diperkenalkan oleh J.M. Bessette di tahun 1980. Meskipun demikian, pemikir yang
adalah Jurgen Habermas, seorang filsup kritis generasi kedua dari Mazhab Frankfurt
(frankfurter scule), Jerman. Model demokrasi deliberatif juga dikembangkan oleh Ulrich
Beck dan Anthony Giddens dalam teori-teori sosialnya tentang masyarakat modern.
Singkatnya jika Habermas memberi landasan filosofis bagi gagasan model demokrasi
deliberatif, sedangkan Ulrich Beck dan Anthony Giddens memberi dukungan teori sosial
terhadap model tersebut. Penggunaan istilah deliberatif ini menegaskan sebuah pendekatan
politik yang berbeda dalam memahami demokrasi. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan
upaya meningkatkan kualitas praktik demokrasi yang ada selama ini dengan memperbaiki
sebagai model demokrasi yang melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari
kualitas prosedur deliberasi, bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti
parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan. Artinya,
keputusan-keputusan politik hanya bisa diterima dan mengikat semua anggota masyarakat
jika ia merupakan produk dari sebuah proses dialog yang berawal di wilayah periperi, yang
Jurnal
Demokrasi deliberatif memberikan ruang di luar kekuasaan administratif negara. Ruang itu
yang jelas antara gagasan demokrasi dan ide demokrasi deliberatif, yaitu menempatkan
masyarakat pada posisi yang emansipatoris untuk melakukan kegiatan legislasi melalui
ruang-ruang publik. Ternyata demokrasi perwakilan bukanlah bentuk demokrasi yang murni,
Demokrasi, menurut Habermas, harus memiliki dimensi deliberatif, yaitu posisi Ketika
kebijakan publik harus disahkan terlebih dahulu dalam diskursus publik. Dengan demikian,
demokrasi deliberatif ingin membuka ruang partisipasi yang luas bagi warga negara.
Kesimpulan yang merangkum dari pandangan tersebut, pakar Filsafat Indonesia ini
mengupayakan diri untuk cocok dan ini merupakan tuntutan yang berlebihan. Kenyataannya,
Indonesia sudah mau mendekati cocok”, sebutnya. Lebih rinci disarankan agar Indonesia
mendekati ke arah demokrasi liberatif, diusulkan cara: (1) Perbanyak prestasi deliberasi
publik dalam masyarakat; ( 2) Pemilu berintegrasi untuk legislasi berintegrasi; ( 3). Legislasi
Paradigma reinventing government dan good governance bukan hanya memicu tampilnya
konsep otonomi, partisipasi, efisiensi dan pelayanan publik, akan tetapi juga jejaring
kebijakan. Good governance mempunyai tiga (3) pilar yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat. Jejaring kebijakan yang terbentuk di antara tiga pilar akan semakin memperkuat
pelaksanaap good governance. Jejaring dalam kebijakan memiliki pengertian yang berbeda
dengan partisipasi. Jejaring kebijakan bukan hanya menuntut peran serta atau keterlibatan
hubungan saling menguntungkan di antara partisipan atau aktor pemerintah, swasta dan
masyarakat. Jejaring kebijakan juga berbeda dengan kata koordinasi. Dalam koordinasi
terkandung suatu agreement di antara aktor untuk mencapai tujuan bersama dengan
pemerintah sebagai aktor utama. Jejaring kebijakan justru mengandung konflik di antara
aktor karena perbedaan kepentingan, namun konflik tersebut harus dapat dipersatukan
dalam beberapa koalisi untuk mencapai tujuan dengan aktor utama tidak selalu dari unsur
pemerintah. Kekuatan jejaring yang berbeda-beda akibat interaksi aktor akan menyebabkan
variasi tingkat pencapaian kepentingan publik yang berbeda- beda pula. Administrasi publik
dan kebijakan publik akan mengalami kematian dengan bunuh diri (public administration
suicide) apabila tidak mampu mencapai kepentingan publik. Publik atau masyarakat yang
hidup dalam kematian administrasi publik akan mengalami nek-ofilia yaitu suatu
2007: 3-7). Sebaliknya, masyarakat yang hidup dalam administrasi publik yang sehat yang
deliberatif adalah masyarakat yang hidup dalam kebijakan deliberatif yaitu kebijakanpublik
yang dibuat berdasarkan: 1) pertukaran informasi dan argumen yang paling dapat diterima, 2)
inklusif dan terbuka untuk publik, tidak seorangpun memiliki kuasa mutlak atas yang lain, 3)
bebas dari koersi internal maupun eksternal yang mengurangi kesetaraan partisipan, 4)
pengambilan keputusan atas kesepakatan dan bukan atas pengambilan suara di bawah
tekanan institusi mayoritas, 5) kesetaraan dan kesejajaran hak kelompok kepentingan untuk
berpartisipasi, 6) terdapat ruang tawar menawar dan kompromi secara adil, serta
institusional nondeliberatif (Zauhar, 2007: 20-21). Jejaring kebijakan menjadi faktor penguat
governance. Melalui kebijakan deliberatif dengan pembentukan jejaring kebijakan akan dapat
dihindari masyarakat nekrofilia dan terbentuk masyarakat demokrasi deliberatif di mana tidak
ada yang tertindas dalam keragaman, baik mayoritas maupun minoritas, selalu besifat
contingendan terbuka.