Disajikan oleh:
Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, S.Ag.
Dalam kegiatan
Pondok Ramadhan MAN Sumenep Tahun 1443 H.
Sabtu, 9 April 2022
Pemaparan materi ini mengacu pada pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apa yang dimaksud Moderasi Beragama?
Mengapa bukan Moderasi Agama? Apakah beda antara keagamaan dan keberagamaan?
Apa hubungan antara Moderasi Beragama dengan Islam Wasathiyah?
Apakah sama istilah Islam Wasathiyah dan Islam Rahmatan Lil Alamin? kenapa tidak
cukup “Islam” saja? Bukankah agama Islam sudah sempurna?
Kenapa istilah-istilah tersebut muncul? Dan apa perlunya wasathiyah bagi Indonesia?
Apa bukti bahwa Islam adalah agama penuh rahmat?
Bagaimana seseorang bisa disebut ekstrem dan mengapa ia bisa punya pemikiran atau
perilaku tersebut?
Apa saja nilai-nilai wasathiyah yang bisa dipraktikkan?
Bagaimana contoh penerapan nilai wasathiyah berbasis maqashid syariah dalam
kehidupan sehari-hari? Dan bagaimana strategi penerapannya di lingkungan madrasah?
Bagaimana peranan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti NU dan
Muhammadiyah dalam meredam radikalisasi di era digital?
Dalam disertasinya yang berjudul Kontestasi Ideologi Politik Gerakan Islam Indonesia di
Ruang Publik Digital, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengungkapkan bahwa
perkembangan teknologi media modern telah mengakibatkan pluralisasi, kontestasi dan
fragmentasi otoritas keagamaan. Kemunculan media baru juga telah mempertajam
kontestasi dan polarisasi ideologis di antara gerakan Islam di Indonesia. Penggunaan
media digital sebagai agen penyelenggara dalam proses mobilisasi mikro telah
mengakibatkan pergeseran relatif dari aksi kolektif (berbasis organisasi) ke aksi konektif
(berbasis individu) dalam dinamika kontestasi ideologi politik gerakan Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, kemunculan aksi konektif berbasis individu tidak sepenuhnya
menggantikan aksi kolektif berbasis organisasi dan tidak menghapuskan sama sekali peran
organisasi kemasyarakatan dalam mobilisasi aksi kolektif.
Nilai-Nilai Wasathiyah:
(1) Tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak
ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama);
(2) Tawazun (berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi, tegas
dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan
ikhtilaf (perbedaan);
(3) I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional;
(4) Tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek
keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya;
(5) Musawah (egaliter) yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan
perbedaan keyakinan atau agama, tradisi dan asal usul seseorang;
(6) Syura (musyawarah) yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah
untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya;
(7) Ishlah (reformasi) yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan
lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-
muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama
yang relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan);
(8) Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas) yaitu kemampuan mengidentifikasi hal-
ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan
dengan yang kepentingannya lebih rendah;
(9) Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) yaitu selalu terbuka untuk melakukan
perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru
untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia;
(10) Tahadhur (berkeadaban) yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter,
identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan
peradaban.
(11) Wataniyah wa Muwatanah (kebangsaan dan kewarganegaraan) yaitu mencintai dan
membela kepentingan bangsa dan negara di atas keperluan pribadi;
(12) Al-Qudwah (keteladanan) yaitu upaya untuk memprakarsai perbuatan-perbuatan
yang baik, mempelopori inisiatif yang mulia.
Faktor-faktor ekstremisme:
1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama
2. Kecenderungan zahiriyah/harfiyah dalam memahami nash-nash
3. Sibuk mempertetangkan hal-hal sampingan seraya melupakan problem-problem pokok
4. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan
5. Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian/istilah
6. Mengikuti yang tersamar (mutasyabihat) dan meninggalkan yang jelas (muhkamat)
7. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya
8. Berpaling dari ulama
9. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah
Allah Maha luas rahmat-Nya
Di dalam kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Imam Ath-Thabari menyampaikan bahwa
para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud ayat wamaa arsalnaaka illaa rahmatan
lil’aalamiin, apakah rahmat itu [diutusnya Nabi Muhammad] ditujukan kepada seluruh
alam, termasuk orang-orang kafir? atau hanya kepada orang-orang beriman?
Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah pendapat pertama. Adapun [rahmat] bagi
orang beriman maka sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya dan
memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan memasukkannya ke dalam surga dengan
mengerjakan amal yang diperintahkan Allah. Adapun bagi orang kafir [maka rahmat] itu
berupa penundaan bala’ sebagaimana yang diturunkan kepada umat-umat yang
mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.
Dari ayat inilah konsep moderasi itu bermula
Tafsir bil Ma’tsur dari Ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama istilah “wasathiyah”
sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari Hadis nomor 3091:
Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il telah bercerita kepada kami 'Abdul Wahid
bin Ziyad telah bercerita kepada kami Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Sa'id berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "(Pada hari kiamat) Nabi Nuh dan
ummatnya datang lalu Allah Ta'ala berfirman: "Apakah kamu telah menyampaikan (ajaran)?" Nuh
menjawab: "Sudah, wahai Rabbku". Kemudian Allah bertanya kepada ummatnya: "Apakah benar
dia telah menyampaikan kepada kalian?" Mereka menjawab: "Tidak. Tidak ada seorang Nabi pun
yang datang kepada kami". Lalu Allah berfirman kepada Nuh: "Siapa yang menjadi saksi atasmu?"
Nabi Nuh berkata: "Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ummatnya." Maka kami pun
bersaksi bahwa Nabi Nuh telah menyampaikan risalah yang diembannya kepada ummatnya.
Begitulah seperti yang difirmankan Allah Yang Maha Tinggi (Dan demikianlah kami telah
menjadikan kalian sebagai ummat pertengahan untuk menjadi saksi atas manusia) (QS.
al-Baqarah: 143). Al-Washathu maksudnya adalah al-'Adl (adil).
Islam sebagai sebuah agama memang sudah sempurna. Akan tetapi, cara beragama
umatnya selalu dinamis dalam merespon kesempurnaan ajaran yang sama untuk
menghadapi berbagai tantangan yang berbeda di setiap zaman.
Alyauma akmaltu...
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari
kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dipadukan dengan nilai-nilai kearifan
lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya
berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Pengertian Moderasi dan Wasathiyah
Sesuai KBBI, kata moderasi diartikan sebagai: pengurangan kekerasan atau penghindaran
keekstreman. Sedangkan kata moderat berarti: selalu menghindarkan perilaku yang
ekstrem atau berkecendrungan ke arah jalan tengah. Dalam kamus Lisan al-Arab, kata
wasath (waw, sin, tha) memiliki beberapa makna: (1) penengah antara dua ujung (2) terbaik
dan paling bagus (3) adil (4) penengah antara yang baik dan buruk.
Kesimpulannya, moderasi adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha
mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan, sehingga
salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap
seseorang. Dari sini, kita tahu cakupannya ada tiga: moderasi pemikiran, gerakan, dan
perbuatan.
Moderasi Beragama dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara keyakinan
pada “kebenaran” pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan sekaligus penghormatan
kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Ide dasar moderasi
beragama sejatinya adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan.
Maqashid asy-Syari’ah mencakup tiga skala prioritas yang saling melengkapi dalam
menjawab tuntutan dinamika zaman, yaitu: al-dharuriyyah, al-hajiyyah dan al-tahsiniyyah.
Jika dikaitkan dengan prinsip ekonomi, ada kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Jurnal Ilmiah:
Yoga Irama & Liliek Channa AW, “Moderasi Beragama dalam Perspektif Hadis” dalam Jurnal Mumtaz, vol.5 no.1 Tahun 2021, hlm. 41-57.
Muhammad Harfin Zuhdi, “Moderasi Maqashidi sebagai Model Kontranarasi Ekstremisme Beragama” dalam Jurnal Istinbath, vol.20 no.1 Tahun 2021, hlm. 91-118.