Anda di halaman 1dari 3

Hadirin Hadirot Rahimakumullah...

Teknologi melaju dengan cepat, melesat layaknya kilat, serta memiliki dampak yang sangat
dahsyat. Dahsyat menuju maslahat, namun juga dahsyat menghancurkan masyarakat. Sosial media,
sebagai salah satu produk canggihnya teknologi, di satu sisi memiliki banyak manfaat, namun pada
saat bersamaan telah menjadi alat paling akurat untuk menghasut dan memecah belah umat.

Akibatnya, semakin banyak orang beragama secara ekstemis. Semakin tumbuh subur paham
radikalis. Atas nama agama mereka tega membunuh orang lain secara sadis. Masih ingatkah kita,
bagaimana gereja-gereja diledakkan? Ustadz sedang berceramah mereka tikam. Semuanya,
merupakan kebengisan yang tumbuh dan tersulut dari pemberitaan yang dihembuskan.

Oleh sebab itu, memahami Islam secara moderat merupakan keharusan yang tidak bisa
terelakkan. Karena Islam datang bukan untuk mengumbar kebencian, melainkan menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Dalam kepentingan inilah, materi syarhil yang berjudul “Moderasi Beragama sebagai
Pondasi Bangsa di Era Digital”, akan segera kami sampaikan. Dengan merujuk Surah Al Baqarah
256:

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya


telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.”
Ayat ini memberikan penjelasan penting tentang bagaimana selayanya kita bersikap, sebagai
seorang manusia yang memiliki iman sepatutnya kita mengamalkan ajaran cara bersikap yang toleran.
Selain memberikan gambaran tentang tidak memaksakan agama kepada siapa pun, ayat ini juga
setidaknya menjadi landasan bagi seluruh umat muslim untuk bersikap saling menghormati terlepas
dari agama, ras, suku, atau budayanya.

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirul Qur’anil ‘Azim menjelaskan bahwa Islam adalah rahmatan
lil’alamin yang sebut juga dengan rahmat bagi seluruh alam. Dalam artian yang lebih luas bahwa
Islam mengajarkan nilai-nilai toleransi yang sangat tinggi, cara bersikap dan etika sangat penting
dalam Islam, sebagai bentuk mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Quran. Acuan
utama kita tentu kepada Baginda Nabi Muhammad Saw., tentang cara dan etika bersikap, bagaimana
ketika Nabi Muhammad menjadi sosok pemimpin di Madinah, tidak sekalipun nabi bersikap
diskriminatif atau bahkan memusuhi. Bahkan sikap keteladanan Nabi ini tercurahkan dalam bentuk
suatu perjanjian bersejarah yakni yang disebut Piagam Madinah yang di dalamnya sarat akan nilai-
nilai kemanusian yang cinta akan perdamaian. Hal ini ditegaskan di dalam sebuah Hadist berikut:

Shahih Bukhari 6803: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Al A'masy telah
menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Abu Sa'id alkhudzri berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Nabi Nuh didatangkan pada hari kiamat lantas
ditanya, 'Sudahkah kamu menyampaikan? ' ia menjawab, 'Benar ya Rabbi'. Ummatnya
kemudian ditanya, 'Apakah dia memang benar telah menyampaikan kepada kalian? '
Mereka menjawab, 'Belum ada seorang pemberi peringatan kepada kita.' Lantas Allah
bertanya lagi: 'Siapa yang menjadi saksimu? ' Nuh menjawab, 'Muhammad dan
umatnya.' Lantas kalian didatangkan dan kalian bersaksi." Kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: '(Dan demikianlah Kami jadikan kalian
umat yang wasath) ' Kata Al A'masy, wasath artinya adil '(Agar kalian menjadi saksi atas
semua manusia dan agar rasul sebagai saksi atas kalian) ' (Qs. Albaqarah 143). Dan
dari Ja'far bin Aun telah menceritakan kepada kami al A'masy dari Abu Shalih dari Abu
Sa'id alkhudzri dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ini."

At-Thabari berpendapat bahwa konsep Al Wasathiyah dalam Hadist di atas adalah “Umat Islam
adalah umat moderat, karena mereka berada pada posisi tengah dalam semua agama, mereka bukanlah
kelompok yang ekstrem dan berlebihan seperti sikap ekstremnya Nasrani dengan ajaran kerahibannya
yang menolak dunia dan kodratnya sebagai manusia. Umat Islam juga bukan seperti bebasnya dan
lalainya kaum Yahudi yang mengganti kitab-kitab Allah, membunuh para Nabi, mendustai Tuhan dan
kafir pada-Nya. Akan tetapi umat Islam adalah umat pertengahan dan seimbang dalam agama, maka
karena inilah Allah menamakan mereka dengan umat moderat. Sikap Al Wasathiyah inilah yang dapat
kita jadikan pedoman dalam bersikap. Hadist tersebut sejalan dengan perilaku akomodatif dan
toleransi yang terkandung di dalam Surat At-Taubah Ayat 6 berikut:

Artinya: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ke tempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”

Hadirin Hadirot Rahimakumullah...


Bagian penting yang menjadi dasar perilaku moderat kita adalah mengacu kepada kutbah
terakhir nabi Muhammad Saw., Kutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW juga mengandung pesan
keadilan sosial, di mana beliau menegaskan bahwa semua manusia, tanpa memandang ras, suku, atau
status sosial, adalah saudara seiman yang setara di hadapan Allah. Tidak ada kelebihan atau
keunggulan seseorang kecuali dalam kebaikan dan ketakwaan. Rasulullah SAW menekankan bahwa
setiap individu memiliki hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi. Dalam penutup kutbahnya,
Nabi Muhammad SAW mengajak umatnya untuk merefleksikan pesan-pesan yang beliau sampaikan
dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Beliau berpesan agar umat Islam tetap
berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunah, menjauhi segala bentuk perpecahan, serta menjaga
persatuan dan kesatuan umat.
Jika kita kontektualisasikan dalil-dalil di atas dengan sikap dan perilaku seharunya yang kita
lakukan, maka akan ditemukan sebuah jalan dan ketenteraman di tengah era digital sekarang. Sikap
dan ajaran moderat di dalam Islam memberikan nuansa tentang dan damai serta pemanfaatan
teknologi secara baik dan benar sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam itu sendiri. Pentingnya
moderasi beragama di era digital dapat menjadikan tameng pelindung serta pembelajaran moral bagi
seluruh umat Muslim khususnya dan secara umum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Harapan kita
ke depan tentunya seiring dengan kemajuan teknologi yang pesat juga tidak meninggalkan sisi-sisi
kemanusian yang telah Rosulullah contohkan sehingga kemajuan ini menjadikan kita sebagai insan
yang lebih baik lagi.
Hadirin Rahimah Kumullah
Berdasarkan uraian di atas, maka setidaknya dapat kita simpulkan beberapa hal terkait
penerapan moderasi beragama di era digital ini. Pertama, Moderasi beragama dan sikap moderat perlu
dikembangkan di arah yang lebih luas meliputi berbagai kalangan dan lingkungan. Mulai dari anak
hingga orang tua semua perlu merealisasikan moderasi beragama sebagai bentuk implementasi
keimanan dan pendidikan moral bagi bangsa. Kedua, bahwa moderasi beragama akan mampu menjadi
pelindung dan tameng dari berbagai bentuk sikap intoleran yang menjadi problematika di tengah
kemajuan zaman ini sehingga kelak kita akan menjadi bangsa yang tidak hanya maju secara teknologi
namun juga mapan secara etika moral dan kultural
sekian yang dapat kami sampaikan...

Burung camar hingga di dahan


Rantingnya indah bercabang satu
Marilah kita menjaga kedamaian dan persatuan
Insya’allah kita menjadi bangsa yang mulia

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Anda mungkin juga menyukai