau
Population Medicine atau Public Health. Karena pendekatannya lebih banyak ke ilmu
sosial, sering pula disebut Social Medicine. Karena lebih banyak menerapkan prinsip-
prinsip pencegahan maka ada pula yang menyebutnya dengan istilah Preventive
Medicine.

Berbeda dengan Ilmu Kedokteran Dasar dan Ilmu Kedokteran Klinis yang menekuni
seorang individu, maka Ilmu Kesehatan Masyarakat lebih banyak berkecimpung pada
masalah kesehatan dan penyakit yang ada di masyarakat, yaitu dengan jalan
melakukan identifikasi masalah-masalah kesehatan yang ada di masyarakat secara
menyeluruh, dan kemudian mencari alternatif pemecahannya.

Pendekatan Ilmu Kedokteran Klinis lebih banyak pada usaha pengobatan individu
yang sakit. Belakangan ini Ilmu Kedokteran Klinis juga sudah mulai mengadakan
pendekatan pada individu yang sehat dalam usaha mereka untuk mendeteksi keadaan
kesakitan seawal mungkin, misalnya: mengadakan pemeriksaan secara berkala pada
wanita usia 30 tahun keatas untuk mengetahui adanya kanker mulut rahim secara dini.

Pada Ilmu Kesehatan Masyarakat, individu digantikan dengan masyarakat atau selu-
ruh penduduk pada suatu wilayah geografis, dan pendekatannya tidak semata-mata
pada anggota masyarakat yang sakit saja tetapi juga pada mereka yang sehat, yang
mempunyai risiko untuk menderita suatu penyakit. Istilah yang lazim dipakai untuk
golongan penduduk ini ialah population at risk. Penduduk yang sehat terutama yang

1
lebih terancam (risikonya untuk terkena suatu penyakit lebih besar) adalah fokus utama
seorang petugas public health yaitu untuk mencegah atau melindungi agar mereka
yang sehat tidak menjadi sakit.

Ketiga kelompok ilmu kedokteran di atas tidaklah berdiri sendiri, tetapi satu sama lain
saling berkaitan, satu sama lain saling memerlukan, dan satu sama lain saling
mendukung. Untuk menegakkan diagnosa penyakit pada seorang pasien, Ilmu
Kedokteran Klinis sangat memerlukan bantuan Ilmu Kedokteran Dasar (biologi,
anatomi, histologi, biokimia, fisiologi, mikrobiologi, dll). Selain itu juga sangat
memerlukan bantuan Ilmu Kesehatan Masyarakat, misalnya, pengetahuan tentang
distribusi penyakit di masyarakat, penduduk golongan umur yang mana saja yang lebih
banyak terkena, pada jenis kelamin yang mana, pada kelompok pekerjaan apa, pada
bulan-bulan apa biasanya penyakit tersebut banyak terjadi, bagaimana cara penularan-
nya, dan lain sebagainya. Semua informasi ini akan sangat membantu seorang dokter
klinik dalam usahanya untuk menegakkan diagnosa penyakit yang tepat pada
seorang individu. Sebaliknya, Ilmu Kesehatan Masyarakat juga sangat memerlukan
bantuan Ilmu Kedokteran Dasar dan Ilmu Kedokteran Klinis.

Karena saat ini pembelajaran masing-masing ilmu tersebut di kebanyakan fakultas


kedokteran dilakukan secara terpisah-pisah (tidak terintegrasi) maka diperlukan suatu
kemampuan pada mahasiswa fakultas kedokteran atau dokter yang telah ditamatkan
untuk menggabungkan semua cabang ilmu tersebut ketika mereka melaksanakan pro-
fesinya.

Beberapa contoh di bawah ini bisa menjelaskan kerja sama ketiga cabang ilmu
tersebut.

Contoh 1
Untuk mengetahui kejadian (prevalen dan insiden) sesuatu penyakit di
masyarakat, Ilmu Kesehatan Masyarakat sangat dibantu ketika harus menetap-
kan pembilang angka prevalen dan angka insiden. Pembilang kedua rate ini ialah
penduduk yang sakit. Ketika menentukan apakah seseorang dalam keadaan
sakit atau sehat, diperlukan bantuan Ilmu Kedokteran Klinik dan Ilmu Kedokteran
Dasar, yaitu ketika menegakkan diagnosa penyakit.

Contoh 2

Dalam pengembangan vaksin baru, penelitian dasar vaksin di laboratorium


dengan memakai tabung-tabung reaksi dan binatang percobaan dilakukan oleh
orang-orang yang menggeluti Ilmu Kedokteran Dasar (misalnya: imunologi,
biologi, biokimia, dll.). Untuk membuktikan apakah vaksin ini efektif atau tidak
untuk mencegah penyakit pada penduduk, adalah tugas orang-orang yang
menerapkan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sedangkan mempelajari efek samping
dan komplikasi vaksin pada individu, adalah tugas orang-orang yang menekuni
Ilmu Kedokteran Klinik.
Contoh 3
Ketika menentukan pembilang angka kematian spesifik berdasarkan penyebab
(cause specific mortality rate), seorang petugas public health amat memerlukan

2
bantuan ahli patologi anatomi, untuk melakukan bedah mayat dan memastikan
penyebab kematian orang yang meninggal.

Contoh 4

Untuk memahami Penyakit TBC secara menyeluruh, peranan masing-masing


cabang ilmu antara lain adalah seperti di bawah ini.

 Ilmu Kedokteran Dasar (misalnya: anatomi, histologi, fisiologi) mempelajari


anatomi/histologi serta fungsi sel paru-paru. Ilmu Kedokteran Dasar lainnya;
mikrobiologi, dan patologi anatomi menekuni struktur antigen kuman
penyebab, pertumbuhannya pada berbagai media, meneliti atau mencari cara
diagnostik laboratorium yang cepat, murah & akurat, meneliti resistensinya
pada obat, kekelainan pada paru-paru yang diakibatkan oleh penyakit ini dan
lain sebagainya.

 Ilmu Penyakit Dalam, mempelajari gejala klinis pasien yang terserang TBC,
menegakkan diagnosa, memberikan pengobatan yang tepat, tindak lanjut
(follow-up) penderita, dll.

 Ilmu Kesehatan Masyarakat antara lain menekuni hal-hal atau menjawab


pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

• bagaimana cara penularan TBC?,


• bagaimana perjalanan alamiah penyakitnya?,
• bagaimana distribusi TBC di masyarakat, dengan kata lain golongan penduduk
yang mana yang lebih banyak terinfeksi (siapa population at risk nya?); apakah
menyerang semua golongan umur?, apakah berbeda distribusinya pada pria
dan wanita?, apakah bervariasi kejadiannya pada berbagai strata sosial
ekonomi?, dan lain sebagainya
• faktor-faktor host apa saja yang berperan?,
• faktor-faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi?,
• berapa banyaknya penderita yang ada di masyarakat pada suatu saat (angka
prevalen)?,
• berapa jumlahnya penderita baru yang didagnosa setiap tahun (angka insiden)?,
• berapa kematian yang terjadi setiap tahun (mortality rate)?,
• bagaimana perencanaan penanggulangan penyakit TBC di suatu wilayah/di
masyarakat?, misalnya di suatu propinsi, kabupaten, kecamatan, berapa jumlah
uang yang dibutuhkan?, berapa perlu obat?, berapa tenaga pengunjung rumah
yang diperlukan?, berapa teknisi laboratorium yang perlu dilatih?, berapa tenaga
dokter yang dibutuhkan?, berapa tempat tidur di rumah sakit diperlukan untuk
penderita yang harus dirawat?, dan lain sebagainya.

Tabel 1. Perbedaan antara Dokter Public Health dan Dokter Klinik

Dokter Public Health Dokter Klinik


1. Tanggung jawabnya: semua penduduk 1. Tanggung jawabnya: terbatas pada
yang berada di wilayah kerjanya, yang individu yang sakit, dan inipun hanya

3
sehat maupun yang sakit terutama yang datang ke rumah sakit atau praktek
penduduk sakit yang tidak datang ke swastanya. Pada umumnya bersifat
tempat-tempat pelayanan ksehatan. pasif dan hanya menunggu orang sakit
Perhatian lebih ditekankan pada usaha- datang ke tempat praktek/tempat kerja-
usaha untuk mencegah agar penduduk nya. Dewasa ini dokter klinik juga telah
yang sehat tidak menjadi sakit, dan banyak yang melakukan kegiatan-
usaha-usaha untuk deteksi dini penduduk kegiatan early detection suatu penyakit
yang sakit (early detection/active case (active case finding) dengan jalan
finding dan prompt treatment). Misalnya, melaksanakan program-program screen-
tidak semua penderita TBC akan datang ing/uji saring, misalnya: pemeriksaan
ke tempat-tempat pelayanan kesehatan. EKG pada semua penduduk umur di atas
Tidak semua penderita sifilis tampak sakit 40 tahun untuk deteksi dini penyakit
dan datang berobat. Dengan demikian, jantung koroner, pemeriksaan semua
usaha-usaha petugas public health ber- wanita umur di atas 30 tahun untuk
sifat aktif (“jemput bola”). deteksi dini kanker leher rahim, dll.
2. Menggerakkan semua lapisan ma- 2. Tidak banyak menerapkan prinsip-
syarakat dan menerapkan prinsip- prinsip manajemen, dan kegiatannya
prinsip manajemen dalam pelaksana- lebih banyak bersifat kuratif dan reha-
an usaha-usaha pencegahan primer, bilitatif.
sekunder & tersier.
3. Tempat kerja: di puskesmas, dinas 3. Tempat kerja: rumah sakit, praktek
kesehatan, perusahaan dan lain-lain. swasta dan lain-lain.
4. Alat diagnostik untuk mengetahui ma- 4. Alat diagnostik untuk mengetahui
salah kesehatan di masyarakat ialah: penyakit pasien: stetoskop, EKG alat
epidemiologi, statistik, demografi. rontgen, dll.
5. Ukuran-ukurannya: proporsi, rate, 5. Ukuran-ukurannya: tekanan darah
ratio. Misalnya: proporsi penduduk pasien, kadar gula darah, gambaran
yang mati karena kecelakaan, preva- rontgen, gambaran EKG, dll.
lence rate anak balita yang kurang gi-
zi, incidence rate kanker selama 1 thn.
6. Pengobatan bagi masyarakat di wila- 6. Pengobatan bagi pasiennya ialah
yah kerjanya ialah dengan program, dengan program pengobatan misal-
misalnya: program keluarga beren- nya: obat, bedah, fisoterapi, latihan,
cana, program penanggulangan TBC, radiasi, dll.
program pengadaan air bersih, dll.
7. Evaluasi keberhasilan program ke- 7. Evaluasi keberhasilan program pe-
sehatan masyarakat: persentase pe- ngobatannya: penurunan kadar gula
nurunan penduduk yang kurang gizi, darah, penurunan berat badan, ke-
penurunan angka insiden diare, kenai- naikan Hb, dll.
kan prevalen akseptor KB, dll.

Pada Tabel-1 disajikan perbedaan tanggung jawab, perbedaan pendekatan antara


seorang petugas public health dengan seseorang yang menekuni ilmu kedokteran
klinik.

Seperti halnya Ilmu Kedokteran Klinis yang memerlukan berbagai alat (tensimeter,
stetoskop, alat periksa jantung, dll), untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit pada
seorang pasien maka untuk mengidentifikasi masalah-masalah kesehatan yang ada di

4
masyarakat, Ilmu Kesehatan Masyarakat juga memerlukan berbagai alat atau metoda.
Salah satu dari metoda tersebut ialah epidemiologi, sedangkan metoda lainnya yaitu
demografi dan statistik.

Epidemiologi adalah suatu pendekatan sistematis yang dipakai untuk mendiagnosa


masalah kesehatan di masyarakat untuk kemudian mencarikan alternatif pemecahan-
nya.

Sampai saat ini, prioritas penempatan dokter di Indonesia masih tetap di


puskesmas. Sebagian kecil di rumah sakit pemerintah, wajib militer, perguruan tinggi,
atau rumah sakit swasta. Sebagian besar dokter yang bekerja di puskesmas juga
melakukan praktek swasta perorangan pada sore harinya. Ketika bekerja sebagai
dokter puskesmas pada pagi harinya, mereka adalah dokter public health. Sebagian
besar ilmu yang mereka harus terapkan adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ketika
praktek swasta sore harinya atau bila bekerja di rumah sakit, pendekatannya lebih
banyak bersifat klinik. Dengan demikian, dokter puskesmas harus menguasai dan
trampil dalam kedua bidang ilmu ini, sedangkan dokter yang hanya bekerja di rumah
sakit, Ilmu Kesehatan Masyarakat juga diperlukan, tetapi pekerjaannya sehari-hari lebih
banyak berorientasi klinik.

Ruang Lingkup Epidemiologi

Di masa lampau, ruang lingkup epidemiologi hanya terbatas untuk mempelajari


keadaan epidemi (wabah) dan inipun hanya terhadap wabah penyakit-penyakit infeksi
saja. Dewasa ini epidemiologi dipakai untuk mempelajari segala aspek kehidupan.
Dipakai untuk mempelajari distribusi atau etiologi penyakit maupun bukan penyakit,
penyakit infeksi maupun non-infeksi, keadaan epidemi maupun bukan epidemi, dipakai
oleh dokter public health maupun oleh dokter klinik, bahkan dipakai oleh presiden
untuk menganalisis masalah politik di negaranya. Juga dipakai oleh direktur rumah sakit
untuk merencanakan tempat tidur di rumah sakitnya, merencanakan logistik yang
diperlukan atau menilai kinerja pelayanan yang telah dilakukan, memahami penyakit-
penyakit nosokomial (penyakit-penyakit yang sumber infeksinya adalah di rumah sakit
itu sendiri). Sering pula dipakai oleh dokter klinik untuk mengetahui survival rate
(berapa lama pasien diperkirakan hidup sejak diagnosa ditegakkan), efektifitas program
pengobatan, akurasi alat diagnostik, dll.

Definisi Epidemiologi

Definisinya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ruang


lingkupnya. Epidemiologi berasal dari kata epi yang berarti pada, demos artinya
penduduk, dan logi berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara harfiah epidemiologi berarti
ilmu pengetahuan yang berorientasi pada semua penduduk. Berikut ini dicantumkan
perkembangan definisi epidemiologi di masa lalu dan definisi yang dianut dewasa ini.

1. Hirsch (1883), dalam bukunya: Handbook of Geographical and Historical Pathology


memberikan definisi sebagai berikut:

Gambaran dan distribusi kejadian/penyakit dan tipe penyakit pada manusia


dalam waktu yang tertentu, pada tempat-tempat yang berbeda di permuka-
an bumi ini dan dalam hubungannya dengan kondisi eksternal.

5
2. Frost (1927) memberikan definisi sbb:

Ilmu tentang fenomena penyakit infeksi, atau perjalanan alamiah penyakit-


penyakit infeksi.

3. Plunkett & Gordon (1960), dalam bukunya: Epidemiology and Mental Illness.

Epidemiologi ialah : Pengamatan kejadian penyakit di masyarakat, serta


interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dengan mempelajari
keadaan sehat dan sakit dari keseluruhan interaksi tersebut.

4. Morris (1964), dalam bukunya: Uses of Epidemiology

Dengan kalimat pendek memberikan definisi epidemiologi sebagai berikut:


Studi health & diseases di masyarakat.

5. Mac Mahon, Pugh dan Ipsen (1960) memberikan definisi sbb:

Ilmu yang mempelajari distribusi suatu penyakit atau kejadian lainnya di


masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, untuk mencari cara
penanggulangannya.

Definisi yang dianut sampai dengan saat ini ialah definisi yang dikemukakan oleh
Mac Mahon dan kawan-kawan. Kalau dikaji definisi tersebut, epidemiologi mem-pelajari
penyebaran penyakit atau kejadian bukan penyakit yang terjadi pada suatu kelompok
penduduk dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan atau yang mem-pengaruhi
penyebaran penyakit tersebut. Ini berarti bahwa penyebaran suatu penyakit di
masyarakat tidaklah terjadi begitu saja secara random (acak), tetapi berbeda pada satu
kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya karena ada faktor penye-
babnya. Karena itu, distribusinya yang tidak sama ini bisa dipakai sebagai dasar untuk
mempelajari atau meneliti etiologinya. Bila faktor-faktor penyebabnya sudah diketahui
maka pencegahan atau penanggulangannya akan jauh lebih mudah.

Dari definisi yang terakhir ini (Mac Mahon, dkk.) pembahasan epidemiologi akan
dibagi menjadi dua yaitu: epidemiologi deskriptif dan epidemiologi analitik. Epi-
demiologi deskriptif mempelajari distribusi penyakit atau kejadian lainnya di masya-
rakat, sedangkan epidemiologi analitik mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi tersebut.

6
Sejarah Perkembangan Epidemiologi

Sebenarnya epidemiologi telah mulai dibahas oleh Hipocrates sekitar 2400 tahun
yang lalu, tetapi setelah itu, perkembangannya agak mandek karena dikalahkan oleh
perkembangan ilmu matematika, fisika, ilmu alam dan astronomi yang perkembangan-
nya amat pesat di kala itu. Ilmu kedokteran termasuk epidemiologi kemudian baru
berkembang dengan pesat setelah tahun 1800-an, terutama setelah diketemukannya
mikroskop. Bila dilihat sejarahnya, ada 4 tonggak penting dalam perkembangannya
seperti diuraikan di bawah ini.

1. Tonggak I: Terjadinya penyakit yang dihubungkan dengan faktor lingkungan

Sekitar tahun 450 sebelum masehi, Hipocrates pada dasarnya telah memasukkan
unsur Ilmu Epidemiologi dalam Ilmu Kedokteran yang dia geluti, walaupun tidak
selengkap epidemiologi saat ini. Hal ini terbukti dari buku-buku kedokteran yang
ditulisnya. Dalam salah satu bukunya yang berjudul: On Airs, Waters & Places, dia
telah menghubungkan kejadian penyakit dengan lingkungan, misalnya terjadinya
penyakit yang dipengaruhi oleh arah angin, sumber air minum, curah hujan, dan lain
sebagainya. Sampai saat ini buku tersebut dianggap sebagai salah satu buku teks
epidemiologi yang pertama. Hipocrates dilahirkan tahun 460 dan meninggal tahun 355
sebelum masehi.

2. Tonggak II: Penghitungan kejadian penyakit di masyarakat

Setelah sekitar 2000 tahun dari tonggak I kemudian muncul suatu perkembangan
yang amat penting. Sekitar tahun 1600 kejadian kematian dan kesakitan di masyarakat
mulai dihitung. Sebelum itu tidak pernah diketahui berapa jumlah kelahiran, kematian
atau penduduk yang sakit. Pada tahun 1662 John Graunt menulis sebuah buku yang
berjudul: Natural and Political Observartions, upon the Bills of Mortality. Dalam
bukunya ini Graunt memaparkan jumlah penduduk kota London yang lahir dan mati
menurut jenis kelamin, umur, tempat tinggal, musim, dll. Dikemukakan bahwa kematian
bervariasi sesuai dengan musim. Anak umur di bawah satu tahun mempunyai angka
kematian yang tinggi. Kelahiran dengan jenis kelamin laki lebih banyak dibanding
perempuan, dll. Jaman ini dianggap sebagai tonggak kuantifikasi dan pemakaian
statistik dalam bidang kesehatan.

3. Tonggak III: Eksperimen alamiah (natural experiments)

Pada tahun 1854, tepatnya dari tanggal 8 Juli sampai dengan 26 Agustus 1854
terjadi wabah penyakit muntah-berak di London. Pada saat itu belum diketahui bahwa
penyebab penyakit tersebut adalah Vibrio cholera. Sebelum itu, teori yang dianut ialah
bahwa penyakit ini disebabkan oleh udara buruk. John Snow, seorang dokter ahli
bius/anaestesi (lahir tahun 1813, meninggal tahun 1858), dengan jalan melakukan
analisis data kematian muntah berak pada saat wabah tersebut telah berhasil
membuktikan bahwa penyakit ini disebabkan oleh karena air minum yang tercemar dan
bukan oleh karena polusi udara/udara buruk.

Pengadaan air minum di Kota London dilaksanakan oleh beberapa perusahan air
mimun swasta, dan mereka bersaing untuk mendapatkan langganan. Karena itu

7
seringkali rumahtangga yang satu dengan rumahtangga lainnya walaupun bertetangga,
dilayani oleh perusahan air minum yang berbeda. Hampir semua perusahan air minum
di London saat itu memakai air Sungai Thames sebagai sumber. Ada yang mengambil
air agak ke hulu dan ada yang agak ke hilir. Semakin ke hilir, tingkat pencemaran air
sungai tersebut semakin tinggi. Pada waktu terjadinya wabah tersebut, sumber air
minum perusahan Southwark dan Vauxwall dalam keadaan tercemar. Seolah-olah
seperti dilakukan suatu eksperimen dimana semua rumahtangga yang dilayani oleh
kedua perusahan ini air minumnya "diisi" kuman kolera. Kejadian tidak disengaja seperti
ini kemudian disebut sebagai eksperimen alamiah.

Yang menyebabkan John Snow dan William Farr amat tertarik dengan kejadian
tersebut ialah: seandainya penyakit ini disebabkan oleh udara buruk, mengapa
penduduk yang satu kena muntah berak sedangkan yang lainnya tidak, walaupun
mereka bertetangga?. Kemudian terlihat bahwa langganan/sumber air minum mereka
ternyata berbeda. Data kematian akibat muntah berak pada waktu wabah tersebut
kemudian ditabulasi oleh John Snow sesuai dengan sumber/perusahan air minum
penduduk dan hasilnya disajikan pada Tabel 2, dimana ratio angka kematian penduduk
yang berlangganan pada Southwark & Vauxhall dan Lambeth ialah 4,2/0,5 yang berarti
risiko kematiannya sebesar 8,4 kali lebih besar.

Tabel 2
Kamatian karena muntah berak di London, 8 Juli - 26 Agustus 1854
dikelompokkan berdasarkan perusahan air minumnya*
Perusahaan air minum Jumlah penduduk yang Jumlah yang mati Mortality rate
menjadi pelanggan karena per 1000
muntah berak penduduk
Southwark & Vauxhall 98. 862 419 4,2
Lambeth 154.615 80 0,5
*
Sumber : Mac Mahon (1970)

Eksperimen alamiah lainnya yang juga sering disebut-sebut dalam buku teks ialah
kejadian penyakit kaki hitam (blackfoot disease), yaitu terjadinya gangguan pada
pembuluh darah tepi di kaki yang kemudian menyebabkan kaki mengalami gangren
(berwarna hitam dan menjadi busuk). Kejadian ini terjadi di Taiwan, yang dilaporkan
oleh Chen dan Wu (1962). Penyakit ini banyak dijumpai pada penduduk yang
mengambil air minum dari sumur artesis, dan sedikit dijumpai pada penduduk yang
mengambil air minum dari sumur dangkal. Wabah tersebut segera menghilang ketika
di daerah yang penduduknya banyak terjangkit diberikan air minum dari pipa.
Sedangkan penyebab penyakitnya sendiri baru diketahui belakangan yaitu adanya
arsen dalam air sumur artesis. Pada kejadian tersebut sebagian penduduk seolah-
olah "diberikan" arsen dan sebagian lainnya tidak.

Pada dua contoh di atas, kejadiannya terjadi tanpa disengaja (natural), dimana se-
olah-olah satu kelompok penduduk diberikan penyebab penyakit (kuman kolera, arsen)
dan kelompok penduduk lainnya tidak diberikan (eksperimen). Masih banyak contoh
lainnya, seperti peledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, serta kecelakaan ins-
talasi nuklir di Cernobil (Rusia).

4. Tonggak IV: Eksperimen yang sesungguhnya (studi intervensi)

8
Perkembangan penting lainnya yang perlu pula mendapat tanda khusus ialah
pemakaian epidemiologi untuk eksperimen pada manusia untuk pembuktian kausa
suatu penyakit atau untuk mencegah terjadinya penyakit, misalnya:

• Eksperimen pencegahan penyakit scurvy (gusi berdarah) dengan memberikan


buah jeruk segar kepada awak kapal yang dilakukan oleh Lind tahun 1747.
Dokter Lind adalah seorang dokter yang sering mengikuti ekspedisi Bangsa
Eropah untuk mencari tanah baru. Pada saat itu bahan makanan di kapal untuk
keperluan berbulan-bulan/tahun (terutama daging) diawetkan dengan memakai
rempah-rempah. Setelah berlayar beberapa bulan Lind menemukan banyak
awak kapalnya yang menderita gusi berdarah. Lind menduga bahwa pe-
nyebabnya adalah karena kurang buah segar. Untuk membuktikan dugaannya
secara sengaja kemudian Lind membagi awak kapalnya menjadi dua kelompok.
Satu kelompok diberikan buah segar dan satu kelompok lainnya tidak diberikan.
Lind menemukan bahwa % awak kapal yang menderita gusi berdarah pada
kelompok yang tidak diberi buah segar jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok
yang mendapat buah segar. Penyebab penyakitnya sendiri, yaitu kekurangan
vitamin C baru diketahui sekitar 200 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1928.

• Pencegahan penyakit cacar dengan vaksin oleh Jenner (tahun 1796), dima-
na satu kelompok penduduk diberikan vaksin cacar dan satu kelompok lainnya
tidak diberikan apa-apa. Angka insiden cacar pada kelompok yang mendapat
vaksin kemudian dibandingkan dengan kelompok yang tidak dapat vaksin.

• Eksperimen pembuktian penyebab penyakit pellagra (defisiensi niasin) oleh


Goldberger, tahun 1915. Caranya sama dengan yang dilakukan oleh Jenner.

• Eksperimen pengobatan penyakit biri-biri (defisiensi vitamin B1) di Kualalum-


pur oleh Fletcher (tahun 1905). Fletcher juga merupakan pelopor pemakaian
tehnik randomisasi dalam eksperimennya karena dialah yang pertama kali
secara acak atau secara random memberikan beras yang ditumbuk halus
pada satu kelompok dan beras yang tidak ditumbuk halus pada kelompok
lainnya. Belakangan baru diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh
kekurangan vitamin B1 dan vitamin B1 banyak terdapat pada kulit beras. Cara-
nya sama dengan yang dilakukan oleh Jenner dan Goldberger, hanya saja ke-
lompok yang mendapat intervensi yaitu beras yang ditumbuk halus dan yang
tidak, dipilih secara random (diundi).

Pemakaian Epidemiologi
Seperti telah diuraikan di depan bahwa epdemiologi adalah suatu ketrampilan yang
dipakai sebagai "senjata"/alat/tool bagi petugas public health seperti halnya alat EKG
bagi dokter spesialis jantung. Bila EKG dipakai untuk mengetahui ada/tidaknya kelainan
jantung seorang pasien, untuk mengetahui berat/ringannya kelainan jantung, atau
mengetahui perkembangan penyakit jantung, maka pemakaian epidemiologi bagi
petugas public health adalah seperti diuraikan di bawah ini.

9
1. Untuk mengetahui peningkatan dan penurunan kejadian suatu penyakit di ma-
syarakat

Untuk mengetahui kejadian penyakit di masyarakat, angka insiden dan prevalen


harus dihitung. Tehnik menghitung angka-angka ini dipelajari dalam epidemiologi.
Dengan mengumpulkan data secara berlanjut, maka penurunan atau peningkatan
kejadian penyakit bisa diketahui. Hal ini akan diuraikan lagi pada pembahasan
tentang surveilens.

2. Untuk mendiagnosa masalah kesehatan masyarakat

Untuk mengetahui diagnosa atau masalah kesehatan masyarakat di suatu wila-


yah, epidemiologi dipakai dengan jalan menghitung ratio, proporsi, angka prevalen,
angka insiden, mortalitas suatu penyakit atau kejadian lainnya berdasarkan tempat
(place/where), waktu (time/when), dan karakteristik penduduk (person/who).
Seperti halnya EKG bagi seorang ahli penyakit jantung yang dipakai untuk
mengetahui bagaimana keadaan jantung seorang pasiennya, otot jantungnya yang
mana mengalami gangguan, dst. Dengan diketahuinya diagnosa secara lebih pasti
(dengan bantuan EKG tadi) maka ahli penyakit jantung tersebut akan bisa
memberikan terafi dengan lebih tepat. Bila alat EKG nya rusak atau pemakainya
kurang trampil, diagnosa bisa keliru dan akibatnya bisa fatal karena terafinya juga
akan keliru.

Demikian pula halnya petugas public health, yang dengan bantuan epidemiologi
akan bisa mengetahui pada siapa angka insiden/prevalen suatu penyakit dijumpai
paling tinggi (WHO), dimana paling tinggi (WHERE) dan kapan paling tinggi (WHEN).
Bila hal ini telah diketahui dengan pasti maka program kesehatan untuk mengatasi
masalah tersebut bisa dilaksanakan dengan lebih tepat. Bila salah menghitung
angka insiden, angka prevalen, proporsi, rasio, maka diagnosanya juga akan keliru,
dan akibatnya juga bisa fatal karena program kesehatan yang dilaksanakan untuk
mengatasi masalah tersebut akan salah sasaran.

3. Untuk mempelajari atau meneiliti perjalanan alamiah suatu penyakit

Epidemiologi juga dipakai untuk mempelajari sekelompok penduduk yang menderita


suatu penyakit (lihat Bagan 11). Sekelompok penduduk yang belum sakit tetapi at
risk untuk menderita suatu penyakit tertentu diamati, dan yang sakit kemudian diikuti
perjalanannya. Setiap penyakit mempunyai perjalanan/perkembangannya sendiri-
sendiri. Misalnya, sejumlah penduduk yang terinfeksi oleh virus hepatitis B diikuti,
kemudian dihitung: berapa lama rata-rata masa inkubasinya, berapa % yang mem-
beri gejala klinis, berapa % yang inapparent infection, berapa % yang fatal, berapa
% yang sembuh spontan, berapa % yang menjadi khronis, berapa % menjadi sirosis
hepatis, berapa % menjadi kanker hati, dan kemungkinan perkembangan lainnya
(lihat Bagan 11).

4. Menghitung atau memperkirakan besarnya risiko (kemungkinan) seseorang


untuk terkena suatu penyakit dan menghitung kemungkinan lama hidup sete-
lah mendapat pengobatan tertentu (survival rate).

10
Bila angka insiden suatu penyakit dalam 1 tahun sebesar 6 per 1000, maka ini berarti
bahwa besarnya risiko seseorang untuk menderita penyakit adalah 0,006.
Perhitungan-perhitungan seperti ini juga dipelajari dalam epidemiologi. Demikian
pula halnya ketika menghitung survival rate. Misalnya: 100 orang penderita kanker
payudara yang mendapat pengobatan dengan pembedahan. Seratus penderita ini
kemudian terus diamati, dan dihitung berapa % yang masih hidup setelah satu
tahun, berapa % hidup setelah lima tahun dan seterusnya.

5. Untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan efektivitas pelayanan kesehatan


masyarakat

Epidemiologi juga banyak sekali dipergunakan dalam manajemen, yaitu ketika


merencanakan dan menilai (evaluasi) keberhasilan/efektivitas suatu program
kesehatan di masyarakat. Misalnya, sebelum memulai program gizi, terlebih dahulu
harus diketahui berapa % parevalen kurang gizi di wilayah tersebut, penduduk mana
saja yang lebih banyak mempunyai masalah gizi (person), di daerah-daerah mana
masalahnya lebih banyak dijumpai (place), dan kapan saja masalah tersebut muncul
(time). Setelah hal-hal ini semuanya diketahui dengan jelas, maka program bisa
direncanakan dengan lebih baik, lebih terarah, lebih tepat. Demikian pula ketika
menilai keberhasilan program.

6. Untuk mengetahui penyebab/etiologi suatu penyakit

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa epidemiologi adalah "senjata" yang amat penting
untuk membantu mengungkapkan/mengetahui penyebab suatu penyakit. Contoh
klasik ialah: pengungkapan penyebab penyakit muntah berak oleh John Snow.
Contoh lain adalah pengungkapan penyebab AIDS pada awal tahun 1980. Pada saat
itu penyebab AIDS belum diketahui. Dari data epidemiologis di Negara Bagian
California, USA, terlihat bahwa angka insiden AIDS dijumpai lebih tinggi pada
kalangan gay dibandingkan penduduk lainnya. Data epidemiologis ini kemudian
memberi petunjuk bahwa ada kemungkinan bahwa AIDS ditularkan melalui hu-
bungan seksual. Dengan petunjuk ini, pencarian mikroorganisme penyebab (oleh
para ahli Ilmu Kedokteran Dasar) kemudian lebih difokuskan pada sperma para
pasien AIDS. Akhirnya pada pertengahan tahun 1980-an telah berhasil diidentifikasi
penyebabnya yaitu sejenis virus yang kemudian diberi nama HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Secara lebih rinci pemakaian epidemiologi untuk
mengungkapkan penyebab penyakit, terutama penyakit-penyakit non-infeksi akan
dibahas lebih lanjut dalam epidemiologi analitik.

============

11
BAB 2
KONSEP TERJADINYA PENYAKIT
PERJALANAN ALAMIAH DAN
TAHAP-TAHAP PENCEGAHANNYA
Konsep Terjadinya Penyakit

Konsep terjadinya penyakit sering pula disebut dengan istilah teori atau model
terjadinya penyakit. Karena ilmu yang kita pelajari adalah ilmu kedokteran manusia,
maka pembahasan selanjutnya dibatasi hanya pada teori atau konsep terjadinya
penyakit pada manusia saja. Dalam pembahasan tentang teori terjadinya penyakit,
istilah host, tuan rumah, hospes dan penjamu akan dipakai secara bergantian. Ketiga
istilah ini mempunyai arti yang sama. Dalam Ilmu Kedokteran Manusia, host nya adalah
manusia, sedangkan dalam Ilmu Kedokteran Hewan, host nya bisa bermacam-macam,
misalnya: anjing, kuda, kucing, dll. Ada beberapa penyakit yang host-nya binatang
tetapi bisa menular ke manusia. Penyakit seperti ini disebut zoonosis, misalnya: rabies,
anthrak, bruselosis, dll. Penyakit-penyakit ini akan dibahas dalam bab aspek
epidemiologis penyakit-penyakit infeksi. Selain host, ada pula istilah agent, yang artinya

12
penyebab penyakit. Untuk penyakit infeksi, yang menjadi agent ialah kuman
penyebabnya, misalnya vibrio kolera, mikobakterium tuberkulosa, virus HIV, dll.
Sedangkan untuk penyakit-penyakit non-infeksi yang menjadi agent misalnya:
kendaraan bermotor untuk kecelakaan lalu lintas, radiasi untuk leukemia, tembakau
untuk kanker paru-paru, rumahtangga yang tidak harmonis untuk anak yang kecanduan
obat bius, dan lain sebagainya.

Teori yang paling sederhana untuk terjadinya penyakit pada seorang individu atau
sekelompok penduduk di masyarakat, ialah seperti terlihat pada Bagan 1. Akan tetapi
kuman saja tidaklah cukup untuk timbulnya penyakit pada seorang individu atau
sekelompok penduduk di masyarakat, tetapi masih tergantung oleh faktor host-nya
sendiri misalnya daya tahan tubuh masing-masing individu (imunitas), personalitas,
komposisi gen masing-masing individu, dll. Hal ini jelas kelihatan bila sekelompok
penduduk sama-sama terinfeksi oleh sesuatu kuman. Sebagian penduduk menjadi
sakit tetapi sebagian lainnya tetap sehat. Selain itu, masih ada faktor lainnya, yakni
faktor lingkungan.

Bagan 1

ORGANISME PENYEBAB MANUSIA PENYAKIT

Dengan demikian, kuman saja tidak bisa dikatakan sebagai penyebab tunggal untuk
terjadinya penyakit, tetapi oleh banyak faktor atau disebut pula penyebab yang
majemuk (multifactorial). Salah satu faktor yang harus ada (sine qua non), disebut
sebagai agent. Misalnya: untuk terjadinya penyakit tuberkulosa, maka kuman mikobak-
terium tuberkulosa harus ada, dan inilah agent penyakit tsb. Untuk kecelakaan lalu
lintas, kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya sebagai agent-nya.

Dengan demikian agent penyakit bukanlah kuman/mikroorganisme saja, tetapi bisa


bermacam-macam. Dalam garis besarnya, bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu:

• Biologis, misalnya: bakteri, parasit, virus, riketsia.


• Fisik/kimiawi, misalnya: timah hitam, karbon monoksida, sinar ultraviolet, cua-
ca, iklim, curah hujan, arah angin, dll.
• Sosial, yang masih bisa dikelompokkan menjadi sosial-ekonomi (misalnya:
kemiskinan, pendidikan), sosial-budaya (misalnya: adat-istiadat, kebiasaan),
sosial-politik (misalnya: situasi politik, sistim kenegaraan, demokrasi, tingkatan
korupsi, dll), sosial-psikologis (misalnya: hubungan yang tidak serasi dalam
keluarga, dll.).

1. Model Segi Tiga

Hubungan atau interaksi antara ketiga faktor di atas (host, agent, lingkungan) bisa
digambarkan dalam bentuk segi tiga (Bagan 2). Hubungan segi tiga tersebut populer
dengan sebutan segi tiga epidemiologi (the epidemiologic triangle).

13
Bagan 2. Model Segi Tiga

Host

Agent Lingkungan

Konsep/teori terjadinya penyakit seperti di atas disebut pula konsep ekologi. Kalau
dilihat konsep ekologi ini maka agent memang diperlukan untuk timbulnya suatu
penyakit tetapi belum cukup, sebab untuk bisa terjadinya penyakit diperlukan suatu
keadaan yang cocok, baik buat agent, lingkungan maupun host. Model ini dipakai sejak
lama. Untuk memahami, mempelajari, menganalisa atau memperkirakan gambaran
sesuatu penyakit, masing-masing komponen tersebut harus dianalisa dan dimengerti
terlebih dahulu. Perubahan pada salah satu komponen, akan menciptakan suatu kese-
imbangan baru, bisa menaikkan atau bisa pula menurunkan frekuensi sesuatu penyakit
di masyarakat. Jadi, penyakit akan terjadi bila ada ketidak seimbangan di antara
ketiga komponen tersebut. Sebagai contoh: tidak akan terjadi penyakit pada individu,
walaupun ada agent, asalkan daya tahan tubuh host cukup kuat. Pada kondisi
lingkungan yang sama, ada agent, tetapi bila daya tubuh host menurun (ada suatu
keadaan yang tidak seimbang), maka terjadi penyakit. Demikian pula halnya di
masyarakat. Ada vibrio kolera, tetapi tidak terjadi wabah selama volume air sumur
penduduk masih tinggi. Tetapi begitu volume air sumur berkurang yang akan
menyebabkan konsentrasi vibrio kolera meningkat, maka sering kali terjadi wabah.
Pada contoh ini ada ketidak seimbangan/perubahan pada faktor lingkungan. Catatan:
infeksi oleh vibrio kolera amat ditentukan oleh jumlah (dosis) kuman yang masuk ke
dalam perut.

Pemahaman Faktor Ekologis dan Usaha Penanggulangan Penyakit

Penyebab penyakit yang multifactorial seperti dipaparkan di atas memang sangat


perlu dipahami dalam usaha untuk menanggulangi atau mencegah sesuatu penyakit,
tetapi tidaklah mutlak harus demikian. Seringkali terjadi dimana pencegahan/penang-
gulangan beberapa penyakit telah berhasil dilaksanakan dengan sukses padahal
penyebab penyakitnya sendiri pada saat tersebut belum diketahui. Sebagai contoh:
penyakit scurvy sudah berhasil ditanggulangi oleh Lind pada tahun 1747 sebelum
penyebabnya sendiri diketahui pada saat itu. Penyakit ini akhirnya diketahui disebabkan
karena defisiensi Vitamin C, dan vitamin C baru diketahui/bisa diisolasi pada tahun
1928. Demikian pula halnya dengan penyakit jantung koroner dan stroke saat ini,
walaupun penyebabnya belum dipahami seluruhnya, usaha-usaha untuk mengurangi
kematian akibat penyakit tersebut sudah bisa dilakukan.

Untuk menanggulangi dan mencegah penyakit di masyarakat, banyak faktor ekolo-


gis yang perlu dipahami. Misalnya, dalam usaha untuk merencanakan penanggulangan
penyakit malaria, maka perlu sekali dipahami terlebih dahulu bahwa ada spesies
nyamuk anopheles yang suka bertelur pada air tergenang yang mendapat sinar
matahari langsung. Ketika pohon-pohon yang menaungi rawa-rawa dibabat oleh
manusia untuk kayu bakar maka populasi nyamuk meningkat, dan wabah penyakit

14
malaria amat sering terjadi. Ada pula jenis nyamuk anopheles lain yang selain suka
menggigit manusia suka pula menggigit binatang antara lain kerbau dan sapi. Ketika
kerbau dan sapi populasinya berkurang, karena telah diganti dengan "kerbau dan sapi"
buatan Jepang (traktor), kejadian malaria meningkat dengan drastis. Pada contoh-
contoh ini kelihatan bahwa kejadian penyakit meningkat karena terjadinya ketidak
seimbangan faktor-faktor host, agent, lingkungan.

2. Model Roda (Wheel Model)

Bila memakai teori segitiga, seringkali agak sulit dipisahkan secara tegas antara
faktor host dan lingkungan. Misalnya kebiasaan penduduk yang berganti-ganti pasang-
an seksual adalah salah satu faktor untuk meningkatnya angka insiden dan angka
prevalen penyakit menular seksual (sifilis, gonore, AIDS, dll). Apakah hal ini termasuk
faktor host atau lingkungan?. Pada penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme (parasit, bakteri, virus, dll.), maka bakterinya sendiri adalah agent
(penyebab infeksi), dan ini terpisah dari faktor lingkungan. Namun, pada sebagian
penyakit lainnya, penyebabnya tidak spesifik seperti halnya bakteri, seperti misalnya:
penyakit jantung koroner, kanker, sisofrenia (penyakit jiwa), stroke, hipertensi, dan
sederetan penyakit lainnya. Pada penyakit-penyakit seperti ini maka agent-nya tidak
bisa dipisahkan secara jelas dengan lingkungan (merupakan bagian dari lingkungan).
Dengan demikian tinggallah interaksi antara host dan lingkungan saja. Penganut teori
roda lebih menekankan faktor lingkungan untuk terjadinya penyakit. Konsep atau model
terjadinya penyakit seperti ini digambarkan seperti Bagan 3. Pada model ini, agent
tidak lagi kelihatan secara jelas. Faktor host sering pula disebut sebagai faktor
intrinsik, dan faktor lingkungan sebagai faktor ekstrinsik.

Bagan 3. Model Roda (Wheel Model)

Host (dalam hal ini manusia) merupakan pusat dari roda dengan faktor genetik
sebagai intinya. Host dikelilingi oleh faktor-faktor lingkungan (biologis, sosial, dan fisik).
Besar kecilnya masing-masing komponen pada roda tersebut bervariasi pada masing-
masing penyakit. Umpamanya: untuk penyakit-penyakit keturunan (herediter), maka inti
roda (faktor genetik) menempati proporsi yang relatif besar. Pada penyakit
campak/morbili, inti roda (faktor genetik) kurang begitu penting, tetapi tingkat imunitas
host dan lingkungan biologis memegang peranan yang penting. Pada model ini seperti
halnya Web Model, menekankan pada penyebab majemuk untuk terjadinya penyakit
tanpa memusatkan perhatian yang semata-mata hanya pada agent saja. Contoh lain:
penyakit rabies, yaitu penyakit pada binatang (anjing, kucing, kelelawar, dll), dimana

15
pada penyakit ini binatang sebagai reservoar jauh lebih penting dibandingkan virusnya
sendiri (agent penyakit).

2.1 Faktor intrinsik (host)

Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan di sekelilingnya bisa menimbulkan


terjadinya suatu penyakit. Untuk beberapa penyakit tertentu, interaksi ini jelas terlihat,
tetapi ada pula yang samar-samar. Ada beberapa penyakit yang berdasarkan bebera-
pa penelitian tumbul karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Misalnya: orang yang mempunyai golongan darah A (faktor genetik) mempunyai
kecenderungan untuk menderita kanker pada gaster (berdasarkan penelitian Aird dan
kawan-kawannya pada tahun 1955), sedangkan yang bergolongan darah 0, cendrung
menderita kanker duodenum (Clark, dkk. 1955). Erikson tahun 1965 menemukan
bahwa difisiensi suatu enzim yaitu enzim alpha-l-antitrypsin dikaitkan dengan terjadinya
penyakit obstruksi paru-paru menahun. Selain menyebabkan terjadinya penyakit,
kelainan genetik ada pula yang menguntungkan, misalnya: dari hasil pengamatan
Allison (tahun 1954), kelainan pada sel-sel darah merah karena kelainan genetik (cycle
cel anemia), dijumpai lebih jarang menderita penyakit malaria.

Personalitas (kepribadian) seseorang juga merupakan faktor intrinsik. Namun


kadang-kadang amat sukar untuk dibedakan apakah sesuatu penyakit timbul murni
oleh karena personalitas (intrinsik) atau oleh faktor lingkungan (ekstrinsik). Bosenman
dan kawan-kawan (tahun 1970) menemukan bahwa pada orang-orang yang disebut-
kannya mempunyai kharakter tipe A banyak menderita penyakit jantung koroner. Tipe
A, mempunyai sifat-sifat yang agresif, mempunyai rasa bersaing dan ambisi tinggi,
jarang istirahat, tergesa-gesa dan selalu dikejar-kejar waktu. Kebalikannya adalah tipe
B (suka santai, tidak peduli, ambisi rendah, tidak suka bersaing) dijumpai lebih jarang
menderita penyakit jantung koroner.

Masih banyak sekali tanda tanya besar yang masih berkecamuk dibenak para ahli
epidemiologi sampai dewasa ini. Masih amat banyak hal-hal yang belum bisa diterang-
kan tentang peranan dari faktor host pada timbulnya sesuatu penyakit. Misalnya
mengapa pada sekelompok orang yang menderita radiasi dalam intensitas yang sama,
hanya beberapa orang saja yang menderita leukemia. Mengapa hanya beberapa saja
dari perokok-perokok berat yang akhirnya menderita kanker paru-paru.

2.2 Faktor lingkungan (ekstrinsik)

Faktor lingkungan lazimnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu: lingkungan biologis,


fisik, dan sosial.

(a). Lingkungan biologis

• Termasuk penyebab penyakit (agent)


• Reservoir, yaitu tempat dimana kuman hidup dan berkembang biak. Sebagian
besar penyakit infeksi, reservoir-nya adalah manusia, misalnya: kolera, TBC,
AIDS. Ada pula yang reservoir-nya binatang, misalnya: tetanus, dan ada pula
binatang, misalnya: rabies, antrak, bruselosis.

16
• Vektor (binatang yang bisa menularkan penyakit, misalnya: nyamuk, sejenis
keong untuk sistosomiasis, lalat, dll.)
• Tumbuh-tumbuhan, binatang (misalnya anjing yang menjadi salah satu penye-
bab seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan raya di Bali).

(b). Lingkungan fisik

Yang termasuk lingkungan fisik misalnya: panas, cahaya, udara radiasi, tekanan
atmosfer, kelembaban, curah hujan, iklim, arah angin, bahan-bahan kimia, dsb. Di
negara-negara yang telah mampu mengembangkan tehnologinya (negara-negara
maju), lingkungan fisik sebagian boleh dikatakan sudah bisa dikendalikan, misalnya
dengan membuat rumah atau pemukiman sedemikian rupa yang bisa terhindar dari
suhu tinggi atau kedinginan, tehnik-tehnik pembersihan air dan penanggulangan
sampah yang canggih. Di musim dingin mereka mempergunakan alat pemanas di
dalam rumah, sedangkan di musim panas memakai alat penyejuk ruangan. Dengan
demikian boleh dikatakan mereka telah mampu mengendalikan pengaruh sebagian
lingkungan fisik sehingga tidak lagi tergantung pada cuaca atau keadaan alam di luar
rumah. Tetapi masalah lingkungan lainnya kemudian muncul, misalnya: polusi udara,
lobang ozon yang semakin menganga, dan lain sebagainya.

(c). Lingkungan sosial

Termasuk dalam kelompok ini ialah sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya,
sosial psikologis, dll. Sebagai contoh: keadaan sosial ekonomi masyarakat sudah
jelas akan mempengaruhi kejadian dan kematian karena penyakit-penyakit tertentu.
Keadaan politik suatu negara akan berperan pada sarana kesehatan yang disediakan
bagi masyarakatnya, terhadap lemah/ketatnya sistim pengawasan (ingat kasus biskuit
dan impor gelap sampah beracun), peraturan-peraturan dan undang-undang yang
diterapkan oleh penguasa negara di bidang kesehatan, polusi, perbaikan lingkungan,
dsb.

Kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat masyarakat tertentu (sosial budaya) juga


akan mempengaruhi keadaan kesehatan mereka. Misalnya: kebiasaan makan dan
minum makanan mentah menyebabkan ancaman pada penyakit cacing pita, penyakit-
penyakit perut, dll. akan meningkat. Tabu (pantangan terhadap makanan-makanan
tertentu) akan menyebabkan kurang gizi. Kebiasaan tidak memakai sandal akan
meningkatkan kejadian penyakit cacing tambang. Kebiasaan buang air besar di
sembarang tempat, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

3. Model Sarang Laba-Laba (Web Model)


Pada model roda faktor host seolah-olah terpisah dengan faktor lingkungan. Pada
Model Web faktor host dan faktor lingkungan saling berkaitan, yang pada beberapa
penyakit kaitannya sedemikian kompleks sehingga menyerupai sarang laba-laba atau
dalam Bahasa Inggeris disebut web.

Konsep ini, pertama-tama dikemukakan oleh MacMahon pada tahun 1968. Dasar
pemikiran dari model ini ialah bahwa sesuatu kejadian tidak pernah disebabkan oleh

17
suatu penyebab tunggal (single isolated cause), namun merupakan hasil rangkaian
penyebab yang satu sama lain saling berkaitan sehingga merupakan jaringan. Su-
atu akibat disebabkan oleh hal-hal sebelumnya, dan ini berkaitan satu sama lain yang
akhirnya menghasilkan suatu penyakit/kejadian lain.

Untuk menerangkan model ini, McMahon dalam bukunya Epidemilogy, Principles


and Methods memakai contoh ikterus yang disebabkan oleh virus hepatitis yang
ditularkan lewat jarum suntik (lihat Bagan 4). Pada bagan tersebut diterangkan adanya
suatu kejadian antara penemuan pengobatan penyakit sifilis dan timbulnya wabah
hepatitis yang disebabkan oleh virus. Pada waktu itu baru saja diketemukan cara
pengobatan sifilis dengan obat preparat arsen yang harus disuntikkan intra vena (pada
saat itu penisilin belum diketemukan). Terjadilah pengobatan secara besar-besaran
dengan memakai obat ini. Pada saat itu epidemiologi hepatitis belum dipahami secara
tuntas. Penyebab belum diketahui, cara penularannya juga belum dipahami.

Faktor lain yang besar peranannya adalah keadaan ekonomi penderita sifilis yang
umumnya rendah, pelayanan kesehatan yang belum baik, jarum dan alat-alat suntik
lainnya dipakai berkali-kali untuk beberapa penderita tanpa dibersihkan atau disterilkan
dengan baik. Faktor lainnya ialah karateristik dari virusnya sendiri dan kekebalan para
penderita. Ini semua berkaitan satu sama lain, merupakan suatu rantai dang
menghasilkan suatu efek akhir berupa wabah hepatitis/ikterus. MacMahon me-
ngatakan bahwa salah satu faktor di atas termasuk virusnya sendiri tidak bisa dika-
takan sebagai penyebab tunggal atau single factor.

Dikatakan pula, walaupun rantai penularan sedemikian kompleks dan berantai serta
berkaitan satu sama lain, akan tetapi wabah atau penyakit ini bisa dicegah hanya
dengan memutuskan rantai tersebut disalah satu titik/tempat saja. Memurut
MacMahon, untuk menanggulangi sesuatu penyakit, tidak mutlak pemahaman dari
rantai tersebut harus diketahui telebih dahulu, seperti halnya pencegahan scurvy oleh
Lind. Demikian pula halnya dengan hepatitis yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan lewat suntikan tersebut. Tahun 1950 sebelum virus ini diketemukan, sudah
berhasil dilakukan cara-cara penanggulangan untuk mencegah penularannya dengan
jalan menyeterilkan jarum dan alat suntik serta dikembangkannya alat suntik disposibel
(sekali pakai). Kemudian, pada tahun 1967 Plumberg dan kawan-kawan baru
menemukan antigen spesifik untuk virus ini. Berkat penemuan tsb., penanggulangan
penyakit serum hepatitis setapak lebih maju.

Berikut ini disajikan satu contoh lainnya. Sekitar akhir tahun 1840-an, terjadi mala
petaka di Irlandia (Eropah Barat). Pada saat itu Irlandia termasuk kategori negara
miskin dengan produksi negara yang sangat rendah. Tingkat pengangguran sangat
tinggi, pertumbuhan penduduk sangat cepat. Kehidupan penduduk hanya tergantung
dari hasil pertanian, terutama kentang (belum ada industri waktu itu). Pada musim
panas tahun 1845 terjadilah musim hujan yang berkepanjangan (perobahan pada
lingkungan), dan menyebabkan munculnya sejenis hama kentang yang merusak
tanaman tersebut (faktor biologis). Panen kentang gagal total, namun keadaan politik
negara saat itu cukup membantu dimana Amerika Serikat memberikan pinjaman besar-
besaran kepada Irlandia berupa bahan makanan sehingga keadaan bisa diatasi.
Namun kemudian, situasi politik berubah karena ada perubahan pemerintahan di
Inggris. Ketika sekali lagi di tahun 1846 terjadi suatu kegagalan panen, pemerintah
Inggris tidak berusaha untuk mengatasinya. Maka terjadilah bencana. Kelaparan

18
merajalela, sanitasi perumahan sangat jorok, wabah penyakit tifus dan relapsing fever
(keduanya ditularkan oleh kutu tikus), disentri, scurvy dan malnutrisi menyebabkan
kurang lebih dua juta penduduk Irlandia selama lima tahun (1845-1850) meninggal
dunia. Ini merupakan seperempat penduduk negara tersebut saat itu. Selebihnya
meninggalkan negaranya (imigrasi ke negara-negara lain). Nah, sekarang yang mana
disebut sebagai penyebab dari kematian dua juta manusia itu? Memang betul kuman
penyebab (agent) penyakit tifus adalah sejenis riketsia. Tetapi, munculnya
mikroorganisme ini dimungkinkan oleh karena buruknya sanitasi, kelaparan yang
meluas, over crowded (penduduk tinggal berdempetan), yang menyebabkan riketsia
menular dengan cepat. Keadaan musim menyebabkan panen gagal, dan situasi
politik pada saat itu tidak berusaha mengatasi keadaan. Lalu, faktor mana yang
menjadi penyebabnya?, riketsia?, sosial-ekonomi?, sosial politik?, lingkungan fisik?.
Jawabannya: tidaklah sederhana, tidak hitam-putih, tapi karena tali-temali (web) dari
semua faktor-faktor tersebut, hanya faktor yang satu memang lebih dominan
dibandingkan faktor lainnya.

Bagan 4. Web Model

Catatan: Diambil dari MacMahon (1970): Epdemiology, Principles and Methods .

19
Contoh lain: Koran Bali Post memaparkan, sampai bulan April 1989, dari catatan
Instalasi Rawat Darurat (IRD) Rumah Sakit, 40 orang meninggal di jalan raya akibat
kecelakaan lalu lintas di Kotif Denpasar, dan 18 orang di Tabanan. Tentu saja jumlah ini
masih lebih kecil dari jumlah yang sesungguhnya, sebab masih ada lagi yang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, tetapi tidak dibawa ke IRD Rumah Sakit. Faktor
mana yang bisa dikatakan sebagai penyebabnya?. Keadaan politik negara?, yang amat
sering menjalankan peraturan terlalu lunak (soft country)?. Jalan-jalan yang terlalu
sempit?, tingkat pendidikan host?, disiplin pemakai jalan?, rambu-rambu lalu lintas?,
jumlah kendaraan yang terlalu beraneka ragam?. Lagi-lagi, jawabnya adalah: tali-temali
dari semua faktor tersebut.

Kaitan antar variabel (faktor) terhadap tingginya kecelakaan lalu lintas di Indonesia
amat tepat digambarkan atau dijelaskan dengan teori sarang laba-laba. Banyak kala-
ngan mengatakan bahwa kecelakaan lalu lintas paling banyak disebabkan oleh faktor
perilaku manusianya. Tetapi kalau terus diajukan pertanyaan, mengapa manusianya
berperilaku demikian, maka akan diperoleh suatu jalinan faktor-faktor yang saling ber-
kaitan seperti halnya sarang laba-laba. Misalnya: kecelakaan terjadi karena penduduk
menyebrang tidak di tempat penyebrangan (perilaku). Mengapa mereka tidak menye-
brang di tempat penyebrangan?, karena tempat penyebrangannya sedikit (lingkungan
fisik) dan hampir tidak ada kemungkinan untuk menyebrang berhubung “belok kiri jalan
terus”, sehingga tidak pernah ada kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyebrang
(lingkungan sosial-poilitik). Catatan: tempat penyebrangan yang lebih aman ialah pada
saat lampu merah, jembatan penyebrangan di atas jalan atau di bawah jalan
(trowongan). Mengapa “belok kiri jalan terus?”, karena kalau tidak, maka jalan akan
macet berhubung sarana jalan tidak lagi mampu menampung jumlah kendaraan yang
ada (lingkungan fisik). Mengapa sarana jalan tidak memadai, dan mengapa jumlah
kendaraan peribadi terlalu banyak?, karena negara tidak mempunyai cukup dana untuk
menambah atau memperlebar jalan (faktor sosial-ekonomi), dan kendaraan pribadi
terlalu banyak karena kendaraan umum tidak nyaman, tidak menjangkau semua tujuan
perjalanan penduduk, tidak bisa dijamin jadwalnya, dll. Mengapa negara tidak
mempunyai dana untuk meningkatkan sarana jalan dan menciptakan sistim transportasi
yang cepat, nyaman, tepat waktu, dan bisa mengangkut jumlah penumpang yang ba-
nyak (MRT=mass rapid transit). Karena disamping kemampuan untuk merencanakan
sistim transportasi yang baik memang rendah (faktor sosial-ekonomi), juga karena tidak
efisiennya pemakaian dana negara (sosial-politik).

Dari contoh di atas terlihat bahwa penganut teori web tidak banyak menonjolkan
peranan agent (kendaraannya sendiri), tetapi lebih banyak pada host dan lingkungan.

4. Model Blum

Teori yang belakangan banyak dianut (termasuk oleh Departemen Kesehatan


Republik Indonesia) ialah yang diperkenalkan oleh Blum (1981). Dijelaskan adanya
empat faktor yang berperan untuk terjadinya penyakit atau yang mempengaruhi derajat
kesehatan suatu masyarakat, yakni: (a) genetik, (b) perilaku, (c) lingkungan, dan (d)
pelayanan kesehatan masyarakat (lihat Bagan 5).

Pada Model Roda atau Web Model, faktor perilaku, lingkungan dan pelayanan
kesehatan tidak dipisahkan tetapi tercakup dalam komponen lingkungan. Pada Model
Blum, faktor perilaku dipisahkan menjadi satu komponen tersendiri. Oleh Blum

20
pelayanan kesehatan masyarakat (misalnya: kemampuan dan kemauan pemerintah
untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin) dipisahkan menjadi
satu komponen tersendiri. Besar-kecilnya panah pada Bagan-5 menunjukkan besar-
kecilnya peranan masing-masing faktor. Besar-kecilnya masing-masing faktor berbeda
untuk masing-masing negara. Untuk Negara Jepang misalnya, faktor lingkungan,
pelayanan kesehatan dan perilaku, panahnya kecil (karena tingkat pendidikan
masyarakatnya sudah tinggi, negaranya kaya dan sebagian besar faktor lingkungan
fisik dan biologis telah dapat dikendalikan), tetapi faktor genetik panahnya besar.
Dengan semakin berkembangnya bioteknologi (rekayasa genetika), di masa yang akan
datang, faktor genetikapun juga akan dapat dikendalikan. Walaupun di negara-negara
maju angka insiden dan prevalen penyakit-penyakit yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan sudah amat rendah (panahnya kecil), dan yang dijumpai dominan adalah
penyakit-penyakit genetik (panahnya lebih gemuk), sedangkan di negara-negara
berkembang sebaliknya, maka bukan berarti di negara-negara berkembang penyakit-
penyakit genetiknya lebih rendah dari negara-negara maju. Panah faktor genetik di
negara berkembang tampak lebih tipis karena penyakit-penyakit infeksi yang masih
dominan.

Model Blum diadopsi oleh Departemen Kesehatan R.I. dan dipakai sebagai dasar
dalam penyusunan Sistim Kesehatan Nasional (S.K.N.) karena lebih relevan dan lebih
mudah dipakai sebagai pedoman untuk menyusun program-programnya karena pada
Model Blum variabel pelayanan kesehatan secara jelas dipisahkan, yang tidak de-
mikian halnya pada tiga teori lainnya.

Bagan 5. Model Blum

Genetik

Perilaku Penyakit Pelayanan Kesehatan

Lingkungan

5. Teori Terjadinya Penyakit yang Terus Berkembang

Bagan 6. Model Terjadinya Kesakitan dan Kematian pada Anak

21
Catatan: Diambil dari Mosley (1984): Child Survival, Strategies for Research
Empat konsep terjadinya penyakit yang telah diuraikan di atas adalah contoh-contoh
yang diintrodusir oleh para ilmuwan. Tetapi bukanlah ilmu namanya kalau tidak terus
berkembang. Melalui berbagai penelitian, temuan-temuan baru terus bermunculan. Ada
yang menumbangkan teori lama, ada pula yang melengkapi atau mendukungnya.
Singkat kata, walaupun yang dibahas hanya empat teori tersebut di atas bukan berarti
tidak ada model lainnya. Bagan 6 adalah salah satu contoh teori terjadinya kesakitan
dan kematian pada anak yang diintrodusir oleh Mosley (1984).

Perjalanan Alamiah Penyakit (Natural History of Disease)


Untuk mencegah atau menanggulangi suatu penyakit, baik pada seorang individu
maupun pada sekelompok penduduk di masyarakat, selain memahami tali-temali faktor
host, agent dan lingkungan, yang juga amat perlu untuk dipahami ialah perjalanan
penyakit sejak awal sampai dengan orang tersebut sembuh kembali atau meninggal.
Bila perjalanan alamiah penyakit telah dipahami dengan jelas maka kapan harus
dicegah, dan bagaimana cara mencegahnya juga bisa ditetapkan dengan tuntas. Di
atas telah dibahas dengan memakai contoh, bagaimana caranya epidemiologi dipakai
untuk mempelajari perjalanan alamiah suatu penyakit.

Selain untuk mencegah dan menanggulangi penyakit, pemahaman terhadap


perjalanan alamiah suatu penyakit juga amat penting ketika menentukan tingkat
kesakitan (morbidity rate). Ketika menghitung morbidity rate dari suatu penyakit,
kesulitan yang sering muncul ialah ketika menentukan kapan seseorang disebut sakit
atau ketika membedakan mana penduduk yang sakit dan mana yang tidak, ter-
utama pada penyakit-penyakit menahun (khronis). Pada beberapa kejadian penyakit,
dengan bantuan alat-alat canggihpun sering kali amat sulit dibedakan antara yang sakit
dan tidak sakit. Lain halnya ketika menghitung angka kematian (mortality rate). Orang
yang mati dengan mudah bisa dibedakan dengan orang yang masih hidup.
Sehubungan dengan itu, Badan Kesehatan Sedunia (W.H.O) pada tahun 1948 me-
netapkan suatu definisi (batasan, pedoman) tentang sehat seperti di bawah. Dengan
demikian, seseorang disebut sakit bila tidak memenuhi definisi tersebut.

Health is a state of complete physical, mental and social well


being and not merely the absence of disease or infirmity

Menurut definisi ini pengertian sakit mempunyai batasan yang sangat luas, bukan
cacat fisik saja tetapi juga mental dan sosial.

22
Bila perjalanan alamiah penyakit telah diketahui dengan jelas, kesulitan untuk
menentukan kapan sakit dan kapan belum akan lebih mudah untuk diatasi. Akan tetapi,
sampai saat ini masih banyak sekali penyakit-penyakit yang perjalanannya masih tidak
diketahui dengan jelas, bahkan masih gelap sama sekali. Bersama-sama dengan
cabang ilmu lainnya, epidemiologi ikut memberikan sumbangannya untuk menyingkap
tabir kegelapan ini (lihat kembali pemakaian epidemiologi di Bab 1). Bagaimana cara-
nya epidemiologi menyingkap tabir kegelapan tersebut akan dibahas pada bab-bab
berikutnya.

Secara umum, perjalanan penyakit pada manusia ada empat tahapan, yaitu fase
suseptibel atau fase peka, fase presimtomatis, fase klinis dan fase ketidak
mampuan. Pembagian menjadi 4 fase seperti ini tidak berlaku untuk semua jenis
penyakit. Misalnya: pada kecelakaan lalu lintas, fase presimtomatis tidak banyak yang
terlihat dengan jelas. Kadang-kadang ada fase presimtomatis pada kecelakaan yang
menyebabkan gegar otak atau trauma organ-organ dalam (hati, limfa, dll). Pada orang
yang gegar otak, gejala klinis kadang-kadang baru muncul beberapa jam setelah kece-
lakaan terjadi.

1. Fase Suseptibel

Pada fase ini penyakit belum terjadi, tetapi sudah muncul beberapa faktor yang
memudahkan timbulnya penyakit, misalnya: kelelahan akan memudahkan timbulnya
penyakit influenza, pneumonia, dll. Tingginya kadar kolesterol darah akan mening-
katkan kemungkinan timbulnya penyakit jantung koroner. Merokok yang banyak dalam
waktu lama akan memudahkan timbulnya penyakit-penyakit saluran nafas, penyakit
jantung koroner, ulkus peptikum, kanker paru, dan beberapa penyakit lainnya. Perilaku
seksual dengan banyak berganti-ganti pasangan akan memudahkan terjangkitnya
penyakit AIDS, dll. Faktor-faktor ini, yang memudahkan kemungkinan timbulnya
sesuatu penyakit disebut faktor risiko (risk factor). Pada fase ini faktor host, agent dan
lingkungan berinteraksi satu sama lain, dan bila keseimbangan interaksinya tergang-
gu, maka akan menghasilkan stimulus (lihat Bagan 11 dan Bagan 12).

2. Fase Presimtomatis

Pada fase ini penyakit sudah terjadi tetapi secara klinis belum tampak. Sudah
terjadi perubahan patologis, tetapi masih belum cukup untuk menimbulkan gejala klinis.
Misalnya: perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah koroner sebelum gejala klinis
penyakit jantungnya tampak. Dengan demikian, pada fase ini seseorang sudah disebut
sakit, tetapi untuk mengetahuinya diperlukan alat-alat diagnostik yang canggih teruta-
ma penyakit-penyakit non-infeksi. Pada penyakit-penyakit infeksi, terutama yang
disebabkan oleh virus, cara mengetahuinya lebih mudah yaitu dengan memeriksa ada
tidaknya antibodi, sebab tubuh manusia hampir selalu membentuk antibodi bila ada
benda asing (kuman) yang masuk ke dalam tubuh.

3. Fase Klinis

Pada fase ini, sudah ada perubahan-perubahan anatomis dan fungsional, sehing-
ga sudah memberikan gejala (sudah melewati horison klinis). Pada beberapa penyakit,
fase klinis dibagi menjadi beberapa tingkatan. Patokan yang dipakai untuk menge-
lompokkan ada bermacam-macam, antara lain berdasarkan: (a). gejala-gejalanya (b)

23
simptom, (c) fungsi, (d) lokalisasi, (e) morfologi atau tipe sel, (f) pengobatan/terafi.
Tujuan pengelompokkan seperti di atas ada dua, yaitu:

(a) Untuk kepentingan penanggulangan/pengobatan penyakitnya, dimana pengo-


batan penyakit pada satu fase akan berbeda dengan fase lainnya. Misalnya:
kanker leher rahim stadium nol akan berbeda dengan stadium 1 atau 2.
(b) Untuk penelitian epidemiologi. Dalam penelitian epidemiologi, rate yang paling
tepat untuk dipakai ialah angka spesifik (specific rate). Angka spesifik adalah
angka dimana pembilang dan penyebutnya telah dipilah-pilah agar menjadi
seragam/homogen/spesifik. Bila telah di pilah-pilah maka pembilangnya akan
menjadi seragam, misalnya semuanya stadium nol, dst.

Contoh 1

Penyakit kanker umumnya dikelompokkan berdasarkan morfologi sel-selnya, lokali-


sasinya, atau ada pula yang mengelompokkan berdasarkan gejala-gejala klinis. Contoh
berikut ini adalah pengelompokkan penyakit kanker berdasarkan lokalisasi.

Stadium 1: masih terlokalisir


Stadium 2: metastase (menyebar) lokal
Stadium 3: metastase jauh

Contoh 2

Pengelompokkan penyakit jantung berdasarkan aktifitas penderita (fungsi)

Tingkat 1: Dengan aktifitas fisik yang bagaimanapun, tidak ada rasa tidak enak.
Tingkat 2: Ada rasa sedikit kurang enak pada aktifitas fisik sehari-hari, namun kalau
istirahat, biasa saja.
Tingkat 3: Ada rasa kurang enak walaupun aktifitas fisiknya minimal, dalam
keadaan istirahat masih enak.
Tingkat 4: Pada aktifitas fisik yang bagaimanapun, menyebabkan rasa tidak enak,
termasuk ketika istirahat.

Pengelompokkan penyakit jantung berdasarkan terafi (pengobatan)

Tingkat 1: Semua jenis aktifitas fisik harus dibatasi.


Tingkat 2: Aktifitas sehari-hari tidak perlu dibatasi, tetapi pasien dilarang melakukan
aktifitas fisik yang berat.
Tingkat 3: Aktivitas fisik sehari-hari perlu dibatasi, tetapi tidak mutlak.
Tingkat 4: Aktifitas sehari-hari harus betul-betul dibatasi.
Tingkat 5: Harus istirahat total di tempat tidur (total bedrest).

Perlu diingat bahwa klasifikasi terapeutik tidak selalu paralel dengan klasifikasi fung-
sional, misalnya penderita yang baru saja mendapat serangan jantung atau karditis
reumatika yang aktif, bisa tidak mempunyai gejala fisik, tetapi harus istirahat total
ditempat tidur.

24
Pengelompokkan seperti contoh-contoh di atas sangat penting dalam penelitian
epidemiologi, karena dengan pengelompokkan yang baik akan mengurangi
variabelitas dan menghasilkan suatu subgroup yang lebih homogen sehingga bisa
diperoleh suatu angka kejadian spesifik (lihat pembahasan tentang crude & specific
rate). Misalnya: untuk mengevaluasi hasil suatu percobaan obat (dalam penelitian
clinical trial), untuk membandingkan kejadian penyakit secara regional, nasional,
maupun internasional, dll. Untuk penelitian epidemiologi, diperlukan angka spesifik
(spescific rate). Untuk mendapatkan specific rate diperlukan pembilang dan penyebut
yang lebih homogen. Penelitian epidemiologi dan berbagai macam rate, akan dibahas
pada bab-bab selanjutnya.

4. Fase Ketidak Mampuan

Beberapa penyakit akan sembuh dengan baik dengan obat maupun secara spontan
tanpa obat. Akan tetapi sejumlah penyakit akan meninggalkan cacat, baik dalam waktu
yang singkat ataupun dalam dalam waktu lama, yang menyebabkan kemampuan
penderita menjadi berkurang, mulai dari yang ringan sampai berat. Banyak pula
penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan (self limiting), tetapi
banyak pula yang menyebabkan ketidak mampuan yang menetap (lihat Bagan 11).
Contoh: penyakit campak (morbili), dan demikian pula penyakit virus lainnya, sebagian
besar penderita bisa sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, hanya sebagian
kecil penderita morbili diikuti oleh kelainan neurologis yang menetap (cacat).

Definisi ketidak mampuan (disability) ada bermacam-macam tetapi secara umum


bisa diberikan definisi sebagai berikut:

Suatu keterbatasan aktifitas seseorang termasuk aspek psikososialnya

Penekanannya adalah pada kehilangan fungsi tubuh dan bukan pada kelainan
anatomisnya. Banyak orang yang tangannya hanya satu, tetapi satu tangannya tersebut
bisa berfungsi seperti halnya orang yang mempunyai dua tangan. Sebaliknya ada orang
yang walaupun tidak mempunyai kelainan anatomis, tetapi tubuhnya tidak berfungsi
seperti halnya orang normal.

Tahap-tahap Pencegahan Penyakit


Dalam pengertian sempit, konotasi pencegahan (prevention) hanya dihubungkan
dengan menghindarkan terjadinya penyakit sebelum seseorang menjadi sakit. Konsep
pencegahan jauh lebih luas dari pengertian ini. Pencegahan juga berarti menghambat
atau memperlambat perjalanan suatu penyakit (yang sudah terjadi pada seseorang).
Dalam pengertian yang lebih luas ini, ada tiga tahap pencegahan (level of prevention),
yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Tahap-tahap ini sangat erat kaitannya
dengan perjalanan alamiah dari penyakit. Pada Bagan 11, 12 dan 13 disajikan skema
umum peranan faktor-faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah penyakit dan
tahap-tahap pencegahannya. Sedangkan Bagan 14 sampai dengan Bagan 20 (diambil
dari Leavell & Clark) ialah contoh untuk beberapa penyakit secara khusus. Ketika
diminta untuk memberikan contoh usaha-usaha apa saja yang bisa ditempuh dalam

25
pencegahan primer, sekunder dan tersier, maka janganlah melihatnya dari segi
penderita/masyarakat, tetapi harus ditinjau dari:
• tugas Anda sebagai petugas kesehatan masyarakat,
• tujuan kegiatannya.

Contoh: usaha-usaha apa saja yang bisa ditempuh dalam pencegahan sekunder
penyakit TBC?. Bila jawaban Anda: memeriksakan diri sedini mungkin, maka ini adalah
usahanya penderita. Usaha-usaha petugas kesehatan masyarakat dalam pencegahan
sekunder TBC, antara lain:

• Secara aktif mencari penderita TBC di masyarakat dan mengobatinya sampai


sembuh. Misalnya dengan mengadakan kunjungan rumah pada daerah-daerah
atau desa-desa yang kejadian TBC nya diperkirakan cukup banyak, lalu meriksa
dahak semua orang yang batuk-batuk lebih dari 1 bulan.
• Melakukan kampanye baik melalui pemuka-pemuka masyarakat, media cetak
(poster, spanduk, leaflet), media elektronik (radio, televisi) secara intensif agar
semua penduduk yang batuk-batuk lebih dari 1 bulan datang ke puskesmas
untuk memeriksakan dahaknya. Pada contoh ini walaupun ada kata-kata kam-
panye tetapi kegiatan ini bukanlah pencegahan primer tetapi termasuk pencega-
han sekunder karena tujuannya untuk early diagnosis dan prompt treatment.

Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Yang termasuk dalam pencegahan primer ialah: (a) promosi kesehatan (health
promotion) dan (b) proteksi spesifik (specific protection). Pencegahan primer adalah
semua usaha pencegahan yang dilakukan jauh-jauh sebelum orang menjadi sakit,
yaitu pada fase peka atau fase suseptibel (lihat Bagan 11).

Promosi kesehatan bisa diterapkan secara umum untuk menghindarkan semua jenis
penyakit yang paling awal, misalnya:
• kampanye untuk memasak air sebelum diminum,
• kampanye tentang bahaya penyakit sifilis.
• penyediaan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan baik di rumah tinggal,
di tempat kerja, di sekolah, dll.
• penyuluhan kesehatan tentang makanan bergizi, pakaian yang bersih, istirahat
dan rekreasi yang cukup.
• konsultasi perkawinan (misalnya untuk menghindari penyakit-penyakit genetik).
• sex-education,
• peningkatan lapangan kerja, peningkatan produksi pertanian melalui panca usa-
ha tani, kredit candak-kulak untuk masyarakat berpenghasilan rendah, impres
desa tertinggal (IDT),
• menciptakan sistim transportasi untuk masyarakat umum yang masal (sekali
angkut jumlahnya banyak), nyaman, cepat, dan murah, yang sering disebut MRT
(mass rapid transit), misalnya: trem, kereta api bawah tanah, bis yang daya ang-
kutnya banyak,

26
• dan lain sebagainya.
Pencegahan spesifik adalah usaha-usaha yang diterapkan hanya untuk mencegah
penyakit-penyakit tertentu saja secara khusus, misalnya:

• Program imunisasi, untuk mencegah penyakit-penyakit dimana vaksinnya telah


diketemukan (telah tersedia) misalnya: TBC, dipteria, pertusis, tetanus, polio,
campak, hepatitis.
• Pengadaan air minum yang memenuhi sarat kesehatan bagi masyarakat luas
untuk secara spesifik mencegah semua penyakit yang ditularkan melalui air
minum, misalnya: tifus, disentri, polio, hepatitis, kolera, dll.
• Mengharuskan pengendara sepeda motor untuk memakai helm.
• Menciptakan undang-undang yang mengharuskan pengendara mobil agar me-
makai sabuk pengaman.
• Mengharuskan pekerja-pekerja di pabrik agar memakai masker, pelindung kepa-
la, pelindung mata (untuk tukang las), dll.
• Penyediaan kondom di lokalisasi WTS (wanita tuna susila), untuk secara khusus
mencegah penyakit kelamin.

Sukses besar dalam menyehatkan masyarakat di negara-negara maju sebagian


besar adalah karena keberhasilan pencegahan primer ini, yaitu dengan perbaikan
sanitasi lingkungan (pengadaan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan limbah
rumah tangga, penanggulangan kotoran manusia, dll.) dan pemberian imunisasi.
Sedangkan masalah kesehatan yang dihadapi oleh negara-negara maju dewasa ini
dan masih belum diketemukan jalan pemecahannya adalah penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh penyakit-penyakit khronis yang pencegahannya menyangkut tingkah
laku masyarakat seperti pola makanan, kebiasaan merokok, penggunaan alkohol dan
narkotik, perilaku seksual (HIV/AIDS), penggunaan obat-obatan secara berlebihan, dll.

Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder meliputi: (a) diagnosa dini (early diagnosis) dan (b) pengobat-
an tepat (prompt treatment). Dengan mengetahui adanya penyakit secara awal, maka
pengobatannya atau tindakan yang tepat bisa dilaksanakan seawal mungkin untuk
mencegah komplikasi, memperlambat perjalanannya, atau membatasi ketidak
mampuan yang mungkin timbul. Sebagian usaha pencegahan sekunder dilakukan pada
fase presimtomatis (di bawah horison klinis) yakni dengan jalan mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya penyakit dengan jalan melakukan deteksi terhadap perubahan
patologis pada tubuh yang pada fase tersebut sudah terjadi (misalnya melalui program
screening). Ada juga yang dilakukan pada fase klinis tetapi orang yang sakit belum
menyadari bahwa dirinya sakit, misalnya pencarian penderita malaria dari rumah-
kerumah dengan jalan memeriksa darah orang-orang yang sedang men-derita panas.

Contoh-contoh usaha pencegahan sekunder:

• Program screening berbagai penyakit (tentang screening akan pada bab se-
lanjutnya).

27
• Program penimbangan anak balita (umur dibawah lima tahun) setiap bulan di
posyandu untuk deteksi dini kurang gizi.
• Program pemeriksaan ibu hamil secara berkala untuk deteksi dini penyakit-
penyakit yang berkaitan dengan kehamilan.
• Mengharuskan wanita yang berumur di atas 35 tahun untuk melakukan
pemeriksaan pap smear untuk deteksi dini kanker leher rahim (serviks uteri).
• Program latihan pada ibu-ibu agar bisa memeriksa payudaranya secara mandiri
untuk deteksi dini kanker payudara.

Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)

Yang termasuk dalam pencegahan tersier ialah: (a) semua usaha untuk membatasi
ketidak mampuan (disability limitation), dan (b) rehabilitasi (rehabilitation). Pada
keadaan ini, penyakit sudah terjadi dan bahkan meninggalkan cacat. Dua contoh
berikut ini adalah usaha-usaha pembatasan ketidak mampuan. Contoh-contoh
lainnya bisa dilihat pada Bagan 12 sampai Bagan 20.

• Melakukan fisioterapi pada anggota tubuh yang sakit untuk menghindari


terjadinya kontraktur sendi pada penderita polio untuk memungkinkan terjadinya
pergerakan anggota badan di masa mendatang.
• Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita TBC untuk menghindari
terjadinya komplikasi.
• Memberikan pengobatan untuk mencegah infeksi sekunder pada penduduk yang
terinfeksi oleh HIV (virus penyebab AIDS).

Sedangkan rehabilitasi adalah usaha-usaha untuk memungkinkan seseorang yang


cacat sebagai akibat suatu penyakit, atau kecelakaan, agar mereka bisa hidup seperti
layaknya orang normal di masyarakat. Selain rehabilitasi medis, termasuk pula
rehabilitasi psikologis dan rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikologis, dan berbagai
usaha untuk memberikan latihan keterampilan kepada penderita untuk memper-
siapkannya kembali ke masyarakat. Usaha-usaha rehabilitasi merupakan suatu
kegiatan yang kompleks, memerlukan kerja sama berbagai disiplin ilmu. Selain itu, juga
memerlukan perlengkapan atau alat-alat latihan yang memadai, biaya yang cukup
besar atau ketrampilan profesional yang tinggi.

Contoh-contoh kegiatan rehabilitasi:

• Latihan keterampilan bagi penderita lumpuh, buta, dll.


• Transplantasi kornea pada orang buta (rehabilitasi medis).
• Mengevaluasi keadaan sosial penderita, memberikan pelayanan sosial, kon-
sultasi psikologis, rekreasi (rehabilitasi psikososial) pada penduduk yang
terinfeksi HIV.
• Mempelajari minat penderita, mencarikan tempat kerja yang sesuai bagi pen-
derita lumpuh akibat cedra tulang belakang (rehabilitasi sosial).

28
• Memberi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada manajer perusahan agar
tidak menghentikan karyawannya yang terinfeksi oleh HIV (rehabilitasi sosial).

Dari semua uraian di atas, jelas kelihatan bahwa semakin awal pencegahan
dilakukan maka biayanya akan jauh semakin murah, dan kemungkinan untuk
sembuh sempurna juga semakin besar. Untuk mencegah TBC dengan pemberian
imunisasi, biayanya hanya ratusan rupiah per orang, mengobati penderita TBC
memerlukan ratusan ribu rupiah, dan rehabilitasi penderita yang paru-parunya sudah
rusak sebagai akibat TBC akan memerlukan biaya jutaan rupiah, dan sakitnya ini akan
dibawa sampai mati. Sebagai seorang dokter, Anda akan sering dibuat frustasi ketika
penderita emfisema pulmonum (kerusakan alveolus sebagai akibat TBC) yang berkali-
kali mendatangi Anda di tempat praktek. Pasien menuntut kesembuhan, tetapi tidak
banyak yang Anda bisa perbuat.

Variasi Berat-Ringannya Suatu Penyakit dalam Kaitannya dengan


Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat

Aspek terakhir yang dibahas dalam bab ini adalah variasi berat-ringannya penyakit
(terutama penyakit infeksi) dalam kaitannya dengan data epidemiologis dan usaha-
usaha untuk pencegahan/penanggulangannya.

Bila sekelompok penduduk terkena suatu infeksi, katakanlah oleh virus influensa,
sebagian tidak menjadi sakit, sebagian lainnya juga terkena infeksi tetapi secara klinis
tidak tampak sakit, ada yang sakit ringan, sedang, tetapi hanya sebagian kecil saja
yang sakit berat, dan amat jarang yang sampai fatal. Infeksi memberikan efek yang
sangat bervariasi pada host mulai dari yang tidak memberikan gejala-gejala sampai
gejala berat bahkan fatal. Infeksi oleh mikroorganisme (kuman) mempunyai karak-
teristiknya sendiri-sendiri. Infeksi oleh mikroorganisme yang sama ternyata mem-
berikan efek yang amat bervariasi pada sekelompok penduduk (seperti contoh influensa
di atas). Terlebih-lebih infeksi oleh jenis kuman yang berbeda. Berat ringannya
penyakit bukan saja tergantung dari kuman penyebab, tetapi reaksi dari host terhadap
kuman penyebab juga merupakan faktor penentu. Bahkan dalam satu genus yang
sama tetapi tipe yang berbeda, kuman-kuman tersebut memberikan penyakit yang
bervariasi. Misalnya, dari begitu banyaknya tipe streptokokus hemolitikus, hanya tipe A
yang menimbulkan penyakit pada manusia.

Pada contoh berikut ini digambarkan infeksi oleh tiga jenis mikroorganisme yang
berbeda dimana gambaran terjadinya penyakit juga amat berbeda-beda.

Bagan 7. Infeksi oleh M. tuberculosa

0 100
Infeksi tanpa gejala Ringan Sedang Berat Fatal

Pada Bagan 7 , terlihat bahwa bila 100 penduduk terkena infeksi oleh mikobakte-
rium tuberkulosa, sebagian besar merupakan infeksi tanpa gejala (inapparent
cases), sebagian kecil saja yang sakit ringan, sedang, dan fatal (sampai meninggal).
Hal seperti ini dikenal sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomena), yang
artinya: kasus-kasus yang tampak ke permukaan hanya sebagian kecil saja dari

29
sebagian besar kasus yang sebenarnya terjadi. Seperti kita ketahui gunung es banyak
dijumpai di daerah kutub. Gunung es yang ada dipermukaan ujungnya lancip,
sedangkan dasarnya amat lebar karena suhu air yang di bawah nol. Bagi kapal yang
berlayar di daerah tersebut, ujung gunung tidak akan berbahaya karena jelas tampak.
Yang berbahaya adalah dasarnya sebab tidak terlihat oleh awak kapal. Memakai
fenomena ini, petugas public health bisa diibaratkan sebagai awak kapal. Untuk
penyakit TBC, fenomena ini bisa dibuktikan dengan jalan melakukan test tuberkulin
pada sejumlah penduduk. Akan kelihatan bahwa tuberkulin positif yang menunjukkan
bahwa mereka telah pernah kena infeksi di masa lalu jauh lebih besar dari penduduk
yang betul-betul sakit tuberkulosis secara klinis. Contoh lain: kalau seandainya terjadi
wabah kolera, penduduk yang rektal swabnya (usap dubur) positif akan jauh lebih besar
dari pada yang tampak kolera secara klinis. Untuk kolera El Tor dikatakan 1 banding 10,
dan kolera klasik 1 banding 5. Sebagian besar infeksi oleh mikroorganis-me mengikuti
fenomena gunung es ini, misalnya: infeksi oleh virus polio, v.hepatitis, meningokokus,
demam berdarah, dll.

Bagan 8. Infeksi oleh Virus morbili

0 100
Infeksi tanpa gejala Ringan Sedang Berat Fatal

Infeksi oleh beberapa mikroorganisme lainnya, antara lain oleh virus morbili, seperti
terlihat pada Bagan 8 mempunyai gambaran yang berbeda dengan infeksi oleh M.
tuberkulosa. Bila 100 orang penduduk terkena infeksi oleh virus morbili, maka sebagi-
an besar akan tampak sakit secara klinis, tetapi kebanyakan hanya ringan saja dan
hanya sedikit saja yang tidak tampak sakit. Gambaran yang ditunjukkan oleh infeksi
virus rabies sangat berbeda dengan M. tuberkulosa dan Virus morbili. Hampir 100%
infeksi oleh virus rabies berakhir dengan kematian (fatal). Demikian pula halnya pada
infeksi oleh salmonela cholerasuis.

Bagan 9. Infeksi oleh Virus rabies


0 100
Berat Fatal

Berlawanan dengan penyakit-penyakit yang sudah tampak secara klinis (overt


disease) maka inapparent infection tidak bisa didiagnosa tanpa bantuan alat-alat bantu,
seperti misalnya tuberkulin test untuk TBC, usapan dubur (rectal swab) untuk kolera,
usapan tenggorokan untuk dipteria, test antibodi untuk hepatitis, dll. Seperti dikemu-
kakan di atas, bahwa variasi berat-ringanya penyakit, terutama kasus yang tidak
tampak akan memberikan dua konskuensi penting yaitu:

• Konskuensinya terhadap usaha untuk menurunkan angka prevalen dan insiden


penyakit di masyarakat.
• Konskuensinya terhadap data epidemiologis atau statistik penyakit di tempat-
tempat pelayanan kesehatan (dokter praktek, puskesmas, rumah sakit, dll).
Hubungan infeksi yang tidak tampak (inapparent cases) dengan
usaha untuk menurunkan angka prevalen/insiden (usaha
penanggulangan penyakit) di masyarakat

30
Untuk membasmi penyakit di masyarakat usaha penanggulangan harus ditujukan
kepada semua orang yang mempunyai potensi untuk menularkan penyakit. Di masa
lampau, sebelum konsep inapparent infection bisa dimengerti dengan baik, usaha-
usaha penanggulangan hanya dilakukan pada penderita yang tampak sakit saja,
misalnya: mengisolasi penderita, desinfeksi dari barang/pakaian penderita, bahan
muntahan atau kotorannya, karantina terhadap orang-orang yang kemungkinan bisa
menularkan. Untuk penyakit-penyakit dimana proporsi inapparent infection-nya be-
sar, maka usaha untuk membasmi penyakit di masyarakat sangat sulit, karena mereka
ini akan "tenang-tenang saja" sebab tidak merasakan dirinya sakit, namun sangat
potensial untuk menjadi sumber penularan, sehingga sangat berbahaya bagi orang lain
dan masyarakat sekitarnya. Untuk bisa mendapatkan data atau untuk mengetahui
kasus-kasus ini, harus dilakukan survei epidemiologis.

Hubungan infeksi yang tidak tampak (inapparent cases) dengan data


epidemiologis atau statistik penyakit di tempat-tempat pelayanan ke-
sehatan (dokter praktek, puskesmas, rumah sakit, dll).

Bagi seorang dokter praktek, data tentang diri pasien adalah kunci untuk menegak-
kan diagnosa. Setelah diagnosa ditegakkan barulah bisa diberikan terafi. Bila data
tentang diri pasien keliru maka diagnosa akan salah dan terafinyapun akan keliru.
Demikian pula halnya bagi dokter public health. Kebenaran (ketepatan data) adalah
kunci untuk perencanaan program untuk menanggulangi penyakit di wilayah kerjanya.
Variasi berat-ringannya penyakit akan sangat mempengaruhi ketepatan (akurasi)
pencatatan penyakit di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Selain survei langsung/pengamatan langsung di masyarakat, cara lain untuk


memperoleh data kesakitan dan kematian ialah dari sistim pencatatan dan pelaporan.
Pencatatan tentang kesakitan seluruhnya dilakukan di pusat-pusat pelayanan kese-
hatan (posyandu, puskesmas, rumah sakit kabupaten/RSU, RSUP, rumah sakit swasta,
laboratorium, dokter praktek swasta, dll). Hubungan antara berat-ringannya penyakit
dengan akurasi statistik penyakit digambarkan pada Bagan 10. Hampir semua
penduduk sakit yang tidak ada gejala klinisnya (inapparent cases) tidak akan mencari
usaha pengobatan ke tempat-tempat pelayanan kesehatan. Kebanyakan penduduk
sakit yang gejala klinisnya ringan biasanya tidak melakukan apa-apa atau membeli
obatnya di warung-warung (mengobati sendiri penyakitnya). Penduduk sakit dengan
gejala klinis sedang biasanya mendatangi dokter/klinik swasta atau puskesmas, dan
yang gejala klinisnya berat atau fatal biasanya mendatangi/dirujuk ke RSU/RSUP.

Pola seperti ini akan besar manfaatnya dalam epidemiologi pada saat kita akan
mengukur kejadian penyakit di masyarakat dengan mempergunakan data/statistik pe-
nyakit di tempat-tempat pelayanan kesehatan (data sekunder) sebagai pembilang. Bila
yang dipakai hanya data di RSU/RSUP saja maka akan terjadi bias (kesalah-
an/penyimpangan), dimana penduduk sakit sedang dan ringan tidak akan terhitung.
Demikian pula sebaliknya, bila yang dipakai hanya data dari dokter/klinik swasta dan
puskesmas saja maka penduduk yang sakit berat dan fatal tidak akan terhitung.
Sedangkan penduduk dengan infeksi tidak tampak tidak mungkin terhitung bila mema-
kai data sekunder. Satu-satunya cara ialah dengan survei epidemiologis/pengamatan
langsung di rumah-rumah penduduk (survei rumahtangga).

31
Bagan 10. Variasi berat-ringannya penyakit dan
statistik/data penyakit di tempat-tempat pelayanan kesehatan

Infeksi tidak tampak Ringan Sedang Berat Fatal

• Tidak berbuat apa-apa, karena • Tidak diobati • Dokter praktek • RSU • RSUP
tidak merasa dirinya sakit (dibiarkan) •
• Puskesmas RSUP
• Mengobati sendiri

Selain itu, ketepatan data di pusat-pusat pelayanan juga sangat dipengaruhi oleh
sosial-budaya (kepercayaan atau konsep sakit masyarakat setempat), sosial-ekonomi,
transportasi, keadaan geografis dan kemampuan pemberi pelayanan untuk
menegakkan diagnosa. Banyak orang sakit, walaupun berat/fatal, tidak datang ke
rumah sakit atau ke pusat pelayanan lainnya (sehingga tidak tercatat di sana), karena:
adanya anggapan bahwa sakitnya disebabkan black magic, atau karena tidak punya
uang, tidak ada transportasi, medan yang sulit, dll. Keadaan dimana hanya kasus-kasus
tertentu saja yang datang ke tempat pelayanan tersebut disebut pula self-selection.
Walaupun datang tetapi bila kemampuan untuk menegakkan diagnosa (karena alat
bantu yang terbatas, ketrampilan petugas yang kurang), maka diagnosa penyakit juga
menjadi keliru.

=========

Bagan 11
Riwayat perjalanan penyakit secara alamiah
(Natural history of disease)

PERIODE PRE- PERIODE PATOGENESIS


PATOGENESIS

32
 Meninggal

 Khronis/
Interaksi antara penyakit
faktor-faktor: menahun
Gejala penyakit sudah mulai tampak
agent, host dan
lingkungan
HORISON KLINIS

Gejala penyakit belum tampak


 Carrier
(pembawa
kuman)
Bila ada perubahan
keseimbangan
antara ketiga faktor
 Sembuh
tersebut, maka akan disertai
terjadi stimulus Agent penyakit memasuki tubuh cacat

 Sembuh
sempurna

FASE PRE SIMTOMATIS FASE KLINIS FASE KETIDAK


FASE SUSEPTIBEL MAMPUAN ATAU
(DALAM MASA INKLUBASI)
FASE AKHIR

Faktor-faktor risiko Sudah ada perubahan Sudah ada perubahan


patologis tetapi gejala klinis anatomis dan perubahan
belum tampak (masih fungsi tubuh
dibawah horison klinis)

Bagan 12
Perjalanan alamiah penyakit & tahap-tahap pencegahan

33
Bagan 13
Definisi public health, perjalanan alamiah penyakit dan
tahap-tahap pencegahan

34
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)

Bagan 14
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit TBC

35
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 15
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit sifilis

36
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 16
Faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan karies gigi

37
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 17
Faktor host, agent, lingkungan perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit kanker

38
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 18
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, dan tahap-tahap pencegahan penyakit
menular

39
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)
Bagan 19
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, perjalanan alamiah, penyakit kurang gizi

40
Catatan: Diambil dari Leavell & Clark: Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)

Bagan 20
Faktor-faktor host, agent, lingkungan, dan perjalanan alamiah, penyakit karena
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis)

41
Catatan:
1. Diambil dari Leavell & Clark (1958)
2. Tahap-tahap pencegahan penyakit ini, bisa dilihat pada Leavell & Clark:
Preventive Medicine for Doctor in His Community (1958)

BAB 3
UKURAN KESAKITAN DAN KEMATIAN
DI MASYARAKAT
Pada Bab 1 telah dibahas perbedaan antara tugas seorang dokter klinik dan dokter
public health. Bagi seorang dokter klinik, sebelum memberikan pengobatan kepada
pasiennya dia harus menegakkan diagnosa terlebih dahulu. Ketika menegakkan
diagnosa, dia lebih sering harus memakai alat bantu, seperti misalnya alat untuk
mengukur kadar Hb pasien, tekanan darah, kadar kolesterol, keadaan jantung, dll.
Kadar Hb pasien ukurannya dalam gr %, kadar kolesterol dalam mg per 100 ml. Ini
adalah contoh ukuran-ukuran yang dipakai oleh dokter untuk menentukan apakah
pasien tersebut mempunyai masalah atau tidak. Apakah anemia, hiperkolesterolemia?
dan seterusnya. Pengobatan kemudian diberikan berdasarkan masalahnya masing-
masing.

Demikian pula halnya bagi dokter public health. Sebelum memberikan pengobatan
(yang biasanya dalam bentuk program), kepada masyarakat yang menjadi tanggung
jawabnya, dia harus menegakkan diagnosa terlebih dahulu untuk mengetahui masalah-
masalah kesehatan pada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika
menegakkan diagnosa/menetapkan masalah kesehatan masyarakat inilah dia
memerlukan ukuran atau indikator kesehatan masyarakat. Ukuran yang dipakai dalam
kesehatan masyarakat ialah rate. Ukuran untuk kesakitan disebut morbidity rate yang
dalam Bahasa Indonesianya disebut angka atau tingkat kesakitan, dan untuk
kematian disebut mortality rate (tingkat kematian).

Rate adalah proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit atau kejadian lainnya
dalam satuan waktu tertentu.

42
Jumlah kejadian (penyakit, kematian, kelahiran, dll.)
Rate = satuan waktu
Penduduk yang terancam dari kejadian tersebut

Berbeda halnya dengan dokter klinik yang hanya berurusan dengan orang yang sakit
(pembilang saja), maka petugas public health bertanggung jawab pada semua
penduduk, baik yang sakit maupun yang tidak sakit (pembilang dan penyebut dari
rate). Contoh berikut ini akan lebih memperjelas perbedaannya. Seorang dokter klinik
lazimnya menulis laporannya sbb:

"Masalah tuberkulosa, gambaran dari 500 kasus"

Sedangkan isi laporan epidemiologi akan berbunyi sbb:

"Angka insiden TBC di Propinsi "X" 9 per 1000 penduduk, dan kelompok penduduk sosial-
ekonomi rendah mempunyai angka insiden 10 kali lebih inggi dibandingkan kelompok
penduduk sosial-ekonomi menengah"

Walaupun demikian bukan berarti pembilang saja (frekuensi atau jumlah kasus)
sama sekali tidak ada artinya bagi seorang petugas public health. Ukuran yang berupa
angka absolut seperti diatas bisa juga dipakai untuk kepentingan manajemen misalnya
untuk merencanakan keperluan obat di suatu wilayah. Contoh: bila jumlah kasus TBC
yang dilaporkan oleh semua puskesmas, rumah sakit, dokter praktek swasta di
Kabupaten "X" jumlahnya 350 orang dalam satu tahun, maka data ini bisa dipakai oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten "X" untuk merencanakan kebutuhan obat TBC
dalam satu tahun. Bila 10% dari 350 kasus tersebut perlu dirawat di rumah sakit, maka
ukuran ini (angka 10%) bisa dipakai oleh kepala rumah sakit untuk merencanakan
kebutuhan tempat tidur, jumlah perawat dan keperluan lain yang perlu dipersiapkan
untuk kepentingan perawatan penderita TBC di rumah sakitnya.

Rasio, Proporsi dan Rate

Dalam bidang kesehatan masyarakat, ukuran yang paling penting ialah rate. Tetapi,
rasio dan proporsi sering pula dipakai. Rasio adalah perbandingan antara dua nilai (x :
y) dimana pembilang tidak ada di penyebut. Pada proporsi, pembilangnya tercakup
dalam penyebut: x/(x + y) dan lazimnya dinyatakan dalam persen, atau tetap dalam
pecahan, misalnya: 65% atau 0,65. Pada Tabel 3 disajikan contoh rasio dan proporsi.

Tabel 3
Jumlah pengunjung Puskesmas "A"
dari tanggal 1 Januari 1992 - 31 Desember 1992 berdasarkan jenis penyakit

Jenis penyakit Jumlah penderita

Influensa 5500
Diare (penyebab tidak jelas) 1100
Tuberkulosa paru-paru 200
Bronhitis khronis 500
Morbili 300
Anemia 900
Kolera 200

43
Eksema 600
Bisul, dan sakit kulit lainnya 900

Semua jenis penyakit 10.200

Berapa perbandingan (rasio) penderita influensa dengan penderita TBC, dan berapa
proporsi penderita influensa dari semua penderita yang berkunjung ke Puskesmas
"A"?

200 5500
Rasio TBC dengan influensa: Proporsi: x 100 = 53,9%
5500 10200

Rate adalah proporsi yang harus memenuhi beberapa ketentuan atau per-
syaratan sebagai berikut:

1. Pembilang dan penyebut harus mempunyai kharakteristik yang sama. Misalnya:


bila pembilang adalah jumlah anak 0-4 thn. (balita) yang menderita kurang gizi di
Kecamatan "X" selama satu tahun, maka penyebutnya juga harus semua anak
umur 0-4 tahun di Kecamatan "X" pada tahun yang sama.

2. Penyebutnya harus kelompok penduduk yang betul-betul terancam untuk


menderita suatu penyakit (population at risk). Misalnya: bila pembilangnya
adalah kejadian kecelakaan lalu lintas, maka penyebutnya adalah kelompok
penduduk yang betul-betul berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan lalu
lintas, misalnya: pengendara kendaraan bermotor, pejalan kaki, dan pemakai
jalan raya lainnya.

3. Dinyatakan dalam satuan waktu, misalnya: dalam kurun waktu tertentu (1 bulan,
1 tahun, 10 tahun, dll.), atau pada suatu saat/point waktu tertentu, misalnya:pada
tanggal 1 Juli 1992.

4. Lazimnya dinyatakan dalam suatu konstanta bilangan bulat kelipatan 10 (100,


1000, 10.000, 100.000, dst.). Bilangan mana yang dipilih tergantung besar-
kecilnya angka yang diperoleh. Bila jumlah kasus selama 1 tahun hanya 12 orang
dan penduduk yang terancam sebanyak 2.890.000 maka dipilih konstanta yang
lebih besar, misalnya 1 juta, sehingga hasilnya menjadi 12/2.890.000 x 1 juta
penduduk = 4,1 per 1.000.000.

5. Penyebutnya adalah penduduk suatu daerah geografis tertentu, misalnya di satu


desa, kecamatan, dst. (batasan administratif), Bali Utara, Bali Selatan, dataran
rendah, pegunungan, dll. (batasan alam). Ada beberapa perkecualian dimana
penyebutnya bukan penduduk suatu daerah geografis tertentu, tetapi jumlah
kelahiran hidup atau yang lainnya.

(a) Yang penyebutnya jumlah kelahiran hidup

Jumlah bayi umur < 1 tahun yang


Infant mortality meninggal dalam 1 tahun
rate (angka ke- = -------------------------------------------------------- x 1000
matian bayi) Jumlah bayi lahir hidup
selama tahun yang sama

44
Jumlah bayi umur < 28 hari yang
Neonatal mortality meninggal dalam 1 tahun
rate (angka ke- = -------------------------------------------------------- x 1000
matian neonatus) Jumlah bayi lahir hidup
selama tahun yang sama

(b) Yang penyebutnya jumlah kelahiran hidup dan kematian fetus

Jumlah kematian fetus (bayi lahir mati


Angka kematian dalam 1 tahun
fetus = -------------------------------------------------------- x 1000
Jumlah bayi lahir hidup + bayi lahir mati
pada periode waktu yang sama

(c) Ukuran yang diberi nama rate, tetapi sebenarnya bukan rate

Jumlah penderita yang mati pada


Case fatality kurun/periode waktu tertentu
rate (CFR) = -------------------------------------------------------- x 100
Jumlah semua kasus/penderita
pada periode waktu yang sama

Dalam epidemiologi rate lazim dikelompokkan menjadi dua yaitu:

• Angka insiden (incidence rate)


• Angka pevalen (prevalence rate)

Pengertian, cara pengukuran, dan pemakaian kedua rate ini amat berbeda. Baik
angka insiden maupun angka prevalen ada yang kasar (crude), spesific, dan
adjusted. Angka kasar (crude), pembilang dan penyebutnya adalah keseluruhan
penduduk tanpa dikelompokkan menjadi subpopulasi. Misalnya: jumlah penduduk yang
terinfeksi HIV (semua umur, laki maupun perempuan, dari seluruh Indonesia) dibagi
jumlah semua penduduk Indonesia. Pada angka spesific pembilang maupun
penyebutnya telah dipilah-pilah menjadi subpopulasi tertentu. Misalnya: jumlah
penduduk laki-laki, per propinsi, per kelompok umur yang terinfeksi HIV dibagi jumlah
semua penduduk laki-laki per propinsi, per kelompok umur. Angka spesific biasanya
dikelompokkan berdasarkan variabel-variabel pada manusianya sendiri (person),
tempat (place) dan waktu (time), atau sering pula disebut: WHO, WHERE, dan WHEN.
Sedangkan adjusted rate adalah angka kasar yang telah disesuaikan.

Angka insiden Angka prevalen


• Crude incidence rate (angka • Crude prevalence rate (angka
insiden kasar) prevalen kasar)
• Specific incidence rate (angka • Specific prevalence rate (angka
insiden spesifik) prevalen spesifik)
 Spesifik berdasarkan umur, pendidikan,  Spesifik berdasarkan umur, pendi-
jenis kelamin, dll. (person, who) dikan, jenis kelamin, dll. (person, who)

45
 Spesifik berdasarkan tempat (where)  Spesifik berdasarkan tempat (where)
 Spesifik berdasarkan waktu (time)  Spesifik berdasarkan waktu (time)
• Adjusted incidence rate (angka insiden • Adjusted prevalence rate (angka pre-
kasar yang telah disesuaikan) valen kasar yang telah disesuaikan)

Angka Insiden dan Angka Prevalen

Angka insiden adalah suatu ukuran kesakitan & kematian yang dipakai untuk mengu-
kur:

Besarnya kemungkinan (probabilitas) terjadinya suatu penyakit pada sekelompok


penduduk yang sebelumnya tidak menderita penyakit tersebut pada suatu kurun waktu
tertentu. Atau, jumlah kasus baru dari suatu penyakit yang terjadi di masyarakat pada
kurun waktu tertentu (lihat Bagan 21)

Jumlah kasus baru dalam kurun waktu tertentu


Angka insiden:
Penduduk yang belum sakit tetapi mempunyai
risiko untuk menderita penyakit tsb. dalam
kurun waktu yang sama

Bagan 21

1/1/90 31/12/90

Kasus 1 >---------------------------------------------------------------<
Kasus 2 >------------------------------------------------<
Kasus 3 >-------------------------------<
Kasus 4 >----------------------------------------------------------<
Kasus 5 >---------------------------------------------------------<
Kasus 6 >--------------------------------------------------------<
Kasus 7 >-----------------------------------------------------------------------------<
_______________________________________________________________
500 orang 497 orang
1/1/90 31/12/90

Keterangan: - tanda ">" pada ujung kiri garis = mulai sakit


- tanda "<" pada ujung kanan garis = sembuh atau meninggal

Seandainya kita ingin mengukur angka insiden penyakit TBC selama satu tahun (1
Januari 1990 - 31 Desember 1990) dengan pengamatan langsung atau dengan
memakai data sekunder pada 500 penduduk yang at rsik (lihat Bagan 21), maka
pembilang angka insiden selama kurun waktu itu ialah 4 orang, yaitu kasus 1, 2, 4 dan
5, sedangkan kasus 3, 6, 7 tidak dihitung, karena sudah sakit sebelum 1 Januari 1990
(bukan kasus TBC yang terjadi setelah tanggal 1 Januari 1990 atau dengan kata lain
bukan kasus baru yang terjadi setelah 1 Januari 1990).

46
Penyebutnya adalah 497 orang karena penduduk inilah yang sehat (tidak menderita
TBC) pada 1 Januari 1990. Dengan kata lain, penduduk inilah yang mempunyai risiko
untuk menderita TBC terhitung sejak 1 Januari 1990. Jadi, penduduk yang sudah sakit
sebelum 1 Januari 1990 dan masih sakit pada tahun 1990, dikeluarkan dari pembi-
lang dan penyebut.

Angka prevalen adalah ukuran yang dipakai untuk mengukur:

Proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada suatu saat (suatu
titik waktu tertentu)

Jumlah kasus pada suatu titik waktu


Angka prevalen:
Penduduk yang diperiksa atau penduduk
total (sehat + sakit) pada titik waktu tsb.

Bila kita ingin mengetahui prevalen TBC pada tanggal 31 Desember 1990 dari 500
penduduk yang dipilih sebagai sampel, maka angka yang diperoleh (lihat Bagan 21)
ialah 4/500 x 1000 = 8 per 1000.

ANGKA INSIDEN (INCIDENCE RATE)

Mengukur angka insiden sekurang-kurangnya memerlukan dua kali pemeriksaan


yaitu pemeriksaan pertama untuk mengetahui penduduk yang sudah sakit sebelumnya,
(sebelum 1/1/90 pada Bagan 21) dan pemeriksaan kedua untuk mengetahui jumlah
kasus yang terjadi dari penduduk yang sebelumnya tidak sakit (kasus 1,2,4,5 dari 497
sampel yang diamati). Karena itu, pengukuran angka insiden memerlukan ketekunan
dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan mengukur angka prevalen. Karena me-
meriksa penduduk beberapa kali maka biayanya akan jauh lebih besar. Bukan saja
untuk biaya pemeriksaan tetapi juga biaya untuk mendatangkan 497 orang tersebut
pada pemeriksaan kedua. Kesulitan yang paling sering dijumpai ialah untuk menda-
tangkan penduduk ke tempat pemeriksaan. Penduduk yang diperiksa pertama kali
sering kali tidak datang pada pemeriksaan berikutnya. Ketika dicari ke alamat tinggal-
nya sering kali tidak dijumpai karena telah pindah (lost to follow-up). Dengan demi-
kian, pada pengukuran angka insiden sekurang-kurangnya akan diperoleh dua angka
prevalen (angka prevalen pada titik waktu 1/1/90 dan 31/12/90 pada Bagan 21).

Untuk mendapatkan angka insiden bisa ditempuh tiga cara, yaitu:

1. Melakukan pengamatan secara langsung pada sekelompok penduduk (sampel)

Seperti digambarkan pada Bagan 21, 500 penduduk yang dipilih sebagai sampel
secara khusus diamati untuk memperoleh angka insiden TBC selama satu tahun,
misalnya dari tanggal 1 Januari 1990 sampai dengan 31 Desember 1990. Pada tanggal
1 Januari 1990, 500 penduduk ini harus diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui
mereka-mereka yang sudah telah sakit TBC sebelum 1 Januari 1990. Mereka yang
dijumpai sakit pada pemeriksaan pertama (1 Januari 1990) dikeluarkan dari penga-
matan. Sisanya (yang sehat) lalu diamati sampai dengan 31 Desember 1990 (diperiksa
secara berkala, mungkin setiap bulan, setiap 3 bulan, 6 bulan atau setelah 1 tahun,

47
tergantung jenis penyakitnya dan biaya yang tersedia). Makin sering pemerik-saan
dilakukan maka ketekunan dan biaya yang diperlukan akan semakin tinggi. Pada
penyakit-penyakit yang perjalanannya pendek, cepat sembuh atau cepat meninggal,
maka pemeriksaan harus lebih sering dilaksanakan. Bila tidak, maka kasus-kasus ini
tidak akan terhitung sebagai pembilang (lihat Bagan 24). Pemeriksaan berkala
bermaksud untuk mendapatkan pembilang dari angka insiden, yaitu mereka-mereka
yang pada pemeriksaan tanggal 1 Januari 1990 tidak menderita TBC lalu terkena TBC
pada periode waktu setelah 1 Januari 1990 sampai batas akhir pengamatan (31
Desember 1990). Untuk penyakit-penyakit yang perjalanan penyakitnya panjang atau
khronis, untuk menghemat biaya maka pemeriksaan lazimnya hanya dilakukan dua kali
saja, yaitu:

• Pada awal pengamatan, dengan maksud untuk menyisihkan penduduk yang te-
lah sakit sebelumnya.
• Pada akhir pengamatan, dengan maksud untuk mengetahui jumlah penduduk
yang terkena penyakit antara 1 Januari 1990 - 31 Desember 1990.

Pada cara ini karena pengamatan/pemeriksaan dilakukan secara langsung oleh si


pengukur angka insiden, maka data yang diperoleh adalah dari tangan pertama atau
disebut pula data primer.

2. Memperkirakan/estimasi dengan jalan menghitung atau memakai catatan jum-


lah kunjungan pasien di tempat-tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, dokter praktek swasta, laboratorium, dll) sebagai pembilang dan
jumlah penduduk at risk di wilayah yang bersangkutan sebagai penyebut

Cara yang kedua ini disebut memakai data sekunder karena memakai data yang
dikumpulkan oleh orang lain (petugas rumah sakit, puskesmas, laboratorium, dll.), dan
data jumlah penduduk yang dikumpulkan oleh petugas pencatatan penduduk atau
petugas sensus (Biro Pusat Statistik/BPS). Sebagian penduduk yang sakit biasanya
mencari pengobatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Angka insiden bisa
diperkirakan dengan jalan memakai jumlah penduduk yang menderita suatu penyakit
tertentu yang tercatat di tempat pelayanan kesehatan sebagai pembilang. Sebagai pe-
nyebut dipakai jumlah penduduk di wilayah tersebut yang biasanya bisa didapatkan di
kantor camat atau kantor statistik setempat. Data penduduk ini seperti ini biasanya
didapatkan melalui tiga cara yaitu: (a) sensus penduduk yang umumnya dilaksanakan
10 tahun sekali, (b) registrasi penduduk yang umumnya dilakukan setiap tahun, (c)
memperkirakan jumlah penduduk pada tahun tertentu dengan memakai data sensus
dan angka pertumbuhan penduduk.

Karena baik data pembilang maupun penyebut diperoleh dari tempat lain (tidak
diukur sendiri oleh si penghitung angka insiden), maka cara ini disebut pula dengan
memakai data sekunder.

Dengan cara ini biayanya akan jauh lebih murah, tetapi angka insiden yang dipero-
leh hanya perkiraan saja karena seperti telah dijelaskan pada Bagan 10 di Bab 2
bahwa tidak semua penduduk yang sakit akan mendatangi tempat-tempat pelayanan
kesehatan. Seandainya banyak penduduk yang sakit tidak mendatangi tempat-tempat
pelayanan tersebut misalnya karena:

48
• tidak menyadari dirinya sakit/tidak merasa dirinya sakit (inapparent infection),
• mengobati sendiri penyakitnya (membeli obat di warung),
• merasa/mengetahui dirinya sakit tetapi dibiarkan saja karena tidak mempunyai
biaya untuk berobat (alasan ekonomis),
• mereka mempunyai anggapan bahwa penyakitnya tidak perlu atau tidak bisa
diobati dengan cara pengobatan modern (persepsi tentang sakit),
• jauh dari tempat pelayanan (alasan geografis),
• mencari pengobatan ke luar wilayah,
• faktor-faktor/alasan-alasan lainnya.

maka angka insiden yang diperoleh akan jauh lebih rendah dari kenyataannya. Selain
itu ketepatan data tentang diagnosa penyakit yang tersedia di tempat-tempat pela-
yanan kesehatan tersebut juga sangat tergantung dari kemampuan petugas untuk
melakukan diagnosa dan alat-alat bantu diagnosa yang tersedia.

Seperti dikemukakan di atas bahwa pembilang angka insiden ialah jumlah penduduk
yang sebelumnya tidak sakit lalu menjadi sakit pada kurun waktu tertentu. Bila angka
insiden dihitung dengan jalan memakai catatan ditempat pelayanan kesehatan,
kesulitannya ialah untuk menetapkan kapan dikatakan seseorang mulai sakit, karena
bisa jadi seseorang baru datang ke rumah sakit pada bulan Januari 1993 padahal dia
sudah kena penyakit sejak Oktober 1992. Apakah kasus seperti ini harus dihitung
sebagai insiden tahun 1993 atau 1992?. Keadaan ini juga merupakan kelemahan dari
pemakaian data sekunder. Patokan yang lazim dipakai untuk menetapkan saat
sebagai kasus baru bila memakai data sekunder ialah salah satu dari patokan-
patokan di bawah ini.

(a) Saat ketika mulai ada gejala penyakit, misalnya: panas, dan bercak-bercak pada
kulit untuk morbili, kejang untuk tetanus, batuk-batuk untuk TBC, dll. Tentu saja
gejala-gejala tersebut hanya bisa diperoleh dari anamnesa (mewawancarai
penderita atau keluarganya).

(b) Saat diagnosa ditegakkan. Sering kali seseorang datang ke puskesmas atau
rumah sakit dengan gejala-gejala penyakit yang tidak jelas dan rumah sakit
memerlukan waktu yang agak lama untuk memastikan diagnosa penyakitnya.

(c) Pada saat dilaporkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Bila angka insiden
akan dihitung dengan jalan menunggu laporan yang dikirim oleh pusat-pusat
pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, lab., dokter swasta, dll.), maka satu-
satunya jalan ialah menetapkan sebagai kasus baru ketika laporan diterima.

(d) Saat masuk rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan lainnya, walaupun diagnosa
pastinya baru diketahui belakangan.

Untuk penyakit-penyakit khronis, patokan-patokan di atas akan banyak salahnya.


Bila kasus 3, 6, 7 (Bagan 21) datang di klinik setelah tanggal 1 Januari 1990, maka
ketiganya akan terhitung sebagai insiden tahun 1990 padahal mereka sudah sakit
sebelumnya. Untuk penyakit-penyakit akut dengan gejala-gejala yang jelas, misalnya:
tetanus, influenza, dll., kesalahannya akan lebih kecil.

49
Kesalahan lainnya ialah bila penduduk yang berdomisili di wilayah yang satu
mendatangi tempat pelayanan di wilayah lainnya. Dengan demikian maka mereka yang
bertempat tinggal di Wilayah "A" akan terhitung di Wilayah "B" dan demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi hal ini bisa diatasi dengan lebih mudah, yaitu dengan jalan me-
lihat alamat tempat tinggal penderita. Bila di luar wilayah, maka dikeluarkan dari pem-
bilang.

Selain kesalahan-kesalahan pada pembilang, kesalahan angka insiden yang dihitung


dari data sekunder juga bersumber dari penyebutnya. Seperti telah diuraikan di atas
bahwa yang seharusnya dipakai sebagai penyebut hanya penduduk yang terancam
terhadap penyakit yang angka insidennya akan diukur. Dengan memakai data
penduduk di suatu wilayah sebagai penyebut maka penduduk yang sebenarnya tidak at
risk untuk menderita penyakit tersebut juga tercakup di dalamnya (misalnya: yang
sudah kebal).

3. Memperkirakan angka insiden dari angka prevalen

Selain cara pertama (pengamatan langsung) dan cara kedua (data sekunder), angka
insiden juga bisa diperkirakan dari besarnya angka prevalen dan rata-rata lama sakit
(durasi). Pada Bagan 23 dan 24, jelas terlihat bahwa besar kecilnya angka prevalen
tergantung dari dua faktor (variabel):

• jumlah penderita di masa lalu (insiden di waktu lalu),


• lama rata-rata sakit (durasi)

Dengan demikian, bisa dibuat suatu persamaan (formula) sbb:

P  I X d
formula 1

P = prevalen, I = Insiden, d = rata-rata lama sakit (durasi)

Bila angka insiden (I) dan rata-rata lama sakit (d) stabil dalam waktu yang lama, maka
tanda mendekati () pada formula 1 bisa dirobah menjadi tanda sama dengan (=)
seperti pada formula 2.

P = I x d formula 2

Angka insiden stabil dalam waktu yang lama artinya setiap tahun besarnya angka insiden
penyakit hampir sama (tidak terjadi kenaikan atau penurunan yang drastis). Angka insiden
penyakit bisa turun secara drastis bila dijumpai teknologi pencegahan atau pengobatan
penyakit yang efektif. Misalnya: vaksin BCG untuk mencegah TBC, penisilin untuk mengobati
sifilis. Dengan bisa disembuhkannya penderita sifilis, maka pengidap penyakit ini tidak lagi
menularkan penyakitnya pada orang lain sehingga jumlah penderita baru (insiden) menjadi
berkurang. A.I. bisa pula meningkat dengan tajam seperti halnya AIDS dan kanker paru-paru.

Rata-rata lama sakit (durasi) bisa bertambah pendek secara drastis bila dijumpai teknologi
penyembuhan penyakit yang baru. Misalnya: pada tahun 1950-an, rata-rata lama sakit TBC

50
jauh lebih panjang dari sekarang karena pada saat itu belum dijumpai obat-obat untuk pengoba-
tan TBC seperti yang ada sekarang ini.
Jadi, bila angka prevalen dijumpai tinggi, tidak selalu mencerminkan kemungkinan
penduduk menjadi sakit (insiden) juga tinggi, tetapi bisa pula karena penderita hidup
lebih lama dibandingkan di masa lalu, misalnya karena diketemukannya teknologi baru
untuk memperpanjang hidup penderita. Karena untuk mengukur angka insiden
memerlukan waktu yang lebih panjang, biaya yang lebih mahal serta usaha yang lebih
tekun, maka bila prevalen penyakit telah diketahui, insiden bisa diperkirakan dengan
memakai formula di atas, seperti contoh di bawah ini.

Tabel 4. Angka prevalen, insiden, durasi leukemia akut & khronis

Ukuran Leukemia akut Leukemia khronis

Angka prevalen per 1 juta penduduk 6,7 56,1

Rata-rata lama sakit (durasi) yaitu mulai saat 2,5 bulan 23 bulan
diagnosa ditegakkan sampai meninggal

Angka insiden per 1 juta penduduk per tahun 32, 2 29,3

Sumber: MacMahon, B., and Pugh, T.F.: Epidemiologic Principles and Methods, 1970

Angka Insiden dengan Jumlah Penduduk atau Jumlah Kejadian


Sebagai Pembilang
Untuk penyakit-penyakit yang tidak memberi kekebalan, maka penduduk bisa
terkena penyakit beberapa kali dalam suatu kurun waktu tertentu (lihat Bagan 22).
Pada penyakit-penyakit yang tidak memberi kekebalan, durasi sakitnya pendek, dan
tidak fatal (misalnya: influenza), walaupun kasus 1, 3, 5, 6, 7 sudah sakit sebelum
tanggal 1 Januari 1990, maka pada tahun 1990, semua penduduk (500 orang) kembali
terancam untuk menderita influenza. Karena satu orang bisa sakit berkali-kali selama
tahun 1990, maka pembilang angka insiden bisa jumlah orang yang sakit atau bisa
pula jumlah kejadian influenza. Keduanya merupakan ukuran kesakitan (angka
insiden) yang bermanfaat, tetapi mempunyai arti dan kegunaan yang berbeda (lihat
Tabel 5).

Bagan 22

Kasus 1 >--------< >-----------< >-------------< >--------<


Kasus 2 >----------< >-------------------------------<
Kasus 3 >------------------< >------------< >----------< >--------------<
Kasus 4 >--------------------------<
Kasus 5 >----------< >-------------------<
Kasus 6 >-----------< >---------------< >----------< >-------<
Kasus 7 >----------------< >---------------< >--------------<
_______________________________________________________________
500 orang 500 orang
1/1/90 31/12/90
Keterangan: - tanda ">" pada ujung kiri garis = mulai sakit
- tanda "<" pada ujung kanan garis = sembuh

51
Tabel 5. Perberdaan antara jumlah orang dan jumlah kejadian sebagai
pembilang angka insiden

Angka insiden Jumlah orang sebagai Jumlah kejadian sebagai


(Bagan 22) pembilang pembilang
Cara menghitung 7/500 x 1000 = 14 per 1000 14/500 x 1000 = 28 per 1000

Interpretasinya Besarnya kemungkinan (probabi- Jumlah kejadian influenza yang


litas) seseorang untuk menderita mungkin terjadi pada 1 orang
influenza dalam 1 tahun ialah penduduk dalam 1 tahun ialah
0,014 0,028

Kegunaan Untuk mengungkapkan etiologi Untuk keperluan manajemen


atau faktor-faktor penyebab pe- (perencanaan obat, tenaga me-
nyakit dis, dll.)

Penyebut Angka Insiden

Pada prinsipnya, penyebut angka insiden adalah semua penduduk yang bisa terkena
penyakit yang akan diukur angka insidennya (population at risk). Bila kita ingin
mengukur angka insiden kanker penis, tentu saja penduduk wanita tidak tepat bila
diikutkan sebagai penyebut. Untuk mengukur insiden pemakaian kontrasepsi pada
kurun waktu tertentu, maka yang dipakai sebagai penyebut adalah semua wanita yang
bisa hamil pada kurun waktu tersebut. Jadi, penduduk yang tidak terancam harus
dikeluarkan dari penyebut. Kelompok yang dianggap tidak terancam antara lain
mereka-mereka yang:

(a) Sudah pernah terkena suatu penyakit lalu kebal.


(b) Telah mendapat kekebalan buatan (imunisasi).
(c) Sebelumnya sudah sakit dan masih sakit ketika angka insiden akan diukur dan
diperkirakan sakitnya dalam waktu lama. Pada Bagan 22, karena lama sakit
influenza umumnya dalam waktu pendek, maka penduduk yang sudah sakit
sebelum tanggal 1 Januari 1990, dan masih sakit pada tanggal 1 Januari 1990,
akan kembali terancam menderita influenza pada tahun 1990.
(d) Penduduk yang mati.
(e) Penduduk yang tidak bisa di follow-up, misalnya: tidak dijumpai, pindah, tidak
datang pada pemeriksaan berikutnya. Berbeda dengan angka prevalen dimana
penyebutnya adalah penduduk pada satu titik (point) waktu tertentu, misalnya
penduduk pada tanggal 1 Juli 1990, maka penyebut angka insiden adalah pen-
duduk at risk selama tahun 1990.

Sehubungan dengan butir (e) di atas, masalah yang muncul ialah: penduduk kapan
harus dipakai sebagai penyebut?. Apakah penduduk tanggal 1 Januari?, 1 Februari?,
10 Juli?, 15 Desember? Jelas setiap hari jumlah penduduk akan berobah. Untuk
mengatasinya, ada empat alternatif yang bisa ditempuh, seperti diuraikan di bawah ini.

1. Memakai jumlah penduduk rata-rata sebagai penyebut

52
Penduduk tanggal 1 Januari + penduduk tanggal 2 Januari
+ penduduk tanggal 3 Januari + dan seterusnya
365 (1 tahun terdiri dari 365 hari)

Cara ini tentu amat merepotkan karena harus tersedia data penduduk harian. Untuk le-
bih menyederhanakan maka bisa ditempuh alternatif nomer 2 dan nomer 3 di bawah.

2. Penduduk awal tahun + penduduk akhir tahun dibagi dua

Penduduk tanggal 1 Januari + penduduk 31 Desember


2

3. Penduduk pertengahan tahun (tanggal 1 Juli) atau pertengahan periode waktu


pengamatan sebagai penyebut. Itulah sebabnya maka sensus penduduk
kebanyakan dilaksanakan pada bulan Juli. Bila penduduk bulan Juli tidak tersedia
sebenarnya alternatif kedua di atas adalah merupakan perkiraan penduduk
pertengahan tahun. Bila kurun waktu pengamatannya lebih dari satu tahun misalnya,
dari tahun awal 1990 s/d akhir 1994, maka penduduk pada pertengahan tahun 1992
adalah penduduk pertengahan 1990-1994.

4. Tahun-orang (person-years) sebagai penyebut

Penyebut yang paling tepat dipakai untuk mengukur angka insiden ialah "tahun-
orang", karena dengan memakai "tahun-orang" maka lama pengamatan masing-masing
individu telah diperhitungkan. Bila ini yang dipilih sebagai penyebut maka informasi
(data) yang harus tersedia ialah lama pengamatan dari masing-masing penduduk
yang diamati.

Contoh: Andaikata Anda ingin mengukur insiden kanker mulut rahim pada penduduk
yang memakai pil kontrasepsi selama 5 tahun (misalnya: dari 1 Januari 1990 - 31
Desember 1994), maka semua wanita yang berminat memakai pil kontrasepsi mulai 1
Januari 1990 diperiksa terlebih dahulu mulut rahimnya untuk mengetahui apakah
mereka itu bebas (tidak menderita) kanker mulut rahim sebelumnya (sebelum mulai
memakai pil kontrasepsi). Yang dijumpai menderita kanker mulut rahim pada
pemeriksaan awal, tidak diikutkan dalam kelompok penduduk yang akan diamati atau
tidak diperkenankan memakai pil kontrasepsi. Mereka yang memenuhi syarat dan mulai
memakai pil KB sejak 1 Januari 1990 lalu diamati, diminta datang secara berkala untuk
diperiksa mulut rahimnya, untuk mengetahui seberapa banyak yang tadinya bebas dari
kanker mulut rahim, kemudian menderita penyakit ini, yaitu untuk menghitung
pembilang angka insiden. Selain diperiksa, ketika datang untuk pemeriksaan berkala
mereka juga diwawancarai, apakah masih tetap memakai pil tersebut. Bila telah
berhenti/pernah berhenti, kapan berhenti. Tentu saja tidak semua wanita yang telah
menerima pil kontrasepsi akan begitu saja tunduk untuk datang secara berkala sesuai
dengan kehendak kita. Bagi yang tidak datang, seyogyanya dikunjungi ke rumahnya.
Tentu saja tidak semua yang dikunjungi akan bisa dijumpai dialamatnya masing-
masing, terlebih-lebih di daerah perkotaan, dimana mobilitas penduduk amat tinggi.
Dari hasil wawancara tentang apakah masih tetap memakai pil atau tidak, dan bila
tidak, kapan berhenti, maka akan diperoleh data tentang lama memakai pil
kontrasepsi bagi masing-masing wanita. Data inilah yang diperlukan bila Anda akan

53
memakai women-years sebagai penyebut, yaitu data tentang lama memakai pil kon-
trasepsi dari masing-masing wanita yang diamati.

Setelah 31 Desember 1994, jumlah wanita yang menderita kanker mulut rahim
dijumlahkan, yaitu pembilang dari angka insiden, dan jumlah semua wanita yang
memakai pil kontrasepsi 1 Januari 1990 - 30 September 1994 ditabulasi. Mengapa
hanya sampai tanggal 30 September dan bukan sampai 31 Desember 1994?.
Jawabnya ialah: untuk memberi kesempatan kepada wanita yang baru mulai memakai
pil sejak 30 September 1994 untuk memakai pil selama periode waktu tertentu,
misalnya selama 3 bulan, bila mereka diminta datang untuk mengambil pil dan periksa
mulut rahimnya setiap 3 bulan. Selain itu, 1 bungkus pil kontrasepsi yang lazim
diberikan di klinik-klinik keluarga berencana di Indonesia isinya 3 siklus dan 1 siklus
untuk 1 bulan.

Misalnya hasilnya adalah sbb:

• Jumlah penderita kanker yang diperoleh selama periode pengamatan = 12


• Jumlah pemakai pil selama periode/kurun waktu pengamatan = 4500 orang,
dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah wanita dan lama pemakaian pil kontrasepsi

Lama pemakaian (dalam bulan) Jumlah wanita


3 500
4 600
6 600
9 400
12 400
18 500
24 500
36 300
48 400
54 300
Jumlah semua wanita yang diamati 4500

Jumlah women-years = (500 x 1/4 th) + (600 x 1/3 th) + (600 x 1/2 th) + (400 x 3/4 th) + (400 x 1 th) +
(500 x 1,5 th) + (500 x 2 th) + (300 x 3 th) + (400 x 4th) + (300 x 4,5 th) =
125 + 200 + 300 + 300 + 400 + 750 + 1000 + 900 + 1600 + 1350 = 6.925
women-years

Angka insiden kanker mulut rahim pada wanita pemakai pil kontrasepsi = 12/6925 x
1000 = 1,7 per 1000 women-years.

Interpretasinya: bila ada 1000 wanita memakai pil kontrasepsi, dan semuanya
memakai pil selama 1 tahun maka besarnya kemungkinan atau besarnya risiko bagi
1000 orang pemakai pil kontrasepsi untuk menderita kanker mulut rahim ialah 1,7 atau
0,0017 per orang.

54
ANGKA PREVALEN (POINT DAN PERIOD PREVALEN)

Angka prevalen dipakai untuk mengukur proporsi penduduk yang menderita suatu
penyakit pada satu titik waktu tertentu. Ukuran ini disebut point prevalen (lihat Bagan
23). Berbeda dengan angka insiden yang bermanfaat untuk mengukur kejadian
penyakit akut maupun penyakit khronis di masyarakat, maka point prevalen hanya
bermanfaat untuk mengukur kejadian penyakit khronis saja. Bila point prevalen
dipakai untuk mengukur penyakit akut yang perjalanan penyakitnya dalam waktu yang
singkat maka ukuran yang diperoleh tidak akan mencerminkan kejadian penyakit yang
sesungguhnya di masyarakat. Pada Bagan 24 terlihat bahwa bila angka prevalen
diukur pada tanggal 1 Januari 1990, penduduk yang dijumpai sedang sakit pada saat itu
hanya 1 orang. Bila diukur pada tanggal 30 April dijumpai 2 orang, dst., padahal jumlah
(insiden) penduduk yang sakit dalam satu tahun cukup banyak. Dalam keaadaan
seperti ini (peyakit akut) maka angka insiden akan lebih bermanfaat untuk dipakai
sebagai ukuran.

Bagan 23

Kasus 1 <------------------------------------------------------------------------------<
Kasus 2 <----------------------------------------------------------------
Kasus 3 <-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus 4 <-----------------------------------------------------------------------------------------
Kasus 5 <----------------------------------------
Kasus 6 <---------------------------------------------------------------------------------->
Kasus 7 <-------------------------------------------------------------------------------------------------

Saat pe- 1/1/90 30/4/90 15/9/90 31/12/90


ngukuran
Jumlah sam- 500 orang 500 orang 500 orang 500 orang
pel yang di-
periksa
Keterangan: - tanda ">" pada ujung kiri garis = mulai sakit
- tanda "<" pada ujung kanan garis = sembuh atau meninggal

Bila Anda ingin mengetahui proporsi penduduk yang sedang sakit pada tanggal 1
Januari 1990 (Bagan 23), maka point prevalennya ialah : 3/500 x 1000 = 6 per 1000
penduduk. Pada tanggal 30 April 1990, 5/500 x 1000 = 10 per 1000 penduduk. Pada
tanggal 15 September, 6/500 x 1.000 = 12 per 1000 penduduk, dan bila diukur pada
tanggal 31 Desember 1990 ialah 7/500 x 1.000 = 14 per 1000 penduduk. Bedanya
dengan penyebut angka insiden, maka ketika menghitung angka prevalen, semua
penduduk yang sudah sakit sebelumnya tetap diikutkan dalam penyebut. Pada penyakit
yang perjalanannya puluhan tahun, maka pada kelompok penduduk yang le-bih tua
secara otomatis angka prevalennya akan lebih tinggi karena jumlah penderita yang
kumulatif (lihat Bagan 23). Karena itu angka prevalen sama sekali tidak bisa dipakai
untuk mengukur besarnya risiko sekelompok penduduk untuk menderita suatu penyakit,
seperti halnya angka insiden, tetapi hanya dipakai untuk mengukur proporsi penduduk
yang menderita penyakit pada suatu saat (lihat juga uraian tentang penggunaan angka
insiden & prevalen).

55
Penduduk yang dipakai sebagai penyebut tentu saja harus dipilih kelompok
penduduk yang mempunyai risiko untuk menderita penyakit yang akan diukur.
Misalnya: bila ingin mengukur prevalen penyakit kanker mulut rahim, dipilih penduduk
wanita umur 30 tahun ke atas, karena penduduk wanita umur di bawah 30 tahun
mempunyai risiko yang sangat rendah untuk menderita penyakit ini.

Bagan 24
<------------<
<--------->
< ------------------->
<--------------------->
<------->
<----->
<--------->
<----> <---->
<------>
<----------> <-------->
<-------->
<--------------> <------------->
<----------------------------->

1/1/90 30/4/90 15/9/90 31/12/90

Keterangan: - tanda ">" pada ujung kiri garis = mulai sakit


- tanda "<" pada ujung kanan garis = sembuh

Pada beberapa penyakit (misalnya: psikosis, sizophrenia, dan penyakit-penyakit jiwa


lainnya) dimana gejala-gejalanya muncul secara kumat-kumatan dan onsetnya (mulai
sakit) sukar diketahui, maka angka insiden maupun point prevalen akan kurang
bermanfaat. Untuk mengukur kejadian penyakit seperti ini di masyarakat maka angka
insiden dan point prevalen digabungkan. Ukurannya disebut period prevalen.

Period prevalen: Jumlah orang yang dijumpai sakit pada pe-


meriksaan awal + kasus baru pada periode waktu tertentu,
dibagi populasi rata-rata atau populasi total.
Karena ukuran seperti ini hanya bermanfaat untuk beberapa penyakit saja, maka
penggunaannya juga amat jarang, dibandingkan dengan point prevalen. Karena point
prevalen yang jauh lebih sering digunakan, maka istilah point juga sering kali tidak di-
cantumkan. Bila disebutkan hanya prevalen saja, maka yang dimaksudkan adalah point
prevalen. Bila yang dimaksudkan adalah period prevalen, maka istilah period selalu
akan dicantumkan. Cara menghitungnya, lihat Bagan 25.
Bagan 25

100 penderita
<--------------------------------------- 25 penderita baru ---------------------------->

1 Januari 1989 31 Desember 1990


10.000 penduduk 9.000 penduduk

56
Contoh: (lihat Bagan 25). Pada tanggal 1 Januari 1989 dilakukan pemeriksaan per-
tama terhadap 10.000 penduduk yang mempunyai risiko untuk menderita penyakit
psikosis. Pada pemeriksaan ini ada 100 orang yang menderita penyakit tersebut. Pada
pengamatan selama dua tahun yaitu sampai dengan 31 Desember 1990 dijumpai
penderita baru sebanyak 25 orang. Sebanyak 1000 orang yang diperiksa pada
pemeriksaan pertama tidak lagi bisa diamati karena pindah alamat, alamat tidak jelas,
dan alasan lainnya.
100 + 25
Angka period prevalen selama 2 tahun: ---------------------------
1/2 (10.000 + 9.000)

=125/9.500 x 1.000 = 13,2 per 1.000 penduduk


atau sekitar 6,6 per 1000 dalam 1 tahun
100 + 25
Atau: ------------------ = 125 per 10.000 penduduk atau 12, 5 per 1000 penduduk dalam 2 thn.
10.000

PENGGUNAAN ANGKA INSIDEN DAN PREVALEN


Kedua ukuran ini diciptakan oleh para ahli untuk keperluan tertentu. Jadi, ada
kebutuhan terlebih dahulu, kemudian diciptakan ukuran-ukuran untuk keperluan
tersebut, dan bukan sebaliknya, tersedia ukuran-ukuran terlebih dahulu, lalu dicari-cari
untuk apa ukuran tersebut. Angka insiden diciptakan dengan maksud untuk mengetahui
besarnya risiko suatu kelompok penduduk untuk menderita suatu penyakit, atau dengan
kata lain untuk mengungkapkan faktor-faktor penyebab (etiologi) suatu penyakit.
Misalnya, dengan mengetahui angka insiden spesifik (angka insiden pada sub-
kelompok penduduk) maka sering kali etiologi penyakit yang tadinya masih gelap,
berhasil diungkapkan. Contoh klasik ialah ketika angka insiden kolera pada kelompok
penduduk yang dilayani oleh Perusahan Air Minum Southwark & Vauxhall dibandingkan
dengan angka insiden kolera pada kelompok penduduk yang dilayani oleh P.A.M.
Lambeth di London pada tahun 1854. Demikian pula halnya dengan ribuan penyakit
lainnya yang saat ini penyebabnya belum diketahui secara jelas. Contoh yang masih
segar ialah adanya titik-titik terang penularan penyakit AIDS yaitu melalui hubungan
seksual, dan kemudian diketahui penyebabnya karena infeksi HIV, karena angka
insiden AIDS pada awal-awal dari masa epidemi jauh lebih tinggi pada kelompok gay
(homoseks) dibandingkan kelompok penduduk lainnya.

Selain untuk mengungkapkan etiologi penyakit, angka insiden juga dipakai oleh para
manajer (pimpinan puskesmas, kepala dinas kesehatan tingkat kabupaten, pimpinan
rumah sakit, dll) untuk merencanakan dan menilai program-programnya. Sebagai
contoh, Kepala Polisi Daerah (Kalpoda) akan memakai angka insiden kecelakaan lalu
lintas untuk merencanakan program, misalnya merencanakan langkah-langkah
operasional di lapangan (pada bulan-bulan apa, pada ruas-ruas jalan yang mana saja,
dilakukan) dan sekaligus untuk menilai keberhasilan kegiatannya tersebut setelah
dilaksanakan 1 atau 2 tahun. Seorang dokter puskesmas akan memakai angka insiden
diare dan influenza untuk merencanakan kebutuhan oralit dan obat influenza, atau me-
makai angka insiden tetanus neonatorum untuk merencanakan program latihan dukun
beranak di wilayah kerjanya.

57
Berbeda dengan angka insiden, maka angka prevalen diciptakan para ahli semata-
mata hanya untuk kepentingan manajemen (perencanaan dan evaluasi program),
terutama untuk penyakit-penyakit menahun (khronis). Seperti telah diuraikan di atas
bahwa memperoleh angka insiden jauh lebih mahal dibandingkan angka prevalen.
Untuk keperluan manajemen penyakit-penyakit khronis (program pencegahan
pengobatan, penilaian, dll), tidak perlu harus menghitung angka insiden, tetapi cukup
angka prevalen saja. Sebagai contoh: bila angka prevalen TBC di Bali = 4 per 1000
penduduk, maka perkiraan jumlah penderita TBC di Bali sekarang ialah 4/1000 x
3.000.000 = 12.000 penderita. Bila 25% dari penderita ini berhasil diketemukan dengan
jalan melakukan active case finding, 25/100 x 12.000 = 3.000 kasus. Bertolak dari
angka prevalen tersebut lalu bisa direncanakan kebutuhan obat, tenaga para medis, dll.
Setelah 5 tahun angka prevalen TBC diukur kembali, dan bila diperoleh 2 per 1.000,
berarti program yang dilaksanakan telah memberikan hasil.

Angka prevalen tidak bisa dipakai untuk mengungkapkan etiologi penyakit karena
ukuran ini tidak mencerminkan besarnya risiko sekelompok penduduk untuk menderita
suatu penyakit. Angka ini hanya menunjukkan jumlah penderita penyakit (kasus) yang
ada pada suatu populasi, pada suatu point waktu. Berikut ini dikemukakan suatu contoh
yang menunjukkan mengapa angka prevalen tidak bisa dipakai untuk mengungkapkan
etiologi penyakit (lihat Tabel 7 & Tabel 8). Selain itu, karena angka prevalen diukur
secara cross-sectional (pada satu saat), maka data tentang kejadian penyakit serta
faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya dikumpulkan pada saat yang sama.
Untuk bisa mengatakan bahwa faktor "X" adalah etiologi penyakit "Y" maka "X"
(penyebab) harus ada duluan, kemudian barulah terjadi penyakit "Y" (akibat). Hu-
bungan kausal yang berkaitan dengan waktu (tempo) disebut kriteria hubungan tempo-
ral. Karena ada-tidaknya penyakit serta faktor-faktor risiko diukur pada saat yang sama
maka dengan memakai angka prevalensi, hubungan temporal tidak bisa dipenuhi.

Tabel 7. Parevalen penyakit jantung koroner dari 4.469 orang,


umur 30-62 tahun, Framingham, tahun 1965

Kelompok Jml. penduduk pria Jml. Rate per Jml. penduduk wa- Jml. Rate per Ratio
umur yang diperiksa kasus 1000 nita yang diperiksa kasus 1000 rate

30-44 1.083 5 4,6 1.317 7 5,3 0,9

45-62 941 43 45,7 1.128 21 18,6 2,5

30-62 2.024 48 23,7 2.445 28 11,5 2,1

Sumber: Mausner, J., S.: Epidemiology an Introductory Text, 1985


Tabel 8
Insiden penyakit jantung koroner selama 8 tahun pada
4.995 penduduk yang sebelumnya bebas dari penyakit tsb.
Framingham, 1965 - 1973
Kelompok Jml. penduduk Jml. Rate per Jml. penduduk Jml. Rate per Ratio
umur pria yang kasus 1000 wanita yang kasus 1000 rate
diperiksa diperiksa

30-39 825 20 24,2 1.036 1 1,0 24,2


40-49 770 51 66,2 955 19 19,9 3,3
50-59 617 81 131,3 792 53 66,9 2,0

58
30-59 2.212 152 68,7 2.783 73 26,2 2,6

Sumber: Mausner, J., S.: Epidemiology an Introductory Text, 1985

Contoh lainnya: hubungan sebab-akibat antara hipertensi dengan hiperkolesterole-


mia. Untuk bisa mengatakan bahwa hipertensi disebabkan oleh hiperkolesterolemia
maka hiperkolesterolemia harus terjadi terlebih dahulu, kemudian disusul dengan
terjadinya hipertensi, dan bukan sebaliknya. Bila parevalen hipertensi dan kadar
kolesterol diukur pada sekelompok penduduk pada satu saat (cross-secsectional),
maka kita tidak akan tahu entah mana yang terjadi duluan apakah hipertensi dulu, baru
terjadi hiperkolesterolemia atau sebaliknya, karena pengamatan terhadap keduanya
dilakukan pada saat yang sama. Tidak demikian halnya dengan angka insiden, dimana
sekelompok penduduk yang hiperkolesterolemia (population at risk), tetapi masih bebas
dari hipertensi, diamati dalam kurun waktu tertentu, lalu secara berkala diperiksa
tekanan darahnya, untuk mengetahui terjadinya hipertensi. Bila angka insiden pada
kelompok ini dibandingkan dengan angka insiden hipertensi pada kelompok penduduk
yang tidak hiperkolesterolemia, maka akan diperoleh besarnya risiko untuk menderita
hipertensi, dan bisa dikatakan bahwa hiperkolesterolemia kemungkinan sebagai pe-
nyebabnya, karena hiperkolesterolemia terjadi duluan yang kemudian diikuti oleh
hipertensi. Hal seperti ini disebut dengan hubungan temporal yang merupakan salah
satu kriteria dari hubungan kausal (akan dibahas pada Bab 5).

Pada Tabel 7 dan Tabel 8 disajikan hasil penelitian penyakit jantung koroner di kota
Framingham (U.S.A.). Pada tahun 1965 sebanyak 4.469 penduduk umur 30-62 tahun
(terdiri dari 2.024 laki-laki dan 2.445 wanita) diperiksa untuk mengetahui parevalen
penyakit jantung koroner. Hasilnya bisa dilihat pada Tabel 7. Bila angka parevalen pada
kelompok laki-laki dibandingkan dengan kelompok wanita (ratio rate), maka diperoleh
hampir 1 pada kelompok umur 30 - 44 tahun dan 2,5 pada kelompok umur 45 - 62
tahun. Pada kelompok umur 30 - 44 seolah-olah laki dan wanita mempunyai risiko yang
sama untuk menderita penyakit jantung koroner (rationya sekitar 1). Selanjutnya, yang
diketemukan sehat (tidak menderita penyakit jantung koroner) pada pemeriksaan
pertama (1965), lalu diamati (diperiksa secara berkala) sampai dengan akhir tahun
1973 untuk mengetahui kasus-kasus baru selama kurun waktu ini (besarnya angka
insiden). Hasilnya disajikan pada Tabel 8. Disini kelihatan bahwa risiko untuk menderita
penyakit jantung koroner pada laki-laki umur 30-39 tahun, 24 kali lebih besar
dibandingkan pada wanita, padahal kalau ratio angka prevalen yang dipakai, risikonya
sama (ratio = 1). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa angka prevalen tidak bisa dipakai
untuk mengetahui besarnya risiko terjadinya suatu penyakit. Hal ini berkali-kali perlu
ditekankan karena sering kali para peneliti di bidang kesehatan memakai angka
parevalen untuk menelusuri penyebab suatu penyakit atau untuk membuktikan hubu-
ngan sebab-akibat. Kelalaian yang mungkin tidak diketahui ini sering terjadi karena
mengukur prevalen jauh lebih mudah dibandingkan insiden. Prevalen hanya memer-
lukan satu kali pemeriksaan sedangkan insiden memerlukan sekurang-kurangnya dua
kali pemeriksaan.

Ukuran Dipakai untuk (kegunaan)


Angka insiden • Mengungkapkan etiologi penyakit
• Keperluan perencanaan & penilaian program
kesehatan di masyarakat

59
• Untuk penyakit akut maupun khronis
Angka prevalen • Keperluan perencanaan & penilaian program
kesehatan di masyarakat
• Hanya untuk penyakit-penyakit khronis saja

ANGKA KASAR & ANGKA SPESIFIK (CRUDE & SPECIFIC RATE)

Pada angka kasar (crude rate), baik angka insiden maupun prevalen kasar,
pembilangnya adalah jumlah kejadian total dan penyebutnya adalah penduduk total.
Pada angka spesifik (specific rate), baik angka insiden maupun prevalen spesifik,
pembilang dan penyebutnya adalah sub-kelompok penduduk.

Baik untuk keperluan manajemen maupun untuk mengungkapkan etiologi penyakit,


angka spesifik jauh lebih tepat dibandingkan angka kasar, karena penduduknya
menjadi lebih homogen dan lebih khusus (lebih spesifik). Untuk mendapat angka
spesifik biasanya penduduk dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, dan ketiga
kelompok besar ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi beberapa kelompok kecil-
kecil seperti berikut ini.

1. Dikelompokkan menurut kharakteristik orangnya (person, who?)


 Umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, jumlah anak, urutan
kelahiran, dll.

2. Dikelompokkan menurut tempat (place, where?)


 Batasan alamiah: pedesaan-perkotaan, dataran tinggi-dataran rendah, sebelah
utara dan selatan gunung, batasan sungai, danau, laut, dll.

 Batasan administratif : banjar, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara, dll.

3. Dikelompokkan menurut waktu (time, when?)


 Bulan, tahun, dekade, abad, dll.
 Musim hujan, musim kemarau, dll.
 Masa pemerintahan orde lama, orde baru, sebelum merdeka, setelah merdeka,
dll.
Contoh:
Crude mortality rate (angka kematian kasar), tahun 1990

Jumlah kematian total selama tahun 1990


----------------------------------------------------------
Jumlah penduduk pertengahan tahun 1990

Cause-specific mortality rate (angka kematian spesifik menurut penyebab), tahun 1990

Jumlah kematian yang disebabkan karena diare selama tahun 1990


------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah penduduk total pada pertengahan tahun 1990

60
Cause and age specific mortality rate (angka kematian spesifik menurut umur dan
penyebab), tahun 1990

Jumlah kematian anak umur 0-4 tahun yang disebabkan karena diare selama tahun 1990
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah penduduk umur 0-4 tahun pada pertengahan th.1990

Angka kematian spesifik menurut jenis kelamin, umur dan penyebab, tahun 1990

Jumlah kematian anak laki-laki umur 0-4 tahun yang disebabkan karena diare selama tahun 1990
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah penduduk laki-laki umur 0-4 tahun pada pertengahan th.1990

Pada Tabel 8:
• Angka 24,2, 66,2, 131,3 adalah angka insiden spesifik penyakit jantung koroner
berdasarkan umur dan jenis kelamin.

• Bila dilihat pada keseluruhan penduduk laki dan perempuan 152/2.212 adalah ang-
ka spesifik menurut jenis kelamin, tetapi bila dilihat pada penduduk laki saja, maka
152/2.212 adalah crude rate.

Untuk merencanakan suatu program, angka spesifik selalu lebih tepat atau lebih
terarah dibandingkan angka kasar, karena dari angka spesifik, diagnosa masalah
kesehatan masyarakat bisa diperoleh secara lebih spesifik. Dari angka prevalen atau
insiden spesifik akan terlihat kelompok-kelompok penduduk yang mempunyai masalah
kesehatan masyarakat. Di desa mana penyakit tersebut paling banyak dijumpai (bisa
dilihat dari angka spesifik per desa), pada umur berapa (bisa dilihat pada angka spesifik
menurut umur), pada musim-musim apa saja (bisa dilihat pada angka spesifik menurut
musim), dst. Dengan demikian maka program akan bisa lebih diarahkan pada kelompok
penduduk yang betul-betul mempunyai masalah, atau dengan kata lain target
population dari program akan lebih spesifik.

Selain itu, angka spesifik juga amat tepat bila dipakai untuk membandingkan
satu kelompok dengan kelompok lainnya, baik dalam hal untuk meneliti etiologi
penyakit (angka insiden spesifik), maupun untuk menilai keberhasilan program
kesehatan masyarakat (angka insiden atau prevalen spesifik). Misalnya: ketika meneliti
kemungkinan penyebab penyakit jantung koroner maka yang dibandingkan adalah
angka insiden laki-laki dan wanita per kelompok umur. Demikian pula halnya ketika
membandingkan insiden kanker mulut rahim pada kelompok pemakai pil kontrasepsi
dan kelompok yang tidak memakai pil, yang dibandingkan haruslah misalnya: angka
insiden spesifik menurut umur ibu, atau angka spesifik menurut keadaan sosial-
ekonominya, atau angka spesifik menurut lama pemakaian pil, dan lain sebagainya.

Kelemahannya bila memakai angka spesifik untuk tujuan perbandingan ialah terlalu
banyak angka yang harus dibandingkan. Misalnya: bila kita ingin membandingkan
insiden penyakit ulkus lambung antara laki-laki dan wanita umur 15 - 74 tahun, dan bila
umur dikelompokkan per 5 tahun (15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-40, dst), ini berarti kita
harus membandingkan 12 angka spesifik antara kelompok laki-laki dan wanita. Belum
lagi kalau kita ingin membandingkan pula angka insiden ulkus lambung menurut
pekerjaan, pendidikan, pola makanan, dll., maka kita mungkin harus membandingkan
ratusan angka spesifik hanya untuk penyakit ulkus lambung saja. Sedangkan kesulitan

61
atau kendala yang sering dihadapi ialah tidak tersedianya data untuk menghitung
angka spesifik tersebut, baik data untuk pembilang maupun data untuk penyebut.

ANGKA KASAR YANG DISESUAIKAN (ADJUSTED RATE)

Seperti telah diuraikan di atas bahwa untuk membandingkan suatu populasi dengan
populasi lainnya atau membandingkan populasi "A" 20 tahun yang lalu dengan
sekarang, maka yang paling baik untuk dibandingkan ialah angka spesifiknya, tetapi
ada kelemahannya yaitu terlalu banyak angka dan kendalanya yaitu tidak tersedianya
data per sub-kelompok populasi. Agar kita tidak membandingkan terlalu banyak angka,
maka jalan keluar yang bisa ditempuh ialah membandingkan angka kasar, tetapi harus
disesuaikan terlebih dahulu.

Mengapa harus disesuaikan terlebih dahulu?. Angka kasar yang telah disesuaikan ini
disebut pula adjusted atau standardize rate. Membandingkan angka kasar lebih sering
mengelirukan karena besar kecilnya angka kasar amat dipengaruhi oleh komposisi
masing-masing penduduk, sementara itu komposisi setiap kelompok penduduk lebih
sering tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 9 dan Tabel 10
disajikan komposisi penduduk "A" dan "B" menurut umur. Disana terlihat bahwa
proporsi penduduk "A" yang berumur lebih tua lebih besar dibandingkan "B", yaitu 0,3
(30 %) pada penduduk "A", dan 0,1 (10 %) pada penduduk "B". Sedangkan proporsi
penduduk yang berumur lebih muda, lebih besar di penduduk "B". Dengan kata lain
penduduk "A" lebih tua dibandingkan "B".

Selain berbeda menurut umur, komposisi penduduk satu dengan yang lain juga akan
berbeda menurut jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan variabel lainnya. Bila
pola kesakitan dan kematian berbeda berdasarkan variabel-variabel tersebut (mi-
salnya tinggi atau rendah pada umur-umur tertentu), berbeda menurut jenis kelamin,
berbeda menurut status perkawinan, dan seterusnya, maka angka kasar kelompok
penduduk yang satu juga akan berbeda dengan yang lainnya, yang disebabkan oleh
perbedaan komposisi penduduknya tersebut.

Tabel 9
Proporsi penduduk "A" menurut umur, angka kematian
spesifik dan angka kematian kasar

Kelompok Jumlah Proporsi Angka kematian Jumlah


umur penduduk spesifik per1000 kematian

0-14 1.500 0,3 2,0 3

15-44 2.000 0,4 6,0 12

45+ 1.500 0,3 20,0 30

0-45+ 5.000 1,0 9,0 45

Catatan: Crude death rate (CDR), 45/5.000 x 1.000 = 9,0 per 1.000 penduduk

Tabel 10
Proporsi penduduk "B" menurut umur, angka kematian

62
spesifik dan angka kematian kasar

Kelompok Jumlah Proporsi Angka kematian Jumlah


umur penduduk spesifik per 1000 kematian

0-14 2.000 0,4 2,0 4

15-44 2.500 0,5 6,0 15

45 + 500 0,1 20,0 10

0-45 + 5.000 1,0 5,8 29

Catatan: Crude death rate (CDR), 29/5.000 x 1.000 = 5,8 per 1.000 penduduk

Pada Tabel 9 dan Tabel 10 di atas terlihat bahwa walaupun angka kematian spesifik
penduduk "A" persis sama dengan penduduk "B" tetapi bila komposisi penduduk "A"
dan "B" berbeda (dalam hal ini berbeda menurut umur), maka angka kematian kasar
(crude death rate atau CDR) akan berbeda karena pola kematian tergantung variabel
umur. Seperti diuraikan di atas bahwa untuk membandingkan kelompok penduduk satu
dengan yang lain, maka yang paling tepat untuk dibandingkan ialah angka spesifiknya.
Pada Tabel 8 dan 9 di atas, bila angka spesifiknya yang dibandingkan, terlihat bahwa
situasi kematian di "A" dan "B" persis sama, tetapi bila CDR yang dibandingkan, terlihat
bahwa situasi kematian di "A" lebih tinggi dibandingkan di "B" yaitu 9,0 per 1.000 dan
5,8 per 1.000. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan komposisi penduduk "A" dan
"B" menurut umur. Agar tidak dikelirukan oleh efek perbedaan komposisi penduduk,
angka kasar harus distandarisasi atau disesuaikan terlebih dahulu.

Untuk menyesuaikan angka kasar, ada dua cara, yaitu: (a) cara langsung, dan (b)
cara tidak langsung. Seperti diuraikan di atas, tujuannya ialah : untuk menghilangkan
efek perbedaan komposisi penduduk. Cara mana yang dipilih, tergantung data yang
tersedia.

Bila angka spesifik masing-masing penduduk yang akan dibandingkan yang


tersedia, dipilih cara langsung, dan kalau yang tersedia hanya distribusi penduduk
yang akan dibandingkan (misalnya distribusi menurut umur), sedangkan angka
spesifiknya tidak diketahui, dipilih cara tidak langsung.

Langkah-langkah Penyesuaian Cara Langsung (Direct Adjustment)


(Contohnya: lihat Tabel 11)

Langkah 1: Memilih (menentukan) penduduk standar

Langkah 2: Angka spesifik masing-masing penduduk yang akan dibandingkan


dikalikan ke penduduk standar, sehingga diperoleh jumlah kejadian expected (misalnya:
kematian) pada masing-masing penduduk yang akan dibandingkan. Jumlah kejadian
expected adalah jumlah kejadian yang diharapkan terjadi pada masing-masing
penduduk yang akan dibandingkan bila distribusinya seperti penduduk stan-dar (kolom
3 dan 4 dikalikan dengan kolom 2).

Langkah 3: Jumlah kejadian expected pada masing-masing penduduk yang akan


dibandingkan dibagi jumlah penduduk standar, sehingga diperoleh standardize rate

63
(adjusted rate) pada masing-masing penduduk yang akan dibandingkan (jumlah kolom
5 dan 6 dibagi jumlah kolom 2). Bila angka spesifik masing-masing penduduk sama,
maka adjusted rate nya akan sama, walaupun crude rate nya berbeda.

Tabel 11. Penyesuaian cara langsung

Umur Penduduk Angka kematian spesifik per Jumlah kematian


standar 1000 expected
“A” “B” “A” “B”
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
0 - 14 3.500 2,0 2,0 7 7
15 - 44 4.500 6,0 6,0 27 27
45 + 2.000 20,0 20,0 40 40
0 - 45 + 10.000 9,0 5,8 74 74

Adjusted rate penduduk "A" = 74/10.000 x 1.000 = 7,4 per 1.000


Adjusted rate penduduk "B" = 74/10.000 x 1.000 = 7,4 per 1.000

Penyesuaian Cara Tidak Langsung (Indirect Adjustment)

Untuk melakukan penyesuaian crude rate secara tidak langsung informasi (data)
yang harus tersedia ialah:

(a) Angka spesifik penduduk standar


(b) Distribusi penduduk yang akan dibandingkan
(c) Jumlah kejadian (misalnya: jumlah kematian) yang sesungguhnya pada masing- masing
penduduk yang akan dibandingkan.

Langkah-langkah Penyesuaian Cara Tidak Langsung (Contohnya: lihat Tabel 12)

Langkah 1: Memilih (menentukan) penduduk standar. Dalam hal ini tentu harus dipilih
penduduk standar yang ada angka spesifiknya.

Langkah 2: Angka spesifik penduduk standar dikalikan dengan masing-masing pendu-


duk yang akan dibandingkan, sehingga diperoleh jumlah kejadian expected (kolom 4 x
kolom 5 dan kolom 7).

Langkah 3: Jumlah kejadian yang sesungguhnya (disebut pula observe, disingkat O)


dibagi dengan jumlah kejadian expected (E), dan hasil bagi ini disebut standardize ratio
(SR).

O (jumlah kejadian sesungguhnya)


Standardize ratio (S.R) = ---------------------------------------------------
E (jumlah kejadian expected)

Langkah 4: S.R penduduk "A" dikalikan crude rate penduduk standar, sehingga
diperoleh adjusted rate penduduk "A", dan S.R penduduk "B" dikalikan crude rate
penduduk standar, diperoleh adjusted rate penduduk "B".

64
Tabel 12. Penyesuaian cara tidak langsung

Kelompo Penduduk standar Petani Non-petani


k umur (Penduduk “A”) (Penduduk “B”)
Pendu- Jumlah A.K.S. Pendu- Jumlah Pendu- Jumlah
duk kematian per 1000 duk kematian duk kematian
expected expected
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

20-24 170.750 538 3,15 93.665 295,0 77.085 242,8


25-34 303.425 1.029 3,39 192.064 651,1 111.361 377,5
35-44 223.971 1.241 5,54 147.067 814,8 76.904 426,0
45-54 219.840 2.442 11,11 143.238 1591,4 76.602 851,0
55-64 192.347 4.547 23,64 120.289 2843,6 72.058 1703,4
20-64 1.110.333 9.797 8,82 696.323 6195,9 414.010 3600,7

Catatan: - Jumlah kematian dalam 1 tahun: petani = 7.929, non-petani = 2.574


- A.K.S. = angka kematian spesifik
- Jumlah kematian expected bisa dalam bentuk pecahan karena jumlah tersebut bukanlah
jumlah yang sesungguhnya.

7.929
S.R. petani = -------------------- = 1,28
6.195,9

2.574
S.R. non-petani = ----------------- = 0,71
3.600,7

Adjusted rate petani: 1,28 x 8,82 per 1.000 = 11,3 per 1000 penduduk

Adjusted rate non-petani: 0,71 x 8,82 per 1.000 = 6,3 per 1000 penduduk

Tabel 13. Keunggulan dan Kelemahan Crude, Specific dan Adjusted Rate

Rate Keunggulan Kelemahan


Crude • Ringkas (tidak bayak angka) • Tidak baik untuk membandingkan
kelompok-kelompok penduduk karena
• Aktual amat dipengaruhi oleh perbedaan
• Karena informasi yang diperlukan tidak komposisi penduduk
banyak, biasanya tersedia secara
international

Specific • Pembilang dan penyebut homogen • Banyak angka (tidak ringkas)


(spesifik), sehingga amat tepat untuk
merencanakan & evaluasi program • Informasi yang diperlukan sering
kesehatan serta meneliti etiologi tidak tersedia, sehingga angka
penyakit spesifik tidak bisa dihitung (ini lebih
tepat digolongkan sebagai kendala)
• Baik untuk membandingkan satu Catatan: kelemahan tidak sama
kelompok penduduk dengan yang dengan kendala
lainnya

Adjusted • Ringkas (tidak banyak angka) • Tidak aktual

65
• Tidak dipengaruhi oleh perbedaan • Tergantung dari populasi standar
komposisi penduduk

SUMBER KESALAHAN (ERROR) PENGUKURAN PROPORSI & RATE

Secara umum, kesalahan pengukuran proporsi, angka insiden dan prevalen di-
kelompokkan menjadi dua sumber, yaitu:

(a) Sampling error atau sering pula disebut random error


(b) Systematic error, atau disebut pula bias

Sampling Error

Ketika mengukur angka insiden atau prevalen suatu penyakit di masyarakat, maka
tidaklah mungkin untuk memeriksa semua penduduk, walaupun hanya penduduk yang
at risk saja. Disamping tidak mungkin juga tidak praktis. Yang diukur selalu hanya wakil-
wakil dari populasi. Wakil-wakil ini disebut sampel, yang harus diambil sede- mikian
rupa sehingga mewakili keseluruhan populasi (sampel yang representatif).

Seandainya kita ingin mengetahui prevalen TBC di Bali, maka yang diperiksa
barangkali hanya 1000 orang sampel yang mewakili sekitar 3 juta penduduk Bali. Bila
dari 1000 sampel ini sebanyak 4 orang dijumpai menderita TBC, maka prevalen TBC
pada sampel tersebut ialah 4 per 1000. Bila dengan cara yang sama diulang mengambil
sampel sebanyak 1000, maka belum tentu yang dijumpai sakit sebanyak 4 orang.
Mungkin 3 orang atau mungkin 5. Lalu, berapa sebenarnya prevalen TBC di Bali?. Kita
tidak akan pernah mengetahui ukuran di populasi, karena memang kita tidak pernah
mengukurnya. Yang kita kerjakan ialah selalu memperkirakan ukuran pada populasi
dengan memakai ukuran yang diperoleh pada sampel. Karena itu, sudah pasti ada
perbedaan antara ukuran yang kita peroleh pada sampel dengan ukuran yang
sebenarnya di populasi. Perbedaan inilah yang disebut sampling atau random error.
Jadi, sampling error adalah perbedaan nilai yang diperoleh pada sampel dengan
nilai pada populasi. Perbedaan ini sama sekali tidak bisa dihindari, tetapi bisa
diperkecil dengan jalan memperbesar jumlah sampel, dengan syarat sampel yang
diambil telah mewakili populasi. Bahkan seandainya yang diukur adalah pada populasi
maka sampling error akan nol.

Systematic Error

Berbeda dengan sampling error yang tidak bisa dihindari, maka systematic error
(bias) sebisa mungkin harus dihindari. Systematic error adalah perbedaan antara
nilai yang diperoleh dengan nilai sebenarnya, yang disebabkan karena kesalahan
pengukuran. Pada Tabel 14 disajikan beberapa sumber kesalahan yang disebabkan
oleh karena kesalahan pengukuran yang dilakukan dengan pengukuran secara lang-
sung dan dengan memakai data sekunder dan cara-cara untuk mengatasinya/me-
ngurangi kesalahannya.

Tabel 14. Beberapa sumber/penyebab bias dan cara-cara mengatasinya


No Penyebab bias Bisa terjadi pada Cara-cara mengatasi/mengurangi

66
1 Sampel tidak • Pengamatan • Sampel penduduk at risk harus dipilih secara random
mewakili langsung dan dibuat agar mewakili misalnya secara stratified
random sampling
• Pemakaian data
sekunder • Data sekunder harus diambil dari tempat-tempat
pelayanan yang tidak eksklusif/tidak melayani
kelompok penduduk tertentu saja. Lihat kembali Bagan
10.
2 Self-selection • Pemakaian data • Pengukuran harus dilakukan dengan metode pe-
(hanya orang- sekunder ngamatan secara langsung, yaitu dengan melak-
orang tertentu sanakan survei ke rumah-rumah penduduk atau
saja yang datang mengambil sampel dari general population
ke tempat
pelayanan tsb)
3 Lost to follow-up • Pengamatan • Dengan usaha dan ketekunan yang maksimal
langsung yaitu  Mencatat identitas dan alamat subyek/sampel
pada pengukuran selengkap-lengkapnya pada waktu kunjungan
angka insiden pertama agar bisa dikunjungi bila tidak datang
 Memperhitungkan biaya untuk mencari/meng-
hubungi subyek yang tidak datang sejak pe-
rencanaan proyek
 Memberikan biaya transportasi dan insentif lainnya
kepada subyek agar mau datang pada pemeriksaan
berikutnya
Bila dengan usaha-usaha di atas, subyek juga tidak
berhasil di follow-up, usaha terakhir ialah dengan jalan
membandingkan ciri-ciri subyek yang datang dengan yang
tidak datang, misalnya dalam hal umur, jenis kelamin, dll.
Kemudian dilakukan uji statistik apakah ciri-cirinya berbeda
secara signifikan. Bila berbeda, berarti ada kemungkinan
bias pada angka insiden yang diperoleh.

4 Perbedaan cara • Pemakaian data • Standarisasi cara-cara diagnostik penyakit di semua


mendiagnosa sekunder tempat pelayanan dengan cara membuat pedoman
penyakit diagnostik yang baku. Misalnya: pengukuran status gizi
• Pengamatan balita dengan cara anthropometris yang seragam di
langsung yang seluruh Indonesia yaitu dengan memakai umur dan
dilakukan dalam berat badan balita
waktu yang amat
lama yaitu ketika • Hal yang sama juga bisa diterapkan pada metode
mengukur angka pengamatan langsung.
insiden penyakit-
penyakit yang
masa inkubasinya
panjang atau
yang insidennya
amat kecil
5 Fasilitas diag- • Pemakaian data • Bila bias yang terjadi diperkirakan amat besar maka
nostik di tempat- sekunder satu-satunya cara untuk mengatasi ialah dengan
tempat pelayan-an melakukan pengamatan langsung
kesehatan tidak
sama
6 Penduduk yang • Pemakaian data • Dengan pengamatan langsung (survei rumah tangga)
sakit diperkirakan sekunder
banyak yang tidak
datang ke tempat-
tempat pelayan-an
kesehatan

67
Sampel yang tidak mewakili populasi dan self-selection

Sebagai contoh ialah bila Anda mengukur angka insiden kurang gizi dengan
memakai anak balita yang datang ke posyandu sebagai sampel. Angka insiden kurang
gizi yang diperoleh akan lebih rendah dari angka yang sebenarnya karena biasanya
yang datang ke posyandu hanya balita yang rumahnya dekat dengan posyandu, dan
yang rumahnya dekat-dekat dengan balai banjar atau balai desa umumnya keadaan
ekonomi orang tuanya lebih baik dibanding yang rumahnya jauh dari posyandu. Yang
keadaan ekonominya lebih baik keadaan gizinya juga akan lebih baik. Disinilah sumber
bias-nya.

Demikian pula halnya bila memakai data kunjungan pasien ke dokter praktek swasta
sebagai pembilang angka insiden. Jelas, hanya orang-orang tertentu saja yang datang.
Bila kharakteristik orang-orang yang datang ciri-cirinya (mis: sosial-ekonomi,
pendidikan, dll) berbeda dengan ciri-ciri penduduk yang diwakili, dan ciri-cirinya ini ada
hubungannya dengan kejadian penyakit yang akan diukur, maka akan terjadi bias pada
angka insiden yang diperoleh. Bila hanya orang-orang tertentu saja yang datang ke
suatu tempat, baik tempat pelayanan kesehatan atau tempat lainnya dimana seolah-
olah orang-orang tersebut memilih sendiri tempat tersebut diberi istilah self-selection.
Misalnya pasien-pasien yang berkunjung ke rumah sakit swasta cendrung lebih banyak
yang tingkat sosial-ekonominya lebih tinggi, dan bila ini yang dipilih sebagai sampel
tentu saja tidak akan mewakili populasi. Bila yang dipakai sebagai responden adalah
mahasiswa yang dijumpai di perpustakaan maka akan diperoleh nilai yang tinggi pada
tingkat kebiasaan membacanya. Tingkat kebiasaan membaca yang tinggi ini belum
tentu terjadi juga pada populasi mahasiswa secara keseluruhan.
Untuk mengurangi bias pada contoh-contoh di atas tentu saja dengan mengadakan
pengukuran pada sampel yang mewakili populasi secara keseluruhan (population-
based), misalnya:

• Memilih balita-balita yang ada masyarakat sebagai sampel untuk mengetahui


prevalen kurang gizi, dan tidak memilih anak balita yang datang ke posyandu
saja.

• Bila angka insiden akan diukur dengan memakai data sekunder dari tempat-
tempat pelayanan kesehatan, maka hendaknya harus dipilih tempat-tempat
pelayanan kesehatan yang umumnya dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Misalnya: dengan memilih beberapa puskesmas, rumah sakit kabupaten, rumah
sakit swasta, dokter praktek swasta, dll.

• Mengambil sampel dari daftar mahasiswa yang ada di universitas dan bukan dari
mahasiswa-mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan saja.

Sebagian penduduk tidak bisa diamati (non-partisipasi, atau lost to follow-up)

Pada pengukuran angka insiden dengan mengadakan pengamatan secara langsung


(data primer), kita harus melakukan pengamatan kepada sekelompok penduduk secara
longitudinal ke depan, misalnya melakukan pemeriksaan mulut rahim disertai
wawancara setiap 3 bulan, selama 5 tahun. Walaupun sudah diberi biaya transportasi
untuk datang ke poliklinik, sudah pasti akan banyak pula yang tidak datang, sehingga

68
tidak bisa diketahui apakah telah terjadi kanker mulut rahim pada mereka atau tidak.
Mereka yang tidak bisa di follow-up disebut lost to follow-up atau non-partisipasi.

Untuk mengatasi masalah non-partisipasi ada beberapa tindakan yang bisa ditem-
puh, antara lain:

• Dengan usaha yang maksimal, misalnya: ketika datang pertama kali, alamat
tinggalnya dicatat dengan baik, dan bila tidak datang, dikunjungi ke rumahnya.
Tentu saja pada saat perencanaan sudah dianggarkan biaya untuk kunjungan
rumah.

• Membandingkan ciri-ciri mereka yang datang dengan yang tidak datang. Ciri-ciri
yang dibandingkan tentu saja yang ada kaitannya dengan penyakit yang diteliti.
Bila yang tidak datang misalnya lebih banyak yang umur kawinnya lebih muda,
sedangkan kanker mulut rahim amat berkaitan dengan umur kawin, maka tentu
saja akan terjadi bias pada angka insiden yang diperoleh. Agar ciri-ciri mereka
bisa dibandingkan, maka ketika pemeriksaan pertama ciri-ciri ini harus semuanya
dicatat (mis: umur berapa kawin, penghasilan, pendidikan, dan lain sebagainya).

• Melakukan asumsi ekstrim. Bila segala usaha telah ditempuh tetapi juga tidak
berhasil untuk menjumpai mereka, maka tindakan terakhir yang bisa ditempuh
ialah menganggap yang tidak datang tersebut semuanya tidak menderita penyakit
yang diteliti atau sebaliknya semuanya dianggap menderita.

Perbedaan cara-cara penentuan diagnosa penyakit

Ketika menetapkan diagnosa penyakit (mis: penyakit TBC), tentu saja petugas yang
melakukan pemeriksaan tidak satu orang, terlebih lagi dalam jangka waktu yang
panjang, dan di banyak poliklinik. Bila tidak ada patokan yang jelas, bisa jadi yang satu
melakukan diagnosa TBC dengan foto rontgen, yang lain dengan pemeriksaan dahak
atau ada pula dengan biopsi. Bila ini yang terjadi maka tentu akan terjadi bias pada
angka insiden atau prevalen yang diperoleh. Untuk mengatasi masalah ini, jalan yang
bisa ditempuh antara lain:

• Membuat pedoman penetapan diagnosa dan cara pengumpulan data yang jelas,
seragam dan spesifik sehingga setiap orang yang akan memakai pedoman
tersebut mempunyai pengertian yang sama.

• Selain pedomannya seragam, alatnya juga harus seragam.

Fasilitas pelayanan kesehatan yang berbeda-beda

Selain cara mendiagnosa yang berbeda-beda, fasilitas pelayanan kesehatan (rumah


sakit, puskesmas, dll.) juga beragam antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Misalnya: hampir semua rumah sakit kabupaten di Bali telah dilengkapi dengan dokter
ahli kandungan, sedangkan di propinsi lainnya hanya ada satu ahli kandungan untuk
keseluruhan propinsi. Bila angka insiden kanker mulut rahim diukur dengan memakai
data sekunder yaitu data kunjungan pasien di rumah sakit, lalu umpamanya angka
insiden di Bali dijumpai 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan propinsi lainnya, bukan
berarti kejadian kanker mulut rahim lebih tinggi di Bali, tetapi kemungkinan besar

69
karena perbedaan fasilitas pelayanan kesehatan. Perbedaan ini akan lebih jelas
kelihatan antara negara berkembang yang fasilitas pelayanan kesehatannya masih
amat terbatas dengan negara maju, yang sudah serba lengkap.

Penduduk yang sakit diperkirakan banyak yang tidak datang ke tempat-tempat


pelayanan kesehatan

Penyebab tidak datang bisa bermacam-macam, antara lain:

1. Persepsi dan perilaku masyarakat terhadap penyakit yang berbeda-beda. Di


negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia, persepsi
masyarakat terhadap suatu penyakit amat beragam, dan sebagian besar masih
dipengaruhi oleh sosial-budaya masyarakat. Misalnya: penderita radang usus
buntu tidak dibawa ke rumah sakit tetapi dibawa ke dukun, karena keluarganya
mempunyai anggapan bahwa penyakit tersebut disebabkan karena kena cetik
(racun). Bila angka insiden diukur dengan memakai data sekunder dari data
kunjungan pasien di rumah sakit maka tentu saja akan terjadi bias, karena
banyak penderita tidak dibawa ke rumah sakit.

2. Variasi berat ringannya penyakit. Pada penyakit-penyakit yang proporsi/per-


sentase inapparent cases nya besar seperti misalnya DHF, TBC, hepatitis, kole-
ra, tifus, dll., atau yang gejala kliniknya kebanyakan ringan maka kebanyakan
penduduk yang sakit tidak akan mendatangi tempat-tempat pelayanan keseha-
tan.

3. Geografis. Tempat-tempat pelayanan kesehatan jauh atau sarana transportasi


yang amat terbatas.

4. Ekonomis. Penduduk yang sakit tidak mampu membayar pelayanan kesehat-


annya di tempat-tempat tersebut.

5. Kebiasaan yang berbeda atau tempat pelayanan tersebut tidak dikenal oleh ma-
syarakat. Misalnya: pelayanan kesehatan buka pada pagi hari, sedangkan
kebiasaan masyarakat disekitarnya bekerja pada pagi hari.

SUMBER DATA KESAKITAN DAN KEMATIAN DI INDONESIA


Untuk mendapat ukuran kesakitan dan kematian (prevalen dan insiden) di suatu
wilayah, diperlukan data tentang kesakitan, kematian, kelahiran, perkawinan, dan
jumlah penduduk wilayah tsb. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa untuk mengukur
proporsi dan rate suatu penyakit di masyarakat, harus dilakukan pengamatan ter-sendiri
(data primer), tetapi selain itu bisa pula dengan jalan memakai data kesakitan yang ada
di tempat-tempat pelayanan kesehatan (servis statistik) sebagai pembilang, dan data
catatan/sensus penduduk sebagai penyebut. Catatan: statistik mempunyai dua
pengertian yaitu Ilmu Statistik dan statistik yang berarti data. Sedangkan peristiwa
kelahiran, kematian, perkawinan (vital statistik) menurut undang-undang harus dicatat
oleh petugas pemerintah

1. Vital statistik

70
Di Indonesia dan demikian pula di negara-negara lainnya, ada beberapa peristiwa
kehidupan (vital events) yang terus menerus harus dicatat dan dilaporkan, dimana
pelaksanaannya telah diatur dengan undang-undang, bahkan disertai dengan sangsi
bagi petugas yang lalai melaksanakannya. Data tentang peristiwa kehidupan tersebut
disebut pula vital statistik, yang umumnya terdiri dari pencatatan kelahiran,
perpindahan penduduk, perkawinan, perceraian dan kematian. Di beberapa tempat,
seseorang yang meninggal baru boleh dikuburkan bila telah ada surat keterangan
penyebab kematian dari petugas kesehatan setempat.

Sebagai contoh, di Bali: kelahiran, perpindahan penduduk, kematian harus dicatat


oleh kelian dinas, dan setiap bulan harus dilaporkan ke kepala desa, untuk selanjutnya
akan dilaporkan ke kantor statistik kecamatan, kabupaten, propinsi, dan akhirnya ke
Biro Pusat Statistik (BPS) di Jakarta. Dari vital statistik ini kemudian bisa dihitung angka
kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian kasar (crude death rate), angka
kematian spesifik berdasarkan penyebab (cause-specific death rate), dll.

Akan tetapi, sampai saat ini tingkat akurasi vital statistik di Indonesia masih sangat
rendah. Walaupun sudah ada undang-undangnya, kebanyakan kelahiran, kematian,
perkawinan, perpindahan penduduk, dll. tidak diketahui tidak dicatat serta tidak dila-
porkan oleh kelian dinas. Terlebih-lebih penyebab kematian yang amat sulit ditentu-
kan tanpa dilakukan bedah mayat. Dengan bedah mayatpun sering kali masih sulit
untuk mengetahui penyebab kematian yang pasti. Karena itu, untuk mengetahui
ukuran-ukuran kesehatan yang penting seperti misalnya angka kematian bayi
pemerintah biasanya memilih metode pengamatan langsung atau survei ke rumah-
rumah penduduk, dibandingkan memakai vital statistik.

2. Sensus penduduk

Secara berkala, kebanyakan negara biasanya menghitung jumlah penduduknya


setiap 10 tahun. Penghitungan jumlah penduduk secara keseluruhan disebut sensus
penduduk. Pada sensus penduduk, data penduduk yang dikumpulkan biasanya tidak
begitu banyak, tetapi dipilih yang penting-penting saja, misalnya: umur, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. Selain itu setiap lima tahun, juga dilakukan
survei penduduk antar sensus (SUPAS), dengan sampel sekitar 5% dari jumlah
penduduk. Pada SUPAS, informasi yang dikumpulkan biasanya lebih banyak. Bila
pembilang angka insiden diambil dari catatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan,
maka penyebutnya diambil dari data sensus penduduk. Bila pengukuran angka insiden
dilakukan tidak pada tahun sensus, maka biasanya jumlah penduduk diperkirakan
dengan jalan proyeksi, dengan memperhitungkan jumlah pertambahan penuduk dalam
1 tahun.

3. Catatan di fasilitas pelayanan kesehatan (servis statistik)

Pusat-pusat pelayanan kesehatan, seperti misalnya: rumah sakit pemerintah, rumah


sakit swasta, puskesmas, dokter/bidan praktek swasta, laboratorium medis, klinik KB,
posyandu, dll. biasanya juga mempunyai data kesakitan dan kematian. Data yang di-
peroleh dari pemberi pelayanan kesehatan disebut pula servis statistik. Bila data ini
dipakai sebagai pembilang, dan data sensus sebagai penyebut, maka bisa pula
diperoleh perkiraan proporsi dan rate suatu penyakit. Seperti telah dibahas di atas,

71
bahwa ketepatan angka insiden yang diperoleh dengan jalan memakai data servis
statistik, sangat tergantung dari banyak faktor seperti telah dibahas di atas.

4. Survei kesehatan

Secara berkala, Departemen Kesehatan biasanya melaksanakan survei kesehatan,


yang disebut Survei Rumahtangga (SRT). Survei ini dilakukan secara nasional. Akan
tetapi yang diperoleh pada survei tersebut hanya proporsi dan angka prevalen saja
karena survei tersebut dilakukan secara cross-sectional. Pada Survei Rumahtangga
biasanya dikumpulkan data kesehatan secara umum. Selain Survei Rumahtangga,
informasi tentang kesehatan dan berbagai penyakit juga dikumpulkan pada survei-
survei lainnya seperti misalnya pada: survei penduduk antar sensus (SUPAS), survei
sosial-ekonomi nasional (SUSENAS), survei kependudukan & kesehatan, dll.

5. Survei khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu

Selain Survei Rumahtangga yang dilakukan secara nasional dan bersifat umum,
banyak survei telah dilakukan di Indonesia untuk mengukur kejadian (terutama angka
prevalen) penyakit-penyakit tertentu di Indonesia, misalnya: survei malaria, TBC,
penyakit cacing, gizi, lepra, gondok, dll. Biasanya, survei-survei seperti ini tidak
dilakukan secara nasional karena selain dana yang amat terbatas, juga tidak semua
wilayah di Indonesia mempunyai masalah penyakit yang sama.

PENGELOMPOKAN (KLASIFIKASI) PENYEBAB PENYAKIT

Seperti telah dibahas di atas bahwa bila mengukur rate suatu penyakit dengan
memakai data di tempat-tempat pelayanan kesehatan (data sekunder) maka kesera-
gaman cara diagnosa adalah amat penting. Agar terjadi keseragaman pencatatan dan
pelaporan penyakit di semua negara, badan kesehatan sedunia (World Health
Organization, W.H.O), menganggap perlu untuk membuat pedoman atau patokan
pengelompokkan penyakit. Masing-masing kelompok kemudian diberi kode, dan yang
dilaporkan ke W.H.O adalah kode-kode penyakit tersebut. Karena itu, bila Anda nanti
bekerja di puskesmas, setiap selesai memeriksa pasien, diagnosa yang Anda buat
harus disalin kedalam bentuk kode penyakit. Secara berkala W.H.O. memperbaharui
pengelompokan penyakit, sesuai dengan perkembangan ilmu, dan sampai saat ini
W.H.O. telah melakukan revisi sebanyak 9 kali. Pengelompokan yang sekarang masih
kita anut ialah I.C.D. IX (International Classification of Deseases IX).

Saat ini W.H.O. mengelompokkan penyebab penyakit berdasarkan (a) penyebab-


nya, dan (b) berdasarkan gejala-gejala penyakit. Berdasarkan penyebab, W.H.O.
mengelompokan penyakit menjadi 350 ditambah satu kategori oleh sebab lain-lain.
Yang oleh penyebab misalnya: kolera, kanker, HIV, batu ginjal, penyakit karena pe-
nyumbatan pembuluh darah koroner, ulkus lambung, sifilis, dan seterusnya. Untuk
memastikan penyebab penyakit, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Untuk memasti-
kan penyakit kolera saja harus memerlukan sarana laboratorium yang memadai untuk
membuat kultur. Karena itu, penentuan diagnosa dengan jalan ini hanya bisa dikerja-
kan di negara-negara atau daerah-daerah yang telah mempunyai sarana penunjang
yang memadai.

72
Untuk negara-negara atau daerah-daerah yang tidak mempunyai sarana diagnostik
yang memadai, diagnosa penyakit ditetapkan berdasarkan gejala-gejalanya. Atau
disebut pula berdasarkan sindrom. Dengan cara ini diagnosa penyakit bisa dilakukan
oleh tenaga paramedis bahkan oleh kader-kader kesehatan. Hal ini amat membantu
terutama bagi negara-negara seperti kebanyakan negara di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, dimana sebagian besar pelayanan kesehatan hanya dilakukan oleh petugas pa-
ra medis atau kader kesehatan. Pelaporan penyakit dimana diagnosanya bisa dilakukan
oleh petugas awam yang diberi pelatihan sebelumnya disebut pula lay-reporting (lay
secara harfiah berarti awam).

Setiap bulan, catatan penyakit ini kemudian dikirim dari puskesmas → Dinas Kese-
hatan Kabupaten → Dinas Kesehatan Propinsi → Departemen Kesehatan di Jakarta →
W.H.O. di Geneva (Swiss). Salah satu contoh penentuan diagnosa penyakit berdasar-
kan gejala ialah sbb:

Berdasarkan gejala-gejala Diagnosa Kode I.C.D. IX

Demam disertai kulit dan mata kuning Radang hati (hepatitis) 4.7
Tabel 15
Ukuran-ukuran (indikator) yang lazim dipakai untuk menetapkan
taraf (tingkat/ status) kesehatan masyarakkat

No Nama rate Pembilang & penyebut Konstanta


1 Angka kematian kasar Jumlah kematian dalam 1 tahun 1000 penduduk
(Crude death rate/CDR) --------------------------------------------
Penduduk pertengahan tahun

Situasi tahun 1997*) Indonesia: 7,9


==================> Malaysia: 4,8
di beberapa negara Thailand: 7,4
ASEAN Vietnam 7,0
Filipina: 5,8
Singapura: 5,0

2 Angka kematian spesifik Jumlah kematian yang disebabkan oleh suatu 100.000
menurut penyebab penyebab tertentu dalam 1 tahun penduduk
(Cause-specific death -----------------------------------------------------------
rate) Jumlah penduduk pertengahan pada
tahun yang sama

3 Angka kematian bayi Jumlah bayi umur < 13 bulan yang meninggal 1000 kelahiran
(Infant mortality rate = dalam 1 tahun hidup
IMR) -----------------------------------------------------------
Jumlah bayi yang lahir hidup dalam
tahun yang sama
Indonesia: 51
*) Malaysia: 11
Situasi tahun 1997
Thailand: 31
=================> Vietnam 38
Filipina: 36
Singapura: 5

4 Angka kematian neonatus Jumlah bayi umur 0 - 28 hari yang meninggal 1000 kelahiran
(Neonatal death rate) dalam 1 tahun hidup
---------------------------------------------------------
Jumlah kelahiran hidup dalam

73
tahun yang sama

5 Angka kematian fetus Jumlah bayi yang mati dalam kandungan (lahir 1000 lahir hidup
(Fetal death rate) mati) dalam 1 th. + lahir mati
------------------------------------------------------------
Fetus: umur kandungan Jumlah kelahiran hidup + lahir mati dalam tahun
28 minggu ke atas yang sama

6 Angka kematian ibu Jumlah ibu yang meninggal karena komplikasi 100.000
sehabis melahirkan kehamilan dan persalinan dalam 1 th. kelahiran hidup
(Maternal mortality ratio = -----------------------------------------------------------
M.M.R) Jumlah kelahiran hidup

7 Angka kematian ibu Jumlah ibu yang meninggal karena komplikasi 100.000
sehabis melahirkan kehamilan dan persalinan dalam 1 tahun kelahiran hidup
(Maternal mortality rate = -------------------------------------------------------------
M.M.R) Jumlah semua wanita (kawin atau tidak) yang
berumur 15-49 thn. pada perte-ngahan tahun
yang sama

Lanjutan Tabel 15
8 Proportionate mortality Jumlah kematian karena suatu sebab 100
ratio (P.M.R) -------------------------------------------------
Jumlah kematian total

9 Case fatality rate Jumlah penderita yang mati 100


------------------------------------
Jumlah semua penderita

10 Angka kelahiran kasar**) Jumlah bayi lahir hidup selama satu tahun 1000 penduduk
(Crude birth rate = CBR) Jumlah penduduk pertengahan tahun yang
sama

Situasi tahun 1997*) Indonesia: 22,4


==================> Malaysia: 25,6
Thailand: 17,8
Vietnam 25,6
Filipina: 28,7
Singapura: 16,0

11 Prevalen dan insiden berbagai macam penyakit khususnya penyakit-penyakit menular


• Prevalen dan insiden TBC, malaria, diare, lepra, HIV/AIDS dan lain sebagainya
*)
Sumber: Escap Population Data Sheet (1997)
**)
Angka kelahiran kasar (CBR) adalah ukuran fertilitas, dan lazim dipakai sebagai indikator kesehatan
masyarakat. Selain angka kelahiran kasar, masih banyak lagi ukuran-ukuran fertilitas yang lebih
spesifik seperti misalnya:
• Child woman ratio (CWR),
• General fertility rate (GFR),
• Total fertility rate (TFR),
• Age-specific fertility rate (ASFR),
• Net reproduction rate (NRR)
Secara lengkap, pembilang dan penyebut angka-angka ini akan dibahas pada materi demografi

INDIKATOR PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT

74
Selain tingkat kesakitan, kematian dan kelahiran, indikator yang juga sering dipakai
untuk mengukur baik-buruknya pelayanan kesehatan bagi masyarakat ialah rasio
fasilitas pelayanan per jumlah penduduk. Caranya menghitung ialah jumlah
penduduk dibagi fasilitas pelayanan. Misalnya: bila satu propinsi jumlah penduduknya 3
juta, dan di propinsi tersebut ada 300 dokter, maka rasionya ialah 1 : 10.000, yang
artinya: secara rata-rata satu orang dokter melayani 10.000 penduduk.

Contoh lainnya:
• bidan per jumlah penduduk,
• PLKB (petugas lapangan keluarga berancana) : PUS (pasangan usia subur),
• juru imunisasi per anak balita,
• puskesmas per penduduk,
• jumlah tempat tidur di rumah sakit per penduduk,
• proporsi penduduk yang telah dilayani air bersih,
• klinik KB per pasangan usia subur (PUS),
• dan lain-lainnya.

Dua pertanyaan mendasar terhadap indikator ini ialah:

(a) Bagaimana distribusi fasilitas pelayanan tersebut?, apakah menyebar secara


merata di semua wilayah, atau mengelompok di suatu tempat saja. Rasio 1 : 30.000,
tetapi merata akan lebih baik dari rasio 1 : 10.000, namun hanya melayani
sekelompok penduduk saja.

(b) Berapa jumlah penduduk yang memerlukan pelayanan tersebut?, misalnya:


rasio bidan per penduduk sebesar 1 : 20.000 di Bali belum tentu keadaannya lebih
buruk dibandingkan rasio 1 : 10.000 di NTB, karena angka kelahiran di Bali jauh
lebih rendah dibandingkan NTB yang berarti penduduk yang memerlukan pelayan-
an bidan juga lebih sedikit.

Karena itu, bila akan membandingkan keadaan/status kesehatan antar wilayah/


negara maka harus diperhatikan dua hal mendasar yaitu: (a) apakah distribusi fasilitas
kesehatan di wilayah-wilayah/negara-negara tersebut sama?, (b) apakah jumlah
penduduk yang memerlukan pelayanan di wilayah-wilayah/negara-negara tersebut
sama?. Bila tidak sama maka keadaan kesehatannya tidak bisa dibandingkan dengan
mempergunakan indikator-indikator di atas.

INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ada empat indikator yang
lazim dipakai, dimana dua diantaranya adalah indikator kesehatan. Ke empat indikator
tersebut bila digabung, disebut pula indeks mutu hidup (quality of life index). Indikator-
indikator tersebut ialah:

(1) Penghasilan per kapita (GNP dibagi jumlah penduduk).


GNP = gross national product.

(2) Proporsi penduduk yang bisa baca-tulis (melek huruf).

75
(3) Angka kematian bayi (infant mortality rate = IMR)

(4) Rata-rata lama hidup sejak lahir (life expectancy)

Dari ke empat indikator di atas, angka kematian bayi dianggap sebagai indikator
yang paling sensitif (paling mencerminkan keaadaan yang sebenarnya). Indikator
penghasilan per kapita, sama dengan indikator pelayanan kesehatan seperti telah
diuraikan di atas, yakni sangat tergantung dari distribusinya. Apakah penghasilannya
merata pada semua penduduk, atau hanya mengelompok pada sekelompok kecil
penduduk saja. Income per capita yang besar tetapi hanya mengelompok pada
segelintir penduduk saja tidak akan lebih baik dari income per capita yang kecil tetapi
merata.

INDIKATOR PENDERITAAN RAKYAT


Untuk mengukur keadaan kesehatan, ekonomi, sosial suatu wilayah/negara, banyak
indikator yang dikembangkan oleh badan-badan dunia. Selain indikator kesejahteraan
masyarakat, banyak indikator-indikator lainnya yang telah dikembangkan. Salah satu
contohnya ialah indikator penderitaan rakyat yang dikembangkan oleh Population
Crisis Committee yang berkedudukan di Washington D.C., yang terdiri dari 10 indikator
yaitu:

1. Pendapatan per kapita (GNP)


2. Angka inflasi
3. Proporsi penduduk yang memasuki angkatan kerja
4. Urbanisasi
5. Angka kematian bayi (IMR)
6. Proporsi penduduk yang kurang gizi
7. Proporsi penduduk yang telah memperoleh air bersih
8. Tingkat penggunaan energi
9. Proporsi penduduk dewasa yang bisa baca tulis/melek huruf
10. Kebebasan pribadi/demokrasi hak asasi manusia (HAM)

Rentangan score (nilai) masing-masing indikator ialah 0-10, dimana nilai 10 bila pen-
duduknya sangat menderita dan 0 bagi negara yang penduduknya paling tidak mende-
rita. Score masing-masing indikator kemudian dijumlahkan dan kemudian dikelompok-
kan menjadi 4, sbb:

• 75 - 100 → Sangat menderita


• 50 - 74 → Penderitaan yang tinggi
• 25 - 49 → Penderitaan yang sedang
• < 25 → Rendah

Pada awal tahun 1990-an dimana pengukuran pada semua negara di dunia dikerjakan
oleh Population Crisis Committee, Indonesia mendapat score 64, Malaysia 40,
Denmark dan Belanda mendapat score 1.

76
====================

77

Anda mungkin juga menyukai